Implikasi New Media dalam Komunikasi Bis

0

MAKALAH
Implikasi New Media dalam Komunikasi Bisnis
(Studi Kasus Taxi Konvensional versus Taxi Online Berbasis Aplikasi)

Tugas Kelompok
Mata Kuliah Reputation & Crisis Management
Dosen: Dr. Agustina Zubair, MSi

Disusun oleh:
Ferry Fajrin Zubdiarto (NIM 55215110057)
Eko Sulistyo Putro (NIM 55215110013)

Kelas 404
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
PASCA SARJANA UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA
2016

1


Abstract – Reputasi adalah sebuah konsep penting dalam sebuah perusahaan. Dalam situasi
kompetisi yang sangat ketat dan menggila, reputasi bisa membantu perusahaan untuk
mengembangkan dan mempertahankan eksistensinya. Atas alasan ini, reputasi harus di-manage
melalui strategi komunikasi. Corporate reputation berbeda dengan corporate identity maupun
corporate image. Corporate reputation lebih establish, stable dan testable dari pada corporate
idendity dan corporate image. Untuk membangun corporate reputation, seorang Corporate
Public Relations (CPR) dalam sebuah perusahaan harus mampu mengatur corporate image dan
corporate identity melalui penerapan strategi komunikasi bisnis. Salah satu cara membangun
dan mempertahankan reputasi adalah penggunaan dan pemanfaatan media baru (New Media).
Pada era Digital Life ini, New Media sudah merasuk ke dalam segala aspek kehidupan. Dari
tingkat rumah tangga hingga hingga ke dunia bisnis (usaha). Termasuk usaha transportasi (taxi)
konvensional, misalnya, untuk tetap bertahan dan eksis, mereka harus mampu menyesuaikan diri
memanfaatkan teknologi online terkini berbasis aplikasi.

Keyword: – Corporate Reputation, New Media, Taxi Konvensional, Taxi Online

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam dua decade sebelum kehadiran Internet, jarak antara belahan antara benua
terasa begitu jauh, dunia begitu luas. ―…And then came Internet and everything changed !
Kehadiran internet telah membawa perubahan besar dan spektakuler dalam kehidupan
bermasyarakat. Baik dari kehidupan sehari-hari dalam lingkup rumah tangga hingga
dalam dunia bisnis.
Dengan demikian, fakta membuktikan, teknologi memiliki peran penting dan
menyentuh sampai ke akar kehidupan masyarakat. Harus diakui, teknologi telah
mendorong setiap individu manusia mengubah cara hidup dan cara bersosialisasi mereka.
Kehadiran teknologi terkini juga memaksa manusia harus bersedia menyesuaikan diri.
Suka tidak suka, sengaja maupun tidak disengaja, pada era globalisasi ini, manusia sudah
―terjajah‖ (dalam arti positif) oleh teknologi. Produk teknologi sebagai kebutuhan dan
menjadi media atau channel bagi individu manusia, kelompok dan masyarakat.
Sekadar contoh, teknologi gadget telah membuktikan mampu memberi efek
secara signifikan dakan perubahan sosial. Kecepatan kemajuan teknologi pun tidak bisa
dibendung. Manusia membutuhkan media sebagai Channel guna memenuhi segala
kebutuhan mereka. ICT (Information and Communication Technologi) telah menawarkan
kemudahan, kecepatan, efisiensi dan memiliki dampak signifikan dalam menyebarkan

infomasi. Pun dalam dunia bisnis, ICT telah menyentuh segala aspek.
Contoh kasus yang terbaru terkait dengan dunia teknologi terjadi dalam dunia
bisnis transportasi di Indonesia. Adalah terjadinya gesekan kepentingan antara Taxi
konvensional versus Taxi online berbasis aplikasi teknologi digital. Gesekan kepentingan
dalam koridor bisnis tersebut bahkan sampai menimbulkan gesekan fisik dalam aksi
demo sopir taxi di lapangan. Contoh kasus ini mempertegas betapa teknologi New Media
telah membawa implikasi di dunia bisnis.

3

Kemajuan teknologi yang pesat telah banyak melahirkan kemudahan bagi kita
semua, sebagai user kita menyadari perbedaan yang dirasakan sangat jauh dahulu dan
kini. Sangat berbeda pada saat sebelum terciptanya teknologi internet, streaming, dan
aplikasi online yang dioperasikan melalui smartphone. Dahulu orang-orang yang ingin
berbelanja atau berdagang harus pergi ke pasar, tempat bertemunya pembeli dan penjual
untuk saling berinteraksi langsung (face to face).dan melakukan tawar menawar.
Konsep seperti itu untuk saat ini sudah dianggap sebagai model konvensional.
Berkat kehadiran New Media kini bisnis usaha dapat dijalankan secara online dengan
memasarkan produk/jasa melalui media seperti blog, jejaring sosial, dan situs jual beli
secara online.

Definisi new media secara eksklusif merujuk pada teknologi komputer yang
menekankan bentuk dan konteks budaya yang mana teknologi digunakan, seperti dalam
seni, film, perdagangan, sains dan diatas itu semua internet. Sementara Digital media
merupakan kecenderungan kepada kebebasan teknologi itu sendiri sebagai karakteristik
sebuah medium, atau merefleksikan teknologi digital (Dewdney and Ride. 2006 : 8 &
20). Untuk melakukan integrasi dengan media baru agar mampu memenuhi harapan baru
bagi pelanggan setianya, baik pembaca online maupun cetak.
Perkembangan media baru atau new media sebenarnya merujuk kepada sebuah
perubahan dalam proses produksi media, distribusi dan penggunaan. Media baru tidak
terlepas dari key-term seperti digitality, interactivity, hypertextuality, dispersal dan
virtuality (Lister, 2003 :13). Dalam konsep digitality semua proses media digital diubah

(disimpan) ke dalam bilangan, sehingga keluarannya (output) dalam bentuk sumber
online, digital disk, atau memory drives yang akan diubah dan diterima dalam layar

monitor atau dalam bentuk „hard copy‟.
Konsep Interactivity merujuk kepada adanya kesempatan dimana teks dalam
media baru mampu memberikan users untuk „write back into the text‟. Sedangkan konsep
dispersal media baru lebih kepada proses produksi dan distribusi media menjadi
decentralised dan mengandalkan keaktifan individu (highly individuated). Batasan new

media sering disamakan dengan digital media , yang semestinya new media lebih pada

konteks dan konsep budaya kontemporer dari praktik media daripada seperangkat
teknologi itu sendiri (medium).

4

Seriring dengan kehadiran New Media, kemacetan di kota-kota besar telah
memunculkan peluang usaha bagi orang-orang kreatif (membuka peluang bagi
ekonomi kreatif), dengan mendirikan perusahaan teknologi yang mengembangkan
aplikasi berbasis online. Kehadirannya, kini menjadi pesaing tunggal bagi perusahaan –
perusahaan jasa angkutan konvensional yang membuat omzet menurun dan merugikan
serta menimbulkan gesekan di kalangan pelaku jasa transportasi tersebut.
PT BlueBird Tbk misalnya, yang pada awalnya merupakan perusahaan keluarga,
berkembang menjadi perusahaan terbuka pada tahun 2014 di bawah kepemimpinan
generasi kedua, dan kini dalam peralihan ke generasi ketiga. Di dalam peralihan ini Blue
Bird mengalami tantangan dan persaingan yang semakin ketat akibat kehadiran New
Media yang belum dipayungi oleh Undang Undang di Indonesia.

Dalam konteks usaha ekonomi kreatif, perlu adanya perubahan atau meratifikasi

Undang Undang tentang transportasi angkutan umum dan jalan raya, dan Undang
Undanga e-Commerce. Di satu sisi masyarakat menginginkan transportasi umum yang
mudah untuk diakses dan cepat. Namun di sisi lain pemerintah harus cepat melakukan
tindakan preventif guna mengurangi gesekan yang terjadi antara pengguna transportasi
online dengan transportasi konvensional.

Gesekan kepentingan bisnis bidang transportasi berlanjut pada gesekan fisik di
lapangan. Aksi demo pengemudi taxi konvensional (BlueBird Cs) pada bulan Maret yang
lalu, yang menolak kehadiran taxi online berbasis aplikasi misalnya bisa berdampak
negatif. Aksi demontrasi turun ke jalanan para pengemudi taxi BlueBird Cs bisa
berdampak pada penurunan citra perusahaan ―Si Burung Biru‖ yang selama ini dikenal
memiliki value tentang kesopanan, kenyamanan dan keamanan dalam berTaxi itu. Aksi
demo para pengemudi Taxi yang mendapat respon kurang simpati itu, membuat pihak
corporate communicatioan ―Si Burung Biru‖ harus melakukan sesuatu, demi menjaga
reputasi. Sehari setelah demo massal, pihak manajemen BlueBird melakukan Aksi
Simpati, Satu Hari Gratis Naik Taxi BlueBird.
Kami tertarik membahas bagaimana efek yang ditimbulkan oleh New Media
dalam penggunaan model bisnis transportasi berbasis online dan persaingan dengan usaha
transportasi konvensional yang sejenis.


5

1.2.

Fokus Kajian
Fokus kajian dalam makalah ini hanya membatasi pada bagaimana implikasi new

media dalam komunikasi bisnis (studi kasus taksi konvensional versus taksi berbasis

aplikasi online). Fokus makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut:
“Bagaimana implikasi new media dalam komunikasi bisnis (studi kasus taksi

konvensional versus taksi berbasis aplikasi online)‖
1.3.

Kajian
Tujuan dari kajian ini berdasarkan dengan pertanyaan yang telah dipaparkan

sebelumnya adalah sebagai berikut: ―Cara penanganan persaingan di bisnis transportasi
berbasis online (new media) dengan bisnis model konvensional.‖

1.4.

Manfaat Kajian
Adapun manfaat penelitian (kajian) terbagi menjadi dua, manfaat teoritis dan

manfaat praktis dengan uraian sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian (kajian) ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
cakrawala pengembangan ilmu komunikasi khususnya terkait dengan Reputation and
Crisis Management. Selain itu kajian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu referensi

bagi penelitian (kajian) selanjutnya, khususnya bagi penelitian yang memiliki kasus
sejenis.

1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian (kajian) ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
untuk perusahaan maupun organisasi yang ada di Indonesia serta mengoreksi fungsi
pemerintah untuk mengkaji lebih dalam tentang peran New Media dalam model bisnis
baru dengan merencanakan, membuat, dan menetapkan UU e Commerce.


6

BAB II
TINJAUAN TEORITIK
1. Mengapa New Media
Dunia telah berubah sangat cepat karena kemajuan sangat pesat di bidang
teknologi informasi. Sejak ditemukan Internet, konsep ―Global Village‖ dari Marshall
McLuhan pada tahun 1960-an, yakni terbentuknya ―desa dunia‖—dimana belahan dunia
tanpa batas, kini semakin terang benderang. Alfin Toffler dalam bukunya, Future Shock
juga telah menggambarkan akan terjadi perubahan radikal dalam kehidupan
bermasyarakat akibat kemajuan teknologi. Manusia yang membutuhkan kecepatan
ketepatan dan kenyamanan pada akhirnya akan membutuhkan media baru (new media)
yang mampu menjawab kebutuhan manusia.
2. Apa itu New Media
What is new media ? Defining new media is not easy. Memang tidak mudah

mendefinisikan New Media , karena dia akan selalu berkembang sesuai kebutuhan jaman.
Batasan new media sering disamakan dengan digital media , yang semestinya new media
lebih pada konteks dan konsep budaya kontemporer dari praktik media daripada

seperangkat teknologi itu sendiri (medium). Sekali lagi tidak mudah mendefinisikan apa
itu New Media . Menurut Bailey Socha & Barbara Eber-Schmid, New Media adalah istilah
―sebutan‖ pada abad 21 terkait dengan relasi antara internet, teknologi, image dan sound.
Sementara Jan Van Dijk dalam buku The Sage HandBook of Media Studies (Sage
Publication, Inc 2004) lebih menekankan pada point: Interactivity. ―Defining
characteristic of digital media is their interactivity. In a very general definition,

interactivity is a sequence of action and reaction” (p.147).
Dalam konteks kajian makalah ini, New Media dalam arti Interactivy. Definisi
New Media akan berkembang terus sesuai kebutuhan jaman.

7

BAB III
PEMBAHASAN
1

Lima Pertanyaan Tentang Uber vs Taksi di Indonesia
Dalam makalah ini kami akan membahas persoalan terkait dengan masalah


transportasi (taxi) berdasarkan pertanyaan wawancara wartawan Viriya Paramitha, yang
salah satu bagiannya ditulis dalam artikel The Jakarta Post. Banyak hal yang kami
kurang setuju dalam artikel tulisan Ayomi Amindoni itu, khususnya soal framing
politiknya yang sangat bias konsumen kelas menengah, dan menolak untuk dengan kritis
―Covering Both Sides.‖
Tulisan di The Jakarta Post berusaha memberikan opini analisis dalam
kesempitan ruang yang justru meninggalkan banyak sekali kedangkalan analisa, sangat
berbeda dengan media berbahasa Inggris internasional seperti New Yorker, The
Washington Post, The Guardian atau The New York Times, yang rela menulis versi
daring secara mendalam.

Selain diskusi dengan Viriya, saya juga mendapatkan banyak data dari diskusi di
lapak facebook saya dengan kawan-kawan dekat. Komentar dan data dari kawan-kawan
memberikan banyak sekali insights pada kasus ini, baik yang paling klise dan umum dari
sudut pandang konsumen, parahnya kartel di perusahaan Taksi seperti BlueBird dan
Express, parahnya ilusi “Sharing Economy”, sampai akal-akalan Undang Undang

Koperasi untuk mengubah juragan rental jadi bos (Taxi) Uber .
Sebenarnya geger sosial apa yang hadir di masyarakat?
Yang terjadi di masyarakat hari ini bukan hal baru. Ini adalah technological
socio-economic disruption, dan sudah terjadi semenjak Homo Sapiens dengan kapak

logamnya membantai Neanderthal yang memakai kapak batu. Plotnya selalu sama: ada
sebuah struktur (transportasi Indonesia) yang sudah well-established, tapi dalam kondisi
krisis karena status quo, sehingga mudah diganggu oleh agen-agen dari struktur lain
(dalam hal ini perusahaan multinasional teknologi baru bernama online companies) yang

8

memanfaatkan krisis tersebut. Ini menghasilkan semacam reaksi kimia yang berbedabeda di bagian-bagian struktur yang beda-beda pula.
Di komunitas lokal seperti ojek pangkalan, yang terjadi adalah perlawananperlawanan tak teroganisir dari unit-unit ekonomi informal. Dalam soal taksi, karena
perusahaan taksi adalah model bisnis kapitalis yang formal dan global, maka reaksi yang
terjadi juga global. Tapi tentu saja cara bereaksi berbeda-beda karena konteks dan latar
belakang hukum dan budaya yang beda-beda pula.
Dalam konteks Jakarta, ada letupan-letupan kericuhan yang terjadi, ada juga peran
paguyuban supir taksi untuk mengorganisasi supirnya. Jangan lupa bahwa taksi BlueBird
dan Express punya model yang cenderung monopolistis–mereka telah banyak
menyingkirkan taksi lokal yang sulit bersaing karena modal yang cukup besar. Struktur
korporasinya memang sedang bermasalah. Tapi jangan sangka kejadian kekerasan demo
anti Uber hanya ada di Jakarta. Di Jakarta tak ada laporan pengemudi Uber kena pukul,

tapi di negara lain banyak.

Gambar I: Demonstrasi Anti-Uber di Paris, Prancis. Sumber: The Wired

9

Dari sisi pemerintah, ada kegagapan UU dan peraturan menyangkut e-Commerce
dan Perusahaan Transportasi berbasis Jasa Internet. Infrastruktur UU dan Peraturan untuk
aplikasi transportasi Online belum ada, jadi payung hukumnya cenderung dimanipulasi
baik oleh pengusaha dan oleh pemerintah sendiri. Oleh pengusaha, Gojek menggunakan
payung hukum perusahaan IT, sementara Uber menggunakan payung hukum
Koperasi, padahal pada praktiknya, keduanya tidak di ranah IT apalagi Koperasi! Gojek
memberi modal jaket, helm dan smartphone pada pengendaranya; Uber di Indonesia
punya sistem heirarki mirip taksi tapi bentuknya rental mobil.
Mengapa Supir Taksi tidak beralih jadi Supir Uber?
Pertanyaan kedua ini sangat bias konsumen. Hanya konsumen yang bukan
pemangku kepentingan (Stakeholder ) perusahaan yang bisa dengan gampang pindah
produk kalau tidak cocok. Sementera pekerja, tidak mungkin segampang itu, kecuali
kalau tidak ada yang pernah ia bangun dengan perusahannya, tidak ada insentif yang ia
kumpulkan. Logikanya begini, mungkinkah seseorang yang sudah hidup di sebuah
struktur dan menginvestasikan waktu, tenaga, dan loyalitasnya berpindah begitu ada hal

baru yang ‗lebih menjanjikan‘.
Gambar II: Perbandingan supir Uber dan Taksi di Negara Maju (bukan Indonesia).
Sumber gambar: imgur.com

10

Kita kembali ke masalah global: demonstrasi taksi adalah demonstrasi global
karena yang terdisrupsi adalah struktur kapitalisme global perusahaan taksi. Dan
perusahaan adalah bentuk usaha modern–sebelum adanya usaha online. Dalam
perspektif supir taksi, ini tidak ada hubunganya dengan kegagapan teknologi, tapi
lebih kepada keamanan ekonomi dan status quo.
Paguyuban supir Taksi bukanlah paguyuban Ojek. Padanan paguyuban taksi
adalah serikat buruh, yang hadir akibat adanya kapitalis/perusahaan. Lucunya, hubungan
antara perusahaan dengan paguyuban supir taksi yang demo ini nampak sangat mesra–
karena yang didemo bukan perusahaan. Di negara maju mungkin wajar supir taksi setia
pada perusahaan karena perusahaan Taksi-nya lebih menjamin keamanan ekonomi supir.
Di Indonesia tidak begitu, banyak sekali eksploitasi yang dilakukan pada supir yang
dengan gampang bisa tergantikan karena kompetisi pasar tenaga kerja yang
ketat. Mengingat susahnya jadi supir taksi yang harus melalui seleksi ketat dan terikat
aturan perusahaan dan pemerintah, wajar jika mereka stress berat dan gampang tersulut di
lapangan demonstrasi. Seperti salah satu judul lagu group band Seriouse asal kota
Bandung, ―Rocker , Juga Manusia‖, maka ―Supir taksi juga manusia‖.

Gambar III: Demonstrasi Anti-Uber di Spanyol. Foto: Wired.com

11

Bagaimana seharusnya Perusahaan Taksi Konvensional Bereaksi?
Ini pertanyaan klasik dan akan kita jawab dengan jawaban klasik: “Inovasi! ”.
Dalam sebuah persaingan usaha, yang tidak bisa berinovasi akan tergilas, kalah. Hal itu
sudah menjadi prinsip utama kapitalisme liberal. Selama puluhan tahun, industri
pelayanan Taksi tentunya sudah banyak berinovasi, apalagi ketika berhadapan dengan
persaingan melawan perusahaan Taksi lain. Namun ketika berhadapan dengan Uber atau
Grab persaingan sulit dilakukan karena perusahaan transporatasi online tidak ada di

bawah payung hukum yang sama. Yang terjadi adalah, ibarat tim bola voli melawan
tim sepakbola di lapangan bola basket. Bisa dibayangkan dalam praktiknya, akan
―Kacau balau!‖

Demo Sopir Taxi di Jakarta sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/tegasopir-blue-bird-demo-anak-kecil-dipaksa-turun-di-jalan.html
Memang harus diakui, ada yang busuk dalam sistem korporat taksi Indonesia.
Sistem kartel ini harus ber-inovasi, harus berubah dengan cepat. Karena sistem ini
meninggalkan celah-celah yang membuat konsumennya mudah berpaling. Terlebih
lagi, di dalamnya terdapat eksploitasi pekerja yang tidak main-main kerasnya. Supir Blue
Bird yang tidak ikut demo dalam sebuah video wawancara yang sudah mem-viral di

media sosial, mengungkapkan peran paguyuban supir taksi yang kongkalikong dengan
perusahaan untuk membiayai dan memprovokasi demonstrasi. Fenomena taxi berbasis

12

aplikasi online akan menjadi ancaman bagi taxi konvensional, bila tidak dikelola
secara baik akan sangat berpotensi menjadi krisis bagi pengusaha taxi konvensional.
Apa sebenarnya keluhan konsumen pada Taksi Konvensional?
Kita sudah bahas di atas, masalah dari sudut pandang supir dan perusahaan yang
seperti kartel. Di sisi lain masalah dari sudut pandang konsumen bukan cuma tarif, tapi
juga akses dan customer service. Dalam kondisi krisis transportasi Jakarta, Taksi
konvensional pra-Uber (seperti juga ojek pangkalan sebelum ada Gojek), punya
bargaining position yang tinggi apalagi setelah ia memonopoli pasar industri taksi.

Beberapa dari mereka bisa mempermainkan harga, kalaupun ―profesional‖ seperti Blue
Bird, tarifnya mahal. Belum lagi aksesnya seringkali sulit–dalam pemesanan jam sibuk,

pelanggan akan mengantri dan besar kemungkinan tak dapat taksi, dan customer servicenya sangat tertinggal.
Customer service ini mencakup perilaku pengemudi yang bisa menolak pelanggan
atau mempermainkan harga ketika rumahnya jauh, hujan atau lewat jalan macet, sampai
sistem pembatalan yang berat sebelah: kalau customer yang cancel harus bayar beberapa
persen kalau supirnya sudah sampai, namun ketika taksi yang cancel tidak ada denda apaapa. Dalam kondisi seperti inilah sangat wajar kalau konsumen ingin yang lebih murah,
terakses, dan servisnya baik (alias bisa dengan mudah diadukan diberi rating, dll).
Tapi jangan dikira Uber tidak akan memainkan harga dan jadi jahat pada
konsumen. Kalau Taksi konvensional, supirnya secara individual bisa jadi jahat ketika
macet atau hujan, Uber bisa menaikan tarif seenaknya juga ketika macet atau hujan
bukan secara individual tapi secara terpusat. App-nya sendiri yang akan menaikan
tarif! Ini artinya sudah jahat, supirnya untung, dan perusahaan ikut untung! Konsumen
juga harus waspada dengan model ―sharing economy abal-abal‖ lain seperti Gojek dan
Grab, karena semuanya pakai harga promosi yang disubsidi investor. Jangan sampai

ketika subsidi itu raib, harga jadi mahal, tapi taksi dan ojek konvensional sudah tidak ada
untuk Anda.
Pemerintah harus bagaiman dan melakukan apa?

13

Ini pertanyaan terpenting yang tidak ditanyakan Viriya. Seluruh kisruh
transportasi ini disebabkan karena kebijakan pembangunan yang salah dan hancurhancuran! Dalam hal krisis transportasi, menurut saya harus ada penyesuaian kebijakan
tertulis dari penyelenggara negara untuk memberikan payung hukum yang jelas pada
usaha transportasi online (secara khusus) dan e-commerce (secara umum).
Taksi menuntut kepada pemerintah untuk menjadi protektif pada usaha mereka.
Secara hukum, sebenarnya itu bisa sekali dilakukan, karena dasar hukum Uber dan Grab
di Indonesia (dan hampir di seluruh dunia, bahkan Amerika Serikat) belum jelas.
Tuntutan untuk melarang Uber dan Grab itu tentu terlalu muluk, tapi dalam demonstrasi
yang dilakukan memang selalu menuntut yang muluk untuk dinegosiasikan menjadi winwin solution. Yang harus dibaca dari kasus Ojek sampai Uber adalah, pemerintah tidak

boleh membiarkan krisis ini berlarut-larut dalam sebuah perang sipil antar pekerja di
kelas bawah, dan perang politik ekonomi di kelas atasnya (pemilik modalnya).
Pemerintah harus menemukan mekanisme pembentukan payung hukum yang
cepat, efektif dan fleksibel ketika ada perubahan lain yang terjadi. Misalnya dengan
Permen atau Perda, yang harusnya bisa dibuat tanpa melalui jalur birokrasi yang panjang
dan menjelimet. Semua harus dimulai dari kenyataan lapangan dan harus diresmikan.
Tidak bisa pemerintahnya ―membiarkan‖ bentrokan ini untuk selesai sendiri, malahan
cenderung ikut memanipulasi hukum yang sudah ada. Dalam krisis transportasi ini,
proyek infrastruktur publik jangka panjang seperti MRT dan Busway memang harus tetap
berjalan, tapi proyek infrastruktur yang jangka pendek dan bersifat legal-formal juga
harus ditopang hukum kalau tidak mau bangunan sosialnya collapse.

14

London's transport chiefs announced plans on Wednesday to tighten control on private
hire vehicles (PHV), a move that could hit app-based ride-hailing firms such as Uber.
Drivers of the city's famous black cabs have argued Uber bypasses local licensing and
safety laws and amounts to unfair competition. They have staged a number of highprofile protests, including go-slow demonstrations that have brought traffic in the centre
of London to a standstill.

Above:
Black cabs block Fleet Street in a protest against Uber on Wednesday, September 30
Picture: Peter Macdiarmid/LNP
© Copyright of Telegraph Media Group Limited 2016
Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil dibalik kontroversi taksi
berbasis aplikasi online yang berujung aksi massa ribuan pengemudi yang terjadi di
ibukota Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, seperti Denpasar Bali, dll, pelajaran
tersebut diantaranya adalah:

15

1.

Peluang start up terkait dengan teknologi sangat besar
Kemajuan teknologi menghadirkan ceruk pasar baru. Umpan lambung ini

dikonversi dengan sangat baik oleh perusahaan ride sharing berbasis aplikasi online. Pada
dasarnya entitas mereka bukanlah perusahaan angkutan, melainkan perusahaan teknologi.
Model bisnis ini memungkinkan perusahaan teknologi ini ―memiliki‖ armada yang jauh
di atas taksi nomer satu Indonesia sekalipun. Meskipun sebenarnya mereka tidak
memiliki kendaraan. Jasa yang mereka jual adalah mempertemukan pihak yang ingin
terlibat dalam ride sharing.
Konsep inilah yang menjadikan para pemain baru seperti Uber dapat menjegal
dominasi penguasa pasar. Bloomberg akhir tahun lalu memaparkan valuasi Uber senilai
$62 milyar. Angka ini menjadikannya sebagai most valuable private start up.
Tidak hanya sektor transportasi, mengawinkan teknologi dengan sektor yang
dianggap konvensional pun sangat potensial. Pesan kambing kurban atau 5 kg bawang
merah pun saat ini dapat didapatkan secara online! Dunia sudah berubah. Yang tidak
mau berubah akan tergilas.
2.

Economic sharing akan menjadi lifestyle

Secara karakateristik, taksi konvensional mempunyai fixed cost dan variable cost
yang lebih besar. Hal ini merupakan implikasi status mereka sebagai perusahaan dengan
ijin angkutan umum. Dengan kondisi ini mereka membayar pajak atau pungutan (terkait
perizinan) yang

lebih banyak dibandingkan dengan taksi baru berbasis online.

Komponen fixed cost seperti, gaji karyawan, sopir sudah terlanjur tinggi. Dengan jumlah
kantor cabang dimana-mana, fixed asset mereka juga (terlanjur) besar. Belum lagi armada
dan asset fisik lainnya yang juga terdepresiasi. Hal inilah yang kemudian dibebankan
kepada konsumen sehingga tarif mereka lebih tinggi ketimbang pesaing barunya.
Model bisnis ride sharing seperti Uber memungkinkan harga yang dibayar oleh
konsumen lebih sedikit karena fixed dan variable cost yang minim. Hal ini disebabkan

16

konsep sharing ini terbukti sangat ampuh untuk menekan biaya. Hal ini tentu berbeda
dengan taksi konvensional yang entitasnya adalah perusahaan angkutan.
Konsep economic sharing yang dipopulerkan oleh Rhenald Kasali ini sepintas
terdengar aneh dan rumit. Padahal jika kita ingat kembali, beberapa dekade yang lalu kita
masih menonton film bersama-sama di lapangan terbuka.
Sumber daya alam semakin terbatas. Fitrahnya, manusia akan saling berbagi
untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
3.

Perlunya inovasi berkesinambungan meskipun usaha sudah matang
Laba perusahaan taksi konvensional seperti BlueBird menunjukkan peningkatan

drastis dalam beberapa tahun belakangan. Akan tetapi situasi berubah sangat cepat.
Periode 14 Maret – 30 April 2015, saham BIRD ambrol 17 %. Pada akhir Oktober 2015
BIRD semakin menyusut hingga 45,96 %. Masuknya taksi berbasis aplikasi online
ditengarai ikut andil dalam tergelincirnya saham ―Si Burung Biru‖.
Kondisi ini sebenarnya mirip dengan yang dialami pabrikan elektronika dari
Jepang yang dilibas marketnya oleh para pendatang baru dari Korea. Teknologi
mempercepat innovasi. Start up dengan ide brillian dapat menggerus pasar market leader
yang lengah.
4.

Regulator harus cepat merespon perubahan
Fenomena share riding ini sudah booming sejak beberapa tahun lalu. Kenapa

Pengambil kebijakan kita seakan gagap dalam mengantisipasi hal ini? Di beberapa
negara, kemunculan model bisnis baru ini disikapi dengan regulasi baru. Mengingat
perusahaan berbasis teknologi ini termasuk ―wilayah abu-abu‖. Tak terkecuali di
Amerika, tempat lahirnya model ini. Pemerintah Amerika yang menggunakan
―transportation network companies (TNC)‖ untuk mendefinisikan entitas ini. Mereka
menyusun regulasi ini antara lain untuk melindungi konsumen. Oleh karena itu, di dalam
regulasi ini juga diatur pemeriksaan terhadap latar belakang dan pelatihan bagi

17

pengemudi, pembedaan antara karyawan penuh dan freelance, kebijakan asuransi, dan
pemeriksaan kendaraan.
Renald Khasali menyatakan maraknya bisnis model berbasis online application
ini menandai era crowd business. Era dimana batasan antara konsumen dan produsen
menjadi “sumir ”. Dalam tulisannya, Khasali menekankan potensi dampak negatif dari
perubahan model bisnis ini. Bertambahnya pengangguran karena gagal dalam
persaingan bisnis model baru ini serta kerugian besar yang disebabkan berpindahnya
konsumen dari usaha konvensional. Hal ini lah sangat mungkin terjadi jika pembuat
kebijakan terlambat mengatur.
Di Indonesia, regulasi terkait transportasi adalah Undang Undang Nomor 22/2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah atau PP Nomor
74/2014 tentang Angkutan Jalan. Peraturan ini ditujukan antara lain untuk perlindungan
publik dan kepentingan negara. Pada regulasi ini Perusahaan Angkutan Umum
didefinisikan sebagai: ―Badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau
barang dengan Kendaraan Bermotor Umum‖.
Apakah regulasi ini dapat menjadi payung hukum bagi perusahaan teknologi berbasis
aplikasi? Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Keuangan perlu segera duduk bersama
membahas isu lintas sektor ini.
=====
DPR MInta Pemerintah Cermati Moda Transportasi E-Commerce
[JAKARTA] Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq berpendapat, pemerintah
harus cermat dan tepat dalam menyikapi perkembangan model bisnis baru berbasis
aplikasi software e-commerce.
―Dibutuhkan kesepakatan lintas-kementrian dan masukan banyak pihak. Terutama
jika model bisnis baru tersebut berhimpitan dengan model bisnis yang sudah ada dan

18

terikat dgn peraturan per -UU-an," katanya, saat dimintai tanggapannya terkait moda
transportasi umum berbasis aplikasi software e-commerce, di Jakarta, Senin (21/3).
Dia menerangkan, moda transportasi umum selama ini terikat UU dan diregulasi
ketat. "Perubahan pada model bisnis akibat perkembangan teknologi komunikasi
informasi harus dikaji dan disikapi dengan tepat. Jangan sampai adopsi TIK dengan
aplikasi software e-commerce justru merugikan kepentingan usaha yang ada dan
mengaburkan penegakan regulasi,‖ katanya.
Dalam kasus Ojek Online, lanjutnya, tidak terlalu masalah karena moda transportasi
tersebut tidak resmi dan tidak ada regulasinya. Hanya diperlukan regulasi teknis yang
baru untuk menjamin keamanan dan standar layanan.
‖Tapi untuk uber taxi dan grab taxi ini berkaitan langsung dengan moda
transportasi yang resmi. Keduanya tidak bisa diperbandingkan apple-to-apple. Di luar itu
aplikasi software uber taxi dan grab taxi menggunakan transaksi pembayaran online
langsung ke luar negeri," katanya. Sehingga, lanjutnya, tidak terjangkau rezim pajak.
Masyarakat luas terutama di perkotaan juga harus bijak menyikapi ini.
"Kemudahan akses transportasi melalui online juga tidak boleh mengalahkan
kepentingan nasional yang lebih luas. Kementerian Perhubungan dan Kemenkominfo
harus duduk bersama melakukan kajian mendalam dan rekomendasi kebijakan yang tepat,‖
kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq
====.

19

BAB IV - PENUTUP
KESIMPULAN
1. Kemajuan teknologi memberikan segala kemudahan di era New Media pada saat ini.
Dimana perusahaan teknologi membuat model bisnis baru, berupa jasa tanpa memiliki
kendaraan sebagai asset yang dimilikinya. Yang mereka jual adalah mempertemukan
pihak yang ingin terlibat dalam ride sharing.
2. Perubahan pada model bisnis akibat perkembangan teknologi komunikasi informasi
harus dikaji dan disikapi dengan tepat. Jangan sampai adopsi TIK dengan aplikasi
software e-commerce justru merugikan kepentingan usaha yang ada dan mengaburkan
penegakan regulasi,
SARAN
1. Di era New Media , di Indonesia, Kementerian terkait harus bersama-sama merencanakan
dan meratifikasi Undang Undang Lalu Lintas Jalan Raya dan Angkutan Umum, karena
sudah tidak relevan. Selain itu juga bertujuan untuk menghindari gesekan di masyarakat
terkait dengan ekonomi kreatif berbasis aplikasi online sebagai implikasi dari kehadiran
dan penggunaan New Media .
2. Pemerintah sebagai regulator sebaiknya bisa mencarikan win-win solution tanpa harus
merugikan para pihak yang mengakibatkan terjadinya Rakyat versus Rakyat.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
1. Doorley, John dan Helio Fred Garcia, 2007, Reputation Management: TheKey to
Successful Public Relations and Corporate Communications. London: Routledge
2. John D. H. Downing, Denis McQuail, Philip Schlesinger, Ellen Wartella, 2004, The
SAGE Handbook of Media Studies, Sage Publication Inc
3. Frederic M Jablin, Linda L Putnam, 2001, The New Handbook if Organizational Comm:
Advances in Theory, Research adn Methods, SAGE Publication Inc.
Internet:
https://eseinosa.wordpress.com/2016/03/29/lima-pertanyaan-tentang-uber-vs-taksi-diindonesia/
http://sp.beritasatu.com/home/dpr-minta-pemerintah-cermati-moda-transportasi-ecommerce/111601 (Senin, 21 Maret 2016 | 14:26)