LISIS PLS ur yang Men han yang T 007-2009)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan…………………………...........

B. Rumusan Masalah ……………………………………………

C. Tujuan Penelitian …………………………………………….

D. Manfaat Penelitian …………………………………………...

E. Sistematika penulisan…………………………………………

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori………..……………….......................................

1. Teori Agensi……..…………………………….....................

ii iii

iv

vi

vii

viii

xi

xiv

xv

xvi

3. Manajemen Laba……………………………………………

4. PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan……….

5. Pajak Tangguhan....................................................................

6. Valuation Allowance Account (VAA).....................................

B. Tinjauan Penelitian Sebelumnya..................................................

C. Kerangka Pemikiran.....................................................................

D. Pengembangan Hipotesis.............................................................

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian………..............................................................

B. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel..................

C. Sumber Data..............................................................................

D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel........................

E. Metode Analisis Data.................................................................

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Hasil pengumpulan Data….........................................................

B. Hasil Analisis…………...............................................................

1. Regresi Pertama.....................................................................

2. Regresi Kedua…....................................................................

C. Pembahasan …………….............................................................

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................

B. Implikasi…..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

TABEL Halaman

Kriteria Pengambilan Sampel.......................................... Path Coefficient (Mean, STDEV, T-Values)………….. R-Square……………………………………………...... Path Coefficient (Mean, STDEV, T-Values).................. R-Square……………………………………………......

48

50

51

54

55

GAMBAR Halaman

Faktor-Faktor Penentu VAA

Aktiva Pajak Tangguhan…………………………………………… Kerangka Pemikiran…………………………………. Earning Targets............................................................

Output Parameter Koefisien Regresi………………... Output Parameter Koefisien Regresi………………...

25

32

44

49

53

Lampiran 1. Daftar Perusahaan Sampel Lampiran 2. Keseluruhan Data Diskala dengan Saham yang Beredar Lampiran 3. Hasil Algoritma PLS Regresi Pertama Lampiran 4. Gambar Output Bootstrapping Regresi Pertama Lampiran 5. Data Regresi Kedua Lampiran 6. Hasil Algoritma PLS regresi Kedua Lampiran 7. Gambar Output Bootstrapping Regresi Kedua

VALUATION ALLOWANCE ACCOUNT (VAA): PENGGUNAAN ANALISIS PLS (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Menyediakan Cadangan Penilaian Aktiva Pajak Tangguhan yang Terdaftar di BEI pada Tahun 2007-2009)

Ririn Septya Liesti F0306069 ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan Valuation Allowance Account (VAA) dalam melakukan manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Indonesia yang menyediakan cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan.

Dalam penelitian ini manajemen laba diukur dengan menggunakan discretionary accrual model yang dikembangkan oleh Frank dan Rego. Sampel yang digunakan dalam peneltian ini sebanyak 30 perusahaan manufaktur yang menyediakan cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian ini dilakukan untuk periode 2007-2009. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder. Data sekunder yang digunakan diperoleh dari website Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu www.idx.co.id. Data yang dianalisis dalam penelitian ini diolah dari laporan keuangan perusahaan. Analisis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda yang dilakukan dengan menggunakan software PLS (Partial Least Square).

Hasil penelitian menemukan bukti bahwa manajer menggunakan perubahan VAA untuk melakukan manajemen laba berupa earning bath dan income smoothing dengan tujuan meningkatkan laba ketika laba perusahaan mengalami penurunan.

Kata kunci: manajemen laba, Valuation Allowance Account, earning bath, income smoothing.

VALUATION ALLOWANCE ACCOUNT (VAA):

USING PLS ANALYSIS (Empirical Study on Manufacturing Companies that set aside Valuation Allowance Account Registered on the Indonesian Stock Exchange in the Year of 2007-2009 )

Ririn Septya Liesti F0306069 ABSTRACT

The objective of this research is to determine the use of the Valuation Allowance Account (VAA) in conducting the earnings management in manufacturing companies in Indonesia that set aside valuation allowance account.

In this research of earnings management is measured using discretionary accrual model developed by Frank and Rego. The sample used in this research as many as 30 manufacturing companies that set aside valuation allowance account listed in Indonesian Stock Exchange (BEI). This research was conducted for the period 2007-2009. Type of data used in this research is secondary data. The secondary data used were obtained from the website Indonesian Stock Exchange (BEI), i.e., www.idx.co.id. The data analyzed in this research are compiled from company financial statements. The data are analyzed with multiple linear regressions by using PLS (Partial Least Square) software.

This research finds evidence that managers use the valuation allowance account for earning management purpose, namely earning bath and income smoothing to increase income when the income decrease.

Key words: earning management, Valuation Allowance Account, earning bath, income smoothing.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan, yang merupakan ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku bersangkutan. Penyusunan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen bertujuan untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi keuangan dan ekonomi perusahaan yang bersangkutan pada periode tertentu. Informasi yang terkandung di dalam laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi bagi pihak internal maupun eksternal perusahaan dalam mengambil keputusan. Informasi yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan seharusnya memberikan gambaran kinerja ekonomi dan keuangan perusahaan yang sebenarnya (Deviana, 2009).

Laporan keuangan dapat digunakan oleh pihak internal maupun eksternal dalam menilai kinerja manajemen perusahaan. Kinerja manajemen perusahaan tersebut tercermin pada laba yang terkandung dalam laporan laba rugi. Oleh karena itu proses penyusunan laporan keuangan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi kualitas laporan keuangan. Dalam menyiapkan laporan keuangan, manajemen membutuhkan penilaian dan perkiraan (judgement and estimation). Hal ini memberikan manajemen

(PSAK) No. 1 Par, 19-20 tentang penyajian laporan keuangan tentang pendekatan akrual (Acrrual basis). Manajemen dapat memberikan kebijakan dalam penyusunan laporan keuangan untuk mencapai tujuan tertentu. Pilihan kebijakan akuntansi yang dilakukan manajer untuk tujuan spesifik itu disebut dengan manajemen laba (Scott, 2000:296).

Manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan untuk mencapai tujuan tertentu. Standar akuntansi memberikan berbagai pilihan kebijakan akuntansi sehingga pencatatan transaksi yang sama dapat dilakukan dengan cara berbeda-beda tergantung judgement manajemen dalam menentukan metode dan estimasi yang tepat untuk perusahaannya (Yulianti, 2004). Ma’ruf (2006) dalam penelitiannya menyebutkan manajemen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri (manajer). Manajemen laba diukur dengan menggunakan proksi Discretionary Accrual (DA). Sedangkan yang dimaksud Discretionary Accrual adalah komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajer, artinya manajer memberi intervensinya dalam proses pelaporan akuntansi.

Healy dan Wahlen (1999) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa manajemen laba dilakukan manajer dengan menggunakan penilaian tertentu dalam pelaporan keuangan dan menyusun transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi yang Healy dan Wahlen (1999) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa manajemen laba dilakukan manajer dengan menggunakan penilaian tertentu dalam pelaporan keuangan dan menyusun transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi yang

Ada beberapa alasan mengapa besarnya VAA dapat digunakan sebagai instrument manajemen laba, seperti yang dikemukakan oleh Miller dan Skinner (1998) berikut:

“… (1) there are no well-established formulae or clear guidelines for determining the appropriate level of the allowance; (2) The appropriate level of allowance depends on manager’s expectations about future earnings, sometimes decades into the future; (3) For many firms this provision is large enough to allow managers to make material adjustments to accounting earnings (changes in the allowance have a dollar-for-dollar effect on bottom-line earnings).”

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Frank and Rego (2006) juga disebutkan bahwa Valuation Allowance Account merupakan akun yang ideal digunakan untuk mendeteksi manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan, dimana dalam SFAS No. 109 dinyatakan bahwa terdapat kebijaksanaan yang mengijinkan manajer untuk melaporkan aktiva pajak tangguhan yang lebih akurat berdasar informasi pribadi manajemen.

Dengan diberlakukannya PSAK No. 46 maka manajer memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan akuntansi yang akan digunakan dalam pertimbangan menentukan besarnya cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan. Hal ini memperkuat adanya indikasi terjadi manajemen laba melalui cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan.

Penelitian mengenai manajemen laba dengan menggunakan VAA sudah banyak dilakukan antara lain penelitian yang dilakukan oleh Visvanathan (1998) yang menguji apakah perubahan VAA berubah secara sistematis mengikuti pola insentif manajemen laba. Dalam penelitian tersebut peneliti menemukan bukti bahwa bahwa perubahan VAA lebih konsisten dengan insentif earning big bath. Bauman (2000) tidak menemukan bukti bahwa perubahan VAA digunakan untuk melakukan manajemen laba, tetapi perubahan VAA yang dilakukan perusahaan konsisten atau sesuai dengan ketentuan SFAS 109.

Frank dan Rego (2003) melakukan penelitian terhadap seluruh perusahaan manufaktur di Amerika dari tahun 1993-2001, yaitu sebanyak 238 sampel perusahaan. Dalam penelitian mereka, Frank dan Rego menemukan bahwa perusahaan menggunakan VAA untuk menaikkan laba, untuk memperhalus penurunan laba, dan untuk mencapai target laba tertentu, khususnya mencapai analyst forecast.

Frank dan Rego (2006) menganalisis praktek manajemen laba dengan menggunakan Valuation Allowance Account (VAA) dengan data perusahaan dari tahun 1993-2002 yaitu sebanyak 394 perusahaan yang ada di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan menggunakan VAA untuk melakukan manajemen laba. Frank dan Rego menemukan bahwa VAA digunakan oleh manajer untuk mencapai prediksi analisis laba, tetapi Frank dan Rego (2006) menganalisis praktek manajemen laba dengan menggunakan Valuation Allowance Account (VAA) dengan data perusahaan dari tahun 1993-2002 yaitu sebanyak 394 perusahaan yang ada di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perusahaan menggunakan VAA untuk melakukan manajemen laba. Frank dan Rego menemukan bahwa VAA digunakan oleh manajer untuk mencapai prediksi analisis laba, tetapi

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Frank dan Rego (2006) yang dilakukan pada perusahaan di Amerika Serikat. Frank dan Rego menganalisis tindakan manajemen laba yang dideteksi dengan menggunakan perubahan diskresioner VAA, yang dipengaruhi oleh tiga target laba yaitu melaporkan peningkatan laba, melaporkan laba positif, dan mencapai ramalan para analis (analyst forecast). Dalam penelitian ini hanya menggunakan dua target laba yaitu melaporkan peningkatan laba dan melaporkan laba positif, karena terbatasnya data ramalan para analis (analyst forecast) di Indonesia.

Sampel penelitian ini yaitu perusahaan manufaktur yang menyediakan VAA atau cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan. Pemilihan pada sektor industri manufaktur dikarenakan pada alasan bahwa industri manufaktur merupakan kelompok emiten terbesar dibandingkan kelompok industri yang lain dan berdasarkan penelitian yang dilakukan Kiswara (1999) manajemen laba lebih banyak terdeteksi pada sektor industri manufaktur.

Manajemen Laba dengan Menggunakan Valuation Allowance Account (VAA): Penggunaan Analisis PLS (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Menyediakan Cadangan Penilaian Aktiva Pajak

Tangguhan yang Terdaftar di BEI pada Tahun 2007-2009)”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah apakah diskresioner perubahan VAA digunakan perusahaan dalam melakukan aktivitas manajemen laba untuk mencapai target laba yaitu meningkatkan laba dan melaporkan laba positif?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bukti empiris mengenai penggunaan diskresioner perubahan VAA terhadap aktivitas manajemen laba dan hubungannya dengan target laba perusahaan (meningkatkan laba dan melaporkan laba positif) pada perusahaan manufaktur di Indonesia yang menyediakan cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan.

1. Bagi Manajemen perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan dan

memberikan gambaran mengenai pengaruh perubahan VAA terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI sehingga dapat membantu investor dalam membuat keputusan investasi yang tepat.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian terdahulu

mengenai manajemen laba dengan menggunakan Valuation Allowance Account (VAA) terkait perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk

melanjutkan penelitian dengan topik yang sama.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan terdiri dari lima bab yang diuraikan sebagai berikut: BAB I

Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

Bab ini membahas mengenai teori-teori yang mendasari penelitian ini dan kerangka pemikiran

BAB III

Metode Penelitian

Bab ini membahas proses pemilihan sampel, pencarian data, dan metodologi yang digunakan.

BAB IV

Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini membahas mengenai pengolahan data, hasil dari analisis data serta pembahasannya.

BAB V

Penutup

Bab ini berisi kesimpulan yang didapat dari hasil analisis data, keterbatasan, dan saran bagi peneliti selanjutnya.

Daftar Pustaka

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Teori agensi merupakan teori utama dalam penelitian ini. Selanjutnya teori agensi dijadikan pijakan dari teori positif (positive accounting theory). Teori akuntansi positif menggambarkan dan memprediksikan apa yang akan dilakukan dan apa yang tidak dilakukan oleh manajer secara khusus (Watts dan Zimmerman, 1986). Sesuai perkembangan teori agensi, kajian pada teori akuntansi positif juga mulai melebar bukan hanya pada perspektif ekonomi tetapi sudah bergesar pada perspektif non ekonomi. Sehubungan dengan itu, selain kajian berbasis ekonomi, penelitian akuntansi positif juga sudah mulai mengkaji dalam perspektif nilai (Mukhlasin, 2007).

1. Teori Agensi

Perusahaan digambarkan sebagai sebuah entitas legal yang berjalan sebagai sebuah nexus untuk seperangkat kontrak yang komplek di antara individu-individu yang berbeda (Jensen, 1983). Hubungan agensi didefinisikan sebagai kontrak antara satu orang atau lebih (principle) menggunakan orang lain (agent) untuk menyelenggarakan beberapa tugas demi kepentingannya yang meliputi pendelegasian beberapa otoritas pengambilan keputusan oleh agen. Namun demikian, hubungan antara

(Jensen dan Meckling, 1976). Premis teori agensi meliputi agen yang mementingkan kepentingan sendiri, menghindari resiko, bertindak rasional, moral hazard (selalu mengharapkan hasil yang lebih besar dengan usaha yang sedikit), dan memproyeksikan diri mempunyai kapabilitas dan keahlian diri yang lebih tinggi dibandingkan yang sesungguhnya. Selian itu, baik principle maupun agen diasumsikan bertindak rasional dan berupaya untuk memaksimalkan utilitasnya, oleh karena itu, masing-masing pihak akan senantiasa bertindak untuk kepentingannya sendiri (Hefzi, 1998).

Secara garis besar teori agensi dikelompokkan menjadi dua yaitu positive agency research dan principle agent research. Positive agency research fokusnya adalah mengidentifikasi situasi dimana agen dan principal mempunyai tujuan yang bertentangan dan mekanisme pengandalian yang terbatas hanya menjaga perilaku self serving agen. Secara eksklusif, kelompok ini hanya memperhatikan konflik tujuan antara pemilik (stockholder) dengan manajer. Sementara itu principle agent research mengungkapkan bahwa hubungan agent-priciple dapat diaplikasikan secara lebih luas, misalnya untuk menggambarkan hubungan pekerja dengan pemberi kerja, lawyer dengan kliennya, auditor dengan auditee, penjual dengan pembeli (Ekanayake, 2004).

Jensen dan Meckling (1976) mengungkapkan bahwa perbedaan kepentingan antara agen dan principal menimbulkan konflik kepentingan Jensen dan Meckling (1976) mengungkapkan bahwa perbedaan kepentingan antara agen dan principal menimbulkan konflik kepentingan

2. Teori Akuntansi Positif

Istilah teori akuntansi positif menunjuk kepada sebuah teori yang mencoba untuk membuat prediksi yang bagus dari kejadian dunia nyata. Teori akuntansi positif berkaitan dengan memprediksi tindakan seperti pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana respon manajer terhadap standar akuntansi baru yang diusulkan (Scott, 2003).

Teori akuntansi positif berusaha untuk menjelaskan fenomena akuntansi yang diamati berdasarkan pada alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Dengan kata lain, teori akuntansi dimaksudkan untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi yang terjadi jika manajer menentukan pilihan tertentu. Penjelasan dan prediksi dalam teori akuntansi positif didasarkan pada proses kontrak atau hubungan keagenan antara manajer dengan kelompok lain seperti investor, kreditor, auditor, pihak pengelola pasar modal, dan institusi pemerintah (Watts dan Zimmerman, 1990).

menjelaskan bagaimana keuangan dapat digunakan untuk meminimalisasi biaya keagenan dari setiap pihak yang terlibat dalam kontrak yang masing- masing pihak mengutamakan kepentingannya. Selanjutnya Degaan (2004) juga menyatakan bahwa kunci untuk menjelaskan pilihan metode akuntansi oleh manajer berasal dari teori agensi. Teori agensi memberi penjelasan penting mengapa memilih metode akuntansi tertentu, oleh karena itu teori agensi sangat penting dalam pengembangan teori akuntansi positif.

Watts dan Zimmerman (1986) menyatakan bahwa perilaku oportunistik manajer dapat diprediksikan dengan Positive Accounting Theory ke dalam tiga bentuk hipotesis, yaitu:

a. The Bonus Plan Hypothesis Pada dasarnya tidak ada teori yang menjelaskan susunan pola

kompensasi manajemen. Akan tetapi, ada dua tipe dasar rencana kompensasi untuk menghargai kinerja manajemen yang diukur dengan bilangan akuntansi (biasanya laba) yaitu rencana bonus dan rencana kinerja (kinerja saham dan rencana kinerja unit). Jika rencana bonus memberikan dorongan kepada manajer untuk memaksimalkan nilai perusahaan, maka indeks kinerja dari perhitungan bonus harus berhubungan dengan dampak tindakan manajer terhadap nilai perusahaan. Jika faktor lain dianggap cateris paribus, maka semakin besar korelasi antara laba dengan dampak

digunakannya rencana bonus berdasarkan laba untuk memberikan penghargaan kepada manajer. Lebih banyak penelitian empiris yang mengkaji dampak rencana bonus terhadap pilihan manajer atas prosedur akuntansi daripada dampak dari rencana kinerja terhadap pilihan manajer atas prosedur akuntansi. Parameter rencana bonus menetapkan bahwa bonus diberikan sepanjang tahun, dan jika bonus dapat diberikan, maka jumlah maksimumnya adalah fungsi linier positif dan laba periode berjalan. Hasil tersebut memberikan petunjuk kepada peneliti bahwa kompensasi manajer berdasarkan rencana bonus meningkat sejalan dengan peningkatan laba periode berjalan. Berdasarkan asumsi tersebut, peningkatan nilai sekarang atas laba perusahaan pada periode berjalan akan meningkatkan nilai sekarang dari kompensasi manajer. Hal tersebut dapat diringkas ke dalam hipotesis berikut: Bonus Plans Hypothesis. Jika semua hal sama (cateris paribus), maka manajer sebuah perusahaan yang mempunyai rencana pemberian bonus akan lebih mungkin untuk memilih prosedur akuntansi yang dapat memindahkan laba periode yang akan datang ke dalam periode sekarang.

b. The Debt Covenant Hypothesis Dalam hipotesis ini diasumsikan bahwa jika semua hal sama (cateris

paribus), semakin dekat manajer untuk melanggar accounting-based

prosedur akuntansi yang dapat menggeser penghasilan periode yang akan datang ke dalam periode sekarang. Alasannya adalah kenaikan laba bersih yang dilaporkan akan mengurangi kemungkinan kegagalan teknis. Sebagian besar perjanjian hutang berisi persyaratan yang harus dipenuhi oleh peminjam selama jangka waktu perjanjian. Sebagai contoh, perusahaan kreditur mensyaratkan untuk memelihara level debt-to–equity tertentu, cakupan hutang, modal kerja, dan ekuitas pemegang saham. Jika perjanjian tersebut dilanggar, maka perjanjian hutang dapat menjatuhkan denda, seperti kendala pada deviden atau peminjam tambahan. Jelas bahwa kemungkinan adanya pelanggaran perjanjian merupakan batasan bagi maanjer untuk menjalankan perusahaan. Untuk mencegah, atau paling tidak menunda pelanggaran tersebut, manajer mungkin menerapkan kebijakan akuntansi untuk menaikkan laba masa kini. Demikian pula hipotesis perjanjian hutang memprediksi bahwa manajer perusahaan dengan rasio hutang tarhadap ekuitas yang tinggi akan memilih kebijakan akuntansi yang kurang konservatif dibandingkan manajer perusahaan dengan rasio yang rendah, dan akan lebih mungkin untuk menentang standar baru yang membatasi kemampuan mereka untuk melakukannya dan atau yang dapat meningkatkan pendapatan volatilitas. Hipotesis biaya politik juga prosedur akuntansi yang dapat menggeser penghasilan periode yang akan datang ke dalam periode sekarang. Alasannya adalah kenaikan laba bersih yang dilaporkan akan mengurangi kemungkinan kegagalan teknis. Sebagian besar perjanjian hutang berisi persyaratan yang harus dipenuhi oleh peminjam selama jangka waktu perjanjian. Sebagai contoh, perusahaan kreditur mensyaratkan untuk memelihara level debt-to–equity tertentu, cakupan hutang, modal kerja, dan ekuitas pemegang saham. Jika perjanjian tersebut dilanggar, maka perjanjian hutang dapat menjatuhkan denda, seperti kendala pada deviden atau peminjam tambahan. Jelas bahwa kemungkinan adanya pelanggaran perjanjian merupakan batasan bagi maanjer untuk menjalankan perusahaan. Untuk mencegah, atau paling tidak menunda pelanggaran tersebut, manajer mungkin menerapkan kebijakan akuntansi untuk menaikkan laba masa kini. Demikian pula hipotesis perjanjian hutang memprediksi bahwa manajer perusahaan dengan rasio hutang tarhadap ekuitas yang tinggi akan memilih kebijakan akuntansi yang kurang konservatif dibandingkan manajer perusahaan dengan rasio yang rendah, dan akan lebih mungkin untuk menentang standar baru yang membatasi kemampuan mereka untuk melakukannya dan atau yang dapat meningkatkan pendapatan volatilitas. Hipotesis biaya politik juga

c. The Politycal Cost Hypothesis Dalam hipotesis ini dinyatakan bahwa jika semua hal sama (cateris

paribus), maka perusahaan yang menghadapi biaya politis tinggi akan semakin memungkinkan manajer untuk memilih kebijakan prosedur akuntansi yang menunda penghasilan sekarang untuk dilaporkan pada periode berikutnya. Hipotesis biaya politik memperkenalkan dimensi politik dalam pemilihan kebijakan akuntansi. Sebagai contoh, biaya politik dapat dikenakan bagi perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi, yang mungkin menarik perhatian media konsumen. Perusahaan yang sangat besar mungkin ditampilkan dengan standar kinerja yang lebih tinggi, misalnya dengan mematuhi tanggung jawab sosial, hanya karena mereka merasa menjadi lebih besar, maka biaya politiknya akan diperbesar.

Tiga hipotesis di atas menunjukkan bahwa teori akuntansi positif mengaku adanya tiga hubungan keagenan: (1) antara menejemen dengan pemilik, (2) antara manajemen dengan kreditor, (3) antara manajemen dengan

Manajemen perusahaan bertanggung jawab kepada pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan yang berbeda atas kegiatan bisnis perusahaan sehingga masing-masing pihak dengan wewenang yang dimiliki akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya. Salah satu contoh kewenangan akuntan untuk meratakan labanya adalah dengan manajemen laba (Hasan. A, et al., 2009).

Menurut Scott (2000) manajemen laba adalah suatu tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan memaksimalisasi kesejahteraan pihak manajemen dan atau nilai pasar perusahaan. Sedangkan menurut Ma’ruf (2006) manajemen laba dianggap sebagai suatu proses mengambil langkah yang disengaja dalam batas prinsip akuntansi yang berterima umum baik di dalam maupun luar batas General Accepted Accounting Principle (GAAP).

Menurut Sugiri (1998:1-8) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:

a. Definisi Sempit Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan

metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk bermain dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya laba.

Manajemen laba merupakan tindakan menajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit usaha dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.

Utari (2007) menyebutkan bahwa terdapat tiga hal yang penting dalam manajemen laba, yaitu (1) adanya tujuan tertentu yang dilakukan secara sengaja oleh manajemen, (2) dilakukan oleh manajemen dengan kewenangan yang dimilikinya, (3) adanya pilihan-pilihan kebijakan/metode akuntansi yang diperkenankan menurut standar akuntansi berlaku. Ketiga hal dalam upaya manajemen laba tersebut menghasilkan jumlah laba tertentu yang dilaporkan oleh perusahaan.

Beberapa motivasi atau insentif yang melandasi timbulnya manajemen laba dikemukakan Scott (2000), antara lain sebagai berikut.

a. Bonus Manajemen perusahaan mempunyai insentif untuk melakukan

manajemen laba secara oportunitis untuk memaksimalkan bonus yang akan diterimanya.

b. Klausul hutang (debt convenant) Pelanggaran terhadap klausul hutang dapat menimbulkan biaya besar

bagi perusahaan. Karena itu perusahaan mempunyai insentif untuk melakukan manajemen laba untuk menghindari pelanggaran tersebut.

Perusahaan-perusahaan besar dan perusahaan dalam industri strategis (seperti minyak dan gas bumi) secara politis lebih mendapat perhatian publik dan regulator. Hal ini menyebabkan peningkatan regulasi atau masalah yang berdampak terhadap profitabilitas perusahaan. Karena itu perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai insentif untuk melakukan manajemen laba.

d. Pergantian direksi Direksi yang akan ganti dapat mempunyai insentif melakukan

manajemen laba untuk memaksimumkan bonus yang akan diterimanya pada saat pergantian direksi. Manajemen laba juga dapat dilakukan oleh direksi untuk menghindari mereka diberhentikan dari posisi direksi.

e. Penawaran perdana (Initial Public Offering, IPO) Manajemen perusahaan yang melakukan penawaran perdana

mempunyai insentif melakukan manajemen laba dengan harapan dapat meningkatkan harga sahamnya di pasar.

f. Pengkomunikasian Informasi Manajemen laba dapat juga dilakukan untuk mengkomunikasikan

informasi pribadi mengenai prospek laba masa depan perusahaan kepada investor.

Scott (2003) yaitu:

a. Taking a Bath Manajer mencoba mengalihkan expected future cost ke masa kini agar memiliki peluang yang lebih besar mendapatkan laba di masa mendatang. Biasanya dilakukan bila perusahaan mengadakan restrukturisasi atau reorganisasi.

b. Income Minimization Manajer mencoba memindahkan beban ke masa kini agar memiliki

peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba di masa mendatang.

c. Income Maximization Manajer mencoba meningkatkan laba masa kini dengan memindahkan

beban ke masa mendatang. Biasanya dilakukan manajer dalam rangka memperoleh bonus tahunan.

d. Income smoothing Tindakan dimana manajer memperhalus fluktuasi laba dari periode ke periode dengan cara memindahkan laba dari periode yang memiliki laba

tinggi ke periode yang memiliki laba rendah.

4. PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan

Akuntansi pajak penghasilan telah diperkenalkan di Indonesia sejak 1 Januari 1995, sebagaimana diatur dalam PSAK N0. 16, par 77. Namun sejak diterbitkannya PSAK No. 46 (1997), telah terjadi perubahan orientasi dari pendekatan sebelumnya yang bersifat “income statement

PSAK No. 46 ini diterbitkan tahun 1997 dan baru berlaku efektif di Indonesia mulai tanggal 1 Januari 1999 bagi perusahaan publik, dan mulai tanggal 1 Januari 2001 bagi perusahaan lainnya.

Masalah utama perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan adalah bagaimana mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak pada periode berjalan dan periode mendatang untuk hal-hal berikut, (PSAK No.

46, par 1):

a. Pemulihan nilai tercatat aktiva yang diakui pada neraca perusahaan atau pelunasan nilai tercatat kewajiban yang diakui pada neraca

perusahaan, dan

b. Transaksi-transaksi atau kejadian-kejadian lain pada periode berjalan yang diakui pada laporan keuangan perusahaan.

Pengakuan aktiva atau kewajiban pada laporan keuangan mengindikasikan bahwa perusahaan akan dapat memulihkan nilai tercatat aktiva atau akan melunasi nilai tercatat kewajiban tersebut. Jika kemungkinan besar pemulihan aktiva atau pelunasan kewajiban tersebut akan mengakibatkan future tax effect bagi perusahaan, maka perusahaan harus mengakui kewajiban pajak tangguhan atau aktiva pajak tangguhan dengan beberapa pengecualian (Rakhmawati, 2011).

Realisasi aktiva pajak tangguhan (Deferred Tax Asset atau DTA) atau penyelesaian kewajiban pajak tangguhan (Deferred Tax Liability atau

diturunkan melalui akun cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan (Valuation Allowance Account atau VAA). Selanjutnya, apabila pada periode berikutnya terdapat bukti positif yang menambah tingkat keyakinan terhadap realisasi aktiva pajak tangguhan, maka jumlah tersebut dapat dipulihkan kembali melalui perubahan atas akun cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan atau VAA tersebut. Oleh karena itu, review secara periodik terhadap aktiva pajak tangguhan harus dilakukan untuk mengevaluasi probabilitas realisasinya (Tanusdjaja, 2006).

5. Pajak Tangguhan (Deferred Tax)

Pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang terutang (payable) atau terpulihkan (recovable) pada tahun mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer dan sisa kompensasi kerugian. Pajak tangguhan dapat dibedakan menjadi Aktiva Pajak Tangguhan (deferred tax assets) dan Kewajiban Pajak Tangguhan (deferred tax liabilities) (Utari, 2007).

Menurut PSAK No.46, aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recovable) pada tahun mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. Di sisi lain, terdapat kewajiban pajak tangguhan yang merupakan jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk tahun Menurut PSAK No.46, aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recovable) pada tahun mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. Di sisi lain, terdapat kewajiban pajak tangguhan yang merupakan jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk tahun

a. Perbedaan Temporer Kena Pajak (taxable temporary differences) yaitu perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena

pajak dalam perhitungan laba fiskal tahun mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi. Perbedaan temporer kena pajak dapat timbul akibat 2 hal:

1) Biaya yang diakui dalam laporan keuangan akuntansi pada suatu tahun lebih kecil daripada biaya yang diakui dalam laporan

keuangan fiskal.

2) Penghasilan yang diakui dalam laporan keuangan akuntansi pada suatu tahun lebih besar daripada penghasilan yang diakui dalam

laporan keuangan fiskal. (Perbedaan ini tidak dimungkinkan oleh peraturan pajak Indonesia yang juga menganut akrual basis).

b. Perbedaan Temporer yang boleh Dikurangkan (Deductible temporary differences) yaitu perbedaan temporer yang menimbulkan

suatu jumlah yang boleh dikurangkan dalam perhitungan laba fiskal tahun mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban dilunasi. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dapat timbul akibat 2 hal: suatu jumlah yang boleh dikurangkan dalam perhitungan laba fiskal tahun mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban dilunasi. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dapat timbul akibat 2 hal:

2) Penghasilan yang diakui dalam laporan keuangan akuntansi pada suatu tahun lebih kecil daripada penghasilan yang diakui dalam

laporan keuangan fiskal.

Pendekatan yang digunakan dalam akuntansi pajak penghasilan di Indonesia adalah pendekatan asset liability method (balance sheet approach) yang diatur dalam pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 46. Selain pengakuan kewajiban pajak masa kini (current tax liability), pendekatan ini mengatur pengakuan efek pajak masa depan (future tax effect) yang timbul dari perbedaan laba rugi fiskal dengan laba rugi akuntansi (Yulianti, 2004).

Perbedaan yang terjadi dalam penghitungan laba akuntansi (komersial) dengan penghitungan laba fiskal disebabkan laba fiskal didasarkan pada undang-undang perpajakan, sementara laba akuntansi didasarkan pada standar akuntansi. Dalam penerapannya, undang-undang pajak memberikan batasan yang lebih ketat dalam prinsip dan asumsi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan (Yulianti, 2004).

6. Valuation Allowance Account (VAA)

Valuation Allowance Account atau cadangan penilaian aktiva Valuation Allowance Account atau cadangan penilaian aktiva

Penelitian oleh Miller dan Skinner (1998), Visvanathan (1999), Bauman, Bauman & Halsey (2001) dan Burgstahler, Elliot, Hanlon (2002) menggunakan Valuation Allowance Account (VAA) sebagai alat pendeteksi manajemen laba. Berdasarkan standar akuntansi yang digunakan di Amerika Serikat, perusahaan harus melakukan penyesuaian terhadap nilai aktiva pajak tangguhan secara berkala. Efek dari penyesuaian yang dilakukan akan dibebankan kepada akun penyisihan yang disebut Valuation Allowance Account (VAA). Penyesuaian yang dilakukan didasarkan pada penilaian (diskresi) manajemen. Karenanya Valuation Allowance Account (VAA) dianggap dapat dijadikan pengukur manajemen laba.

Sebagaimana terlihat dalam gambar 2.1, terdapat empat sumber penghasilan kena pajak masa depan yang dapat merealisasikan aktiva pajak tangguhan. Keempat sumber ini wajib dipertimbangkan oleh manajemen ketika memutuskan perlunya pembentukan akun cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan (Valuation Allowance Account) ini. Keempat sumber penghasilan kena pajak masa depan ini adalah sebagai berikut:

Sumber: penjabaran SFAS No. 109, dimodifikasi dari Eaton & William (1998) dalam Tanusdjaja (2006).

Gambar 2.1 Faktor-Faktor Penentu VAA Aktiva Pajak Tangguhan

Sumber2: Apakah penghasilan kena pajak masa depan yang diharapkan dari pembalikan TTD (DTL Rp 2.500 juta) masih dianggap cukup untuk dapat merealisasikan DTA?

VAA diperlukan (Bukti positif VAA tidak diperlukan (Bukti ) negatif)

ya tidak

Sumber4: apakah penghasilan kena pajak masa datang yang berasal dari sumber Pendapatan masa depan masih cukup untuk merealisasikan DTA Rp 3.600 juta?

ya

Sumber3: Apakah strategi perpajakan perusahaan atas penghasilan kena pajak masa depan dianggap cukup memadai untuk merealisasikan DTA Rp 3.600 juta?

ya

ya

Sumber 1: Apakah penghasilan kena pajak dari sumber masa lalu masih dianggap cukup untuk dapat merealisasikan DTA (Rp 3.600 juta)

Pertimbangan bukti positif dan bukti negatif

Diasumsikan data awal: DTA Rp 3.600 juta dan DTL Rp 2.500 juta

Apakah ada masalah kelangsungan usaha (going concern)?

tidak

tidak

tida k

tida k tida k

Sumber ini dapat dinilai paling objektif, karena tidak menggunakan asumsi laba masa depan, tapi menggunakan transaksi masa lalu yang masih belum terpenuhi, dan masih berlanjut sampai periode kini. Bukti positif atau bukti negatif atas eksistensi sumber ini akan menentukan perlu atau tidaknya pembentukan VAA, sehingga akan berdampak pada penurunan (peningkatan) jumlah VAA aktiva pajak tangguhan.

b. Pembalikan kemudian terhadap pos-pos perbedaan temporer kena pajak (future reversal of taxable temporary differences).

Sumber ini sangat tergantung pada laba masa depan, tetapi masih dianggap cukup objektif karena berbasis perbedaan temporer yang telah ada pada masa sebelumnya. Contohnya adalah berbagai akrual pendapatan, seperti pendapatan diterima di muka dan pendapatan yang masih harus diterima. Bukti positif (negatif) atas eksistensi sumber ini, berdampak pada penurunan (peningkatan) nilai VAA aktiva pajak tangguhan.

c. Potensi penghasilan kena pajak masa depan (future taxable income) Sumber ini dapat dianggap subjektif karena berdasarkan justifikasi

manajemen terhadap berbagai asumsi seperti: kondisi ekonomi dan persaingan dalam menyusun proyeksi kinerja laba masa depan. Contoh manajemen terhadap berbagai asumsi seperti: kondisi ekonomi dan persaingan dalam menyusun proyeksi kinerja laba masa depan. Contoh

d. Strategi perencanaan perpajakan perusahaan (tax planning strategies) Sumber ini juga memerlukan banyak pertimbangan subjektif

manajemen dalam strukturisasi transaksi yang dapat menimbulkan efisiensi perpajakan, sehingga dapat menciptakan laba kena pajak masa depan untuk merealisasikan aktiva pajak tangguhan tersebut. Contoh tindakan korporasi untuk penggabungan usaha dan akuisisi yang dapat menimbulkan efisiensi perpajakan, pengaturan transaksi usaha yang dapat menimbulkan penghematan pajak, namun tetap dalam koridor peraturan pajak. Bilamana strategi perpajakan dapat mencegah terjadinya saldo rugi fiskal yang kadaluarsa dan atau kredit pajak yang kadaluarsa, berarti sebagai bukti positif, dapat direalisasikannya aktiva pajak tangguhan, sehingga tidak diperlukan (penurunan) VAA aktiva pajak tangguhan.

Namun dalam PSAK No. 46 tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan maupun bukti-bukti yang mendukung atau menghindari pembentukan cadangan penilaian tersebut.

Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya:

1. Miller dan Skinner (1998) melakukan penelitian dengan sampel sebanyak 200 perusahaan industri besar selama periode 3 tahun. Mereka

menemukan bahwa tidak ada hubungan di antara perubahan VAA aktiva pajak tangguhan dan perubahan rasio nilai buku ekuitas terhadap hutang (proksi dari perataan laba). Dalam penelitiannya, Miller dan Skinner memasukkan dua variabel manajemen laba dengan tujuan untuk menentukan apakah perusahaan mencatat VAA sesuai dengan panduan yang tercantum dalam standar akuntansi pajak penghasilan. Miller dan Skinner menguji hipotesis hutang (leverage) dan perataan laba (income smoothing). Menurut hipotesis hutang, manajer dari perusahaan yang memiliki tingkat hutang tinggi cenderung memilih VAA yang lebih kecil dibandingkan dengan manajer dari perusahaan yang rendah tingkat hutangnya agar dapat menghindari pelanggaran klausul hutang. Sedangkan pada hipotesis perataan laba menyatakan bahwa manajer akan menurunkan nilai VAA dalam tahun-tahun terjadinya penurunan sementara kinerja laba dan meningkatkan VAA ketika kinerja laba sangat tinggi. Dengan demikian perubahan VAA tidak berdampak pada perbaikan laba. Penemuan mereka tidak mendukung kedua hipotesis tersebut karena beragamnya insentif manajemen laba dari perusahaan sampel dan juga

perubahan VAA berubah secara sistematis mengikuti pola insentif manajemen laba pada perusahaan yang terdaftar di Standard & Poor’s (S&P) 500 index dari periode 1992-1994. Dalam penelitian tersebut menguji hipotesis hutang dan perataan laba dan hipotesis rencana bonus. Berdasar hipotesis rencana bonus, manajer akan menurunkan laba ketika laba tersebut di bawah batas terendah atau di atas batas teratas dari rencana bonus. Visvanathan tidak menemukan bukti bahwa perubahan VAA berhubungan dengan eksistensi program bonus, rasio ekuitas terhadap hutang (proksi perjanjian hutang), dan perubahan laba (proksi perataan laba). Hubungan antara perubahan nilai VAA dengan perubahan laba tahun berjalan sebelum VAA adalah negatif dan signifikan. Jika manajer menggunakan VAA untuk perataan laba, seharusnya hubungan tersebut menjadi positif. Selain itu, hubungan tersebut ternyata menjadi lebih kuat ketika leverage tinggi. Meskipun demikian, hasil dari penelitian tersebut lebih konsisten dengan insentif earning big bath bagi manajer ketika membentuk VAA secara berlebihan pada masa kinerja memburuk. Tindakan ini dimaksudkan supaya kinerja masa depan terlihat lebih baik.

3. Bauman et al (2000) Mereka menguji penggunaaan VAA sebagai alat untuk melakukan

manajemen laba pada sampel sebanyak 62 perusahaan yang terdaftar di Fortune 500 tahun 1997, dengan kurun waktu tiga tahun, 1995-1997. Penelitiannya menggunakan pendekatan kontekstual yang

dengan manajemen laba, earnings targets tersebut antara lain: untuk menghindari kerugian, menghindari penurunan laba, menghindari kesalahan ramalan laba oleh analis (analyst forecast), dan untuk tujuan taking a bath. Mereka tidak menggunakan perubahan bersih VAA sebagai proksi dari efek laba perubahan VAA, melainkan menggunakan jumlah yang dilaporkan pada rekonsiliasi ETR (effective tax rate) kerena pengukuran ini dinilai lebih baik. Hasil dari penelitiannya tidak menemukan bukti tindakan earning management, perubahan VAA yang dilakukan oleh perusahaan konsisten pada ketentuan SFAS 109.

4. Schrand dan Wong (2003) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel perusahaan publik, sektor perbankan karena disinyalir bank-bank

memiliki aktiva pajak tangguhan yang besar dan sebagai konsekuensinya, akun VAA juga berpotensi sangat besar. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa bank-bank menggunakan VAA untuk memperhalus nilai laba ke rata-rata laba selama tiga tahun terakhir dan untuk rata-rata konsensus ramalan para analis (analyst forecast).

5. Phillips dkk (2004) menguji apakah perubahan pada delapan komponen kewajiban pajak tangguhan bersih (net-DTL) dapat digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang mengelola laba guna

menghindari penurunan laba. Phillips dkk memperluas penelitian yang ada dengan mengungkapkan informasi rinci tentang akun yang berdampak menghindari penurunan laba. Phillips dkk memperluas penelitian yang ada dengan mengungkapkan informasi rinci tentang akun yang berdampak

6. Frank dan Rego (2004) melakukan penelitian terhadap perusahaan publik sektor manufaktur dalam periode 1993-2001. Mereka berfokus pada tiga target laba (yaitu untuk melaporkan laba positif, untuk melaporkan

kenaikan laba, dan untuk mencapai ramalan para analis). Mereka menemukan bukti bahwa aktivitas manajemen laba menggunakan VAA untuk perataan laba, menghindari pelaporan yang merugi atau penurunan laba, dan untuk mencapai ramalan para analis. Kemudian mereka melakukan penelitian lagi tentang manajemen laba dengan menggunakan VAA pada tahun 2006 dengan menggunakan sampel perusahaan sebanyak 394 perusahaan yang ada di Amerika Serikat selama tahun 1993-2002. Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa perusahaan menggunakan VAA untuk melakukan manajemen laba, yaitu untuk mencapai analyst forecast, tetapi tidak menemukan bukti bahwa VAA digunakan untuk menghasilkan laba yang positif dan meningkatklan laba.

7. Hendang Tanusdjaja (2006) melakukan penelitian terhadap perusahaan publik selama tahun 2000-2003 yaitu sebanyak 163 sampel perusahaan.

Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa perubahan VAA dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi atau mendeteksi terjadinya aktivitas manajemen laba untuk memperkecil pelaporan kerugian bagi perusahaan. Tetapi tidak menemukan bukti bahwa perubahan VAA dapat Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa perubahan VAA dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi atau mendeteksi terjadinya aktivitas manajemen laba untuk memperkecil pelaporan kerugian bagi perusahaan. Tetapi tidak menemukan bukti bahwa perubahan VAA dapat

C. Kerangka Pemikiran

Pada bagian ini dijelaskan dan digambarkan kerangka pemikiran penelitian. Kerangka pemikiran penelitian menunjukkan pengaruh variabel independen target laba, yaitu melaporkan peningkatan laba dan melaporkan laba positif terhadap diskresioner perubahan cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan (D ∆VAA).

Variabel Independen Variabel Dependen

peningkatan laba

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Peningkatan laba dalam penelitian ini diproksikan dengan premanaged change in earnings pershare (PM ∆EPS), yaitu perubahan laba per lembar saham sebelum perubahan diskresioner VAA. Sedangkan laba positif dalam penelitian ini diproksikan dengan premanaged earnings pershare (PMEPS), yaitu laba per lembar saham sebelum perubahan diskresioner VAA (Frank dan Rego, 2006).

Laba positif

Diskresioner perubahan VAA (D ∆VAA)

Peningkatan laba

earning jauh di bawah target laba (PMEPS<<T, PM ∆EPS<<T) mungkin akan meningkatkan VAA untuk melakukan earning bath atau menurunkan VAA untuk meratakan laba. Perusahaan dengan premanaged earning di bawah target laba (PMEPS<T, PM ∆EPS<T) akan menurunkan VAA untuk meningkatkan pelaporan laba. Sedangkan perusahaan dengan premanaged earning di atas target laba PMEPS>>T, PM ∆EPS>>T) akan meningkatkan VAA untuk meratakan laba dan melakukan cookie jar reserve (Frank dan Rego, 2006).

D. Pengembangan Hipotesis Hubungan Valuation Allowance Account (VAA) dengan Aktivitas

Manajemen Laba

Salah satu komponen penting dari beban (manfaat) pajak penghasilan yang berdampak terhadap laba adalah perubahan akun VA aktiva pajak tangguhan atau VAA. Oleh karena adanya kriteria “more likely than not”, manajer berpeluang melakukan aktivitas manajemen laba (Tanusdjaja, 2006).

Rakhmawati (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa karena tidak adanya panduan ataupun rumus pasti untuk menentukan besarnya cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan, maka manajer memiliki kebebasan dalam penentuan besarnya cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa manajer dapat Rakhmawati (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa karena tidak adanya panduan ataupun rumus pasti untuk menentukan besarnya cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan, maka manajer memiliki kebebasan dalam penentuan besarnya cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa manajer dapat

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa besarnya cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan dapat menjadi instrument manajemen laba, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Burgstahler dan Dichev (1997) melakukan analisis terhadap terpatahnya distribusi laba dan menganggap terpatahnya distribusi ini disebabkan oleh kebaradaan manajemen laba yang dilakukan perusahaan untuk 2 tujuan, yaitu manajemen laba untuk menghindari pelaporan kerugian dan manajemen laba untuk menghindari penurunan laba. Temuan mereka memberi petunjuk bahwa perusahaan dengan kerugian kecil mempunyai insentif menurunkan akun VAA aktiva pajak tangguhan atau VAA untuk melaporkan laba positif. Frank dan Rego (2006) meneliti praktek manajemen laba dengan menggunakan VAA dan menemukan bukti bahwa perusahaan menggunakan VAA untuk melakukan manajemen laba untuk mencapai analyst forecast.

Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh (Hayn, 1995, Burgstahler dan Dichev, 1997, Dechow, Richardson dan Irem Tua, 2003) menunjukkan adanya usaha dari manajemen untuk menghindari penurunan laba ataupun menghindari kerugian dengan cara manajemen laba. Perusahaan yang mengalami kerugian atau penurunan laba akan sebisa mungkin menggeser

Usaha manajemen laba yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini memang akan menyebabkan pergeseran dari pelaporan laba (perubahan laba) negatif menjadi positif tetapi dalam jumlah yang terbatas, hanya untuk melewati earnings threshold. Dengan demikian walaupun perusahaan-perusahaan tersebut melaporkan laba atau perubahan laba positif, tetapi dalam nilai yang kecil.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini akan berfokus pada tiga aktivitas manajemen laba (mencapai target laba, perataan laba, dan earning bath) pada dua target laba yaitu meningkatkan laba dan melaporkan laba positif. Sehingga peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut.

H 1a : Premanaged ∆EPS jauh di bawah target laba berpengaruh terhadap

diskresioner perubahan VAA (D ∆VAA)

H 1b : Premanaged ∆EPS di bawah target laba berpengaruh negatif

terhadap diskresioner perubahan VAA (D ∆VAA).

H 1c : Premanaged ∆EPS di atas target laba berpengaruh positif terhadap

diskresioner perubahan VAA (D ∆VAA).

Dokumen yang terkait

Penerapan Restorative Justice dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana

0 0 96

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Sektor Properti Kabupaten Sukoharjo Tahun 2003-2010

1 1 86

PE NG EM BA N G A N D A N IM PL EM E N T A SI M O B IL E L EA RN IN G PA D A M A TA PE LA J A R A N M AT EM A T IK A (Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Cipari Tahun Ajaran 20112012)

0 0 70

Perubahan kadar gula darah pada pasien lanjut usia yang diinduksi anestesi umum

0 1 28

Bentuk pengawasan hakim oleh komisi yudisial dan implikasinya terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka

0 0 91

Pusat seni di surakarta sebagai kawasan wisata seni yang bernuansa lokalitas Surakarta

2 3 115

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir dengan judul REVERSE PONSETI METHOD UNTUK TERAPI CONGENITAL VERTICAL TALUS (CVT) di RSOS : APAKAH OUTCOME TERAPI

1 2 52

PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan Judul : Pengaruh Jus Stroberi (Fragaria x ananassa) terhadap Kerusakan Histologis Paru Mencit (Mus musculus) yang Dipapar Asap Rokok

0 1 61

(Studi Empiris pada Perusahaan non-Manufaktur yang Menyediakan Cadangan Penilaian Aktiva Pajak Tangguhan yang Terdaftar - Praktek Manajemen Laba Yang Dilakukan Perusahaan : Deteksi Dengan Menggunakan Valuation Allowance Account (Vaa)

0 0 84

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Niat Beli Konsumen pada Produk Distro (Studi pada Konsumen Muda di Purwokerto)

0 0 113