Peran NGO KontraS Dalam Kasus Pelanggara

1

Peran NGO KontraS Dalam Kasus Pelanggaran HAM Etnis
Rohingya Di Myanmar Tahun 2008-2015
Hardi Alunaza SD, Nanang Khoirino (hardialunaza@gmail.com)
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Univeristas Muhammadiyah Yogyakarta
Abstract
This research is attempted to describe the step of advocacy of human rights
committed by KontraS against the Rohingya in Myanmar. The researcher took the
specific interest on multi track diplomacy and transnational advocacy concepts to
analyze the phenomena. Furthermore, this essay is using descriptive method with
qualitative approach. The data collection technique is literature study consisting of
books, journals, and including data from the reliable website in supporting the
explanation of this research. The result of this research is devided into two important
points in explaining the role of KontraS in cases of human rights violation in
Myanmar. First, KontraS as human rights NGO in Indonesia was able to advocate
againts human rights violence that occurred in other countries by encouraging
Indonesian Government to take a part in the resolution of human rights issues
affecting the Rohingya people in Burma. Also, KontraS take advantages of
transnational advocacy networks as a form of politics and accountabilities
responsibility of Non-Govermental Organization againts human rights crisis in other

countries.
Keywords: The Role of KontraS, Human Rights Crisis, Transnational Advocacy

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan langkah advokasi yang ditempuh oleh
KontraS dalam pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar. Penulis menggunakan
konsep multi track diplomasi dan advokasi transnasional untuk menganalisa
fenomena terkait. Essai ini menggunakan metode desktiptif dengan pendekatan
kualitatif dengan teknik pengumpulan data meliputi buku, jurnal, termasuk data dari
website yang terpercaya yang mendukung penjelasan artikel. Hasil dari penelitian ini
terbagi menjadi dua poin penting dalam menjelaskan peran dari NGO KontraS dalam
kasus pelanggaran etnis Rohingya Myanmar. Pertama, KontraS sebagai NGO HAM
di Indonesia mampu mengadvokasi dan mendorong Pemerintah Indonesia untuk
bersikap tegas terhadap kasus pelanggaran HAM Rohingya di Burma. Kedua,
KontraS bertindak sebagai jaringan advokasi transnasional sebagai wadah terhadap
tanggung jawab NGO dalam bidang politik dan akuntabilitas dalam menangani kasus
pelanggaran HAM di negara lain.
Kata Kunci: Peran NGO KontraS, Krisis Hak Asasi Manusia, Advokasi
Transnasional


2

PENDAHULUAN
KontraS (komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan) merupakan
sebuah gugus tugas yang dibentuk oleh sejumlah organisasi civil society dan tokoh
masyarakat. Berdiri pada 20 Maret 1998, KontraS tidak hanya menangani masalah
penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat
korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan, baik yang terjadi secara vertikal
maupun secara horizontal (www.KontraS.org). Sebagai sebuah organisasi independen
dan banyak berpartisipasi dalam advokasi kasus tindak kekerasan dan pelanggaran
hak asasi manusia, posisi KontraS menjadi menarik untuk dikaji.
Dalam menangani permasalahan hak asasi manusia, negara sering kali tidak
bisa kooperatif. Terlebih jika tindakan kejahatan terhadap hak asasi manusia tersebut
justru dilakukan oleh negara. Seperti halnya yang terjadi di Myanmar, dengan desain
konstruksi politik yang mampu mengakomodir kepentingan pemerintahnya. Terdiri
dari militer, kelompok Budha Rakhine, Partai Nasional, dan berbagai kelompok etnis,
menjadikan pemerintah memiliki otoritas yang sangat tinggi terhadap masyarakat
(Hukil, 2013).
Kemunculan dan peran aktor non-negara (NGO) kemudian menjadi suatu hal
yang penting untuk melakukan back up kepada negara. Bagi negara tempat asal

NGO, peran NGO juga mampu menjadi manifestasi bagi sikap negara tersebut
terhadap suatu fenomena pelanggaran hak asasi manusia di negara lain. Hal ini
terlihat dalam konteks sikap Indonesia terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di
Myanmar. KontraS mampu menjadi aktor pendorong bagi Indonesia untuk lebih
tegas bersikap terhadap kejahatan hak asasi manusia di Myanmar.
Fenomena tersebut pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari globalisasi.
Globalisasi telah memudahkan perputaran manusia, ekonomi, dan bahkan ideologi.
Namun disisi lain globalisasi juga bertanggung jawab terhadap lahirnya konflik
horizontal maupun vertikal sebagai akibat dari penyatuan manusia yang memiliki
fragilitas dari sisi identitas. Maka pendiskreditan kaum minoritas yang saat ini umum
terjadi dalam konteks pelanggaran HAM di dunia menjadi sesuatu hal yang lumrah.
Kolaborasi antara negara dengan korporasi juga melahirkan pola segregasi di

3

kalangan masyarakat marginal, komunitas hutan, komunitas adat maupun komunitas
miskin kota.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) sejak diadopsi tahun 1948 telah mengafirmasi penting dan fundamental
terpenuhinya dua macam kebebasan bagi manusia, yaitu freedom of want (hak-hak

sipil dan politik) dan freedom of need (hak-hak ekonomi dan sosial), sementara pada
faktanya semenjak Perang Dunia ke II, begitu banyak orang meninggal akibat
malnutrisi, kelaparan, wabah penyakit dengan angka korban melebihi jumlah korban
perang yang terjadi dan korban berbagai rezim represif yang secara sistematis
melanggar hak-hak sipil dan hak-hak politik warga demi mempertahankan kekuasaan
(Erliana, 2013).
Kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya adalah
salah satu contoh yang nyata. Upaya propaganda dalam menyingkirkan etnis
Rohingya secara sistematis melalui undang-undang sudah dimulai sejak tahun 1962,
pada masa pemerintahan Jendral Ne Win.Internalisasi ini dilakukan oleh kelompok
anti Rohingya dan anti Muslim dengan memberikan nasihat dalam pembuatan
kebijakan. Kelompok ini berasal dari golongan Nasionalis Rakhine, yang telah sukses
menghilangkan etnis Rohingya dari peta demografis kependudukan (Zarni, 2014).
Sebagian besar etnis Rohingya menetap diwilayah Rakhine, sebuah wilayah
pesisir di Barat Myanmar. Rakhine merupakan wilayah terisolir yang dibatasi oleh
sungai-sungai besar dan pegunungan yang membatasinya dari daerah lain di
Myanmar. Sementara dibagian utara dibatasi sungai Naaf yang membatasi wilayah
Bangladesh dan Myanmar. Wilayah Rakhine dihuni oleh setidaknya 3 juta orang.
Setengah dari mereka, kurang lebih 700.000 hingga 1.5 juta penduduk Rakhine
adalah muslim (Smith, 2001). Sebutan Rohingya inilah yang ditujukan untuk orang

-orang muslim di wilayah Rakhine Utara. Namun pada dasarnya juga terdapat
komunitas muslim lain di wilayah Rakhine yang menyebut diri mereka sebagai
Muslim Arakan.
Selama kurang lebih 50 tahun, masyarakat diwilayah Rakhine harus
berhadapan dengan tekanan militer, dan konflik etnik serta agama antara kelompok

4

Budha Rakhine dengan Muslim Rohingya. Melalui propaganda pemerintah,
masyarakat Rakhine merasa posisinya terancam oleh keberadaan etnis Rohingya,
sehingga mereka merasa perlu untuk melindungi tanah mereka dari ancaman
Rohingya. Tingginya tensi inilah yang berakibat pada munculnya gelombang
kekerasan dan serangan tersetruktur dikawasan Rakhine sejak 2012.
Berbagai gagasan dan dorongan mengenai perspektif keamanan baru yang
muncul saat ini juga tidak lepas dari pengaruh NGO. NGO dalam hal ini mampu
menunjukkan dorongan kepada komunitas global akan pentingnya pengakuan atas
HAM. Di mana dorongan yang dilakukan tersebut merupakan reaksi atas kekerasan,
penindasan, dan pelecehan terhadap kemanusiaan oleh rezim totaliter di abad modern
yang tidak berbeda jauh dengan perilaku kekerasan di abad pertengahan dan zaman
primitif.

KERANGKA KONSEPTUAL
Penulis menggunakan konsep multitrack diplomacy dan transnational
advocacy network untuk menjawab rumusan masalah tersebut. Konsep multitrack
diplomacy digunakan penulis untuk menjelaskan langkah-langkah KontraS sebagai
NGO dalam mendorong Pemerintah Indonesia untuk aktif terlibat dalam upaya
penegakan nilai-nilai HAM di Myanmar dan keadilan bagi Rohingya. Sementara itu,
konsep transnational advocacy network

digunakan untuk menjelaskan jaringan

KontraS bersama NGO Myanmar dan NGO lain dalam melakukan advokasi kasus
pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di Myanmar.
Konsep Multi Track Diplomacy
Multi-track diplomacy memandang bahwa pembentukan perdamaian dunia
merupakan suatu sistem. Terdiri dari suatu bentuk aktivitas yang saling terkait antara
individu, lembaga dan komunitas yang bertujuan membentuk perdamaian dunia.
Montville (1998) membagi diplomasi ke dalam dua lajur, lajur pertama dilakukan
oleh pemerintah dalam konteks penyelesaian konflik dan lajur kedua yang dilakukan
oleh aktor non-pemerintah untuk menyelesaikan konflik di dalam atau antar negara.


5

John W. Donald (2013) mengungkapkan bahwa multi-track diplomacy adalah
sebuah cara konseptual yang memandang perdamaian dunia sebagai suatu sistem
kehidupan. Berbagai kegiatan yang menghubungkan individu, lembaga, dan
komunitas perlu dilakukan untuk mewujudkan perdamaian dunia. John W. Donald
mengembangkan lajur diplomasi tersebut menjadi sembilan lajur: negara, agama,
aktivisme, pendidikan dan pelatihan, filantropi, bisnis, media masa, kalangan
profesional, warga negara privat. Di bawah ini, disajikan diagram multi track
diplomacy untuk membantu dalam memahami kesembilan jalur diplomasi multi jalur.

Diagram I: Lingkaran Multi Track Diplomacy
Sumber: www.beyondintracktability.org
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan track ke enam, yaitu jalur
aktivisme untuk menjelaskan fenomena advokasi HAM internasional oleh NGO
HAM. Kelompok aktivis berkonsentrasi pada cara-cara untuk melakukan gerakan
menentang berbagai bentuk tindakan dan peraturan yang menindas, tak bermoral, dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Tujuan utama dari kelompok aktivis
adalah untuk mengganti institusi, sikap, dan peraturan melalui tindakan politis.
Tindakan ini berawal dari kepercayaan bahwa perdamaian tidak akan bisa terbentuk


6

dengan mengabaikan aspek sosial, politik, sumber daya, dan keadilan ekonomi serta
integritas. Dalam subsistem ini, masyarakat percaya bahwa mereka memiliki
kewajiban moral untuk menentang segala bentuk kebijakan yang tidak adil dan
mendukung sekaligus melindungi

hak asasi bagi orang-orang yang tertindas

(Alunaza, 2016).
Pada kenyataannya NGO merupakan penyeimbang antara negara dengan warga
negara. Dalam rezim HAM, kewajiban dan tanggung jawab perlindungan dan
pemenuhan HAM terletak di tangan negara. Negara sebagai lembaga yang memiliki
kekuatan memaksa, mengikat, dan mencakup semua, berpotensi melakukan
pelanggaran dan pengabaian atas kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Eksistensi
NGO dapat menjembatani public interest dari warga negara vis a vis negara, yang
dapat meminimalisir potensi pelanggaran HAM dan mendesak negara untuk
menyegerakan pemenuhan dan perlindungan HAM bagi warga negaranya (Haili,
2009).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep Multi-Track Diplomacy
untuk melihat sejauh mana peran NGO HAM KontraS dalam melakukan advokasi
HAM internasional. Melalui konsep Multi-Track Dplomacy ini pula, penulis mencoba
menganalisa peran NGO KontraS dalam menjalankan fungsi kerja sama dengan
negara dalam upaya advokasinya.
Konsep Transnational Advocacy Network
Transnational Advocacy Network merupakan sebuah bentuk organisasi yang
ditandai dengan pola sukarela, timbal balik, komunikasi horizontal dan pertukaran.
Terlepas dari perbedaan antar wilayah domestik dan internasional, konsep jaringan
(network) dapat berjalan dengan baik karena penekanan mereka dalam pola hubungan
yang cair antar aktor yang terlibat dalam isu-isu spesifik. Keck dan Sikkink (1998)
menyatakan bahwa advokasi merangkum apa yang unik dari jaringan transnasional,
dimana mereka mempromosikan suatu masalah, ide, norma, serta sering meibatkan
individu dalam advokasi perubahan kebijakan.

7

Interaksi aktor-aktor non-pemerintah pada akhir abad 20 semakin terlihat
nyata. Interaksi tersebut berlangsung dengan begitu terstruktur dalam konteks
jaringan, dengan saling bekerja sama untuk mengadvokasi isu, ide, norma, dan nilai

tertentu. Jaringan tersebut menyebar melampaui batas-batas teritorial negara dengan
intensitas yang semakin tinggi. Tanpa disadari, jaringan yang telah meluas tersebut
membentuk jalan penghubung dalam melakukan perubahan sosial.
Aktor utama dalam jaringan advokasi meliputi komponen berikut: (1)
organisasi advokasi atau riset non-pemerintah dalam skala domestik maupun
internasional; (2) pergerakan sosial lokal; (3) yayasan; (4) media masa; (5) gereja,
serikat

dagang,

organisasi

konsumen,

dan

intelektual;

(6)


bagian

dari

intergovermental organization regional maupun internasional; dan (7) bagian dari
cabang dan atau parlemen pemerintah. Tidak semua dari komponen tersebut hadir
dalam setiap advokasi jaringan. NGO internasional dan domestik justru memainkan
peran sentral dalam semua advokasi jaringan, biasanya menginisiasi aksi dan tekanan
kepada aktor yang lebih kuat untuk mengambil posisi. NGO memperkenalkan ide
baru, menyediakan informasi, dan lobi-lobi untuk mengubah kebijakan.
Pendekatan yang dilakukan dalam transnational advocacy networks bukanlah
pendekatan kekuatan dalam konteks aktor tradisional. Hal ini dikarenakan
transnational advocacy networks tidak memiliki kapasitas untuk melakukan
pendekatan tradisional seperti militer atau ekonomi. Pendekatan yang dilakukan lebih
mengandalkan produksi informasi yang cepat dan akurat serta penyebaran yang
efektif. Dengan pendekatan tersebut, pengaruh yang dapat dimainkan oleh
transnational advocacy networks menjadi semakin kuat sehingga menjadikannya
sebagai aktor yang patut diperhitungkan.
Hal yang cukup menarik dari transnational advocacy networks adalah latar
belakang khusus yang mereka usung pada setiap advokasi mereka. Bentuk advokasi
semacam inilah yang memberikan daya tarik, ketika suatu forum internasional
digelar, kelompok advokasi mampu menghadirkan suara dan kepentingan masyarakat

8

untuk diikutsertakan dalam proses pembuatan keputusan, dimana hal tersebut
sebelumnya hanya bisa diakses oleh aktor tradisional.
Transnational advocacy networks pada umumnya bergerak pada isu-isu
dimana (1) jalur antara kelompok domestik dan pemerintahnya tertutup atau
terhambat atau dimana beberapa jalur bekerja tidak efektif untuk menyelesaikan
konflik; (2) aktivis atau pengusaha politik percaya bahwa jaringan akan memajukan
misi dan kampanye mereka, dan secara aktif mempromosikan jaringan; dan (3)
konferensi dan segala bentuk kontak internasional menciptakan arena untuk
membentuk dan menguatkan jaringan.
Bukanlah suatu kebetulan manakala begitu banyak jaringan advokasi yang
mengklaim mengenai hak-hak tertentu dalam kampanye mereka. Pemerintah adalah
penjamin utama terhadap suatu hak, namun juga mereka bisa menjadi pelanggar
utama. Ketika pemerintah melanggar atau menolak untuk mengakui suatu hak,
kelompok NGO yang ada akan mengalami kesulitan untuk masuk dalam area politik
domestik negara bersangkutan. Maka dari itu, jaringan internasional digunakan untuk
mengekspresikan persoalan yang dihadapi.
Peristiwa pelanggaran dan penolakan pengakuan atas hak asasi oleh
pemerintah inilah yang terjadi di Myanmar. Pemerintah Myanmar sebagai pemilik
otoritas yang diharapkan mampu membantu Etnis Rohingya justru bersikap
kontradiktif dengan melakukan operasi-operasi bersenjata dan operasi sensus untuk
mengusir Etnis Rohingya dari negara tersebut (Nurdiana, 2015:3). Berikut disajikan
Boomerang Pattern Activist beyond border Advocacy Networks dalam politik
internasional.

9

Diagram II: Pola Bumerang (Boomerang Pattern)
Activist Beyond Border: Advocacy Networks in International Politics
Pada dasarnya transnational advocacy networks mencari pengaruh dalam
banyak cara seperti halnya kelompok politik atau pergerakan sosial lakukan.
Kemampuan informasi, ide, serta strategi menjadi penting bagi transnational
advocacy networks, karena ketiadaan kemampuan power dalam konteks tradisional.
Proses yang dilakukan pada umumnya menggunakan cara-cara persuasi atau
sosialisasi, dan kadang juga disertai dengan tekanan. Tipologi taktik yang biasa
dilakukan oleh non-state actors dalam usaha persuasi dan sosialisasi meliputi empat
hal, (1) Informasi politik, atau kemampuan untuk secara cepat dan kredibel,
menghasilkan informasi politik yang berguna dan mengarahkannya kemana ia akan
berdampak signifikan; (2) simbol politik, atau kemampuan untuk menyuarakan
simbol-simbol, aksi-aksi, ataupun cerita yang dapat memberikan pengertian tentang
situasi tertentu bagi audience yang berada pada jarak jauh; (3) pengungkitan politik,
atau kemampuan untuk menyuarakan aktor yang memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi situasi tertentu ketika salah satu anggota jaringan tidak tampak
memiliki peluang untuk memberikan pengaruhnya; (4) akuntabilitas politik, atau

10

usaha untuk mempertahankan aktor-aktor yang memiliki kekuatan untuk memegang
kebijakan atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
KontraS menerima informasi mengenai konflik antara etnis Rohingya dengan
kelompok Budha Rakhine pada tahun 2012.Terkait dengan informasi tersebut,
KontraS meminta Pelapor Khusus Hak Asasi Manusia di Myanmar untuk melakukan
investigasi menyeluruh dan memperhatikan keterlibatan atau kelalaian Pemerintah
Myanmar dalam kasus tersebut. Hal ini dilakukan KontraS untuk menghasilkan
informasi politik yang berguna dan mengarahkannya menuju tempat yang tepat
sehingga mampu berdampak signifikan (www.burmapartnership.org).
PEMBAHASAN
Langkah Advokasi HAM Oleh KontraS Terhadap Etnis Rohingya di Myanmar
KontraS merupakan NGO yang kerap melakukan tindakan advokasi terhadap
berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. Tindakan advokasi tersebut salah
satunya dilakukan KontraS untuk membela hak-hak dasar Rohingya yang telah
dilanggar oleh Pemerintah Myanmar secara sistematis.
Langkah Advokasi KontraS Dalam Pendekatan Multi-Track Diplomacy
Peran advokasi seperti yang dilakukan oleh KontraS Menjadi bagian dari
pendekatan multitrack diplomacy, KontraS menjadi aktor alternatif selain negara
yang berpengaruh dalam resolusi konflik, termasuk di bidang HAM. KontraS turut
berperan aktif dalam mendorong pemajuan HAM di tingkat regional dan
internasional melalui aksi solidaritas internasional maupun menempuh mekanisme
internasional yang tersedia untuk permasalahan HAM (Fathurrahmi, 2014).
Peran yang dilakukan KontraS dalam hal ini bisa diartikan sebagai simbiosis
NGO dengan negara. Langkah KontraS untuk melakukan advokasi permasalahan hak
asasi manusia yang dialami Etnis Rohingya tentu sangat relevan dengan tujuan
negara. Seperti tertulis dalam konstitusi negara Republik Indonesia bahwa salah satu

11

tujuan negara adalah untuk “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
KontraS mampu melakukan perannya sebagai lembaga masyarakat sipil yang
peduli terhadap penegakan HAM, mendorong suara masyarakat sipil untuk turut serta
dalam isu-isu HAM dalam kebijakan luar negeri Indonesia; dan untuk
mempromosikan atau menyediakan informasi yang cukup atas situasi pelanggaran
HAM di luar negeri pada publik dalam negeri. KontraS juga mampu menunjukkan
komitmennya sebagai aktor pendorong terhadap negara untuk selalu pro aktif dalam
isu HAM. Hal ini ditunjukkan KontraS dengan mendorong terbentuknya diplomasi
HAM yang dibangun secara pararel dengan semangat ASEAN. Hal ini sangatlah
penting karena KontraS sadar bahwa negara memiliki kewajiban penghormatan HAM
bagi seluruh warga negaranya (www.kontaS.org).
Pada akhirnya, arah kemajuan kebijakan luar negeri dan diplomasi hak asasi
manusia Indonesia tidak lagi ditentukan oleh pemerintahnya. Peran serta organisasi
masyarakat sipil seperti KontraS menjadi sangat berarti. KontraS mampu berperan
sebagai pendukung dan pemberi evaluasi bagi jalannya kebijakan luar negeri dan
diplomasi tersebut secara genuine sehingga tercapai cita-cita seperti dalam Deklarasi
Wina 1993.
Langkah serius KontraS tersebut dimanifestasikan dalam dua hal. Pertama,
Pendekatan multi-track diplomacy yang dilakukan KontraS terkait dengan kejahatan
HAM yang dialami Etnis Rohingya dilakukan dengan mendorong pemerintah
Indonesia untuk aktif dalam isu tersebut. KontraS melihat kunjungan Menteri Luar
Negeri Indonesia ke Myanmar pada tahun 2011 sebagai momentum yang baik bagi
keterlibatan Indonesia bagi penyelesaian permasalahan HAM tersebut.
KontraS bersama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil di Indonesia
(Solidaritas Indonesia for ASEAN People, LBH Jakarta) mengeluarkan surat
pernyataan bersama pada tanggal 19 Oktober 2011. Dalam surat pernyataan tersebut
KontraS memuji keputusan Indonesia dalam Keketuaannya di ASEAN yang menunda
keputusan Keketuaan Myanmar di ASEAN. Namun KontraS turut menyoroti terkait

12

upaya memberikan kesempatan bagi Myanmar untuk menjadi ketua ASEAN pada
2014. Pada salah satu poin tuntutan dalam surat pernyataan tersebut, KontraS
menyoroti peristiwa konflik bersenjata antara militer dengan kelompok etnis yang
masih terus berlanjut di Myanmar. Jika pemerintah Myanmar serius untuk menjadi
ketua ASEAN, maka Pemerintah Myanmar harus menata ulang komitmennya
terhadap penghentian kejahatan HAM di negaranya (KontraS, 2011).
KontraS meminta Pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Marty
Natalegawa sebagai Menteri Luar Negeri, untuk menggunakan kunjungannya ke
Myanmar secara maksimal. KontraS meminta agar kunjungan tersebut digunakan
untuk melihat secara langsung kondisi yang dialami oleh rakyat Burma, dengan
mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, seperti Aung San Suu Kyi, dan
termasuk juga para korban pelanggaran HAM.
Pemerintah Indonesia juga diminta untuk membuat ukuran-ukuran yang jelas,
khususnya dalam bidang HAM, sebagai indikator perubahan di Myanmar. KontraS
juga mengingatkan agar hasil kunjungan tersebut tidak dijadikan sebagai penilaian
akhir bagi keputusan tentang Keketuaan Myanmar di ASEAN pada tahun 2014,
namun justru dijadikan indikator untuk mendesak Pemerintah Myanmar agar
menuntaskan perubahan di negaranya. Dengan demikian, kekuatan Indonesia di
ASEAN akan menyumbang pemajuan dan perlindungan HAM di Myanmar.
Sekaligus mampu menunjukkan kepemimpinan yang substantif dalam Keketuaan
Indonesia di ASEAN.
Kedua, KontraS juga menjadi salah satu inisiator dalam “Konferensi
Masyarakat Sipil ASEAN Dalam Mendukung Isu HAM dan Demokrasi di Burma
(Myanmar)”. Konferensi yang berlangsung pada 6-7 Maret 2008 tersebut kemudian
melahirkan Deklarasi Jakarta Tentang Burma. Deklarasi tersebut berisi desakan
kepada Pemerintah dan masyarakat ASEAN untuk menolak referendum konstitusi
rezim Myanmar, jika tidak ada langkah-langkah untuk menjamin kemurnian
partisipasi dan proses dialog yang bermakna.
Kontras dalam deklarasi tersebut memandang bahwa perubahan peraturan dan
undang-undang yang mengatur proses referendum secara konstitusional dan usulan

13

diselenggarakannya pemilu merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilakukan.
Proses referendum yang tidak adil akan mengantarkan Myanmar pada keresahan
sosial dan instabilitas politik, yang pada akhirnya akan memperparah krisis ekonomi
dan memicu perpindahan besar-besaran penduduk ke negara tetangga.
Dukungan terhadap Indonesia diberikan oleh KontraS agar Indonesia mampu
memajukan dialog inklusif yang memajukan semua pihak dalam masa transisi
menuju demokrasi di Myanmar. Dialog inklusif ini akan terwujud manakala semua
pemangku kepentingan masyarakat sipil dapat masuk, sehingga tidak didominasi
rezim semata. Langkah yang bisa ditempuh Indonesia salah satunya adalah dengan
terlibat dalam menciptakan kondisi-kondisi dalam rangka memfasilitasi dialog antar
kelompok-kelompok tersebut.
KontraS Sebagai Simbol Politik dan Akuntabilitas
Prinsip kerja dalam simbol politik ini adalah kemampuan NGO untuk
menyuarakan simbol-simbol, aksi-aksi, ataupun cerita yang dapat memberikan
pengertian tentang situasi tertentu bagi audience yang berada pada jarak jauh.Dalam
konteks advokasi KontraS terhadap Rohingya, bentuk penyuaraan isu tersebut
dilakukan melalui pernyataan bersama.
KontraS bergabung dengan berbagai organisasi masyarakat sipil di dari
berbagai negara bergabung bersama dalam kerangka Solidarity for Asian Peoples’
Advocacies Working Group on ASEAN atau SAPA Working Group on ASEAN.
Melalui kelompok kerja ini, KontraS bersama organisasi masyarakat sipil yang
terlibat, mengeluarkan surat pernyataan bersama berjudul ‘Joint Statement on the
Rohingya

Chrisis

from

the

SAPA

Working

Group

on

ASEAN

(humanrightsinasean.info). Surat pernyataan bersama ini merupakan respon atas
kasus manusia perahu Rohingya dan tindakan penolakan Thailand terhadap manusia
perahu Rohingya yang hendak menyelamatkan diri ke Thailand.
KontraS bersama organisasi masyarakat sipil lainnya melihat insiden di
perairan Andaman sebagai masalah serius. Reaksi awal dari negara-negara di regional
ASEAN cukup mengejutkan dimana mereka menolak pendaratan masyarakat

14

Rohingya yang terapung di lautan ke wilayah teritori negara mereka. Namun, langkah
yang dilakukan Indonesia dan Malaysia patut untuk didukung dengan mengizinkan
pendaratan di wilayah mereka dan memberikan perlindungan secara temporer dengan
tetap melakukan operasi pencarian dan penyelamatan.
Sementara itu, tindakan Thailand yang tidak mengizinkan pendaratan terhadap
Etnis Rohingya yang terdampar di lautan menuai kritikan. KontraS bersama dengan
organisasi masyarakat sipil lain memandang bahwa semua orang berhak untuk
memperoleh pertolongan kemanusiaan dan perlindungan internasional. Maka dari itu,
segala bentuk evakuasi laut harus mampu memberikan jaminan pemenuhan prosedur
pencari suaka yang adil terhadap orang-orang yang membutuhkan perlindungan
internasional. Para pencari suaka tersebut juga tidak boleh menerima hukuman atas
tindakannya memasuki wilayah teritori suatu negara.
Terkait dengan hal tersebut, KontraS bersama kelompok organisasi
masyarakat sipil lain yang tergabung dalam SAPA Working Group on ASEAN
mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang ditujukan kepada ASEAN, Myanmar dan
negara-negara dunia. Adapun rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut; pertama,
meminta negara-negara dunia untuk menyediakan akses bantuan kemanusiaan,
terutama kepada wanita dan anak-anak dengan suplai makanan, air, perawatan
kesehatan, dan sanitasi yang memadai. Kedua, mengizinkan dan memberikan akses
kepada agensi hak asasi manusia dan organisasi internasional dengan mandat
perlindungan. Ketiga, memastikan bahwa orang-orang yang diselamatkan dari laut
tidak mendapatkan hukuman atas tindakan mereka memasuki teritori negara yang
bersangkutan. Keempat, menyediakan prosedur yang akuntabel dan transparan
kepada orang-orang yang terdampak seperti memberikan pemahaman terhadap proses
hukum dan memberikan informasi penuh terhadap hak dan tanggung jawab serta
batasan waktu terhadap segala macam solusi yang ditawarkan.
Pada tipologi taktik akuntabilitas politik, NGO melakukan berbagai usaha
agar aktor-aktor yang memiliki kekuatan politik mau mempertahankan kebijakan atau
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena
kerja advokasi untuk mencapai kemenangan kadang membutuhkan waktu yang lama.

15

Dengan demikian, peran aktor yang powerful secara berkelanjutan sangat diperlukan.
Tipologi taktik ini termanifestasikan dalam aksi demonstrasi di depan kantor
Kementrian Luar Negeri Indonesia yang dilakukan oleh KontraS. Aksi ini sebagai
bentuk tekanan publik agar Pemerintah Indonesia terus proaktif dengan isu Rohingya
(KontraS, 2015).
Peran Pemerintah Indonesia menjadi sangat krusial, karena selain sebagai
salah satu negara anggota ASEAN, Indonesia juga memiliki keterikatan
konstitusional. Dalam pembukaan konstitusi Republik Indonesia disebutkan bahwa
tugas negara adalah untuk “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. KontraS menyoroti kinerja
dari Kementrian Luar Negeri Indonesia yang dinilai tidak maksimal dalam
menjadikan ruang diplomasi internasional sebagai wadah promosi hak asasi manusia
(Farah, 2014).
Hal ini terlihat dari rencana strategis Kementrian Luar Negeri tahun 20102014, dimana Pemerintah Indonesia menyatakan untuk meningkatkan peran aktif
dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional, pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia, termasuk kerja sama kemanusiaan melalui forum
multilateral. Namun, rencana strategis yang terkait dengan pemajuan hak asasi
manusia tidak tertuang dalam rincian strategi kerja sama multilateral tahun 20102014.
Kinerja ASEAN Inter-govermental Commission on Human Rights (AICHR)
sebagai sebuah Badan HAM ASEAN juga turut menjadi sorotan KontraS. AICHR
memiliki term of reference (TOR) yang di dalamnya memuat mengenai perlindungan
HAM, namun hingga saat ini AICHR tidak kunjung memiliki kewenangan untuk
mendorong perlindungan hak asasi manusia di ASEAN, termasuk dalam penanganan
kasus pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar.
Kontras memandang bahwa perlu adanya pembaharuan sejumlah poin dalam
TOR AICHR, di antaranya: (1). Memastikan adanya transparansi dan keterbukaan
dalam pemilihan dan pengangkatan wakil-wakil AICHR. (2). Adanya kerja sama
dengan institusi HAM di level nasional, regional, maupun internasional yang ditandai

16

dengan konsultasi dan pertemuan rutin. (3). Adanya akuntabilitas lembaga AICHR
serta perwakilannya. (4). Adanya mekanisme pencegahan serta mekanisme komplain
terhadap pelanggaran HAM. Serta, (5). Menciptakan alternatif lain dalam mekanisme
pengambilan keputusan, apabila AICHR tidak mampu mencapai konsensus.
Terkait dengan prinsip akuntabilitas politik, KontraS memandang bahwa
AICHR belum memenuhi prinsip tersebut. Hal ini terkait dengan laporan tahunan
mengenai kinerja AICHR yang tidak disosialisasikan secara luas dan hanya berhenti
di Kementrian Luar Negeri.
KESIMPULAN
Terdapat dua kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini. Pertama,
KontraS mendorong Pemerintah Indonesia untuk mempertegas sikapnya terhadap
fenomena kejahatan terhadap hak asasi manusia di Myanmar. KontraS menjadi
bagian dari pendekatan multi-track diplomacy sebagai aktor alternatif selain negara
yang berpengaruh dalam resolusi konflik, termasuk di bidang HAM. KontraS turut
berperan aktif dalam mendorong pemajuan HAM di tingkat regional dan
internasional. Kedua, KontraS berjejaring dengan NGO lain dalam lingkup regional
maupun internasional untuk meningkatkan power guna menekan Pemerintah
Myanmar untuk berkomitmen menyelesaikan krisis HAM yang dialami Etnis
Rohingya.
Simbolik politik ditunjukkan KontraS dengan bergabung bersama organisasi
masyarakat sipil di dari berbagai negara bergabung bersama dalam kerangka
Solidarity for Asian Peoples’ Advocacies Working Group on ASEAN atau SAPA
Working Group on ASEAN. Melalui kelompok kerja ini, KontraS bersama organisasi
masyarakat sipil yang terlibat, mengeluarkan surat pernyataan bersama berjudul
‘Joint Statement on the Rohingya Chrisis from the SAPA Working Group on ASEAN.
Akuntabilitas politik termanifestasikan dalam aksi demonstrasi yang
dilakukan KontraS di depan kantor Kementrian Luar Negeri Indonesia. Aksi ini
sebagai bentuk tekanan publik agar Pemerintah Indonesia terus proaktif dengan isu
Rohingya.

17

KontraS juga turut mengawal kinerja AICHR sebagai sebuah Badan HAM
ASEAN. KontraS kembali menggugah peran AICHR untuk berperan aktif dalam
berbagai penanganan permasalahan hak asasi manusia di ASEAN. Kewenangan
AICHR untuk masuk dalam permasalahan hak asasi manusia di negara-negara
ASEAN sangat penting agar tercipta suatu kontrol yang jelas dalam penanganan
permasalahan hak asasi manusia di ASEAN. Hal inilah yang nantinya akan menjadi
salah satu jalan keluar bagi persoalan hak asasi manusia yang dialami etnis Rohingya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Diamond, L. (1996). Multi - Track Diplomacy: A Systems Approach to Peace.
Kumarian Press.
James Notter, L. D. (1996). Building Peace and Transforming Conflict: Multi-Track
Diplomacy in Practice. Virginia: Institute For Multi-Track Diplomacy.
Masoed, M. (1994). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Pustaka
LP3ES.a
Smith, M. (2001). Burma (Myanmar): The Time for Change. London: Minority
Rights Group International.
Studies, I. o. (2002). The State and NGOs: Perspective from Asia. Tokyo: Institute of
Southeast Asian Studies.
Tim KontraS.(2005). Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia: Catatan
KontraS Paska Perubahan Rezim 1998. Jakarta: KontraS
Yusuf, C. F. (2013). Dinamika Islam Filipina, Myanmar, dan Thailand. Jakarta:
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan.

18

Jurnal / Tesis
Abdelkader, E. (n.d.). The Rohingya Muslim in Myanmar: Past, present, and Future.
Oregon Review of International Law [Vol. 15, 393] , 394-410.
All You Can Do is Pray: Crime Against Humanity Ethnic Cleansing of Rohingya
Muslim in Burma's Arakan State. (2013). Human Right Watch.
Alunaza, Hardi. 2016. Pelaksanaan Program BIPA dalam Perspektif Diplomasi Publik
Indonesia. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
B., E. (2011). Pengaruh Globalisasi Terhadap Perkembangan Hak Asasi Manusia
Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya di Indonesia. Pranata Hukum Volume 6
Nomor 2 , 103-116.
Burma: The Rohingya Muslim; Ending a Cycle of Exodus? (1996). New York:
Human Right Watch Asia.
Dali, A. M. (n.d.). Prejudis Keagamaan: Kesengsaraan Masyarakat Rohingya di
Myanmar. Jurnal Sejarah , 165-199.
Halili. ( 2009). Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat Sipil dalam Gerakan
HAk Asasi Manusia. CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan) Volume 6,
Nomor 1 .
Hartati, A. Y. (2013). Konflik Etnis Myanmar: Studi Eksistensi Rohingya Ditengah
Tekanan Pemerintah.
Hukil, R., & Shaunik, N. (n.d.). Rudderless & Drowning In Tears: The Rohingyas of
Myanmar. Institute of Peace and Conflict Studies .
Leider, J. P. (2014). Rohingya: the name, the movement and the quest for identity.
Nation Building in Myanmar , 2014-255.
Margaret E. Keck, K. S. (1998). Activist Beyond Borders. New York: Cornell
University Press.
Munawir. (2015). Pelanggaran HAM Oleh Pemerintah Junta Militer Myanmar Dan
Tekanan Internasionalnya. eJournal Ilmu Hubungan Internasional , 131-142.

19

Myanmar The Rohingya Minority: Fundamental Rights Denied. (2004). Amnesty
International , 1-35.
Policies of Persecution: Ending Abusive State Policies Against Rohingya Muslim in
Myanmar. (2014). Fortify Rights .
Roomana Hukil, N. S. (2013). Rudderless and Drawning in Tears, The Rohingya of
Myanmar. Institute of Peace and Conflict Studies .
Waluyo, T. J. (2013). Konflik Tak Seimbang Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di
Myanmar. Jurnal Transnasional Vol. 4. No. 2 , 838-852.
Zarni, M., & Cowley, A. (2014). The Slow-Burning Genocide of Myanmar's
Rohingya. Pacific Rim Law & Policy Journal Association Vol.23 No. 3 , 682752.

WebSite
(2012,

Agustus

31).

Retrieved

November

25,

2015,

from

http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/kontras-dan-upaya-pemajuan-hakasasi.html#ixzz3ttpvomKi
About:

AICHR.

(n.d.).

Retrieved

November

29,

2015,

from

AICHR:

http://www.aichr.org/about/
About: Institute for Multi-Track Diplomacy. (2013). Retrieved Juni 20, 2015, from
Institute for Multitrack Diplomacy: http://imtd.org/index.php/about/84about/131-what-is-multi-track-diplomacy.
Akbar, A. (2012, Agustus 23). Asia Tenggara: Okezone.com. Retrieved November 25,
2015,

from

Okezone.com:

http://www.m.okezone.com/read/2012/08/17/411/679197/sejarah-masyarakatrohingya
Armandhanu, D. (2015, Mei 25). Internasional: CNN Indonesia. Retrieved
November

25,

2015,

from

CNN

Indonesia:

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150525171954-10655583/myanmar-keluarkan-peraturan-untuk-tekan-populasi-rohingya/

20

Aryanto, H. (2013, September 14). Indonesia4Rohingya. Retrieved November 25,
2015,

from

Indonesia4Rohingya.net:

http://indonesia4rohingya.net/2013/09/14/menjumpai-rohingya-di-bumiarakan/
Berita: KontraS. (2012, Agustus 1). Retrieved November 25, 2015, from
KontraS.org:

http://www.kontras.org/home/index.php?

module=berita&id=5660
Campaign: Human Right in ASEAN. (n.d.). Retrieved November 15, 2015, from
Humanrightin

asean.info:

http://humanrightsinasean.info/campaign/joint-

statement-rohingya-crisis-sapa-working-group-asean.html
Dunia: BBC.com. (2015, Februari 12). Retrieved November 25, 2015, from
BBC.com:
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/02/150212_myanmar_rohingya_su
ara
Home: Insight On Conflict. (n.d.). Retrieved November 25, 2015, from Insight On
Conflict: http://www.insightonconflict.org/comflicts/myanmar/peacebuildingorganisations/hreib/
Home: KontraS. (2011, Oktober 19). Retrieved November 25, 2015, from KontraS:
http://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=1397
Home: KontraS.org. (n.d.). Retrieved November 25, 2015, from KontraS.org:
http://www.kontras.org/hoe/index.php?module=data&id=51
Home: Radio Australia. (2012, Juni 13). Retrieved November 25, 2015, from Radio
Australia:

http://www.radioaustralia.net.au/international/radio/program/asia-

pacific/asean-rights-groups-call-for-rohingya-protection-in-burma/959980
Jamil, A. I. (2015, Mei 31). Home: Republika. Retrieved November 25, 2015, from
Republika:

http://www.m.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-

koran/15/05/31/np7roj-melacak-asal-usul-etnis-rohingya
KontraS. (2012, Juli 19). Burma Partnership. Retrieved November 15, 2015, from
Burmapartnership.org:

http://www.burmapartnership.org/2012/07/special-

21

rappertour-on-the-situation-of-human-rights-in-myanmar-should-conduct-acomprehensive-investigation-for-the-situation-of-rohingya-muslim-in-burma/
KontraS. (2011, Oktober 19). Home: KontraS. Retrieved Oktober 12, 2015, from
KontraS.org:

https://www.kontras.org/home/index.php?

module=pers&id=1397
KontraS. (2012, Agustus 1). Home: KontraS. Retrieved Oktober 12, 2015, from
KontraS.org:

https://www.kontras.org/home/index.php?

module=pers&id=1563
KontraS. (n.d.). KontraS. Retrieved November 15, 2015, from Kontras.org:
http://www.kontras.org/eng/index.php?hal=siaran_pers&id=162
KontraS. (n.d.). Profil: KontraS. Retrieved Mei 19, 2015, from KontraS.org:
http://www.kontras.org/index.php?hal=profile
Library: Central on Law and Globalization. (n.d.). Retrieved Juni 18, 2015, from
Central

on

Law

and

Globalization:

http://clg.portalxm.com/library/keytext.cfm??keytextid=113
Luar Negeri: Pikiran Rakyat Online. (2015, Juni 9). Retrieved November 25, 2015,
from

Pikiran

Rakyat

Online:

http://www.pikiran-rakyat.com/luar-

negeri/2015/06/09/330391/pemerintah-myanmar-larang-penggunaan-namaetnis-rohingya
McDonald, J. W. (2003). Essay: Beyond Dintractability. Retrieved Juni 20, 2015,
from Beyond Dintractability.org:
http://www.beyonddictractability.org/essay/multi-track-diplomacy.
News: BBC. (2013, July 16). Retrieved January 2, 2015, from BBC.co.uk:
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-12992883
News: Suarajakarta.co. (n.d.). Retrieved November 25, 2015, from Suarajakarta.co:
http://suarajakarta.co/news/hukum/akar-masalah-pelanggaran-ham-rohingyaada-di-myanmar/

22

Organisation, A. R. (2011, Desember 30). About Arno. Retrieved November 25, 2015,
from Arakan Rohingya National Organisation:
http://www.rohingya.org/portal/index.php/who-we-are.html
Pilihan: Kompasiana. (2015, Juni 17). Retrieved November 25, 2015, from
Kompasiana.com: http://www.kompasiana.com/mr_ded/rohingya-sebuahtinjauan-sejarah-atas-konflik-yangberkepanjangan_55602aa699937379578b4581
Purwaningsih, D., Pertiwi, E. R., Azdi, M., Rahayu, N., Agnietia, S., & Ningsih, W.
(n.d.). Pendidikan Sosiologi. Retrieved November 25, 2015, from Pendidikan
Sosiologi: http://pendidikan-sosiologi.blogspot.co.id/20122/05/kontrassebagai-gerakan-pro.html
Purwanto, A. (2015, Juni 3). Baca: PrintKompas.com. Retrieved November 25, 2015,
from PrintKompas.com: http://print.kompas.com/baca/2015/06/03/MenelisikAkar-Persoalan-Rohingya
Saptaatmaja, T. (2015, Mei 28). News: Sinarharapan.co. Retrieved November 25,
2015, from Sinarharapan.co:
http://www.sinarharapan.co/news/read/150528108/tragedi-minoritas-rohingya
Sari, A. P. (2015, November 8). Internasional: CNN Indonesia. Retrieved November
25, 2015, from CNN Indonesia:
http://www.m.cnnindonesia.com/internasional/20151108135830-10690189/thein-sien-presiden-pertama-myanmar-usai-berakhirnya-junta/
Satu Timor. (2014, September 6). Retrieved November 25, 2015, from
SatuTimor.com: http://www.satutimor.com/mengenang-monir-said-thalibaktivis-ekstrim-menjadi-pejuang-hak-asasi-manusia.php
Siaran Pers: KontraS. (2010, Agustus 31). Retrieved Juni 4, 2015, from Kontras.org:
http://www.kontras.org

23

Sejarah dan Perkembangan KontraS. (1998, Agustus 28). Retrieved Mei 15, 2016,
from Library.ohiou.edu:
http://library.ohiou.edu/indopubs/1998/08/30/0007.html
Sofwan, R., & Bhattacherjee, A. (2014, September 25). Kolom: CNN Indonesia.
Retrieved November 25, 2015, from CNN Indonesia:
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140925175325-1074401/islamofobia-penyebab-sentimen-anti-rohingya/
Susetyo, H., & Islam, N. (n.d.). Kompasiana. Retrieved November 25, 2015, from
Kompasiana.com: http://www.kompasiana.com/hsusetyo/rohingya-101sejarah-masalah-kekerasan-dan-tuntutan_55171d09813311c9669de1e7
Tonkin, D. (2014, Mei 9). Network Myanmar. Retrieved November 25, 2015, from
Networkmyanmar.org: www.networkmyanmar.org
Transnational Advocacy Networks and International Policy. (n.d.). Retrieved Juni 18,
2015, from Center on Law & Globalization:
http://clg.portalxm.com/library/keytext.cfm?keytextid=113
Wibisono, A. N. (2013, Agustus 20). Home: Adhe Nuansa Wibisono. Retrieved
November 26, 2015, from Adhe Nuansa Wibisono:
http://www.anwibisono.com/2013/08/ASEAN-Rohingya-dan-KrisisKemanusiaan.html?m=1
Zawacki, B. (2013). Defining Myanmar's "Rohingya Problem". Retrieved Januari 2,
2015, from wcl.american.edu:
http://www.wcl.american.edu/hrbrief/20/3zawacki.pdf
Majalah
Farah Fathurrahmi, N. N. (2014). Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan Luar Negeri.
Jakarta: KontraS.