Potret Wanita Dalam Cerpen Rasa karya Pu
LATAR BELAKANG
Dewasa ini karya sastra di Indonesia sudah jarang yang mengangkat tema
tentang wanita yang selalu berada di bawah laki-laki kedudukannya dalam
berbagai perspektif. Berbeda dengan karya sastra pada era sebelum kemerdekaan
yang masih kental dengan tema subordinasi wanita. Mansour Fakih mengatakan:
Bahwa ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk yaitu
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, kekerasan (violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) serta sosialisasi nilai peran
gender (Mansour Fakih, 2013:13). Oleh karena itu dalam hal ini sangat relevan
dengan konsep gender.
Saat ini karya sastra mulai mengangkat bahwa wanita pun dapat menjadi
pahlawan. Dengan munculnya penulis-penulis wanita juga menambah kekuatan
pemikiran tersebut. Terlepas dari itu semua tradisi adanya wanita dalam setiap
karya sastra masih terus berlangsung. Baik itu dari penulis wanita atau penulis
laki-laki. Dalam sistem tradisional wanita memang selalu dikaitkan dengan halhal yang pasif, lemah, emosional dan kurang berpikir. Dalam kedudukannya di
sosial pun wanita menempati kedudukan di bawah laki-laki. Wanita dianggap
tidak mampu berdiri sendiri dan harus menurut apa kata laki-laki. Budaya
patriarki ini telah menjadi unsur utama terjadinya kekerasan terhdap perempuan.
Budaya patriarki merupakan budaya dominan yang mendomisasi kebudayaan
nasional, yang memperlihatkan pembedaan yang jelas antara laki-laki dengan
perempuan terutama mengenai kekuasaan. Kekuasaan dominan yang di miliki
oleh laki-laki dianggap merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mutlak
serta baku. Dimana laki-laki menempati posisi sebagai pimimpin, dan penguasa,
sedangkan perempuan sebagai pekerja yang harus melayani kaum laki-laki.
(http://chemalnoordien.blogspot.com/2012/02/subordinasi-terhadapperempuan.html)
Dalam karya sastra persoalan gender masih menjadi hal yang
menyelubungi dan sangat mungkin menjadi dasar atau alasan lahirnya karya
tersebut. Terlepas dari penulis wanita atau laki-laki, banyak hal yang dapat dikaji
dari kehadiran wanita dalam karya sastra. Hal itu karena antara penulis wanita dan
laki-laki pasti ada perbedaan dalam penggambaran sosok wanita pada karyanya.
Tidak mungkin seorang laki-laki dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
rasanya menjadi wanita pada dunia nyata. Untuk itu dapat juga dilihat bagaimana
sikap penulis terhadap wanita itu sendiri. Dalam cerpennya “Rasa”, Putu Wijaya
menngisahkan sosok wanita yang ideal dalam pemikirannya. Digambarkannya
sosok wanita yang dapat menjadi pencerah dan pembangun negeri. Sosok wanita
yang diidamkannya pada cerpen tersebut dicontohkan sebagai seorang wanita
cantik yang masih muda dan sudah menyandang gelar doktor. Tidak hanya itu, Ia
juga menghadirkan sisi lain dari wanita yang tidak dimengerti oleh laki-laki.
Untuk lebih jelasnya berikut adalah sinopsis dari cerpen “Rasa” karya Putu
Wijaya.
Tokoh Aku yang sudah berkeluarga pada suatu pagi membaca koran yang
didlamnya terdapat berita tentang seorang doktor muda yang cantik. Tokoh Aku
sangat mengagumi doktor cantik tersebut sampai Ia mengatakan untuk
melamarnya. Hal itu didengar oleh tokoh Ami yang tak lain adalah anaknya.
Tokoh Ami diindikasikan cemburu dan marah terhadap pernyataan ayahnya
tersebut. Hingga pada suatu hari Ami tidak mau kuliah dan mengurung diri di
kamar. Hal ini memicu tokoh Aku sebagai ayah untuk berpikir menafsirkan
perilaku anaknya tersebut. Dalam pikirannya terbesit pikiran bahwa Ami marah
besar karena pujiannya terhadap doktor muda itu dinilainya berlebihan.
Pada malam hari Ami tidak pulang hingga larut. Hal ini semakin
menambah dilema tokoh Aku meskipun telah diberitahu istrinya bahwa Ami
sedang belajar di rumah teman. Ia takut terjadi apa-apa dengan anaknya. Tapi
istrinya mengatakan bahwa Ami sudah dewasa dan dapat menjaga diri. Pada
tengah malam tokoh Aku berinisiatif untuk menjemput Ami dari rumah temannya.
Dengan beralasan istrinya sakit Ia meminta anaknya untuk pulang. Kebohongan
itu semakin menambah rasa bersalahnya kepada anaknya. Akhirnya Ia meminta
maaf atas semua kesalahannya termasuk mengenai doktor muda yang cantik.
Tetapi permintaan maafnya disambut oleh tawa anaknya. Dipenuhi kebingungan
tokoh Aku bertanya kepada anaknya. Ami menjelaskan bahwa yang selama ini
yang merasa cemburu kapada ayahnya adalah ibunya sendiri. Terutama mengenai
doktor muda yang cantik.
Setelah dijelaskan bahwa yang menyuruhnya mengurung diri dan belajar
di rumah temannya adalah ibunya barulah tokoh Aku benar-benar sadar. Ia merasa
bodoh karena tidak tahu bahwa istrinya yang galak dan cerewet tersebut begitu
sangat mencintainya.
Dari sinopsis tersebut dapat dilihat bagaimana wanita dalam cerpen
tersebut menjadi tema utama. Melalui pendekatan feminisme dapat dilihat
bagaimana sebenarnya wanita dalam pikiran penulis dan sejauh mana Ia
memahaminya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka makalah ini berjudul
“Potret Wanita Dalam Cerpen “Rasa” Karya Putu Wijaya”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut.
Bagaimanakah feminisme dalam sastra?
Bagaimanakah potret wanita dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya?
Tujuan
Tujuan dari makalah ilmiah ini adalah:
Mendeskripsikan feminisme dalam sastra
Mendeskripsikan potret wanita dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya.
Untuk pembahasan lebih lanjut dan mengenai unsur intrinsik dalam cerpen ini
silahkan klik
http://jurupapat.blogspot.co.id/2016/10/unsur-intrinsik-cerpen-rasa-karya.html
Mator sakalangkong.
Dewasa ini karya sastra di Indonesia sudah jarang yang mengangkat tema
tentang wanita yang selalu berada di bawah laki-laki kedudukannya dalam
berbagai perspektif. Berbeda dengan karya sastra pada era sebelum kemerdekaan
yang masih kental dengan tema subordinasi wanita. Mansour Fakih mengatakan:
Bahwa ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk yaitu
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, kekerasan (violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) serta sosialisasi nilai peran
gender (Mansour Fakih, 2013:13). Oleh karena itu dalam hal ini sangat relevan
dengan konsep gender.
Saat ini karya sastra mulai mengangkat bahwa wanita pun dapat menjadi
pahlawan. Dengan munculnya penulis-penulis wanita juga menambah kekuatan
pemikiran tersebut. Terlepas dari itu semua tradisi adanya wanita dalam setiap
karya sastra masih terus berlangsung. Baik itu dari penulis wanita atau penulis
laki-laki. Dalam sistem tradisional wanita memang selalu dikaitkan dengan halhal yang pasif, lemah, emosional dan kurang berpikir. Dalam kedudukannya di
sosial pun wanita menempati kedudukan di bawah laki-laki. Wanita dianggap
tidak mampu berdiri sendiri dan harus menurut apa kata laki-laki. Budaya
patriarki ini telah menjadi unsur utama terjadinya kekerasan terhdap perempuan.
Budaya patriarki merupakan budaya dominan yang mendomisasi kebudayaan
nasional, yang memperlihatkan pembedaan yang jelas antara laki-laki dengan
perempuan terutama mengenai kekuasaan. Kekuasaan dominan yang di miliki
oleh laki-laki dianggap merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mutlak
serta baku. Dimana laki-laki menempati posisi sebagai pimimpin, dan penguasa,
sedangkan perempuan sebagai pekerja yang harus melayani kaum laki-laki.
(http://chemalnoordien.blogspot.com/2012/02/subordinasi-terhadapperempuan.html)
Dalam karya sastra persoalan gender masih menjadi hal yang
menyelubungi dan sangat mungkin menjadi dasar atau alasan lahirnya karya
tersebut. Terlepas dari penulis wanita atau laki-laki, banyak hal yang dapat dikaji
dari kehadiran wanita dalam karya sastra. Hal itu karena antara penulis wanita dan
laki-laki pasti ada perbedaan dalam penggambaran sosok wanita pada karyanya.
Tidak mungkin seorang laki-laki dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
rasanya menjadi wanita pada dunia nyata. Untuk itu dapat juga dilihat bagaimana
sikap penulis terhadap wanita itu sendiri. Dalam cerpennya “Rasa”, Putu Wijaya
menngisahkan sosok wanita yang ideal dalam pemikirannya. Digambarkannya
sosok wanita yang dapat menjadi pencerah dan pembangun negeri. Sosok wanita
yang diidamkannya pada cerpen tersebut dicontohkan sebagai seorang wanita
cantik yang masih muda dan sudah menyandang gelar doktor. Tidak hanya itu, Ia
juga menghadirkan sisi lain dari wanita yang tidak dimengerti oleh laki-laki.
Untuk lebih jelasnya berikut adalah sinopsis dari cerpen “Rasa” karya Putu
Wijaya.
Tokoh Aku yang sudah berkeluarga pada suatu pagi membaca koran yang
didlamnya terdapat berita tentang seorang doktor muda yang cantik. Tokoh Aku
sangat mengagumi doktor cantik tersebut sampai Ia mengatakan untuk
melamarnya. Hal itu didengar oleh tokoh Ami yang tak lain adalah anaknya.
Tokoh Ami diindikasikan cemburu dan marah terhadap pernyataan ayahnya
tersebut. Hingga pada suatu hari Ami tidak mau kuliah dan mengurung diri di
kamar. Hal ini memicu tokoh Aku sebagai ayah untuk berpikir menafsirkan
perilaku anaknya tersebut. Dalam pikirannya terbesit pikiran bahwa Ami marah
besar karena pujiannya terhadap doktor muda itu dinilainya berlebihan.
Pada malam hari Ami tidak pulang hingga larut. Hal ini semakin
menambah dilema tokoh Aku meskipun telah diberitahu istrinya bahwa Ami
sedang belajar di rumah teman. Ia takut terjadi apa-apa dengan anaknya. Tapi
istrinya mengatakan bahwa Ami sudah dewasa dan dapat menjaga diri. Pada
tengah malam tokoh Aku berinisiatif untuk menjemput Ami dari rumah temannya.
Dengan beralasan istrinya sakit Ia meminta anaknya untuk pulang. Kebohongan
itu semakin menambah rasa bersalahnya kepada anaknya. Akhirnya Ia meminta
maaf atas semua kesalahannya termasuk mengenai doktor muda yang cantik.
Tetapi permintaan maafnya disambut oleh tawa anaknya. Dipenuhi kebingungan
tokoh Aku bertanya kepada anaknya. Ami menjelaskan bahwa yang selama ini
yang merasa cemburu kapada ayahnya adalah ibunya sendiri. Terutama mengenai
doktor muda yang cantik.
Setelah dijelaskan bahwa yang menyuruhnya mengurung diri dan belajar
di rumah temannya adalah ibunya barulah tokoh Aku benar-benar sadar. Ia merasa
bodoh karena tidak tahu bahwa istrinya yang galak dan cerewet tersebut begitu
sangat mencintainya.
Dari sinopsis tersebut dapat dilihat bagaimana wanita dalam cerpen
tersebut menjadi tema utama. Melalui pendekatan feminisme dapat dilihat
bagaimana sebenarnya wanita dalam pikiran penulis dan sejauh mana Ia
memahaminya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka makalah ini berjudul
“Potret Wanita Dalam Cerpen “Rasa” Karya Putu Wijaya”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut.
Bagaimanakah feminisme dalam sastra?
Bagaimanakah potret wanita dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya?
Tujuan
Tujuan dari makalah ilmiah ini adalah:
Mendeskripsikan feminisme dalam sastra
Mendeskripsikan potret wanita dalam cerpen “Rasa” karya Putu Wijaya.
Untuk pembahasan lebih lanjut dan mengenai unsur intrinsik dalam cerpen ini
silahkan klik
http://jurupapat.blogspot.co.id/2016/10/unsur-intrinsik-cerpen-rasa-karya.html
Mator sakalangkong.