HUBUNGAN KAUSALITAS HUBUNGAN POLITIK DAN

HUBUNGAN KAUSALITAS HUBUNGAN POLITIK DAN HUKUM
Diajukan untuk memenuhi sebagian dari tugas Pendidikan Pancasila dengan
dosen pengampu:
DUDI NASRUDIN, S.H., M.M.

DISUSUN OLEH:
Muhammad Kevin

JURUSAN :
FAKULTAS :

0616101017

INFORMATIKA
TEKNIK

UNIVERSITAS WIDYATAMA
2017

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat

dan karuniaNya sehingga saya dapat menyusun dan merampungkan tugas pembuatan
makalah ini yang berjudul “Hubungan Kausalitas Hubungan Politik dan Hukum”. Makalah
ini dibuat sedimikian rupa sebagai tugas yang diberikan oleh Dosen pengampu.
Harapan saya sebagai penyusun adalah semoga makalah ini dapat diterima dengan baik oleh
Dosen serta dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah yang saya buat masih jauh dari
kesempurnaan, Untuk itu saya sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 26 Maret 2017

Penyusun

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah...........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
2.1 Hukum Sebagai Produk Politik....................................................................................................3
2.2 Relasi Politik dan Hukum di Indonesia........................................................................................5
2.3 Konfigurasi politik dan karakter politik hukum...........................................................................9
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................12

2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum dan politik.
Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi dasar.
Hubungan kausalitas antara politik dan hukum sebagai sub system kemasyarakatan
disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Hukum merupakan produk politik yang

memandang hukum sebagai kristalisasi atau formalisasi dari kehendak-kehendak politik
saling berinteraksi dan saling bersaingan. Dalam hal ini memfokuskan sorotannya pada
politik hukum Indonesia dengan konseptualisasi dan penentuan indicator-indikator tertentu.
Dengan demikian adanya hubungan kausalitas antara hukum dengan politik yaitu sebagai
berikut :
Pertama, hukum determinan atas politik dalam artinya bahwa kegiatan-kegiatan politik
diatur oleh dan harus tunduk oleh pada aturan-aturan hukum.
Kedua, politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi
dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan.
Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang
derajat derterminasisinya seimbang antara satu dengan yang lainnya, karena meskipun hukum
merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum itu ada maka semua kegiatan politik
harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Politik hukum Indonesia disatu pihak tidak lepas dari realitas sosial dan tradisional
yang terdapat di Indonesia sendiri dan dilain pihak sebagai salah satu anggota masyarakat
dunia politik hukum di Indonesia tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum
internasional. Dengan demikian factor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak
semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak
pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi belaka akan tetapi ikut ditentukan pula oleh
kenyataan serta perkembangan hukum dilain Negara serta perkembangan hukum

internasional

1

1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:





Apa yang dimaksud dengan hukum sebagai produk politik?
Bagaimana relasi politik dan hukum di Indonesia?
Bagaimana konfigurasi politik dan karakter politik hukum?

1.3 Tujuan Masalah





Untuk menjelaskan maksud dari hukum sebagai produk poltik
Untuk menjelaskan relasi politik dan hukum di Indonesia
Untuk menjelaskan konfigurasi politik dan karakter politik hukum

BAB II
PEMBAHASAN
2

2.1 Hukum Sebagai Produk Politik
Hukum merupakan produk politik sebagai sebagai formalisasi atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Pandangan bahwa politik
hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang diibaratkan sebagai pohon, filsafat sebagai
akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang melahirkan cabang-cabang berupa
berbagai bidang hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara dan
sebagainya.
Menurut Mahfud MD, Hubungan kausalitas antara hukum dan politik terdapat tiga
asumsi yang mendasarinya, Yaitu:
1) Hukum determinan atas politik, bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus
tunduk pada aturan-aturan hukum.
2) Politik determinan atas hukum, merupakan hasil atau kristalisasi kehendak-kehendak

politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.
3) Politik dan Hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi dengan derajat
determinasi seimbang antara satu dengan yang lain, karena meskipun houum merupakan
produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk
pada aturan-aturan hukum.1
Teori politik hukum yang dirumuskan oleh Mahfud MD. Dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang terjadi Indonesia adalah politik determinan atas hukum. Situasi dan kebijakan
politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat
Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan.
Hubungan politik dengan hukum di dalam studi mengenai hubungan antara politik
dengan hukum terdapat asumsi yang mendasarinya.
Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan
pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan,
keharusan dan cita).
Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam arti bahwa dalam kenyataannya
baik produk normative maupun implementasi-penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi
dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein
(kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris.
Ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung
yang dapat dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenangwenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”.

Mahfud MD mengatakan hukum dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan
asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum”.
1 Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999)

3

Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable
pengaruh), politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh).2
Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada
das sein (pelaksanaan dari segala sesuatu) dengan mengkonsepkan hukum sebagai undangundang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa
hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun
melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.
Definisi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi:
1) Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi
hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
2) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan
pembinaan para penegak hukum
Dilihat dari sudut tata hukum maka proklamasi kemerdekaan merupakan tindakan

perombakan secara total. Tujuan hukum harus berubah secara berbalikan dari tujuan
mempertahankan dan melestarikan penjajahan menjadi mengisi kemerdekaan dengan
merubah etos dari penjajahan menjadi kebangsaan. Perubahan itu diperlukan, sebab hukum
yang telah ada ketika proklamasi kemerdekaan telah dipengaruhi dan bercampur baur dengan
sistem hukum atau ideology yang tidak sesuai dengan Pancasila, padahal pada dasarnya
hukum yang berlaku merupakan sejarah sosial.
Perkembangan hukum dapat dilihat dari dua dimensi yang ternyata berkembang tidak
sejalan yakni struktur hukum dan fungsi hukum. Struktur hukum dapat berkembang dalam
segala bentuk konfigurasi politik dan sistem pemerintahan, sedangkan fungsi hukum hanya
dapat berkembang secara baik pada saat ada peluang yang leluasa bagi partisipasi politik
massa, sehingga ketika peran politik didominasi oleh kekuasaan, maka fungsi hukum
berkembang secara lamban.
Jika seseorang menggunakan das sollen(sesusatu yang merupakan keharusan) adanya
hukum sebagai dasar mencari kebenaran ilmiah dan member arti hukum di luar undangundang maka pernyataan “hukum sebagai produk politik” tentu tidak benar. Mungkin yang
benar “politik merupakan produk hukum” bahkan bisa saja keduanya tidak benar jika
dipergunakan asumsi dan konsep yang lain lagi berdasar pada das sollen-sein seperti asumsi
tentang interdeterminasi antara hukum dan politik. Dan didalam asumsi yang disebutkan
terakhir ini dikatakan bahwa hukum dan politik saling mempengaruhi, tak ada yang lebih
unggul karena politik dan hukum itu interdeterminan.


2.2 Relasi Politik dan Hukum di Indonesia
Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum
bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum
sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah
keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya
2 Moh. Mahfud, MD., Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: LP3ES, 1998)

4

kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung
perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sanksi, maka hukum yang berjalan
akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.
Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang
dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin,
hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan
berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak
dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan
sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada
penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.3
Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk

hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses
kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan
kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip- prinsip
membangun supremasi hukum yang berkeadilan.4
Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan
masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang fair
dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktekpraktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan dapat
dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang bersenjata dapat
bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat
kepolisian, massa dapat mengadili pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara
pengadilan membebaskan koruptor kelas kakap. Dunia hukum Indonesia berada dalam kuasa
”demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”5
Pandangan Mac Iver yang membedakan dua jenis hukum. Pertama, hukum yang
berada di bawah pengaruh politik; dan Kedua hukum yang berada di atas politik. Yang
berada di atas politik, hanya konstitusi, sedang sisanya semua berada di bawah politik. Inilah
pandangan yang realistis tentang hubungan hukum dan politik. Salah satu contoh yang
membuktikan kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah bahwa lahirnya undang-undang jelas
karya para politisi.
Bahwa tidak dapat disangkal terdapat hubungan yang sangat erat antara hukum dan

politik, antara asas-asas hukum dan pranata- pranata hukum, serta antara ideologi-ideologi
politik dan lembaga-lembaga pemerintah. Sangat sering mendengar pernyataan para yuris
dengan slogan mereka bahwa: Hukum berdiri diatas dan melewati politik. Yang mereka
maksudkan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan suatu masyarakat di mana para
hakim tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik.
3 Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum. Cet. VIII (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001).
4 Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali (Bandung: PT Refika
Aditama,2004).
5 Makalah Relasi Politik dan Hukum di Indonesia Mouvty Makaarim al-Akhlaq.

5

Runtuhnya Orde Baru dan keinginan untuk membangun kembali suatu tatanan
masyarakat yang demokratis yang memunculkan upaya- upaya peninjauan ulang, revisi dan
amandemen terhadap segala bentuk sistem dan perangkat hukum yang ada.
Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru sebenarnya sekadar menyempurnakan apa yang
dikenal dengan ”The Ducth Law of The Sea”, suatu upaya kolonial Belanda untuk
mengintervensi hukum adat yang berlaku di nusantara. Prinsipnya hukum tersebut
dugunakan sebagai instrumen kepentingan penjajah di wilayah jajahannya dimana VOC
misalnya mendiskriminasikan pribumi sebagai warga kelas dua.
Ada lima langkah yang dilakukan Orde Baru untuk ”menyempurnakan” hukum sebagai
alat untuk menjinakkan masyarakat: Pertama, melakukan kooptasi terhadap lembagalembaga tinggi negara, termasuk Mahkamah Agung (MA) sehingga menyebabkan MA
kehilangan fungsi pro justitia-nya. Kedua, memusnahkan pranata sosial, misalnya peradilan
adat atau kearifan lokal yang selama bertahun-tahun menjadi mekanisme penjaga
keseimbangan dalam lingkungan adat tertentu. Ketiga, kanalisasi semua pertarungan dan
konflik yang terjadi di masyarakat pada peradilan yang disediakan negara sehingga negara
dapat mengontrol konteks, peristiwa dan putusan yang akan ditetapkan. Keempat,
membentuk instrumen- instrumen quasi untuk menyelesaikan masalah masyarakat.
Pengadilan, DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dibentuk seakan-akan bekerja untuk
keadilan, namun ternyata hanya pura- pura, tidak beres dan tidak jelas. Dan kelima,
persoalannya bukan hanya imparsialitas dan independensi, namun juga masuknya praktekpraktek kolusi, korupsi dan nepotisme.6
Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak
berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang
sebenarnya. Law enforcement menjadi kehilangan ruang, sehingga Ronald Katz kemudian
menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi
tidak berguna.
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi
dan struktur kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat
politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik,
defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.7
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatu perangkat kaidah dan azas- azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan
untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan.8
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.
Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh
kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata ”process” dan kata ”institutions,” dalam
mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan
6 Makalah Relasi Politik dan Hukum di Indonesia Mouvty Makaarim al-Akhlaq.
7 Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I (Jakarta: LP3S, 1990)
8 Mieke Komar, et.al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis
Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM (Bandung: Alumni, 1999)

6

semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang
sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan
politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum
(pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang
kekuasaan.9
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya
dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang
dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih
dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah
mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara,
mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya
berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang
demikian disebut sistem ”checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga
negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah,
semuanya sama di atur berdasarkan fungsi- fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara
yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari institusi politik
pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal
pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan
keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi
politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat
terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika
tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu. Rasa
ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir
seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya
melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi
tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian
para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu:
”Jika opini umum sampai mendominasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu
penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan,
yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah.

Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting
memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya
akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi
kebijakan politik. Disinilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui
mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk
9 Kisno Hadi, ”Satu Dasawarsa Relasi Politik Lokal Dan Nasional Dalam Konteks Otonomi Daerah” Jurnal
Politika Vol. 1 No. 2 (2010)

7

menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma,
kaidah- kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi
hukum positif.

2.3 Konfigurasi politik dan karakter politik hukum
Konfigurasi politik di pecah menjadi variable politik demokrasi dan variable politik
otoriter.
Sedangkan produk hukum di bedakan atas produk hukum yang berkarakter responsive dan
produk hukum yang berkarakter konservatif atau ortodoks.
8

indikator untuk menilai bahwa suatu bangsa itu demokrasi atau otoriter indicator yang di
gunakan adalah:
1. Peranan lembaga perwakilan rakyat
2. Peran pers
3. Peranan eksekutif
Sedangkan untuk menilai produk hukum indicator yang digunakan adalah.
1. Proses pembuatannya
2. Pemberian fungsinya
3. Peluang penafsirannya.
Konfigurasi politik dapat diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik
dalam suatu Negara.
Konfigurasi politik terbagi dua, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik
otoriter.
Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter
(non-demokrtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum yang berkarakter responsif
atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau menindas.
Konsep demokratis atau otoriter (non-demokratis) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator,
yaitu sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif dan kebebasan pers.
Sedangkan konsep hukum responsive otonom diidentifikasi berdasarkan pada proses
pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hokum, Yaitu:
1. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi
berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan
Negara. Dengan demikian pemerintah lebih merupakan “komite” yang harus
melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan
perwakilan rakyat dan parpol berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan
dalam membuat kebijakkan,sedangkan pers dapat melaksanakan fungsinya dengan
bebas tanpa takut ancaman pemberedelan.
2. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan posisi pemerintah
yang sangat dominan dalaam penentuan dan pelaksanaan kebijakan Negara, sehingga
potensi dan aspirasimasyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional.
Dan juga badan perwakilan dan parpoltidak berfungsi dengan baik dan lebih
merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers
tidak mempunyai kebebasan dan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah dan
berada dalam bayang-bayang pemeredelan.
3. Produk hukum responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya
mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun kelompok
sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan
didalam masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara
terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan lembaga peradilan, hukum
diberifungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat.
9

4. Produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya
mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya
tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.
Dan biasanya bersifat formalitas dan produk hukumdiberi fungsi dengan sifat positivis
instrumentali satau menjadi alat bagi pelaksanaan idiologi dan program pemerintah
Jadi, meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada
ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam
kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.10
Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang nyata dan
eksis dalam suatu sistem politik. Konfigurasi politik ini biasanya terwujud dalam partai
politik. Bila partai-partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku
dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya,maka
disebutkn bahwa konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis.
Jika partai-partai politik yang ada itu tidak berperan secara nyata dalam mengambil kebijakan
seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya, maka dikatakan bahwa konfigurasi itu
adalah konfigurasi politik yang non-demokratis11.
Di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter
responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk
hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis. Dari pernyataan tersebut, maka Moh.
Mahfud MD membagi dua variabel antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum
yang dipengaruhi konfigurasi tersebut, yang dibuat berdasarkan penelitian beliau atas
konfigurasi politik dan karakter hukum di Indonesia.

BAB III
KESIMPULAN
Hubungan antara politik dan hukum dapat dilihat, baik dari segi das sollen maupun das
10 Moh. Mahfud MD, 2006 : 65
11 Bintan Regen Saragih, 2006 : 33

10

sein. Meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada
ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam
kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, hal ini terjadi
karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka
jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.
Politik mempengaruhi hukum melalui konfigurasinya, yaitu di dalam negara yang
konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis,
sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter
ortodoks/konservatis/elitis
Pada saat sekarang ini di Indonesia, dominasi politik terhadap hukum semakin
menguat. Partai politik yang seharusnya menjadi penjelmaan kehendak rakyat, sekarang
hanya terkesan menjadi kendaraan untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan.
Hal ini akan berakibat yang sangat serius, karena tentunya akan menghasilkan hukum yang
hanya sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu tanpa memperhatikan
kesesuaiannya dengan tujuan Negara.

DAFTAR PUSTAKA
Mahfud MD, Moh, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES
11

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998
Jurnal RechtsVinding BPHN, Vol.2 No.3, Desember 2013
Kisno Hadi, ”Satu Dasawarsa Relasi Politik Lokal Dan Nasional Dalam Konteks Otonomi
Daerah” Jurnal Politika Vol. 1 No. 2 (2010)
Makalah Relasi Politik dan Hukum di Indonesia Mouvty Makaarim al-Akhlaq.
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I
(Jakarta: LP3S, 1990)
Mieke Komar, et.al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya
Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM (Bandung:
Alumni, 1999)
Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum. Cet. VIII (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001).
Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali (Bandung:
PT Refika Aditama,2004).
Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media,
1999)

12