Representasi Perempuan dalam Gambar Vira
Representasi Perempuan dalam Gambar Viral Om Telat Om
Dini Safitri
Universitas Negeri Jakarta
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengambarkan representasi perempuan dalam gambar
viral Om Telat Om. Gambar viral Om telat Om mejadi viral karena viralnya gambar Om Telolet
Om. Kemiripan kata ‘telolet’ dengan kata ‘telat’, menjadikan gambar Om Telat Om ikut menjadi
viral, namun dalam konteks makna yang berbeda. Perbedaan makna yang besar ini, menjadi daya
tarik untuk penelitian ini. Metode penelitan ini menggunakan semiotika, lima tanda Roland
Barthes. Hasil penelitian menunjukan adanya tanda lima kode pada gambar viral Om Telat Om.
Kode hermeneutik menggambarkan perempuan sebagai objek eksploitasi pria. Kode simbolik
digambarkan dengan pose perempuan yang menyesal dan menanggung malu. Kode semik
mengisyarakan perempuan yang sudah terlambat datang bulan. Kode proaretik mengambarkan
perempuan sebagai objek penderita. Dan kode kultural mengambarkan perempuan yang akan
menerima sanksi sosial dan menahan rasa malu.
Kata Kunci: Representasi Perempuan, Gambar Viral, Semiotika, Lima Kode Roland Barthes
Abstract
This study aims to portray the representation of women in the viral image that reads Om
Telat Om (literally means I’m late, used to indicate pregnancy.). The image became viral after
the image of Om Telolet Om (a sign for bus driver to horn) . It became viral out of similarities
between 'telolet' and telat, but with different meanings and context. This large difference in
meaning is the main appeal for this study. This research using semiotics, mainly Roland Barthes’
five codes. The results showed the mark of five codes on the viral image of Om Telat Om.
Hermeneutic code shows women as objects of men’s exploitation. Symbolic code depicted with
women posing regret and shame. Semic code hinted to women who had not receive her period.
Proairetic code portrays women as objects and bearers. And the cultural code portray women
who bears social punishments and humiliation.
Keywords: Representation of Women, Viral Image, Semiotic, Roland Barthes’ Five Codes
PENDAHULUAN
Fenomena menyebarnya gambar Om Telolet Om di media sosial, menjadi kisah unik nan
viral yang menutup tahun 2016. Namun banyak gambar viral lain yang ikut menjadi viral
sehubungan dengan gambar viral Om telolet Om. Salah satunya adalah gambar Om telat Om.
Untuk itu, penelitian ini tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai gambar viral Om telat Om.
Gambar viral Om Telat Om, ikut menjadi viral, karena ada kemiripan tulisan dengan Om Telolet
Om. Namun dalam pengertiannya, tentu makna yang ada dibalik gambar viral Om Telat Om
sangat jauh berbeda dari gambar viral Om Telolet Om. Perbedaan makna yang besar ini, menjadi
kegelisahan bagi penulis untuk meneliti gambar ini lebih lanjut. Terlebih lagi, penyebaran
gambar Om Telat Om di media sosial lebih kearah plesetan dari Om Telolet Om, sehingga
bermakna sebagai tindakan guyonan. Padahal secara makna, pesan yang ada dalam gambar Om
Telat Om, bukanlah guyonan tapi persoalan yang sangat serius. Khususnya menyangkut
persoalan perempuan.
Dari sekian banyak gambar yang beredar di media sosial, penulis memilih sebuah gambar
yang merepresentasikan perempuan sebagai objek penderita dengan tulisan Om Telat Om.
Penulis memilih gambar ini karena ikut menjadi viral, tapi disertai komen guyonan oleh netizen
di sosial media. Padahal sebetulnya represenstasi perempuan dalam gambar ini bukan untuk
guyonan. Berikut ini adalah gambar tersebut:
Gambar 1. Gambar Viral Om, Telat Om di Media Sosial
Penulis melihat ada persoalan, tidak hanya pada makna dalam gambar viral Om Telat
Om, tapi juga pada bagaimana netizen tidak memikirkan makna gambar viral Om Telat Om,
terutama saat mereka ikut menyebarkan dan mengomentari gambar tersebut dengan komentar
guyon. Selain itu, saat penulis mengetik kata kunci Om Telat Om di mesin pencari, maka akan
terhubung ke situs yang diblokir oleh internet positif. Hal tersebut, karena situs di komputer
penulis, dilindungi dari konten yang memuat kategori pornografi.
Pada gambar diatas terdapat gambar perempuan beserta siluet, tulisan Om Telat Om, dan
diatasnya dipertegas dengan gambar tangan yang memegang alat pendeteksi kehamilan. Gambar
tersebut merepresentasikan gambaran perempuan yang terlambat datang bulan atau perempuan
yang mengetahui bahwa dirinya hamil. Namun kehamilan tersebut menjadi sebuah masalah bagi
perempuan dalam gambar viral tersebut. Hal tersebut ditandai oleh perempuan dalam gambar
viral tersebut yang menutup wajahnya, dan di bayangi oleh siluet hitam, tanda penyesalan atas
kehamilannya. Banyak makna ynag bias dimaknai oleh gambar viral tersebut, oleh karena itu
peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai makna representasi perempuan dalam
gambar viral Om Telat Om.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar viral adalah sebuah objek yang sarat akan makna. Terlebih lagi bila kita ingin
menganalisa dengan semiotika, maka akan kita didapatkan berbagai macam makna yang
bisa merepresentasikan makna di balik gambar viral. Walaupun demikian, definisi kata viral
sendiri belum ditemukan di kamus besar Bahasa Indonesia. Kata viral tersebut dipopulerkan
melalui tayangan televisi dan media elektronik lainnya. Kata viral banyak dipakai dalam dunia
marketing, istilah tersebut disamakan dengan kata Virus. Oleh Karena itu, menurut Wikipedia
Indonesia, viral adalah strategi dan proses penyebaran pesan elektronik yang menjadi saluran
untuk mengkomunikasikan informasi suatu produk kepada masyarakat secara meluas dan
berkembang.
Menurut Wilson (2012), viral adalah suatu hal yang berkembang melalui jaringan
internet, yang menduplikasikan dirinya menjadi semakin banyak, seperti kerja sebuah virus
komputer. Viral memerlukan koneksi jaringan Internet dalam penggunaannya. Ia menyimpulkan
viral seperti menyebarkan virus di dunia maya, dalam hal ini bukan virus komputer melainkan
informasi yang menyebar secara meluas dan berkembang seperti ciri-ciri yang dimiliki virus.
Atas dasar definisi tersebut, maka media juga mengunakan kata gambar viral untuk menyebut
gambar-gambar yang tersebar di internet dengan sangat massif di dunia maya.
Selain kata gambar viral, juga ada kata meme. Menurut Kantorovic (2013) Istilah meme
merujuk kepada pemikiran Richard Dawkins yang mengatakan bahwa meme, dapat digunakan
sebagai sebuah unit penyebaran budaya. Meme merupakan unit informasi yang merambat dan
meloncat dari ide ke ide. Dalam penerapannya untuk ilmu pengetahuan, proses penyebarannya
berhubungan dengan cara di mana meme atau ide-ide tersebut menyebar di masyarakat. Meme
atau ide bersifat meniru melalui imitasi. Dalam penelitian ini, gambar viral Om Telat Om,
diciptakan oleh kreator gambar, karena adanya ide untuk meniru atau menyarukan gambar viral
Om Telolet Om yang sudah lebih dahulu tersebar. Namun perbedaan makna yang besar dalam
gambar viral Om Telat Om dengan Om Telolet Om menjadikan hal tersebut menarik dikaji dari
segi pemaknaan budaya Indonesia. Proses tersebut tidak terlepas dari adanya transformasi nilai
budaya asing yang ikut mewarnai masyarakat Indonesia saat ini.
Menurut Polichack, adanya model transfer informasi budaya, didasarkan pada konsep bahwa
unit-unit informasi, atau meme, memiliki eksistensi yang independen, dapat menggandakan diri,
dan tunduk pada evolusi selektif melalui kekuatan lingkungan. Sama seperti Kantorovic,
Polichack juga merujuk pada pemikiran Richard Dawkins. Namun ia memfokuskan diri pada
kritik yang mengarah pada unit-unit budaya yang mereplikasi diri. Dalam penelitian ini, gambar
viral Om Telat Om, merupakan gambar yang lahir dari proses replikasi dari kemiripan tulisan
pada gambar viral Om Telolet Om, namun mengandung makna budaya yang berbeda. Dalam
gambar viral Om Telat Om, menyasar pada objek perempuan sebagai objek yang
direpresentasikan dalam gambar viral.
Untuk dapat membaca makna di balik gambar viral atau meme, peneliti menggunakan
teori semiotika. Ada beberapa tokoh terkenal yang mencetuskan teori semiotika. Salah satunya
yang terkenal dan banyak dipakai peneliti semiotika, adalah Roland Barthes. Teori semiotika
Barthes yang dipakai dalam penelitian ini adalah lima kode. Menurut Barthes terdapat lima kode
yang dapat dibaca dalam sebuah gambar.
Menurut Barthes dalam Budiman (2011) di dalam teks setidak-setidaknya terdapat lima
kode pokok yang dapat mengelompokan semua penanda tekstual (leksia). Setiap atau masingmasing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Lima kode ini
menciptakan sejenis jaringan atau topos. Adapun lima kode pokok tersebut, meliputi aspek
sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagian berkaitan satu
sama lain dan terhubungkan dengan dunia di luar teks. Lima kode tersebut meliputi kode
hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik dan kode kultural.
Kode hermeneutik adalah satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk
mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat
memformulasikan persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau
bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi
penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode penceritaan, yang dengannya
sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum
memberikan pemecahan atau jawaban.
Kode semik (code of semes) atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat,
petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Pada tataran
tertentu, kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra AngloAmerika sebagai tema atau sruktur tematik, sebuah thematic grouping.
Kode simbolik (symbolic code) merupakan kode pengelompokkan atau konfigurasi yang
gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai
cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antithesis : hidup dan mati, di luar dan di
dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur
simbolik
Kode proairetik (proairetik code) merupakan kode tindakan. Kode ini didasarkan atas
konsep proairesi, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan
secara rasional yang mengimplikasi suatu logika perilaku manusia, seperti tindakan yang
membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri,
semacam judul bagi sebuah sekuens.
Kecuali keempat kode di atas, dapat ditambahkan satu jenis kode lagi, yaitu kode kultural
(cultural code) atau kode referensial (reference code) yang berwujud sebagai semacam suara
kolektif
yang
anonim
dan
otoritatif,
bersumber
dari
pengalaman
manusia,
yang
merepresentasikan tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau
kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa berupa kode pengetahuan atau kearifan
(wisdom) yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar
autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana.
Melalui lima kode yang sedikit dijelaskan dalam paparan di atas, maka penulis ingin
mengambarkan bagaimana representasi perempuan dalam gambar viral Om telat Om. Selain itu,
karena gambar viral Om Telat Om mengunakan perempuan sebagai objek, maka peneliti juga
mengunakan teori feminis sebagai metode analisis. Teori yang dipakai adalah teori mengenai
mysogini terhadap perempuan di media sosial. Pemilihan teori tersebut didasari karena peneliti
melihat peran media sosial sebagai sarana partisipatif pembuatan dan berbagi meme yang
memberikan sudut pandang yang unik untuk membuat berbagai konsep, mulai dari meme yang
bertujuan mengugah sisi afektif sampai kepada meme bermuatan politik dan berisi budaya
feminisme digital.
Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut Blumer, Becker, dan
Dezin (dalam Mulyana, 2004:151) penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi
perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, dan bukan mengubahnya menjadi
entitas-entitas kuantitatif. Pembicaraan yang sebenarnya, isyarat, dan tindakan sosial lainnya
adalah bahan mental analisis kualitatif.
Penelitian kualitatif berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu
lingku’ngan yang alamiah dan langsung kepada tindakan atau interaksi manusianya itu sendiri
dalam memaknai dan menginterpretasikan kejadian-kejadian sosial, dan bukannya kepada
lingkungan yang artifisial seperti eksperimen.
Metode kualitatif, merujuk pada metode analisis dokumen untuk menanamkan,
mengidentifikasi, mengolah dan menganalisis dokumen untuk memahami makna. Jenis
penelitian dalam penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah mengungkap fakta, keadaan, dan fenomena yang terjadi saat penelitian
berjalan, dan menyuguhkan dengan apa adanya.
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan secara menyeluruh masalah penelitian, yang
terkait dengan representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om, dan berusaha
menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah
penelitian, yaitu
memamaparkan bagaimana representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om.
Untuk menganalisa, penulis memakai semiotika Barthes. Menurut Barthes, yang tidak
tampak di analisa yang tokoh yang lain, yaitu dibalik penanda terdapat ideologi yang
memerankan sebuah kontruksi budaya yang terwujud dalam meme politik, sebagai bentuk dari
komunikasi masa yang dipengaruhi sistem politik Indonesia. Semiotika adalah metode untuk
mengetahui makna dari ekspresi yang berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada
lebih dari satu makna dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala meta
bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah
denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangannya disebut sistem
sekunder. Sistem sekunder mengarah pada ekspresi atau metabahasa. Sistem sekunder yang
berkembang ke arah isi, disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep
konotasi didasari kognisi dan pragmatik, yaitu pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Pemakai tanda juga dipengaruhi oleh ideologi.
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama,
tanda dapat dilihat latar belakangnya, yaitu pada pertama, penanda dan kedua, petandanya. Tahap
pertama, melihat tanda secara denotatif. Pada tahap denotasi ini, tanda ditelaah secara bahasa.
Setelah menelaah pemahaman bahasa, kita kemudian masuk ke tahap kedua, yakni menelaah
tanda secara konotatif. Pada tahap ini, terdapat konteks budaya ikut berperan dalam penelaahan
tersebut. Makna denotatif dan konotatif, bila digabung akan membawa kita pada mitos.
Barthes menggunakan teori konotasi. Perbedaan dari konotasi yang lain, Barthes
menekankan teorinya pada mitos dan pada budaya masyarakat. Barthes mengemukakan, semua
hal yang dianggap wajar dalam suatu masyarakat, adalah hasil dari proses konotasi. Barthes juga
menekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression seperti bentuk dan
ekspresi, untuk signifiant. Dan menggunakan contenu (isi) untuk signifiè.
Barthes menguraikan makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media
massa dan iklan. Menurut Barthes, foto adalah salah satu sarana yang dapat menghadirkan pesan
secara langsung, baik sebagai analogon atau denotasi. Foto juga dapat meyakinkan seseorang
yang melihatnya, bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang yang disebut sebagai
fotografer. Akan tetapi, menurut Barthes, dibalik peristiwa tersebut, ternyata foto juga
mengandung pesan simbolik, yang menuntut orang lain yang melihat foto tersebut untuk
menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Begitu pula dengan
internet meme, pelihat meme juga menghubungkan visualisasi dalam meme dengan pengetahuan
yang telah dimilikinya tentang meme tersebut.
Seorang fotografer dalam memotret seringkali memperhatikan pose objek yang
dipilihnya. Dengan demikian, fotografer dapat melakukan sejumlah manipulasi demi tercapainya
apa yang hendak difotonya. Hal tersebut seringkali dilakukan dalam menekankan kekuatan foto
pada aspek daya tariknya. Digunakan sebagai sarana persuasif dan seringkali memanfaatkan
situasi politik. Barthes menyebutnya dengan pendekatan fenomenologi sinis.
Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman dari seseorang yang
mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang foto merupakan ziarah
menuju jati diri yang melewati tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman ini yang
menjadi ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto. Begitu juga dalam melihat visualiasi meme
di internet, tidak semua meme menjadi gambar viral.
Meme yang menjadi gambar viral dalam media sosial adalah meme yang dapat membuat
pelihatnya terpaku pada satu titik. Gambar viral Om Telat Om menjadi topik komentar di media
sosial, karena merupkan visualisasi dari peristiwa hangat yang sedang menghebohkan
menyangkut gambar viral Om Telolet Om yang telah viral sebelumnya.
Dalam penelitian ini, penulis ingin menunjukan gambaran dari representasi perempuan
dalam gambar viral Om Telat Om. Dimana representasi merupakan tindakan yang menghadirkan
sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2006:
24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Melalui
representasi, ide-ide ideologis dan abstrak mendapatkan bentuknya. Representasi juga berarti
sebuah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang
tersedia, contohnya dapat berupa dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya.
Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris, represent yang bermakna
stand for, atau juga act as a delegate for, yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu.
Representasi juga dapat diartikan sebagai proses dan hasil yang memberi makna khusus pada
tanda. Representasi pada gambar viral, saat ini merupakan hal yang menarik untuk diteliti,
mengingat pertumbuhannya yang pesat di sosial media.
Sebagaimana peneliti amati, dalam media sosial, kreativitas adalah salah satu modal yang
harus dimiliki untuk membuat gambar viral. Ada beragam media sosial, dan beragam bentuk cara
berkomunikasi dalam media sosial. Salah satu cara berkomunikasi yang digunakan adalah
dengan menggunakan komunikasi visual pada tingkatan yang masif. Puluhan hingga ratusan
citraan foto, ditampilkan di media sosial. Citraan tersebut, biasanya disertai dengan teks. Citraan
yang ditampilkan merupakan representasi dari kejadian populer yang sedang ramai menjadi
perbincangan masyarakat. Citraan tersebut kemudian populer dengan meme (baca: mim) atau
internet meme. Dan yang menjadi viral, disebut gambar viral.
Internet Meme, saat ini lebih dimaknai sebagai proses komunikasi simbolik. Dalam
konteks meme, realitas artifisial menjadi ciri utama proses rekonstruksi realitas yang telah
dibangun oleh citra sebelumnya. Internet meme memuat informasi yang memiliki daya untuk
mengkonstruksi, merekonstruksi, merekayasa diri, dan mengimaji masyarakat penerima dengan
realitas artifisial secara terus menerus.
Barthes (1990) memilah penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen
ringkas dan beruntun yang disebutnya leksia, yaitu satuan pembacaan dengan panjang pendek
bervariasi. Leksia adalah sepotong bagian teks, yang apabila diisolasikan, akan berdampak
dengan potongan teks lain di sekitarnya. Leksia bisa berupa apa saja, dapat berupa satu atau dua
patah kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf, bergantung pada kegampangannya, yaitu
sesuatu yang memungkinkan kita menemukan makna. Yang dibutuhkan dari leksia adalah
memiliki beberapa kemungkinan makna.
Dimensi leksia, bergantung pada kepekatan konotasi yang bervariasi sesuai dengan
momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia dapat ditemukan pada tataran kontak pertama
di antara pembaca dan teks, dan pada saat satuan teks dipilah sedemikian rupa, sehingga
diperoleh aneka fungsi pada tataran pengorganisasian.
Proses pembacaan leksia disebut kode. Pengertian kode secara umum dalam
strukturalisme dan semiotik, terkait dengan sistem yang memungkinkan manusia memandang
entitas sebagai tanda. Dimana, tanda adalah sesuatu yang bermakna. Kita bisa memberi makna
kepada sesuatu, karena adanya sistem pikiran atau kode, yang memungkinkan kita untuk dapat
melakukannya.
Bahasa manusia merupakan contoh yang paling sempurna dari kode. Kode lainnya adalah
yang bersifat sublinguistk, seperti ekspresi wajah, atau supralinguistik, yang dapat berupa
konversi sastra, dan lainya. Penafsiran atas bahasa tutur yang kompleks melibatkan pemakaian
secara tepat sejumlah kode sekaligus.
Untuk itulah, Barthes mengoperasikan lima kode pokok yang di dalamnya semua
penanda tekstual atau leksia, dapat dikelompokkan. Setiap leksia, dapat dimasukkan ke dalam
salah satu dari lima buah kode ini. Kode tersebut menciptakan sejenis jaringan atau topos yang
melaluinya teks dapat “menjadi”.
Kode pokok tersebut, meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus. kode adalah
bagian yang berkaitan satu sama lain dan terhubung dengan dunia di luar teks. Dalam bukunya
yang terkenal, S/Z, Barthes menuliskan salah satu contoh tentang cara kerja mengenai kode. Ia
menganalisis sebuah novel kecil dan menguraikan bahwa dalam novel tersebut terangkai kode
rasionalisasi.
Barthes dalam Piliang (2003), mengelompokkan kode tersebut menjadi lima kode, yakni
kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan. Kode
hermeneutik, adalah artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma,
penangguhan jawaban, yang akhirnya menuju pada jawaban. Dengan kata lain, kode
hermeneutik berhubungan dengan teka-teki dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang
terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda
jawaban lain. Kode hermeneutik atau kode teka-teki, berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang ada dalam teks.
Barthes dalam Budiman (2011), mengatakan kode hermeneutik adalah satuan yang
berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, berikut dengan penyelesaiannya, serta
merangkai aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau yang justru
menunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar
memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode penceritaan.
Dengan sebuah narasi, dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri,
sebelum akhirnya memberikan pemecahan atau jawaban.
Kode semantik, atau kode semik (code of semes) adalah kode yang memanfaatkan
isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda tertentu (konotasi). Pada
tataran tertentu, kode konotatif ini mirip dengan apa yang disebut para kritikus sastra Anglo
Amerika sebagai tema atau sruktur tematik. Barhes dalam piliang, mengatakan kode semantik
adalah kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas dan
maskulinitas. Dengan kata lain, kode semantik adalah tanda yang yang ditata, sehingga
memberikan suatu konotasi dalam berbagai bentuk, seperti maskulin, feminin, kebangsaan,
kesukuan, atau loyalitas. Kode semantik ini menawarkan banyak sisi. Diantaranya, pembaca
dapat menyusun tema suatu teks.
Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan,
pertentangan dua unsur, atau skizofrenia. Kode simbolik merupakan kode pengelompokkan, atau
konfigurasi yang gampang dikenali, karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur,
melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antithesis, seperti hidup
dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar
bagi suatu struktur simbolik (Barthes 1990). Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi
yang paling khas dan bersifat struktural.
Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau
antinarasi.
Kode
proairetik
merupakan
kode
tindakan.
Kode
ini
didasarkan
atas
konsep proairesi, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan
secara rasional (Barthes, 1990:18). Kode ini mengimplikasi logika perilaku manusia, tindakan
yang menimbulkan dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik, semacam
judul bagi sekuens. Kode proaretik adalah sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang.
Artinya semua teks bersifat naratif.
Kode kebudayaan atau kultural, adalah suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar,
mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, dan legenda. Kode
kultural atau kode referensial adalah semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif;
bersumber dari pengalaman manusia, mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak
dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa
berupa kode pengetahuan atau kearifan yang dirujuk oleh teks secara berulang-ulang. Kode ini
menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi wacana (Barthes, 1990). Kode
kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui oleh budaya.
Hasil dan Pembahasan
Dengan kecanggihan teknologi yang mampu menampilkan fitur kontemporer, menarik
minat partisipasi perempuan dalam media online, salah satunya melalui pembuatan banyak
meme yang menjadikan perempuan sebagai objek. Hal tersebut disatu sisi merupakan arena baru
bottom-up ekspresi yang memadukan budaya pop dan partisipasi. Oleh Karena itu, Milner (2013)
mendefinisikan meme sebagai artefak multi modal yang tak terhitung jumlahnya, menggunakan
budaya populer untuk menarik komentar publik. Menurutnya, budaya popular yang dikemas
dalam meme, biasanya berisi lelucon dan rumor, baik dalam bentuk video maupun gambar yang
menyebar dari sebuah jaringan ke jaringan lain. Kegiatan ini juga mengacu pada kemampuan
untuk menyebarkan ide-ide secara luas, sehingga terjadi reproduksi budaya, dalam bentuk
partisipasi budaya, produksi, kreativitas, kemampuan menyebarluaskan dan penggunaan strategis
untuk menghindari sensor politik.
Sementara itu, menurut Shifman (2014) meme yang menyebar di media sosial sering
dimaksudkan untuk menjadi bahan lucu-lucuan, menghubungkan orang melalui lelucon bersama,
tetapi mereka juga mengungkapkan modus ekspresi politik dan ideologi yang serius.
Berdasarkan penellitian Jane (2014), komentar dan ulasan secara online mengenai sebuah meme
atau gambar viral, menjadi ruang produktif untuk penciptaan, pengumpulan dan sirkulasi kritik
feminis, serta dan membangun komunitas sebagai sarana infrastruktur feminis untuk merespon
jaringan dan meningkatkan kesadaran mereka. Media sosial seperti Facebook, Telegram dan
Whats Up Grup, adalah ruang yang relatif lebih aman untuk mengekspresikan kritik feminis
yang sangat dikendalikan oleh misogyny online di dunia maya.
Dalam penelitian ini, misogyny online terhadap perempuan juga direpresentasikan
dengan perempuan yang menutup muka. Dalam gambar tersebut, perempuan digambarkan
sebagai korban dari tindakan sebelumnya, yang dilakukan oleh Om yang tertulis dalam teks
gambar viral. Hal tersebut juga dapat dimaknai sebagai bentuk kritik feminis kepada sosok Om
yang dituntut tanggung jawab, atas peristiwa yang membuat perempuan dalam gambar viral itu
hamil. Gambar viral yang tersebar tersebut, dikomentari oleh para perempuan yang berpatisipasi
di dunia online. Bagi peneliti, gambar tersebut bukanlah sebuah gambar lelucon, tapi gambar
dengan sarat makna.
Dalam
konteks
budaya
visual
internet,
khususnya
fotografi
digital,
gambar
viral diciptakan melalui proses replikasi dan modifikasi dari citra-citra fotografis yang telah
tersedia di mesin pencari. Kreator gambar viral, biasanya hanya tinggal melengkapi foto temuan
dengan teks, atau dengan mengurangi dan menambahkan elemen gambar melalui proses olah
digital sederhana, tergantung kesesuaian konteks informasi apa yang ingin disampaikan. Setelah
proses penciptaan selesai, gambar akan disebar dan menyebar melalui layanan share, retweet,
atau repost di media sosial.
Kebanyakan dari gambar viral di sosial media, memuat foto dan tulisan yang lucu namun
bernada satir. Banyak dari pembuat gambar viral yang memparodikan tingkah laku para subjek
populis. Oleh Karena itu gambar viral, memiliki keunggulan dalam bahasa visual dan lebih cepat
dan langsung dimengerti khalayak. Selain itu, bahasa visual mempunyai kekuatan pada nilai
simbolis.
Mengacu pada pendapat Spradley (1997), simbol adalah objek atau peristiwa yang
menunjuk pada sesuatu. Simbol melibatkan tiga unsur, yaitu: pertama, simbol itu sendiri. Kedua,
satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Ketiga unsur tersebut,
merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol meliputi apa yang
dapat dirasakan atau alami. Salah satu cara yang digunakan untuk membahas lingkup makna,
adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.
Sementara itu, Fungsi teks dalam gambar viral, menunjukkan pada sesuatu yang mengacu
pada sesuatu dan dilaksanakan dengan sejumlah kaidah, janji, dan kaidah, yang merupakan dasar
dan alasan mengapa sebuah tanda merujuk pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson
merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode. Kode pertama yang berlaku pada teks-teks
ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks. Kode bahasa biasanya dicantumkan
dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks tersusun menurut kode lain yang disebut kode
sekunder, yang bahannya berasal dari sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur
cerita, prinsip drama, bentuk argumentasi, dan sistem metrik, merupakan kode sekunder yang
digunakan dalam teks untuk mengalihkan arti.
Kode hermeneutik dalam gambar viral Om Telat Om menggambarkan perempuan
sebagai objek eksploitasi pria. Hal tersebut tertulis secara jelas pada tulisan Om Telat Om yang
melengkapi gambar. Tulisan tersebut menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak ia lakukan
sendiri. Kata Om, merujuk kepada sosok lain yang tidak terdapat pada gambar. Namun kita dapat
memaknai kata Om merujuk kepada pria. Kemudian kita pun dapat memaknai, bahwa
perempuan itu telah hamil. Kehamilan tersebut terjadi karena ada proses ekploitasi dari pria yang
memperlakukan perempuan sebagai objek pemuas nafsu pria.
Kode simbolik dalam gambar viral Om Telat Om, digambarkan dengan pose perempuan
yang menyesal dan menanggung malu. Perempuan dan kehamilan semesti menjadi hal
yang mengembirakan, namun bila kita merujuk pada gambar viral yang menjadi objek penelitian,
maka makna perempuan dan kehamilan dimaknai dengan situasi penyesalan dan menutup
mukanya karena menanggung malu. Ekspresi menutup muka, dimaknai penulis sebagai tanda
malu, kecewa, dan menyesal. Lebih lanjut lagi, gambar tesebut memperlihatkan akibat dari
perbuatan sebelumnya, yaitu perbuatan yang ia sesali. Menyesali kebodohan atau kecerobohan
yang telah ia alami. Disisi lain, gambar viral Om Telat Om juga menyisatkan makna lain.
Gambar viral ini menjadikan perempuan sebagai objek yang dapat di eksploitasi, karena
menggunakan perempuan sebagai sebuah objek untuk cara mudah menjadikan viral. Walaupun
gambar tersebut, berkisah mengenai perempuan hamil diluar nikah. Namun gambar tersebut
justru memberikan referensi yang dapat meneguhkan posisi perempuan sebagai objek yang
menarik untuk dikomodifikasi.
Kode semik mengisyarakan perempuan yang sudah terlambat datang bulan. Merujuk
pada lima kode Barthes tersebut, makna konotatif dimaknai dalam kode semik. Dalam gambar
viral
Om
Telat
Om
kritis. Gambar viral om
ini,
telat
menarik
om
untuk
dibahas
lebih
lanjut
dalam
merupakan representasi perempuan
pemikiran
yang telat
datang ‘bulan’, bukan sekadar gambar untuk disebarkan dengan maksud guyon. Makna ini
berhubungan dengan kode simbolik, dimana situasi kehamilan di sambut dalam situasi yang
berbeda. Situasi yang berbeda disini adalah situasi yang menyebabkan kehamilan. Seorang
perempuan yang hamil tanpa suami, bukan menjadi kabar yang gembira, namun kabar yang
menguncang jiwa dan mental perempuan tersebut. Sisi moral dari perempuan tersebut
dipertaruhkan, antara menggugurkan anak, atau mempertahankankan dengan menanggung aib.
Kode proaretik mengambarkan perempuan sebagai objek penderita. Seperti kebanyakan
gambar viral yang menggunakan wanita sebagai objeknya. Representasi perempuan dalam
gambar Viral Om Telat Om juga mengambarkan peerempuan sebagai objek penderita.
Penderitaan
tersebut
dimulai
dari
informasi
bahwa
perempuan tersebut
hamil
di
luar nikah. Selanjtunya ia akan menerima sanksi sosial dan perasaan batin yang menyiksanya.
Sanksi sosial tidak hanya diterima dari orang lain, tapi ia juga mengutuk dirinya sendiri.
Walaupun sanksi dari orang sekitar lebih sakit dirasakan. Orang-orang sekitar, termasuk orang
terdekat, seperti keluarga juga sering mengajukan sederet pertanyaan, diantaranya mengapa ia
mau melakukan perbuatan tersebut? Mengapa ia tidak berhati-hati? Apakah dia tidak bisa
berpikir jernih untuk bisa menolak? Pertanyaan-pertanyaan itu diarahkan ke perempuan yang
hamil di luar nikah, sebagai alih-alih untuk menghakimi dan menyalahkan. Pasalnya bila ia
sudah hamil dan belum menikah, maka masyarakat akan tahu dan akan memberikan cap
negatif. Sementara ‘Om’ yang seharusnya ikut bertanggung jawab, bisa dengan lebih bebas untuk
tidak menanggung aib.
Dan kode kultural mengambarkan perempuan yang akan menerima sanksi sosial dan
menahan rasa malu. Perempuan yang hamil tanpa suami, apalagi hamil di luar nikah akan
menjadi aib dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan tersebut akan menerima sanksi sosial,
adat dan agama. Di antara ketiga sanksi tersebut, maka sanksi sosial yang akan sangat berat ia
rasakan pada awal-awal kejadian dan akan selalu melekat pada nama diri dan keluarganya, yaitu
cap sebagai perempuan yang hamil di luar nikah. Selain itu, bukan hanya perempuan tersebut
yang akan diberi sanksi sosial, namun anak yang akan dilahirkan juga akan di beri cap sebagai
anak haram. Sedangkan secara adat dan agama ia pun juga akan menerima hukuman menurut
cara adat dan agama yang ia anut. Tentunya segala sanksi tersebut bertujuan baik, agar
perempuan-perempuan lain tidak ada yang mengikuti perilaku tersebut.
Kesimpulan
Kecanggihan teknologi yang bisa diminati masyarakat dewasa ini, ternyata juga tidak
mampu untuk menghilangkan tindakan yang menjadikan perempuan sebagai objek. Hal tersebut
diperlihatkan dengan masih bertebarannya tindakan misogyny online di dunia maya. Dalam
penelitian ini, misogyny online terhadap perempuan direpresentasikan dalam gambar viral Om
Telat Om dengan memuat pose perempuan yang menutup muka. Dalam gambar tersebut,
perempuan digambarkan sebagai korban dari tindakan yang dilakukan oleh Om. Berawal dari
tantangan untuk melakukan kritik feminis kepada sosok Om yang dituntut untuk bertanggung
jawab atas peristiwa yang membuat perempuan dalam gambar viral hamil, maka penelitian ini
dilakukan. Terlebih lagi karena gambar viral yang tersebar tersebut, banyak dikomentari netizen
sebagai sebuah gambar guyon. Padahal tanda dan penanda dalam gambar viral tersebut sarat
makna mysogyny.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barthes, Roland. 1970. S/Z. New York: Hill and Wang
Berger, Arthur Asa. 2010. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual. Yogyakarta : Buku Baik
Dawkins, Richard. 1976. The Selfish Gene. Oxford: Oxford University Press.
Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Mulyana, Dedy. 2004. Metodologi penelitian Kualitatif Paradigma Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya
Piliang, Yasraf Piliang. 2003. Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra
Polichak, James W. 2002. Memes as Pseudoscience. In Michael Shermer, Skeptic Encyclopedia
of Pseudoscience. p. 664
Shifman, Limor. 2014. Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: MIT Press
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Spradley, James, P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumanto. 1995. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
Jurnal
Jane, Emma Alice. 2014. ‘“Back to the Kitchen, Cunt!”: Speaking the Unspeakable
about Online Misogyny’. Continuum: Journal of Media and Cultural Studies 28(4): 558–
570.
Kantorovich, Aharon. 2014. An Evolutionary View of Science: Imatation and
Memetics. Social Science Information Journal Vol. 53 (3) 363-373. Sage Journal
Milner, Ryan. 2013. ‘Pop Polyvocality: Internet Memes, Public Participation and the
Occupy Wall Street Movement’. International Journal of Communication
7: 235–2390
Safitri, Dini. 2015. Representasi Capres Boneka dalam Meme Capres Boneka di
Sosial Media. Jurnal Semiotika Vol. 9 (1), 79-112
. 2017. Women in Media Construction: Modernization or Consumerism?. Advance
Science Letters Vol. 23 (1) 403-405
Prosiding
Safitri, Dini. 2016. Image Viral and Community Mental Health. Proceeding
International Conference on Transformation in Communication
CV Peneliti
Dini Safitri lahir di Pariaman, 6 Febuari 1984. Menempuh pendidikan dasar di SD
Muhammadiyah II Jakarta pada usia 5 tahun, kemudian melanjutkan ke SMPN 216 Jakarta dan
SMAN 68 Jakarta. Sempat berkuliah di Sastra Cina FIB UI namun hanya 2 semester, kemudian
menamatkan studi S1 di jurusan jurnalistik Fikom Unpad. Setelah tamat S1, memutuskan pulang
ke Jakarta dan bekerja di sebuah kantor majalah. Sebelum memutuskan resign karena ingin
meneruskan studi S2, Penulis bersama kedua orang tua bekesempatan pergi haji di akhir tahun
2006 dan kembali pada awal tahun 2007. Setelah resign, penulis menikah dengan Iqbal Febriano.
Dan setelah itu melanjutkan S2 di ilmu komunikasi UI. Tamat S2, menjadi dosen honorer di
salah satu Universitas Swasta di Jakarta dan kemudian pada Desember 2010 diterima menjadi
salah satu dosen CPNS di FIS UNJ. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan kuliah S3 pada ilmu
komunikasi UI dan lulus pada tahun 2016. Saat ini penulis telah dikarunia 4 orang anak, 3 putra
dan 1 orang putri. Selama kuliah, penulis banyak menulis untuk jurnal dan konferensi, yang
sudah di upload ke https://www.researchgate.net/home.
Dini Safitri
Universitas Negeri Jakarta
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengambarkan representasi perempuan dalam gambar
viral Om Telat Om. Gambar viral Om telat Om mejadi viral karena viralnya gambar Om Telolet
Om. Kemiripan kata ‘telolet’ dengan kata ‘telat’, menjadikan gambar Om Telat Om ikut menjadi
viral, namun dalam konteks makna yang berbeda. Perbedaan makna yang besar ini, menjadi daya
tarik untuk penelitian ini. Metode penelitan ini menggunakan semiotika, lima tanda Roland
Barthes. Hasil penelitian menunjukan adanya tanda lima kode pada gambar viral Om Telat Om.
Kode hermeneutik menggambarkan perempuan sebagai objek eksploitasi pria. Kode simbolik
digambarkan dengan pose perempuan yang menyesal dan menanggung malu. Kode semik
mengisyarakan perempuan yang sudah terlambat datang bulan. Kode proaretik mengambarkan
perempuan sebagai objek penderita. Dan kode kultural mengambarkan perempuan yang akan
menerima sanksi sosial dan menahan rasa malu.
Kata Kunci: Representasi Perempuan, Gambar Viral, Semiotika, Lima Kode Roland Barthes
Abstract
This study aims to portray the representation of women in the viral image that reads Om
Telat Om (literally means I’m late, used to indicate pregnancy.). The image became viral after
the image of Om Telolet Om (a sign for bus driver to horn) . It became viral out of similarities
between 'telolet' and telat, but with different meanings and context. This large difference in
meaning is the main appeal for this study. This research using semiotics, mainly Roland Barthes’
five codes. The results showed the mark of five codes on the viral image of Om Telat Om.
Hermeneutic code shows women as objects of men’s exploitation. Symbolic code depicted with
women posing regret and shame. Semic code hinted to women who had not receive her period.
Proairetic code portrays women as objects and bearers. And the cultural code portray women
who bears social punishments and humiliation.
Keywords: Representation of Women, Viral Image, Semiotic, Roland Barthes’ Five Codes
PENDAHULUAN
Fenomena menyebarnya gambar Om Telolet Om di media sosial, menjadi kisah unik nan
viral yang menutup tahun 2016. Namun banyak gambar viral lain yang ikut menjadi viral
sehubungan dengan gambar viral Om telolet Om. Salah satunya adalah gambar Om telat Om.
Untuk itu, penelitian ini tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai gambar viral Om telat Om.
Gambar viral Om Telat Om, ikut menjadi viral, karena ada kemiripan tulisan dengan Om Telolet
Om. Namun dalam pengertiannya, tentu makna yang ada dibalik gambar viral Om Telat Om
sangat jauh berbeda dari gambar viral Om Telolet Om. Perbedaan makna yang besar ini, menjadi
kegelisahan bagi penulis untuk meneliti gambar ini lebih lanjut. Terlebih lagi, penyebaran
gambar Om Telat Om di media sosial lebih kearah plesetan dari Om Telolet Om, sehingga
bermakna sebagai tindakan guyonan. Padahal secara makna, pesan yang ada dalam gambar Om
Telat Om, bukanlah guyonan tapi persoalan yang sangat serius. Khususnya menyangkut
persoalan perempuan.
Dari sekian banyak gambar yang beredar di media sosial, penulis memilih sebuah gambar
yang merepresentasikan perempuan sebagai objek penderita dengan tulisan Om Telat Om.
Penulis memilih gambar ini karena ikut menjadi viral, tapi disertai komen guyonan oleh netizen
di sosial media. Padahal sebetulnya represenstasi perempuan dalam gambar ini bukan untuk
guyonan. Berikut ini adalah gambar tersebut:
Gambar 1. Gambar Viral Om, Telat Om di Media Sosial
Penulis melihat ada persoalan, tidak hanya pada makna dalam gambar viral Om Telat
Om, tapi juga pada bagaimana netizen tidak memikirkan makna gambar viral Om Telat Om,
terutama saat mereka ikut menyebarkan dan mengomentari gambar tersebut dengan komentar
guyon. Selain itu, saat penulis mengetik kata kunci Om Telat Om di mesin pencari, maka akan
terhubung ke situs yang diblokir oleh internet positif. Hal tersebut, karena situs di komputer
penulis, dilindungi dari konten yang memuat kategori pornografi.
Pada gambar diatas terdapat gambar perempuan beserta siluet, tulisan Om Telat Om, dan
diatasnya dipertegas dengan gambar tangan yang memegang alat pendeteksi kehamilan. Gambar
tersebut merepresentasikan gambaran perempuan yang terlambat datang bulan atau perempuan
yang mengetahui bahwa dirinya hamil. Namun kehamilan tersebut menjadi sebuah masalah bagi
perempuan dalam gambar viral tersebut. Hal tersebut ditandai oleh perempuan dalam gambar
viral tersebut yang menutup wajahnya, dan di bayangi oleh siluet hitam, tanda penyesalan atas
kehamilannya. Banyak makna ynag bias dimaknai oleh gambar viral tersebut, oleh karena itu
peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai makna representasi perempuan dalam
gambar viral Om Telat Om.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar viral adalah sebuah objek yang sarat akan makna. Terlebih lagi bila kita ingin
menganalisa dengan semiotika, maka akan kita didapatkan berbagai macam makna yang
bisa merepresentasikan makna di balik gambar viral. Walaupun demikian, definisi kata viral
sendiri belum ditemukan di kamus besar Bahasa Indonesia. Kata viral tersebut dipopulerkan
melalui tayangan televisi dan media elektronik lainnya. Kata viral banyak dipakai dalam dunia
marketing, istilah tersebut disamakan dengan kata Virus. Oleh Karena itu, menurut Wikipedia
Indonesia, viral adalah strategi dan proses penyebaran pesan elektronik yang menjadi saluran
untuk mengkomunikasikan informasi suatu produk kepada masyarakat secara meluas dan
berkembang.
Menurut Wilson (2012), viral adalah suatu hal yang berkembang melalui jaringan
internet, yang menduplikasikan dirinya menjadi semakin banyak, seperti kerja sebuah virus
komputer. Viral memerlukan koneksi jaringan Internet dalam penggunaannya. Ia menyimpulkan
viral seperti menyebarkan virus di dunia maya, dalam hal ini bukan virus komputer melainkan
informasi yang menyebar secara meluas dan berkembang seperti ciri-ciri yang dimiliki virus.
Atas dasar definisi tersebut, maka media juga mengunakan kata gambar viral untuk menyebut
gambar-gambar yang tersebar di internet dengan sangat massif di dunia maya.
Selain kata gambar viral, juga ada kata meme. Menurut Kantorovic (2013) Istilah meme
merujuk kepada pemikiran Richard Dawkins yang mengatakan bahwa meme, dapat digunakan
sebagai sebuah unit penyebaran budaya. Meme merupakan unit informasi yang merambat dan
meloncat dari ide ke ide. Dalam penerapannya untuk ilmu pengetahuan, proses penyebarannya
berhubungan dengan cara di mana meme atau ide-ide tersebut menyebar di masyarakat. Meme
atau ide bersifat meniru melalui imitasi. Dalam penelitian ini, gambar viral Om Telat Om,
diciptakan oleh kreator gambar, karena adanya ide untuk meniru atau menyarukan gambar viral
Om Telolet Om yang sudah lebih dahulu tersebar. Namun perbedaan makna yang besar dalam
gambar viral Om Telat Om dengan Om Telolet Om menjadikan hal tersebut menarik dikaji dari
segi pemaknaan budaya Indonesia. Proses tersebut tidak terlepas dari adanya transformasi nilai
budaya asing yang ikut mewarnai masyarakat Indonesia saat ini.
Menurut Polichack, adanya model transfer informasi budaya, didasarkan pada konsep bahwa
unit-unit informasi, atau meme, memiliki eksistensi yang independen, dapat menggandakan diri,
dan tunduk pada evolusi selektif melalui kekuatan lingkungan. Sama seperti Kantorovic,
Polichack juga merujuk pada pemikiran Richard Dawkins. Namun ia memfokuskan diri pada
kritik yang mengarah pada unit-unit budaya yang mereplikasi diri. Dalam penelitian ini, gambar
viral Om Telat Om, merupakan gambar yang lahir dari proses replikasi dari kemiripan tulisan
pada gambar viral Om Telolet Om, namun mengandung makna budaya yang berbeda. Dalam
gambar viral Om Telat Om, menyasar pada objek perempuan sebagai objek yang
direpresentasikan dalam gambar viral.
Untuk dapat membaca makna di balik gambar viral atau meme, peneliti menggunakan
teori semiotika. Ada beberapa tokoh terkenal yang mencetuskan teori semiotika. Salah satunya
yang terkenal dan banyak dipakai peneliti semiotika, adalah Roland Barthes. Teori semiotika
Barthes yang dipakai dalam penelitian ini adalah lima kode. Menurut Barthes terdapat lima kode
yang dapat dibaca dalam sebuah gambar.
Menurut Barthes dalam Budiman (2011) di dalam teks setidak-setidaknya terdapat lima
kode pokok yang dapat mengelompokan semua penanda tekstual (leksia). Setiap atau masingmasing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Lima kode ini
menciptakan sejenis jaringan atau topos. Adapun lima kode pokok tersebut, meliputi aspek
sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagian berkaitan satu
sama lain dan terhubungkan dengan dunia di luar teks. Lima kode tersebut meliputi kode
hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik dan kode kultural.
Kode hermeneutik adalah satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk
mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat
memformulasikan persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau
bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi
penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode penceritaan, yang dengannya
sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum
memberikan pemecahan atau jawaban.
Kode semik (code of semes) atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat,
petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Pada tataran
tertentu, kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra AngloAmerika sebagai tema atau sruktur tematik, sebuah thematic grouping.
Kode simbolik (symbolic code) merupakan kode pengelompokkan atau konfigurasi yang
gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai
cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antithesis : hidup dan mati, di luar dan di
dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur
simbolik
Kode proairetik (proairetik code) merupakan kode tindakan. Kode ini didasarkan atas
konsep proairesi, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan
secara rasional yang mengimplikasi suatu logika perilaku manusia, seperti tindakan yang
membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri,
semacam judul bagi sebuah sekuens.
Kecuali keempat kode di atas, dapat ditambahkan satu jenis kode lagi, yaitu kode kultural
(cultural code) atau kode referensial (reference code) yang berwujud sebagai semacam suara
kolektif
yang
anonim
dan
otoritatif,
bersumber
dari
pengalaman
manusia,
yang
merepresentasikan tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau
kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa berupa kode pengetahuan atau kearifan
(wisdom) yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar
autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana.
Melalui lima kode yang sedikit dijelaskan dalam paparan di atas, maka penulis ingin
mengambarkan bagaimana representasi perempuan dalam gambar viral Om telat Om. Selain itu,
karena gambar viral Om Telat Om mengunakan perempuan sebagai objek, maka peneliti juga
mengunakan teori feminis sebagai metode analisis. Teori yang dipakai adalah teori mengenai
mysogini terhadap perempuan di media sosial. Pemilihan teori tersebut didasari karena peneliti
melihat peran media sosial sebagai sarana partisipatif pembuatan dan berbagi meme yang
memberikan sudut pandang yang unik untuk membuat berbagai konsep, mulai dari meme yang
bertujuan mengugah sisi afektif sampai kepada meme bermuatan politik dan berisi budaya
feminisme digital.
Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut Blumer, Becker, dan
Dezin (dalam Mulyana, 2004:151) penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi
perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, dan bukan mengubahnya menjadi
entitas-entitas kuantitatif. Pembicaraan yang sebenarnya, isyarat, dan tindakan sosial lainnya
adalah bahan mental analisis kualitatif.
Penelitian kualitatif berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu
lingku’ngan yang alamiah dan langsung kepada tindakan atau interaksi manusianya itu sendiri
dalam memaknai dan menginterpretasikan kejadian-kejadian sosial, dan bukannya kepada
lingkungan yang artifisial seperti eksperimen.
Metode kualitatif, merujuk pada metode analisis dokumen untuk menanamkan,
mengidentifikasi, mengolah dan menganalisis dokumen untuk memahami makna. Jenis
penelitian dalam penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah mengungkap fakta, keadaan, dan fenomena yang terjadi saat penelitian
berjalan, dan menyuguhkan dengan apa adanya.
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan secara menyeluruh masalah penelitian, yang
terkait dengan representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om, dan berusaha
menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah
penelitian, yaitu
memamaparkan bagaimana representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om.
Untuk menganalisa, penulis memakai semiotika Barthes. Menurut Barthes, yang tidak
tampak di analisa yang tokoh yang lain, yaitu dibalik penanda terdapat ideologi yang
memerankan sebuah kontruksi budaya yang terwujud dalam meme politik, sebagai bentuk dari
komunikasi masa yang dipengaruhi sistem politik Indonesia. Semiotika adalah metode untuk
mengetahui makna dari ekspresi yang berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada
lebih dari satu makna dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala meta
bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah
denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangannya disebut sistem
sekunder. Sistem sekunder mengarah pada ekspresi atau metabahasa. Sistem sekunder yang
berkembang ke arah isi, disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep
konotasi didasari kognisi dan pragmatik, yaitu pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Pemakai tanda juga dipengaruhi oleh ideologi.
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama,
tanda dapat dilihat latar belakangnya, yaitu pada pertama, penanda dan kedua, petandanya. Tahap
pertama, melihat tanda secara denotatif. Pada tahap denotasi ini, tanda ditelaah secara bahasa.
Setelah menelaah pemahaman bahasa, kita kemudian masuk ke tahap kedua, yakni menelaah
tanda secara konotatif. Pada tahap ini, terdapat konteks budaya ikut berperan dalam penelaahan
tersebut. Makna denotatif dan konotatif, bila digabung akan membawa kita pada mitos.
Barthes menggunakan teori konotasi. Perbedaan dari konotasi yang lain, Barthes
menekankan teorinya pada mitos dan pada budaya masyarakat. Barthes mengemukakan, semua
hal yang dianggap wajar dalam suatu masyarakat, adalah hasil dari proses konotasi. Barthes juga
menekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression seperti bentuk dan
ekspresi, untuk signifiant. Dan menggunakan contenu (isi) untuk signifiè.
Barthes menguraikan makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media
massa dan iklan. Menurut Barthes, foto adalah salah satu sarana yang dapat menghadirkan pesan
secara langsung, baik sebagai analogon atau denotasi. Foto juga dapat meyakinkan seseorang
yang melihatnya, bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang yang disebut sebagai
fotografer. Akan tetapi, menurut Barthes, dibalik peristiwa tersebut, ternyata foto juga
mengandung pesan simbolik, yang menuntut orang lain yang melihat foto tersebut untuk
menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Begitu pula dengan
internet meme, pelihat meme juga menghubungkan visualisasi dalam meme dengan pengetahuan
yang telah dimilikinya tentang meme tersebut.
Seorang fotografer dalam memotret seringkali memperhatikan pose objek yang
dipilihnya. Dengan demikian, fotografer dapat melakukan sejumlah manipulasi demi tercapainya
apa yang hendak difotonya. Hal tersebut seringkali dilakukan dalam menekankan kekuatan foto
pada aspek daya tariknya. Digunakan sebagai sarana persuasif dan seringkali memanfaatkan
situasi politik. Barthes menyebutnya dengan pendekatan fenomenologi sinis.
Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman dari seseorang yang
mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang foto merupakan ziarah
menuju jati diri yang melewati tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman ini yang
menjadi ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto. Begitu juga dalam melihat visualiasi meme
di internet, tidak semua meme menjadi gambar viral.
Meme yang menjadi gambar viral dalam media sosial adalah meme yang dapat membuat
pelihatnya terpaku pada satu titik. Gambar viral Om Telat Om menjadi topik komentar di media
sosial, karena merupkan visualisasi dari peristiwa hangat yang sedang menghebohkan
menyangkut gambar viral Om Telolet Om yang telah viral sebelumnya.
Dalam penelitian ini, penulis ingin menunjukan gambaran dari representasi perempuan
dalam gambar viral Om Telat Om. Dimana representasi merupakan tindakan yang menghadirkan
sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2006:
24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Melalui
representasi, ide-ide ideologis dan abstrak mendapatkan bentuknya. Representasi juga berarti
sebuah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang
tersedia, contohnya dapat berupa dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya.
Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris, represent yang bermakna
stand for, atau juga act as a delegate for, yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu.
Representasi juga dapat diartikan sebagai proses dan hasil yang memberi makna khusus pada
tanda. Representasi pada gambar viral, saat ini merupakan hal yang menarik untuk diteliti,
mengingat pertumbuhannya yang pesat di sosial media.
Sebagaimana peneliti amati, dalam media sosial, kreativitas adalah salah satu modal yang
harus dimiliki untuk membuat gambar viral. Ada beragam media sosial, dan beragam bentuk cara
berkomunikasi dalam media sosial. Salah satu cara berkomunikasi yang digunakan adalah
dengan menggunakan komunikasi visual pada tingkatan yang masif. Puluhan hingga ratusan
citraan foto, ditampilkan di media sosial. Citraan tersebut, biasanya disertai dengan teks. Citraan
yang ditampilkan merupakan representasi dari kejadian populer yang sedang ramai menjadi
perbincangan masyarakat. Citraan tersebut kemudian populer dengan meme (baca: mim) atau
internet meme. Dan yang menjadi viral, disebut gambar viral.
Internet Meme, saat ini lebih dimaknai sebagai proses komunikasi simbolik. Dalam
konteks meme, realitas artifisial menjadi ciri utama proses rekonstruksi realitas yang telah
dibangun oleh citra sebelumnya. Internet meme memuat informasi yang memiliki daya untuk
mengkonstruksi, merekonstruksi, merekayasa diri, dan mengimaji masyarakat penerima dengan
realitas artifisial secara terus menerus.
Barthes (1990) memilah penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen
ringkas dan beruntun yang disebutnya leksia, yaitu satuan pembacaan dengan panjang pendek
bervariasi. Leksia adalah sepotong bagian teks, yang apabila diisolasikan, akan berdampak
dengan potongan teks lain di sekitarnya. Leksia bisa berupa apa saja, dapat berupa satu atau dua
patah kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf, bergantung pada kegampangannya, yaitu
sesuatu yang memungkinkan kita menemukan makna. Yang dibutuhkan dari leksia adalah
memiliki beberapa kemungkinan makna.
Dimensi leksia, bergantung pada kepekatan konotasi yang bervariasi sesuai dengan
momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia dapat ditemukan pada tataran kontak pertama
di antara pembaca dan teks, dan pada saat satuan teks dipilah sedemikian rupa, sehingga
diperoleh aneka fungsi pada tataran pengorganisasian.
Proses pembacaan leksia disebut kode. Pengertian kode secara umum dalam
strukturalisme dan semiotik, terkait dengan sistem yang memungkinkan manusia memandang
entitas sebagai tanda. Dimana, tanda adalah sesuatu yang bermakna. Kita bisa memberi makna
kepada sesuatu, karena adanya sistem pikiran atau kode, yang memungkinkan kita untuk dapat
melakukannya.
Bahasa manusia merupakan contoh yang paling sempurna dari kode. Kode lainnya adalah
yang bersifat sublinguistk, seperti ekspresi wajah, atau supralinguistik, yang dapat berupa
konversi sastra, dan lainya. Penafsiran atas bahasa tutur yang kompleks melibatkan pemakaian
secara tepat sejumlah kode sekaligus.
Untuk itulah, Barthes mengoperasikan lima kode pokok yang di dalamnya semua
penanda tekstual atau leksia, dapat dikelompokkan. Setiap leksia, dapat dimasukkan ke dalam
salah satu dari lima buah kode ini. Kode tersebut menciptakan sejenis jaringan atau topos yang
melaluinya teks dapat “menjadi”.
Kode pokok tersebut, meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus. kode adalah
bagian yang berkaitan satu sama lain dan terhubung dengan dunia di luar teks. Dalam bukunya
yang terkenal, S/Z, Barthes menuliskan salah satu contoh tentang cara kerja mengenai kode. Ia
menganalisis sebuah novel kecil dan menguraikan bahwa dalam novel tersebut terangkai kode
rasionalisasi.
Barthes dalam Piliang (2003), mengelompokkan kode tersebut menjadi lima kode, yakni
kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan. Kode
hermeneutik, adalah artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma,
penangguhan jawaban, yang akhirnya menuju pada jawaban. Dengan kata lain, kode
hermeneutik berhubungan dengan teka-teki dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang
terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda
jawaban lain. Kode hermeneutik atau kode teka-teki, berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang ada dalam teks.
Barthes dalam Budiman (2011), mengatakan kode hermeneutik adalah satuan yang
berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, berikut dengan penyelesaiannya, serta
merangkai aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau yang justru
menunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar
memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode penceritaan.
Dengan sebuah narasi, dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri,
sebelum akhirnya memberikan pemecahan atau jawaban.
Kode semantik, atau kode semik (code of semes) adalah kode yang memanfaatkan
isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda tertentu (konotasi). Pada
tataran tertentu, kode konotatif ini mirip dengan apa yang disebut para kritikus sastra Anglo
Amerika sebagai tema atau sruktur tematik. Barhes dalam piliang, mengatakan kode semantik
adalah kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas dan
maskulinitas. Dengan kata lain, kode semantik adalah tanda yang yang ditata, sehingga
memberikan suatu konotasi dalam berbagai bentuk, seperti maskulin, feminin, kebangsaan,
kesukuan, atau loyalitas. Kode semantik ini menawarkan banyak sisi. Diantaranya, pembaca
dapat menyusun tema suatu teks.
Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan,
pertentangan dua unsur, atau skizofrenia. Kode simbolik merupakan kode pengelompokkan, atau
konfigurasi yang gampang dikenali, karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur,
melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antithesis, seperti hidup
dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar
bagi suatu struktur simbolik (Barthes 1990). Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi
yang paling khas dan bersifat struktural.
Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau
antinarasi.
Kode
proairetik
merupakan
kode
tindakan.
Kode
ini
didasarkan
atas
konsep proairesi, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan
secara rasional (Barthes, 1990:18). Kode ini mengimplikasi logika perilaku manusia, tindakan
yang menimbulkan dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik, semacam
judul bagi sekuens. Kode proaretik adalah sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang.
Artinya semua teks bersifat naratif.
Kode kebudayaan atau kultural, adalah suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar,
mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, dan legenda. Kode
kultural atau kode referensial adalah semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif;
bersumber dari pengalaman manusia, mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak
dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa
berupa kode pengetahuan atau kearifan yang dirujuk oleh teks secara berulang-ulang. Kode ini
menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi wacana (Barthes, 1990). Kode
kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui oleh budaya.
Hasil dan Pembahasan
Dengan kecanggihan teknologi yang mampu menampilkan fitur kontemporer, menarik
minat partisipasi perempuan dalam media online, salah satunya melalui pembuatan banyak
meme yang menjadikan perempuan sebagai objek. Hal tersebut disatu sisi merupakan arena baru
bottom-up ekspresi yang memadukan budaya pop dan partisipasi. Oleh Karena itu, Milner (2013)
mendefinisikan meme sebagai artefak multi modal yang tak terhitung jumlahnya, menggunakan
budaya populer untuk menarik komentar publik. Menurutnya, budaya popular yang dikemas
dalam meme, biasanya berisi lelucon dan rumor, baik dalam bentuk video maupun gambar yang
menyebar dari sebuah jaringan ke jaringan lain. Kegiatan ini juga mengacu pada kemampuan
untuk menyebarkan ide-ide secara luas, sehingga terjadi reproduksi budaya, dalam bentuk
partisipasi budaya, produksi, kreativitas, kemampuan menyebarluaskan dan penggunaan strategis
untuk menghindari sensor politik.
Sementara itu, menurut Shifman (2014) meme yang menyebar di media sosial sering
dimaksudkan untuk menjadi bahan lucu-lucuan, menghubungkan orang melalui lelucon bersama,
tetapi mereka juga mengungkapkan modus ekspresi politik dan ideologi yang serius.
Berdasarkan penellitian Jane (2014), komentar dan ulasan secara online mengenai sebuah meme
atau gambar viral, menjadi ruang produktif untuk penciptaan, pengumpulan dan sirkulasi kritik
feminis, serta dan membangun komunitas sebagai sarana infrastruktur feminis untuk merespon
jaringan dan meningkatkan kesadaran mereka. Media sosial seperti Facebook, Telegram dan
Whats Up Grup, adalah ruang yang relatif lebih aman untuk mengekspresikan kritik feminis
yang sangat dikendalikan oleh misogyny online di dunia maya.
Dalam penelitian ini, misogyny online terhadap perempuan juga direpresentasikan
dengan perempuan yang menutup muka. Dalam gambar tersebut, perempuan digambarkan
sebagai korban dari tindakan sebelumnya, yang dilakukan oleh Om yang tertulis dalam teks
gambar viral. Hal tersebut juga dapat dimaknai sebagai bentuk kritik feminis kepada sosok Om
yang dituntut tanggung jawab, atas peristiwa yang membuat perempuan dalam gambar viral itu
hamil. Gambar viral yang tersebar tersebut, dikomentari oleh para perempuan yang berpatisipasi
di dunia online. Bagi peneliti, gambar tersebut bukanlah sebuah gambar lelucon, tapi gambar
dengan sarat makna.
Dalam
konteks
budaya
visual
internet,
khususnya
fotografi
digital,
gambar
viral diciptakan melalui proses replikasi dan modifikasi dari citra-citra fotografis yang telah
tersedia di mesin pencari. Kreator gambar viral, biasanya hanya tinggal melengkapi foto temuan
dengan teks, atau dengan mengurangi dan menambahkan elemen gambar melalui proses olah
digital sederhana, tergantung kesesuaian konteks informasi apa yang ingin disampaikan. Setelah
proses penciptaan selesai, gambar akan disebar dan menyebar melalui layanan share, retweet,
atau repost di media sosial.
Kebanyakan dari gambar viral di sosial media, memuat foto dan tulisan yang lucu namun
bernada satir. Banyak dari pembuat gambar viral yang memparodikan tingkah laku para subjek
populis. Oleh Karena itu gambar viral, memiliki keunggulan dalam bahasa visual dan lebih cepat
dan langsung dimengerti khalayak. Selain itu, bahasa visual mempunyai kekuatan pada nilai
simbolis.
Mengacu pada pendapat Spradley (1997), simbol adalah objek atau peristiwa yang
menunjuk pada sesuatu. Simbol melibatkan tiga unsur, yaitu: pertama, simbol itu sendiri. Kedua,
satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Ketiga unsur tersebut,
merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol meliputi apa yang
dapat dirasakan atau alami. Salah satu cara yang digunakan untuk membahas lingkup makna,
adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.
Sementara itu, Fungsi teks dalam gambar viral, menunjukkan pada sesuatu yang mengacu
pada sesuatu dan dilaksanakan dengan sejumlah kaidah, janji, dan kaidah, yang merupakan dasar
dan alasan mengapa sebuah tanda merujuk pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson
merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode. Kode pertama yang berlaku pada teks-teks
ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks. Kode bahasa biasanya dicantumkan
dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks tersusun menurut kode lain yang disebut kode
sekunder, yang bahannya berasal dari sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur
cerita, prinsip drama, bentuk argumentasi, dan sistem metrik, merupakan kode sekunder yang
digunakan dalam teks untuk mengalihkan arti.
Kode hermeneutik dalam gambar viral Om Telat Om menggambarkan perempuan
sebagai objek eksploitasi pria. Hal tersebut tertulis secara jelas pada tulisan Om Telat Om yang
melengkapi gambar. Tulisan tersebut menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak ia lakukan
sendiri. Kata Om, merujuk kepada sosok lain yang tidak terdapat pada gambar. Namun kita dapat
memaknai kata Om merujuk kepada pria. Kemudian kita pun dapat memaknai, bahwa
perempuan itu telah hamil. Kehamilan tersebut terjadi karena ada proses ekploitasi dari pria yang
memperlakukan perempuan sebagai objek pemuas nafsu pria.
Kode simbolik dalam gambar viral Om Telat Om, digambarkan dengan pose perempuan
yang menyesal dan menanggung malu. Perempuan dan kehamilan semesti menjadi hal
yang mengembirakan, namun bila kita merujuk pada gambar viral yang menjadi objek penelitian,
maka makna perempuan dan kehamilan dimaknai dengan situasi penyesalan dan menutup
mukanya karena menanggung malu. Ekspresi menutup muka, dimaknai penulis sebagai tanda
malu, kecewa, dan menyesal. Lebih lanjut lagi, gambar tesebut memperlihatkan akibat dari
perbuatan sebelumnya, yaitu perbuatan yang ia sesali. Menyesali kebodohan atau kecerobohan
yang telah ia alami. Disisi lain, gambar viral Om Telat Om juga menyisatkan makna lain.
Gambar viral ini menjadikan perempuan sebagai objek yang dapat di eksploitasi, karena
menggunakan perempuan sebagai sebuah objek untuk cara mudah menjadikan viral. Walaupun
gambar tersebut, berkisah mengenai perempuan hamil diluar nikah. Namun gambar tersebut
justru memberikan referensi yang dapat meneguhkan posisi perempuan sebagai objek yang
menarik untuk dikomodifikasi.
Kode semik mengisyarakan perempuan yang sudah terlambat datang bulan. Merujuk
pada lima kode Barthes tersebut, makna konotatif dimaknai dalam kode semik. Dalam gambar
viral
Om
Telat
Om
kritis. Gambar viral om
ini,
telat
menarik
om
untuk
dibahas
lebih
lanjut
dalam
merupakan representasi perempuan
pemikiran
yang telat
datang ‘bulan’, bukan sekadar gambar untuk disebarkan dengan maksud guyon. Makna ini
berhubungan dengan kode simbolik, dimana situasi kehamilan di sambut dalam situasi yang
berbeda. Situasi yang berbeda disini adalah situasi yang menyebabkan kehamilan. Seorang
perempuan yang hamil tanpa suami, bukan menjadi kabar yang gembira, namun kabar yang
menguncang jiwa dan mental perempuan tersebut. Sisi moral dari perempuan tersebut
dipertaruhkan, antara menggugurkan anak, atau mempertahankankan dengan menanggung aib.
Kode proaretik mengambarkan perempuan sebagai objek penderita. Seperti kebanyakan
gambar viral yang menggunakan wanita sebagai objeknya. Representasi perempuan dalam
gambar Viral Om Telat Om juga mengambarkan peerempuan sebagai objek penderita.
Penderitaan
tersebut
dimulai
dari
informasi
bahwa
perempuan tersebut
hamil
di
luar nikah. Selanjtunya ia akan menerima sanksi sosial dan perasaan batin yang menyiksanya.
Sanksi sosial tidak hanya diterima dari orang lain, tapi ia juga mengutuk dirinya sendiri.
Walaupun sanksi dari orang sekitar lebih sakit dirasakan. Orang-orang sekitar, termasuk orang
terdekat, seperti keluarga juga sering mengajukan sederet pertanyaan, diantaranya mengapa ia
mau melakukan perbuatan tersebut? Mengapa ia tidak berhati-hati? Apakah dia tidak bisa
berpikir jernih untuk bisa menolak? Pertanyaan-pertanyaan itu diarahkan ke perempuan yang
hamil di luar nikah, sebagai alih-alih untuk menghakimi dan menyalahkan. Pasalnya bila ia
sudah hamil dan belum menikah, maka masyarakat akan tahu dan akan memberikan cap
negatif. Sementara ‘Om’ yang seharusnya ikut bertanggung jawab, bisa dengan lebih bebas untuk
tidak menanggung aib.
Dan kode kultural mengambarkan perempuan yang akan menerima sanksi sosial dan
menahan rasa malu. Perempuan yang hamil tanpa suami, apalagi hamil di luar nikah akan
menjadi aib dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan tersebut akan menerima sanksi sosial,
adat dan agama. Di antara ketiga sanksi tersebut, maka sanksi sosial yang akan sangat berat ia
rasakan pada awal-awal kejadian dan akan selalu melekat pada nama diri dan keluarganya, yaitu
cap sebagai perempuan yang hamil di luar nikah. Selain itu, bukan hanya perempuan tersebut
yang akan diberi sanksi sosial, namun anak yang akan dilahirkan juga akan di beri cap sebagai
anak haram. Sedangkan secara adat dan agama ia pun juga akan menerima hukuman menurut
cara adat dan agama yang ia anut. Tentunya segala sanksi tersebut bertujuan baik, agar
perempuan-perempuan lain tidak ada yang mengikuti perilaku tersebut.
Kesimpulan
Kecanggihan teknologi yang bisa diminati masyarakat dewasa ini, ternyata juga tidak
mampu untuk menghilangkan tindakan yang menjadikan perempuan sebagai objek. Hal tersebut
diperlihatkan dengan masih bertebarannya tindakan misogyny online di dunia maya. Dalam
penelitian ini, misogyny online terhadap perempuan direpresentasikan dalam gambar viral Om
Telat Om dengan memuat pose perempuan yang menutup muka. Dalam gambar tersebut,
perempuan digambarkan sebagai korban dari tindakan yang dilakukan oleh Om. Berawal dari
tantangan untuk melakukan kritik feminis kepada sosok Om yang dituntut untuk bertanggung
jawab atas peristiwa yang membuat perempuan dalam gambar viral hamil, maka penelitian ini
dilakukan. Terlebih lagi karena gambar viral yang tersebar tersebut, banyak dikomentari netizen
sebagai sebuah gambar guyon. Padahal tanda dan penanda dalam gambar viral tersebut sarat
makna mysogyny.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barthes, Roland. 1970. S/Z. New York: Hill and Wang
Berger, Arthur Asa. 2010. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual. Yogyakarta : Buku Baik
Dawkins, Richard. 1976. The Selfish Gene. Oxford: Oxford University Press.
Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Mulyana, Dedy. 2004. Metodologi penelitian Kualitatif Paradigma Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya
Piliang, Yasraf Piliang. 2003. Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra
Polichak, James W. 2002. Memes as Pseudoscience. In Michael Shermer, Skeptic Encyclopedia
of Pseudoscience. p. 664
Shifman, Limor. 2014. Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: MIT Press
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Spradley, James, P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumanto. 1995. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
Jurnal
Jane, Emma Alice. 2014. ‘“Back to the Kitchen, Cunt!”: Speaking the Unspeakable
about Online Misogyny’. Continuum: Journal of Media and Cultural Studies 28(4): 558–
570.
Kantorovich, Aharon. 2014. An Evolutionary View of Science: Imatation and
Memetics. Social Science Information Journal Vol. 53 (3) 363-373. Sage Journal
Milner, Ryan. 2013. ‘Pop Polyvocality: Internet Memes, Public Participation and the
Occupy Wall Street Movement’. International Journal of Communication
7: 235–2390
Safitri, Dini. 2015. Representasi Capres Boneka dalam Meme Capres Boneka di
Sosial Media. Jurnal Semiotika Vol. 9 (1), 79-112
. 2017. Women in Media Construction: Modernization or Consumerism?. Advance
Science Letters Vol. 23 (1) 403-405
Prosiding
Safitri, Dini. 2016. Image Viral and Community Mental Health. Proceeding
International Conference on Transformation in Communication
CV Peneliti
Dini Safitri lahir di Pariaman, 6 Febuari 1984. Menempuh pendidikan dasar di SD
Muhammadiyah II Jakarta pada usia 5 tahun, kemudian melanjutkan ke SMPN 216 Jakarta dan
SMAN 68 Jakarta. Sempat berkuliah di Sastra Cina FIB UI namun hanya 2 semester, kemudian
menamatkan studi S1 di jurusan jurnalistik Fikom Unpad. Setelah tamat S1, memutuskan pulang
ke Jakarta dan bekerja di sebuah kantor majalah. Sebelum memutuskan resign karena ingin
meneruskan studi S2, Penulis bersama kedua orang tua bekesempatan pergi haji di akhir tahun
2006 dan kembali pada awal tahun 2007. Setelah resign, penulis menikah dengan Iqbal Febriano.
Dan setelah itu melanjutkan S2 di ilmu komunikasi UI. Tamat S2, menjadi dosen honorer di
salah satu Universitas Swasta di Jakarta dan kemudian pada Desember 2010 diterima menjadi
salah satu dosen CPNS di FIS UNJ. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan kuliah S3 pada ilmu
komunikasi UI dan lulus pada tahun 2016. Saat ini penulis telah dikarunia 4 orang anak, 3 putra
dan 1 orang putri. Selama kuliah, penulis banyak menulis untuk jurnal dan konferensi, yang
sudah di upload ke https://www.researchgate.net/home.