Pendidikan Islam Inklusif Multikultural studi inklusivitas
AT-TARBAWI
Jurnal Kajian Kependidikan Islam
Vol. 12. No. 2, Mei 2014
ISSN: 1693-4032
Diterbitkan
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
DAFTAR ISI
DEVELOPING HUMAN RESOURCES THROUGH
SCIENCE INTEGRATION BASED EPISTEMOLOGY
IN EDUCATION
Asep Kurniawan ............................................................ 157 - 176
MANAJEMEN MUTU KINERJA DOSEN PADA
PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM
Ara Hidayat................................................................... 177 - 204
KEPRIBADIAN PENDIDIK PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
Baidi ............................................................................. 205 - 220
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN TELADAN
MENURUT PENDIDIKAN ISLAM
Misdar ........................................................................... 221 - 236
PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF-MULTIKULTURAL:
Upaya Memperkokoh Nilai-Nilai Kebhinnekatunggalikaan
Sebagai Dasar Kepribadian Pendidikan Nasional
Andik Wahyun Muqoyyidin ........................................... 237- 254
PENINGKATAN MUTU GURU MADRASAH
IBTIDAIYAH MELALUI PELATIHAN CHARACTER
BUILDING
Khuriyah dan Subar Junanto. ....................................... 255 - 268
iii
KAJIAN KEPENDIDIKAN ISLAM DI PENDIDIKAN
TINGGI KEAGAMAAN ISLAM NEGERI
Toto Suharto dan Suparmin .......................................... 269 - 292
PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM MATERI SHALAT MELALUI
METODE JAS BERDASI
Yan Vita ......................................................................... 293 - 306
iv
PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIFMULTIKULTURAL:
Upaya Memperkokoh Nilai-Nilai Kebhinnekatunggalikaan
Sebagai Dasar Kepribadian Pendidikan Nasional
Oleh: Andik Wahyun Muqoyyidin
(Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang)
Abstract
This paper aims to revitalize the role of inclusive-multicultural
Islamic education in afirming the values of Bhinneka Tunggal
Ika as a personality basis of national education. Supposed to
be aware of it very well that because of wisdom predecessors
founders of the nation choosen Bhinneka Tunggal Ika as a
principle underlying the diversity of national and state, the
ideas of NKRI can be manifested to the next generation
until now. In this context, Islamic education as a sub-system
of national education exposed the problem how it should
develop a insight pattern of inclusive-plural-multicultural
religiousity. To realize this matter, a variety of components
involved in the process of Indonesian education can be
planned in supporting the realization of those ideas.
Keywords: Islamic education, inclusive-multicultural, Bhinneka
Tunggal Ika, national education
A. Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara kebangsaan yang sejak
awal tumbuh bernuansa sangat heterogen, baik etnis maupun
agama. Sebagai titik silang antarbenua dan antarsamudera,
Indonesia menjadi titik temu bagi proses penyerbukan silangbudaya dari pelbagai arus peradaban dunia. Secara historis, hidup
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
237
Andik Wahyun Muqoyyidin
religius dengan kerelaan menerima keragaman semacam ini telah
lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk Nusantara. Latif
(dalam Firdausia 2013: 51) menyebut sejak jaman Majapahit,
doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman ekspresi
keagamaan telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam buku
Sutasoma, yaitu Binneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa,
yang berarti berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang
mendua.
Multikultural adalah kata lain untuk menggambarkan
keberagaman dan kemajemukan. Di sini, multikultural seakan dua
mata pisau, oleh Baidhawy (dalam Supardi, 2013: 376) dijelaskan
satu sisi menjadikan bangsa kita kaya akan khasanah kebudayaan,
tapi di sisi lain, rentan menimbulkan benturan, perselisihan dan
konflik. Diktum Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan bangsa
Indonesia sesungguhnya dapat dijadikan landasan “ideologis”
dan “filosofis” untuk mengembangkan kehidupan multikultural
di negeri ini. Namun, amat disayangkan karena selama ini
semboyan hanya berhenti pada kesadaran kognitif masyarakat
kebanyakan, dan menjadi jargon lip service penguasa belaka, tidak
diimplementasikan secara nyata dan tepat dalam kehidupan sosial
masyarakat (Saefulloh, 2009: 2).
Buktinya, hingga kini masih dapat terus disaksikan, banyak
benturan dan konflik kekerasan, mulai dari antarindividu, antarelit,
antarkelompok, antarkampung hingga antar suku di tanah air yang
disebabkan oleh persoalan tidak adanya pemahaman multikultural
(Zamroni dalam Supardi, 2013: 376). Terutama pasca tumbangnya
rezim Orde Baru, aksi terorisme dan radikalisme Islam kian
merebak di Indonesia. Contoh kasus radikalisme Islam yang terjadi
di Indonesia adalah penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang, Banten serta penyerangan pondok pesantren
yang diduga beraliran Syiah di Pasuruan dan Sampang, Jawa Timur
beberapa waktu lalu.
Banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia menunjukkan
bahwa bangsa ini belum memahami arti keragaman dan perbedaan.
Tidak sedikit di antara manusia yang hendak meniadakan
kebhinekaan (plurality) dan menggantinya dengan ketunggalan
238
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
dan keseragaman (uniformity). Ironisnya, para teroris dan kaum
radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena perintah
agama (Islam) (Muqoyyidin, 2013: 133). Fenomena konflik agama
tersebut selain buah dari hilangnya semangat Binneka Tunggal
Ika, juga merupakan anak biologis dari kecenderungan paradigma
beragama masyarakat yang eksklusif dan superior. Sikap ini jelasjelas menjadi faktor pendorong munculnya konflik yang tidak saja
menodai agama itu sendiri, tetapi juga telah menodai persaudaraan
antar manusia (Firdausia, 2013: 52). Di samping itu, peningkatan
konstelasi kekerasan ini menimbulkan tanda tanya tentang
efektifitas pendidikan selama ini dalam menanamkan budaya
toleransi dan saling menghargai satu sama lain dalam kerangka
Indonesia yang multikultur (Raihani, 2010: 385).
Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama
baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak
eksklusif, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup
agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar
dan mempunyai hak hidup, sementara agama lain salah, tersesat
dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun
minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai
wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam
agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan
pluralis (Nursisto dalam Muliadi, 2012: 56).
Dalam konteks itu, pendidikan agama (Islam) sebagai
sub-sistem pendidikan nasional dan sekaligus media penyadaran
umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan pola
keberagamaan berbasis inklusivisme, pluralis dan multikultural,
sehingga pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat tumbuh
pemahaman keagamaan yang toleran, inklusif dan berwawasan
multikultur (Muqoyyidin, 2013: 140). Hal ini sangat penting
untuk dicarikan jawabannya demi merevitalisasi peran pendidikan
Islam di masa mendatang dalam turut serta memperkokoh nilainilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar kepribadian pendidikan
nasional yang lebih mengedepankan sikap-sikap toleran, inklusif,
humanis dan berwawasan multikultural tersebut.
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
239
Andik Wahyun Muqoyyidin
B. Memahami
Konsepsi
Pendidikan
Islam
InklusifMultikultural
Banks (dalam Ibrahim 2008: 121) mengatakan bahwa
pendidikan multikultural merupakan suatu konsep yang menyatakan
bahwa seluruh peserta didik tanpa memperhatikan dari kelompok
mana mereka berasal, seperti gender, etnik, ras, budaya, kelas sosial,
agama, dan lain-lain diharapkan dapat memperoleh pengalaman
pendidikan yang sama di sekolah atau lembaga pendidikan. Dengan
demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan
dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia dari mana pun datangnya dan apa pun budayanya.
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan nilai-nilai dasar
kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas,
dengan membuka visi cakrawala semakin luas melintasi batas
kelompok etnis, tradisi, budaya dan agama, sehingga mampu
melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki
perbedaan disamping berbagai persamaan (Afif, 2012: 9).
Secara lebih spesifik Yaqin (2005: 5) menjelaskan
bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan
yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara
menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta
didik, seperti perbedaan agama, etnis, bahasa, gender, kelas sosial,
kemampuan dan usia agar proses belajar mengajar menjadi lebih
efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sendiri sejatinya
kompatibel dengan Islam. Tidak sedikit doktrin dan sejarah Islam
yang sarat dengan pendidikan multikultural. Pendidikan Islam
memiliki peran yang strategis dalam mendiseminasikan pendidikan
multikultural (Asroni dan Ma’rifah, 2013: 102).
Basis utama pendidikan Islam berbasis multikulturalisme
dilandaskan pada ajaran Islam. Sebab, dimensi Islam menjadi
dasar pembeda sekaligus titik tekan dari konstruksi pendidikan
multikultural. Naim dan Syauqi (dalam Asroni dan Ma’rifah, 2013:
101) menjelaskan bahwa penggunaan kata pendidikan Islam tidak
bermaksud menegasikan ajaran agama lain atau pendidikan nonIslam. Sebaliknya, untuk meneguhkan bahwa Islam dan pendidikan
Islam sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis
multikultural.
240
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
Kehadiran pendidikan multikultural dalam pendidikan
Islam penting adanya karena praktik pendidikan Islam selama ini
tidak cukup mampu atau gagal dalam menelorkan generasi yang
multikulturalis (Asroni dan Ma’rifah, 2013: 99). Tidak sedikit faktafakta di lapangan yang membuktikan bahwa pendidikan Islam belum
sepenuhnya mampu menghadirkan paradigma inklusif, toleran dan
berwawasan multikultural bagi peserta didik. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)
Jakarta sungguh mengejutkan. Penelitian yang dilakukan antara
Oktober 2010 hingga 2011 terhadap guru Pendidikan Agama Islam
(PAI) dan siswa (SMP dan SMA) di Jabodetabek menunjukkan
bahwa 49% siswa setuju dengan aksi radikalisme demi agama
(Muqoyyidin, 2013: 134). Di beberapa kampus perguruan tinggi
umum, kecenderungan mahasiswa untuk mendukung tindakan
radikalisme juga sangat tinggi. Hal ini terungkap dalam penelitian
tentang Islam Kampus yang melibatkan 2466 sampel mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ketika para
mahasiswa ditanya tentang pelaksanaan amar makruf nahi munkar
dalam bentuk sweeping tempat-tempat yang dianggap sumber
maksiat, mereka menjawab sebagai berikut: sekitar 65% (1594
responden) mendukung dilaksanakannya sweeping kemaksiatan,
18% (446 responden) mendukung sekaligus berpartisipasi aktif
dalam kegiatan sweeping. Sekitar 11% (268 responden) menyatakan
tidak mendukung sweeping, dan sisanya, 6% (158 responden) tidak
memberikan jawabannya. Selanjutnya, mereka yang mendukung
sweeping beralasan bahwa kegiatan sweeping tersebut sebagai
bagian dari perintah agama (88%), mendukung sweeping karena
berpendapat bahwa aparat keamanan tidak mampu menegakkan
hukum (4%), dan karena alasan dekadensi moral (8%) (Fadjar, et.al.
2007, dalam Muqoyyidin, 2013: 134).
Karena itu salah satu tantangan pendidikan Islam
di era multikulturalisme dan pluralisme dewasa ini adalah
ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik untuk
dapat keluar dari eksklusifitas beragama. Menurut Nuryatno
(dalam Muliadi 2012: 62), pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk
memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa
dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain.
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
241
Andik Wahyun Muqoyyidin
Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif
dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan
agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang
bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik
yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogispersuasif, kontekstual, substantif dan aktif sosial.
Maksum (dalam Muliadi 2012: 62) menjelaskan paradigma
keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pendapat dan
pemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan.
Pemahaman keberagamaan yang multikultural berarti menerima
adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai
kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah
mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama,
artinya seorang yang beragama harus dapat mengimplementasikan
nilai-nilai kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli
terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian bagi
seluruh umat manusia.
Paradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog
dan cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan
pemahaman keagamaan dari pada melakukan tindakan-tindakan
fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma
kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami
teks-teks keagamaan. Peradigma keagamaan yang substantif berarti
lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nilai agama daripada
hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan.
Sedangkan paradigma pemahaman keagamaan aktif sosial berarti
agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani
secara pribadi saja. Akan tetapi, yang terpenting adalah membangun
kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi
sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat
manusia.
C. Format Distingtif Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural
Prinsip-prinsip dasar multikulturalisme mengakui dan
menghargai keberagaman kelompok masyarakat seperti etnis,
ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan kepentingan,
keyakinan dan tradisi yang akan sangat membantu bagi
242
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan
ditengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Sarana terbaik dan
strategis yang digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan
konsep multikultural agar melahirkan perilaku sosial kondusif,
”kearifan sosial”, ”kearifan budaya” dan “kearifan moral” adalah
lewat pendidikan formal melalui persekolahan dan menanamkan
“pendidikan multikultural” (Octaviani, 2013: 113).
Dalam konteks ini, terdapat problem serius yang masih
menghinggapi semangat pendidikan agama di Indonesia, dimana
hal tersebut dapat dilihat dari visi, tujuan, kurikulum, guru,
literatur dan penyikapan terhadap kemajemukan yang masih banyak
menyisakan beragam persoalan. Beragam persoalan itu antara lain
misalnya terletak pada masih belum jelasnya epistemologi ilmuilmu agama, materi yang diberikan sangat bernuansa sektarian
dan iqh oriented, kurikulum yang masih tumpang tindih, serta
pola yang masih berkutat pada eksklusivisme, dalam arti bersikap
alergi terhadap kemajemukan paham, apalagi kemajemukan agama
(Susanto, 2006: 784).
Oleh karena itu, perumusan format distingtif pendidikan
Islam inklusif-multikultural merupakan suatu keniscayaan. Untuk
mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang terlibat dalam
proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga
mendukung terwujudnya gagasan tersebut. Dalam hal ini, yang
perlu mendapat perhatian adalah faktor kurikulum, pendidik, dan
strategi pembelajaran yang digunakan pendidik (Muqowim dalam
Muqoyyidin, 2013: 143).
Ma’arif (dalam Ma’rifah, 2012: 246) menyebutkan ada
beberapa hal yang seharusnya direalisasikan untuk mendesain
kurikulum pendidikan Islam berwajah inklusif-multikulturalis
sehingga senantiasa relevan dengan kebutuhan dan dinamika
masyarakat Indonesia yang majemuk. Pertama, mengubah filosofi
kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada
filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap
jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi kurikulum yang
dikembangkan mestilah menekankan pendidikan sebagai upaya
mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik baik
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
243
Andik Wahyun Muqoyyidin
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat bangsa
dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme,
progresivisme, dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan
pengembangan kurikulum. Kedua, teori kurikulum tentang
konten haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten
sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi
kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan
ketrampilan yang harus dimiliki generasi muda. Ketiga, teori belajar
yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan
keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi
hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat
individualistik dan menempatkan peserta didik dalam suatu
kondisi free value, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar
yang menempatkan peserta didik sebagai makhluk sosial, budaya,
politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan
dunia. Keempat, proses belajar yang dikembangkan untuk peserta
didik haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat
isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses
belajar yang mengandalkan peserta didik belajar individualistis
harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok
dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan
cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat dikembangkan
sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa
hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas,
ekonomi, dan aspirasi politik. Kelima, evaluasi yang digunakan
haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik, sesuai dengan tujuan dan content yang dikembangkan.
Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat
tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan.
Kemudian dalam rangka membangun keberagamaan inklusif
di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa
dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat
pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah
dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan
penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan
244
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran,
inklusif pada peserta didik, yaitu: 1) Materi yang berhubungan
dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba
dalam kebaikan (Q.S. al-Baqarah: 148). 2) Materi yang berhubungan
dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat
beragama (Q.S. al-Mumtah}anah: 8-9). 3) Materi yang berhubungan
dengan keadilan dan persamaan (Q.S. an-Nisa>’: 135).
Kedua, materi fikih bisa diperluas dengan kajian fikih
siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung
konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman
Nabi, sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman
Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan
memimpin masyarakat Madinah yang multietnis, multikultur, dan
multiagama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak
jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multietnis,
multikultur, dan multiagama.
Ketiga, materi akhlak yang memfokuskan kajiannya pada
perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri
sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar
kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada
akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa
itu. Dalam al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum
Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar pendidikan
agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama
Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan
metode mengajar yang variatif, tidak monoton, dan yang lebih
penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan.
Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan
realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial
yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat
Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang
dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan
dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleransi (Muliadi dalam
Muqoyyidin, 2013: 145).
Mencetak pendidik yang inklusif-multikulturalis dapat
dilakukan mulai dari sekarang. Dalam perspektif Asroni sebagaimana
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
245
Andik Wahyun Muqoyyidin
dikutip Ma’rifah (2012: 248), ada beberapa cara yang dapat ditempuh
untuk menghasilkan pendidik yang inklusif-multikulturalis.
Pertama, menyelenggarakan berbagai training, workshop, seminar,
dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berwawasan multikultural
kepada para pendidik. Kedua, menyelenggarakan dialog keagamaan
dengan pendidik agama, pemuka, atau umat beragama lainnya.
Dengan demikian, para pendidik agama Islam dan pendidik agama
lainnya dapat berbaur dan mengenal satu sama lain, sehingga pada
gilirannya akan melahirkan sikap apresiatif dan toleran terhadap
agama lain. Ketiga, memperkenalkan bacaan-bacaan atau berbagai
referensi yang bernuansa pendidikan multikultural sejak dini kepada
para pendidik.
Untuk dialog antaragama paling tidak berlangsung dalam
tiga level. Pertama, dialog tingkat wacana, yaitu dialog yang
membahas masalah-masalah teologis yang muncul. Misalnya
konsep Tuhan Allah dengan paham Trinitas Kristen. Kedua,
membagi (sharing) pengalaman spiritual, misalnya sama-sama
puasa untuk menghayati kehidupan orang miskin. Ketiga, dialog
dalam level aksi, yaitu para peserta dialog tanpa membeda-bedakan
agamanya sama-sama menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat. Harus digarisbawahi bahwa muara dialog
adalah memberi kesadaran secara teologis bahwa perbedaan itu
bukan buatan manusia tapi desain Tuhan. Oleh karena itu, saling
menghargai dalam perbedaan sangat diperlukan. Bertolak dari
pandangan inklusif-pluralis ini, para pemeluk agama yang berbeda
dapat menjalin kerja sama (Muqoyyidin, 2013: 57).
Guru dan sekolah memegang peranan penting dalam
mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif
dan moderat di sekolah. Apabila guru mempunyai paradigma
pemahaman keberagamaan yang inklusif dan moderat, maka dia
juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilainilai keberagamaan tersebut pada siswa di sekolah (Zainiyati dalam
Muqoyyidin, 2013: 146). Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama,
seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam
sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen
seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadiankejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya,
246
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan
multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap
peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan
bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, maka pemboman, invasi
militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang
oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman
tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya,
etnis, dan agama (aliran), misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran
Jamaah Ahmadiyah di Lombok-NTB dan kekerasan pada jamaah
Syiah di Sampang Madura baru-baru ini tidak perlu terjadi, jika
wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen
masyarakat termasuk peserta didik (Muqoyyidin, 2013: 146).
Pendidik agama Islam tidak boleh terpaku pada satu
metode saja, namun harus dapat mengelaborasi berbagai metode
seperti ceramah, diskusi, ield trip atau studi banding, dan lainlain. Peserta didik misalnya dapat diajak mengunjungi rumah
ibadah dan berdialog dengan pengurus rumah ibadah atau jemaat.
Pendidik (dan lembaga pendidikan) juga dapat mengagendakan
untuk mengundang seorang atau kelompok minoritas agama untuk
memberikan ceramah dan berdiskusi dengan peserta didik. Dengan
begitu, peserta didik mendengar, berdiskusi, dan sharing pengalaman
tentang apa saja yang mereka rasakan selama ini sebagai kaum
minoritas. Pasca mendengar testimoni kaum minoritas, dalam
diri peserta didik diharapkan tumbuh sikap apresiatif dan empatik
terhadap kaum minoritas, sehingga mereka dapat menerima serta
menempatkan kaum minoritas secara terhormat dan sederajat
seperti halnya kelompok masyarakat yang lain (Ma’rifah, 2012,
dalam Muqoyyidin, 2013: 147).
C. Peran Signifikan Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural
dalam Pendidikan Nasional
Di Indonesia, sejauh ini kesadaran dan gerakan terhadap
multikulturalisme dan pendidikan multikultural diakui sudah mulai
berkembang, namun itu cenderung masih sebatas wacana dan hanya
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
247
Andik Wahyun Muqoyyidin
sebagai jargon politik, dan belum menjadi kebijakan pendidikan
nasional yang terimplementasikan secara sistematik dan konsisten.
Melihat realitas tersebut, upaya pembangunan sistem pendidikan
nasional sudah saatnya digagas dalam kerangka kepentingan
pengembangan multikulturalisme dan peradaban umat manusia
dalam semangat persaudaraan, kesetaraan, persatuan dan kesatuan
atau “keikaan” di dalam “kebhinekaan”, untuk mengantisipasi
kuatnya tekanan arus globalisasi di satu sisi dan bangkitnya
kesadaran identitas etnik partikularistik di sisi lain (Octaviani,
2013: 115).
Mengingat sangat signifikannya pendidikan multikultural
bagi kehidupan bangsa, menurut Asroni dan Ma’rifah (2013: 99)
sudah semestinya para pemangku kepentingan (stakeholders)
terutama institusi pengambil kebijakan pendidikan di
negeri ini, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dan Kementerian Agama memasukkan mata pelajaran/
kuliah pendidikan multikultural ke dalam sistem pendidikan
nasional. Pendidikan Islam sebagai bagian integral dari
pendidikan nasional semestinya dapat mengambil peran untuk
memperkenalkan pendidikan inklusif-multikultural. Dalam
konteks ini, Kementerian Agama misalnya dapat memasukkan
mata pelajaran/mata kuliah tersebut dalam kurikulum pendidikan
Islam. Kalaupun tidak menjadi mata pelajaran/mata kuliah
tersendiri, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam
mata pelajaran/kuliah lain.
Setidaknya paradigma pendidikan multikultural yang
dimiliki Islam dapat diaplikasikan dan berkesesuaian dengan
prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana
termaktub dalam Bab III pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional; terutama pada ayat (1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa;
ayat (2) pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; dan ayat (6)
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
248
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan
dan pengendalian mutu layanan pendidikan (Muri’ah, 2011: 9).
Dengan melihat bentuk-bentuk pendidikan agama
sebagaimana disebutkan dalam PP No. 55 tahun 2007, maka posisi
pendidikan agama sangat kuat dalam pendidikan nasional. Kuatnya
pendidikan agama dan keagamaan yang diintegrasikan ke dalam
pendidikan nasional ini, oleh wacana dominan dianggap sebagai
suatu yang baik bagi kemajuan bangsa, untuk membentuk manusiamanusia Indonesia yang religius, dengan dibuktikan terwujudnya
UU Sisdiknas dan keluarnya PP No. 55 tahun 2007 yang memang
menganggap pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan
nasional. Akan tetapi, apakah pendidikan agama bisa diandalkan
untuk memajukan bangsa, memperkokoh kebangsaan Indonesia,
dan ikut terlibat dalam mengatasi problem-problem kebangsaan
dalam konteks pendidikan, termasuk kekerasan berbasis agama,
masih terus aktual dan bergulir, karena ia masih berlangsung, di
tengah posisi dan madzhab pendidikan agama itu sendiri (Ridwan,
2013: 184).
Pengintegrasian nilai-nilai dan kurikulum pendidikan
multikultural dalam sistem pendidikan nasional memiliki urgensi
dan signifikansi besar bagi pengembangan keharmonisan dan
pemeliharaan semangat Bhineka Tunggal Ika. Penelitian Muslimah
(dalam Rahim, 2012: 176) menunjukkan urgensi pengintegrasian
nilai-nilai pendidikan multikultural dalam teks mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam, yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan
konflik, supaya siswa tidak tercerabut dari akar budaya, upaya
untuk membangun sikap sensitif gender, membangun sikap anti
diskriminasi etnis di sekolah, membangun sikap toleransi terhadap
keberagaman inklusif, dan sebagai upaya minimalisasi konflik
kepentingan.
Oleh karena itu, agenda merekonstruksi Pendidikan Agama
Islam untuk melahirkan peserta didik yang toleran, moderat, dan
inklusif menjadi penting dan urgen untuk dilakukan. Menurut
Ma’rifah (2012: 242), kurikulum PAI harus diarahkan pada
pembentukan karakter peserta didik yang pluralis-multikulturalis.
Kurikulum PAI mestinya mencakup subjek seperti: toleransi,
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
249
Andik Wahyun Muqoyyidin
keragaman, bahaya diskriminasi, HAM, demokrasi, dan subjeksubjek lain yang relevan. Bentuk kurikulum PAI hendaknya tidak
lagi ditujukan pada peserta didik secara individu menurut agama
yang dianutnya, tetapi ditujukan pada peserta didik secara kolektif
berdasarkan pada keragaman agama peserta didik. Sementara pada
level pendidik, pendidik (guru dan dosen PAI) harus memiliki
pengetahuan dan kesadaran multikultural. Dengan begitu, proses
pembelajaran PAI yang inklusif akan berjalan dengan baik dan
efektif. Materi PAI pun harus menekankan proses edukasi sosial,
sehingga pada diri peserta didik tertanam sikap saling menghargai.
Para pendidik PAI dituntut pula sekreatif mungkin untuk mendesain
serta menggunakan metode dan media pembelajaran yang tepat,
sehingga dapat memotivasi anak didiknya untuk mengaktualisasikan
nilai-nilai toleransi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya,
evaluasi pembelajaran PAI tidak boleh hanya didasarkan pada
kemampuan kognitif dan psikomotorik saja, namun juga harus
mencakup kemampuan afektif peserta didik. Standar penilaian yang
digunakan bukan hanya didasarkan pada angka-angka, namun yang
terpenting adalah sikap dan kesadaran peserta didik akan ajaran
agamanya, termasuk dalam hal menghargai pemeluk agama lain.
Kemudian agar berjalan dengan efektif, pelaksanaan
pendidikan Islam inklusif-multikultural harus memperhatikan
model pendidikan yang dibutuhkan dalam transformasi pendidikan
nasional di Indonesia, sebagaimana yang digarisbawahi oleh
Tilaar (2002: 185-190) yaitu sebagai berikut: Pertama, “Right to
Culture” dan identitas budaya lokal. Pendidikan multikultural di
Indonesia haruslah diarahkan kepada terwujudnya masyarakat
madani (civil society) di tengah-tengah kekuatan kebudayaan
global. Kedua, kebudayaan Indonesia-yang-menjadi, artinya
kebudayaan Indonesia merupakan Weltanschauung yang terus
berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan
mikro. Sebagai suatu Weltanschauung, hal tersebut merupakan
suatu sistem nilai yang baru (value system). Sebagai suatu value
system yang baru memerlukan suatu proses perwujudannya antara
lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu di
tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, perlu ditekankan
250
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
sistem nilai baru yang akan kita wujudkan, yaitu sistem nilai
keindonesiaan. Ketiga, konsep pendidikan multikultural normatif
yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang
terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal
yang ada. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu
rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh
terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik
etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural
di Indonesia memerlukan pedagogik baru. Karena pedagogik
tradisional membatasi proses pendidikan di dalam ruang sekolah
yang sarat dengan pendidikan intelektualistik, maka perlu
pedagogik baru yaitu pedagogik pemberdayaan (pedagogy of
empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang
beragam (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertamatama berarti, seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan
selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia
di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut
diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar-individu, antar
suku, antar agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam,
pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia
masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan
untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat
Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosialbudaya yang plural. Dalam TAP/MPR RI Tahun 2001 No. VI dan
VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan
berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam
mengembangkan konsep pendidikan multikultural. Dalam kaitan
ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan
budi pekerti terutama di tingkat pendidikan dasar, melengkapi
pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU. No. 20 Tahun
2003.
E. Kesimpulan
Revitalisasi peran pendidikan Islam inklusif-multikultural
dalam memperkokoh nilai-nilai ke-bhinneka tunggal ika-an sebagai
dasar kepribadian pendidikan nasional yang lebih mengedepankan
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
251
Andik Wahyun Muqoyyidin
sikap-sikap toleran, inklusif, humanis dan berwawasan pluralismultikultural menjadi agenda penting dan mendesak untuk
dilakukan. Oleh karena itu, perumusan format distingtif pendidikan
Islam inklusif-multikultural merupakan suatu keniscayaan. Untuk
mendukung terwujudnya gagasan tersebut, berbagai komponen
yang terlibat dalam proses pendidikan seperti faktor kurikulum,
pendidik, dan strategi pembelajaran yang digunakan pendidik
perlu direorientasikan sedemikian rupa dari visi pendidikan Islam
berbasis eksklusif-monolitis ke arah penguatan visi inklusifmultikulturalis.
252
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Ahmad, 2006. “Model Pengembangan Pendidikan Islam
Berbasis Multikultural”, Tadris: Jurnal Pendidikan Islam,
Vol. 7, No. 1, hlm. 9.
Asroni, Ahmad dan Ma’rifah, Indriyani, 2013. “Model Pendidikan
Multikultural dalam Pendidikan Islam”, Mukaddimah:
Jurnal Studi Islam, Vol. 19, No. 1, hlm. 99-102.
Baidhawy, Zakiyudin. 2005. Pendidikan Berwawasan Multikultural.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Fadjar, Abdullah et.al. 2007. Laporan Penelitian Islam Kampus.
Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Firdausia, Nury, 2013. “Al Quran Menjawab Tantangan Pluralisme
terhadap Kerukunan Umat Beragama”, Ulul Albab: Jurnal
Studi Islam, Vol. 14, No. 1, hlm. 51-52.
Ibrahim, Ruslan, 2008. “Pendidikan Multikultural: Upaya
Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama”, ElTarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, hlm. 121.
Ma’rifah, Indriyani. 2012. “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam:
Sebuah Upaya Membangun Kesadaran Multikultural untuk
Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam”, Conference
Proceedings pada Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS) XII IAIN Sunan Ampel Surabaya,
5-8 November 2012.
Muliadi, Erlan, 2012. “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam Berbasis Multikultural di Sekolah”, Jurnal Pendidikan
Islam, Vol. I, No. 1, hlm. 56-62.
Muqowim, 2004. “Mencari Pola Pendidikan Agama dalam Perspektif
Multikultural”, MDC Jatim, Vol. I, No. 3, hlm. 8.
Muqoyyidin, Andik Wahyun, 2013. “Membangun Kesadaran InklusifMultikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam”, Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, hlm. 133-147.
--------. 2013. “Signifikansi Dialog Pengembangan Wawasan
Multikultural dalam Mengakomodir Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan di Indonesia”, Jurnal Keadilan Sosial,
Edisi III, hlm. 57.
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
253
Andik Wahyun Muqoyyidin
Muri’ah, Siti, 2011. “Pendidikan Agama Islam dan Multikulturalisme;
(Sumbangsih Agama Islam dalam Membingkai NKRI)”,
Jurnal Ilmiah Manahij, Vol. IV, No. 1, hlm. 9.
Octaviani, Laila, 2013. “Pandatara dan Jarlatsuh: Model Pendidikan
Multikultural di SMA Taruna Nusantara Magelang”,
Komunitas: Research and Learning in Sociology and
Anthropology, Vol. 5, No. 1, hlm. 113-115.
Rahim, Rahmawaty, 2012. “Signifikansi Pendidikan Multikultural
terhadap Kelompok Minoritas”, Analisis: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. XII, No. 1, hlm. 176.
Raihani. 2010. “Islam dan Kemajemukan Indonesia: Studi Kasus
Pesantren dan Pendidikan Multikultural”, Conference
Proceedings pada Annual Conference on Islamic Studies
(ACIS) Ke-10 Banjarmasin, 1-4 November 2010.
Ridwan, Nur Khalik, 2013. “Pancasila dan Deradikalisasi Berbasis
Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, hlm. 184.
Rokhmad, Abu, 2012. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi
Paham Radikal”, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, Vol. 20, No. 1, hlm. 81.
Saefulloh, Aris, 2009. “Membaca ‘Paradigma’ Pendidikan dalam
Bingkai Multikulturalisme”, Insania: Jurnal Pemikiran
Alternatif Kependidikan, Vol. 14, No. 3, hlm. 2.
Supardi, 2013. “Pendidikan Islam Multikultural dan Deradikalisasi
di Kalangan Mahasiswa”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman,
Vol. XIII, No. 2, hlm. 376.
Susanto, Edi, 2006. “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural
(Upaya Strategis Menghindari Radikalisme)”, Karsa: Jurnal
Sosial & Budaya Keislaman, Vol. IX, No. 1, hlm. 784-785.
Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan
Nasional. Jakarta: Grasindo.
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Under Standing untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta:
Pilar Media.
Zainiyati, Husniyatus Salamah, 2007. “Pendidikan Multikultural:
Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah”,
Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. I, No. 2, hlm. 141.
254
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Jurnal Kajian Kependidikan Islam
Vol. 12. No. 2, Mei 2014
ISSN: 1693-4032
Diterbitkan
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
DAFTAR ISI
DEVELOPING HUMAN RESOURCES THROUGH
SCIENCE INTEGRATION BASED EPISTEMOLOGY
IN EDUCATION
Asep Kurniawan ............................................................ 157 - 176
MANAJEMEN MUTU KINERJA DOSEN PADA
PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM
Ara Hidayat................................................................... 177 - 204
KEPRIBADIAN PENDIDIK PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
Baidi ............................................................................. 205 - 220
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN TELADAN
MENURUT PENDIDIKAN ISLAM
Misdar ........................................................................... 221 - 236
PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF-MULTIKULTURAL:
Upaya Memperkokoh Nilai-Nilai Kebhinnekatunggalikaan
Sebagai Dasar Kepribadian Pendidikan Nasional
Andik Wahyun Muqoyyidin ........................................... 237- 254
PENINGKATAN MUTU GURU MADRASAH
IBTIDAIYAH MELALUI PELATIHAN CHARACTER
BUILDING
Khuriyah dan Subar Junanto. ....................................... 255 - 268
iii
KAJIAN KEPENDIDIKAN ISLAM DI PENDIDIKAN
TINGGI KEAGAMAAN ISLAM NEGERI
Toto Suharto dan Suparmin .......................................... 269 - 292
PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM MATERI SHALAT MELALUI
METODE JAS BERDASI
Yan Vita ......................................................................... 293 - 306
iv
PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIFMULTIKULTURAL:
Upaya Memperkokoh Nilai-Nilai Kebhinnekatunggalikaan
Sebagai Dasar Kepribadian Pendidikan Nasional
Oleh: Andik Wahyun Muqoyyidin
(Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang)
Abstract
This paper aims to revitalize the role of inclusive-multicultural
Islamic education in afirming the values of Bhinneka Tunggal
Ika as a personality basis of national education. Supposed to
be aware of it very well that because of wisdom predecessors
founders of the nation choosen Bhinneka Tunggal Ika as a
principle underlying the diversity of national and state, the
ideas of NKRI can be manifested to the next generation
until now. In this context, Islamic education as a sub-system
of national education exposed the problem how it should
develop a insight pattern of inclusive-plural-multicultural
religiousity. To realize this matter, a variety of components
involved in the process of Indonesian education can be
planned in supporting the realization of those ideas.
Keywords: Islamic education, inclusive-multicultural, Bhinneka
Tunggal Ika, national education
A. Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara kebangsaan yang sejak
awal tumbuh bernuansa sangat heterogen, baik etnis maupun
agama. Sebagai titik silang antarbenua dan antarsamudera,
Indonesia menjadi titik temu bagi proses penyerbukan silangbudaya dari pelbagai arus peradaban dunia. Secara historis, hidup
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
237
Andik Wahyun Muqoyyidin
religius dengan kerelaan menerima keragaman semacam ini telah
lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk Nusantara. Latif
(dalam Firdausia 2013: 51) menyebut sejak jaman Majapahit,
doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman ekspresi
keagamaan telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam buku
Sutasoma, yaitu Binneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa,
yang berarti berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang
mendua.
Multikultural adalah kata lain untuk menggambarkan
keberagaman dan kemajemukan. Di sini, multikultural seakan dua
mata pisau, oleh Baidhawy (dalam Supardi, 2013: 376) dijelaskan
satu sisi menjadikan bangsa kita kaya akan khasanah kebudayaan,
tapi di sisi lain, rentan menimbulkan benturan, perselisihan dan
konflik. Diktum Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan bangsa
Indonesia sesungguhnya dapat dijadikan landasan “ideologis”
dan “filosofis” untuk mengembangkan kehidupan multikultural
di negeri ini. Namun, amat disayangkan karena selama ini
semboyan hanya berhenti pada kesadaran kognitif masyarakat
kebanyakan, dan menjadi jargon lip service penguasa belaka, tidak
diimplementasikan secara nyata dan tepat dalam kehidupan sosial
masyarakat (Saefulloh, 2009: 2).
Buktinya, hingga kini masih dapat terus disaksikan, banyak
benturan dan konflik kekerasan, mulai dari antarindividu, antarelit,
antarkelompok, antarkampung hingga antar suku di tanah air yang
disebabkan oleh persoalan tidak adanya pemahaman multikultural
(Zamroni dalam Supardi, 2013: 376). Terutama pasca tumbangnya
rezim Orde Baru, aksi terorisme dan radikalisme Islam kian
merebak di Indonesia. Contoh kasus radikalisme Islam yang terjadi
di Indonesia adalah penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang, Banten serta penyerangan pondok pesantren
yang diduga beraliran Syiah di Pasuruan dan Sampang, Jawa Timur
beberapa waktu lalu.
Banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia menunjukkan
bahwa bangsa ini belum memahami arti keragaman dan perbedaan.
Tidak sedikit di antara manusia yang hendak meniadakan
kebhinekaan (plurality) dan menggantinya dengan ketunggalan
238
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
dan keseragaman (uniformity). Ironisnya, para teroris dan kaum
radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena perintah
agama (Islam) (Muqoyyidin, 2013: 133). Fenomena konflik agama
tersebut selain buah dari hilangnya semangat Binneka Tunggal
Ika, juga merupakan anak biologis dari kecenderungan paradigma
beragama masyarakat yang eksklusif dan superior. Sikap ini jelasjelas menjadi faktor pendorong munculnya konflik yang tidak saja
menodai agama itu sendiri, tetapi juga telah menodai persaudaraan
antar manusia (Firdausia, 2013: 52). Di samping itu, peningkatan
konstelasi kekerasan ini menimbulkan tanda tanya tentang
efektifitas pendidikan selama ini dalam menanamkan budaya
toleransi dan saling menghargai satu sama lain dalam kerangka
Indonesia yang multikultur (Raihani, 2010: 385).
Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama
baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak
eksklusif, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup
agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar
dan mempunyai hak hidup, sementara agama lain salah, tersesat
dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun
minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai
wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam
agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan
pluralis (Nursisto dalam Muliadi, 2012: 56).
Dalam konteks itu, pendidikan agama (Islam) sebagai
sub-sistem pendidikan nasional dan sekaligus media penyadaran
umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan pola
keberagamaan berbasis inklusivisme, pluralis dan multikultural,
sehingga pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat tumbuh
pemahaman keagamaan yang toleran, inklusif dan berwawasan
multikultur (Muqoyyidin, 2013: 140). Hal ini sangat penting
untuk dicarikan jawabannya demi merevitalisasi peran pendidikan
Islam di masa mendatang dalam turut serta memperkokoh nilainilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar kepribadian pendidikan
nasional yang lebih mengedepankan sikap-sikap toleran, inklusif,
humanis dan berwawasan multikultural tersebut.
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
239
Andik Wahyun Muqoyyidin
B. Memahami
Konsepsi
Pendidikan
Islam
InklusifMultikultural
Banks (dalam Ibrahim 2008: 121) mengatakan bahwa
pendidikan multikultural merupakan suatu konsep yang menyatakan
bahwa seluruh peserta didik tanpa memperhatikan dari kelompok
mana mereka berasal, seperti gender, etnik, ras, budaya, kelas sosial,
agama, dan lain-lain diharapkan dapat memperoleh pengalaman
pendidikan yang sama di sekolah atau lembaga pendidikan. Dengan
demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan
dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia dari mana pun datangnya dan apa pun budayanya.
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan nilai-nilai dasar
kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas,
dengan membuka visi cakrawala semakin luas melintasi batas
kelompok etnis, tradisi, budaya dan agama, sehingga mampu
melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki
perbedaan disamping berbagai persamaan (Afif, 2012: 9).
Secara lebih spesifik Yaqin (2005: 5) menjelaskan
bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan
yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara
menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta
didik, seperti perbedaan agama, etnis, bahasa, gender, kelas sosial,
kemampuan dan usia agar proses belajar mengajar menjadi lebih
efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sendiri sejatinya
kompatibel dengan Islam. Tidak sedikit doktrin dan sejarah Islam
yang sarat dengan pendidikan multikultural. Pendidikan Islam
memiliki peran yang strategis dalam mendiseminasikan pendidikan
multikultural (Asroni dan Ma’rifah, 2013: 102).
Basis utama pendidikan Islam berbasis multikulturalisme
dilandaskan pada ajaran Islam. Sebab, dimensi Islam menjadi
dasar pembeda sekaligus titik tekan dari konstruksi pendidikan
multikultural. Naim dan Syauqi (dalam Asroni dan Ma’rifah, 2013:
101) menjelaskan bahwa penggunaan kata pendidikan Islam tidak
bermaksud menegasikan ajaran agama lain atau pendidikan nonIslam. Sebaliknya, untuk meneguhkan bahwa Islam dan pendidikan
Islam sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis
multikultural.
240
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
Kehadiran pendidikan multikultural dalam pendidikan
Islam penting adanya karena praktik pendidikan Islam selama ini
tidak cukup mampu atau gagal dalam menelorkan generasi yang
multikulturalis (Asroni dan Ma’rifah, 2013: 99). Tidak sedikit faktafakta di lapangan yang membuktikan bahwa pendidikan Islam belum
sepenuhnya mampu menghadirkan paradigma inklusif, toleran dan
berwawasan multikultural bagi peserta didik. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)
Jakarta sungguh mengejutkan. Penelitian yang dilakukan antara
Oktober 2010 hingga 2011 terhadap guru Pendidikan Agama Islam
(PAI) dan siswa (SMP dan SMA) di Jabodetabek menunjukkan
bahwa 49% siswa setuju dengan aksi radikalisme demi agama
(Muqoyyidin, 2013: 134). Di beberapa kampus perguruan tinggi
umum, kecenderungan mahasiswa untuk mendukung tindakan
radikalisme juga sangat tinggi. Hal ini terungkap dalam penelitian
tentang Islam Kampus yang melibatkan 2466 sampel mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ketika para
mahasiswa ditanya tentang pelaksanaan amar makruf nahi munkar
dalam bentuk sweeping tempat-tempat yang dianggap sumber
maksiat, mereka menjawab sebagai berikut: sekitar 65% (1594
responden) mendukung dilaksanakannya sweeping kemaksiatan,
18% (446 responden) mendukung sekaligus berpartisipasi aktif
dalam kegiatan sweeping. Sekitar 11% (268 responden) menyatakan
tidak mendukung sweeping, dan sisanya, 6% (158 responden) tidak
memberikan jawabannya. Selanjutnya, mereka yang mendukung
sweeping beralasan bahwa kegiatan sweeping tersebut sebagai
bagian dari perintah agama (88%), mendukung sweeping karena
berpendapat bahwa aparat keamanan tidak mampu menegakkan
hukum (4%), dan karena alasan dekadensi moral (8%) (Fadjar, et.al.
2007, dalam Muqoyyidin, 2013: 134).
Karena itu salah satu tantangan pendidikan Islam
di era multikulturalisme dan pluralisme dewasa ini adalah
ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik untuk
dapat keluar dari eksklusifitas beragama. Menurut Nuryatno
(dalam Muliadi 2012: 62), pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk
memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa
dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain.
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
241
Andik Wahyun Muqoyyidin
Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif
dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan
agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang
bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik
yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogispersuasif, kontekstual, substantif dan aktif sosial.
Maksum (dalam Muliadi 2012: 62) menjelaskan paradigma
keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pendapat dan
pemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan.
Pemahaman keberagamaan yang multikultural berarti menerima
adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai
kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah
mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama,
artinya seorang yang beragama harus dapat mengimplementasikan
nilai-nilai kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli
terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian bagi
seluruh umat manusia.
Paradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog
dan cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan
pemahaman keagamaan dari pada melakukan tindakan-tindakan
fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma
kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami
teks-teks keagamaan. Peradigma keagamaan yang substantif berarti
lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nilai agama daripada
hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan.
Sedangkan paradigma pemahaman keagamaan aktif sosial berarti
agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani
secara pribadi saja. Akan tetapi, yang terpenting adalah membangun
kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi
sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat
manusia.
C. Format Distingtif Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural
Prinsip-prinsip dasar multikulturalisme mengakui dan
menghargai keberagaman kelompok masyarakat seperti etnis,
ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan kepentingan,
keyakinan dan tradisi yang akan sangat membantu bagi
242
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan
ditengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Sarana terbaik dan
strategis yang digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan
konsep multikultural agar melahirkan perilaku sosial kondusif,
”kearifan sosial”, ”kearifan budaya” dan “kearifan moral” adalah
lewat pendidikan formal melalui persekolahan dan menanamkan
“pendidikan multikultural” (Octaviani, 2013: 113).
Dalam konteks ini, terdapat problem serius yang masih
menghinggapi semangat pendidikan agama di Indonesia, dimana
hal tersebut dapat dilihat dari visi, tujuan, kurikulum, guru,
literatur dan penyikapan terhadap kemajemukan yang masih banyak
menyisakan beragam persoalan. Beragam persoalan itu antara lain
misalnya terletak pada masih belum jelasnya epistemologi ilmuilmu agama, materi yang diberikan sangat bernuansa sektarian
dan iqh oriented, kurikulum yang masih tumpang tindih, serta
pola yang masih berkutat pada eksklusivisme, dalam arti bersikap
alergi terhadap kemajemukan paham, apalagi kemajemukan agama
(Susanto, 2006: 784).
Oleh karena itu, perumusan format distingtif pendidikan
Islam inklusif-multikultural merupakan suatu keniscayaan. Untuk
mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang terlibat dalam
proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga
mendukung terwujudnya gagasan tersebut. Dalam hal ini, yang
perlu mendapat perhatian adalah faktor kurikulum, pendidik, dan
strategi pembelajaran yang digunakan pendidik (Muqowim dalam
Muqoyyidin, 2013: 143).
Ma’arif (dalam Ma’rifah, 2012: 246) menyebutkan ada
beberapa hal yang seharusnya direalisasikan untuk mendesain
kurikulum pendidikan Islam berwajah inklusif-multikulturalis
sehingga senantiasa relevan dengan kebutuhan dan dinamika
masyarakat Indonesia yang majemuk. Pertama, mengubah filosofi
kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada
filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap
jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi kurikulum yang
dikembangkan mestilah menekankan pendidikan sebagai upaya
mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik baik
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
243
Andik Wahyun Muqoyyidin
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat bangsa
dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme,
progresivisme, dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan
pengembangan kurikulum. Kedua, teori kurikulum tentang
konten haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten
sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi
kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan
ketrampilan yang harus dimiliki generasi muda. Ketiga, teori belajar
yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan
keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi
hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat
individualistik dan menempatkan peserta didik dalam suatu
kondisi free value, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar
yang menempatkan peserta didik sebagai makhluk sosial, budaya,
politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan
dunia. Keempat, proses belajar yang dikembangkan untuk peserta
didik haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat
isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses
belajar yang mengandalkan peserta didik belajar individualistis
harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok
dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan
cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat dikembangkan
sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa
hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas,
ekonomi, dan aspirasi politik. Kelima, evaluasi yang digunakan
haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik, sesuai dengan tujuan dan content yang dikembangkan.
Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat
tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan.
Kemudian dalam rangka membangun keberagamaan inklusif
di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa
dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat
pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah
dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan
penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan
244
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran,
inklusif pada peserta didik, yaitu: 1) Materi yang berhubungan
dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba
dalam kebaikan (Q.S. al-Baqarah: 148). 2) Materi yang berhubungan
dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat
beragama (Q.S. al-Mumtah}anah: 8-9). 3) Materi yang berhubungan
dengan keadilan dan persamaan (Q.S. an-Nisa>’: 135).
Kedua, materi fikih bisa diperluas dengan kajian fikih
siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung
konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman
Nabi, sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman
Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan
memimpin masyarakat Madinah yang multietnis, multikultur, dan
multiagama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak
jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multietnis,
multikultur, dan multiagama.
Ketiga, materi akhlak yang memfokuskan kajiannya pada
perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri
sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar
kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada
akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa
itu. Dalam al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum
Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar pendidikan
agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama
Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan
metode mengajar yang variatif, tidak monoton, dan yang lebih
penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan.
Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan
realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial
yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat
Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang
dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan
dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleransi (Muliadi dalam
Muqoyyidin, 2013: 145).
Mencetak pendidik yang inklusif-multikulturalis dapat
dilakukan mulai dari sekarang. Dalam perspektif Asroni sebagaimana
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
245
Andik Wahyun Muqoyyidin
dikutip Ma’rifah (2012: 248), ada beberapa cara yang dapat ditempuh
untuk menghasilkan pendidik yang inklusif-multikulturalis.
Pertama, menyelenggarakan berbagai training, workshop, seminar,
dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berwawasan multikultural
kepada para pendidik. Kedua, menyelenggarakan dialog keagamaan
dengan pendidik agama, pemuka, atau umat beragama lainnya.
Dengan demikian, para pendidik agama Islam dan pendidik agama
lainnya dapat berbaur dan mengenal satu sama lain, sehingga pada
gilirannya akan melahirkan sikap apresiatif dan toleran terhadap
agama lain. Ketiga, memperkenalkan bacaan-bacaan atau berbagai
referensi yang bernuansa pendidikan multikultural sejak dini kepada
para pendidik.
Untuk dialog antaragama paling tidak berlangsung dalam
tiga level. Pertama, dialog tingkat wacana, yaitu dialog yang
membahas masalah-masalah teologis yang muncul. Misalnya
konsep Tuhan Allah dengan paham Trinitas Kristen. Kedua,
membagi (sharing) pengalaman spiritual, misalnya sama-sama
puasa untuk menghayati kehidupan orang miskin. Ketiga, dialog
dalam level aksi, yaitu para peserta dialog tanpa membeda-bedakan
agamanya sama-sama menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat. Harus digarisbawahi bahwa muara dialog
adalah memberi kesadaran secara teologis bahwa perbedaan itu
bukan buatan manusia tapi desain Tuhan. Oleh karena itu, saling
menghargai dalam perbedaan sangat diperlukan. Bertolak dari
pandangan inklusif-pluralis ini, para pemeluk agama yang berbeda
dapat menjalin kerja sama (Muqoyyidin, 2013: 57).
Guru dan sekolah memegang peranan penting dalam
mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif
dan moderat di sekolah. Apabila guru mempunyai paradigma
pemahaman keberagamaan yang inklusif dan moderat, maka dia
juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilainilai keberagamaan tersebut pada siswa di sekolah (Zainiyati dalam
Muqoyyidin, 2013: 146). Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama,
seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam
sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen
seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadiankejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya,
246
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan
multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap
peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan
bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, maka pemboman, invasi
militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang
oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman
tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya,
etnis, dan agama (aliran), misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran
Jamaah Ahmadiyah di Lombok-NTB dan kekerasan pada jamaah
Syiah di Sampang Madura baru-baru ini tidak perlu terjadi, jika
wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen
masyarakat termasuk peserta didik (Muqoyyidin, 2013: 146).
Pendidik agama Islam tidak boleh terpaku pada satu
metode saja, namun harus dapat mengelaborasi berbagai metode
seperti ceramah, diskusi, ield trip atau studi banding, dan lainlain. Peserta didik misalnya dapat diajak mengunjungi rumah
ibadah dan berdialog dengan pengurus rumah ibadah atau jemaat.
Pendidik (dan lembaga pendidikan) juga dapat mengagendakan
untuk mengundang seorang atau kelompok minoritas agama untuk
memberikan ceramah dan berdiskusi dengan peserta didik. Dengan
begitu, peserta didik mendengar, berdiskusi, dan sharing pengalaman
tentang apa saja yang mereka rasakan selama ini sebagai kaum
minoritas. Pasca mendengar testimoni kaum minoritas, dalam
diri peserta didik diharapkan tumbuh sikap apresiatif dan empatik
terhadap kaum minoritas, sehingga mereka dapat menerima serta
menempatkan kaum minoritas secara terhormat dan sederajat
seperti halnya kelompok masyarakat yang lain (Ma’rifah, 2012,
dalam Muqoyyidin, 2013: 147).
C. Peran Signifikan Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural
dalam Pendidikan Nasional
Di Indonesia, sejauh ini kesadaran dan gerakan terhadap
multikulturalisme dan pendidikan multikultural diakui sudah mulai
berkembang, namun itu cenderung masih sebatas wacana dan hanya
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
247
Andik Wahyun Muqoyyidin
sebagai jargon politik, dan belum menjadi kebijakan pendidikan
nasional yang terimplementasikan secara sistematik dan konsisten.
Melihat realitas tersebut, upaya pembangunan sistem pendidikan
nasional sudah saatnya digagas dalam kerangka kepentingan
pengembangan multikulturalisme dan peradaban umat manusia
dalam semangat persaudaraan, kesetaraan, persatuan dan kesatuan
atau “keikaan” di dalam “kebhinekaan”, untuk mengantisipasi
kuatnya tekanan arus globalisasi di satu sisi dan bangkitnya
kesadaran identitas etnik partikularistik di sisi lain (Octaviani,
2013: 115).
Mengingat sangat signifikannya pendidikan multikultural
bagi kehidupan bangsa, menurut Asroni dan Ma’rifah (2013: 99)
sudah semestinya para pemangku kepentingan (stakeholders)
terutama institusi pengambil kebijakan pendidikan di
negeri ini, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dan Kementerian Agama memasukkan mata pelajaran/
kuliah pendidikan multikultural ke dalam sistem pendidikan
nasional. Pendidikan Islam sebagai bagian integral dari
pendidikan nasional semestinya dapat mengambil peran untuk
memperkenalkan pendidikan inklusif-multikultural. Dalam
konteks ini, Kementerian Agama misalnya dapat memasukkan
mata pelajaran/mata kuliah tersebut dalam kurikulum pendidikan
Islam. Kalaupun tidak menjadi mata pelajaran/mata kuliah
tersendiri, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam
mata pelajaran/kuliah lain.
Setidaknya paradigma pendidikan multikultural yang
dimiliki Islam dapat diaplikasikan dan berkesesuaian dengan
prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana
termaktub dalam Bab III pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional; terutama pada ayat (1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa;
ayat (2) pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; dan ayat (6)
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
248
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan
dan pengendalian mutu layanan pendidikan (Muri’ah, 2011: 9).
Dengan melihat bentuk-bentuk pendidikan agama
sebagaimana disebutkan dalam PP No. 55 tahun 2007, maka posisi
pendidikan agama sangat kuat dalam pendidikan nasional. Kuatnya
pendidikan agama dan keagamaan yang diintegrasikan ke dalam
pendidikan nasional ini, oleh wacana dominan dianggap sebagai
suatu yang baik bagi kemajuan bangsa, untuk membentuk manusiamanusia Indonesia yang religius, dengan dibuktikan terwujudnya
UU Sisdiknas dan keluarnya PP No. 55 tahun 2007 yang memang
menganggap pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan
nasional. Akan tetapi, apakah pendidikan agama bisa diandalkan
untuk memajukan bangsa, memperkokoh kebangsaan Indonesia,
dan ikut terlibat dalam mengatasi problem-problem kebangsaan
dalam konteks pendidikan, termasuk kekerasan berbasis agama,
masih terus aktual dan bergulir, karena ia masih berlangsung, di
tengah posisi dan madzhab pendidikan agama itu sendiri (Ridwan,
2013: 184).
Pengintegrasian nilai-nilai dan kurikulum pendidikan
multikultural dalam sistem pendidikan nasional memiliki urgensi
dan signifikansi besar bagi pengembangan keharmonisan dan
pemeliharaan semangat Bhineka Tunggal Ika. Penelitian Muslimah
(dalam Rahim, 2012: 176) menunjukkan urgensi pengintegrasian
nilai-nilai pendidikan multikultural dalam teks mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam, yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan
konflik, supaya siswa tidak tercerabut dari akar budaya, upaya
untuk membangun sikap sensitif gender, membangun sikap anti
diskriminasi etnis di sekolah, membangun sikap toleransi terhadap
keberagaman inklusif, dan sebagai upaya minimalisasi konflik
kepentingan.
Oleh karena itu, agenda merekonstruksi Pendidikan Agama
Islam untuk melahirkan peserta didik yang toleran, moderat, dan
inklusif menjadi penting dan urgen untuk dilakukan. Menurut
Ma’rifah (2012: 242), kurikulum PAI harus diarahkan pada
pembentukan karakter peserta didik yang pluralis-multikulturalis.
Kurikulum PAI mestinya mencakup subjek seperti: toleransi,
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
249
Andik Wahyun Muqoyyidin
keragaman, bahaya diskriminasi, HAM, demokrasi, dan subjeksubjek lain yang relevan. Bentuk kurikulum PAI hendaknya tidak
lagi ditujukan pada peserta didik secara individu menurut agama
yang dianutnya, tetapi ditujukan pada peserta didik secara kolektif
berdasarkan pada keragaman agama peserta didik. Sementara pada
level pendidik, pendidik (guru dan dosen PAI) harus memiliki
pengetahuan dan kesadaran multikultural. Dengan begitu, proses
pembelajaran PAI yang inklusif akan berjalan dengan baik dan
efektif. Materi PAI pun harus menekankan proses edukasi sosial,
sehingga pada diri peserta didik tertanam sikap saling menghargai.
Para pendidik PAI dituntut pula sekreatif mungkin untuk mendesain
serta menggunakan metode dan media pembelajaran yang tepat,
sehingga dapat memotivasi anak didiknya untuk mengaktualisasikan
nilai-nilai toleransi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya,
evaluasi pembelajaran PAI tidak boleh hanya didasarkan pada
kemampuan kognitif dan psikomotorik saja, namun juga harus
mencakup kemampuan afektif peserta didik. Standar penilaian yang
digunakan bukan hanya didasarkan pada angka-angka, namun yang
terpenting adalah sikap dan kesadaran peserta didik akan ajaran
agamanya, termasuk dalam hal menghargai pemeluk agama lain.
Kemudian agar berjalan dengan efektif, pelaksanaan
pendidikan Islam inklusif-multikultural harus memperhatikan
model pendidikan yang dibutuhkan dalam transformasi pendidikan
nasional di Indonesia, sebagaimana yang digarisbawahi oleh
Tilaar (2002: 185-190) yaitu sebagai berikut: Pertama, “Right to
Culture” dan identitas budaya lokal. Pendidikan multikultural di
Indonesia haruslah diarahkan kepada terwujudnya masyarakat
madani (civil society) di tengah-tengah kekuatan kebudayaan
global. Kedua, kebudayaan Indonesia-yang-menjadi, artinya
kebudayaan Indonesia merupakan Weltanschauung yang terus
berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan
mikro. Sebagai suatu Weltanschauung, hal tersebut merupakan
suatu sistem nilai yang baru (value system). Sebagai suatu value
system yang baru memerlukan suatu proses perwujudannya antara
lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu di
tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, perlu ditekankan
250
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
sistem nilai baru yang akan kita wujudkan, yaitu sistem nilai
keindonesiaan. Ketiga, konsep pendidikan multikultural normatif
yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang
terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal
yang ada. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu
rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh
terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik
etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural
di Indonesia memerlukan pedagogik baru. Karena pedagogik
tradisional membatasi proses pendidikan di dalam ruang sekolah
yang sarat dengan pendidikan intelektualistik, maka perlu
pedagogik baru yaitu pedagogik pemberdayaan (pedagogy of
empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang
beragam (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertamatama berarti, seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan
selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia
di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut
diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar-individu, antar
suku, antar agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam,
pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia
masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan
untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat
Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosialbudaya yang plural. Dalam TAP/MPR RI Tahun 2001 No. VI dan
VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan
berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam
mengembangkan konsep pendidikan multikultural. Dalam kaitan
ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan
budi pekerti terutama di tingkat pendidikan dasar, melengkapi
pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU. No. 20 Tahun
2003.
E. Kesimpulan
Revitalisasi peran pendidikan Islam inklusif-multikultural
dalam memperkokoh nilai-nilai ke-bhinneka tunggal ika-an sebagai
dasar kepribadian pendidikan nasional yang lebih mengedepankan
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
251
Andik Wahyun Muqoyyidin
sikap-sikap toleran, inklusif, humanis dan berwawasan pluralismultikultural menjadi agenda penting dan mendesak untuk
dilakukan. Oleh karena itu, perumusan format distingtif pendidikan
Islam inklusif-multikultural merupakan suatu keniscayaan. Untuk
mendukung terwujudnya gagasan tersebut, berbagai komponen
yang terlibat dalam proses pendidikan seperti faktor kurikulum,
pendidik, dan strategi pembelajaran yang digunakan pendidik
perlu direorientasikan sedemikian rupa dari visi pendidikan Islam
berbasis eksklusif-monolitis ke arah penguatan visi inklusifmultikulturalis.
252
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
Pendidikan Islam Inklusif Multikultural
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Ahmad, 2006. “Model Pengembangan Pendidikan Islam
Berbasis Multikultural”, Tadris: Jurnal Pendidikan Islam,
Vol. 7, No. 1, hlm. 9.
Asroni, Ahmad dan Ma’rifah, Indriyani, 2013. “Model Pendidikan
Multikultural dalam Pendidikan Islam”, Mukaddimah:
Jurnal Studi Islam, Vol. 19, No. 1, hlm. 99-102.
Baidhawy, Zakiyudin. 2005. Pendidikan Berwawasan Multikultural.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Fadjar, Abdullah et.al. 2007. Laporan Penelitian Islam Kampus.
Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Firdausia, Nury, 2013. “Al Quran Menjawab Tantangan Pluralisme
terhadap Kerukunan Umat Beragama”, Ulul Albab: Jurnal
Studi Islam, Vol. 14, No. 1, hlm. 51-52.
Ibrahim, Ruslan, 2008. “Pendidikan Multikultural: Upaya
Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama”, ElTarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, hlm. 121.
Ma’rifah, Indriyani. 2012. “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam:
Sebuah Upaya Membangun Kesadaran Multikultural untuk
Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam”, Conference
Proceedings pada Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS) XII IAIN Sunan Ampel Surabaya,
5-8 November 2012.
Muliadi, Erlan, 2012. “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam Berbasis Multikultural di Sekolah”, Jurnal Pendidikan
Islam, Vol. I, No. 1, hlm. 56-62.
Muqowim, 2004. “Mencari Pola Pendidikan Agama dalam Perspektif
Multikultural”, MDC Jatim, Vol. I, No. 3, hlm. 8.
Muqoyyidin, Andik Wahyun, 2013. “Membangun Kesadaran InklusifMultikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam”, Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, hlm. 133-147.
--------. 2013. “Signifikansi Dialog Pengembangan Wawasan
Multikultural dalam Mengakomodir Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan di Indonesia”, Jurnal Keadilan Sosial,
Edisi III, hlm. 57.
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032
253
Andik Wahyun Muqoyyidin
Muri’ah, Siti, 2011. “Pendidikan Agama Islam dan Multikulturalisme;
(Sumbangsih Agama Islam dalam Membingkai NKRI)”,
Jurnal Ilmiah Manahij, Vol. IV, No. 1, hlm. 9.
Octaviani, Laila, 2013. “Pandatara dan Jarlatsuh: Model Pendidikan
Multikultural di SMA Taruna Nusantara Magelang”,
Komunitas: Research and Learning in Sociology and
Anthropology, Vol. 5, No. 1, hlm. 113-115.
Rahim, Rahmawaty, 2012. “Signifikansi Pendidikan Multikultural
terhadap Kelompok Minoritas”, Analisis: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. XII, No. 1, hlm. 176.
Raihani. 2010. “Islam dan Kemajemukan Indonesia: Studi Kasus
Pesantren dan Pendidikan Multikultural”, Conference
Proceedings pada Annual Conference on Islamic Studies
(ACIS) Ke-10 Banjarmasin, 1-4 November 2010.
Ridwan, Nur Khalik, 2013. “Pancasila dan Deradikalisasi Berbasis
Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, hlm. 184.
Rokhmad, Abu, 2012. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi
Paham Radikal”, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, Vol. 20, No. 1, hlm. 81.
Saefulloh, Aris, 2009. “Membaca ‘Paradigma’ Pendidikan dalam
Bingkai Multikulturalisme”, Insania: Jurnal Pemikiran
Alternatif Kependidikan, Vol. 14, No. 3, hlm. 2.
Supardi, 2013. “Pendidikan Islam Multikultural dan Deradikalisasi
di Kalangan Mahasiswa”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman,
Vol. XIII, No. 2, hlm. 376.
Susanto, Edi, 2006. “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural
(Upaya Strategis Menghindari Radikalisme)”, Karsa: Jurnal
Sosial & Budaya Keislaman, Vol. IX, No. 1, hlm. 784-785.
Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan
Nasional. Jakarta: Grasindo.
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Under Standing untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta:
Pilar Media.
Zainiyati, Husniyatus Salamah, 2007. “Pendidikan Multikultural:
Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah”,
Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. I, No. 2, hlm. 141.
254
At-Tarbawi, Vol. 12, No. 2, Mei 2014, ISSN 1693-4032