Chapter II dukungan sosial bs dicopy

12

BAB II
LANDASAN TEORI

II. A. Dukungan Sosial
II. A. 1. Pengertian Dukungan Sosial
Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan
dukungan sosial. Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi dukungan sosial.
Menurut Dimatteo (1991), dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal
dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain.
Sarason, Sarason & Pierce (dalam Baron & Byrne, 2000) mendefinisikan
dukungan sosial sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh temanteman dan anggota keluarga.
Dukungan sosial adalah pertukaran bantuan antara dua individu yang berperan
sebagai pemberi dan penerima (Shumaker & Browne dalam Duffy & Wong, 2003).
Definisi yang mirip datang dari Taylor, Peplau, & Sears (2000). Menurut mereka,
dukungan sosial adalah pertukaran interpersonal dimana seorang individu memberikan
bantuan pada individu lain.
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan
dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok
(Sarafino, 2002).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan dukungan sosial adalah
kenyamanan fisik dan psikologis, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam
bentuk yang lainnya yang diterima individu dari orang lain ataupun dari kelompok.

Universitas Sumatera Utara

13

II. A. 2. Sumber Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang kita terima dapat bersumber dari berbagai pihak. Kahn &
Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi 3
kategori, yaitu:
a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada sepanjang
hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya. Misalnya:
keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.
b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan
dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu.
Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga, dan teman
sepergaulan.
c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang

memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Meliputi
dokter atau tenaga ahli atau profesional, keluarga jauh.
Dukungan sosial yang diterima oleh janda dapat berasal dari siapa saja, namun
yang lebih sering memberi dukungan adalah keluarga dan temannya yang juga telah
menjanda (Lemme, 1995).

II. A. 3. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (2002), ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu:
a. Dukungan emosional
Terdiri dari ekspresi seperti perhatian, empati, dan turut prihatin kepada
seseorang. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman,

Universitas Sumatera Utara

14

tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres,
memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta
b. Dukungan penghargaan
Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif kepada orang

yang sedang stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan
individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang
lain. Dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan
membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan
jenis ini akan sangat berguna ketika individu mengalami stres karena tuntutan
tugas yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya.
c. Dukungan instrumental
Merupakan dukungan yang paling sederhana untuk didefinisikan, yaitu dukungan
yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi atau
meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang yang sedang stres.
d. Dukungan informasi
Orang-orang yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan
informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat
dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres (DiMatteo,
1991). Terdiri dari nasehat, arahan, saran ataupun penilaian tentang bagaiman
individu melakukan sesuatu. Misalnya individu mendapatkan informasi dari
dokter tentang bagaimana mencegah penyakitnya kambuh lagi.
e. Dukungan kelompok
Merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa dirinya
merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-anggotanya dapat saling


Universitas Sumatera Utara

15

berbagi. Misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau
berekreasi.

II. A. 4. Pengaruh Dukungan Sosial
Orford (1992) dan Sarafino (2002) mengatakan bahwa untuk menjelaskan
bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu, ada
dua model yang digunakan yaitu:
a. Buffering Hypothesis
Sarafino (2002) mengatakan bahwa melalui model buffering hypothesis ini,
dukungan sosial mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu dengan
melindunginya dari efek negatif yang timbul dari tekanan-tekanan yang dialaminya
dan pada kondisi yang tekanannya lemah atau kecil, dukungan sosial tidak
bermanfaat. Orford (1992) juga mengatakan bahwa melalui model ini, dukungan
sosial bekerja dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh dari tekanan-tekanan atau
stres yang dialami individu, dengan kata lain jika tidak ada tekanan atau stres, maka

dukungan sosial tidak berguna.
b. Main Effect Hypothesis / Direct Effect Hypothesis
Menurut Banks, Ullah dan Warr (dalam Orford, 1992), model main effect hypothesis
atau direct effect hypothesis menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat
meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis individu dengan adanya ataupun tanpa
tekanan, dengan kata lains seseorang yang menerima dukungan sosial dengan atau
tanpa adanya tekanan ataupun stres akan cenderung lebih sehat. Menurut Sarafino
(2002) melalui model ini dukungan sosial memberikan manfaat yang sama baiknya
dalam kondisi yang penuh tekanan maupun yang tidak ada tekanan.

Universitas Sumatera Utara

16

Dalam penelitian ini, model kerja yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh dari
dukungan sosial adalah model buffering hypothesis.

II. B. Kesepian
II. B. 1. Pengertian Kesepian
Kesepian dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini,

dewasa madya, maupun pada orang yang sudah lanjut usia (Weiten & Lloyd, 2006).
Kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada setiap interpretasi
individu terhadap suatu kejadian (Perlman & Peplau dalam Dane, Deaux, &
Wrightsman, 1993).
Baron & Byrne (2000) mendefinisikan kesepian sebagai suatu reaksi emosional
dan kognitif karena memiliki hubungan sosial yang lebih sedikit dan kurang
memuaskan dibandingkan yang diinginkannya.
Menurut Bruno (dalam Dayakisni, 2003), kesepian dapat berarti suatu keadaan
mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing
dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.
Definisi yang hampir sama juga diberikan oleh Peplau & Perlman (dalam
Brehm, 2002) yang mengatakan bahwa kesepian itu merupakan perasaan kekurangan
dan ketidakpuasan karena adanya kesenjangan antara hubungan sosial yang kita
inginkan dengan hubungan sosial yang kita miliki. Menurut Taylor, Peplau & Sears
(2000) kekurangan ini dapat bersifat kuantitatif, misalnya seseorang tidak memiliki
seorang temanpun ataupun sedikit teman dibandingkan yang diinginkannya. Atau
kekurangan tersebut dapat bersifat kualitatif misalnya seseorang yang merasa bahwa

Universitas Sumatera Utara


17

hubungan sosial yang dibinanya hanya bersifat seadanya saja (superficial) atau
dirasakan kurang memuaskan dibandingkan yang diinginkannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah keadaan mental dan emosional
yang terutama dicirikan dengan adanya perasaan kekurangan dan ketidakpuasan karena
tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan seseorang dan terjadi kesenjangan
antara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dimiliki individu.

II. B. 2. Tipe-tipe Kesepian
Menurut Weiss (dalam Weiten & Llyod, 2006) ada dua tipe kesepian, yaitu:
a. Kesepian sosial
Dalam kesepian sosial, seseorang merasa tidak puas dan kesepian karena mereka
tidak memiliki hubungan pertemanan ataupun kenalan.
b. Kesepian emosional
Dalam kesepian emosional, seseorang merasa tidak puas dan kesepian karena
mereka tidak memiliki suatu hubungan yang mendalam dengan orang lain, atau
karena tidak adanya partner intim.
Berdasarkan sifat kemenetapannya, Shaver dkk. (dalam Deaux, Dane,
Wrightsman, 1993) membedakan 2 tipe kesepian, yaitu:

a. Trait loneliness, yaitu kesepian yang cenderung menetap (stable pattern), sedikit
berubah, dan biasanya dialami oleh orang-orang yang memiliki self-esteem yang
rendah dan memiliki sedikit interaksi sosial yang berarti.
b. State loneliness, yaitu kesepian yang bersifat temporer (sementara), biasanya
disebabkan oleh pengalaman-pengalaman dramatis dalam kehidupan seseorang.

Universitas Sumatera Utara

18

Berdasarkan durasinya, Young (dalam Weiten & Llyod, 2006) membedakan
kesepian menjadi 3, yaitu:
a. Transient loneliness (kesepian sementara), meliputi kesepian yang singkat dan
jarang terjadi, yang dapat dirasakan oleh banyak orang ketika kehidupan sosial
mereka tidak memiliki alas an yang adekuat.
b. Transitional loneliness (kesepian transisi), terjadi ketika seseorang yang telah
puas pada hubungan sosialnya yang sebelumnya menjadi kesepian setelah
mengalami kerusakan dalam jaringan sosialnya (karena kematian orang yang
dicintai, perceraian, atau pindah ke daerah yang baru).
c. Chronic loneliness (kesepian menahun), merupakan suatu kondisi yang

menyerang orang-orang yang tidak bisa puas terhadap jaringan interpersonalnya
selama bertahun-tahun.
Pada seorang janda yang ditinggal mati pasangannya, yang terjadi adalah
kesepian emosional karena suami yang menjadi partner intimnya tidak ada lagi, dimana
kesepian tersebut bersifat temporer dan berdasarkan durasinya maka kesepian yang
dialaminya adalah kesepian transisi. Sears et al. (1999) mengatakan bahwa kesepian
akibat berpisah dengan orang yang kita cintai dapat membangun suatu reaksi emosional
seperti kesedihan, kekecewaan, bahkan rasa geram yang membuat seseorang marah
pada lingkungan dan juga pada dirinya sendiri.

II. B. 3. Penyebab Kesepian
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang merasakan kesepian,
yaitu (Brehm, 2002):
a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki

Universitas Sumatera Utara

19

Ada beberapa alasan mengapa kita merasa tidak puas atas hubungan yang

kita miliki. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan beberapa
alasan yang banyak dikemukakan oleh orang-orang yang merasakan kesepian,
yaitu:
1) Tidak terikat: tidak memiliki pasangan (suami atau istri); tidak memiliki
partner seksual; berpisah dengan pasangan (suami atau istri) atau
kekasih.
2) Terasing: merasa berbeda; tidak dimengerti; tidak dibutuhkan; tidak
memiliki teman dekat.
3) Sendirian: pulang ke rumah tanpa ada orang di rumah; selalu sendirian
4) Isolasi yang dipaksakan: dikurung di rumah; dirawat inap di rumah sakit;
tidak adanya transportasi.
5) Dislocation: jauh dari rumah; memulai pekerjaan atau sekolah baru;
terlalu sering pindah; sering bepergian.
Pada janda, kesepian yang dialaminya lebih disebabkan karena kehilangan
pasangannya (suaminya).
b. Terjadi perubahan dalam apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan
Brehm (2002) menyimpulkan berdasarkan model Perlman dan Peplau
tentang kesepian, kesepian dapat muncul karena perubahan dalam pemikiran kita
tentang apa yang kita inginkan dari suatu hubungan. Pada suatu waktu dalam
kehidupan kita, hubungan sosial kita mungkin sangat memuaskan sehingga kita

tidak merasakan kesepian. Hubungan ini mungkin terus bertahan tetapi terjadi
perubahan kepuasan karena apa yang kita inginkan juga mengalami perubahan.

Universitas Sumatera Utara

20

Menurut Peplau dkk. (dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari
beberapa sumber yang berbeda, yaitu:
1) Perubahan suasana hati
Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika dia senang akan berbeda
dengan jenis hubungan yang diinginkannya ketika dia sedih.
2) Usia
Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa
perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginannya terhadap
suatu hubungan. Jenis persahabatan yang sangat memuaskan ketika
seseorang berusia 15 tahun dapat menjadi tidak memuaskan ketika dia
berusia 25 tahun.
3) Perubahan situasi
Banyak orang yang tidak menginginkan suatu hubungan emosional yang
dekat ketika sedang mempersiapkan karirnya. Namun, ketika dia telah
merasa puas terhadap karirnya, mereka akan merasakan kebutuhan yang
besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.
Jadi, apapun alasannya, kita akan merubah pemikiran kita tentang apa yang kita
inginkan dari suatu hubungan, dan jika hubungan itu tidak turut berubah, maka
kita akan mengalami kesepian.
c. Self-esteem
McWhirter, Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa
kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang mengatakan
bahwa dia kesepian juga sering menganggap dirinya memalukan dan tidak pantas
dicintai. Kemungkinan karena dia memiliki self-esteem yang rendah, orang yang

Universitas Sumatera Utara

21

merasa kesepian cenderung merasa tidak nyaman dalam situasi sosial yang
beresiko. Untuk mengantisipasi ketidaknyamanan ini mendorong orang yang
kesepian untuk mengurangi kontak sosialnya yang akan menyebabkannya
kesulitan dalam membangun hubungan sosial untuk mengurangi kesepian yang
dialaminya.
d. Perilaku interpersonal
Berbeda dengan orang yang tidak kesepian, orang yang kesepian menilai
orang lain secara negatif (Jones dkk. dalam Brehm, 2002). Mereka sangat tidak
menyukai orang lain (Rubenstein & Shaver dalam Brehm, 2002); tidak percaya
pada orang lain (Vaux dalam Brehm, 2002); menginterpretasikan tindakan dan
perhatian orang lain secara negatif (Hanley-Dunn dkk. dalam Brehm, 2002); dan
memiliki sikap bermusuhan (Check dkk. dalam Brehm, 2002).
Orang yang kesepian juga tidak memiliki kemampuan sosial yang baik
dengan orang lain (Solano & Koester dalam Brehm, 2002). Dalam interaksi sosial,
orang yang kesepian lebih pasif dibanding yang tidak kesepian, ragu-ragu untuk
mengekspresikan opininya di depan publik (Hansson & Jones dalam Brehm,
2002), secara sosial mereka tidak responsif dan tidak sensitif (Brehm, 2002). Dari
hasi penelitian Jones, Hobbs, & Hackenbury dalam Brehm, 2002) dapat dilihat
orang yang kesepian itu mempunyai percakapan yang sedikit dengan orang lain,
sedikit bertanya, lambat dalam merespon percakapan orang lain, kurang tertarik
untuk melanjutkan topik diskusi. Orang yang kesepian juga kelihatan ragu untuk
mengembangkan hubungan intimnya dengan orang lain, dan

memiliki self-

disclosure yang rendah (Davis dalam Brehm, 2002). Selain itu, Check dkk. (dalam

Universitas Sumatera Utara

22

Brehm, 2002) menambahkan bahwa laki-laki yang kesepian lebih agresif secara
fisik dibandingkan yang tidak kesepian.
Berdasarkan perilaku yang negatif dan janggal secara sosial atau perilaku
yang tidak diinginkan, orang-orang yang kesepian akan mendatangkan reaksi yang
negatif dari orang lain (Brehm, 2002). Teman berbicara orang yang kesepian
merasa bahwa dia tidak mengenal orang itu dengan baik (Solano dkk. dalam
Brehm, 2002) dan menganggap orang yang kesepian itu tidak mampu
bersosialisasi (Spitzberg & Canery dalam Brehm, 2002). Selain itu, orang yang
kesepian terlihat terperangkap dalam tingkat sosial yang menurun terus. Mereka
menolak orang lain, tidak memiliki kemampuan sosial dalan berperilaku dengan
orang lain, dan ditolak orang lain.
e. Atribusi Kausal
Menurut pandangan ini, kesepian akan terjadi lebih sering dan lebih lama
ketika seseorang yakin bahwa karakteristik yang mereka miliki menyebabkan
kesepian yang mereka rasakan (Michela dalam Brehm, 2002). Dari tabel di bawah
akan tampak perbedaan locus of causality terhadap kesepian.
Tabel 1
Penjelasan Tentang Kesepian
Stabilitas
Stabil

Tidak
stabil

Locus of causality
Internal
Saya kesepian karena saya tidak
menarik.
Saya tidak pernah pantas untuk
dicintai.

Eksternal
Orang-orang yang ada di sini bersikap sangat
dingin dan impersonal. Tidak ada dari antara
mereka yang dapat berbagi ketertarikan
dengan saya. Saya rasa saya harus pindah
dari sini.
Saya merasa kesepian sekarang, Semester pertama di perguruan tinggi
tetapi saya tidak ingin hal ini merupakan masa yang terburuk. Saya yakin
terus berlanjut. Saya ingin hal ini akan segera membaik.
berhenti bekerja dan berjalan
keluar serta bertemu dengan
orang-orang yang baru.

Universitas Sumatera Utara

23

Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (hal. 413) oleh Sharon S. Brehm, New
York:McGraw-Hill,Inc.

Jenis atribusi internal yang stabil menggambarkan orang-orang yang depresidialah penyebab kesengsaraan yang dirasakannya dan hal tersebut tidak dapat diubah.
Atribusi ini menghalangi seseorang untuk bertemu dengan orang lain dan menjalin
pertemanan. Dalam atribusi eksternal yang tidak stabil menunjukkan adanya harapan
bahwa keadaannya akan berubah menjadi lebih baik.

II. B. 4. Faktor yang Mempengaruhi Kesepian
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kesepian, khususnya pada
janda antara lain (dalam Brehm, 2002):
a. Usia
Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin
merasa kesepian. Tetapi telah banyak yang membuktikan bahwa stereotipe tersebut
keliru . Hasil penelitian oleh Perlman (1990, dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000)
menemukan bahwa kesepian lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda,
dan lebih rendah terjadi pada orang-orang yang sudah tua. Sejalan dengan
bertambahnya usia kehidupan sosial seseorang, maka mereka semakin stabil,
meningkatnya keterampilan sosial, dan lebih realistik dalam menjalani hubungan
sosial yang mereka inginkan (Brehm, 2002). Janda yang usianya lebih muda
cenderung lebih kesepian dan membutuhkan dukungan sosial yang lebih banyak
dibandingkan janda yang lebih tua (Hoyer, 2003).

Universitas Sumatera Utara

24

b. Status perkawinan
Secara umum, orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa kesepian bila
dibandingkan dengan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack,
dalam Brehm, 2002). Ketika orang-orang yang tidak menikah dikelompokkan ke
dalam beberapa sub grup (tidak menikah, bercerai, janda), hasilnya menunjukkan
bahwa sesuatu yang berlawanan dimana orang yang tidak menikahlah yang lebih
rendah mengalami kesepian, tetapi kesepian yang terjadi pada orang yang telah
menikah lebih dikarenakan sebagai reaksi terhadap hilangnya hubungan perkawinan
(marital relationship) daripada ketidakhadiran dari pasangan suami atau istri pada
seseorang dan diantara orang-orang yang tidak menikah (yang belum menikah,
ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena kematian), maka yang paling
kesepian adalah seseorang yang ditinggal mati oleh pasangannya (Dayakisni, 2003).
c. Gender
Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm, 2002), laki-laki lebih sulit menyatakan
kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh
streotipe gender yang berlaku dalam masyarakat. Kajian perbedaan kesepian antara
laki-laki dan wanita berinteraksi dengan status perkawinan (Brehm 2002). Diantara
pasangan yang menikah dilaporkan bahwa wanita (istri) lebih sering mengalami
kesepian dengan pria (suami) (Fredman; Peplau & Perlman; Rubenstein & Shaver
dalam Brehm, 2002). Sebaliknya pada kelompok orang yang belum menikah dan
kelompok orang yang bercerai ditemukan bahwa pria lebih sering mengalami
kesepian daripada wanita (Peplau & Perlman; Rubenstein & Shaver dalam Brehm,
2002). Menurut Brehm (2002) penemuan ini menunjukkan bahwa laki-laki
cenderung merasa kesepian ketika tidak memiliki pasangan yang intim. Sementara

Universitas Sumatera Utara

25

perempuan cenderung mengalami kesepian ketika ikatan perkawinan mengurangi
akses untuk terlibat pada jaringan yang lebih luas.
d. Karakteristik latar belakang yang lain
Hubungan antara orang tua dan anak dengan struktur keluarga berhubungan
kesepian. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan satu
karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian.
Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami kesepian bila
dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda
usia seseorang ketika orang tuanya bercerai semakin tinggi tingkat kesepian yang
akan orang itu alami saat dewasa. Tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu yang
orang tuannya berpisah karena salah satunya meninggal. Individu yang kehilangan
orang tuanya karena meninggal ketika masih kanak-kanak lebih rendah mengalami
kesepian saat dewasa dibandingkan dengan individu yang orang tuanya berpisah
sejak masa kanak-kanak atau remaja. Brehm (2002) juga menyatakan bahwa proses
perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orang tua yang bercerai untuk
mengalami kesepian saat anak-anak tersebut menjadi dewasa.
e. Faktor sosial ekonomi
Weiss (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa tingkatan status ekonomi seseorang
akan mempengaruhi tingkat kesepian yang dialaminya. Status sosial ekonomi ini
berhubungan dengan seberapa besar pendapatan yang diperolehnya. Seseorang
dengan pendapatan yang rendah cenderung untuk lebih kesepian dibandingkan
dengan yang pendapatannya lebih tinggi. Semakin tinggi pendapatan seorang janda
maka dia akan memiliki tingkat sosial yang tinggi dan sering berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan sehingga semakin mudah dia menyesuaikan diri terhadap

Universitas Sumatera Utara

26

kehilangan yang dialaminya. Semakin rendah pendapatan, maka seorang janda akan
merasa kurang percaya diri dan memiliki jaringan sosial yang lebih sedikit
dibanding yang lain (Barrow, 1996).
f. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang janda maka dia akan memiliki tingkat
sosial yang tinggi dan sering berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sehingga
semakin mudah dia menyesuaikan diri terhadap kehilangan yang dialaminya
(Barrow, 1996).
g. Lamanya menjanda
Kehilangan pasangan hidup merupakan suatu peristiwa yang sangat menyakitkan
dan merusak. Beberapa bulan setelah kematian pasangan, pasangan yang
ditinggalkan akan mengalami permasalahan psikologis yang serius, namun setelah
itu akan terjadi proses adaptasi sehingga kesedihan, penderitaan dan masalah
psikologis lain yang timbul setelah ditinggalkan pasangan akan berkurang
(Siegelman & Rider, 2003). Heinnemann & Baum (dalam Craig, 1996) mengatakan
bahwa janda yang paling kesepian adalah janda yang telah kehilangan suaminya
selama kurang dari 6 tahun.

II. B. 5. Dinamika Perasaan Orang yang Kesepian
Beck & Young, 1978; Davis & Fanzoi, 1986 (dalam Myers, 1996) mengatakan
merasakan kesepian berarti merasa ditiadakan dari kelompok, tidak dicintai oleh orangorang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang masalah-masalah pribadi,
ataupun berbeda serta terasing dari orang-orang di sekelilingnya. Selain itu, orang yang

Universitas Sumatera Utara

27

kesepian sering merasa dirinya tertekan, gelisah, tegang, dan bosan (Saks & Krupat,
1998).
Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa ada 4 bentuk
perasaan yang dialami oleh individu yang kesepian, yaitu:
a. Putus asa
Putus asa merupakan suatu keadaan dimana seseorang merasakan kepanikan dan
ketidakberdayaan dalam dirinya sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk
melakukan tindakan yang nekat. Adapun putus asa ini ditandai dengan perasaan
putus asa, tidak berdaya, takut, tidak adanya harapan, merasa dibuang, dan
merasa dikecam.
b. Depresi
Depresi adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang
mendalam ataupun sedang dalam keadaan tertekan. Perasaan depresi yang terus
menerus dirasakan individu dapat juga menimbulkan keinginan untuk
mengakhiri hidupnya dengan melakukan bunuh diri (Phares, 1992). Depresi ini
ditandai dengan sedih, tertekan, merasa hampa, terisolasi, menyesali diri,
melankolik, terasing, ingin bersama orang yang spesial.
c. Impatient boredom
Merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan kebosanan pada dirinya
sendiri sebagai akibat dari ketidaksabarannya ataupun kejenuhan terhadap
dirinya sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan perasaan tidak sabar,
bosan, ingin berada di tempat lain, gelisah, marah, sulit berkonsentrasi.

Universitas Sumatera Utara

28

d. Menyalahkan diri
Merupakan suatu keadaan dimana individu menyalahkan dirinya sendiri,
mengutuk dan mencela dirinya sendiri atas peristiwa atau kejadian yang dialami
karena dia tidak mampu menyelesaikannya). Menyalahkan diri ini ditandai
dengan merasa tidak menarik, benci pada dirinya, merasa bodoh, malu, tidak
aman.
Dari tabel di bawah ini akan terlihat perasaan-perasaan yang spesifik yang dirasakan
ketika seseorang kesepian.
Tabel 2
Perasaan Ketika Kesepian
Putus asa

Depresi

Impatient boredom

Putus asa

Sedih

Tidak sabar

Tidak berdaya
Takut

Tertekan
Merasa hampa

Tanpa
pengharapan
Terbuang
Terancam

Terisolasi

Bosan
Ingin berada
tempat lain
Gelisah

Menyalahkan
diri

Merasa
tidak
menarik
Benci pada dirinya
di Merasa bodoh
Malu

Menyesali diri
Marah
Tidak aman
Melankolik
Sulit berkonsentrasi
Terasing
Ingin bersama orang
yang spesial
Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (hal. 399) oleh Sharon S. Brehm, New
York:McGraw-Hill,Inc.

II. B. 6. Karakteristik Orang yang Kesepian
Myers (1999) menyatakan orang yang mengalami kesepian secara kronis akan
kelihatan mengalami kegagalan diri dalam kognisi sosial dan perilaku sosial. Selain itu,
individu yang mengalami kesepian memiliki pandangan negatif terhadap depresi yang

Universitas Sumatera Utara

29

mereka rasakan, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan
berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999).
Orang yang merasa kesepian selalu kesulitan dalam memperkenalkan diri,
membuat panggilan telepon, dan berpartisipasi dalam kelompok (Rock, Spitzberg, &
Hurt dalam Myers, 1999). Orang yang kesepian cenderung menjadi self-conscious dan
memiliki self-esteem yang rendah (Cheek, Melcior, & Vaux dalam Myers, 1999). Ketika
berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak membicarakan dirinya
sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya (Jones dalam Myers,
1999). Orang yang kesepian cenderung pemalu, self-conscious, introvert, tidak asertif,
dan memiliki self-esteem yang rendah (Jones dalam Saks & Krupart, 1998).
Dari beberapa pendapat tokoh tentang karakteristik orang kesepian, Brehm
(2002) menyimpulkan ada empat karakteristik orang-orang kesepian, yaitu:
a. Merasa tidak nyaman dalam situasi-situasi sosial
Orang yang kesepian merasa tidak nyaman dalam situasi-situasi sosial (Vaux
dalam Brehm, 2002), kesulitan dalam menikmati suatu pesta, sulit bergabung
dengan kelompok (Horowitz & French dalam Saks & Krupat, 1998). Taylor,
Peplau, dan Sears (2000) mengatakan bahwa kesepian dapat berkisar dari
perasaan ketidaknyamanan yang ringan sampai yang berat.
b. Membuat atribusi internal yang stabil terhadap kejadian dan perasaan yang tidak
menyenangkan
Jenis atribusi internal yang stabil menggambarkan bahwa orang-orang yang
depresi menganggap dialah penyebab kesengsaraan yang dirasakannya dan hal
tersebut tidak dapat diubah. Atribusi ini menghalangi seseorang untuk bertemu
dengan orang lain dan menjalin pertemanan. Orang yang kesepian cenderung

Universitas Sumatera Utara

30

menganggap dirinya tidak layak dan tidak pantas untuk dicintai (Brehm,
2002).Individu yang mengalami kesepian memiliki pandangan negatif terhadap
depresi yang mereka rasakan, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial
yang buruk, dan berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson &
Snoggrass, dalam Myers, 1999).
c. Memiliki sikap negatif terhadap orang lain
Orang yang kesepian menilai orang lain secara negatif (Jones dkk. dalam
Brehm, 2002). Mereka sangat tidak menyukai orang lain (Rubenstein & Shaver
dalam Brehm, 2002); tidak percaya pada orang lain (Vaux dalam Brehm, 2002);
menginterpretasikan tindakan dan perhatian orang lain secara negatif (HanleyDunn dkk. dalam Brehm, 2002); dan memiliki sikap bermusuhan (Check dkk.
dalam Brehm, 2002).
d. Pasif dan tidak responsif ketika bersama orang lain
Ketika berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak
membicarakan dirinya sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan
bicaranya (Jones dalam Myers, 1999).

II. B. 7. Dampak Kesepian
Kesepian yang dialami oleh seseorang akan menyebabkan orang yang
kesepian ini akan menerima orang lain dalam cara yang negatif (Jones, Wittenberg, &
Reis, dalam Myers, 1999). Pandangan negatif ini nantinya akan mempengaruhi
keyakinan individu yang mengalami kesepian tersebut dan menyebabkan hilangnya
kepercayaan sosial serta menjadi pesimis terhadap orang lain yang mana hal itu justru
akan menghambat individu itu dalam mengurangi kesepian mereka (Myers, 1999).

Universitas Sumatera Utara

31

Rock, Spitzberg, & Hurt ( dalam Myers, 1999) menyatakan individu yang mengalami
kesepian selalu merasa kesulitan dalam memperkenalkan diri, membuat panggilan
telepon, dan berpartisipasi dalam kelompok. Individu yang mengalami kesepian juga
cenderung menjadi self-concious dan memiliki self-esteem yang rendah (Cheek,
Melcior, & Vaux dalam Myers, 1999). Saat mereka berbicara dengan orang lain,
individu yang kesepian cenderung lebih banyak membicarakan diri mereka sendiri dan
menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya. Setelah pembicaraan selesai
kenalan baru tersebut akan memberikan kesan yang negatif terhadap individu yang
mengalami kesepian ini (Jones dalam Myers, 1999).

II. C. Janda
II. C. 1. Definisi Janda
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Chulsum dan Novia (2006)
memberikan definisi tentang janda yaitu seorang wanita yang diceraikan atau ditinggal
mati suaminya.
Masa menjanda ini merupakan masa yang umumnya dialami oleh wanita. Ada
beberapa hal yang menyebabkannya, yaitu (Ollenburger & Moore, 1996):
a. Wanita hidup lebih lama daripada pria
b. Wanita umumnya menikahi pria yang lebih tua dari mereka sendiri
c. Laki-laki tua lebih mungkin menikah kembali daripada wanita tua
d. Adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang wanita tua menikahi
pria muda, dan juga norma-norma yang menetang wanita tua menikah lagi.
Selain itu, Belsky (1997) menambahkan penyebab masa menjanda merupakan
masalah umum yang dialami perempuan adalah karena wanita yang telah menjanda

Universitas Sumatera Utara

32

cenderung tidak menikah lagi karena merasa bahwa mereka tidak akan pernah
menemukan lagi orang yang sebaik suaminya dulu.
II. C. 2. Masalah yang Dihadapi Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya
Ada beberapa dimensi masalah yang dihadapi seorang janda setelah
pasangannya meninggal dunia. Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan
kesulitan ekonomi walaupun dalam beberapa kasus istri merupakan ahli waris dari
suaminya, namun selalu ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk biaya dokter
dan pembuatan makam (Kephart & Jedlicka, 1991). Bagi seorang janda, kesulitan
ekonomi, dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan
permasalahan utama yang mereka hadapi (Glasser Navarne, 1999). Karena tidak
hadirnya suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi keluarga, seorang
perempuan harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sendiri,
termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anak-anaknya (Suardiman, 2001).
Dalam permasalahan fisik, tidak mengejutkan jika kematian pasangan
dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat
inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok
dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan
(Santrock, 1995).
Bagi beberapa perempuan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami
meliputi perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting perempuan sebagai
seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya meninggal
dunia. Perempuan yang telah mendefinisikan dirinya sebagai seorang istri, setelah
kematian suaminya mengalami kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang

Universitas Sumatera Utara

33

janda. Oleh karena itu, bagi seorang perempuan, meninggalnya suami berarti kehilangan
orang yang mendukung sef-definition yang dimilikinya (Nock, 1987).
Kehidupan sosial juga mengalami perubahan. Keluarga dan teman-teman
biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian, namun
setelah itu mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker dalam
Papalia, Old & Feldman, 2001). Masalah yang sering muncul adalah tentang
hubungannya dengan teman dan kenalannya. Seorang janda sering merasa dilupakan
dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai
ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Penolakan dan penilaian negatif yang berasal
dari lingkungan ini dapat menyebabkan janda merasakan kesepian (Freeman, 1984).
Secara emosional, janda yang telah kehilangan kehilangan suaminya, juga
kehilangan dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya
(Barrow, 1996). Selain itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan
simptom-simptom terakhir dari penyakit suaminya; ada yang mengenakan pakaian
suaminya agar merasa nyaman dan dekat dengan suaminya; dan beberapa lainnya tetap
memasak dan mengatur meja untuk suaminya walaupun suaminya itu telah meninggal
(Heinemann dalam Nock, 1987). Beberapa janda mengatakan mereka tetap melihat dan
mendengar suaminya selama setahun ataupun segera mengikuti kematian suaminya.
Mereka merasa marah pada suami karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau
mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock,
1987). Pada janda, terdapat goncangan emosi yang mendalam serta perasaan
kehilangan, dan yang pasti, ada perasaan kesepian dan suatu keharusan untuk mengatur
kembali kehidupan, termasuk juga membangun suatu kehidupan sosial yang baru
(Kephart & Jedlicka, 1991). seorang janda akan merasa lebih kesepian lagi ketika dia

Universitas Sumatera Utara

34

bereaksi seperti merasa tidak berdaya tanpa suami, selalu larut dalam kesedihannya,
merasa bahwa setelah suaminya meninggal dia tidak akan dapat lagi menjalani
hidupnya, selalu membutuhkan suami untuk berbagi pekerjaan, merasa takut dan tidak
mampu untuk membangun hubungan pertemanan yang baru, serta menghindari interaksi
sosial setelah suaminya meninggal dunia.

II. D. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kesepian pada Janda yang Ditinggal
Mati Pasangannya
Kematian pasangan hidup biasanya tidak dapat dicegah, yang dampaknya
melibatkan kehancuran ikatan yang telah lama dijalin, munculnya peran dan status baru,
serta berbagai masalah lainnya. Tidak mengejutkan jika kematian pasangan
dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat
inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok
dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan
(Santrock, 1995). Dayakisni (2003), mengatakan bahwa diantara orang-orang yang tidak
menikah (yang belum menikah, ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena
kematian), yang paling kesepian adalah seseorang yang menjadi sendiri karena kematian
pasangannya.
Setelah pasangannya meninggal, seorang janda akan menghadapi beberapa
dimensi masalah, yaitu masalah konsep diri, fisik, finansial, sosial, dan emosional.
Ketika menghadapi masalah-masalah ini, seorang janda membutuhkan dukungan sosial
yang berasal dari keluarga, teman, tetangga, maupun rekan kerja. Menurut Sarafino
(2002) dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan
dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok.

Universitas Sumatera Utara

35

Ada lima bentuk dukungan sosial yang dapat diterima oleh individu, yaitu dukungan
emosional, penghargaan, instrumental, informasi, dan dukungan kelompok (Sarafino,
2002).
Hal yang paling penting dari suatu dukungan sosial adalah individu memiliki
teman berbicara, memiliki seseorang untuk memberikan nasehat, memiliki seseorang
untuk menghibur dan membangkitkan semangat. Jika seorang perempuan merasa
terbebani dan memikirkan suatu permasalahan, dia sangat memerlukan orang lain untuk
diajak berbicara dan biasanya suamilah yang menjadi teman berbagi dan bertukarpikiran, namun suaminya sudah meninggal. Ketiadaan suami akan menyebabkannya
merasa tidak berdaya (An-Nuaimi, 2005). Karena suaminya telah meninggal, seorang
janda membutuhkan seseorang untuk berbagi, namun janda juga menghadapi
pemasalahan dalam kehidupan sosialnya. Janda yang telah ditinggal mati pasangannya
akan mengahadapi masalah sosial. Keluarga dan teman-teman biasanya selalu berada di
dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian, namun setelah itu mereka akan
menjauh darinya dan kembali ke kehidupan mereka masing-masing. Mereka tidak akan
selalu ada ketika dibutuhkan (Brubaker dalam Papalia, Old & Feldman, 2001). Dalam
hubungannya dengan teman dan kenalannya, seorang janda sering tidak diikutsertakan
dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai
ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Hubungan dengan teman mungkin akan rusak,
terutama jika hubungan itu ada karena ada kaitannya dengan pasangan yang telah
meninggal (Belsky, 1990), misalnya seorang janda mungkin tidak akan mengikuti lagi
perkumpulan istri-istri di tempat suaminya bekerja dahulu. Perempuan yang menjanda
juga mengatakan bahwa mereka sering merasa aneh dan kurang nyaman ketika berada

Universitas Sumatera Utara

36

dalam situasi dimana dia harus bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang
menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004).
Orang-orang dengan dukungan sosial yang baik berkemungkinan kecil untuk
bereaksi secara negatif terhadap masalah-masalah hidup dibandingkan dengan orangorang yang mendapat dukungan sosial sangat sedikit (Lahey, 2007). Dalgard (dalam
Plotnik, 2005) mengatakan bahwa sistem dukungan sosial yang baik, misalnya memiliki
satu atau lebih teman dekat akan mengurangi efek dari kejadian yang menyebabkan
seseorang stres dan meningkatkan kesehatan mental individu. Jennison (dalam Plotnik,
2005) mengatakan bahwa kehadiran keluarga dan teman dapat meningkatkan
kepercayaan diri individu ketika menghadapi stres sehingga dia merasa mampu untuk
mengatasi masalahnya. Orang-orang yang kehilangan pasangannya berkemungkinan
besar untuk melakukan perilaku tidak sehat jika dia mendapatkan sedikit dukungan.
Menurut DiMatteo (1991), janda yang mendapatkan banyak dukungan akan merasa
bahwa dia memiliki banyak orang yang dapat dijadikannya teman untuk berbagi
sedangkan janda yang mendapatkan sedikit dukungan sosial akan merasa tidak berdaya
dalam mengatasi masalahnya dan merasa tidak ada orang yang memperhatikannya
sehingga dia akan merasa tidak puas atas hubungan yang dimilikinya. Baron & Byrne
(2000) mengatakan ketika seseorang merasa kekurangan dan tidak puas atas hubungan
yang dimilikinya, dia akan kesepian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dykstra
(1995) dapat dilihat bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang menentukan
kesepian yang dialami oleh seseorang yang hidup tanpa pasangan.

Universitas Sumatera Utara

37

PARADIGMA BERPIKIR

Kematian Suami

Masalah yang dialami janda:
 finansial
 fisik
 konsep diri
 sosial
 emosional

Dukungan
sosial

tinggi

sedang

rendah

kesepian

Keterangan:
: menyebabkan
: klasifikasi
: butuh

II. E. Hipotesa penelitian
Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan kesepian

Universitas Sumatera Utara

38

pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Artinya, semakin tinggi dukungan
sosial maka semakin rendah kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya dan
sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi kesepian pada janda
yang ditinggal mati pasangannya.

Universitas Sumatera Utara