Bentuk pengawasan hakim oleh komisi yudisial dan implikasinya terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka

BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

AFIF DARMAWAN NIM E0007004 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi) BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA

Oleh AFIF DARMAWAN E0007004

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 19 Januari 2012 Dosen Pembimbing Skripsi

Pembimbing I Pembimbing II

M. Madalina, SH.,M.Hum Isharyanto, SH.,M.Hum NIP. 19601024 1986602 2 001

NIP. 19780501 200312 1 002

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi) BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA

Oleh Afif Darmawan E0007004 Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari

: Senin Tanggal : 30 Januari 2012

DEWAN PENGUJI

(1) Djatmiko Anom Husodo S.H.,M.H.

NIP. 19700621 200604 2 001__________________:.................................... Ketua

(2) Isharyanto, SH.,M.Hum

NIP. 19780501 200312 1 002__________________:...................................

Sekretaris

(3) M. Madalina, SH.,M.Hum

NIP. 19601024 1986602 2 001_________________:................................... Anggota

Mengetahui : Dekan

Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H.,M.Hum NIP. 19570203 198503 001

BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG

MERDEKA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skipsi) ini.

Surakarta, 11 Januari 2012 Yang membuat pernyataan

Afif Darmawan NIM.E0007004

MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO

"Rome Isn't Built In One Night " "Going an Extra Mille" "No Pain No Gain" "1% talent, 99% hardwork" "If you think you Can, It Can!" "Lets Do The Best and Let God Do The Rest" "Jangan banyak bicara sebelum mempunyai Karya"

PERSEMBAHAN

Persembahan seutuhnya hanya untuk ALLAH SWT Dan Baginda Rasullulah SAW yang Telah Menunjukan Jalan Terang akan Kehidupan

dan :

Fafa

ABSTRAKSI

AFIF DARMAWAN, E0007004, BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim ketika menjalankan tugasnya. Selain itu untuk mengetahui bagaimana implikasi dari pengawasan tersebut ditinjau dari prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: jenis penelitian normatif, sifat penelitian preskriptif, pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, teknik analisis bahan hukum dengan metode interpretasi, pengumpulan bahan hukum dengan mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Sumber penelitian hukum dari bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, cetakan-cetakan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim serta bahan hukum sekunder yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan memiliki dua instrumen yaitu membuat kode etik dan mengawasi hakim. Pengawasan terhadap hakim dengan cara pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dibagi menjadi dua yaitu yang bersifat positif dan negatif. Sedangkan pengawasan represif juga dibagi menjadi dua yaitu positif dan negatif. Setiap laporan atau informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang adanya pelanggaran hakim dapat disampaikan ke Komisi Yudisial melalui surat tertulis yang bisa langsung dikirim ke alamat kantor dan sistem pengaduan online. Terdapat 97 hakim yang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi kepada Mahkamah Agung. Kebebasan meliputi hakim secara individu dan kelembagaan dan ditopang prinsip impartiality ketika memutus sebuah perkara dan political insularity serta pengawasan justru akan mendorong hakim untuk bersikap lebih imparsial dan independen.

Kata Kunci: Komisi Yudisial, Pengawasan Hakim, Kekuasaan Kehakiman.

ABSTRACT

AFIF DARMAWAN, E0007004, THE FORM OF JUDGE SUPERVISION BY JUDICIAL COMMISSION AND ITS IMPLICATION TO THE PRINCIPLE OF INDEPENDENT JUSTICE POWER, Faculty Of Law Of Sebelas Maret University Surakarta.

This research aims to find out what the supervision form the Judicial Commission has in supervising the judge in its task performance. In addition, it also aims to find out what the implication of such the supervision viewed from the principles of independent justice power.

The research method used in this legal writing included: normative type of research, prescriptive nature of research, statute and conceptual approaches, technique of analyzing law materials used was interpretation method, the law material was collected by looking for legislation about or relating to the issue and primary, secondary and tertiary law materials. The legal study source from primary law material consisted of legislation, official publication or treatise in legislation and judge’s verdicts as well as secondary law material constituting all publications about the law not belonging to official document.

Based on the result of research and discussion, the following conclusions can be drawn. Judicial commission in implementing the supervision function has two instruments: developing ethical code and supervising the judge. The supervision against the judge was done preventively and repressively. Preventive supervision was divided into two: positive and negative. The repressive supervision was also divided into two: positive and negative. Every report or information given by the society about the judge violation can be conveyed to the Judicial Commission in written document that could be sent to the office address and online grievance system. There were 97 judges recommended to be imposed with penalty by the Supreme Court. Independence including the judge individually and institutionally and supported by impartiality principles when adjudicating a case and political insularity as well as supervision even encouraged the judge to have more impartial and independent attitude.

Keywords: Judicial commission, Judge Supervision, Judicial Power

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul :

BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG

MERDEKA. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan, bimbingan, dorongan, saran dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Allah SWT dengan segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Ibu Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Madalina, S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara sekaligus Pembimbing I dan Bapak Isharyanto S.H,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II serta Tim penguji yang telah menguji untuk menyempurnakan penulisan hukum ini.

4. Ibu Djuwityastuti, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik.

5. Keluarga yang selalu memberi dorongan dan harapan.

6. Semua anggota Kontrakan La Roiba Wahyu, Pery, Budi, dan Bang Rohmadi yang selalu memberi inspirasi dan dukungan.

7. Teman-teman satu perjuangan Angkatan 07 Mbah Muhson, Gatot, dan Bung Rian yang selalu heppy di penghujung masa kuliah.

8. Adik-adiku seperjuangan Mustain, Ismail, Rintis, Deddy, dll yang selalu bersemangat dalam setiap langkahnya.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya bagi penulis dalam penyelesaian penulisan hukum ini.

Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memmberikan manfaat bagi kita sebagai kalangan akademisi, terutama untuk penulisan, praktisi, maupun masyarakat umum.

Surakarta, 11 Januari 2012

penulis

2. Metode Pengawasan.......................................................................

3. Mekanisme Pengajuan Laporan......................................................

4. Hasil dari Pengawasan....................................................................

B. Implikasi Pengawasan Terhadap Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka.................................................................................................

1. Implikasi secara Yuridis.................................................................

2. Implikasi secara Kultural................................................................

64 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………….........

70

B. Saran……………………………………..…………………………….

72 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

2. Tabel Sanksi Untuk Hakim................................................................................48

DAFTAR BAGAN

1. Bagan Proses Pengawasan Hakim.......................................................................46

3. Proses Penjatuhan Sanksi Bagi Hakim................................................................50

4. Bagan Alur Pengaduan Online............................................................................55

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini masalah lembaga peradilan di Indonesia sangat marak dibicarakan. Peradilan sebagai lembaga yang banyak dijadikan tumpuan harapan masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dihadapkan dengan permasalahan rumit. Intervensi dari pihak luar peradilan seperti kekuatan legislatif, eksekutif, maupun kekuatan lain seperti media massa turut andil dalam memperkeruh jati diri peradilan dalam melaksanakan tugasnya dengan baik. Nilai independensi atau kemerdekaan seorang hakim dalam sebuah institusi peradilan merupakan harga mutlak untuk tercapainya keadilan hukum yang mampu memberikan rasa puas ke semua pihak. Tapi tampaknya hal ini kian sulit terwujud melihat banyak sekali tantangan yang dihadapi baik dari lingkungan internal maupun eksternal dari sebuah institusi peradilan.

Banyak bermunculanya kasus-kasus seputar mafia hukum dan mafia kasus semakin menjadikan masyarakat kian tidak percaya kepada keadilan. Terlebih kepada hakim, jaksa, maupun pihak kepolisian. Permasalahan ini sebenarnya sudah ada sejak institusi peradilan mulai terbentuk di Republik Indonesia. Pada era pra kemerdekaan yaitu masa penjajahan Belanda, pengadilan diberlakukan secara berbeda antara golongan Eropa dengan golongan diluar Eropa. Pengadilan untuk orang Eropa dikelola oleh hakim-hakim yang berkeahlian hukum profesional bahkan hingga mendatangkan ahli-ahli hukum dari Belanda. Tetapi di sisi lain pengadilan untuk orang-orang pribumi justru dikelola dibawah yuridiksi pejabat-pejabat eksekutif. (Adi Sulistiyono, 2011: 3) Akibatnya tentu pengadilan menjadi tidak memihak. Apalagi sarat dengan nuansa kepentingan politis kolonial. Pihak pribumi tidak bisa menikmati keadilan karena disamping tidak tersedianya fasilitas dan sarana pengadilan yang baik juga dihadapkan dengan intervensi eksekutif Belanda yang sangat ketat.

Pada era penjajahan Jepang. Pemerintahan berkuasa saat menerapkan kebijakan untuk menghapuskan dualisme dalam tata peradilan di Indonesia dengan Pada era penjajahan Jepang. Pemerintahan berkuasa saat menerapkan kebijakan untuk menghapuskan dualisme dalam tata peradilan di Indonesia dengan

Tiba pada masa pasca kemerdekaan era orde lama pimpinan presiden Soekarno. Pembagian kekuasaan seperti halnya dalam konsep Trias Politica dihilangkan, karena Presiden Soekarno mempunyai anggapan bahwa doktrin tersebut adalah barang usang. (Adnan Buyung Nasution, 2007: 53) Pada saat itu tercatat sebagai masa kelam bagi sistem peradilan di Indonesia karena Presiden diperbolehkan untuk melakukan intervensi terhadap jalanya persidangan dan presiden diperkenankan menghentikan perkara yang sedang diperiksa atau mempengaruhi jalanya persidangan. Disamping itu muncul Per.Pres.4/1962,Ln.38 dimana Ketua Mahkamah Agung Wirjono Projodikoro ditetapkan menjadi penasehat hukum dari presiden dengan pangkat menteri. Sehingga kedudukan Ketua Mahkamah Agung yang harusnya sejajar dengan Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 menjadi dibawah Presiden. Sehingga pada saat itu kebanyakan hakim pada semua tingkatan termasuk Mahkamah Agung merasa terpukul dengan kebijaksanaan Presiden yang menempatkan insitutsi peradilan dibawah bayang-bayang kekuasaan terpimpin atau otoriter. (Adi Sulistiyono, 2011: 8)

Di sisi yang lain menurut Andy Hamzah bahwa pada zaman orde lama Kejaksaan dan Pengadilan tidak mandiri karena berada dibawah atap kementerian (departemen) kehakiman, namun independen karena Jaksa Agung pada Mahkamah Agung bukan anggota kabinet, dapat menangkap menteri kehakiman yang secara administratif adalah atasannya. Sehingga jika kejaksaan independen akan menunjang putusan hakim yang independen pula. (Andy Hamzah, 2003: 3)

Pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto hukum ditempatkan dalam posisi strategis dalam proses kenegaraan di Indonesia. Pada saat

itu pembangunan telah menjadi suatu ideologi yang tidak hanya ditaati tetapi juga ditakuti. Pengadilan dalam memutus perkara tidak boleh menyimpang dari konsep pembangunan menurut penafsiran pemerintah. Hakim disisi yang lain juga menjadi pribadi yang mudah diintervensi penguasa, mudah disuap, bahkan seringkali putusanya banyak mencederai rasa keadilan. (Adi Sulistiyono, 2011: 10) Hal ini dibuktikan dengan banyak sekali putusan hakim yang sarat dengan kepentingan penguasa dengan dalih pembangunan. Salah satu contohnya adalah putusan dalam perkara Palang Merah Indonesia pada tanggal 8 Juni 1992 yang menyatakan putusan Mahkamah Agung tidak dapat dijalankan karena pada saat itu ketua Mahkamah Agung yaitu Purowoto Ganasubrata mengeluarkan sebuah surat sakti. (Adi Sulistiyono, 2011: 11)

Hingga sampai pada era reformasi dan sampai saat ini, tak henti-hentinya permasalahan seputar lembaga peradilan menjadi momok dalam perkembangan ketatangaraan di Indonesia. Namun Perkembangan lebih baik dan cukup melegakan muncul ketika era reformasi. Hal ini dapat dilihat dengan muncul pembaharuan terus menerus terhadap hukum positif yang mengatur tentang fungsi kekuasaan kehakiman. Munculnya TAP MPR NomorX/MPR/1998 menjadi awalan dibentuknya sistem peradilan yang lebih independen. Dalam TAP MPR tersebut diatur tentang :

a. Pemisahan fungsi yudikatif dan eksekutif.

b. Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional terpadu.

c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara.

d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk penyelenggaraan negara yang menghormati dan munjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Kemudian pada era pemerintahan Presiden Bacharuddin Yusuf Habibie disahkan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 yang dalam undang-undang tersebut mulai diatur tentang mekanisme perubahan manajemen dalam Mahkamah Agung menjadi satu Kemudian pada era pemerintahan Presiden Bacharuddin Yusuf Habibie disahkan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 yang dalam undang-undang tersebut mulai diatur tentang mekanisme perubahan manajemen dalam Mahkamah Agung menjadi satu

Namun dalam kenyataan praksis ternyata masih banyak ditemui banyak penyimpangan dalam proses peradilan. Bahkan kasus-kasus yang melibatkan mafia peradilan semakin banyak terjadi, padahal istilah mafia hukum sendiri sudah muncul sejak tahun 1970 sebagaimana dilontarkan oleh kalangan advokat melalui Peradin. (Sirajuddin, 2006: 61) Apalagi mafia peradilan tidak hanya melibatkan hakim saja tetapi juga semakin merambah ke aparat penegak hukum yaitu kepolisian. Hasil penelitian dari YPSDI di Jawa Timur menunjukan bahwa secara kualitatif dan kuantitatif terjadi penyelewengan yang dikeluhkan oleh para pencari keadilan. Penyelewengan tersebut melibatkan instansi kepolisian (polsek, polresta, polwil,dan polda), kejaksaan (negeri dan tinggi), dan pengadilan (negeri dan tinggi). (Sirajuddin, 2006: 64)

Jajak pendapat Litbang Kompas pada tanggal 9 sampai 11 November 2011 memperlihatkan 86% masyarakat menyatakan bahwa hakim belum bebas dalam memutuskan vonis perkara dari intervensi pihak di luar kekuasaan kehakiman. Sedangkan hanya 6,1% menyatakan bebas dan 7,6% menyatakan tidak tahu. Hal ini menunjukan bukti mencengangkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada hakim masih rendah. Masyarakat juga masih beranggapan bahwa hakim belum independen dalam memutus suatu perkara. Lebih jauh lagi survei jajak pendapat Kompas juga memaparkan bahwa 95,2% masyarakat menilai bahwa keputusan hakim dalam membebaskan koruptor dari jeratan hukum belum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan hanya 2,7% setuju, dan 2,1% tidak tahu. (Adi Sulistiyono, 2010: 18) Hal ini tentu menyebabkan kepercayaan publik terhadap institusi pengadilan menjadi semakin rendah.

Dari beragam permasalahan tersebut muncul pemikiran penting bahwa pelaku utama dalam proses pemeriksaan perkara dengan segala tujuanya berporos kepada hakim. Hakim memiliki posisi sentral dalam mengeluarkan putusan atau

vonnis. Baik buruknya putusan dan adil tidaknya putusan akan kembali lagi kepada hakim. Jabatan hakim merupakan jabatan yang mulia karena dapat memutuskan nasib dari seseorang dengan putusanya. Putusan hakim yang dilakukan dengan jujur dan menggunakan akal pikiran dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan nilai yang benar. Sehingga ada istilah tentang justice cant do wrong, bahwa hakim tidak bisa salah. (Taufiqurrohman, 2011: 76) Hakim menjadi kekuatan sentral dalam menjalankan fungsi dari kekuasaan kehakiman, dan karena itu menjadi penanggungjawab utama dalam mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem, moral dan integritas lembaga peradilan. (Suparman Marzuki, 2011: 2)

Berdasarkan pentingnya posisi hakim tersebut maka muncul gagasan tentang dibentuknya Komisi Yudisial. Sebuah Komisi yang sifatnya independen yang bertugas untuk mengawasi perilaku dan tindak tanduk hakim dalam melaksanakan kewenanganya dalam menjalankan proses peradilan. Komisi ini memiliki tugas penting untuk menjaga hakim agar tetap berwibawa dan on the right track berdasarkan kode etiknya. Alasan dibentuknya Komisi Yudisial sendiri merupakan cerminan dari politik hukum dari sebuah negara yang mengalami proses transisi dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi. (Suparman Marzuki, 2011: 1)

Komisi Yudisial secara prinsipal sebenarnya ingin menegakan martabat dan keluhuran hakim, sebagaimana disebutkan di dalam pasal 24B UUD 1945 yaitu Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mengakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan yang dilakukan sebenarnya tidak didasarkan ketidakpercayaan atau kecurigaan, tetapi sistem yang harus ada untuk memastikan terlaksananya prinsip transparansi dan akuntabilitas dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman sehingga dapat dijalankan prinsip fair trial. (Suparman Marzuki, 2011: 2)

Namun yang menjadi permasalahan adalah tentang mekanisme pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial itu sendiri. Selama ini memang muncul Namun yang menjadi permasalahan adalah tentang mekanisme pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial itu sendiri. Selama ini memang muncul

Hal ini tecermin dari adanya permohonan judicial review terhadap Undang- undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang diajukan oleh 31 Hakim Agung ke Mahkamah Konsitusi beserta peristiwa penting yang mengawali dan melatar belakangi munculnya permohonan tersebut. Pertama, Komisi Yudisial merekomendasikan untuk menjatuhkan sanksi lima hakim pengadilan tinggi Jawa Barat termasuk Kepala Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nana Juwana dan akhirnya Mahkamah Agung menonpalukan dan menarik Nana Juwana ke Mahkamah Agung. Kedua, Komisi Yudisal memeriksa kasus suap di Mahkamah Agung. Hakim Agung Usman Karim dan Parman Suparman yang terlibat kasus suap dengan pengusaha Probosutedjo hingga Komisi Yudisial memanggil ketua Mahkamah Agung dua kali, dan tetap menolak karena telah memberikan keterangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga, Munculnya usulan kocok ulang hakim Agung oleh Komisi Yudisial melalui sebuah perpu. Keempat, Komisi Yudisial menggulirkan informasi bahwa 13 Hakim Agung bermasalah dan terhadap informasi ini beberapa Hakim Agung melaporkan ke pihak kepolisian. Kelima, Gagasan mengenai revisi Undang-undang Komisi Yudisial juga semakin kuat di publik. (Muji Kartika, 2006: 53)

Sehingga pada ujungnya Mahkamah Konstitusi seperti yang diketahui bersama mengeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang isinya membatalkan dan mencabut pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terkait fungsi pengawasan hakim. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal yang berkaitan Sehingga pada ujungnya Mahkamah Konstitusi seperti yang diketahui bersama mengeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang isinya membatalkan dan mencabut pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terkait fungsi pengawasan hakim. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal yang berkaitan

Ketua Komisi Yudisial periode 2010-2015 berpendapat bahwa putusan yang lahir dari persepsi seperti itu secara yuridis konstitusional cacat moral dan hukum. Apalagi peran pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi belum sempat dijalankan, sehingga belum ada alat ukur untuk menilai bahwa praktik pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi bermasalah. Adalah tidak fair apabila legitimasi putusan Mahkamah Konstitusi itu mengambil praktik pengawasan hakim dilingkungan Mahkamah Agung selama ini sebagai dasar pembenaran putusan Mahkamah Konstitusi, karena tugas dan kewenangan, jumlah dan problem hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sangat berbeda. (Suparman Marzuki, 2011: 1)

Namun akhirnya muncul revisi undang-undang terbaru dengan disahkanya Undang-undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Undang-undang tersebut sebagai jawaban atas perdebatan selama ini tentang bagaimana bentuk pengawasan ideal terhadap hakim yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial. Bentuk pengawasan ini terbilang berbeda karena mekanisme yang tercantum adalah mengganti sistem yang lama dengan sistem yang baru. Hal ini menjadi menarik mengingat pengawasan selalu menjadi perdebatan panjang bagi para pemangku kepentingan. Apakah pengawasan hakim bertentangan dengan prinsip kemerdekaan atau independensi hakim dalam menjalankan fungsi dan tugas yudisialnya.

Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan latar belakang diatas maka penulis mengadakan penelitian mengenai bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial dan juga implikasi dari pengawasan tersebut terhadap prinsip kekuasaan hakim yang merdeka, Sehingga penulis menyusun judul penulisan ini dengan

“BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disusun rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial?

2. Bagaimana implikasi bentuk pengawasan hakim tersebut terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial.

b. Untuk mengetahui bagaimana implikasi bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh hasil penelitian yang nanti digunakan penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

b. Untuk memperoleh dan menambah wawasan bagi sumbangsih ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum .

c. Untuk menambah pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata Negara.

d. Untuk mengembangkan proses penalaran yang dinamis bagi penulis berdasarkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang diperoleh dan dipelajari.

e. Untuk mengembangkan cara berfikir yang kritis bagi penulis dalam bidang ilmu hukum yang didapat dalam perkuliahan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu di bidang hukum pada umumnya.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu di bidang hukum tata negara pada khususnya.

c. Memberikan sumbangan pemikiran dalam hal kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim .

d. Memberikan pemikiran dalam hal pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.

e. Menambah dan memberikan sumbangan referensi bagi penelitian dalam konteks kewenangan Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsinya .

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diteliti.

b. Meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan menerapkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum yang dipelajari penulis dalam perkuliahan yang didapat.

c. Menambah pemikiran dan wawasan pengetahuan di bidang hukum bagi masyarakat terkait dengan bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial.

d. Memberikan pemahaman bagi masyarakat agar menyadari pentingnya pengawasan terhadap hakim demi terciptanya peradilan yang adil dan tidak memihak serta bersih dan berwibawa.

e. Memberikan sumbangan referensi bagi penelitian dalam bidang bentuk dan kewenangan Komisi Yudisial di berbagai negara dalam melakukan pengawasan terhadap hakim.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis nanti dalam penelitian adalah

1. Jenis Penelitian Peter Mahmud Marzuki mengatakan penelitian hukum dilakukan sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jawaban yang dihasilkan adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong. Lebih jauh penelitian hukum tidak mengenal adanya hipotesis dan istilah data. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:

36) Sehingga jenis penelitian yang dipilih adalah jenis penelitian hukum. Yaitu penelitian dengan melakukan analisis terhadap bahan-bahan hukum meliputi bahan hukum primer dengan bahan hukum sekunder. Penelitian merupakan penelitian hukum normatif atau bisa disebut penelitian hukum doktrinal atau kepustakaan.

2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Istilah pendekatan penelitian dengan metode pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 93). Sedangkan pendekatan penelitian dengan pendekatan konseptual adalah pendekatan dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 95).

3. Jenis Bahan Hukum Dalam penelitian ini bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang- undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder 3. Jenis Bahan Hukum Dalam penelitian ini bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang- undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder

4. Sumber Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer, yaitu:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

5) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim.

6) Bahan Hukum Sekunder, yaitu: Buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.

b. Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan (literature research) yaitu pengumpulan dan identifikasi bahan hukum yang didapat melalui buku referensi, karangan ilmiah, dokumen resmi, makalah, jurnal, media massa seperti koran, internet, serta bahan-bahan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dibuat. Kemudian bahan hukum disusun serta dikonstruksikan dengan sistematis.

5. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum yang digunakan peneliti adalah menggunakan metode interpretasi. Di dalam literatur, interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan kata-kata undang-undang, pembuat undang-undang, interpretasi sistematis, dan interpretasi historis. (Peter Mahmud, 2005: 106 )

F. Sistematika Penelitian

BAB I: PENDAHULUAN Dalam penulisan ini penulis menguraikan mengenai:

a. Latar Belakang Masalah

b. Rumusan Masalah

c. Tujuan Penelitian

d. Manfaat Penelitian

e. Metode Penelitian

f. Sistematika Penulisan BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti, yaitu:

a. Kerangka Teori

1) Tinjauan Tentang Negara Hukum

2) Tinjauan Tentang Konstitusi

3) Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka.

4) Tinjauan Tentang Pengawasan Hakim

b. Kerangka Pemikiran Memaparkan dan mendeskripsikan mengenai ide penelitian, dan menjelaskan mengenai permasalahan dan hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk bagan.

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil yang diperoleh dari analisis yaitu berupa hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya yaitu: Bagaimana bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial? Bagaimana implikasi bentuk pengawasan hakim tersebut terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka?

BAB IV: PENUTUP Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti , yaitu: A. Kesimpulan dan B. Saran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Negara Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat atau sebuah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008)

Dalam literatur bahasa asing dikenal istilah Staat, State, dan Etat. Bahasa Belanda mengartikan negara sebagai Staat, Inggris state, dan Perancis adalah etat. Istilah staat mempunyai sejarah sendiri. Istilah itu mula-mula dipergunakan di abad ke-15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima bahwa kata staat itu dialihkan dari kata bahasa Latin yaitu status atau statum. (Nimatul Huda, 2010: 1)

Negara hukum sering dikenal dengan istilah rechtstaat, the rule of law, dan nomocracy. Istilah rechstaat banyak ditemui di dalam konsep negara-negara Eropa dan dikembangkan oleh para sarjana hukum seperti Immanuel Kant, Paul Labland, Julius Stahl, dan Ficthe. Istilah rechtsaat sendiri berasal dari Bahasa Belanda yang artinya negara hukum. Sedangkan dalam tradisi Anglo-Saxon di negara-negara Amerika tidak dikenal istilah rechstaat tetapi the rule of law.Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai hukum yang berlaku atau hukum yang berkuasa. Hal ini sering dikaitkan dengan prinsip the Rule of Law, and not of Man seperti yang dicetuskan oleh A.V. Dicey yang artinya bahwa yang dianggap pemimpin dalam sebuah negara adalah hukum bukan orang. Mengenai istilah nomocracy berasal dari perkataan nomos dan cratos. Nomos berarti norma, sedangkan cratos atau kratien adalah kekuasaan. Hal ini dibayangkan sebagai Negara hukum sering dikenal dengan istilah rechtstaat, the rule of law, dan nomocracy. Istilah rechstaat banyak ditemui di dalam konsep negara-negara Eropa dan dikembangkan oleh para sarjana hukum seperti Immanuel Kant, Paul Labland, Julius Stahl, dan Ficthe. Istilah rechtsaat sendiri berasal dari Bahasa Belanda yang artinya negara hukum. Sedangkan dalam tradisi Anglo-Saxon di negara-negara Amerika tidak dikenal istilah rechstaat tetapi the rule of law.Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai hukum yang berlaku atau hukum yang berkuasa. Hal ini sering dikaitkan dengan prinsip the Rule of Law, and not of Man seperti yang dicetuskan oleh A.V. Dicey yang artinya bahwa yang dianggap pemimpin dalam sebuah negara adalah hukum bukan orang. Mengenai istilah nomocracy berasal dari perkataan nomos dan cratos. Nomos berarti norma, sedangkan cratos atau kratien adalah kekuasaan. Hal ini dibayangkan sebagai

Gagasan the rule of law dicirikan pada konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan dimuka hukum bagi semua warga negara, dan adanya keyakinan bahwa hukum dijadikan dasar menyelesaikan segala permasalahan. Roberto Mangabeira Unger berpendapat bahwa kekuasaan pemerintahan harus dipisahkan dengan kekuasaan peradilan agar terjamin persamaan dan demikian halnya dengan jaminan kesetaraan yang tercipta dengan adanya pembedaan kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan. Melalui adanya pemisahan kekuasaan tersebut maka sistem hukum diharapkan dapat menjadi penyeimbang bagi organisasi sosial. (Andi M. Asrun, 2004: 49)

Terdapat sedikit perbedaan mengenai konsep rechstaat dan the rule of law. Tetapi memang perbedaan tersebut tidak begitu dipermasalahkan karena memang keduanya berasal dari dua sistem yang berbeda. “Konsep rechstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law.

Karakteristik common law adalah judicial”. (Nimatul Huda, 2010: 93) Jadi keduanya berasal dari tradisi hukum yang berbeda antara Eropa Kontinental dengan sistem civil law dan Anglo-Saxon dengan sistem common law.

Konsep negara hukum bisa dikaji sebagai suatu kondisi masyarakat, dimana hukum dalam negara demokratis ditentukan oleh rakyat yang tidak lain merupakan pengaturan hubungan diantara sesama rakyat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan menentukan proses pembuatan peraturan perundang-undangan melalui wakil-wakilnya sebagai upaya perlindungan hak-hak rakyat. (Andi M. Asrun, 2004: 40).

Aristoteles mengemukakan gagasanya tentang negara hukum sebagai he who bids the law rule may be deemed to bid God and Reason alone rule, but he who bids man rule adds and element of the beast for desire is a wild beast, and Aristoteles mengemukakan gagasanya tentang negara hukum sebagai he who bids the law rule may be deemed to bid God and Reason alone rule, but he who bids man rule adds and element of the beast for desire is a wild beast, and

Utrecht membedakan negara hukum, yaitu negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materiil atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakkan ketertiban. Sedangkan pengertian negara hukum materiil mencakup lebih luas termasuk keadilan di dalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (Welfarestate). (Jimly Asshiddiqe, 2011: 131)

Lahirnya konsep negara hukum formal berkembang pada abad kesembilan belas di Eropa, dengan corak pemikiran utamanya terletak pada gagasan pembatasan kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Melalui konstitusi inilah ditentukan batas-batas kekuasaan pemerintah dan jaminan hak-hak politik rakyat, di mana kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Peran pemerintah lebih sebagai pelaksana dari berbagai keinginan rakyat sebagaimana dirumuskan dalam lembaga perwakilan rakyat. Negara hukum formal ini kemudian dikenal dengan sebutan nachtwachterstaat atau negara penjaga malam. (Andi M. Asrun, 2004: 46)

Munculnya konsep negara hukum material lahir akibat reaksi terhadap gagasan negara hukum formal, yang melahirkan ekses dari industrialisasi pasca revolusi industri dan sistem kapitalisme. Negara dituntut untuk aktif Munculnya konsep negara hukum material lahir akibat reaksi terhadap gagasan negara hukum formal, yang melahirkan ekses dari industrialisasi pasca revolusi industri dan sistem kapitalisme. Negara dituntut untuk aktif

Pandangan akademisi dengan paradigma lain seperti yang dikemukakan M. Tahir Azhary, menyebutkan ada lima konsep dari sebuah negara hukum yaitu:

a. Negara hukum nomokrasi islam yang diterapkan di negara-negara islam.

b. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstaat.

c. Negara hukum rule of law yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon.

d. Negara hukum socialist yang diterapkan di negara-negara komunis.

e. Negara hukum Pancasila. (Sirajuddin, 2006: 14) Masalah negara hukum pada hakikatnya tidak lain daripada persoalan

tentang kekuasaan. Di satu pihak terdapat negara dengan kekuasaan yang menjadi syarat mutlak untuk dapat menjalankan pemerintahan atau memerintah. Di lain pihak terdapat rakyat yang diperintah yang pada dasarnya enggan melepaskan segala kekuasaanya untuk diserahkan kepada pemerintah. Oleh karena itu paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham kerakyatan atau demokrasi. Hukum harus tampil sebagai instrumen untuk membatasi kekuasaan pemerintah negara yang diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kehendak dan kekuasaan rakyat. Hubungan negara hukum dan demokrasi adalah begitu erat, karena kedaulatan atau demokrasi menjadi unsur material dari negara hukum. (Djatmiko Anom Husodo, 2007: 3).

Ahsin Thohari berpendapat ada beberapa syarat dasar bagi pemerintahan yang demokratis di bawah konsep rule of law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; ketiga , pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima , kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan. Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan Ahsin Thohari berpendapat ada beberapa syarat dasar bagi pemerintahan yang demokratis di bawah konsep rule of law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; ketiga , pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima , kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan. Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan

Constitution mengemukakan tiga prinsip penting dari negara hukum. Ketiga prinsip tersebut yaitu:

a. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.

b. Persamaan di depan hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, tidak ada peradilan administrasi negara.

c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. (Nimatul Huda, 2010:1)

F.J. Stahl memberikan pendapatnya mengenai unsur-unsur dari negara hukum yaitu adanya:

a. Jaminan terhadap hak-hak asasi.

b. Penyelenggaraan negara berdasarkan trias politika (pemisahan kekuasaan).

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

d. Peradilan administrasi. Jimly Asshiddiqie mengemukakan beberapa prinsip pokok yang terdapat

dalam negara hukum. Kedua pokok prinsip tersebut yaitu:

a. Supremasi Hukum (Supremacy Law).

b. Persamaan dalam Hukum (Equality Before the Law).

c. Asas Legalitas (Due Process of Law).

d. Pembatasan Kekuasaan.

e. Organ-organ Penunjang yang Independen.

f. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak.

g. Peradilan Tata Usaha Negara.

h. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).

i. Perlindungan Hak Asasi Manusia. j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat). k. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtstaat). l. Transpransi dan Kontrol Sosial.(Jimly Asshiddiqie, 2010:127)

Nimatul Huda memberikan pendapatnya mengenai ciri-ciri dari negara hukum menjadi tiga hal yaitu:

a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.

b. Adanya pembagian kekuasaan negara.

c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. (Nimatul Huda, 2010: 93) Franz Magnis Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan negara

hukum yaitu Pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; Kedua, adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan; Ketiga, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan Keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum dasar. (Ahsin Thohari, 2004: 8)

Menurut The International Comission of Jurist negara hukum harus memiliki beberapa prinsip-prinsip yang dianggap sebagai ciri penting, yaitu:

1. Negara harus tunduk pada hukum.

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.

3. Peradilan bebas dan tidak memihak. (Jimly Asshiddiqie, 2010: 126)

Sedangkan Nimatul Huda dalam pandanganya mengenai negara hukum yang berlandaskan kepada perspektif hukum islam atau nomokrasi Islam. Terdapat sembilan prinsip-prinsip umum negara hukum yaitu: “Kekuasaan sebagai amanah, Musyawarah, Keadilan, Persamaan, Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia, Peradilan bebas, Perdamaian, Kesejahteraan, dan Ketaatan Rakyat”. (Nimatul Huda, 2010: 38)

Sehingga berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara hukum adalah negara yang memegang prinsip perlindungan hak asasi manusia, sistem hukum sebagai supremasi tertinggi, bersifat demokratis, dan Sehingga berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara hukum adalah negara yang memegang prinsip perlindungan hak asasi manusia, sistem hukum sebagai supremasi tertinggi, bersifat demokratis, dan

2. Konstitusi

Konstitusi diterjemahkan dengan istilah yang berbeda-beda dalam berbagai bahasa. Bahasa Latin menyebutnya constitutio. Sedangkan constitution adalah istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris. Sedangkan dalam literatur bahasa Perancis dikenal istilah droit constitutionnel. Bahasa Belanda mengidentifikasikan dengan istilah constitutie , dan Bahasa Jerman dengan gerundgesetz . (Jimly Ashiddiqqie, 2007: 119) Keempat istilah dalam berbagai bahasa tersebut memiliki makna yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Hanya saja muncul pemaknaan yang agak berbeda untuk membedakan penamaan dari bentuk atau macam konstitusi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan pengertian konstitusi yaitu “segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan dan, atau Undang-undang Dasar suatu negara”. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Dalam kamus Oxford Dictionary of Law , perkataan consitution diartikan sebagai the rules and practices that determine the composition and functions of the organs of the central and local goverment in a state and regulate the relationship between individual and the state. Artinya yang dinamakan konstitusi itu tidak saja aturan yang tertulis, tetapi juga apa yang dipraktikan dalam kegiatan penyelenggaraan negara, dan yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ negara beserta kompisisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintah daerah (local goverment) , tetapi juga mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga negara. (Jimly Asshiddiqie, 2007: 120)

Menurut Carl Schmitt dalam bukunya “Verfassungslehre”, Konstitusi dapat dipahami dalam empat pengertian. Keempat kelompok pengertian itu adalah: (1) konstitusi dalam arti absolut (absoluter verfassungbegriff), (2) konstitusi dalam Menurut Carl Schmitt dalam bukunya “Verfassungslehre”, Konstitusi dapat dipahami dalam empat pengertian. Keempat kelompok pengertian itu adalah: (1) konstitusi dalam arti absolut (absoluter verfassungbegriff), (2) konstitusi dalam

verfassung). (Jimly Asshiddiqie, 2007: 126) James Bryce, menyatakan konstitusi adalah A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has estabilished permanent institutions with recognised functions and definite rights. Dari definisi tersebut, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusanya sebagai kerangka negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen, Fungsi dari alat-alat kelengkapan, dan Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan. (Dahlan Thaib, 2010: 11)