Melawan Lupa 2 Beberapa Nama Saksi Palsu

Melawan Lupa (2): Beberapa Nama, Saksi
Palsu dan Islah Talangsari
Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, dari
sejumlah nama yang terlibat kasus Talangsari atau setidaknya ada keterkaitan dengan kasus
Talangsari, beberapa di antaranya layak digolongkan sebagai orang-orang yang bingung. Mereka
antara lain Azwar Kaili dan Jayus alias Dayat bin Karmo serta Fauzi Isman. Sedangkan saksisaksi palsu, antara lain Suroso dan Purwoko. (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/11/kasustalangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-04/)

Azwar Kaili
Keterkaitan Azwar Kaili dengan kasus Talangsari dapat dilihat dari dua hal. Pertama, ia
merupakan simpatisan anggota jama’ah pengajian yang diselengggarakan oleh Abdullah alias
Dulah dan Pak Sediono. Abdullah alias Dulah merupakan anak buah Warsidi, dan mantan aktivis
Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah. Tidak hanya Azwar Kaili yang aktif mengikuti
pengajian-pengajian yang diselenggarakan Abdullah, juga Warsito (anak angkat Azwar), dan tiga
anak kandungnya masing-masing bernama Iwan, Haris, dan Ujang.
Kedua, melalui sosok Warsito yang tewas dalam kasus Talangsari (7 Februari 1989). Azwar
mengeksploitasi almarhum Warsito untuk ‘memeras’ Hendropriyono. Almarhum Warsito
diposisikan sebagai korban. Padahal, meski usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh
Abdullah sebagai calon Mujahid. Akibat binaan Abdullah, Warsito dan beberapa teman
sebayanya menjadi sosok yang militan. Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon
Mujahid, dan secara resmi menjadi anggota jama’ah sekurangnya sejak tahun 1988.

Keberangkatan Warsito ke Cihideung bukan sekedar mau nyantri, tetapi memang untuk mati
syahid, dalam sebuah peperangan yang sudah direncanakan oleh komunitas Warsidi dan
sejumlah muhajirin dari Jawa. Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama
Zulkarnaen dan Zulfikar (anak Pak Sediono) serta Isrul Koto (anak Pak Zamzuri), pamitan
kepada orangtua masing-masing untuk berjihad ke Talangsari.
Menurut ingatan Zulfikar, sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, Warsito
menyampaikan sebuah pesan kepada adiknya agar merawat ayam-ayam peliharaan miliknya.
Pesan itu –yang kemudian menjadi pesan terakhir Warsito, berbunyi: “… seandainya saya mati
dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…” Hal ini menunjukkan bahwa Warsito memang sudah siap
mati syahid, karena kepergiannya ke Talangsari semata-mata untuk berperang dalam rangka
jihad.
Namun, oleh Azwar Kaili, kematian Warsito dimanfaatkan untuk menarik keuntungan materiel.
Pada program Buser Petang di SCTV yang mengudara sejak 17:30 wib, khususnya segmen B-

File yang tayang 22 September 2003, Azwar Kaili mengaku-ngaku sebagai korban kasus
Talangsari. Padahal ia bukan korban. Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan ditahan, tapi
bukan karena terlibat kasus Talangsari. Melainkan, untuk kasus semacam praktek ilegal sebagai
mantri.
Kasus Azwar itu bersamaan dengan kasus penangkapan jama’ah Warsidi. Ketika itu, hampir
seluruh anggota pengajian yang diselenggarakan Abdullah dan Pak Sediono ditangkap dan

ditahan, namun dilepaskan kembali setelah dipastikan tidak ada keterkaitan dengan kasus
Talangsari. Kepada Abdul Syukur (penulis buku Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa
Lampung 1989), Azwar mengaku ia ditahan selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat
keamanan setempat dengan tuduhan memberikan pendidikan kesehatan kepada anggota
kelompok Warsidi di rumah Zamzuri.
Berkenaan dengan Warsito, Azwar Kaili mengatakan bahwa kepergian Warsito ke Talangsari
adalah untuk nyantri, dengan berbekal uang seribu rupiah dan seekor ayam. Padahal,
sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak Zamzuri, keberangkatan Warsito ke Talangsari adalah
untuk berjihad (mati syahid).
Azwar Kali juga mengatakan, rumah dan sejumlah harta bendanya yang dikumpulkannya sejak
masih bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Peristiwa pembakaran itu
terjadi ketika ia sedang memenuhi panggilan Danramil. Pernyataan tersebut, setahu kami tidak
benar. Karena, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas diri Azwar Kaili, namun tidak ada
pembakaran dan perampokan terhadap harta bendanya.
Pengakuan dusta Azwar Kaili di SCTV

Pengakuan dusta Azwar Kaili di SCTV kala itu, karena ia merasa dikecewakan oleh
Hendropriyono. Sekitar September 2002, Azwar Kaili menyampaikan maksudnya kepada

Sukardi (salah seorang pelaku kasus Talangsari) untuk bertemu dengan Hendropriyono, dengan

maksud untuk mendapatkan kompensasi atas musibah yang selama ini ia derita berkenaan
dengan kasus Talangsari.
Permintaan itu tidak dapat terwujud, karena saat itu Hendropriyono sedang bertugas ke luar
negeri. Maka, Azwar Kaili pun memberi ultimatum kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu
satu bulan tidak bisa dipertemukan dengan Hendropriyono maka ia akan mengajukan tuntutan.
Lalu muncullah testimoni dustanya di SCTV.
Dua anak Azwar Kaili yang dulu ikut pengajian Abdullah, Haris dan Ujang, belakangan hari
tersandung tindak kriminal. Keduanya ditangkap aparat kepolisian karena menjadi penadah
sepeda motor curian di Lampung.
Meski cuma menempuh pendidikan sampai kelas tiga SMP, Azwar Kaili pada masa itu dikenal
sebagai tenaga kesehatan (mantri swasta) yang merangkap sebagai penjual obat. Keterampilan
sebagai mantri kesehatan termasuk suntik-menyuntik dan pengobatan, diperolehnya melalui
seorang mantri kesehatan yang di desa Sidorejo.
Nasib baik rupanya berpihak kepada Azwar Kaili, sehingga kiprahnya sebagai mantri kesehatan
kian berkembang. Apalagi Azwar beristrikan seorag bidan, sehingga mendongkrak tingkat
kepercayaan masyarakat sekitar terhadap kiprah Azwar sebagai mantri kesehatan. Lebih jauh,
Azwar dan istrinya mendirikan klinik kesehatan dan bersalin. Kiprah Azwar sebagai mantri
kesehatan semakin diterima masyarakat karena ia tidak pasang tarif resmi, tetapi disesuaikan
dengan kemampuan pasien.
Sebenarnya masyarakat sudah mulai tahu bahwa praktek Azwar Kaili sebagai mantri kesehatan

tergolong ilegal. Namun karena selama ini tidak terjadi masalah, dan tidak ada patokan tarif,
maka terjadilah proses pembiaran yang berlangsung lama. Apalagi Azwar bertutur kata lembut
dan termasuk orang lama di Sidorejo.
Namun demikian, sejumlah mantri kesehatan di kawasan itu merasa bertanggung jawab terhadap
etika profesi dan keselamatan masyarakat khususnya di bidang kesehatan, karena Azwar Kaili
bukan mantri kesehatan yang berlisensi. Akhirnya, didorong oleh rasa tanggung jawab itu
sejumlah tenaga kesehatan di sana melaporkan kiprah Azwar ke Kecamatan.
Akhirnya, Azwar Kaili diperiksa pihak Kecamatan, kemudian dipersilakan pulang, setelah
pemeriksaan dianggap cukup. Ketika Azwar pulang, pecah kasus Sidorejo yang merupakan
bagian dari kasus Talangsari (7 Februari 1989). Menurut keterangan dari Zamzuri, ketika itu istri
Azwar ikut aktif menangani korban luka yang tergeletak di depan rumah Zamzuri. Oleh para
mantri kesehatan yang sebelumnya sudah tidak berkenan dengan kiprah Azwar Kaili, maka
peristiwa itu dijadikan alasan untuk melaporkan keterlibatan Azwar di dalam kasus Sidorejo.
Maka, Azwar pun akhirnya ikut dibawa ke kantor Korem Garuda Hitam.
Setiba di kantor Korem Azwar Kaili mendapati sejumlah orang yang selama ini dikenalnya,
seperti Sugeng Yulianto (salah seorang jama’ah Warsidi) sedang diperiksa pihak aparat. Selain
Sugeng, Azwar Kalili juga mendapati Zamzuri sedang diperiksa aparat. Berdasarkan keterangan

dari Zamzuri bahwa Azwar tidak tahu menahu dan tidak terlibat kasus Sidorejo dan Talangsari,
maka pihak aparat Korem pun membebaskannya.

Menurut Zamzuri kala itu, Azwar Kaili sama sekali tidak terlibat peristiwa Sidorejo dan
Talangsari. Ketika peristiwa itu terjadi, Azwar Kaili sedang menjalani pemeriksaan di kantor
kecamatan sehubungan dengan pengaduan Dahlan (mantri kesehatan setempat), yang
melaporkan praktek ilegal yang dilakukan Azwar Kaili. Rumah Azwar Kaili juga tidak terbakar
atau dibakar, tetapi dijarah dan dirusak massa yang marah pasca terbunuhnya Lurah Arifin
Santoso dan Kapospol Serma Sudargo di rumah Zamzuri yang berdekatan dengan rumah Azwar
Kaili.
Di era reformasi, ketika kebebasan berekepsresi terbuka lebar, maka sejumlah LSM seperti
Kontras dan Komite Smalam, memanfaatkan kondisi ini untuk mencari-cari celah berkiprah
dengan cara mengungkap kasus masa lalu seperti kasus Talangsari. Media massa ikut
meramaikan kiprah Kontras dan Smalam. Azwar berada dalam putaran arus kebebasan
berekspresi ini. Maka, Azwar Kaili pun mendatangi Kontras dan SMALAM seraya membawa
pernyataan bahwa dia adalah salah satu korban kasus Talangsari.
Gayung pun bersambut. Kontras dan Komite Smalam menjadikan Azwar sebagai dasar berpijak
mengajukan tuntutan. Azwar ditampilkan seolah-olah merupakan korban kasus Talangsari yang
telah mengalami penyiksaan luar biasa. Kontras dan Komite Smalam telah menjadikan korban
palsu sebagai dasar berpijak. Dasar berpijak yang rapuh, yang hanya membuat Kontras dan
Komite Smalam terperosok ke kubangan penuh dusta dan sandiwara.
Padahal, sebagaimana keterangan Jainal Muarif, putra dari almarhum Arifin Santoso (Lurah
Sidorejo) yang gugur dalam kasus Sidorejo, Azwar Kaili bukan pelaku dan tidak menjadi korban

peristiwa Sidorejo. Ketika kasus Sidorejo terjadi, Azwar Kaili tidak ada di rumah maupun di
lokasi kejadian. Meski demikian Azwar beberapa kali menerima uang ‘duka’ dari Hendropriyono
karena seorang anak angkatnya, Warsito, konon tewas di Talangsari.

Jayus alias Dayat bin Karmo
Dalam kasus Talangsari, Jayus bukan orang sembarangan. Ia bahkan diposisikan sebagai orang
kedua setelah Warsidi. Berkat kedermawanan Jayus, maka Warsidi pun bisa memiliki lahan
seluas satu setengah hektare. Tanah itu dihibahkan Jayus kepada Warsidi dengan tujuan jelas,
membangun komunitas Islami di Cihideung.
Semula, dukuh Cihideung hanya dihuni oleh keluarga Warsidi dan keluarga Jayus, serta beberapa
kerabat dekat mereka. Cihideung yang semula sepi kemudian berubah menjadi pedukuhan yang
ramai, setelah dihuni para muhajirin dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) yang sengaja hijrah ke
cihideung dengan membawa anggota keluarga masing-masing.
Ketika itu, jilbab masih terlihat aneh di mata orang kebanyakan. Sedangkan muslimah yang
datang dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) itu termasuk yang aktif mengenakan busana
muslimah dengan gamis lebar dan kerudung lebar. Masyarakat sekitar tidak hanya
memandangnya dengan rasa aneh, tetapi juga memendam kecurigaan. Sejumput kecurigaan yang

ada di dalam benak masyarakat kian membesar ketika Warsidi sebagai pimpinan komunitas sama
sekali tidak melaporkan kedatangan para muhajirin dan keluarganya itu kepada aparat desa

terdekat. Akhirnya, dilandasi kecurigaan yang kian membuncah, masyarakat sekitar pun
melaporkan keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak aparat desa.
Kian hari masyarakat sekitar kian curiga. Bahkan beredar isu negatif tentang sepak-terjang
komunitas Warsidi. Dalam rangka merespon isu negatif itu, maka Jayus bersama sejumlah
jama’ah Warsidi lainnya mendatangi rumah Sukidi Haryono (Kepala Dusun Talangsari III).
Jayus dan kawan-kawan mendatangi Sukidi dengan berbekal senjata berupa parang, seraya
mengancam Sukidi agar tidak bertindak yang dapat merugikan jama’ah Warsidi, misalnya
melaporkan keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak aparat keamanan.
Menurut kesaksian Sukidi, beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari meletus (awal Februari
1989) silam, sejumlah anggota jama’ah Warsidi menebar ancaman akan membunuh dirinya yang
dianggap telah membocorkan semua kegiatan jama’ah Warsidi kepada pemerintah. Mereka,
antara lain Jayus, Sukardi, Joko dan Tardi Nurdiansyah bin Yasak (yang kala itu baru berusia 16
tahun).
Setelah peristiwa itu, menurut Sukidi, ia menerima laporan dari Supri warganya, bahwa ia akan
dibunuh oleh Jama’ah Warsidi. Isu itu sedemikian santer, sehingga warga meminta Sukidi dan
keluarganya mengungsi ke rumah Kades Amir Puspamega. Situasi kian memanas, karena
jama’ah Warsidi melarang warga melakukan rodan dan menyalakan senter. Warga pun resah.
Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak dinginkan, Sukidi bersama Serma Dahlan
dan Kopda Abdurahman melakukan ronda malam untuk menenangkan masyarakat (tanggal
tanggal 5 Februari 1989 malam).

Saat ronda, mereka memergoki lima orang tak dikenal sedang berjaga-jaga di pos masing-masing
sambil membawa senjata berupa pedang dan panah. Mengetahui itu mereka lalu meringkus
kelima orang tersebut, yang ternyata anggota Jama’ah Warsidi. Kelimanya kemudian dibawa ke
Koramil Way Jepara.
Jayus selama ini dikenal sebagai sosok yang ikhlas berkorban dan berjuang untuk menegakkan
negara Islam, dengan menjadikan pedukuhan Cihideung sebagai basis perjuangan.
Dihibahkannya tanah seluas satu setengah hektare merupakan bukti kongkrit keseriusan Jayus
dalam hal ini.
Pada tahun 2001, berbagai media massa memberitakan keterlibatan Jayus bersama Kontras dan
Komite Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangasari. Jayus bersama enam orang yang
diakunya sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH Lampung untuk mengungkap
kembali kasus Talangsari. Padahal, sebelumnya, pada tahun 2000, pada forum ishlah nasional
yang berlangsung di Cibubur, Jayus dipercaya oleh pelaku, korban dan keluarga korban serta
warga dusun Talangsari sebagai koordinator umum Gerakan Islah Nasional (GIN). Islah nasional
ini kemudian menjadi landasan dan alasan yang kuat bagi pelaku, korban dan keluarga korban
serta warga dusun Talangsari untuk menutup dan tidak akan pernah membuka kembali kasus
Talangsari; disamping untuk menjalin perdamaian dan persaudaraan di antara para pelaku dan
aparat beserta keluarganya masing-masing.

Jayus sejak saat itu nampaknya sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya

motif komersial. Mungkin karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat. Dulu,
Hendropriyono pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah
miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa Mega. Permintaan
itu dipenuhi, dan Jayus sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun.
Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling
ringan, ia hanya menjalani masa penahanan selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang
kedua setelah almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus telah “berjasa” (baca:
berkhianat) dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang berusaha
melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni. Berkat informasi dari Jayus, banyak jama’ah
Warsidi yang berhasil ditangkap aparat. Karena telah berjasa, maka aparat Korem
memperlakukan Jayus sebagai tahanan sangat istimewa dibandingkan dengan perlakuan aparat
terhadap jama’ah Warsidi lainnya.
Karena menjalani hukuman paling ringan, maka Jayus sudah menghirup udara bebas ketika
sebagian besar jama’ah Warsidi yang tertangkap masih meringkuk di dalam tahanan. Para napol
kasus Talangsari serendah-rendahnya divonis 10 tahun, sebagian lainnya bahkan divonis seumur
hidup.
Karena bebas lebih dulu, Jayus mempunyai peluang untuk mengeksploitasi narapidana kasus
Talangsari yang masih mendekam di tahanan. Jayus menjual nama-nama korban dan narapidana
kasus Talangsari ke berbagai organisasi atau kepada perseorangan yang menaruh simpati.
Dengan dalih mengumpulkan dana untuk membantu para jama’ah Warsidi yang masih berada di

dalam penjara. Jayus meraih keuntungan dari kasus Talangsari.
Begitu juga ketika sebagian narapidana kasus Talangsari masih berada di tahanan, Jayus
termasuk yang merintis islah dan memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan
ishlah itu. Bahkan Jayus sempat diberi kepercayaan untuk mengkoordinir gerakan islah bagi para
jama’ah Warsidi di Talangsari Lampung. Padahal, jama’ah yang dimaksud itu sebenarnya
anggota keluarga dan kerabat Jayus sendiri yang belum tentu terlibat dalam kasus Talangsari.
Ketika menghadap LBH, yang dibawa Jayus juga anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, yang
diakui sebagai korban kasus Talangsari. Sebagai mantan pelaku kriminal, naluri kriminal Jayus
rupanya tetap hidup, meski ia bertahun-tahun menjadi jama’ah Warsidi.
Terbukti, di kemudian hari ia berbalik arah melawan konsep islah yang ia rintis. Jayus nampak
seperti orang bingung. Faktanya, hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu
hampir seluruh keluarga korban dan pelaku kasus Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu
mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus satu-satunya pelaku kasus
Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena
punya motif komersial.
Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias
Sadar, yang sampai saat ini menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah
kemudian mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah, sementara anggota keluarga lainnya

yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah sebagai solusi.

Dengan demikian Jayus telah mengkhianati keluarga korban dan anggota keluarganya sendiri.
Meski Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya. Namun ia mampu
membujuk sejumlah orang untuk mengaku sebagai mantan anggota Jamaah, untuk dibawa
menghadap LBH Lampung. Padahal, orang-orang yang dibawanya itu, tak lain merupakan
anggota keluarga Jayus sendiri, yang pada waktu kejadian belum mengerti permasalahan karena
masih berusia sangat muda. Misalnya, Purwoko yang berusia 6 tahun ketika kasus Talangsari
terjadi.
Mengapa Jayus mencla-mencle? Motifnya jelas urusan fulus. Ketika proses islah berada dalam
proses awal, Jayus telah mengajukan permintaan sejumlah uang kepada Hendropriyono, untuk
dibagi-bagikan kepada (katanya) korban Talangsari. Dana yang diminta Jayus sebesar sepuluh
juta rupiah per orang, dengan alasan dana itu akan digunakan sebagai modal usaha para korban
dan keluarga korban Talangsari yang dipimpinnya. Hendropriyono yang sudah kenal latar
belakng Jayus, menolak permohon dana sebesar itu, karena beraroma pemerasan.
Rupanya Jayus kecewa karena permohonannya ditolak. Maka, ia pun mengkhianati kesepakatan
islah yang sudah disepakati sebelumnya. Di luaran, Jayus berdalih orang-orang Jakarta selalu
menghalanginya bertemu dengan Hendropriyono. Kemudian Jayus dimanfaatkan oleh Kontras
dan Komite SMALAM dan dijadikan simbol perlawanan mengungkap kembali kasus Talangsari.
Untuk meyakinkan Kontras, Jayus berusaha membujuk sejumlah warga Talangsari untuk
bergabung bersamanya mengajukan tuntutan ke Kantor Komnas HAM. Agar warga Talangsari
tertarik, Jayus mengumbar janji akan memberikan sejumlah uang kepada mereka yang bersedia
ikut ke Jakarta. Tipu-muslihat Jayus ditolak karena masyarakat Talangsari sudah enggan dan tak
sudi mengenang masa lalu yang getir. Akibatnya, Jayus hanya berhasil membawa lima warga asli
Talangsari untuk dibawa menuju Jakarta.
Karena lima terlalu sedikit, maka Jayus ‘menyewa’ 14 warga di luar masyarakat Talangsari untuk
ditenteng ke Kantor Komnas HAM Jakarta, dan disuruh mengaku sebagai korban Talangsari.
Tipu-daya licik Jayus itu ternyata membuat marah warga asli Talangsari. Maka, mereka pun
melayangkan sepucuk surat kepada pengurus GIN (Gerakan Islah Nasional). Isinya, agar GIN
mencegah Jayus yang membawa warga bukan asli Talangsari untuk menghadap Komnas HAM
di Jakarta.
Jayus tidak sekedar membawa korban Talangsari palsu, ia juga membawa Suroso yang
domisilinya berdekatan dengan tempat kejadian. Kelebihan Suroso, ia pandai bicara dan lebih
cerdas dibanding para korban Talangsari palsu lainnya. Bila Suroso bisa diperalat Jayus, Sukidi
tidak demikian. Melalui Joko, Jayus berusaha membujuk Sukidi (mantan Kadus Talangsari III)
menjadi fasilitator pertemuan antara Jayus dan Hendropriyono, namun tidak berhasil.
Sayang, Pak Sukidi tidak sudi karena menilai Jayus hanya memperalat dirinya dan kasus
Talangsari bagi kepentingan Jayus pribadi. (Keterangan langsung dari Pak Sukidi mantan Kadus
Talangsari).

Pada tahun 2002, sekitar bulan September, salah seorang pelaku kasus Talangsari, Sukardi,
berkunjung ke Lampung, antara lain bersilarturahmi ke kediaman Azwar Kaili di Sidorejo. Tak
berapa lama, datang pula Jayus dan Suroso. Karena menganggap Sukardi orangnya pak Hendro,
Jayus langsung menebar ancaman, bahwa pak Azwar akan diajaknya ke kantor Komite Smalam
dan kantor LBH Lampung untuk melaporkan penemuan barunya berkaitan dengan kasus
Talangsari. Ternyata, itu hanya sebuah gertak sambal. Sebab intinya, Jayus dan Azwar Kaili
minta dipertemukan dengan Hendropriyono. Apabila pertemuan itu bisa terjadi, maka mereka
akan menghentikan segala tuntutan terhadap kasus Lampung, mencabut pula tuntutan Kontras
dan Komite Smalam. Sebaliknya, bila dalam waktu satu bulan tidak ada konfirmasi positif, maka
mereka akan terus melakukan tuntutan terhadap kasus Lampung bersama Kontras dan Komite
Smalam. Rupanya, bukan hanya Purwoko dan Suroso yang berhasil diperalat Jayus, juga Kontras
dan Komite Smalam.
Pada kesempatan itu, Sukardi juga berusaha bertemu dengan sejumlah orang yang ditentengtenteng Jayus menghadap LBH, dan diakui sebagai korban kasus Talangsari. Mereka adalah
Gono, Sutris, Cipto, Paimun, Budi Santoso, Mardi, Surip dan Kasman. Ternyata, tidak satu pun
dari mereka yang dikenal Sukardi. Mereka memang bersedia dilibatkan dalam “proyek” yang
direkayasa Jayus, untuk mendapatkan sesuatu sesuai dengan janji yang pernah diumbar Jayus.
Begitulah kenyataannya. Watak kriminal Jayus tetap eksis. Padahal, dulu ia bercita-cita
mendirikan negara Islam, mendirikan Islamic Village di Cihideung.

Sugeng Yulianto
Sugeng Yulianto merupakan salah satu anggota pasukan khusus yang terlibat di dalam episode
pembajakan bus “Wasis” dalam rangkaian kasus Talangsari-Sidorejo. Ia dituntut hukuman pidana
seumur hidup. Lulusan STM ini, dalam drama pembajakan bus “Wasis” bertindak sebagai sopir,
dan merupakan salah satu dari 11 anggota pasukan khusus Jama’ah Warsidi yang ditugaskan oleh
imamnya untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung, sebagai upaya mengalihkan perhatian
petugas.
Pria kelahiran Solo tahun 1959 ini, merupakan anggota Jama’ah Warsidi khususnya di cabang
Sidorejo pimpinan Pak Sediono. Ia menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi didorong oleh
kesadarannya sendiri.
Sugeng Yulianto alias Sugiman Yulianto bin Marto Djoyo berdasarkan putusan Pengadilan
Negeri Tanjungkarang No. 161/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 7 Nopember 1989, dijatuhi
pidana penjara selama seumur hidup. Namun berkat dorongan kawan-kawan dan perjuangan
Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH, maka Presiden
Habibie memberikan grasi kepada napol kasus Talangsari melalui Kepres Nomor: 101/0 Tahun
1998 tanggal 31 Desember 1999.
Perjuangan Hendropriyono membebaskan napol kasus Talangsari bisa dilihat melalui surat no.
R-028/Mentras/08/1998 tanggal 21 Agustus 1998. Isinya, Menteri Transmigrasi dan PPH
memohonkan percepatan pembebasan Napol Korban Peristiwa Lampung kepada Presiden
Republik Indonesia.

Selain melalui surat, Hendropriyono juga melobi langsung Jaksa Agung RI, yang waktu itu jabat
oleh Mayjen AM. Ghalib, Menteri Kehakiman Muladi, Menhankam (Pangab) Wiranto dan Ketua
MA, Sarwata. Hasilnya, Jaksa Agung RI melalui suratnya Nomor: R-196/A/D/9/1998 Tanggal 23
September 1998 turut menyarankan kepada Presiden untuk menyetujui permohonan Menteri
Transmigrasi dan PPH perihal amnesti. Napol peristiwa Lampung atas nama Fauzi dkk.
Barulah sebulan kemudian, Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tandjung, melalui suratnya No: R311/ M. Sesneg/10/1998 Tanggal 26 Oktober 1998 berkirim surat kepada Menko Polkam,
Menteri Kehakiman, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI menyampaikan tentang
petunjuk Presiden agar usul pemberian rehabilitasi kepada eks Napol peristiwa lampung atas
nama Fauzi dkk dibantu prosesnya.
Ketika kasus Talangsari terjadi (Februari 1989), usia Sugeng Yulianto sudah memasuki angka 30.
Ia bukan anak-anak lagi. Sehingga, keterlibatannya menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi
merupakan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkannya.
Alasan yang mendasari Sugeng Yulianto hijrah ke Lampung, khususnya di Sidorejo, karena
tertarik oleh bujukan Soleh, kawannya, yang mengatakan bahwa di Lampung selain mudah
mencari nafkah, juga dapat menjalankan ajaran Islam dengan lebih baik. Namun di dalam
persidangan, Sugeng Yulianto pernah mengatakan, bahwa keterlibatannya dengan orang-orang
yang melakukan huru-hara di Tanjungkarang karena dipaksa oleh kelompok Warsidi. Bila tidak
mau, dirinya akan dibunuh.

Tardi Nurdiansyah
Meski usianya masih belasan ketika kasus Talangsari terjadi (1989), namun Tardi merupakan
salah satu jama’ah Warsidi yang tergolong militan. Ia juga ikut ke dalam rombongan yang
melakukan ancaman dan teror kepada Sukidi Haryono (Kadus Talangsari III). Tardi Nurdiansyah
yang lahir di Karanganyar (Jawa Tengah) dan pernah menempuh pendidikan di Pondok
Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah ini, merupakan salah satu dari sebelas orang yang
ditugaskan Warsidi membebaskan kawan-kawan mereka yang ditangkap aparat Koramil.
Sejak masih di Jakarta, Tardi sudah berkenalan dengan tokoh-tokoh pelaku kasus Talangsari.
Bahkan sosok Warsidi sudah dikenalnya dengan baik sebelum pecah kasus Talangsari.
Keakrabannya dengan Warsidi membuat Tardi memutuskan untuk hijrah ke Lampung. Apalagi,
di Cihideng ada kakaknya yang sudah lebih dulu berdiam di sana. Di Cihideng Tardi merasakan
suasana yang sama dengan Ponpes Ngruki tempat ia menempuh pendidikan. Berbekal
pendidikan di ponpes Ngruki, Tardi pun mengamalkan ilmunya, mengajar mengaji bagi orangorang di sekitar itu.
Dalam pandangan Tardi, kegiatan keagamaan yang dilakukan Warsidi, adalah gerakan untuk
membangun masyarakat dengan suasana Islam, dan tidak ada maksud untuk melakukan
pemberontakan. Menurut Tardi, aktivitas Warsidi dan pengajiannya adalah untuk menapat ridho
Allah (mardhatillah). Warsidi ingin menegakkan syari’at Islam, meski pengetahuan agama
Warsidi belum sehebat ulama di Solo yang pernah dikenalnya. Namun karena sifat pengajiannya

yang eksklusif mengakibatkan aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan
terhadap pemerintah.
Tardi juga berpendapat, kasus Talangsari bukan sesuatu yang direncanakan, tetapi hanya insiden
atau musibah saja, sebagai akibat dari adanya miskomunikasi antara Jama’ah Warsidi dengan
aparat desa (pemerintah) dan warga sekitar. Menurut pengakuan Tardi, pada saat kejadian, dia
sedang berada di Rajabasalama dan dalam perjalanan pulang ke Cihideung untuk menemui
kakaknya. Namun ketika sampai di daerah Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan.
Padahal sebenarnya, ia anggota pasukan khusus yang mengemban tugas membebaskan lima
Jama’ah Warsidi yang ditahan aparat. Namun misi itu gagal. Kelompok sebelas dipecah tiga.
Tardi satu kelompok dengan Fadilah, berada di kelompok kedua.
Sebagaimana Sugeng Yulianto, Tardi yang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang Nomor 1027 Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 21 Desember 1989 dijatuhi pidana
penjara selama 17 (tujuh belas) tahun, menghirup udara bebas di masa Presiden Habibie,
bersama sejumlah napol kasus Talangsari lainnya.
Pengakuan Tardi yang cenderung apologis itu ada kalanya dijadikan dasar bertindak bagi LSM
tertentu untuk memposisikan kasus Talangsari sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Sikap
Tardi bisa dimaklumi, karena ketika kasus Talangsari terjadi, ia masih berusia belasan, namun
harus menerima vonis 17 tahun, di Nusakambangan pula.
Yang tidak bisa dimengerti adalah sikap Jayus alias Dayat bin Karmo, yang menjadi orang kedua
setelah Warsidi di komunitas Cihideung. Ia menerima vonis yang ringan, meski pernah terlibat
mengancam aparat dusun. Bahkan ketika sebagian besar jama’ah Warsidi dalam gundah gulana
di dalam pelarian, Jayus justru sudah menjadi bagian dari aparat yang ketika itu gencar
menangkapi jama’ah Warsidi. Tentu aneh jika di masa-masa tenang, dan mereka yang terlibat
kasus Talangsari berusaha kuat melupakan masa lalunya yang getir, Jayus justru berusaha
mengungkit kasus itu kembali, hanya semata-mata untuk mendapatkan keutungan materiel.
Bahkan, lebih jauh, Jayus memanfaatkan korban dan saksi palsu untuk memenuhi hajat
kriminalnya. Ia memperalat Suroso, tetangganya, dan Purwoko, kemenakannya.

Suroso dan Purwoko
Suroso sebenarnya sama sekali tidak terlibat kasus Talangsari maupun Sidorejo. Ketika kasus
Talangsari terjadi, usia Suroso baru sebelas tahun. Praktis, ia sama sekali tidak tahu menahu soal
kasus Talangsari. Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Kebetulan, kediaman orangtua Suroso
tidak jauh dari tempat kejadian. Meski berdekatan dengan lokasi kejadian, Suroso dan
orangtuanya sama sekali bukan Jama’ah Warsidi, dan tidak peduli dengan kiprah dan aktivitas
Jama’ah Warsidi. Namun demikian, orangtua Suroso tetap menjaga hubungan baik dengan
Warsidi yang menjadi tetangganya.
Karena bertetangga dengan Warsidi, maka pada saat terjadinya kasus Talangsari, rumah orangtua
Suroso dirusak dan dijarah oleh penduduk sekitar, akibat salah sangka. Warga sekitar menduga,
keluarga orangtua Suroso merupakan salah satu provokator terjadinya kasus Talangsari.

Terjadinya perusakan sekaligus penjarahan terhadap rumah orangtua Suroso, karena
sepengetahuan warga, keluarga Suroso dikenal sebagai mantan anggota parpol terlarang (PKI).
Warga juga menilai, kedekatan keluarga orangtua Suroso dengan Warsidi membuat mereka
memposisikan keluarga orangtua Suroso sebagai musuh bersama. Apalagi, ketika itu, emosi
warga belum sepenuhnya terlampiaskan, sehingga pelampiasan disalurkan kepada keluarga
orangtua Suroso.
Nama dan sosok Suroso yang selama ini tidak dikenal sehubungan dengan kasus Talangsari, tibatiba menyeruak begitu saja berkat peran Jayus yang melibatkannya dalam sebuah aksi bersama
Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Dalam momen ini,
Suroso yang pandai bicara bahkan dinobatkan sebagai juru bicara oleh Jayus. Suroso mau
diperalat Jayus karena diiming-imingi imbalan (materi).
Selain Suroso, yang juga diperalat Jayus adalah Purwoko, kemenakannya sendiri. Ayah Purwoko
bernama Supardi, merupakan salah satu korban tewas pada kasus Talangsari (Februari 1989).
Kepada Radar Solo beberapa tahun lalu, ia pernah mengakui bahwa dirinya masih berusia 11
tahun ketika kasus itu terjadi. Sebenarnya Purwoko merupakan salah seorang yang
memposisikan dirinya sebagai korban (dan keluarga korban) yang menyepakati proses islah yang
digagas Fauzi Isman dan kawan-kawan. Ia ikut islah karena dibawa-bawa oleh Jayus, pamannya.
Belakangan, Jayus pula yang menenteng-nentengnya keluar dari proses islah, dan menjalin
persekongkolan dengan Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus
Talangsari.
Pada tanggal 6 Februari 1989, saat Kapten Soetiman tewas dibacok mbah Marsudi, Purwoko
sedang berada di lokasi Cihideung. Namun pasca tewasnya Kapten Soetiman, Purwoko dibawa
orangtuanya ngungsi ke rumah Jayus, pamannya. Rumah Jayus berdekatan dengan pondok.
Sementara itu, ayah Purwoko, Supardi, tetap siaga menyambut peperangan yang sudah
direncanakan.
Ketika aparat Korem Garuda Hitam menyerbu Cihideng (7 Februari 1989), Purwoko sedang
bersiap-siap untuk shalat Subuh. Ketika itu, Purwoko mendengar bunyi rentetan tembakan
senapan tentara berkumandang dari arah selatan Dusun Talangsari. Warga berhamburan ke luar
rumah untuk melihat apa yang terjadi. Keinhinan serupa juga ada di dalam hati Purwoko, namun
sang ibu (Saudah), menyuruh Purwoko dan kedua adiknya untuk bersembunyi di kolong tempat
tidur.
Saat itu, di rumah Jayus, ada sekitar 13 wanita dan anak-anak (termasuk Purwoko) yang
bersembunyi. Tak berapa lama, Purwoko mendengar suara Muhamad Ali alias Alex yang
berteriak memanggil mereka yang sembunyi agar keluar, karena rumah akan dibakar tentara.
Dalam hitungan menit, Purwoko dan keluarganya keluar dari rumah Jayus. Setelah itu, Purwoko
dan keluarga digiring ke halaman sebuah rumah yang berjarak 100 meter arah timur pondok. Di
tempat itu, telah berkumpul puluhan wanita, anak-anak, serta orang tua.
Karena Jayus merupakan orang penting, maka ia dicari-cari tentara. Ketika itu, tentara menduga
Jayus sudah mati tertembak. Padahal, Jayus bersembunyi di suatu tempat. Karena Purwoko
dianggap dapat mengenali sosok Jayus, tentara pun membawa Purwoko untuk mengenali

sejumlah jasad korban. Namun jasad Jayus tak ditemukan. Purwoko justru menemukan jasad
Supardi, ayah kandungnya.
Tak berapa lama kemudian, karena (jasad) Jayus tidak ditemukan, Purwoko dan keluarga dibawa
ke Markas Komando Resor Militer (Korem) 043 Garuda Hitam. Ternyata, di tempat itu ia
bertemu Jayus, pamannya, yang ternyata masih hidup. Selang sehari kemudian, Purwoko, adikadiknya, dan ibunya dipindahkan ke Panti Jompo dan Anak-Anak Yatim Piatu Lempasing
Padang Cermai. Di tempat itu, ia kembali bertemu dengan teman-teman dan tetangganya yang
sebelumnya ikut digiring ke Makorem Garuda Hitam.
Pada awal 1990, ibunya membawa mereka kembali ke Solo. Di sana, Purwoko dipercaya
merawat rumah kos milik seorang temannya di bilangan Sriwedari, Solo. Sejak 1997, Purwoko
ke Jakarta untuk menyelesaikan sekolah. Informasi terakhir, Purwoko sempat bekerja di toko
besi di daerah Cemani, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kalau Jayus benar-benar mati tertembak peluru tentara pada peristiwa Talangsari waktu itu,
sudah pasti Purwoko tidak akan memainkan peran yang disodorkan Jayus sebagai korban kasus
Talangsari dan tampil di media massa untuk mengajukan tuntutan. Padahal, dulu, Jayus pula
yang membawa-bawanya untuk ikut proses islah.

Fauzi Isman dan Islah
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, ISLAH
sesungguhnya merupakan pilihan yang Islami. Pada mulanya, Riyanto tidak paham mengapa
islah menjadi kontroversi, bahkan ada kesan ditentang oleh orang Islam sendiri. Belakangan,
barulah ia tahu, kontroversi dan kesan penentangan itu bukan karena islah-nya itu sendiri, tetapi
tokoh di balik proses islah itu.
Sebagaimana diketahui kemudian, di dalam proses islah antara mantan jama’ah Warsidi (mantan
napol kasus Talangsari) dengan aparat keamanan (termasuk Hendropriyono), ada peranan Drs.
AMF dan Drs. AYW yang sama sekali tidak terkait kasus Talangsari. Kedua tokoh ini di mata
umat Islam, terutama kalangan pergerakan Islam, dianggap bermasalah. Sehingga, islah yang
bergulir itu dinilai tidak serius sekaligus diduga lebih banyak muatan politis dan ekonomisnya.
Apalagi, dari pihak pelaku kasus Talangsari, yang awal mula terlibat proses islah adalah saudara
Fauzi Isman. Sosok ini terbukti juga bermasalah.
Pada mulanya, gagasan islah sama sekali belum muncul. Hendropriyono dalam kapasitasnya
sebagai tokoh nasional yang kebetulan menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH ketika
itu, berinisiatif menjalin tali silaturahmi dengan para napol kasus Talangsari, korban, dan
keluarganya. Drs. AMF diminta bantuannya sebagai mediator. Belakangan, Drs. AMF mengajak
serta Drs. AYW yang sebelum pecah kongsi merupakan teman baik.
Undangan silaturahmi dari Hendropriyono yang dibawa oleh Drs. AMF kemudian disampaikan
kepada Fauzi Isman. Maka, terjadilah pertemuan (silaturahmi), antara Hendropriyono dengan
sejumlah pelaku kasus Talangsari seperti Fauzi Isman, Sudarsono, Sukardi, Maulana Abd Latif,
dan sebagainya. Pertemuan (silaturahmi) yang berlangsung sekitar awal Mei 1998 itu,

berlangsung di kantor Departemen Transmigrasi dan PPH. Pada kesempatan ini, Drs. AMF
sebagai mediator turut hadir.
Ketika itu, Fauzi Isman memposisikan diri sebagai jurubicara. Salah satu usulannya adalah
meminta bantuan Hendropriyono untuk mengusahakan agar napol kasus Talangsari dibebaskan.
Ketika itu, usulan Fauzi Isman disambut baik oleh Hendropriyono. Namun demi memenuhi rasa
keadilan, maka Hendropriyono kala itu juga berinisiatif untuk mempertemukan antara pelaku
kasus Talangsari, korban kasus Talangsari dan keluarganya di satu pihak dengan para keluarga
korban dari pihak aparat. Dari sinilah muncul gagasan islah yang dicetuskan oleh Fauzi Isman.
Bahkan ketika itu, Drs. AMF selaku mediator juga mengusulkan agar pada pertemuan berikutnya
diundang juga KH Gani Maskur dari Bima (NTB). Usul tersebut disetujui, dan Drs. AMF
dipercaya mengatur kedatangan KH Gani Maskur dan lain-lainnya. Maka, pada bulan Juni 1998,
terjadilah pertemuan antara pelaku Talangsari, korban dan keluarganya baik dari pihak aparat
maupun dari pihak sipil.
Sukardi, yang sudah ikut silaturahmi sejak Mei 1998, belakangan berseberangan, dan bahkan
bergabung dengan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Hal itu bisa terjadi,
karena antara Sukardi dengan Fauzi Isman terjadi perbedaan pendapat. Barulah pada tahun 2002,
Sukardi menyadari kekeliruannya, dan kembali berislah secara pribadi dengan Hendropriyono,
seraya meninggalkan Kontras.
Hendropriyono sebenarnya menaruh kepercayaan yang begitu tinggi terhadap Fauzi Isman,
untuk mengurusi aspek kesejahteraan para jamaah Warsidi. Sayangnya kepercayaan itu
disalahgunakan oleh Fauzi. Ia menfaatkan itu untuk kepentingan pribadinya. Antara lain, Fauzi
merekayasa sebuah proposal yang ditujukannya kepada Hendropriyono, untuk mendapat kucuran
dana mendirikan sebuah perusahaan yang direncanakannya. Proposal itu dipenuhi
Hendropriyono. Dana tiga ratus juta rupiah pun mengalir ke kantong Fauzi Isman. Dana
sebanyak itu bisa mengucur, berkat jaminan sertifikat rumah Hendropriyono.
Namun, setelah dana mengucur dan perusahaan telah berdiri, ternyata Fauzi sama sekali tidak
memperhatikan nasib para jama’ah Warsidi. Beberapa orang jama’ah yang bekerja di perairan
laut Banten pada sebuah perahu pencari ikan tidak menerima gaji sebagaimana kesepakatan
sebelumnya.
Arifin bin Karyam, yang bekerja di perahu ikan, tidak digaji selama tiga bulan oleh Fauzi,
sementara itu Fauzi Isman sulit sekali ditemui. Akhirnya Arifin bin Karyam meninggalkan
pekerjaannya dan kembali ke Brebes, Jawa Tengah meski tidak membawa gaji yang menjadi
haknya.
Bisnis Fauzi Isman di perairan laut Banten yang mempekerjakan beberapa orang jama’ah
Warsidi (termasuk Arifin bin Karyam), mengalami kerugian karena manajemen buruk dan Fauzi
ingkar janji. Fauzi juga dinilai tidak memiliki itikad baik untuk meningkatkan kesejahteraan
jama’ah Warsidi seperti diamanahkan Hendropriyono. Karena tidak mendapat keuntungan dari
perusahaan yang didirikannya itu, Fauzi Isman pun berkelit. Bahkan ia lari dari tanggung-jawab.
Lebih jauh dari itu, Fauzi mengkhianati gerakan islah yang dicetuskannya sendiri. Fauzi

kemudian meminta dukungan Kontras dalam melakukan serangan terhadap Hendropriyono,
dengan alasan mengungkap kasus Talangsari yang dikatakannya sebagai pelanggaran HAM.
Sebelumnya, Fauzi bersama Nur Hidayat mendirikan Koramil (Korban Kekerasan Militer).
Lembaga ini dibentuk lewat sebuah jumpa pers di Kantor LBHI (Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia) di Jakarta. [hudzaifah/wikipedia/dbs/voa-islam.com]
INI BANTAHANNYA:
Berita Terkait Jenderal Jagal

Pelanggar HAM Dukung Jokowi :

Melawan Lupa (1): Kasus Talangsari, Jama'ah Islamiyah dan Komnas HAM 01

Melawan Lupa (2): Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah Talangsari
Melawan Lupa (3): 'Licence To Kill' Muslim Talangsari Lampung 1989
Melawan Lupa (4): 'License To Kill' ABRI Merah & LB Moerdani Cs
Melawan Lupa (5): Peran 'Jenderal Jagal' LB Moerdani Pada Kerusuhan 1998
Melawan Lupa (4): 'License To Kill' ABRI Merah & LB Moerdani Cs - See more at:
http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/09/30835/melawan-lupa-4-license-to-killabri-merah-lb-moerdani-cs/#sthash.aD1LxQs1.dpuf
AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, Lampung
Riyanto 'Talangsari': Komnas HAM & Kontras Lestarikan Citra Buruk Pada Islam
Susilo Bambang Yudhoyono Adalah Penerus LB Moerdani
Jangan remehkan lawan anda karena lawan akan mudah menyerang anda kembali. Begitulah bunyi kata bijak
tentang perlunya mawas diri dan mengetahui lawan anda.
Demikian halnya dengan Presiden SBY, ia tidak selemah yang anda kira. Jika Anda adalah salah satu dari sekian
banyak rakyat Indonesia yang meremehkan SBY dengan segala stigma yang dilekatkan kepadanya di media-media
nasional yang terkait dengan karakter dan kinerjanya selama menjadi presiden, misalnya “Jenderal kok peragu”, atau
“Jenderal belakang meja”, atau “SBY lamban seperti kerbau” atau “Jenderal yang hobi curhat”, dan lain sebagainya.
Dari sisi karakter atau sifat, tampaknya SBY termasuk dalam orang-orang yang bersifat plegmatif yang dari luar
selalu terkesan peragu, pendiam, lamban dan perlu didorong. Akan tetapi karakter pragmatif yang terlalu sering
ditekan dapat membalas dengan lebih keras sekali dia membulatkan tekad bahwa dia telah cukup bersabar dengan
para penganggu. Jadi secara teoritis orang plegmatis hanya tampak lemah di luar tetapi sebenarnya mereka
berkarakter kuat.
Selain itu, kita juga melupakan bahwa SBY memang bukan jenderal yang ahli pertempuran lapangan sehingga tidak
heran secara wibawa dia kalah dan tampak tidak setegas dari purnawirawan jenderal lain, katakanlah Prabowo,
namun demikian jenjang karir SBY sebagai intelejen ABRI (sekarang TNI) justru dapat membuatnya jauh lebih
misterius dibandingkan purnawirawan jenderal lain.

Secara historis, SBY adalah pelaku reformasi bangsa namun kita memang bangsa yang terlalu lelah dan pelupa pada
banyaknya agen spin doctor yang membuat kita lupa dengan kejahatan penguasa negara beserta mafianya.
Faktanya pada akhir 2013 tahun ini rakyat memang benar-benar lupa jasa SBY sebagai lokomotif utama reformasi
yang di akibatkan dengan kasus-kasu yang belakangan mencuat, dari Century, Hambalang, SKK Migas bahkan
penyadapan Ibu Ani SBY.
Ingat, SBY itu intelijen militer yang berperan dalam membangun musuh bersama rakyat dalam melengserkan
Suharto.
Kembali ke peran SBY, berkat operasi intelijen yang dilakukannyalah maka “para pseudo reformis” dapat
menjatuhkan Pak Harto yang saat itu dikawal dua jenderal paling kuat, Wiranto sebagai mantan ajudan dan Prabowo
yang masih menantunya, termasuk dengan penyebaran press release tanpa izin Wiranto bahwa ABRI sudah tidak
mendukung Soeharto. Jadi “Bapak Reformasi” yang sebenarnya adalah SBY dan bukan Amien Rais atau yang lain.
Saat itu dengan hanya bergerak di belakang layar, SBY bukan saja mampu mendorong
jalannya reformasi, akan tetapi juga mengambil kesempatan dari rivalitas antara Wiranto
dan Prabowo untuk kemudian memetik hasilnya sehingga sanggup menjadi presiden
Indonesia sebanyak dua periode dan membangun Dinasti Cikeas.
Dari sisi apapun jelas operasi senyap yang dilakukan intelejen lebih efektif dan efisien daripada operasi terbuka.
Terbukti mayoritas lawan politik SBY hari ini mulai dibungkam melalui serangkaian operasi intelejen senyap yang
mana tanpa mereka duga tiba-tiba mereka ditangkap oleh KPK atau aparat lain.
Bisa di bilang sejauh ini SBY adalah satu-satunya pewaris dinasti intelijen militer Indonesia yang pernah terkenal
dan menjadi momok bagi sebagian rakyat Indonesia mulai dari Zulfikli Lubis, Ali Moertopo, sampai Benny
Moerdani.
dinasti intelijen militer Indonesia yang pernah terkenal dan menjadi momok bagi sebagian rakyat Indonesia mulai
dari Zulfikli Lubis, Ali Moertopo, sampai Benny Moerdani.
Karena itu rakyat agar tetap Waspada!
SBY, demi mengejar kekuasaan pribadi dengan menggadaikan SDA negara untuk kekuasaan dan menikam 3
Presiden sebelumnya, yakni Suharto, Gus Dur dan Megawati.
Karena SBY adalah generasi baru dinasti intelijen militer Indonesia pasca matinya LB. Moerdani.

- See more at: http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2013/12/16/28150/the-godfather-16sby-penerus-lb-moerdani-sumber-masalah-indonesia/#sthash.AfVrt7Uh.dpuf
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998 Mendukung Jokowi

- See more at: http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/06/08/30814/melawan-lupa-2beberapa-nama-saksi-palsu-dan-islah-talangsari/#sthash.3GlZzFdT.xkQmTPJi.dpuf