Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Niat Beli Konsumen pada Produk Distro (Studi pada Konsumen Muda di Purwokerto)

Disusun Oleh : SUNU ADHI NUGRAHA F0207116 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

MOTTO

“Our future isn’t written. Life is made from the choices that we make”. (Back to The Future : 1985)

“Berbaik sangka terhadap Allah termasuk ibadah yang baik”. (HR. Abu Dawud)

”I looked at all friends, and did not find a better friend than safeguarding the tongue”. (Umar bin Khattab RA)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada :

¨ Ayah, ibu serta adikku tercinta ¨ Teman-teman ”Esmadusemar” ¨ Keluarga besar BAPEMA dan

HMJM FE UNS ¨ Sahabat-sahabatku ¨ Almamaterku

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Niat Beli Konsumen pada Produk Distro (Studi pada Konsumen Muda di Purwokerto)”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dan persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan, arahan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Siti Khoiriyah, S.E., M.Si., selaku Pembimbing Skripsi yang telah membimbing dengan penuh kesabaran serta memberikan saran hingga selesainya penulisan skripsi ini.

2. Dr. Wisnu Untoro, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

3. Dr. Hunik Sri Runing S, M.Si., selaku Ketua Jurusan Manajemen dan Reza Rahardian S.E., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

4. Dra. Soemarjati T.j M.M., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama belajar di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

5. Segenap dosen dan karyawan yang telah membantu selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

6. Keluarga besar Badan Pers Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret yang telah memberi banyak pengalaman berharga.

7. Teman-teman Kos Suka Sehat dan Esmadusemar yang telah membantu dan memberi dukungan selama penulisan skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah membantu demi terlaksananya penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca penulis harapkan demi perbaikan penelitian ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan yang membutuhkan.

Surakarta, 23 Desember 2011

Penulis

C. Saran ............................................................................................................. 96

D. Implikasi ....................................................................................................... 96

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 99

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

II.1 Model Penelitian Tentang Purchase Intention ............................................. 24

IV.1 Modifikasi Model ...................................................................................... 76

IV. 5 Hasil Uji Normalitas ................................................................................. 68

IV. 6 Jarak Mahalanobis Data ............................................................................ 70

IV. 7 Hasil Pengujian Goodness-of-Fit Model................................................... 71

IV. 8 Hasil Goodness-of-Fit Setelah Modifikasi Model .................................... 75

IV. 9 Regression Weight .................................................................................... 78

IV.10 Efek Langsung, Efek Tidak Langsung dan Efek Total ............................. 79

ABSTRACT “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NIAT BELI KONSUMEN PADA PRODUK DISTRO” (Studi pada Konsumen Muda di Purwokerto) SUNU ADHI NUGRAHA F0207116

The purpose of this study examines the direct and indirect effects of individuals’ self-concept, product-oriented variables (i.e. consumer’s need for uniqueness (NFU), and clothing interest), and brand-speci fic variables (i.e. perceived quality and emotional value) on purchase intention toward “ distro” product.

Survey is a method conducted to collect the data. In this study, sample consist’s of 150 people who wants to purchase toward “ distro” product in Purwokerto. Purposive sampling is a method choosen to make easier in getting the sample.

Reliablity and validity test was done to make ascertain the quality of data. Structural equation model is statistical method choosen to elaborate the linkage among of unobserved variabel. The result show that self concept have no significant influence to need for uniqueness, self concept have significant influence to clothing interest, need for uniqueness have significant influence to clothing interest, clothing interest have significant influence to emotional value, , clothing interest have significant influence to perceived quality, clothing interest have significant influence to purchase intention, emotional value have no significant influence to purchase intention and perceived quality have significant influence to purchase intention.

In this study, both limitation and implication are also discussed in order to give inside toward theoritical, practical and future research aspects.

Keyword: self concept, need for uniqueness, purchase intention

ABSTRAKSI “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NIAT BELI KONSUMEN PADA PRODUK DISTRO” (Studi pada Konsumen Muda di Purwokerto) SUNU ADHI NUGRAHA F0207116

Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh langsung dan tidak langsung dari konsep diri individu, variabel yang berorientasi produk (keinginan untuk tampil beda dan ketertarikan pada pakaian) dan variabel yang berorientasi merek (persepsi kualitas dan nilai emosional) pada niat beli produk distro.

Metode pengumpulan data menggunakan cara survey. Pada penelitian ini sampel terdiri dari 150 sampel yang berniat beli produk distro di Purwokerto. Purposive sampling adalah metode yang dipilih untuk mempermudah dalam pengumpulan sampel.

Uji reliabilitas dan validitas dilakukan untuk memastikan kualitas dari data. Structural Equation Modeling (SEM) dipilih sebagai metode untuk menganalisis hubungan diantara variabel unobserved. Hasil penelitian menunjukan bahwa konsep diri tidak mempunyai pengaruh signifikan pada keinginan untuk tampil beda, konsep diri dan keinginan untuk tampil beda mempunyai pengaruh positif pada ketertarikan pada pakaian, ketertarikan pada pakaian mempunyai pengaruh positif pada nilai emosional, persepsi kualitas dan niat beli, nilai emosional tidak mempunyai pengaruh signifikan pada niat beli dan persepsi kualitas mempunyai pengaruh positif pada niat beli.

Dalam penelitian ini, keterbatasan dan implikasi juga dibahas untuk memberikan arah dalam aspek teoritis, praktis dan penelitian mendatang.

Keyword : konsep diri, keinginan untuk tampil beda, niat beli

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Persaingan dalam dunia bisnis yang cukup ketat khususnya bisnis ritel mengharuskan manajemen untuk memberikan terobosan yang strategis untuk tetap dapat mengembangkan dan merebut pangsa pasar (market share). Para pemimpin perusahaan harus jeli dan mampu melihat jauh kedepan berbagai macam faktor yang timbul untuk menghadapi kondisi yang berubah-ubah. Mereka harus menganalisis apakah faktor-faktor yang dihadapi itu merupakan peluang dan kesempatan atau sebaliknya merupakan ancaman bagi perusahaan.

Pertumbuhan ekonomi serta munculnya konsumen muda yang sadar akan merek dan fashion di pasar Asia seperti Cina, India, Jepang maupun Indonesia merupakan suatu peluang bagi perusahaan ritel khususnya yang menjual produk-produk pakaian. Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia menempati urutan kedua se-Asia Pasifik, dengan angka pertumbuhan 14%- 15% per tahun. Hanya di bawah India yang ritelnya tumbuh 21%-22%, tetapi masih lebih tinggi dari Cina yang bisnis ritelnya tumbuh 11%. India merupakan negara berkembang yang bagus dalam berinovasi dan India terpilih menjadi negara terbaik kedua yang punya kondisi terbaik untuk inovasi . Perkembangan bisnis ritel di Indonesia hingga akhir 2008

Aprindo menyebutkan bahwa setiap bulan dana masyarakat Indonesia yang dibelanjakan kebutuhan harian tak kurang Rp 5 trilliun, membuktikan masyarakat Indonesia sangat konsumtif dan surga masa depan bisnis ritel. (http://www.pikiran-rakyat.com/node/76010, 12 Mei 2010, 11.25 am).

Distro (distibution outlet) adalah sebagai salah satu jenis usaha ritel yang memberikan bukti nyata. Menurut Creative Independent Clothing Community (2009) menyatakan jumlah distro (distribution outlet) di Indonesia akan bertahan di angka 1.000 gerai dengan omzet Rp 40 miliar per bulan hingga akhir 2008. Ekspor produk kreatif distro Indonesia sudah sampai ke Singapura, Malaysia, Australia, Selandia Baru, Filipina, Thailand, AS, Hongaria, Finlandia dan Belanda dengan perkiraan omzet 3% dari penjualan distro sekitar Rp 1,2 miliar.

Distro singkatan dari distribution store atau distribution outlet adalah jenis toko di Indonesia yang menjual pakaian dan aksesori yang dititipkan oleh pembuat pakaian, atau diproduksi sendiri. Distro umumnya merupakan industri kecil dan menengah (IKM) yang sandang dengan merk independen yang dikembangkan kalangan muda. Produk yang dihasilkan oleh distro diusahakan untuk tidak diproduksi secara massal, agar mempertahankan sifat eksklusif suatu produk. Konsep distro berawal pada pertengahan 1990-an di Bandung. Saat itu band-band independen di Bandung berusaha menjual merchandise mereka seperti CD/kaset, t-shirt, dan sticker selain di tempat Distro singkatan dari distribution store atau distribution outlet adalah jenis toko di Indonesia yang menjual pakaian dan aksesori yang dititipkan oleh pembuat pakaian, atau diproduksi sendiri. Distro umumnya merupakan industri kecil dan menengah (IKM) yang sandang dengan merk independen yang dikembangkan kalangan muda. Produk yang dihasilkan oleh distro diusahakan untuk tidak diproduksi secara massal, agar mempertahankan sifat eksklusif suatu produk. Konsep distro berawal pada pertengahan 1990-an di Bandung. Saat itu band-band independen di Bandung berusaha menjual merchandise mereka seperti CD/kaset, t-shirt, dan sticker selain di tempat

Fenomena distro di kalangan remaja yang merupakan target pasarnya sudah merupakan hal yang bersifat gaya hidup. Pola gaya berpenampilan remaja mulai berubah dan mengikuti perkembangan fashion. Fashion sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang dikenakan oleh seseorang baik yang menjadi trend saat itu maupun tidak. Fashion mengacu pada kegiatan, fashion merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, tak seperti dewasa ini, yang memaknai fashion sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang (Barnard, 2007: 1). Trend-trend fashion menjadi sebuah budaya atau kebiasaan dikalangan anak muda dalam melakukan sebuah kegiatan maupun dalam mengenakan sesuatu. Di mana mereka mempunyai ide-ide dalam mengekspresikan maupun memaknai hidup mereka seperti yang diungkapkan oleh William bahwa “cara hidup tertentu yang mengekspresikan makna dan nilai tertentu bukan hanya di dalam seni dan pembelajaran, tapi juga di dalam institusi dan perilaku sehari-hari” (Hebdige, 1999: 19). Budaya tersebut digunakan mereka Fenomena distro di kalangan remaja yang merupakan target pasarnya sudah merupakan hal yang bersifat gaya hidup. Pola gaya berpenampilan remaja mulai berubah dan mengikuti perkembangan fashion. Fashion sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang dikenakan oleh seseorang baik yang menjadi trend saat itu maupun tidak. Fashion mengacu pada kegiatan, fashion merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, tak seperti dewasa ini, yang memaknai fashion sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang (Barnard, 2007: 1). Trend-trend fashion menjadi sebuah budaya atau kebiasaan dikalangan anak muda dalam melakukan sebuah kegiatan maupun dalam mengenakan sesuatu. Di mana mereka mempunyai ide-ide dalam mengekspresikan maupun memaknai hidup mereka seperti yang diungkapkan oleh William bahwa “cara hidup tertentu yang mengekspresikan makna dan nilai tertentu bukan hanya di dalam seni dan pembelajaran, tapi juga di dalam institusi dan perilaku sehari-hari” (Hebdige, 1999: 19). Budaya tersebut digunakan mereka

Berdasarkan pembagian kelompok usia atau age subcultures seperti yang dikemukakan oleh Solomon (2002 : 442-445) bahwa pembagian kelompok menurut kesamaan usia dan berdasarkan latar belakang / pengalaman yang sama yang disebut sebagai age cohorts, salah satunya adalah generation Y atau teen market yang lahir antara tahun 1979-1994 (Morton, 2000). Generasi Y merupakan generasi transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, dan pada masa itu terjadi perubahan yang sangat besar (Machinis, 1997: 351). Adanya perubahan kepentingan atau preferences dalam memprioritaskan segala sesuatu, mulai dari pilihan aktivitas, teman, sampai pakaian karena dianggap sebagai salah satu syarat untuk diterima oleh kelompoknya (Solomon, 2004: 501). Lebih lanjut Solomon (2006: 499) menyampaikan generasi Y merupakan kelompok yang memiliki persamaan usia dan latar belakang pengalaman.

Generasi Y di Indonesia sering disebut sebagai remaja yaitu masa kehidupan dimana manusia antara usia 11 sampai dengan 21 tahun (Krummel, 1996). Remaja berasal dari kata latin “adolescere” yang artinya tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa, terjadinya kematangan secara keseluruhan dalam emosional, mental, sosial dan fisik (Hurlock, 1991). Masa ini adalah masa seseorang mengalami perubahan dalam hal biologis, emosional, sosial, dan kognitif. Masa ini juga merupakan masa transisi dari Generasi Y di Indonesia sering disebut sebagai remaja yaitu masa kehidupan dimana manusia antara usia 11 sampai dengan 21 tahun (Krummel, 1996). Remaja berasal dari kata latin “adolescere” yang artinya tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa, terjadinya kematangan secara keseluruhan dalam emosional, mental, sosial dan fisik (Hurlock, 1991). Masa ini adalah masa seseorang mengalami perubahan dalam hal biologis, emosional, sosial, dan kognitif. Masa ini juga merupakan masa transisi dari

1. Memiliki keadaan emosi yang labil

2. Timbulnya sikap menentang orang lain, hal ini dilakukan sebagai wujud remaja ingin merenggangkan hubungan maupun ikatan dengan orang tuanya

3. Memiliki sikap untuk mengeksplorasi atau keinginan untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar

4. Memiliki banyak fantasi, khayalan dan bualan

5. Remaja cenderung untuk membentuk suatu kelompok Berdasarkan perkembangan psikososial, remaja dibagi menjadi tiga periode yaitu remaja awal, remaja menengah dan remaja akhir (Krummel, 1996)

1. Remaja awal, usia 10-14 tahun Karakteristik remaja awal yaitu mengalami percepatan pertumbuhan fisik dan seksual. Mereka kerap kali membandingkan sesuatu dengan teman sebaya dan sangan mementingkan penerimaan teman sebaya, hal ini mengakibatkan timbulnya kemandirian dan cenderung mulai mengabaikan pengaruh yang berasal dari lingkungan rumah.

Remaja menengah memiliki karakteristik yaitu berkembangnya kesadaran terhadap identitas diri. Wardlaw dan Kessel (2002) menyatakan bahwa periode remaja merupakan periode dimana terjadi pergolakan tekanan seksual dan sosial dan mereka berusaha diterima dan mendapatkan dukungan dari teman sebaya dan orang tua.

3. Remaja akhir, usia 18-21 tahun Remaja akhir ditandai dengan kematangan atau kesiapan menuju tahap kedewasaan dan lebih fokus pada masa depan, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan, seksual dan individu. Karakteristik remaja akhir umumnya sudah merasa nyaman dengan nilai dirinya dan pengaruh teman sebayanya berkurang.

Perubahan yang terjadi pada remaja dipengaruhi tren dan mode. Pada usia ini, pilihan-pilihan konsumsi para remaja sangat dipengaruhi aktivitas-aktivitas yang ditekuninya, teman-temannya, dan penampilan generasi itu (Kasali, 2001: 195). Remaja memang sering dijadikan target bagi pemasaran berbagai produk industri, antara lain karena karakteristik mereka yang labil, spesifik dan mudah dipengaruhi sehingga akhirnya mendorong munculnya berbagai gejala dalam perilaku membeli yang tidak wajar. Membeli dalam hal ini tidak lagi dilakukan karena produk ini dibutuhkan, namun membeli dilakukan karena alasan-alasan seperti sedang mengikuti arus mode, hanya ingin mencoba produk baru, ingin

72).

Faktor usia ini sangat mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan terhadap alternatif pilihan produk yang ada, baik itu berupa barang maupun jasa. Menyadari bahwa brand merupakan asset marketing yang sangatlah penting, juga mengetahui ditengah permintaan konsumen yang kian lama kian bertambah maka brand berfungsi sebagai kunci dalam memilih suatu produk yang dikira menjanjikan.

Mowen (1996: 531), menyampaikan bahwa sejauh mana seorang konsumen menunjukkan sifat positif terhadap suatu merek, berarti mempunyai komitmen pada merek tertentu, dan berniat untuk terus membelinya di masa depan. Kesetiaan merek dipengaruhi secara langsung oleh kepuasan atau ketidakpuasan dengan merek yang diakumulasi dalam jangka waktu tertentu sebagaimana persepsi kualitas dari produk (Mowen, 2002: 108). Brand perceptions konsumen mungkin didorong oleh adanya keinginan untuk tampil beda (need for uniqueness) dan pengetahuan merek berasal dari adanya pengalaman pribadi (Keller, 2001). Konsumen muda (generasi Y), memiliki kebutuhan untuk memperkuat citra diri mereka dengan terlihat “keren”. Konsumen generasi Y umumnya memilih merek dengan identitas yang didasarkan pada nilai-nilai yang mereka identifikasi dan merek mana yang dapat mengekspresikan kepribadian mereka (Azuma, 2002; Parker et al ., 2004).

mencapai 1,723,911,077 jiwa atau 25.47 % dari populasi dunia (U.S. Census Bureau, 2009) dan merupakan populasi terbesar dibanding kelompok umur lainnya. Oleh karena itu teen market merupakan pasar yang potensial. Untuk dapat sukses dalam pasar global khususnya bisnis ritel fashion dalam menghadapi teen market, perusahaan harus memahami bagaimana pasar ini merespon merek mereka. Tetapi belum banyak penelitian tentang bagaimana pengaruh self concept, product oriented variables (need for uniqueness dan clothing interest ), dan brand specific variables (perceived quality dan emotional value) terhadap purchase intention.

Knight dan Kim (2006) meneliti pengaruh need for uniqueness, perceived quality dan emotional value terhadap purchase intention pada produk pakaian Amerika Serikat dimana ditemukan bahwa need for uniqueness berbanding terbalik dengan perceived quality, sedangkan pilihan kreatif berkaitan positif dengan emotional value dalam persepsi merek pakaian AS. Perceived quality menurunkan purchase intention, sedangkan emotional value meningkat purchase intention. Sedangkan dalam penelitian Kumar, Kim dan Pelton (2008) menambah dua variabel yaitu self concept dan clothing interest . Self concept maupun need for uniqueness berpengaruh positif terhadap clothing interest. Clothing interest secara positif mempengaruhi perceived quality dan emotional value untuk merek AS, tetapi tidak untuk merek lokal. Emotional value ditemukan menjadi faktor penting yang mempengaruhi purchase intention merek AS dan merek lokal juga.

India dari merek Amerika Serikat maupun lokal. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara self concept, product oriented variables, dan brand specific variables dan purchase intention pada produk distro dengan berfokus pada konsumen remaja (teen market) di Indonesia khususnya wilayah Purwokerto yang menjadi batasan wilayah penelitian ini.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, terdapat hal-hal yang untuk menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Apakah self concept berpengaruh signifikan pada need for uniqueness atas produk distro?

2. Apakah self concept berpengaruh signifikan pada clothing interest atas produk distro?

3. Apakah need for uniqueness berpengaruh signifikan pada clothing interest atas produk distro?

4. Apakah clothing interest berpengaruh signifikan pada emotional value produk distro?

5. Apakah clothing interest berpengaruh signifikan pada perceived quality produk distro?

6. Apakah clothing interest berpengaruh signifikan pada purchase intention produk distro? 6. Apakah clothing interest berpengaruh signifikan pada purchase intention produk distro?

8. Apakah perceived quality berpengaruh signifikan pada purchase intention produk distro?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk menguji pengaruh self concept pada need for uniqueness atas produk distro.

2. Untuk menguji pengaruh self concept pada clothing interest atas produk distro.

3. Untuk menguji pengaruh need for uniqueness pada clothing interest atas produk distro.

4. Untuk menguji pengaruh clothing interest pada emotional value atas produk distro.

5. Untuk menguji pengaruh clothing interest pada perceived quality atas produk distro.

6. Untuk menguji pengaruh clothing interest pada purchase intention atas produk distro.

7. Untuk menguji pengaruh emotional value pada purchase intention atas produk distro.

8. Untuk menguji pengaruh perceived quality pada purchase intention atas produk distro.

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Akademisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pemahaman mengenai relasi kausal antara self concept, product oriented variables (need for uniqueness dan clothing interest ), dan brand specific variables (perceived quality dan emotional value) terhadap purchase intention sebuah merek, khususnya untuk teen market. Dan juga dapat dijadikan salah satu referensi bagi peneliti selanjutnya yang untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama.

b. Manfaat Praktisi

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan alternatif untuk strategi perusahaan dalam pengembangan pasar di teen market domestik maupun internasional, khususnya pada self concept, product oriented variables , dan brand specific variables. Dengan fokus pada nilai-nilai emosional dapat memberikan kesuksesan dalam menciptakan dan memelihara hubungan merek dengan fokus pasar konsumen. Disamping itu, perusahaan juga dapat membuat produk yang sesuai dengan kriteria dari target konsumennya.

BAB II TELAAH PUSTAKA

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Diri (Self Concept)

Self concept adalah persepsi individu tentang dirinya sendiri yang merupakan penentu fundamental dari semua perilaku manusia. Persepsi tentang diri memotivasi perilaku, memberikan kontrol dan arah ke keinginan dan tujuan individu (Malhotra, 1988) dalam (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Self concept didefinisikan sebagai totalitas pikiran individu dan perasaan memiliki referensi untuk dirinya sebagai objek (Rosenberg, 1979: 7) dalam (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Dengan kata lain, self concept adalah apa yang dipikirkan seseorang tentang dirinya sendiri dan juga termasuk persepsi global. Self concept dilihat dari beberapa dimensi seperti kemampuan seseorang, penampilan fisik, dan kepuasan hidup (Fournier, 2001; Sirgy, 1982). Persepsi tentang diri sering mempengaruhi cara individu bertindak dan tindakan ini dilakukan untuk mencocokkan dan / atau memperbaiki self concept mereka (Shavelson et al., 1976; Tafarodi dan Swann, 2001).

Sebuah tinjauan literatur mengungkapkan bahwa self concept seseorang tercermin dalam perilaku konsumsinya (Lau dan Phau, 2007; Salomon dan Schopler, 1982). Dengan kata lain, produk dan / atau merek Sebuah tinjauan literatur mengungkapkan bahwa self concept seseorang tercermin dalam perilaku konsumsinya (Lau dan Phau, 2007; Salomon dan Schopler, 1982). Dengan kata lain, produk dan / atau merek

2. Keinginan untuk Tampil Beda (Need for Uniquess)

Konsep keinginan untuk tampil beda konsumen berasal dari teori tentang keunikan/tampil beda Snyder dan Fromkin (1977) dalam (Tian, Bearden, dan Hunter, 2001). Menurut teori ini, kebutuhan untuk melihat diri sendiri berbeda dari orang lain dipengaruhi oleh motif lain dalam situasi yang mengancam persepsi diri untuk keunikannya (yaitu, situasi di mana individu melihat diri mereka sebagai sangat mirip dengan orang lain dalam sosial lingkungan). Teori keinginan konsumen untuk tampil beda (need for uniqueness) menjelaskan bagaimana keinginan individu untuk tampil beda dapat mempengaruhi tanggapan terhadap merek dan keinginan untuk berbeda dari yang lain (Ryan, 2008; Tian, Bearden, dan Hunter, 2001) melalui barang-barang material (Knight dan Kim, 2007 ). Snyder dan Fromkin (1977) dalam Latter, Phau, dan Marchegiani (2010) menemukan sesuatu yang logis bahwa orang yang merasa berbeda Konsep keinginan untuk tampil beda konsumen berasal dari teori tentang keunikan/tampil beda Snyder dan Fromkin (1977) dalam (Tian, Bearden, dan Hunter, 2001). Menurut teori ini, kebutuhan untuk melihat diri sendiri berbeda dari orang lain dipengaruhi oleh motif lain dalam situasi yang mengancam persepsi diri untuk keunikannya (yaitu, situasi di mana individu melihat diri mereka sebagai sangat mirip dengan orang lain dalam sosial lingkungan). Teori keinginan konsumen untuk tampil beda (need for uniqueness) menjelaskan bagaimana keinginan individu untuk tampil beda dapat mempengaruhi tanggapan terhadap merek dan keinginan untuk berbeda dari yang lain (Ryan, 2008; Tian, Bearden, dan Hunter, 2001) melalui barang-barang material (Knight dan Kim, 2007 ). Snyder dan Fromkin (1977) dalam Latter, Phau, dan Marchegiani (2010) menemukan sesuatu yang logis bahwa orang yang merasa berbeda

Keinginan untuk tampil beda dapat ditunjukkan dalam tiga tipe perilaku konsumen, yaitu:

a. creative choice, pencarian perbedaan sosial melalui konsumsi produk yang dapat diterima orang lain (Knight dan Kim 2007; Tian, Bearden, dan Hunter, 2001)

b. unpopular choice, di mana konsumen rela menghadapi risiko penolakan sosial untuk membangun keunikan mereka dengan mengkonsumsi produk yang dianggap di luar norma kelompok (Knight dan Kim, 2007)

c. avoidance of similarity, mengacu pada penghindaran konsumen terhadap produk utama dan kecenderungan untuk mendukung produk atau merek yang tidak populer atau tidak akan menjadi populer (Knight dan Kim, 2007).

Pada tipe pertama dari perilaku konsumen dalam keinginan untuk tampil beda (need for uniqueness) yaitu creative choice, konsumen membeli barang yang dapat mengungkapkan keinginan mereka untuk tampil beda dan juga dapat diterima oleh orang lain. Jadi, merek yang Pada tipe pertama dari perilaku konsumen dalam keinginan untuk tampil beda (need for uniqueness) yaitu creative choice, konsumen membeli barang yang dapat mengungkapkan keinginan mereka untuk tampil beda dan juga dapat diterima oleh orang lain. Jadi, merek yang

Konsumen lainnya rela menerima risiko penolakan sosial untuk membangun keunikan mereka dengan memilih produk yang menyimpang dari norma-norma kelompok merupakan perilaku konsumen dengan unpopular choice (Tian et al., 2001). Menariknya, dengan perilaku berisiko ini mereka akhirnya dapat meningkatkan citra diri mereka. Konsumen ini tidak peduli dengan kritik dari orang lain, bahkan mereka cenderung untuk membuat keputusan pembelian yang mungkin dianggap aneh (Simonson dan Nowlis, 2000).

Kelompok akhir dari konsumen yaitu avoidance of similarity dengan barang-barang yang bagian merupakan dari mainstream atau produk utama (Tian et al., 2001). Konsumen dalam kelompok ini cenderung untuk memilih produk atau merek yang tidak mungkin menjadi terlalu populer, tetapi yang akan membedakan mereka dari orang lain. Untuk menghindari kesamaan dengan orang lain, konsumen dapat mengembangkan berbagai strategi. Misalnya, mereka dapat berbelanja di toko-toko vintage, atau menggabungkan pakaian dengan cara yang tidak biasa.

Menurut perspektif teoritis sebagai individu meskipun ada pengaruh tekanan normatif, tetapi tetap mencari perbedaan (Clark, Zboja, dan Goldsmith, 2006) dan sengaja mengabaikan norma-norma sosial yang

1977) dalam Latter, Phau, dan Marchegiani (2010). Tidak seperti individu yang didorong oleh motivasi untuk kebebasan (Tian, Bearden, dan Hunter, 2001), individu akan menghadapi seperangkat norma-norma sosial dan aktif mencari perbedaan melalui non-kongruensi (Clark, Zboja, dan Goldsmith, 2006). Efek pada individu pada akhirnya tergantung pada menjadi simbol publik yang diakui (Tian dan McKenzie, 2001). Karena arti dari pengakuan ini adalah ekspresi keunikan yang dicari dalam berbagai bentuk dimana hukuman sosial bagi yang berbeda tidak dipandang buruk.

3. Minat pada Pakaian (Clothing Interest)

Clothing interest adalah relevansi konsumen untuk produk dan dianggap sebagai variabel penting untuk dipertimbangkan karena mungkin merupakan faktor utama membentuk persepsi terhadap produk. Produk pakaian dapat dianggap sebagai produk yang inovatif. Inovasi konsumen atau kecenderungan pengambilan risiko mungkin memiliki efek yang signifikan pada penerimaan kualitas ( Yoh dan Lee, 2010).

Gurel (dalam Lukavsky et al., 1995) mendefinisikan clothing interest sebagai sikap dan keyakinan tentang pakaian, pengetahuan dan perhatian terhadap pakaian, kepedulian dan rasa ingin tahu seseorang tentang pakaiannya sendiri dan orang lain. Kaiser (1997) menyatakan clothing interest berkaitan erat dengan dimensi perilaku sikap dalam hal Gurel (dalam Lukavsky et al., 1995) mendefinisikan clothing interest sebagai sikap dan keyakinan tentang pakaian, pengetahuan dan perhatian terhadap pakaian, kepedulian dan rasa ingin tahu seseorang tentang pakaiannya sendiri dan orang lain. Kaiser (1997) menyatakan clothing interest berkaitan erat dengan dimensi perilaku sikap dalam hal

4. Nilai Emosional (Emotional Value)

Nilai emosional didefinisikan sebagai manfaat yang diperoleh dari perasaan atau afektif (yaitu kenikmatan atau kesenangan) yang dihasilkan dari konsumsi suatu produk (Sweeney dan Soutar, 2001). Produk tertentu dan merek menghasilkan nilai-nilai emosional berbeda yang dihargai oleh konsumen (Holbrook, 1986) dalam (Lee et.al., 2008).

Produk dan merek dapat memberikan manfaat non-utilitarian seperti rasa senang dan pengalaman menyenangkan yang menghasilkan nilai emosional yang berbeda bagi konsumen (Holbrook, 1986) dalam (Lee et.al, 2006). Sebagai kategori produk yang menginduksi keterlibatan tinggi dan ketertarikan karena sifatnya yang simbolis dan hedonis, pakaian cenderung membangkitkan emosi konsumen melalui tahap seleksi dan penggunaan produk (Kim et al., 2002).

Persepsi kualitas dievaluasi dan diputuskan oleh konsumen. Persepsi kualitas adalah penilaian terhadap merek yang mendorong pelanggan untuk membeli produk. Aaker (1997) menegaskan satu hal yang harus selalu diingat, yaitu bahwa persepsi kualitas merupakan persepsi para pelanggan, oleh sebab itu persepsi kualitas tidak dapat ditetapkan secara obyektif. Lebih lanjut (Tjiptono, 2005) menyatakan persepsi kualitas merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Oleh sebab itu, persepsi kualitas didasarkan pada evaluasi subjektif konsumen terhadap kualitas produk. Selain itu, persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan yang berbeda- beda terhadap suatu produk atau jasa (Aaker, 1997; Durianto et al., 2001).

Persepsi kualitas yang tinggi menunjukkan bahwa melalui penggunaan dalam jangka waktu yang panjang, konsumen memperoleh diferensiasi dan superioritas dari merek tersebut. Zeithaml mengidentifikasikan persepsi kualitas sebagai komponen dari nilai merek dimana persepsi kualitas yang tinggi akan mengarahkan konsumen untuk memilih merek tersebut dibandingkan dengan merek pesaing. Persepsi persepsi kualitas oleh konsumen berpengaruh terhadap kesediaan konsumen tersebut untuk membeli sebuah produk. Ini berarti bahwa semakin tinggi nilai yang dirasakan oleh konsumen, maka akan semakin

(Chapman dan Wahlers, 1999).

6. Niat Beli (Purchase Intention)

Teori niat beli konsumen didasari oleh teori alasan bertindak (Fishbein dalam Peter dan Olson, 2006:147). Teori ini mengasumsikan bahwa konsumen selalu mempertimbangkan secara sadar konsekuensi dari pemilihan alternatif yang berakibat keinginan (niat) untuk melakukan/bertindak sesuai dengan pilihan perilaku. Niat beli ini merupakan prediktor tunggal terbaik terhadap perilaku sesungguhnya. Menurut Schiffman dan Kanuk (2004:258) niat beli merupakan komponen ketiga (pertama kognitif, kedua afektif dan ketiga konatif) dari tiga komponen sikap. Komponen ini berhubungan dengan kemungkinan atau kecenderungan seseorang akan melakukan tindakan tertentu terhadap suatu objek.

Dodds, Monroe, dan Grewal (1991) mengemukakan bahwa niat beli didefinisikan sebagai kemungkinan seorang konsumen untuk berminat membeli suatu produk tertentu yang dilihatnya. Menurut Dodds, Monroe, dan Grewal (1991), jika seseorang menginginkan produk dan merasa tertarik untuk memiliki produk tersebut maka mereka berusaha untuk membeli produk tersebut, selain itu faktor yang lainnya adalah rekomendasi dari pihak lain sangatlah penting karena dapat mempengaruhi seseorang untuk terjadinya proses pembelian. Minat membeli merupakan Dodds, Monroe, dan Grewal (1991) mengemukakan bahwa niat beli didefinisikan sebagai kemungkinan seorang konsumen untuk berminat membeli suatu produk tertentu yang dilihatnya. Menurut Dodds, Monroe, dan Grewal (1991), jika seseorang menginginkan produk dan merasa tertarik untuk memiliki produk tersebut maka mereka berusaha untuk membeli produk tersebut, selain itu faktor yang lainnya adalah rekomendasi dari pihak lain sangatlah penting karena dapat mempengaruhi seseorang untuk terjadinya proses pembelian. Minat membeli merupakan

Schiffman dan Kanuk (2004:259) menyatakan niat beli bisa juga menjadi cerminan ukuran komitmen konsumen. Jawaban negatif pada niat beli memberi petunjuk komitmen yang rendah dan sebaliknya. lainnya. Pelanggan yang berkomitmen memiliki keterikatan emosional terhadap merek atau perusahaan yang ditujunya. Pada umumnya pelanggan mengekspresikan komitmen mereka dengan kepercayaan dan kesukaan terhadap merek tersebut serta kepercayaan terhadap perusahaannya. Konsumen yang berkomitmen tidak ingin mencari informasi tambahan pada saat membuat keputusan pembelian. Mereka juga tidak mudah untuk berpindah ke merek pesaing. Meskipun mereka membeli merek pesaing, tetapi setelah penawaran promosi berakhir, seperti diskon, mereka akan kembali ke merek semula. Perpindahan sementara tersebut hanya bersifat memanfaatkan keuntungan yang ditawarkan oleh merek lain.

Proses evaluasi konsumen sangat menentukan tingkat motivasi pembelian ulang terhadap suatu merek. Motivasi tersebut akan menimbulkan keinginan pembelian ulang untuk memenuhi setiap kebutuhannya atau meningkatkan jumlah pembeliannya, dan menghasilkan komitmen untuk menggunakan kembali merek tersebut dimana keinginan

B. POSISI STUDI

Sub bab ini bertujuan untuk menjelaskan posisi studi penelitian yang dilakukan. Penelitian ini didesain dari penelitian terdahulu yag tersaji pada tabel II.1 berikut ini:

Tabel II.1 Penelitian Terdahulu

Peneliti/ Judul/Tahun

Model

Metode

Hasil Kumar, Kim dan

Pelton Indian consumers’ purchase behavior toward US versus local brands/ 2008

Keterangan : SC = Self Concept ; NFU = Need

For Uniqueness ; CI = Clothing Interest ; EV = Emotional Value ; PQ = Perceived Quality ; PI = Purchase Intention

Structu ral Equatio n Modeli ng (SEM)

Self Concept maupun NFU berpengaruh positif terhadap clothing interest. Clothing interest secara positif

mempengaruhi perceived quality dan emotional value untuk merek AS, tidak untuk merek lokal. Emotional value

ditemukan mempengaruhi purchase intention merek AS dan merek lokal. Namun, perceived quality tidak mempengaruhi purchase intention .

Kumar, Kim dan Lee/ Indian consumers’ brand equity toward a US and local apparel

Structu ral Equatio n Modeli ng (SEM)

Untuk sebuah merek pakaian AS, ada efek langsung

dan tidak langsung terhadap jenis kelamin konsumen India , need for uniqueness , dan sikap terhadap produk

SC

NF

CI

PQ

EV

PI

NFU

AT

PQ

BL

BA

Keterangan:

G = Gender ; NFU = Need For Uniqueness ; AT = Attitude Toward ; PQ = Perceived Quality ; BL = Brand Loyalty ; BA = Brand Associations

dimensi ekuitas merek: persepsi kualitas, loyalitas merek,

dan asosiasi merek dengan brand awareness . Untuk merek pakaian lokal, efek ini ditemukan hanya pada satu dimensi ekuitas merek yaitu persepsi kualitas.

Knight dan Kim/ Japanese consumers’ need for uniqueness Effects on brand perceptions and purchase intention/ 2006

Keterangan : NFU = Need For Uniqueness ; PQ

= Perceived Quality ; EV : Emotioanal Value ; PI : Purchase Intention

Structu ral Equatio n Modeli ng (SEM)

Need for uniqueness berbanding

terbalik dengan persepsi kualitas, sedangkan pilihan kreatif berkaitan positif dengan nilai emosional dalam persepsi merek pakaian AS. Persepsi kualitas menurunkan niat beli, sedangkan

nilai emosional meningkat niat beli.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kumar, Kim dan Lee (2010) di India menemukan bahwa ada efek langsung dan tidak langsung variabel need for uniqueness , sikap terhadap merek dan tiga dimensi ekuaitas merek terhadap gender konsumen. Disamping itu untuk merek lokal, efek ini hanya ditemukan pada satu dimensi ekuitas merek yaitu persepsi kualitas (perceived quality ) untuk variabel need for uniqueness dan sikap terhadap merek. Lebih lanjut penelitian dari Knight dan Kim (2006) menemukan bahwa variabel need for uniqueness yang diukur dari tiga dimensi yaitu creative choice, unpopular choice dan avoidance of similarity berbanding terbalik terhadap

NF

PQ

PI

EV

meningkatkan niat beli. Penelitian ini mengacu pada model penelitian Kim, Kumar dan Pelton (2008) yang meneliti tentang hubungan kausal antara self concept, need for uniqueness, clothing interest, perceived quality, emotional value dan purchase intention pada merek pakaian Amerika dan merek lokal. Penelitian ini mendesain ulang setting serta batasan penelitian yang disesuaikan dengan adanya fenomena generasi Y atau yang disebut juga kelompok umur remaja yang menyukai produk-produk distro. Purwokerto dipilih sebagai setting penelitian di Indonesia karena banyaknya factory outlet yang menjual produk distro. Dibandingkan penelitian terdahulu, penelitian ini membatasi sampel hanya dari kategori umur remaja dan objek penelitian berupa produk distro.

C. KERANGKA PEMIKIRAN

Penelitian membutuhkan pemecahan masalah yang dapat diarahkan oleh suatu kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran menunjukkan hubungan antara beberapa hal yang akan dibahas. Hubungan dari variabel yang akan diteliti dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar II.1 Model Penelitian Tentang Purchase Intention

Berdasarkan model di atas dapat diketahui bahwa penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan kausal antara self concept, product oriented variables (need for uniqueness dan clothing interest), dan brand specific variables (perceived quality dan emotional value) terhadap purchase intention . Terdapat 8 hipotesis dari hubungan variabel penelitian, self concept dan product oriented variables dengan brand perceptions, dimana akan mempengaruhi purchase intention. Brand perceptions dapat dilihat sebagai utilitarian (misalnya kualitas dan harga) maupun non-utilitarian (misalnya status, kekayaan dan prestise) (Batra et al., 2000). Brand perceptions dapat dipengaruhi oleh self concept, NFU (need for uniqueness), dan clothing interest.

H1 menunjukkan pengaruh self concept pada need for uniqueness. H2 menunjukkan pengaruh self concept pada clothing interest. H3 menunjukkan pengaruh need for uniqueness pada clothing interest. H4 menunjukkan pengaruh clothing interest pada emotional value. H5 menunjukkan pengaruh clothing interest pada perceived quality. H6 menunjukkan pengaruh clothing interest pada purchase intention. H7 menunjukkan pengaruh emotional value

Neef For Uniqueness

Purchase Intention

H1

H3

H5

H4 ]

H8

H6

purchase intention.

D. HIPOTESIS

1. Teen Market Indonesia sebagai Konsumen Global

Generasi Y atau teen market adalah generasi yang paling terdidik, menyukai perjalanan (traveling) dan teknologi canggih. Mereka tinggal di dunia komputer, internet, DVD dan ponsel (Crampton dan Hodge, 2009). Generasi Y merespon pemasaran berbeda dari orang tua mereka. Mereka kemungkinan besar akan lebih tertarik lewat media yang sering mereka gunakan, seperti internet dan televisi, dibandingkan dengan iklan tradisional dan komunikasi merek (Wilson dan Field, 2007). Pada saat masa ini terjadi banyak ketidakjelasan dalam diri, sehingga mereka merasa perlu untuk menemukan jati diri atau identitas diri. Adanya perubahan kepentingan atau preferences dalam memprioritaskan segala sesuatu, mulai dari pilihan aktivitas, teman, sampai pakaian karena dianggap sebagai salah satu syarat untuk diterima oleh kelompoknya (Solomon, 2004:501). Generasi Y sadar akan merek dan setia terhadap merek, karena overexposure media, dan ini menuntut sebuah merek yang relevan (Featherstone, 2007).

Self concept didefinisikan sebagai totalitas pikiran individu dan perasaan memiliki referensi untuk dirinya sebagai objek (Rosenberg, 1979:7) dalam (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Dengan kata lain, self concept adalah apa yang dipikirkan seseorang tentang dirinya sendiri dan juga termasuk persepsi global. Self concept dilihat dari beberapa dimensi seperti kemampuan seseorang, penampilan fisik, dan kepuasan hidup (Fournier, 2001; Sirgy, 1982). Persepsi tentang diri sering mempengaruhi cara individu bertindak dan tindakan ini dilakukan untuk mencocokkan dan / atau memperbaiki self concept mereka (Shavelson et al., 1976;. Tafarodi dan Swann, 2001).

Self concept dari individu telah dikaitkan dengan need for uniqueness (NFU) mereka. Berdasarkan gagasan psikologis dimana individu ingin melihat diri mereka sebagai seseorang yang berbeda dari orang lain, Fromkin (1970:521) dalam (Kumar, Kim dan Pelton, 2008) menyatakan bahwa individu-individu tertentu memiliki "keinginanan untuk mempunyai identitas diri" atau “keinginan untuk tampil beda” (NFU). Gagasan tentang diri tertanam dalam konsep NFU, yang dapat didukung oleh argumen beberapa peneliti yang menggunakan responden dari Amerika Serikat sebagai sampel mereka. Misalnya, Workman dan Kidd (2000) membuktikan bahwa ketika individu merasa terlalu mirip dengan orang lain, mereka akan mengambil tindakan untuk kembali individualitas dan keunikan/tampil Self concept dari individu telah dikaitkan dengan need for uniqueness (NFU) mereka. Berdasarkan gagasan psikologis dimana individu ingin melihat diri mereka sebagai seseorang yang berbeda dari orang lain, Fromkin (1970:521) dalam (Kumar, Kim dan Pelton, 2008) menyatakan bahwa individu-individu tertentu memiliki "keinginanan untuk mempunyai identitas diri" atau “keinginan untuk tampil beda” (NFU). Gagasan tentang diri tertanam dalam konsep NFU, yang dapat didukung oleh argumen beberapa peneliti yang menggunakan responden dari Amerika Serikat sebagai sampel mereka. Misalnya, Workman dan Kidd (2000) membuktikan bahwa ketika individu merasa terlalu mirip dengan orang lain, mereka akan mengambil tindakan untuk kembali individualitas dan keunikan/tampil

Fromkin (1970) menyatakan bahwa motivasi di balik NFU berasal dari evaluasi memuaskan diri sendiri. Ini berarti bahwa individu dengan NFU tinggi akan memiliki self concept rendah. Selanjutnya, Clark dan Goldsmith (2005) dalam penelitian mereka pada budaya individualistik (yaitu budaya Amerika), menunjukkan bahwa konsumen dengan self concept yang tinggi mungkin tidak merasa perlu untuk membedakan diri dari orang lain dalam produk mereka dan pilihan merek, sedangkan konsumen dengan self concept rendah mungkin memiliki kebutuhan untuk membedakan diri dari orang lain untuk mencapai evaluasi positif tentang diri mereka sendiri. Oleh karena itu, Clark dan Goldsmith mengusulkan hubungan negatif antara self concept dan NFU. Dalam memperluas logika ini untuk budaya kolektif, di mana individu melihat diri mereka sebagai bagian integral dari satu atau lebih kelompok, konsumen Indonesia dengan self concept yang tinggi mungkin merasa nyaman karena sesuai dengan norma-norma kelompok. Di sisi lain, mereka dengan self concept yang rendah mungkin merasa khawatir tentang diri mereka ketika sesuai dengan norma-norma kelompok. Sebuah tinjauan literatur yang relevan membawa ke hipotesis berikut: Fromkin (1970) menyatakan bahwa motivasi di balik NFU berasal dari evaluasi memuaskan diri sendiri. Ini berarti bahwa individu dengan NFU tinggi akan memiliki self concept rendah. Selanjutnya, Clark dan Goldsmith (2005) dalam penelitian mereka pada budaya individualistik (yaitu budaya Amerika), menunjukkan bahwa konsumen dengan self concept yang tinggi mungkin tidak merasa perlu untuk membedakan diri dari orang lain dalam produk mereka dan pilihan merek, sedangkan konsumen dengan self concept rendah mungkin memiliki kebutuhan untuk membedakan diri dari orang lain untuk mencapai evaluasi positif tentang diri mereka sendiri. Oleh karena itu, Clark dan Goldsmith mengusulkan hubungan negatif antara self concept dan NFU. Dalam memperluas logika ini untuk budaya kolektif, di mana individu melihat diri mereka sebagai bagian integral dari satu atau lebih kelompok, konsumen Indonesia dengan self concept yang tinggi mungkin merasa nyaman karena sesuai dengan norma-norma kelompok. Di sisi lain, mereka dengan self concept yang rendah mungkin merasa khawatir tentang diri mereka ketika sesuai dengan norma-norma kelompok. Sebuah tinjauan literatur yang relevan membawa ke hipotesis berikut:

3. Self Concept dan Clothing Interest