Pemberitaan Media tentang Korban Tindak

Pemberitaan Media tentang Korban Tindak
Kejahatan dalam Perspektif Etika Jurnalistik
Oleh Satrio Arismunandar

Abstrak
Media massa memiliki peran penting dalam pemberitaan kasus-kasus kejahatan dan korban
kejahatan. Pemberitaan media bisa memberi dampak signifikan, baik dampak positif maupun
negatif bagi korban tindak kejahatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu panduan bagi
pengelola media dan para jurnalis, agar tidak terjadi cara peliputan dan pemberitaan yang
merugikan korban kejahatan. Tulisan ini menyajikan sejumlah panduan semacam itu,
berdasarkan praktik di media-media yang sudah mapan secara redaksional, dalam perspektif
profesionalisme jurnalis dan etika jurnalistik.

I. Pendahuluan

Kriminologi dalam arti sempit adalah suatu subdisiplin dalam ilmu sosial, yang
mempelajari kejahatan. Sedangkan dalam arti luas, kriminologi mempelajari penologi (ilmu
pidana) dan metode-metode yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah prevensi kejahatan
dengan tindakan-tindakan yang bersingkat non-punitif.1
Kriminologi berbasis pada pendekatan-pendekatan dan pemikiran-pemikiran utama
dalam sosiologi.2 Ada berbagai aspek yang dapat digali dalam kriminologi, antara lain:

kejahatan, penjahat, korban, dan reaksi sosial.
Sedangkan viktimologi adalah suatu subdisiplin dalam kriminologi, yang mempelajari
korban suatu delik (korban kejahatan). Perkembangan kriminologi modern telah memperhatikan
juga korban kejahatan, di samping fokusnya yang pertama adalah pelaku kejahatan. Perhatian
para penegak hukum kini juga mulai diarahkan pada viktimologi, yang telah diberi pengakuan
internasional sebagai suatu fokus penelitian khusus dalam kriminologi.3
Awalnya, kriminologi –dimana viktimologi merupakan salah satu subdisiplinnya—
adalah kajian interdisipliner tentang kejahatan. Sehingga tak heran, kriminologi merupakan

1

Atmasasmita, Romli. 1984. Bunga Rampai Kriminologi. Jakarta: Penerbit CV Rajawali. Hlm. 1-2.
Lihat pula http://www.adrianusmeliala.com/files/kuliah/kul_19082009095034.ppt
3
http://my.opera.com/kurniawanwp97/blog/2008/07/02/kriminologi-dan-viktimologi. Diunduh pada 13 Mei 2010.
2

1

suatu ilmu yang memiliki interseksi dengan cabang-cabang ilmu sosial lain. Salah satu di

antaranya adalah ilmu komunikasi massa, yang mencakup juga studi media dan jurnalisme.
Interseksi ini memunculkan pengembangan studi kriminologi jurnalistik, yang diajarkan
di Departemen Kriminologi FISIP UI. Salah satu kajian utama dalam Kriminologi Jurnalistik ini
adalah Newsmaking Criminology.4 Munculnya Newsmaking Criminology antara lain
dilatarbelakangi oleh adanya tuntutan untuk keterlibatan aktif kriminolog, yang dalam hal ini
dapat diperluas menjadi setiap orang yang mendalami kriminologi, dalam pembentukan realitas
pemberitaan media massa.5
Mengapa aspek media ini menjadi penting? Saat ini sudah diakui bahwa peran media
massa dalam menginformasikan hal-hal yang terkait dengan kejahatan sudah sangat meluas.
Setiap hari media massa, seperti suratkabar, memberitakan kasus kejahatan. Politisi lewat media
massa juga bicara tentang isu-isu yang menyangkut hukum dan ketertiban.
Film-film bertema kejahatan sangat banyak diputar di bioskop dan televisi (Godfather,
Public Enemies, CSI: Crime Scene Investigation, Law & Order, dan lain-lain), belum lagi
menyebut video dan computer game (Grand Theft Auto, The Getaway, dan lain-lain).
Di dunia musik, musik rap dan hip hop yang mengagungkan kejahatan dan kekerasan
(baik dalam lirik lagunya sendiri, maupun dalam gaya geng jalanan yang diadopsi para artis)
juga memiliki segmen pendengar tersendiri.
Media online (Internet) juga telah dimanfaatkan sebagai wahana diskusi tentang topiktopik yang terkait kejahatan. Internet itu sendiri bahkan telah menjadi sarana untuk melakukan
kejahatan.
Di televisi, opera sabun dan sinetron telah memanfaatkan tema kejahatan dan kekerasan

untuk meningkatkan rating. Reality show di televisi, di mana polisi dan stasiun TV bekerjasama
untuk menangkap pelanggar peraturan, juga sudah ada. Di Trans TV, ada program Reportase
Investigasi, yang menayangkan berbagai modus praktik kejahatan atau penyimpangan, dengan
korban masyarakat dan konsumen produk-produk tertentu.6 Dalam liputan investigasi itu juga
mulai digunakan hidden camera (kamera tersembunyi).
Dari berbagai paparan tersebut, terlihat bahwa kajian tentang pemberitaan media massa
yang terkait kriminologi --atau lebih spesifik lagi, terkait dengan viktimologi-- memang sudah
sangat layak dan perlu dilakukan. Seperti dinyatakan Gregg Barak (1988), pemberitaan media
Sulhin, Iqrak. ―Newsmaking Criminology,‖ dalam Meliala, Adrianus Meliasta, dkk. 2010. Bunga Rampai
Kriminologi: dari Kejahatan & Penyimpangan, Usaha Pengendalian, Sampai Renungan Teoretis. Depok: Penerbit
FISIP UI Press. Hlm. 61.
5
Ibid, hlm. 61.
6
Penulis pernah menjadi producer program Reportase Investigasi ini, yang --saat artikel ini ditulis—ditayangkan di
Trans TV setiap Sabtu sore.

4

2


diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan publik terkait dengan kejahatan dan peradilan
pidana. Caranya adalah dengan melalui peningkatan mutu pemberitaan peristiwa-peristiwa
kejahatan.7
Jika kita bicara tentang mutu atau kualitas pemberitaan media, hal itu terkait erat bahkan
tidak dapat dipisahkan dari profesionalisme jurnalis, aturan perilaku mereka, serta kode etik
jurnalistik. Tanpa pemahaman di kalangan jurnalis dan pengelola media tentang hal-hal tersebut,
sulit diharapkan ada peningkatan dalam kualitas pemberitaan.

II. Profesionalisme Jurnalis dan Kode Etik Jurnalistik

2.1. Pengertian Profesi

Sebelum kita bicara tentang etika pemberitaan media atau etika jurnalistik, perlu kita ulas
lebih dulu etika profesi. Hal ini karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter dan ahli
hukum, adalah sebuah profesi (profession).
Apa yang membedakan suatu profesi dengan jenis pekerjaan lain? Profesi menurut
Webster's New Dictionary and Thesaurus (1990)8 adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan
pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang intensif dan lama.
Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa berpraktek membutuhkan

pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan, sekaligus latihan, cukup lama dan
intensif. Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang ketentuan hukum sebelum bisa
berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki keterampilan tulis-menulis, yang untuk
mematangkannya membutuhkan waktu cukup lama, sebelum bisa menghasilkan karya
jurnalistik yang berkualitas.
Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi dengan pekerjaan biasa,
seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan keterampilan atau pengetahuan
khusus.
Samuel Huntington9 menambahkan, profesi bukanlah sekadar pekerjaan atau vocation,
melainkan suatu vokasi khusus yang memiliki ciri-ciri:
1. Keahlian (expertise)
Lihat Barak, Gregg. 1988. ―Doing Newsmaking Criminology from within the Academy,‖ dalam Theoretical
Criminology.
8
Webster's New Dictionary and Thesaurus. Concise Edition. 1990. New York: Russel, Geddes & Grosset.
9
Samuel P. Huntington. 1964. The Soldier and the State; The Theory and Politics of Civil-Military Relations.
Sebagaimana dikutip dalam Nugroho Notosusanto. 1983. Menegakkan Wawasan Almamater. Jakarta: UI Press.
Hlm. 16.


7

3

2. Tanggungjawab (responsibility)
3. Kesejawatan (corporateness).
Sedangkan etika (ethics) adalah suatu sistem tindakan atau perilaku, suatu prinsip-prinsip
moral, atau suatu standar tentang yang benar dan salah.
Dengan demikian secara kasar bisa dikatakan, etika profesi adalah semacam standar
aturan perilaku dan moral, yang mengikat profesi tertentu. Etika jurnalistik adalah standar aturan
perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya.
Etika jurnalistik ini penting. Pentingnya bukan hanya untuk memelihara dan menjaga
standar kualitas pekerjaan si jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau
menghindarkan khalayak masyarakat (baca: korban kejahatan) dari kemungkinan dampak yang
merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.

2.2. Perumus Kode Etik Jurnalistik

Lalu siapa yang berhak merumuskan Kode Etik Jurnalistik ini? Kode Etik biasanya
dirumuskan oleh organisasi profesi bersangkutan, dan Kode Etik itu bersifat mengikat terhadap

para anggota organisasi. Misalnya: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) membuat Kode Etik
Kedokteran yang mengikat para dokter anggota IDI. Begitu juga Ikadin (Ikatan Advokat
Indonesia), atau Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), dan seterusnya.
Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu organisasi profesi
jurnalis, telah merumuskan Kode Etik sendiri. AJI bersama sejumlah organisasi jurnalis lain
secara bersama-sama juga telah menyusun Kode Etik Jurnalis Indonesia, yang diharapkan bisa
diberlakukan untuk seluruh jurnalis Indonesia.
Selain organisasi profesi, institusi media tempat si jurnalis itu bekerja juga bisa
merumuskan Kode Etik dan aturan perilaku (Code of Conduct) bagi para jurnalisnya. Harian
Media Indonesia, misalnya, sudah memiliki dua hal tersebut.10 Isinya cukup lengkap, sampai ke
soal "amplop", praktek pemberian uang dari sumber berita kepada jurnalis, yang menimbulkan
citra buruk terhadap profesi jurnalis karena seolah-olah jurnalis selalu bisa dibeli.
Meskipun disusun oleh organisasi profesi atau institusi media yang berbeda-beda, di
Indonesia atau pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal dan
tak banyak berbeda. Tentu saja tidak akan ada Kode Etik yang membolehkan jurnalis menulis
10

Penulis selaku Asisten Kalitbang Media Indonesia waktu itu bersama Kalitbang Saur Hutabarat terlibat dalam
perumusan Kode Etik dan Code of Conduct, yang tuntas diselesaikan pada September 2000. Proses penyusunannya
juga mendapat masukan berharga dari pakar pers Ashadi Siregar (LP3Y, Yogyakarta) dan Atmakusumah

Astraatmadja (LPDS, Jakarta), 22 Mei 2000.

4

berita bohong atau tak sesuai dengan fakta, misalnya. Variasi kecil yang ada mungkin saja
disebabkan perbedaan latar belakang budaya negara-negara bersangkutan.

III. Standar Media dalam Peliputan Kejahatan dan Korban Kejahatan

Media massa sebenarnya memiliki standar dalam pemberitaan tentang kejahatan dan para
korban kejahatan. Hal ini khususnya berlaku untuk media yang sudah mapan dari segi
keredaksian, seperti BBC (British Broadcasting Corporation), yakni media televisi dan radio
publik yang pusatnya berbasis di London, Inggris. BBC memiliki jaringan internasional yang
luas, dan memiliki siaran radio dengan saluran berbahasa Indonesia. BBC di dunia broadcast
dipandang sebagai salah satu stasiun TV dan radio yang memiliki kualitas liputan terbaik, dan
layak dijadikan bahan perbandingan bagi stasiun-stasiun TV dan radio lain.
Maka penulis menggunakan panduan liputan dari BBC sebagai acuan utama. Menurut
panduan resmi BBC, dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya media perlu memberitakan
kejahatan dengan cara tertentu. Cara itu adalah sedemikian rupa, sehingga media bukan hanya
menyampaikan rincian peristiwa-peristiwa penting kepada audiens (pembaca, pendengar, atau

pemirsanya), tetapi juga bisa memberi pencerahan tentang isu-isu bersangkutan.11
Media harus mencoba meningkatkan pemahaman audiens tentang kejahatan, dengan
tujuan memberdayakan audiens dalam membuat keputusan-keputusan berdasarkan informasi
yang memadai, terutama keputusan yang menyangkut kebijakan publik dan tentang lingkungan
pribadi mereka.
Media televisi dan radio mungkin saja menambah rasa takut orang atas kemungkinan
menjadi korban kejahatan, bahkan sekalipun –secara perhitungan statistik—sangat kecil
kemungkinannya mereka akan jadi korban. Karena latar belakang semacam inilah, media perlu
membuat penilaian tentang cara pemberitaan kejahatan dan korban kejahatan. Hal ini bukan
berarti media harus ―memberitakan kejahatan begitu saja, secara tuntas, habis-habisan, dan
buka-bukaan,‖ melainkan media perlu menjaga agar liputan kejahatan itu disampaikan dalam
proporsi yang pas.
Dalam perjalanan waktu, media harus memastikan bahwa pihaknya telah memberitakan
peristiwa kejahatan secara utuh dan lengkap. Yang diberitakan itu termasuk kecenderungan yang
relevan, serta peristiwa-peristiwa individual yang ada di belakangnya, yang kadang-kadang
bertentangan dengan kecenderungan tersebut.
Untuk lebih lengkapnya tentang isi panduan ini, lihat Producers Guidelines: The BBC’s Values and Standards
(tanpa keterangan tahun, kota, dan nama penerbit), yang merupakan buku pegangan bagi para jurnalis BBC, baik
yang bekerja untuk media TV maupun radio.


11

5

Ketika sebuah program berita melaporkan suatu kejahatan yang nyata, beberapa pihak
yang terlibat (pelaku, tersangka, saksi, korban, atau kerabat) mungkin sudah mengubah nama
dan alamat mereka, untuk memulihkan kembali kehidupan mereka. Maka pertimbangan yang
seksama perlu dilakukan media, tentang sejauh mana media dapat mengidentifikasi pihak-pihak
yang terlibat tersebut, serta lokasi keberadaannya.
Kejahatan dengan kekerasan (violent crime) dan para korbannya mungkin hanya
merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh kejahatan yang dilakukan. Namun, kejahatan
yang amat kasar dan keras itu menguasai proporsi yang lebih besar dalam liputan berita
kejahatan di media, dibandingkan bentuk-bentuk kejahatan lain. Maka pengelola media perlu
bersikap peka terhadap rasa takut masyarakat, yang mungkin ditimbulkan oleh pemberitaan
tersebut.
Ketika menangani berita-berita kejahatan dengan kekerasan, pengelola media perlu
memikirkan dengan cermat, tentang mengapa dan bagaimana memberitakan kasus kejahatan
tersebut, serta konteks situasinya. Dalam kehidupan nyata, kejahatan bukanlah hal yang glamor.
Maka media jangan sampai membuatnya glamor, seperti menjadikan pelaku kejahatan justru
sebagai selebritas populer yang memancing simpati.


3.1. Prinsip Umum Peliputan Korban Kejahatan

Untuk korban bencana alam, kecelakaan, atau korban kejahatan, terdapat panduan bagi
jurnalis tentang bagaimana cara yang layak dalam mewawancarai dan meliput korban-korban
tersebut. Beberapa prinsip umum dalam peliputan korban kejahatan, di antaranya:
1. Korban yang sedang dalam keadaan tertekan tidak boleh ditempatkan di bawah tekanan
(tambahan) apapun, manakala mereka diminta memberikan wawancara di luar keinginan
mereka. Pendekatan-pendekatan yang terbaik terhadap mereka seringkali harus
dilakukan melalui perantaraan sahabat, sanak kerabat, atau penasihat.
2. Korban yang sedang berbela sungkawa mungkin --oleh polisi atau otoritas lain-ditawarkan untuk diwawancarai oleh media. Meski demikian, hal ini tidak boleh menjadi
pembenaran bagi penggunaan bahan liputan yang isinya sangat menekan korban. Harus
ada manfaat atau tujuan yang lebih penting, selain sekadar adanya tawaran dari polisi,
untuk membolehkan media menyiarkan atau mempublikasikan bahan liputan itu.
3. Pertanyaan-pertanyaan dari jurnalis yang asal-asalan atau tanpa pikir, bisa menimbulkan
tekanan dan menyebabkan dampak buruk pada korban. Ketika pertanyaan semacam itu

6

sudah diajukan oleh pihak lain, dimungkinkan untuk menghapusnya atau tidak lagi
ditanyakan, tanpa merusak suasana wawancara.
4. Pengambilan gambar atau rekaman suara korban, yang sedang merasa amat tertekan,
tidak boleh dilakukan dengan cara tertentu yang bisa menambah penderitaan mereka.
Para redaktur atau penyunting berita harus memastikan bahwa penggunaan gambar atau
suara itu benar-benar penting dalam membantu audiens memahami dampak dari berbagai
peristiwa.
5. Audiens kadang-kadang merasa kesal dan marah atas gambar-gambar tentang
penderitaan mereka, bahkan ketika para korban sebenarnya sudah bekerjasama atas
kemauan mereka sendiri atau telah meminta diliput. Publik mungkin tidak mengetahui
konteks situasi pengambilan gambar tersebut. Maka, sebaiknya ditambahkan beberapa
patah kata penjelasan, ketika memperkenalkan adegan gambar bersangkutan, untuk
mencegah terjadinya kesalahpahaman.
6. Hindari penggunaan berulang atau penggunaan yang tak perlu atas materi suara dan
gambar kepustakaan (arsip) yang bersifat traumatik, khususnya jika bahan itu merujuk ke
orang tertentu yang bisa dikenali. Materi itu juga tidak bisa digunakan sebagai
―wallpaper‖ atau untuk mengilustrasikan sebuah tema umum. Gambar-gambar
kepustakaan (hasil liputan lama yang disimpan di library) tentang korban yang sedang
tertekan, menangis, histeris, atau kalut, hanya boleh digunakan sesudah diizinkan oleh
redaktur di tingkatan senior di departemen program, pada media bersangkutan.
7. Program-program siaran yang bermaksud mengungkapkan atau mengkaji peristiwaperistiwa tragis masa lalu, yang melibatkan trauma pada individu-individu tertentu (yang
termasuk, namun tidak terbatas pada, peristiwa kejahatan) harus mempertimbangkan
berbagai cara, untuk meminimalkan tekanan yang mungkin ditimbulkan pada para
korban yang masih hidup ataupun kerabat korban yang masih hidup. Praktik yang masuk
akal adalah pemberitahuan sebelumnya tentang rencana penyiaran program itu kepada
korban yang masih hidup atau keluarga terdekat dari korban yang sudah meninggal.
Kegagalan melakukan hal ini bisa dianggap sebagai pelanggaran privasi, bahkan
sekalipun peristiwa tragis atau materi liputan yang digunakan itu sebelumnya sudah
penah dimunculkan di publik.
8. Berita yang menyangkut peristiwa tragis dengan korban tewas (bencana alam,
kecelakaan, kejahatan sadis) terkadang tidak menyebutkan identitas korban secara jelas.
Ada praktik di sejumlah negara, seperti di Inggris, bahwa polisi atau pejabat resmi masih
menahan informasi identitas korban sebelum pihak keluarga korban diberitahu. Namun,
7

jika media tidak segera menyebut identitas korban secara jelas, hal ini bisa menimbulkan
kecemasan yang tidak perlu di kalangan para audiens lain, yang menduga kerabat
dekatnya mungkin menjadi korban. Untuk mempertemukan dua kepentingan itu, media
perlu menyampaikan rincian kasus atau peristiwa tragis itu sedemikian rupa, agar jumlah
audiens yang merasa cemas dapat diminimalkan.
9. Liputan tentang pemakaman korban harus dilakukan dengan mempertimbangkan
kepekaan pihak keluarga. Dalam melakukan liputan, jurnalis harus menghindarkan
tindakan atau perilaku yang bisa mengganggu prosesi pemakaman, seperti menyodorkan
kamera terlalu dekat ke wajah orang-orang yang sedang berduka. Secara normal, media
sepatutnya hanya boleh meliput pemakanan dengan izin dari pihak keluarga. Perlu alasan
yang kuat jika kehendak keluarga itu mau diabaikan.

3.2. Panduan Peliputan Peristiwa Traumatik

Selain itu, ada panduan bagi jurnalis dalam meliput peristiwa traumatik. Butir-butir di
bawah ini merupakan hasil sedikit modifikasi yang dilakukan penulis terhadap panduan yang
disusun dan disosialisasikan oleh Yayasan Pulih kepada para jurnalis di Indonesia.12 Modifikasi
dilakukan karena penulis ingin memfokuskan pada liputan tentang korban tindak kejahatan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan media adalah sebagai berikut:
1. Media harus menaruh perhatian dan peka terhadap kondisi psikologis korban kejahatan,
yang menjadi sumber berita. Korban perkosaan atau kejahatan traumatik lain, kondisi
psikologisnya pasti berbeda dengan orang dalam situasi normal. Situasi akan
menentukan cara jurnalis menghadapi narasumber. Perlakuan tidak simpatik dari jurnalis
dapat membuat korban menjadi makin tertekan.
2. Jurnalis harus menghargai sikap korban. Tidak semua korban bisa dan mau berhadapan
dengan media. Entah karena penderitaan yang masih dialaminya atau tidak ingin
membuat masalahnya jadi sangat meluas, atau mungkin saja korban bukannya tidak mau,
tapi waktu dan tempat tidaklah tepat. Jurnalis harus menghargai sikap itu.
3. Jurnalis harus memperkenalkan diri dengan jelas. Penyebutan identitas diri secara jelas
harus dilakukan sebelum memulai wawancara, sekalipun tape recorder dan kamera yang
dibawa sudah menunjukkan logo atau identitas media kita. "Saya wartawan dari Koran
12

Untuk versi lengkapnya, silakan lihat http://www.pulih. or.id/?lang= &page=self& id=128

8

A, Radio B atau TV C. Saya ingin mewawancara atau menulis tentang..." Identitas
lengkap perlu disampaikan agar korban tahu apa yang akan dilakukannya, serta implikasi
yang mungkin timbul akibatnya. Tidak semua orang mau masalah dan penderitaannya
diungkap di media massa. Jurnalis harus menghargai korban yang tidak mau
diwawancarai karena mungkin takut dikenal pelaku kejahatan.
4. Jurnalis harus memberikan pengertian kepada korban. Untuk korban kasus-kasus
traumatik, keengganan terhadap jurnalis bukan hanya soal waktu yang tidak tepat.
Mungkin korban khawatir akan dikenali para pelaku dan menjadi sasaran berikutnya.
Jika memang informasinya sangat dibutuhkan dan penting dalam kasus tersebut, jurnalis
harus memberikan jaminan kepada korban bahwa identitasnya akan dirahasiakan, entah
dengan menyamarkan nama atau wajahnya. Jurnalis berhak merahasiakan narasumber
dari pihak manapun.
5. Jurnalis perlu memulai dengan ungkapan simpati. Untuk membuka suatu wawancara,
mulailah dengan ungkapan simpati. Seringkali, pernyataan "Saya ikut prihatin dengan
yang Ibu/Bapak hadapi" bisa menjadi pembukaan yang bagus, sebelum melanjutkan
pertanyaan untuk menggali keseharian korban selama ini. Pastikan bahwa apa yang akan
diberitakan tidak akan menambah penderitaan korban, tapi justru sebaliknya. Ungkapan
yang simpatik dan berempati kepada korban akan mempermudah jurnalis mendapatkan
informasi tentang suatu peristiwa.
6. Jurnalis tidak boleh memulai dengan pertanyaan sulit. Setelah suatu kejadian hebat,
korban tentu saja masih trauma. Mungkin hanya sedikit orang yang benar-benar terbiasa
dengan situasi buruk semacam itu. Karena itulah, jurnalis perlu menyodorkan pertanyaan
awal dengan materi yang ringan. Bukalah wawancara dengan pertanyaan, "Bagaimana
kondisi

Bapak/Ibu/Saudara/i

sekarang?"

Setelah

itu,

bobot

pertanyaan

mulai

ditingkatkan. Ibarat olahraga, ini semacam pemanasan (warming up). Pertanyaan
semacam ini dapat menciptakan suasana akrab antara si jurnalis dan korban sebagai
narasumber.
7. Jurnalis harus menghindari pertanyaan mencecar. Cara bertanya dengan mencecar
mungkin pantas diberikan kepada pejabat yang sedang menyampaikan kebijakan baru.
Namun cara itu tidak sepatutnya diterapkan terhadap korban peristiwa traumatik.
Sebaiknya jurnalis tidak bersikap seperti polisi menginterogasi seorang tersangka.
Jurnalis bisa menggali informasi dengan cara yang lebih sopan dan baik dengan
pertanyaan seperti: "Di mana Anda saat terjadinya peristiwa itu?" Pertanyaan ini akan
memberikan kesan seolah korban dijadikan saksi mata dan bukan tersangka.
9

8. Jurnalis

harus

banyak

mendengarkan,

bukan

berbicara. Dengarkan

apa

yang

diungkapkan narasumber. Kesalahan terbesar yang sering dilakukan jurnalis adalah
berbicara terlalu banyak selama wawancara. Harus selalu diingat, wawancara diperlukan
untuk menggali sedalam mungkin informasi dari narasumber, bukan sebaliknya. Bisa
saja jurnalis berbicara lebih panjang, bila itu dapat membantu korban menangkap
maksud pertanyaan atau menggali informasi lebih dalam. Terkadang narasumber ingin
mengungkapkan perasaannya atas peristiwa yang menimpanya, dan itu dapat
membantunya meringankan penderitaan atau kepedihan.
9. Jurnalis harus berhati-hati menyela pembicaraan. Bisa jadi jawaban yang diberikan
korban keluar dari konteks atau melantur ke mana-mana. Bila ingin menyela, jurnalis
harus mempertimbangkan banyak hal. Jurnalis bisa mengingatkan korban dengan cara
mengatakan, "Maaf Pak, maksud saya......" Cara menyela yang tidak tepat bisa
membuyarkan konsentrasi korban, atau membuatnya tidak menghargai si jurnalis. Yang
lebih buruk adalah bila korban akhirnya tidak bersedia untuk melanjutkan wawancara
atau tidak mau memberikan informasi lagi.
10. Jurnalis harus mengetahui saat mulai dan berhenti. Jurnalis yang baik tahu kapan
wawancara dimulai, bisa diteruskan, dan kapan harus berhenti. Pada saat korban tak mau
berkomentar dan mengatakan "Kami masih berduka," jurnalis harus cukup arif
menghentikan pertanyaan. Patutkah jurnalis mengajukan pertanyaan "bagaimana
perasaan ibu atas musibah ini" saat korban mulai menangis dan tak karuan? Patutkah
jurnalis terus memberondongnya dengan pertanyaan? Sikap ini berlaku tidak hanya saat
mengajukan pertanyaan. Bila membawa kamera, sebaiknya jurnalis tidak mengambil
gambar korban atau narasumber dalam keadaan berduka, terluka, ataupun tertekan.
11. Jurnalis perlu menyampaikan terima kasih kepada korban kejahatan yang telah
diwawancarai. Korban akan merasa sangat dihargai bila jurnalis mengatakan hal ini.
Kerjasama korban dalam membagi informasi pada saat terjadinya suatu tragedi amatlah
bernilai.
12. Jurnalis juga bisa memanfaatkan sumber alternatif. Bila korban dalam kondisi tidak siap
menghadapi wawancara, jurnalis tidak harus duduk berdiam diri atau apalagi sampai ikut
larut dalam kesedihan. Jurnalis bisa menyiasatinya dengan menggali informasi dari
narasumber lain yang berkaitan dengan korban tersebut. Jika ingin mendapatkan data
tentang profil korban, cobalah melakukan riset. Kalaupun tidak ditemukan, galilah dari
kantor tempat korban bekerja. Oleh karena tidak terlibat secara emosi, narasumber

10

alternatif ini mungkin bisa menjelaskan secara lebih objektif. Kalau pun terpaksa,
jurnalis dapat berbicara dengan salah satu anggota keluarga yang terlihat lebih tegar.

3.3. Memuat Foto dan Penayangan Gambar

Seringkali gambar maupun foto dalam media cetak, memiliki implikasi yang sama
besarnya dengan kata-kata. Jurnalis dapat menyampaikan pesan moral melalui foto dan rekaman
gambar di televisi. Sebaliknya perlu diingat, gambar itu bisa membekas dan menancap di benak
pemirsa dalam kurun waktu yang lama, dengan akibat yang bisa baik, bisa pula buruk.

Berikut ini adalah beberapa kiat dalam menampilkan foto dan tayangan gambar yang
baik:
1. Tanyakan dengan hati-hati, apakah korban mengalami trauma dengan sorot lampu atau
suara blitz kamera.
2. Hati-hati menyalakan pemantik api. Mungkin narasumber merasa trauma dengan suara
pemantik atau dengan api dan asap yang ditimbulkan dari batang rokok.
3. Perhitungkan dengan seksama, apakah korban masih trauma saat melihat kamera televisi
dan kamera foto berukuran besar. Sebaiknya kameraman atau fotografer menyiapkan
kamera cadangan yang lebih kecil.
4. Tayangkan gambar atau foto yang benar-benar mencerminkan esensi berita. Terkadang
satu gambar bisa bermakna ganda. Misalnya, foto korban kejahatan yang terluka, bisa
menimbulkan rasa ngeri, tetapi juga mampu menarik simpati pembaca atau pemirsa.
5. Tayangkan gambar yang benar-benar mempunyai relasi kuat dengan naskah berita.
Penayangan gambar yang kurang sesuai bisa menumbuhkan asosiasi yang kurang baik
bagi pembaca.
6. Periksalah ketepatan caption gambar. Ada baiknya melakukan konfirmasi silang kepada
reporter yang sama-sama meliput. Dengan demikian, bias persepsi bisa dihindari.
7. Jangan mengulang-ulang tayangan foto dan gambar. Selain membuat bosan pembaca dan
pemirsa, ia juga dapat memunculkan cap stereotipikal. Penisbatan cap buruk semacam
ini patut dihindari.
8. Hati-hati ketika mengedit gambar. Teknologi mutakhir bisa membuat seseorang
melakukan cropping (rekayasa). Salah-salah, foto dan gambar yang diedit bisa
menghilangkan nilai jurnalistiknya.

11

9. Pilih gambar yang tidak menampilkan korban kekerasan secara vulgar. Jurnalis perlu
berhati-hati karena seringkali batas antara nilai jurnalistik dan eksploitasi adalah garis
tipis.

3.4. Kondisi Media di Indonesia

Butir-butir di atas adalah beberapa panduan peliputan yang sangat berguna. Untuk
media-media di Indonesia, sayangnya masih sedikit sekali media yang memiliki panduan tertulis
tentang aturan perilaku jurnalis semacam itu. Kalaupun ada, panduan itu lebih merupakan
konvensi atau kesepakatan redaksional tak tertulis, yang dijaga penegakannya oleh para redaktur
senior. Jika para jurnalis senior ini tidak hadir di tempat, tidak ada figur otoritatif lain yang bisa
dijadikan rujukan, manakala terjadi kasus pelanggaran etika oleh jurnalis.
Sebagian besar media di Indonesia mengandalkan aturan perilaku para jurnalisnya pada
etika jurnalistik, yang sudah disusun oleh organisasi profesi semacam AJI (Aliansi Jurnalis
Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), dan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia). Dari hampir 30 organisasi profesi jurnalis yang tercatat, hanya tiga organisasi itulah
yang oleh Dewan Pers diangap cukup kredibel dan bonafid. Ketiganya memiliki organisasi,
kantor, keanggotaan, dan program kerja yang jelas. Banyak organisasi profesi lain hanyalah
organisasi papan nama, yang tak jelas keanggotaan dan program kerjanya.
Selain itu, ada persoalan lain, yaitu kode etik jurnalistik yang ditetapkan AJI, PWI, dan
IJTI, tampaknya isinya masih bersifat terlalu umum, kurang spesifik. Sangat jarang ada pasal
khusus dalam rumusan kode etik jurnalistik, yang secara spesifik menyebutkan cara penanganan
para korban kejahatan. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi liputan di lapangan, kode etik
jurnalistik itu masih membutuhkan penjelasan tambahan dan petunjuk pelaksanaan yang rinci,
agar memadai untuk pegangan para jurnalis.
Sebagai contoh, adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang ditandatangani oleh 29
organisasi jurnalis pada 14 Maret 2006. Dari 11 pasal dalam KEJ, hanya satu pasal yang secara
tegas menyebut ―korban kejahatan,‖ yaitu pasal 5. Pasal 5 itu menyatakan: ‖Wartawan Indonesia
tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan
identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.‖ Di bawahnya diberi penjelasan: ―Penafsiran:
a) Identitas

adalah

semua

data

dan

informasi

yang

menyangkut

diri

seseorang

yang memudahkan orang lain untuk melacak; b) Anak adalah seorang yang berusia kurang dari
16 tahun dan belum menikah.‖

12

IV. Panduan Korban Kejahatan dalam Berhubungan dengan Media
Pusat Korban Nasional (National Victim Center)13 di Amerika telah membuat
seperangkat arahan untuk membantu para korban kejahatan kekerasan (violent crime) dalam
berhubungan dengan media.
Para jurnalis mungkin saja tidak sepakat dengan sebagian dari butir-butir arahan ini. Hal
itu bisa dipahami, karena butir-butir arahan ini memang tidak mempermudah pekerjaan para
jurnalis, bahkan bisa dituding menghambat atau mempersulit pekerjaan mereka.
Meskipun demikian, munculnya arahan semacam ini mencerminkan adanya keprihatinan
yang makin meningkat tentang korban-korban tindak kejahatan. Arahan ini juga mencerminkan
adanya perlakuan dari jurnalis yang –dalam sejumlah kasus—tidak layak terhadap para korban.
Berikut ini adalah arahan-arahan tersebut:
1. Anda berhak untuk menolak diwawancarai. Jangan pernah merasa bahwa karena
Anda secara tak dikehendaki terlibat dalam sebuah insiden yang memancing perhatian
publik, maka Anda harus secara personal mengungkapkan rincian dan/atau isi perasaan
Anda kepada masyarakat umum. Jika Anda memutuskan bahwa Anda ingin publik
menyadari seberapa traumatiknya dan tidak-adilnya viktimisasi terhadap Anda, Anda
tidak harus secara otomatis menyerahkan hak privasi Anda. Dengan mengetahui dan
meminta hal-hak Anda dihargai, Anda dapat didengar dan hak Anda pun belum
terlanggar.
2. Anda berhak untuk memilih sendiri juru bicara atau advokat Anda. Memilih
seorang juru bicara –khususnya dalam kasus-kasus yang jumlah korbannya lebih dari
satu—menghilangkan kebingungan dan pernyataan-pernyataan yang kontradiktif. Anda
juga berhak untuk mengharapkan media menghormati pilihan Anda tentang juru bicara
dan advokat tersebut.
3. Anda berhak memilih waktu dan tempat untuk wawancara media. Ingat, media itu
diatur oleh deadline. Meski demikian, tak seorang pun harus menjadi narasumber
liputan, bagi seorang jurnalis yang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya ke rumah
seorang korban kejahatan. Ketika Anda menderita trauma, rumah menjadi tempat Anda
berlindung. Jika ingin melindungi privasi rumah kediaman Anda, pilihlah lokasi lain -seperti tempat ibadah, balai pertemuan, lingkungan kantor, restoran, dan sebagainya—
13

Pusat ini sebelumnya bernama Sunny von Bulow National Victim Advocacy Center. Lihat Fedler, Fred. et.al.
1997. Reporting for The Media. Sixth Edition. Forth Worth: Harcourt Brace College Publishers. Hlm. 528-530.

13

sebagai tempat wawancara. Tempat alternatif itu akan membantu, jika Anda memang
sudah akrab, mengenal, dan nyaman dengan lingkungan tempat wawancara yang Anda
pilih tersebut.
4. Anda berhak untuk meminta diwawancarai hanya oleh reporter tertentu. Sebagai
konsumen dari siaran berita sehari-hari, masing-masing kita biasanya mengenali atau
menghormati seorang reporter tertentu, yang mungkin belum pernah kita temui. Kita
sering membentuk opini pribadi tentang reporter-reporter yang kita rasakan mampu
berpikir mendalam, peka, simpatik, dan obyektif. Jika sebuah suratkabar, stasiun radio
atau stasiun TV mengontak Anda untuk wawancara, jangan ragu untuk meminta reporter,
yang menurut Anda akan menyampaikan liputan yang betul-betul akurat dan adil tentang
kisah Anda.
5. Anda berhak menolak diwawancarai oleh reporter tertentu, walaupun Anda sudah
diwawancarai oleh reporter-reporter lain. Anda mungkin merasa bahwa reporterreporter tertentu tidak berperasaan, tidak peka, tidak pedulian, dan suka menghakimi.
Adalah hak Anda untuk menghindari jurnalis-jurnalis semacam ini, biar bagaimanapun.
Dengan menolak diwawancarai oleh jurnalis semacam ini, Anda mungkin telah
membantu mereka agar menyadari kekurangannya, dalam melakukan peliputan berita
yang berhubungan dengan korban-korban tindak kejahatan Meski demikian, para
reporter itu mungkin akan tetap menulis hasil liputannya, dengan atau tanpa partisipasi
Anda.
6. Anda berhak menolak diwawancarai walaupun sebelumnya Anda sudah
menyatakan bersedia diwawancarai. Adalah penting untuk mengakui bahwa para
korban sering terbawa arus emosi. Anda mungkin saja sanggup satu hari bicara dengan
seorang reporter, namun --secara fisik dan emosional-- tidak sanggup melakukan hal
serupa pada hari berikutnya. Para korban sebaiknya tidak perlu merasa ―berkewajiban,‖
untuk bersedia diwawancarai media dalam situasi apapun.
7. Anda berhak mengeluarkan pernyataan tertulis lewat seorang juru bicara, sebagai
pengganti sebuah wawancara. Mungkin ada waktu-waktu tertentu di mana Anda secara
emosional tidak sanggup bicara dengan media, namun Anda tetap ingin mengekspresikan
sudut pandang Anda. Menuliskan dan mendistribusikan pernyataan Anda melalui
seorang juru bicara, akan memungkinkan Anda mengekspresikan pandangan tanpa harus
secara pribadi diwawancarai oleh media.
8. Anda berhak tidak melibatkan anak-anak dalam wawancara. Anak-anak biasanya
menderita trauma akibat peristiwa kejahatan, dan seringkali trauma itu berulang akibat
14

pemaparan terhadap media. Anak-anak sering kurang memiliki sarana untuk menyatakan
emosi-emosi mereka secara lisan (verbal), dan hal ini mungkin akan disalahartikan oleh
media maupun publik. Bagaimanapun juga, Anda memiliki tanggung jawab untuk
melindungi kepentingan anak-anak Anda.
9. Anda berhak untuk menahan diri dari menjawab setiap pertanyaan media, yang
menimbulkan rasa tidak nyaman atau yang Anda rasakan tidak pantas. Anda tidak
boleh merasa wajib menjawab sebuah pertanyaan, hanya karena pertanyaan itu sudah
diajukan oleh jurnalis.
10. Anda berhak mengetahui lebih dulu ke mana arah pemberitaan yang akan dipilih
oleh jurnalis bersangkutan, terkait dengan posisi Anda sebagai korban kejahatan.
Anda berhak mengetahui, pertanyaan-pertanyaan apa yang akan diajukan reporter pada
Anda, seiring dengan hak untuk menolak pertanyaan manapun. Ini menempatkan Anda
dalam posisi kemitraan (partnership) dengan si reporter yang meliput berita tersebut.
11. Anda berhak meminta untuk memeriksa kutipan-kutipan ucapan langsung Anda
dalam berita, sebelum berita itu dipublikasikan. Berita-berita itu biasanya diperiksa
dan direvisi oleh redaktur, yang tidak pernah melihat dan tidak pernah bicara pada Anda.
Sering terjadi, pernyataan para korban dan dampak yang diharapkan dari ucapan itu
disalahtafsirkan atau tidak akurat. Untuk melindungi kepentingan Anda dan pesan yang
ingin Anda sampaikan, Anda berhak meminta peninjauan terhadap kutipan-kutipan
langsung yang diatribusikan pada nama Anda dalam pemberitaan.
12. Anda berhak untuk menghindari suasana konferensi pers dan memilih hanya
bicara pada seorang reporter pada satu waktu. Ketika Anda sedang dalam kondisi
syok (shock), suasana konferensi pers dengan begitu banyak jurnalis bisa
membingungkan dan secara emosional melelahkan. Jika suatu konferensi pers secara
mutlak tidak bisa dihindarkan, Anda berhak memilih satu reporter dari sekian banyak
reporter yang hadir, untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan atas nama mayoritas
jurnalis yang hadir.
13. Anda berhak menuntut penarikan kembali suatu pernyataan, ketika informasi
yang tidak akurat diberitakan. Semua media berita memiliki metode untuk
mengoreksi laporan yang tidak akurat atau kekeliruan dalam pemberitaan. Gunakan
sarana-sarana tersebut untuk mengoreksi setiap aspek liputan media yang Anda rasakan
tidak akurat. Di Indonesia, kita kenal ―ralat pemberitaan‖ oleh media dan ―hak jawab‖
dari narasumber atau pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media.

15

14. Anda berhak meminta agar foto-foto atau visual yang bersifat ofensif dihapus dari
siaran atau publikasi. Jika Anda merasa foto-foto grafis atau visual itu bukanlah
representasi terbaik dari diri Anda atau orang yang anda cintai, Anda berhak untuk
meminta agar foto atau visual tersebut tidak digunakan.
15. Anda berhak mengadakan wawancara televisi dengan menggunakan teknik
bayangan (silhouette) pada tampilan Anda, atau wawancara suratkabar tanpa
pengambilan foto Anda oleh jurnalis. Ada banyak cara bagi jurnalis untuk
memproyeksikan gambar fisik Anda tanpa menggunakan foto Anda atau klip film
tentang Anda, sehingga dengan demikian dapat melindungi identitas Anda.
16. Anda berhak untuk secara utuh menyampaikan sudut pandang atau perspektif
Anda, dalam pemberitaan yang berhubungan dengan posisi Anda sebagai korban.
Jika Anda merasa bahwa si reporter tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang perlu
ditanggapi, Anda memiliki hak untuk memberikan pernyataan personal. Sedangkan, jika
si pelanggar (offender) atau pelaku kejahatan yang terbukti bersalah diwawancarai dan ia
memberikan pernyataan yang tidak akurat, Anda berhak mengekspresikan sudut pandang
Anda secara terbuka pada publik.
17. Anda berhak untuk menahan diri dari menjawab pertanyaan-pertanyaan reporter
selama masa persidangan di pengadilan. Jika ada kemungkinan bahwa interaksi
dengan media selama proses pengadilan dapat membahayakan atau merugikan kasus
Anda, maka Anda berhak untuk tetap tutup mulut.
18. Anda berhak untuk mengajukan keluhan (complaint) resmi terhadap seorang
reporter. Sang atasan reporter itu akan memberi apresiasi manakala mengetahui bahwa
perilaku karyawannya itu tidak etis, tidak pantas, tidak sopan, atau kasar.

Dengan

melaporkan perilaku semacam itu, Anda secara tak langsung juga akan melindungi
korban berikutnya yang tidak curiga, yang mungkin saja akan dirugikan oleh taktiktaktik atau ulah reporter semacam itu.
19. Anda berhak untuk berduka cita dalam suasana privasi. Kesedihan hati adalah
pengalaman yang sangat pribadi. Jika Anda tidak ingin mengungkapkannya kepada
publik, Anda berhak meminta reporter untuk menyingkir dan tidak mengganggu Anda
selama masa berduka.
20. Anda berhak menyarankan pelatihan tentang media dan korban kejahatan, bagi
media elektronik dan media cetak di komunitas Anda. Berbagai sumberdaya tersedia
untuk mendidik kalangan profesional media tentang para korban kejahatan, bagaimana
berurusan dengan para korban, dan bagaimana menahan diri dari tindakan yang bisa
16

menimbulkan atau membangkitkan lagi trauma para korban. Lewat tindakan itu, Anda
berarti telah menyarankan suatu pelayanan publik yang sangat dibutuhkan, bukan hanya
untuk kebaikan para korban dan pihak yang terselamatkan (survivors), tetapi juga
seluruh anggota komunitas yang berinteraksi dengan media.
21. Anda berhak, pada waktu kapan pun, untuk diperlakukan secara terhormat dan
bermartabat oleh pihak media.

V. Penutup

Dari berbagai pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, peran
media massa dalam pemberitaan kasus-kasus kejahatan dan korban kejahatan sudah sangat
meluas, sehingga diperlukan suatu panduan atau pedoman bagi para jurnalis dan pengelola
media, untuk menghindarkan dampak-dampak pemberitaan yang merugikan korban kejahatan.
Kedua, pedoman semacam itu biasanya sudah ada di media-media yang sudah mapan
secara keredaksian. Namun, sayangnya di Indonesia sendiri baru segelintir media yang memiliki
dan menerapkannya. Oleh karena itu, perlu segera dicarikan cara, agar media tersebut memiliki
panduan peliputan yang memadai, berdasarkan kode etik jurnalistik, menyangkut cara
menangani dan memberitakan korban-korban tindak kejahatan.
Sebagai saran dari penulis, untuk menyiasati keserbaterbatasan yang ada di industri
media di Indonesia, organisasi profesi seperti AJI, PWI, dan IJTI, yang didukung Dewan Pers
atau KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), dapat melakukan berbagai pelatihan dan sosialisasi bagi
para jurnalis. Sosialisasi itu adalah tentang pentingnya panduan dalam peliputan korban tindak
kejahatan. Supaya efektif dan berdampak signifikan, akan lebih baik lagi jika ada dukungan pula
dari lingkungan akademisi, lembaga pendidikan, dan pemerintah, melalui Departemen
Komunikasi dan Informatika RI.

Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. 1984. Bunga Rampai Kriminologi. Jakarta: Penerbit CV Rajawali.
Baran, Stanley J. 2004. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture.
Third Edition. New York: McGraw-Hill.
BBC. Producers Guidelines: The BBC’s Values and Standards (tanpa keterangan tahun, kota,
dan nama penerbit),
Bivins, Thomas. 2004. Mixed Media: Moral Distinctions in Advertising, Public Relations, and
Journalism. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Craig, Richard. 2005. Online Journalism: Reporting, Writing, and Editing for New Media.
Belmont: Thomson Wadsworth.
17

Fedler, Fred. et.al. 1997. Reporting for the Media. Sixth Edition. Forth Worth: Harcourt Brace
College Publishers.
Jewkes, Yvonne. 2004. Media & Crime: Key Approaches to Criminology. London: Sage
Publications.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. 2008. Theories of Human Communication. Ninth
Edition. Belmont: Thomson Higher Education.
Meliala, Adrianus Eliasta., dkk. 2010. Bunga Rampai Kriminologi: Dari Kejahatan &
Penyimpangan, Usaha Pengendalian, Sampai Renungan Teoretis. Depok: Penerbit
FISIP UI Press.
http://my.opera.com/kurniawanwp97/blog/2008/07/02/kriminologi-dan-viktimologi
http://www.adrianusmeliala.com/files/kuliah/kul_19082009095034.ppt
http://www.pulih. or.id/?lang= &page=self& id=128

Jakarta, 25 Mei 2010

Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (199597), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (19972000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli
2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian
Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

18