Politik hukum nasional dalam buku Dasar

1

POLITIK HUKUM NASIONAL

Politik hukum dalam buku Dasar-Dasar Politik Hukum tulisan Imam Syaukani dan A.
Ahsin Thohari ini, diartikan sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang
hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Nasional sendiri, adalah
wilayah berlakunya politik hukum itu, dalam konteks Indonesia, adalah wilayah kekuasaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga, politik hukum nasional adalah
kebijakan dasar penyelenggara Negara Republik Indonesia dalam bidang hukum yang akan,
sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk
mencapai tujuan Negara Republik Indonesia yang dicita-citakan. Dari sini, ada lima agenda
dan tahapan dalam politik hukum nasional, yaitu:
1. Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak;
2. Penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut;
3. Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku;
4. Proses pembentukan hukum; dan
5. Tujuan politik hukum nasional.
Politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal
Negara Republik Indonesia. Tujuan ini meliputi dua aspek yang saling berkaitan, yaitu:

1. Sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah
untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki; dan
2. Sistem hukum nasional itu akan digunakan untuk mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia yang lebih besar.

2

Dari paparan kebahasaan, definisi sistem yang dipakai dalam buku ini adalah
sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara
melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan,untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengolah data dan/atau energi dan/atau barang (benda) di dalam
jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi dan/atau energi dan/atau barang. Namun
perlu diingat, sesuatu dikatakan sistem atau bukan tergantung apakah ia memiliki tujuan,
punya batas, terbuka, tersusun dari subsistem, ada saling keterikatan dan saling tergantung,
merupakan suatu kebulatan yang utuh, melakukan kegiatan transformasi, ada mekanisme
kontrol, dan memiliki kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri sendiri. Dengan kata lain,
inti sistem adalah hubungan kebergantungan antar setiap bagian yang membentuk sistem
(interrelationship between parts).1
Hukum nasional sendiri adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang
didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD

19452 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita
rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Hukum nasional merupakan sistem hukum yang bersumber
dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Dengan kata
lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat
Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat
sejauh batas-batas nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.3

1 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm.
43
2 C. F. G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991),
hlm. 64.
3 Kodiran, “Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional”, dalam Artidjo Alkostar (ed.), Identitas
Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997), hlm. 87.

3

Pengertian ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah Indonesia. Setelah merdeka,
Bangsa Indonesia belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri, tetapi masih
memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang
kemudian, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme, peraturan perundang-undangan

itu mengalami proses nasionalisasi, seperti pergantian nama. Selain penggantian nama,
beberapa pasal yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang meredeka,
berdaulat, dan religius telah turut pula diganti dan ditambahkan yang baru.4
Pendekatan seperti ini, dalam jangka pendek sangat bermanfaat, karena dapat
menghindarkan terjadinya rechtsvacuum. Namun, dalam jangka panjang, upaya yang mirip
usaha tambal sulam atau transplantasi ini sebenarnya kurang efektif dan cenderung kontraproduktif bila terus menerus diberlakukan. Ini berdasarkan fakta bahwa upaya yang mirip
usaha tambal sulam atau transplantasi5 itu pada hakikatnya tidak mengubah watak dasar dari
hukum warisan kolonial itu yang cenderung represif, feodal, diskriminatif, dan individualistis,
sebagai salah satu upaya pihak penjajah untuk menekan kaum inlander. Karakteristik hukum
seperti ini jelas bertentangan dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi
kolektivisme, bila hukum dengan karakter seperti ini terus diberlakukan, maka bisa jadi akan
timbul penolakan atau setidaknya diabaikan oleh masyarakat.
Atas dasar pertimbangan tidak boleh adanya kekosongan hukum, Pasal 1 Aturan
Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa,
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
4 M. A. Jaspan, “Mencari Hukum Baru: Sinkretisme Hukum di Indonesia yang membingungkan”, dalam
Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1988), hlm. 250-251.
5 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM dan

HuMa, 2002), hlm. 250

4

Ketentuan ini memberikan legitimasi konstitusional bagi peraturan perundang-undangan
warisan kolonial untuk tetap berlaku, namun karena visi dan misi yang terkandung dalam
peraturan perundang-undangan warisan kolonial itu banyak bertentangan dengan tradisi dan
agama masyarakat. Atas dasar itu, upaya pembangunan hukum nasional menjadi mutlak
dilakukan.6
Sistem hukum nasional seyogyanya selain dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, dapat juga bersumber dari hukum lain, dengan syarat, tidak bertentangan dengan jiwa
Pancasila dan UUD 1945. Sehingga, identitas hukum nasional tetap bisa dipertahankan dan
secara bersamaan mengakomodasi budaya hukum lain yang baik, dan diharapkan dapat
membantu mempercepat proses pembangunan sistem hukum nasional itu sendiri.
Dalam rangka membangun sistem hukum nasional, pemerintah menetapkan kebijakan
untuk memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis di Indonesia, yaitu sistem hukum adat,
Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya. Pada era kolonial, ketiga sistem hukum itu
kerap diperhadapkan sebagai sistem-sistem hukum yang saling bermusuhan, kondisi ini terjadi
karena secara sengaja diciptakan oleh pihak penjajah. Busthanul Arifin mengatakan bahwa,
konflik-konflik hukum mengandung arti konflik-konflik nilai-nilai sosial budaya yang timbul

secara wajar. Kalau ada pertemuan antara dua atau lebih sistem nilai yang asing bagi suatu
masyarakat, akan selalu selesai dengan wajar. Karena setiap masyarakat mempunyai daya
serap dan daya penyesuaian terhadap konflik-konflik sistem nilai tersebut. Namun, bila
konflik sistem nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang secara artifisial, sesuai
dengan kebutuhan politik kolonial pada waktu itu, sulitlah menghapuskan konflik-konflik itu
secara memuaskan.
6 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 78.

5

Sampai sekarang pun, ada kecenderungan para ahli hukum mempertentangkan
ketiganya, bahkan mengunggulkan yang satu atas yang lain tanpa berusaha untuk mencari titik
temu. Dalam perspektif epistemologi, kita belum memiliki apa yang disebut sebagai ilmu
hukum nasional atau teorisasi hukum Indonesia, hal ini sesungguhnya kita perlukan sebagai
landasan teoritis untuk merumuskan dan menyusun hukum yang sesuai dengan karakteristik
bangsa Indonesia. Prof. Bernard Arief Sidharta mengusulkan, tatanan hukum nasional
Indonesia harus mengandung ciri:
1. Berwawasan kebangsaaan dan berwawasan nusantara;
2. Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis Kedaerahan dan
keyakinan keagamaan;

3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran,
rasionalitas kaidah dan rasionalitas nilai;
5. Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional
terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
6. Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun, haruslah:
1. Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konstitusional);
2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan
pembangunan dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan.
Philippe Nonet dan Philip Selznick menyebutkan bahwa politik hukum nasional
bertujuan menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis,

6

otonom, dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan
sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik. Bila kita
perhatikan, watak, karakter, dan sifat hukum itu tampak saling bertentangan. Ini menujukkan
bahwa pengaruh negara terhadap perumusan produk hukum sangat kuat. Diperlukan kerja

sama berbagai pihak (pemerintah, partai politik dan masyarakat) untuk mewujudkannya.
Dari sisi pemerintah atau negara misalnya, dalam realitas praksis, watak, karakter, dan
sifat sebuah produk hukum akan mempengaruhi pandangan orang terhadap hukum tersebut.
Negara yang paling berhak menentukan model hukum apa yang ingin diterapkannya. Realitas
ini akan membantu untuk melihat sejauhmana produk hukum itu, tentunya dengan ragam
watak, karakter dan sifatnya, yang paling memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Kembali pada pendapat Philippe Nonet dan Philip Selznick tentang hubungan antara
hukum dan penindasan. Menurut keduanya, masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan
yang bersifat menindas melalui hukum, berkaitan erat dengan masalah kemiskinan dan
sumber daya pada elit pemerintah. Biasanya, penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas,
terdapat pada masyarakat yang berada pada tahap pembentukan suatu tatanan politik tertentu.
Menurut keduanya, penggunaan kekuasaan dalam pembentukan hukum pada sebuah negara
bisa melahirkan dua karakter hukum yang bertolak belakang, yakni karakter hukum yang
menindas, atau sebaliknya, karakter hukum yang otonom.
Gagasan hukum menindas mengindikasikan bahwa setiap hukum merupakan keadilan
yang beku dan mempunyai potensi represif. Dalam hubungannya dengan kekuasaan, hukum
menindas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pranata-pranata hukum secara langsung disediakan bagi kekuasaan politik; hukum
diidentifikasikan dengan negara dan tunduk pada kepentingan negara;


7

2. Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari penegakkan hukum;
3. Alat-alat pengendalian khusus, seperti polisi, menjadi pusat kekuasaan yang bebas;
dan
4. Pelembagaan keadilan kelas.
Sumber lain dari hukum menindas adalah tuntutan atas penyesuaian budaya (cultural
conformity) yang menimbulkan kecenderungan-kecenderungan menghukum atas nama moral
dan nilai-nilai budaya.
Kemudian secara historis, sebagai hasil dari proses politik dalam suatu masyarakat,
terdapat dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya berimplikasi pada karakter
produk hukumnya, yaitu strategi pembangunan hukum ortodoks dan strategi pembangunan
hukum responsif.
Dalam strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara
(pemerintah dan parlemen) sangat dominan dan monopoli dalam menentukan arah
pembangunan hukum. Sebaliknya, pada strategi pembangunan hukum responsif yang
mempunyai peranan besar adalah lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok
sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
Konsekuensi kedua strategi itu masing-masing menghasilkan produk hukum yang
berbeda. Pada strategi pembangunan hukum ortodoks, hukum yang dihasilkan bersifat

positivis-instrumentalis, yaitu hukum yang berfungsi menjadi alat ampuh bagi pelaksanaan
ideologi dan program negara. Ini adalah perwujudan nyata visi sosial politik dari para pihak
yang memegang kekuasaan negara. Tradisi hukum kontinental (civil law) dan tradisi hukum
sosialis (socialist law) menganut strategi pembangunan hukum ini.

8

Pada strategi pembangunan hukum responsif akan menghasilkan hukum yang bersifat
responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu di dalam
masyarakatnya. Dan yang menganut model strategi pembangunan hukum ini adalah tradisi
hukum adat (Common law).
Pada perkembangannya, sejarah menunjukkan sebagian besar penerapan model-model
strategi pembangunan hukum tersebut merupakan hasil suatu proses politik. Sehingga,
penerapan strategi pembangunan hukum sangat bergantung dari hasil interaksi politik di
antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya,
Dari segi pemberlakuan, produk suatu hukum dibedakan menjadi dua jenis karakter,
yaitu hukum imperatif dan hukum fakultatif.
Hukum imperatif adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a apriori harus ditaati. Ia
mempunyai kekuatan untuk memaksa dan mengikat secara mutlak. Sedangkan hukum
fakultatif tidaklah secara a apriori harus ditaati atau tidaklah secara a apriori untuk dipatuhi,

melainkan sekedar melengkapi, subsider atau dispositif. Dalam hukum fakultatif masih
terdapat ruang pilihan untuk melakukan yang lain ataupun sama sekali tidak melakukannya.
Pada dasarnya, semua hukum memiliki kesamaan, yaitu bersifat memaksa dan mengatur
sekaligus, akan tetapi tingkat pemaksaan dan pengaturannya berbeda. Aturan-aturan dan
perintah tersebut mungkin tidak sesuai dengan keadaan, sehingga dimungkinkan adanya
pengecualian. Dalam kondisi semacam ini, perintah tersebut lebih banyak diartikan sebagai
petunjuk yang ditujukan kepada para penegak hukum daripada tertuju langsung kepada
pribadi-pribadi. Disinilah terdapat perbedaan mendasar, imperatif apabila perintah itu tertuju
kepada pribadi dan harus ditaati. Namun, apabila tertuju kepada para penegak hukum dan
perintah tersebut diartikan sebagai pedoman, sifat pemberlakuannya menajdi fakultatif. Selain

9

itu, pada umumnya hukum publik relatif bersifat imperatif, sedangkan hukum privat bersifat
fakultatif . Yang jelas, hukum yang secara luas dan mendalam berusaha mewujudkan keadilan
sejati bersifat imperatif apabila diperlukan bagi kepentingan umum, tapi untuk hal-hal tertentu
apabila tidak sejalan dengan keadaan nyata, ia bersifat fakultatif.
Dari sini dapat dilihat bahwa adanya keterkaitan erat antara negara dan hukum, terutama
dalam pilihan-pilihan hukum yang akan diberlakukan kepada masyarakat, namun sejauh mana
strategi tersebut efektif dalam menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat, tentu saja

sangat bergantung pada analisi masalah yang ada di lapangan.
Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa politik adalah termasuk aktivitas memilih
suatu tujuan sosial tertentu. Memilih suatu tujuan sosial tertentu berarti juga bicara tentang
pemikiran alternatif yang mungkin dapat kita lakukan guna mencapai suatu tujuan tertentu
tersebut. Politik hukum pun berbicara tentang menentukan hukum mana yang akan
diberlakukan dan dalam menentukannya, diperlukan strategi tertentu dan ragam pemikiran
alternatif agar proses pilihan hukum itu dapat berjalan lancar dan diterima oleh masyarakat,
sehingga diharapkan kemungkinan adanya penolakan masyarakat terhadap hukum yang akan
diberlakukan dapat dihindarkan. Oleh sebab itu, ada hubungan yang erat antara politik dan
hukum, terutama pada tataran tujuan. Kedua-duanya, dengan spesifikasi masing-masing,
mempunyai tujuan untuk menciptakan kondisi sosial tertentu, yang diharapkan sesuai dengan
apa yang dicita-citakan masyarakat.
Idealitas sistem hukum nasional tercantum dalam Pembukaan UUD 1945:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

10

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Posisi politik hukum nasional yang akan, sedang dan telah diberlakukan di wilayah
yurisdiksi Republik Indonesia sangatlah penting, karena politik hukum nasional dijadikan
sebagai pedoman dasar dalam proses penentuan nilai-nilai, penetapan, pembentukan, dan
pengembangan hukum di Indonesia. Hal ini berarti, baik secara normatif maupun praktis
fungsional, penyelenggara negara harus menjadikan politik hukum nasional sebagai acuan
pertama dan utama. Karena ini, politik hukum nasional harus dirumuskan pada sebuah
peraturan perundang-undangan yang bersifat mendasar, bukan pada sebuah peraturan
perundang-undangan yang bersifat teknis.
Mengenai letak rumusan politik hukum nasional harus merujuk kepada sumber hukum
dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 2 TAP
MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan, disebutkan bahwa tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara hierarkis
di Indonesia dan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur;
7. Peraturan Daerah.

11

Walaupun bersifat hierarkis, bukan berarti dalam perumusan dan penetapan suatu
peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau merupakan perincian teknis dari
peraturan perundang-undangan yang berada persis di atasnya. Penyusunan hierarki itu sematamata dalam rangka menyinkronkan atau menghindarkan konflik teknis pelaksanaan antara
satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Dengan
cara seperti inilah, sebuah atau lebih peraturan perundang-undangan diharapkan akan berjalan
sesuai dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut.
Berkaitan dengan posisi tertinggi UUD 1945 dalam tata urutan peraturan perundangundangan, terkait dengan fungsinya sebagai konstitusi negara. Pasal 3 ayat (1) TAP MPR
Nomor III/MPR/2000 menyebutkan,
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik
Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
Konstitusi adalah tempat atau sumber rujukan utama bagi proses perumusan dan
penetapan peraturan perundang-undangan yang lain.7
Posisi UUD 1945 sebagai hukum dasar itulah yang memberikan akibat hukum bahwa
setiap materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak
boleh bertentangan dengan materi-materi yang terdapat dalam UUD 1945 ( Pasal 4 ayat (2) ).
Hal ini terkait dengan salah satu fungsi konstitusi dalam suatu negara, yaitu sebagai a
politico-legal document, yakni dokumen politik dan hukum suatu negara yang berfungsi
sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum suatu negara. 8 Selain itu,
7 Kelsen, Hans, Pure Theory of Law [Reine Rechtslehre], English translation by Max Knight, (Berkeley and Los
Angeles, California: University of California Press, 1979), hlm. 222. Menurut Prof. Sri Soemantri, inti dari
konstitusi adalah adanya pembatasan kekuasaan yang meliputi tiga hal, yaitu: (1). Jaminan hak-hak asasi
manusia; (2). Susunan ketatanegaraan yang mendasar; dan (3). Aturan tugas dan wewenang dalam negara.
Martosoewignjo, Sri Soemantri, “Konstitusi serta Artinya untuk Negara” dalam Wahjono, Padmo, (ed.), Masalah
Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 9; Martosoewignjo, Sri
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 45.
8 Hence van Maarseveen menyebutkan, konstitusi bagi suatu negara mempunyai empat fungsi pokok, yaitu: (1).
A National Document, konstitusi berfungsi untuk menunjukkan kepada dunia dan menegaskan identitas negara;

12

James Buchanan menyatakan bahwa suatu konstitusi terdiri dari pranata peraturan yang tinggi
(higher order rules) atau peraturan-peraturan untuk membuat peraturan-peraturan di
bawahnya (rules for making rules).9
Dari penjelasan diatas, memberikan pemahaman bahwa UUD 1945 yang menentukan
garis besar, arah, isi dan bentuk hukum yang akan diberlakukan di Indonesia, sehingga politik
hukum nasional dalam pengertian sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam
bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan, dalam bentuk
tertulis dapat ditemukan dalam UUD 1945.
Permasalahan lain adalah, apakah mungkin ada peraturan perundang-undangan lain
yang dapat memuat pula rumusan politik hukum nasional? A. Hamid S. Attamimi
berpandangan bahwa apabila dilihat dari sisi lembaga pembuatnya, politik hukum nasional
dalam pengertian kebijakan dasar sebenarnya dapat ditemukan pula pada peraturan
perundang-undangan selain UUD 1945, yaitu dalam TAP MPR. Baik UUD 1945 maupun TAP
MPR keduanya dirumuskan oleh MPR, sebuah lembaga tertinggi negara yang merupakan
representasi dari kedaulatan rakyat. Sehingga, karena dirumuskan oleh lembaga tertinggi
negara yang sama, walaupun berdasarkan pada tata urutan peraturan perundang-undangan
UUD 1945 disebutkan lebih tinggi daripada TAP MPR, tapi keduanya berada dalam satu
jenjang yakni aturan dasar.10 Posisinya sebagai aturan atau norma dasar itu memperkenankan

(2). A Politico-Legal Document, konstitusi berfungsi sebagai dokumen politik dan hukum suatu negara; (3). A
Birth of Certificate, konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran suatu bangsa. Martosoewignjo, Sri Soemantri,
Undang-Undang Dasar 1945: Kedudukan dan Aspek-Aspek Perubahannya, (Bandung: Unpad Press, 2002), hlm.
17
9 John Ferejohn, Jack N. Rakove dan Jonathan Riley, (eds.), Constitutional Culture and Democratic Rule,
(Cambridge, Mass: Cambridge University Press, 2001), hlm. 17.
10 Attamimi, A. Hamid S. “UUD 1945-TAP MPR-Undang-undang”, dalam Wahjono, Padmo, (ed.), Masalah
Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 133

13

TAP MPR untuk dapat mengembangluaskan aturan dasar yang terdapat dalam UUD 1945
menjadi aturan dasar lain yang lebih jelas dan terperinci, yakni apabila aturan dasar itu
memerlukan kategorisasi dan interpretasi bagi pelaksanaannya. Dengan kata lain, rumusan
politik hukum nasional dapat juga ditemukan dalam TAP MPR, seperti dalam TAP MPR No.
IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, terutama BAB IV. Pada bab tersebut,
terdapat arah kebijakan bidang hukum yang terdiri dari 10 butir, yaitu:
1.

Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya
negara hukum.

2.

Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundangundangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk
ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
program legislasi.

3.

Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum,
keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.

4.

Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak
asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk
undang-undang.

5.

Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum,
termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan
masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana
hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.

14

6.

Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa
dan pihak manapun.

7.

Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan
perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan
kepentingan nasional.

8.

Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta
bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan
dan kebenaran.

9.

Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan,
penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.

10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak
asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Sepuluh butir arah kebijakan bidang hukum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
tersebut merupakan politik hukum nasional yang memuat secara komprehensif berbagai aspek
strategis yang harus dibenahi dan diberdayakan dalam rangka untuk mencapai tujuan
mewujudkan sebuah sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan
hak-hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran.
Ada satu kesimpulan yang menarik, apa yang kita anggap sebagai politik hukum
nasional tampaknya selalu berkaitan dengan sebuah rumusan hukum tertulis yang bersifat
umum, yang bila diaplikasikan bisa jadi akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum
yang sangat luar biasa.
Rumusan politik hukum nasional pun bisa saja tercantum dalam sebuah undang-undang.
Dalam Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi

15

Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, walaupun tidak
berskala nasional, kedua produk undang-undang tersebut telah mengubah hampir secara
keseluruhan tatanan hukum dan politik di Aceh, bahkan memberikan pengaruh yang tidak
sedikit terhadap Pemerintah Pusat.
Kedua undang-undang ini, disadari atau tidak, telah membuka jalan bagi proses
pluralisme hukum di Indonesia. Sesuatu yang sejak jaman Orde Baru sangat dihindari karena
dikhawatirkan dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan politik
hukum nasional yang dikembangkan saat itu adalah bahwa seluruh kepulauan nusantara
merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya satu hukum nasional yang mengabdi
kepada kepentingan nasional.11 Politik hukum nasional yang dikembangkan adalah politik
hukum unifikasi.12 Namun, dengan berlakunya penerapan syariat Islam melalui lembaga
Mahkamah Syar’iyah itu, tampaknya ide tentang satu kesatuan hukum (unifikasi)itu lamakelamaan akan kehilangan relevansinya atau runtuh dengan sendirinya. Kasus lain yang mirip
dengan Aceh adalah Propinsi Papua, di mana tradisi atau adat setempat akan pula diangkat
sebagai satu alat pemutus dalam kasus-kasus yang melibatkan masyarakat Papua.
Berdasarkan uraian diatas, rumusan politik hukum nasional dapat ditemui pada UUD
1945, TAP MPR, dan UU. Khusus untuk UU perlu diberikan catatan khusus, karena UU
sebenarnya lebih menekankan aspek teknis dibandingkan sebuah aturan umum yang perlu
dirinci lebih jauh. Artinya, tidak setiap UU mengandung politik hukum nasional, tetapi hanya
pada kasus-kasus tertentu.
11 Heru Susetyo, “Peluang Penerapan Hukum Islam dalam Perspektif Normatif dan Sosio-Politis” dalam
Jurnal Akses, Vol. 1 No. 1, Februari 2001, hlm. 57
12 Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional : Dinamika Sosial-Politik dalam
Perkembangan Hukum di Indoensia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994).

16

Dalam perkembangannya, produk hukum TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan tersebut telah diganti dengan
produk hukum yang sama sekali baru, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 10/2004). Undangundang ini dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum
nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku
dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundangundangan. Kedua, untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan
peraturan perundang-undangan, maka Negara Republik Indonesia sebagai negara yang
berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundangundangan. Ketiga, selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah
tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 20 ayat (1)
yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang , maka diperlukan undang-undang yang mengatur mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan
perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di daerah, sekaligus mengatur secara
lengkap dan terpadu, baik mengenai sistem, asas, jenis, dan materi muatan peraturan
perundang-undangan,

persiapan

pembahasan

penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat.

dan

pengesahan,

pengundangan

dan

17

Keberadaan UU 10/2004 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku
mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, serta untuk memenuhi
perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 13 dan Pasal
6 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan.14 Namun, UU 10/2004 tidak mengatur mengenai pembentukan
Undang-Undang Dasar, hal ini karena pembentukan konstitusi bukan termasuk ke dalam
kompetensi pembentuk Undang-undang ke bawah. UU 10/2004 khususnya dalam tahap
perencanaan, mengatur mengenai perlunya Program Legislasi Nasional dan Program Legislasi
Daerah dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan secara terencana, bertahap,
terarah dan terpadu.
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU
10/2004 adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden; dan
5. Peraturan Daerah.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga perubahan mendasar. Pertama, dihapuskannya dua
jenis peraturan perundang-undangan, yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Keputusan Presiden. Kedua, diperkenalkannya satu jenis peraturan perundang-undangan baru
13 Pasal 22A Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatakan,
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang- undang.”
14 Mengamanatkan bahwa,”Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas: a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhineka tunggal ika; g. Keadilan; h.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum dan/atau
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

18

yang sebelumnya tidak dikenal, yaitu Peraturan Presiden. Ketiga, jenis peraturan perundangundangan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang hierarkinya disejajarkan
dengan jenis peraturan perundang-undangan berupa Undang-undang.
Konsekuensi logis-yuridis setelah ditetapkannya UU 10/2004 adalah terjadinya
perubahan letak rumusan politik hukum nasional. Oleh karena itu, secara mutatis mutandis
dengan ditetapkannya UU 10/2004 maka rumusan politik hukum nasional dapat ditemukan
dalam dua jenis dengan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Mengenai keberadaan Undang-Undang, di dalam Pasal 8 UU 10/2004 menyatakan
bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang :
a.

Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang meliputi :
1.

hak-hak asasi manusia;

2.

hak dan kewajiban warga negara;

3.

pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara;

b.

4.

wilayah negara dan pembagian daerah;

5.

kewarganegaraan dan kependudukan; dan

6.

keuangan negara.

Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

Dengan materi muatan seperti itu, suatu Undang-Undang berisi ketentuan-ketentuan
yang mendasar dan merupakan pengaturan lebih lanjut atas ketentuan UUD 1945 atau

19

diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Oleh karena
itu, maka Undang-Undang juga mengandung materi muatan rumusan politik hukum nasional,
namun tidak setiap Undang-Undang mengandung materi muatan rumusan politik hukum
nasional. Undang-Undang yang mengandung materi muatan rumusan politik hukum nasional
adalah Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban
warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan dan
keuangan negara. Dengan demikian, Undang-undang yang keberadaannya diperintahkan oleh
suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang tidak mengandung materi muatan
rumusan politik hukum nasional karena hanya merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari materi
muatan Undang-Undang “induknya”. Oleh karena itu, Undang-undang yang keberadaannya
diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang juga bukan
merupakan kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum.
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang tersebut juga merupakan
materi muatan yang harus diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang juga mengandung materi
muatan rumusan politik hukum nasional. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan suatu produk hukum yang dapat merespon
secara cepat terhadap suatu keadaan yang dianggap genting dan mengharuskan tersedianya
penanganan yang absah secara yuridis tanpa menimbulkan gejolak dalam masyarakat.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang hadir menggantikan kedudukan Undang-

20

Undang yang karena suatu alasan tertentu, tidak atau belum mengatur persoalan yang
seharusnya diatur.
Dalam perkembangan berikutnya, produk hukum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004) telah diganti dengan
produk hukum baru, yaitu Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011). Dalam sistem hukum perundangundangan di Indonesia, kekuatan hukum yang diperoleh oleh suatu perundang-undangan
adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. Yang mana jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU 12/2011 adalah :
1.

UUD 1945;

2.

Ketetapan MPR;

3.

Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4.

Peraturan Pemerintah;

5.

Peraturan Presiden;

6.

Peraturan Daerah Provinsi;

7.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus melihat hierarki diatas. Tidak
satu hukum pun boleh bertentangan dengan hierarki ini. Apabila terjadi tumpang tindih
peraturan perundang-undangan yang ada ataupun materi muatannya yang bertentangan dengan
hierarki yang lebih tinggi maka, telah ada mekanisme evaluasi terhadapnya. Untuk peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka mekanisme pengujiannya
adalah dengan mengajukan permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sekiranya bertentangan dengan

21

undang-undang, maka mekanisme pengujiannya adalah pada kekuasaan Mahkamah Agung.
Walaupun bersifat hierarki, bukan berarti perumusan dan penetapan peraturan perundangundangan selalu bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ada persis diatasnya.
Penyusunan hierarki itu semata-mata dalam rangka menyinkronkan atau menghindari konflik
pelaksanaan antara satu aturan dengan aturan yang lain. Sehingga setiap peraturan perundangundangan diharapakan berjalan sesuai dengan tujuan dibuatnya peraturan perundangundangan tersebut.
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) sedangkan perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam Program
Legislasi Daerah (Prolegda). Tujuan dari Prolegnas dan Prolegda ini adalah dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional di Indonesia. Dengan adanya Prolegnas dan Prolegda ini
tidak berarti tidak dapat membuat suatu Rancangan Undang-Undang atau Raperda di luar
Prolegnas dan Prolegda tersebut. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden
dapat mengajukan RUU diluar Prolegnas untuk mengatasi keadaan luar biasa/konflik/bencana
alam atau keadaan tertentu lainnya yang terkait dengan urgensi nasional atas RUU tersebut.
Hal yang sama dengan Raperda, DPRD ataupun Gubernur dapat mengajukan Raperda diluar
Prolegda untuk mengatasi keadaan luar biasa/konflik/bencana alam, akibat adanya kerjasama
dengan pihak lain dan keadaan tertentu lainnya yang terkait dengan urgensi daerah atas
Raperda yang dapat disetujui bersama oleh alat Badan Legislasi Daerah dan Biro Hukum
Provinsi.
Terkait dengan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia harus
mencerminkan beberapa asas penting. Asas-asas tersebut adalah :15
15 Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU 12/2011

22

1.

Asas pengayoman, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundangundangan

harus

berfungsi

memberikan

perlindungan

untuk

menciptakan

ketentraman masyarakat.
2.

Asas kemanusiaan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap penduduk Indonesia secara proporsial.

3.

Asas kekeluargaan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundangundangan harusmencerminan musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.

4.

Asas kenusantaraan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundangundangan harus memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia, sekaligus
materi muatan yang peraturan perundang-undangan yang di daerah pun merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasil dan UUD 1945.

5.

Asas Bhinneka Tunggal Ika, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

6.

Asas Keadilan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

7.

Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu bahwa materi muatan setiap
peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau
status sosial.

23

8.

Asas ketertiban dan kepastian hukum, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan
perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.

9.

Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yaitu bahwa materi muatan setiap
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan
keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara.
Selain itu terdapat beberapa asas lainnya yang disesuaikan dengan bidang hukum
yang bersangkutan. Sebagaimana dalam hukum Pidana misalnya; asas legalitas,
asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga
tak bersalah. Sedangkan pada hukum perdata khususnya hukum perjanjian seperti,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas-asas tersebut wajib dianut
oleh pembentuk peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pembentukannya akan
memenuhi seluruh kaidah secara menyeluruh. Asas-asas tersebutlah yang menjadi pedoman
bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selain asas-asas tersebut,dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus
dilakukan dengan dasar adanya:
1.

Tujuan yang hendak dicapai dalam pembentukannya;

2.

Harus dibuat oleh lembaga yang tepat dan memang berwenang;

3.

Materi muatannya harus tepat dan sesuai dengan jenis dan hierarki;

4.

Efektifitas aplikasinya di dalam masyarakata baik secara sosiologis- filososfis
maupun yuridis;

24

5.

Benar-benar

dibutuhkan

dan

bermanfaat

dalam

mengatur

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
6.

Sistematika, pilihan kata bahkan istilah serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

penafsiran dalam

pelaksanaannya;
7.

Seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan partisipasi masyarakat secara langsung dalam sebuah rancangan
peraturan perundang-undangan telah dijamin dalam Undang-undang. Jaminan partisipasi
masyarakat diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan dan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dapat
dilakukan melalui rapat dengan pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan atau
seminar/lokakarya/diskusi.16 Masyarakat yang dimaksud adalah perseorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan PerundangUndangan. Begitupula setiap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat diakses
dengan mudah oleh masyarakat. Hal ini ada kaitannya dengan materi muatan peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana. Ketentuan pidana hanya boleh dimuat
dalam Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pemidanaan terkait dengan pembatasan hak asasi masyarakat, sehingga untuk membatasi hakhaknya perlu pendapat, pertimbangan dan masyarakat yang bersangkutan dilibatkan dalam

16 Pasal 96 ayat (1), (2), dan (3) UU 12/2011

25

proses pembentukkannya. Karena pada akhirnya, hak-hak masyarakat nantinya yang akan
dibatasi.
Untuk Materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang harus berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945, perintah sutatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang, pengesahan perjanjian internasional
tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan atau pemenuhan kebutuhan
hukum dalam masyarakat. Sedangkan materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang, begitu pula materi muatan Peraturan Presiden berisi materi
yang diperintahkan oleh undang-undang untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah atau untuk
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Demikian halnya dengan materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, materi muatannya
adalah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi daerah dan atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Dengan demikian, hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ditandai dengan
adanya perubahan masyarakat dan perubahannya tersebut sudah terarahkan atau diarahkan
guna tercapainya politik hukum di bidang hukum yang ditetapkan oleh pembentuk undangundang. Asas-asas hukum yang ada dan dirumuskan dalam bentuk salah satunya peraturan
perundang-undangan dapat dikatakan bermanfaat atau tidak ketika hukum dengan asasnya
tersebut di jalankan dengan benar atau tidak. Apabila di jalankan dengan tidak benar tentu
akan menimbulkan akibat buruk untuk masyarakat, dan ini jelas akan bertentangan dengan
tujuan negara. Sedangkan apabila di jalankan dengan benar maka peraturan perundang-

26

undangan dapat dikatakan bermanfaat bagi masyarakat sekaligus seiring dan sejalan dengan
tujuan negara.

Penyelenggara Negara dan Mekanisme Perumusan Politik Hukum Nasional
Kajian terhadap penyelenggara negara yang berwenang menurut konstitusi merumuskan
politik hukum nasional dan kajian mengenai mekanisme atau seluk-beluk penyusunan politik
hukum nasional, baik yang berkaitan dengan prosedur ataupun pihak-pihak yang turut serta
mempengaruhi proses perumusan politik hukum nasional akan membantu kita untuk
memahami faktor-faktor yang turut serta mempengaruhi karakteristik politik hukum nasional
suatu negara. Faktor-faktor ini bisa meliputi sejarah, geografi, tradisi lokal, konstelasi sosialpolitik, ekonomi, agama dan sebagainya. Belum lagi kelompok-kelompok yang digolongkan
dalam suprastruktur politik dan infrastruktur politik.
Dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
lembaga-lembaga negara yang dapat merumuskan politik hukum nasional adalah : (1). Majelis
Permusyarakatan Rakyat (MPR); dan (2). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MPR dapat
merumuskan politik hukum dalam bentuk Undang-Undang Dasar.17 Setelah Perubahan Ketiga
UUD 1945, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi hanya merupakan sidang
gabungan yang mempertemukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).18 Produk dari kedua lembaga yang bergabung dalam MPR, yang dituangkan
dalam penetapan atau perubahan UUD tersebut, merupakan politik hukum. Artinya, segala
17 Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
menyebutkan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar.”
18 Hal ini merupakan konsekuensi logis dari Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.” MPR tidak lagi sebagai penjelmaan seluruh rakyat, karena selain MPR ada
presiden yang juga merupakan pelaksana kedaulatan rakyat karena dipilih secara langsung oleh rakyat.

27

bentuk perubahan dan penetapan yang dilakukan oleh MPR terhadap UUD disebut sebagai
politik hukum, karena merupakan salah satu kebijaksanaan dasar dari penyelenggara negara
dan dimaksudkan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Sehingga, pasal-pasal yang terdapat dalam UUD adalah cetak biru (blue print) untuk
merealisasikan tujuan-tujuan negara.
Rumusan politik hukum dapat juga ditemukan dalam Ketetapan MPR yang merupakan
produk MPR, namun dalam Pasal I Aturan Tambahan Perubahan Keempat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa,
“Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap
materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil
putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.”
Hal ini mengindikasikan bahwa Ketetapan MPR kelak tidak dikenal lagi dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan Indonesia, yang kemudian dibuktikan dalam Pasal 7
ayat (1) UU 10/2004.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat merumuskan politik hukum dalam bentuk
undang-undang karena kedudukannya sebagai kekuasaan legislatif. Pasal 20 ayat (1)
Perubahan Pertama UUD 1945 menyebutkan,
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”
Pasal ini menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan dalam pembuatan undang-undang
yang semula menjadi kekuasaan presiden, kini berpindah ke DPR.19 Rumusan ini juga
diperkuat dengan ketentuan Pasal 20A Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyebutkan,
“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan.

19 Bandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan yang menyebutkan,
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

28

Sehingga, selain MPR, DPR juga memiliki peran yang sangat besar dalam rangka
membentuk cetak biru hukum nasional untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang dicitacitakan.
UUD sebagai produk MPR dan undang-undang sebagai produk DPR merupakan
aktualisasi dari kehendak-kehendak politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain-lain. Kehendak
seperti ini bisa datang dari berbagai kalangan.20 Kehendak-kehendak tersebut bisa muncul baik
pada tingkat suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. 21 Suprastruktur politik
Indonesia setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah sebagai berikut:
UUD 1945

MPR

BPK

DPD

DPR

Presidenn

KEKUASAAN KEHAKIMAN

KY

MK

MA

Infrastruktur politik Indonesia terdiri dari partai politik, kelompok kepentingan 22,
kelompok penekan23, alat komunikasi politik24, dan tokoh politik.25 Namun harus diingat,

20 Mahfud M. D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hlm. 7.
21 Martosoewignjo, Sri Soemantri, “Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan”, dalam
Artidjo Alkostar, (ed.), Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
1997), hlm. 239.
22 Yang dapat dikategorikan sebagai kelompok kepentingan adalah organisasi-organisasi profesi.
23 Yang dapat dikategorikan sebagai kelompok penekan adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat sebagai
bagian dari gerakan masyarakat sipil
24 Yang dimaksud adalah media massa, baik cetak maupun elektronik, yang dikatakan sebagai pilar keempat
demokrasi
25 Yang dimaksud adalah tokoh yang pendapat-pendapatnya mempunyai implikasi signifikan terhadap masa
depan bangsa dalam segala bidang yang akan dirumuskan dalam politik hukum nasional.

29

suprastruktur politik yang mempunyai kewenangan untuk merumuskan politik hukum hanya
MPR dan DPR saja.
Kehendak-kehendak baik yang bersifat politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain-lain,
yang muncul pada tingkat infrastruktur