Pusat seni di surakarta sebagai kawasan wisata seni yang bernuansa lokalitas Surakarta

PUSAT SENI DI SURAKARTA SEBAGAI KAWASAN WISATA SENI YANG BERNUANSA LOKALITAS SURAKARTA TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh :

JANITRA KERTIYASA I0207056 JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Puji syukur Alhamdulillah atas izin Allah SWT yang telah melimpahkan Karunia, Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur dengan judul Pusat Seni di Surakarta sebagai Kawasan Wisata Seni yang Bernuansa Lokalitas Surakarta. Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret Surakarta

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran tentang Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini akan Penulis terima dengan terbuka.

Akhir kata, semoga Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis, pribadi dan kita semua, Amin.

Penulis menyadari bahwa selesainya Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini tidak lepas dari pihak-pihak yang telah membantu baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, praktikan mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr.Ir. M. Muqoffa, MT, selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNS. 2. Kahar Sunoko , ST, MT, selaku Ketua Prodi Arsitektur Fakultas Teknik UNS. 3. Ir. Rachmadi Nugroho, MT, selaku dosen pembimbing akademik. 4. Widi Suroto ,ST, MT, selaku dosen pembimbing I mata kuliah Tugas Akhir Arsitektur. 5. Fauzan Ali Ikhsan, ST, MT, selaku dosen pembimbing II mata kuliah Tugas Akhir Arsitektur. 6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan serta

dukungannya dalam menyelesaikan Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini.

Surakarta, 8 Oktober 2011

Penulis

▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1991), Jati Diri Arsitektur Indonesia, Penjabaran Wawasan

Identitas dalam Wadag Arsitektur, Alumni, Bandung.

▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1987), Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan dan Perkotaan,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta. ▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1997), Arsitektur yang Berakar Tradisi, Arsitektur Pembangunan

dan Konservasi, Depdikbud, Jakarta.

▪ Blackwell, Wiliam, A.I.A., (1987), Geometri dalam Arsitektur, Abdi Widya, Bandung. ▪ D.K. Ching, Francis, (2000), Arsitektur bentuk, ruang dan tatanan (edisi kedua), Erlangga,

Jakarta. ▪ Hakim, Rustam, Ir., Unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bumi aksara ▪ Lefaivre, Liane dan Alexander Tzonis, (2003), Critical Regionalism – Architecture and Identity

in a Globalized World ▪ Lynch, Kevin, (1978), “ What Time is This Place” the MIT Perss, Cambridge.

▪ Neufrt, Ernest, Data arsitek (Edisi Kedua),Jakarta. ▪ Prijotomo, Josef , (1988), Pasang Surut Arsitektur Indonesia, Ardjun, Surabaya. ▪ Sutedjo, B Suwondo, Dipl. Ing, (1982), Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur di

Indonesia, Laporan Seminar Tata Lingkungan oleh Mahasiswa Arsitektur Universitas Indonesia, Djambatan, Jakarta.

▪ Soetiadji S, Setyo, Ir., (1986), Anatomi Estetika, Djambatan, Jakarta. ▪ Wiryomartono, A. Bagoes P. (1995), Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, PT.

Gramedia, Jakarta. ▪ ‘______’, (2009), Handout perkuliahan Arsitektur Tradisional Jawa, Jurusan Arsitektur

Universitas Sebelas Maret, Surakarta. ▪ ‘______’, (2008), Handout perkuliahan Struktur Konstruksi Bangunan Gedung 1, Jurusan

Arsitektur Universitas Sebelas Maret, Surakarta. ▪ ‘______’, (2007), I-Arch Magazine – Urban Space (Fifth Issue), PT. Grasindo Mediatama,

Jakarta ▪ Arief, Tomy, (2010), Galeri Seni Urban Yogyakarta, TGA Universitas Sebelas Maret,

Sutrakarta.

▪ Agustinus Susanto, 2009 / www.ilumartaonline.com ▪ http://diasraka.wordpress.com/sastra/seni-budaya/ ▪ senidanbudaya08.wordpress.com/page/2/

Tanggal akses: Minggu, 15 Mei 2011 ▪ http://bantulcraft.com/los-pasar.php

▪ http://bisnisukm.com/batik-kayu-warisan-budaya-yogyakarta.html ▪ http://senikriyaa.blogspot.com/ ▪ http://www.blogster.com/artbloggue/tentang-seni-ukir-di-indonesia ▪ http://bisnisukm.com/kerajinan-logam-yang-mempesona-dari-boyolali.html ▪ http://www.arkeologi.web.id/museum-batik-danar-hadi-galeri-batik-kuno-danar-hadi-di-

solo2222.html

Tanggal akses: Minggu, 22 Mei 2011

▪ http://guruvalah.20m.com / PENGERTIAN KEBUDAYAAN DAN SENI « MAHASISWA

ETNOMUSIKOLOGI ISI SURAKARTA.html ▪ http://www.anneahira.com/pengertian-sastra.htm ▪ http://budayasenijawa.wordpress.com/2010/11/26/sastra-jawa/ ▪ http://komunitaskroncongcitrakristi.blogspot.com/2011/02/asal-usul-musik-kroncong.html ▪ javanesesphere.blogspot.com/2010/06/karawitan ▪ http://www.borobudurlinks.com/2010/07/museum-senirupa-hwidayat.html ▪ http://202.43.165.157/gramedia/idea/article.php?name=/taman-sekaligus-area-

duduk&channel=eksterior%2Ftaman__kolam

§ Tabel I.1: Tabel jumlah kunjungan wisatawan (mancanegara dan domestik) ke Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di kota Surakarta

BAB IV

§ Tabel IV.1: Analisa kebutuhan ruang 88 § Tabel IV.2: Analisa besaran ruang

94 § Tabel IV.3: Rekapitulasi besaran ruang

101 § Tabel IV.4: Analisa persyaratan dan perencanaan ruang

102 § Tabel IV.5: Alternatif jenis sirkulasi

122 § Tabel IV.6: Alternatif bentuk geometri

124 § Tabel IV.7: Jenis bentuk komposisi massa

126 § Tabel IV.8: Rencana penetaan lansekap kawasan Pusat Seni di Surakarta

BAB V

§ Tabel V.1: Aplikasi pencahayaan indoor maupun outdoor kawasan Pusat seni di Surakarta 164

§ Gambar II.1: Ragam bentuk variasi atap pada bangunan tradisional di Jawa 17

§ Gambar II.2: Berbagai jenis bentuk variasi atap pada bangunan bersejarah di Surakarta 18 § Gambar II.3: Skyline pada salah satu kawasan bisnis dan perkantoran di Surakarta

19 § Gambar II.4: Ragam variasi material lokal di Surakarta

20 § Gambar II.5: Ragam variasi material yang tercipta dari perkembangan teknologi 20 § Gambar II.6: Ragam variasi ornamen pada bangunan tradisional di Jawa

22 § Gambar II.7: Ilustrasi Sumbu Imejiner yang melewati

25 “pola tata massa tradisional (dalam lingkup mikro maupun makro)” di Jawa § Gambar II.8: Foto satelit kawasan kraton Surakarta Hadiningrat

25 § Gambar II.9: Bermacam jenis tarian tradisional di Surakarta

32 § Gambar II.10: Pertunjukan musik keroncong

§ Gambar II.11: Gamelan yang merupakan seperangkat instrumen dari musik karawitan 35 § Gambar II.12: Pertunjukkan kesenian wayang kulit

38 § Gambar II.13: Pertunjukan kesenian wayang orang

40 § Gambar II.14: Wayang klithik yang keberadaanya kini semakin langka

41 § Gambar II.15: Pertunjukkan kesenian wayang golek

42 § Gambar II.16: Pertunjukkan kesenian ketoprak lesung

44 § Gambar II.17: Pertunjukkan kesenian ketoprak gamelan

45 § Gambar II.18: Pertunjukan teater rakyat

47 § Gambar II.19: Pertunjukan teater kraton

47 § Gambar II.20: Pertunjukan teater kontemporer

48 § Gambar II.21: Pemutaran film sebagai salah satu bagian dari pertunjukan seni

48 § Gambar II.22: Karya lukis hasil seniman dalam negeri yang bercorak

50 naturalisme-tradisional Indonesia § Gambar II.23: Ragam motif batik

51 § Gambar II.24: Ragam jenis pakaian dari kain batik

52 § Gambar II.25: Berbagai macam hasil kerajinan dari kain batik yang diolah menjadi souvenir

52 § Gambar II.26: Berbagai macam hasil kerajinan kayu batik

§ Gambar II.30: Seni Kerajinan anyam dari material bambu dan rotan 56 § Gambar II.31: Berbagai macam hasil seni kerajinan berbahan dasar kulit

57 § Gambar II.32: Berbagai macam hasil seni kerajinan keramik dan gerabah

58 § Gambar II.33: Pembacaan karya sastra oleh para sastrawan

BAB III § Gambar III.1: Kawasan Pasar Seni Gabusan yang berada di Bantul, Yogyakarta

60 § Gambar III.2: Signage gerbang Pasar Seni Gabusan di Bantul, Yogyakarta.

61 § Gambar III.3: Foto Satelit Kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta

61 § Gambar III.4: Gambar situasi kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta

62 § Gambar III.5: Beberapa massa bangunan yang terdapat di

62 kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta § Gambar III.6: Berbagai macam jenis barang kerajinan yang dijual di

63 Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta § Gambar III.7: 3D desain Pasar Seni Gabusan di Bantul

64 § Gambar III.8: Patung Garuda dan Wisnu yang terdapat di Garuda Wisnu Kencana

65 § Gambar III.9: Signage gerbang Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park

65 § Gambar III.10: Maket GWK beserta lingkungan sekitarnya menggambarkan

66 bentuk akhir dari proses pembangunan mega proyek ini bila telah selesai nanti § Gambar III.11: Ilustrasi kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park di Bali

67 § Gambar III.12: Fasilitas ruang pameran indoor maupun outdoor

67 yang terdapat di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park § Gambar III.13: Beberapa fasilitas yang terdapat di

68 kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park § Gambar III.14: “Menara Pekan Raya Sumatera Utara” di kawasan

68 pusat hiburan rakyat Medan Fair § Gambar III.15: Menara Pekan Raya Sumatera Utara

70 sebagai penanda keberadaan PRSU terhadap kota Medan

§ Gambar III.19: Peta wilayah kota Surakarta 73 § Gambar III.20: Foto satelit wilayah kota Surakarta

BAB IV § Gambar IV.1: Kawasan segitiga budaya di Surakarta

81 § Gambar IV.2: Lokasi site terpilh

82 § Gambar IV.3: Batas-batas dari site terpilih

83 § Gambar IV.4: Beberapa bangunan fasilitas umum yang berada disekitar site terpilih

84 § Gambar IV.5: Analisa pencapaian

107 § Gambar IV.6: Zoning analisa pencapaian

108 § Gambar IV.7: Analisa angin

109 § Gambar IV.8: Respon analisa angin

110 § Gambar IV.9: Analisa matahari

111 § Gambar IV.10: Analisa kebisingan

114 § Gambar IV.11: Zoning analisa kebisingan

115 § Gambar IV.12: Analisa view dan orientasi

117 § Gambar IV.13: Respon analisa view dan orientasi

118 § Gambar IV.14: Analisa rencana zoning

120 § Gambar IV.15: Analisa rencana zoning massa

121 § Gambar IV.16: Gambaran arah sirkulasi pengunjung Pusat Seni di Surakarta

123 § Gambar IV.17: Analisa bentuk komposisi massa

127 § Gambar IV.18: Analisa bentuk dan tampilan bangunan

129 § Gambar IV.19: Contoh beberapa jenis furniture street

130 sebagai elemen hard material dalam penataan lansekap § Gambar IV.20: Contoh beberapa jenis elemen soft material pada lansekap

130 § Gambar IV.21: Contoh pencahayaan buatan pada galeri seni

135 § Gambar IV.22: Contoh pencahayaan buatan outdoor pada kawasan public 135

§ Gambar V.2: Letak entrance utama (ME) dan entrance 150 samping (SE) pada kawasan Pusat Seni di Surakarta § Gambar V.3: Letak bukaan pada beberapa massa bangunan Pusat Seni di Surakarta

§ Gambar V.4: Arah orientasi massa bangunan di dalam site kawasan Pusat Seni di Surakarta 152 § Gambar V.5: Kesesuaian perletakan masa bangunan Pusat Seni di Surakarta sesuai zoning 153 § Gambar V.6: Gubahan dan komposisi massa bangunan pada kawasan Pusat Seni di Surakarta 155 § Gambar V.7: Bentuk dan tampilan bangunan kawasan Pusat Seni di Surakarta

156 § Gambar V.8: Bentuk dan tampilan massa bangunan Pusat Seni di Surakarta

157 § Gambar V.9: Penataan lansekap pada plaza utama kawasan Pusat Seni di Surakarta

157 § Gambar V.10: Penataan lansekap amphiteater pada kawasaan Pusat Seni di Surakarta

158 § Gambar V.11: Penataan lansekap pada plaza pedestrian kawasan Pusat Seni di Surakarta

160 § Gambar V.12: Penataan lansekap pada main entrance kawasan Pusat Seni di Surakarta

160 § Gambar V.13: Penataan lansekap pada sitting area kawasan Pusat Seni di Surakarta

161 § Gambar V.14: Pondasi footplate

§ Gambar V.15: Sruktur rangka badan bangunan dengan menggunakan struktur kolom beton 163 § Gambar V.16: Struktur rangka atap dengan mengunakan material baja ringan

163 § Gambar V.17: Berbagai jenis alat pendeteksi bahaya kebakaran

166 § Gambar V.18: Berbagai jenis alat pemadam kebakaran

· Mama, Papa, Mbak Hana untuk kasih sayang, doa dan support yang tidak henti-hentinya · Seluruh teman-teman ARSITEKTUR 2007 ku tersayang, terimakasih atas kebersamaannya · Teman-teman STUDIO TUGAS AKHIR ARSITEKTUR PERIODE 123, yere, tya, hafidz, fery, cito,

meity, fungki, sintia, anin, nandi, menik, nia, nia, ratih, farikha, mita, dini, mas-mas dan mbak-mbak 2006 / 2005

· Terimakasih wina, desi, rani, lidya, dika, lista, sha, yesi, yang menemani dan membantu ku selama studio tugas akhir

· Dan semua pihak yang telah membantu

Abstrak: Surakarta yang biasa dikenal dengan nama Solo, merupakan kota yang memiliki kondisi dan potensi seni dan budaya yang sangat beragam. Surakarta sebagai pusat pertumbuhan pariwisata dalam Tri Krida Utama, yaitu sebagai kota budaya, pariwisata dan olahraga kini ditetapkan sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Nusantara yang memiliki kekayaan berbagai jenis budaya baik berupa arsitektur bangunannya, adat-istiadatnya, jenis obyek wisata, kesenian, maupun berbagai macam jenis hasil kerajinan.

Dengan dikembangkannya Bandara Adi Sumarmo menjadi Bandara Internasional, dan juga direncanakannya pembangunan jalan tol Solo-Yogyakarta akan semakin memudahkan pencapaian transportasi yang mendukung keberadaan Surakarta sebagai kota pariwisata di Indonesia. Melihat meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan (mancanegara dan domestik) yang datang ke kota Surakarta setiap tahunnya, maka kiranya perlu terus digalakkan upaya untuk meningkatkan kualitas obyek wisata yang telah ada, dan kiranya perlu juga ada peningkatan kuantitas, antara lain dengan menambah jenis tempat wisata baru yang mampu memperkenalkan dan mengapresiasikan beragam jenis budaya dan seni yang ada di Surakarta, sehingga akan dapat menjaring wisatawan lebih banyak lagi. Pusat Seni ( Art Center ) di Surakarta adalah sebuah bentuk kesatuan kawasan wisata yang menampung berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan seni, seperti pertunjukan seni, pameran seni, maupun informasi dan permasaran produk-produk kerajinan seni, serta menjadi sebuah kawasan wisata seni yang memunculkan nuansa ke-lokal-an ke dalam kawasan bangunan guna memunculkan karakter dan jatidiri Surakarta.

Kata kunci : Wisata, Budaya, Kesenian, Surakarta

Abstract: Surakarta which known by Solo, is a city which have condition and potential variety art and culture. Surakarta as a center of tourism development in Tri Krida Utama, as a city of culture, tourism, and sport those set in one of the city in Indonesia as “Daerah Tujuan Wisata (DTW)” which have riches of culture, i.e architecture building, tradition, tourist area, art, and many kind of handicraft. By way of Adi Sumarmo Airport development as a international airport and a program building of Solo-Yogyakarta highways will easier the transportation attainment which support existence of Surakarta as a tourism city in Indonesia.

Discern rise amount of tourist (from foreign countries or domestic) which visit to Surakarta in every year, then presumably keep on efforts the quality of tourist area already, presumably need to incrase quantity of tourist area, in such as add to kind of any tourist area which can introduce and appreciate many kind of culture and art in Surakarta, so that will be much attract tourist in Surakarta.

Surakarta Art Center is the unity form of a tour area which receive many kind of activity which be related to art, such as performing art, exhibition art, information and handicraft marketing product, and become the tourist art area which make the lokality nuance into the building area to make the scene of character and personality of Surakarta.

Keywords : Tour, Culture, Arts, Surakarta

PENDAHULUAN

A. JUDUL PUSAT SENI DI SURAKARTA “Sebagai Kawasan Wisata Seni yang Bernuansa Lokalitas Surakarta”

B. PEMAHAMAN JUDUL Pusat Seni ( Art Center ) di Surakarta adalah sebuah bentuk kesatuan kawasan wisata yang menampung berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan seni, seperti pertunjukan seni, pameran seni, maupun informasi dan permasaran produk-produk kerajinan seni, serta menjadi sebuah kawasan wisata seni yang memunculkan nuansa ke-lokal- an ke dalam kawasan bangunan guna memunculkan karakter dan jatidiri Surakarta.

C. LATAR BELAKANG Surakarta yang biasa dikenal dengan nama Solo, merupakan kota yang memiliki kondisi dan potensi seni dan budaya yang sangat beragam. Surakarta sebagai pusat pertumbuhan pariwisata dalam Tri Krida Utama, yaitu sebagai kota budaya, pariwisata dan olahraga kini ditetapkan sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Nusantara yang memiliki kekayaan berbagai jenis budaya baik berupa arsitektur bangunannya, adat-istiadatnya, jenis obyek wisata, kesenian, maupun berbagai macam jenis hasil kerajinan.

Dengan dikembangkannya Bandara Adi Sumarmo menjadi Bandara Internasional, dan juga direncanakannya pembangunan jalan tol

Indonesia. Surakarta yang kaya akan tradisi budaya, kesenian dan arsitektur bangunannya merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung kepariwisataannya. Potensi-potensi obyek wisata yang ada di kota Surakarta antara lain:

· Kraton Kasunanan · Kraton Mangkunegaran · Taman Wisata Budaya Sriwedari · Monumen Pers · Museum Radya Pustaka dan Museum Dullah · Taman Wisata Bale Kambang · Taman Wisata Satwa Taru Jurug

Berdasarkan tabel data kunjungan wisatawan yang datang ke kota Surakarta:

No Tahun

Wisatawan Mancanegara

Wisatawan

Domestik

Jumlah total

Jumlah Kenaikan

Sumber: Bidang Sarana Wisata, Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan

Kota Surakarta, 2011

Tabel I.1: Tabel jumlah kunjungan wisatawan (mancanegara dan domestik) ke Obyek

dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di kota Surakarta

(mancanegara dan domestik) yang datang ke kota Surakarta setiap tahunnya, maka kiranya perlu terus digalakkan upaya untuk meningkatkan kualitas obyek wisata yang telah ada, dan kiranya perlu juga ada peningkatan kuantitas, antara lain dengan menambah jenis tempat wisata

baru yang mampu memperkenalkan dan

mengapresiasikan beragam jenis budaya dan seni yang ada di Surakarta, sehingga akan dapat menjaring wisatawan lebih banyak lagi.

Adapun tujuan dari pengadaan fasilias wisata ini adalah: - Bidang pariwisata

Sebagai penambah tempat/lokasi wisata baru barupa kawasan yang menampung aktivitas dan kegiatan yang berhubunngan dengan seni, sehingga potensi seni di Surakarta dapat semakin

berkembang. dan dikenal oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.

- Bidang ekonomi

Untuk meningkatkan income/pendapatan kota Surakarta, selain itu juga tentunya dapat meningkakan pendapatan para pengerajin dan seniman dan nantinya akan dapat terus mendorong produkivitas dan kreaivitas hasil seni mereka.

- Bidang sosial

Sebagai wadah apresiasi dan perkenalan terhadap berbagai kesenian tradisional di Surakarta, sehingga nantinya kesenian tradisional kita dapat terus dikenal oleh generasi mendatang dan dapat dikenal hingga ke mancanegara.

· Permasalahan: Menciptakan konsep perencanaan dan perancangan Pusat Seni

(Art Center) yang dapat dijadikan kawasan wisata seni di Surakarta yang memfasilitasi berbagai macam kegiatan seni seperti, pertunjukan seni, pameran seni, serta informasi dan permasaran produk-produk kerajinan seni, dengan menampilkan suasana kawasan bangunan yang menunjukkan jatidiri dengan memperhatikan lokalitas Surakarta.

· Persoalan: - Bagaimana konsep lokasi dan site strategis, sehingga dapat

mendukung fungsi dari kawasan tersebut sekaligus dapat menarik perhatian pengunjung.

- Bagaimana konsep penampilan bangunan kawasan Pusat Seni di Surakarta yang menarik dan selaras dengan memunculkan suasana ke-lokal-an setempat.

- Bagaimana konsep peruangan yang dapat mewadahi segala aktivitas seni diatas sekaligus menarik bagi para pengunjung maupun wisatawan (domestik dan mancanegara) yang datang.

- Bagaimana konsep tata ruang dalam dan tata ruang luar (lansekap) yang menarik di kawasan Pusat Seni di Surakarta.

E. TUJUAN DAN SASARAN · Tujuan:

Menyusun suatu konsep perencanaan dan perancangan Pusat Seni di Surakarta sebagai kawasan wisata yang mewadahi berbagai macam aktivitas seni yang bernuansa lokalitas untuk menciptakan kawasan seni yang dapat menunjukkan jati diri

· Sasaran: - Mendapat lokasi site yang strategis dan mudah untuk dicapai.

- Merancang sebuah Pusat Seni di Surakarta dengan ekspresi bangunan yang menarik dan bernuansa lokalitas Surakarta. - Merancang konsep peruangan yang meliputi kebutuhan ruang, besaran ruang, macam organisasi ruang dan pola hubungan ruang yang mampu menciptakan kenyamanan pengunjung.

- Merancang konsep tata ruang dalam maupun luar (lansekap)

yang menarik.

F. LINGKUP DAN BATASAN PEMBAHASAN · Lingkup pembahasan:

- Pembahasan diarahkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai dan dalam lingkup disiplin ilmu arsitektur, sedangkan masalah diluar disiplin ilmu arsitektur dibahas secukupnya sejauh masih ada relevansinya sesuai dengan porsi keterlibatannya.

- Menekankan pada pengolahan penampilan kawasan

bangunan dengan pendekatan lokalitas Surakarta. · Batasan pembahasan:

- Pembahasan yang dilakukan dibatasi dan diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan dan persoalan dalam mewujudkan konsep perencanaan dan perancangan Pusat Seni di Surakarta.

Dalam menyusun konsep perancangan dan perencanaan digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: - Studi literature, pengumpulan data–data dari beberapa buku

atau melalui informasi lainnya yang berhubungan dengan proyek yang direncanakan sehingga dapat menunjang proses perencanaan dan perancangan.

- Studi komperatif, studi perbandingan dengan melakukan pengamatan dan survey lapangan terhadap proyek serupa

sebagai pedoman dalam perencanaan dan perancangan. - Studi lapangan, yang bertujuan untuk mengetahui secara langsung keadaan lahan yang sebenarnya dan juga mengenali potensi yang bisa dimanfaatkan dan permasalahan yang harus dipecahkan dalam proses desain.

H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN · BAB I : PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang masalah, merumuskan masalah, menerapkan tujuan dan sasaran, menetapkan ruang lingkup dan batasan pembahasan, metode pembahasan dan sistematika pembahasan.

· BAB II : TINJAUAN PUSTAKA LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR,

LOKALITAS SURAKARTA DAN SENI BUDAYA TRADISIONAL Mengemukakan tinjauan mengenai lokalitas dalam arsitektur, mulai dari pemahaman lokalitas itu sendiri, nilai-nilai lokalitas dan penjelasan lokalitas Surakarta, serta mengemukakan tinjauan mengenai seni budaya tradisional yang berkembang di Surakarta sebagai kota seni dan budaya.

· BAB III : PRESEDEN PUSAT SENI DAN PUSAT SENI DI SURAKARTA YANG

DI RENCANAKAN Mengemukakan beberapa preseden tentang Pusat Seni (Art Center) yang sudah ada dan dianggap berhasil, serta menguraikan tentang Pusat Seni di Surakarta yang di rencanakan.

· BAB IV : ANALISA PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI

SURAKARTA Melakukan analisa perencanaan dan perancangan Pusat Seni di Surakarta sebagai kawasan wisata seni dengan pendekatan lokalitas dalam arsitektur yang meliputi analisa lokasi, analisa site, analisa peruangan, dan analisa penampilan bangunan dan analisa tata ruang dalam dan luar bangunan, analisa struktur serta analisa sistem utilitas bangunannya.

· BAB V : KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI

SURAKARTA Membuat desain perancangan dan perencanaan Pusat Seni di

Surakarta dari analisa pada pembahasan sebelumnya.

TINJAUAN PUSTAKA LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR, LOKALITAS SURAKARTA, DAN SENI BUDAYA TRADISIONAL

A. LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR

A.1. Pemahaman Lokalitas Lokalitas bukanlah sebuah “gerakan” baru dalam dunia arsitektur,

kemunculannya menjadi terasa seiring gencarnya gerakan modernitas dalam dunia ini. Lokalitas telah dianggap sebagai “senjata” yang tepat untuk menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang telah menyusup dalam kehidupan manusia di dunia modern ini. Alexanander Tzonis mengungkapkan bahwa seharusnya lokalitas bukanlah sebuah tema gerakan tetapi lebih kepada “conceptual device” yang kita pilih sebagai alat untuk melakukan analisis dan sintesis. Lokalitas membantu kita untuk menempatkan identitas sebagai prioritas ketimbang intervensi internasional ataupun dogma yang bersifat universal.

Beberapa gambaran tentang “apa itu lokalitas” yang diungkapkan oleh beberapa tokoh di bawah ini, dari berbagai sumber:

“Arsitek jangan sekali-kali mendewakan bentuk, melainkan harus mati-matian menerjemahkan jiwa dari suatu tempat (“genius loci”) dan perasaan dari manusianya” (Boardbent, dalam Susanto,2009).

Toraja, Minangkabau, Bali, Batak dan sebagainya untuk mengusahakan terciptanya arsitektur Indonesia. Kita jangan ambil bentuknya, tetapi jiwanya yang banyak menunjukkan ciri-ciri ketropisan. Hal-hal yang memperhitungkan lebatnya hujan tropis, panasnya matahari dan tentunya memperhitungkan

hakikatnya tidaklah berupa sesuatu yang statis, melainkan berkembang dari periode ke periode”… (Silaban, dalam Budihardjo,1988,p:84).

…“bahwa bangunan, biarpun memang merupakan benda mati, tidak berarti tak ‘berjiwa’. Karya arsitektur merupakan sesuatu yang sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan- kecenderungan, oleh nafsu dan cita-cita” (Mangunwijaya, dalam Budihardjo,1988,p:68).

“arsitektur kita tidak boleh terlepas dari akar budayanya. Tapi juga bukan berarti hanya sekedar memoles dan mengambil dari masa lalu. Harus ada kompromi, menjadi modern, tapi masih tertancap pada akarnya. Metodenya adalah nilai – nilai lokal yang masih bisa diambil” (Prawoto, dalam Susanto,2009).

seragam dengan ciri-ciri yang cukup jelas mewakili citra ke-indonesiaan” (Sastrowardojo,dalam Budiharjo,1978,p:40).

"Manusia tinggal ketika ia dapat mengorientasikan diri di dalam dan mengidentifikasi dirinya dengan lingkungan, atau singkatnya, ketika ia mengalami lingkungan sebagai “ruang” yang memiliki makna. Sebuah tempat adalah ruang yang memiliki karakter. Genius loci atau disebut juga “spirit of place” memiliki pengertian bahwa: ruang bukan hanya

terlihat dari bentuk fisik berupa barisan beton belaka, namun yang harus lebih terlihat adalah bagaimana kehidupan sehari-hari manusia di dalamnya (Schulz,dalam Lefaivre,2003,p:4 ).

Local Genius merupakan ekspresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat yang menjadi ciri dan inti kehidupan budaya masyarakat. Local Genius bersifat sentral karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang.

Local Genius juga dapat diartikan sebagai ciri-ciri kebudayaan masyarakat setempat untuk dijadikan perangkat dasar dalam proses modernisasi. (Ayatrohaedi,1986,p:60)

…“dalam arsitektur, kita mengenal tradisi sebagai bentuk (form) sekaligus jiwa (spirit). Yang perlu dilestarikan dan dikembangkan sebetulnya

justru bukan bentuk itu semata, tetapi terlebih-lebih adalah jiwa atau semangat suatu tempat yang lazim disebut “genius loci”… (Budihardjo,1988,p:115).

dibawah ini (Mundardjito,dalam Ayatohaedi,1986,p:65), yaitu:

- Mampu bertahan terhadap budaya luar - Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya

luar - Mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya

luar kedalam kebudayaan asli - Memiliki kemampuan mengendalikan, dan - Mampu memberikan arah pada perkembangan budaya.

A.2. Nilai-nilai Ke-Lokalitas-an Meminjam perkataan dari Lewis Mumford, 1895 ( dalam Susanto,

2009) seorang perencana kelahiran New York, maka ada lima poin dalam kita memandang nilai ke-lokalitas-an, yaitu:

1. Lokalitas bukan hanya terpaku dari kebesaran sejarah, seperti misalnya banyak bangunan bersejarah yang diidentifikasikan sebagai “vernacular brick tradition”. Bagi Mumford bahwa bentuk- bentuk yang digunakan masyarakat sepanjang peradabannya telah membentuk struktur koheren yang melekat dalam kehidupannya. Sebuah kekeliruan ketika mencoba meminjam sejarah dari sebuah tradisi yang langsung ditransfer dalam sebuah ruang yang kosong – ruang yang dihasilkan adalah ruang yang tidak memiliki jiwa. Mumford menekannkan bahwa tugas kita tidak hanya membuat imitasi sebuah masa lampau tetapi mencoba mengerti dan memahaminya, lalu mungkin suatu saat kita berhadapan dan menyetujuinya dalam kesamaaan semangat kekreatifan.

contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi harus mulai mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.

2. Lokalitas adalah tentang bagaimana melihat bahwa seharusnya sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak terduga. Yang terpenting dari semua yang kita lakukan adalah membuat orang-orang merasa seperti di rumah dalam lingkungannya. Lokalitas harus dimunculkan karena memang dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan manusia. Ada kebutuhan sosial – ekonomi bahkan politik serta lingkungan dalam jiwa lokalitas itu sendiri.

3. Lokalitas dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun sebuah tradisi baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini, sebuah tradisi harus selalu ditempatkan dalam konteks tentang hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal kenangan apabila tradisi itu tidak dapat bernegosiasi dengan mesin-mesin teknologi yang memang menebarkan candu. Membuat lokalitas menjadi pintar adalah membuat lokalitas yang dapat berkelanjutan dalam teknologi yang tepat guna.

4. Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap penggunanya, modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji dalam

kekuatannya, kesensifitasannya, juga terhadap karakter dari komunitas di mana lokalitas ingin ditempatkan.

tetapi mereka saling melengkapi, Mumford menekankan perlu ada keseimbangan di antara mereka. Keseimbangan di mana global menge-print mesin-mesin kapitalis sedang lokal menge- print komunitas. Lokalitas perlu menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang utama dalam nilai keuniversalan.

Memaknai lokalitas artinya memaknai tentang bagaimana kita melakukan pembelajaran tentang sejarah bangunan, material, latar belakang sosial, isu-isu konservasi, konstruksi bangunan, yang pada akhirnya keunikan sebuah lokalitas dalam arsitektur adalah tentang bagaimana material lokal–teknologi dan formasi sosial dapat ditransfer dalam bahasa arsitektur yang segar.

A.3. Lokalitas dalam Arsitektur

Dalam merancang sebuah bangunan dengan pendekatan lokalitas dalam arsitektur perlu memperhatikan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Dengan menggali dan mengungkap esensi yang menjiwainya, agar tidak terperangkap sekedar pada bentuk fisik dan kulit luarnya saja. Arsitektur merupakan “buah budaya” dan sekaligus bagian dari kebudayaan masyarakat tradisional kita. Arsitektur dalam tautan budaya adalah arsitektur yang merupakan “buah” dari suatu kebudayaan lokal, bukan merupakan upaya manusia untuk mengungkapkan kebudayaan lewat bangunan yang diciptakannya (Prijotomo,1978,p:33).

pernyataan hidup yang bertolak dari tatakrama meletakkan diri, berlandaskan norma dan tata nilai manusia Jawa dengan segala kondisi alam lingkungannya. Kehadirannya tidak pernah sebagai unsur lepas yang berdiri sendiri, melainkan selalu bersatu dengan seluruh kegiatan hidup, berbulat diri dengan alam lingkungan dalam arti yang sangat luas”.

Arsitektur lokal pada dasarnya menampilkan karya “swadaya dalam kebersamaan”, yang secara arif memanfaatkan setiap potensi dan sumber daya setempat, serta menciptakan keselarasan harmonis antara jagad-cilik (mikrokosmos) dan jagad-gede (makrokosmos). Nilai-nilai tradisional yang melambari arsitektur tradisional Jawa, pada hakekatnya bersifat langgeng, biarpun terdapat pergeseran dan perubahan sejalan dengan perkembangan waktu serta kehidupan masyarakatnya. Arsitektur tradisional Jawa yang masih dapat dinikmati kebeadaanya dewasa ini merupakan hasil perjalanan yang panjang dari sejarah perkembangan arsitektur di Jawa (Budihardjo,1987,p:13).

Kearifan nenek moyang merumuskan konsep dan kaidah perancangan dalam penciptaan karya arsitektur perlu ditimba untuk disintesakan dengan inovasi dan teknologi baru yang serba canggih. Dengan demikian setiap karya arsitektur yang baru akan mampu menampilkan guna dan citra kekinian, biarpun nafas dan jiwanya tetap tradisional.

B. LOKALITAS SURAKARTA

B.1. Pemahaman Lokalitas Surakarta Lokalitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus serta keunikan -

keunikan dan karakteristik suatu tempat yang akan memperkuat suatu keunikan dan karakteristik suatu tempat yang akan memperkuat suatu

Surakarta merupakan kota yang kaya akan kekhasan potensi seni dan budaya yang kental, sehingga Surakarta menjadi salah satu kota budaya tujuan wisata di Indonesia. Sebagai kota budaya yang mengusung slogan “Solo the Spirit of Java”, Surakarta memunculkan spirit-nya lewat berbagai macam potensi budaya yang dimilikinya, baik berupa sejarah, arsitektur bangunannya, bermacam jenis kesenian serta karakter sosial masyarakatnya. Dalam tinjauan lokalitas Surakarta beberapa aspek yang diangkat sebagai pedoman perencaan pada desain adalah potensi setempat yang memiliki karakter dan ciri yang khas yang dapat memperkuat identitas dan jati diri.

B.2. Aspek Perancangan Lokalitas Surakarta Dari tinjauan nilai-nilai lokalitas yang diungkapkan Mumford,1985. Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan acuan dalam perancangan berbasis lokalitas antara lain adalah:

· Bentuk fisik bangunan

- Karakteristik bentuk bangunan Mac Laine Pont dalam bukunya “Javaansche Architectuur” (1924),

mencoba mengupas arsiektur Jawa melalui pengamatannya terhadap anatomi candi yang melambangkan Arupadhatu / alam atas (tuhan, dewa, leluhur, perlambang masa depan), Rupadhatu / alam tengah (manusia, flora, fauna, perlambang masa kini) dan Kamadathu / alam bawah (lelembut, arwah jahat, perlambang masa lampau).

arsitektur tradisional Jawa, yang diatur sesuai susunan analogi tubuh manusia. Tubuh manusia terbagi dalam tiga bagian yaitu kepala (atap), badan (tiang atau dinding), dan kaki (umpak atau batur) (Budihardjo,1987,p:14).

Dari ketiga bagian diatas, bagian yang memiliki ke-khasan bentuk fisik dan karakter yang dominan adalah bentuk atap sebagai kepala bangunan. Atap digunakan sebagai salah satu simbolisasi makna filosofi yang tercemin pada pencitraan sebuah bentuk, yang merupakan bagian dari sebuah bangunan tradisional.

Bentuk atap bangunan tradisional di Jawa khususnya Jawa Tengah tercipta dari penyesuaian terhadap kondisi iklim lingkunganya. Pulau Jawa yang terletak di sekitar garis khatulistiwa menyebabkan iklim tropis

dan lembab, jatuhnya sinar matahari secara tegak lurus, dan curah hujan yang cenderung tinggi. Bentuk atap yang paling sesuai dengan iklim lingkungan seperti ini adalah bentuk atap yang memiliki sudut dan kemiringan yang tidak landai, dan mempunyai teritisan sebagai pelindung dari panasnya sinar matahari. Maka terciptalah berbagai bentuk atap bangunan tradisional di Jawa pada umumnya dan khususnya di Surakarta dengan bentuk seperti panggang pe, Joglo, Limasan, Tajuk / masjid, dan bentuk kampung yang kini telah berkembang dengan berbagai variasinya. (Budihardjo,1991,p:117).

Atap tipe kampung adalah bentuk atap tradisional Jawa yang paling sederhana. Bagian utama atap ini seperti atap pelana sekarang, miring ke dua arah, dan bertumpu pada empat tiang utama yang masing-

masing diikat dengan dua balok. Atap utama ini dapat dikembangkan untuk ruang tambahan dengan melanjutkannya ke bawah dengan kemiringan yang lebih landai. Pengembangan selanjutnya biasanya dilakukan dengan membangun tambahan atap utama lagi di belakangnya.

Atap tipe limasan merupakan pengembangan dari atap kampung. denahnya dikembangkan ke samping dengan tiang-tiang tambahan, sehingga membentuk atap utama yang mempunyai kemiringan ke empat arah membentuk apa yang kini disebut atap perisai. Biasanya atap ini dilanjutkan pula ke arah depan atau belakang, bahkan juga ke samping, dengan kemiringan yang lebih landai, Sedangkan atap tipe joglo merupakan atap yang bagian utamanya menjadi atap bagian tengah

Gambar II.1: Ragam bentuk variasi atap pada bangunan

tradisional di Jawa Sumber: www.kabaresolo.com

secara khusus dan unik, terdiri atas balok berlapis-lapis, yang disebut tumpang sari. Rumah tipe joglo dapat diperluas dengan menambah tiang- tiang dan meneruskan atap ke arah luar, sehingga membentuk atap bertingkat-tingkat (Budihardjo,1991,p:19).

Di Surakarta hampir seluruh massa bangunan menggunakan atap dengan kemiringan sebagai penutup bangunannya. Selain sebagai upaya respon terhadap lingkungan setempat, atap tradisional di Surakarta juga memiliki fungsi sebagai pencerminan bentuk arsitektur bangunan lokal yang dapat memperlihatkan jatidiri dan karakter lokal Surakarta. Beberapa bangunan di Surakarta mulai dari bangunan tradisional yang bernilai bersejarah seperti Istana Mangkunegaran, Pasar Gede, Museum Radya Pustaka, dan Loji Gandrung hingga bangunan modern seperti Hotel, Bank, Pusat perbelanjaan, Kantor dan bangunan lain sebagainya menggunakan atap yang memiliki kemiringan dengan berbagai variasinya.

Gambar II.2: Berbagai jenis bentuk variasi atap pada

bangunan bersejarah di Surakarta

Sumber: www.kabaresolo.com

Pasar Gede

Loji Gandrung

Istana Mangkunegaran Radya Pustaka

- Material bahan bangunan Pada zaman dahulu masyarakat tradisional di indonesia hanya

mengandalakan bahan-bahan mentah dari alam tanpa melalui proses, sebagai material pembuatan bangunan untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal. Bahan bangunan yang banyak terdapat di Indonesia

adalah kayu. Kayu banyak digunakan sebagai bahan bangunan mentah pada hampir seluruh bangunan tradisional di indonesia. Masyarakat tradisional menggunakan kayu sebagai bahan utama untuk mendirikan bangunan. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang kian pesat, saat ini banyak dipakai material-material bahan bangunan baru yang tercipta dari penerapan teknologi, sebagai contoh beton dan baja ringan (Sutedjo,1982,p:15).

Masyarakat Jawa khususnya di Surakarta menggunakan material bahan bangunan yang ada di sekitaranya sebagai upaya pemanfaatan potensi lokal. Material lokal yang biasa digunakan sebagai bahan

Gambar II.3: Skyline pada salah satu kawasan bisnis dan

perkantoran Jl. Jendral Sudirman di Surakarta Sumber: www.skyscrapercity.com

Dalam memandang sebuah nilai lokalias seharusnya tidak terlepas dari perkembangan teknologi yang ada. Memaknai lokalitas yang sebenarnya bukan hanya terbatas pada penggunaan nilai-nilai lokal saja,

tetapi juga terlihat penggabungan dari unsur kekinian, salah satunya adalah teknologi (Mumford, dalam Susanto,2009) . Penerapan penggunaan teknologi salah satunya adalah pada aplikasi meterial bahan bangunan yang sanggup menggabungkan antara material lokal dari alam dengan material hasil dari perkembangan teknologi pada sebuah bangunan.

Lokalitas haruslah memiliki sifat terus berkembang demi kesianambungannya, bukan sesuatu yang menolak unsur kekinian. Dengan demikian setiap karya arsitektur yang baru yaitu karya arsitektur yang menggunakan inovasi dan teknologi bahan bangunan baru akan mampu menampilkan guna dan citra kekinian, walaupun nafas dan jiwanya tetap tradisional.

Gambar II.4: Ragam variasi material lokal di Surakarta

Sumber: http://astudioarchitect.com/2011/02/

Gambar II.5: Ragam variasi material yang tercipta dari perkembangan teknologi

Sumber: http://astudioarchitect.com/2011/02/

Batu alam olahan Kayu Batu kali Kayu

Baja ringan Fiber Glass Baja ringan

Beton

Bangunan tradisional di indonesia memiliki berbagai ragam bentuk ornamen yang dapat terlihat pada bentuk fisik bangunannya, ornamen pada bangunan tradisional di Indonesia syarat akan makna filosofis yang terkandung didalamnya.

Di indonesia banyak ornamen diletakkan pada luar bangunan karena ornamen berfungsi sebagai penunjuk jatidiri suatu daerah, ornamen juga banyak diletakkan di luar bangunan untuk dinikmati pada kegiatan dengan konsentrasi teringgi yang biasanya berada di luar bangunan (Prijotomo,1978,p:7).

Ragam hias pada bangunan tradisional Jawa merupakan bagian utuh dari bangunan. Beberapa motif ornamen yang umum diterapkan pada bangunan diambil dari bentuk-bentuk flora, fauna, stiliran, dan campuran. Motif yang paling banyak digunakan dalam pengolahan ragam hias adalah motif flora, seperti: lunglungan (melengkung), saton (bujur sangkar), nanasan (seperti buah nanas), dan fauna seperti omah tawon (rumah lebah) dan kemamang (sejenis burung). Ada juga motif-motif fauna lain, misalnya burung garuda, kala, makara, ular, dan gajah, tetapi tidak terlalu banyak digunakan.

Motif-motif tersebut digunakan untuk ornamen yang dibuat dari beberapa jenis material dan mempunyai warna dan tekstur yang lebih

alami. Material seperti kayu, bambu, tembikar, batu alam, dan logam paling sering digunakan dalam mengolah ragam hias. Ragam hias yang menonjol pada bangunan banyak menggunakan material kayu dan bambu seperti kayu jati dan nangka, bambu petung, wulung, dan apus, disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan pemiliknya. Penerapan hiasan yang paling menonjol biasanya terletak di atap, plafon, lantai, dan alami. Material seperti kayu, bambu, tembikar, batu alam, dan logam paling sering digunakan dalam mengolah ragam hias. Ragam hias yang menonjol pada bangunan banyak menggunakan material kayu dan bambu seperti kayu jati dan nangka, bambu petung, wulung, dan apus, disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan pemiliknya. Penerapan hiasan yang paling menonjol biasanya terletak di atap, plafon, lantai, dan

· Pola tata masa

- Pola tata massa lingkup mikro dan makro Bagi masyarakat Jawa, tatakrama menempatkan diri dari setiap

bangunan terhadap alam sekitar yang kasat mata maupun alam maya yang lebih tinggi tingkatannya, merupakan dasar pertimbangan yang utama. Arsitektur tradisional Jawa lantas menafsirkannya dalam bentuk persenyawaan yang tuntas antara arsitektur, alam, manusia dan tuhannya (Budihardjo,1987,p:66).

Berawal dari periode prasejarah dapat dilihat bahwa pada lingkup makro (lingkungan desa) memiliki suatu pola tertentu yaitu menhir, altar pemujaan, ataupun pohon suci sebagai titik pusat atau keblat dari lingkungan tersebut. Konsep penataan yang berpusat pada suatu titik di tengah ini dikenal dengan nama mandala (manda= inti, core. la= wadah, container), yang sudah ada sebelum Hindu-Bhudda datang ke Indonesia. Pada lingkungan prasejarah, pusat lingkungan ditandai dengan adanya

Gambar II.6: Ragam variasi ornamen pada bangunan tradisional di Jawa Sumber: http://kibagus-homedesign.blogspot.com/2011/01/simbol-ornamen-

tradisional-rumah-adat.html

badaniah bukan bersifat ragawi maupun material. Pola tata massa tradisional ini juga mempunyai sifat keterbukaan bagi seluruh masyarakatnya dan memperlihatkan kebersatuan dengan alam lingkungan disekitarnya

Lynch dalam bukunya Theory of Good City Form, 1978. mengungkapkan bahwa pola pola tata massa lingkungan tradisional seperti diatas disebut sebagai pola yang bertumpu dan berkeblat pada keseimbangan kosmis. Pola ini merupakan pola penataan massa asli indonesia, yang mempunyai ciri khas tersendiri dan hanya dapat di temukan pada kota-kota tradisional di indonesia khusunya di pulau Jawa (Prijotomo,1978,p:17).

Pola penataan prasejarah ini terus berkembang menjadi pola tata masa lingkungan kraton pada jaman sejarah sebagai pusat pemerintahan, termasuk di dalamnya alun-alun kota Surakarta. Pada pola tata massa

lingkungan tradisional ini dapat dilihat bahwa alun-alun yang merupakan lapangan luas yang terbuka menjadi pusat suatu lingkungan tradisional dikelilingi beberapa bangunan penting di sekitarnya seperti kraton/kabupaten, masjid, pasar, dan penjara. hingga saat ini pola penataan massa tradisional tersebut tentunya masih terus dipertahankan, itu menunjukkan bahwa modernisme tidak seluruhnya mendapat tempat dalam pola keaslian tersebut karena masyarakat tradisional kita yang sejak jaman dahulu bersikap kosmis, spiritual, adiragawi dan simbolis.

Dari pola tata massa ini dapat ditemukan suatu komposisi yaitu pada pola penataannya memiliki pusat dan berorientasi ke tengah (pola komposisi terpusat), pada pola komposisi ini dapat terlihat penataan sebuah pola massa yang dikelilingi oleh massa lainnya dengan orientasi ke pusat.

Arsitektur klasik di indonesia tampil dalam setangkup, masyarakat Jawa di indonesia mempercayai adanya suatu sumbu imajiner atau garis kesetangkupan yang membagi dua sisi sama berat antara bagian kiri dan bagian kanan, yang memotong kedua bagian dibagian tengahnya. Pada kesetangkupan ruang yang dipotong oleh garis kesetangkupan merupakan ruang yang ditonjolkan, sebab pada bagian itulah merupakan baigan yang disucikan, diagungkan dan dihormati (Prijotomo,1978,p:17).

Dalam lingkup pola tata massa kawasan tradisional (makro), yaitu lingkup kraton sumbu atau garis tersebut terletak di tengah kawasan membagi dua sama rata atau seimbang antara bagian sisi kiri dan kanan kawasan, yang melambangkan bahwa, Raja dalam pemerintahannya menjunjung tinggi asas adil dan merata. Sumbu imajiner dalam kawasan tradisional (kraton) sebagai lambang keadilan diperkuat dengan adanya pohon beringin kembar pada alun-alun yang dianggap sebagai simbol keadilan.

Sumbu imajiner juga terlihat pada lingkup kecil (mikro), yaitu pada pola tata massa peruangan rumah tradisional di Jawa, sama dengan sumbu yang berada dalam lingkup kraton sumbu dalam lingkup rumah tradisional di Jawa ini juga berada di tengah membagi dua sama rata atau seimbang bagian sisi kiri dan kanan bangunannya, yang melambangkan bahwa kita sebagai masing-masung individu harus selalu bersikap adil dalam lingkup rumah tangga, sebagai contoh setiap orang tua harus selalu berlaku adil pada anak dan keluarganya.

· Pola sosial masyarakat

Kehidupan masyarakat lokal di Jawa (handout,2009), yaitu:

- hidup dengan penuh kehati-hatian, pantang melanggar adat - selalu ingin menyatu dengan alam ( hukum keseimbangan

alam, dihormati dan dilaksanaan) - manusia religious ( percaya zat yang lebih maha kuasa) - penyatuan dengan alam ( kehidupan agraris) - sistem hidup kekeluargaan , saling menghormati - hidup secara kebersamaan, berjiwa sosial - tata cara hidup simbolistis / simbolik ( lambang)

Dari beberapa sikap hidup masyarakat Jawa termasuk juga masyarakat Jawa di Surakarta salah satunya memperlihatkan karakter yang menonjol bahwa masyarakat Jawa, merupakan masyarakat yang memiliki rasa dan jiwa sosial tinggi. Sehingga interaksi antar sesama dijunjung tinggi antara tiap individu.

Interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial mencakup hubungan:

- Antara orang perorangan - Antara orang perorangan dengan kelompok manusia - Antara kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya (Sutedjo,1982,p:31)

“kehidupan sosial merupakan aspek tertentu dari kebudayaan. Ia adalah bagian dari kebudayaan, bukan akibat dari kebudayaan” (Bouman, dalam Sutedjo,1982,p:32).