Politik Hukum Islam KUltural Dalam UU Pe (1)

1

POLITIK HUKUM ISLAM KULTURAL DALAM
UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang memiliki penganut mayoritas di Indonesia
merupakan sebuah realita.2 Tentu saja hal tersebut tidak dapat terjadi seketika,
akan tetapi disinyalir ada beberapa penyebab yang melatarbelakanginya. Salah
satunya adalah adanya akulturasi budaya lokal Indonesia yang kental dengan adat
ketimuran dengan budaya Islam, yang boleh jadi dianggap memiliki corak atau
bahkan konsep yang tidak jauh berbeda, paling tidak dalam esensinya.3
Islam termasuk di dalamnya hukum4 dan politik sebagai konsep yang
terintegrasi dan dibangun berdasarkan agama Islam tentusaja harus mengikuti alur
yang diajarkan oleh Agama Islam yang bersumber dari dua sumber hukum utama
yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah. Dalam konsep keyakinan umat Islam, maka
konsep Islam harus dipercaya sebagai konsep yang terbaik dan solutif bagi
permasalahan dunia sepanjang zaman, karena karakter hukum Islam itu sendiri
dipastikan sesuai dengan berbagai zaman.5
1


Makalah ditulis oleh Nurjamil, NPM. 110120120042, PK. Hukum Bisnis, untuk memenuhi tugas akhir mata
kuliah Politik Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun Pelajaran
2012.
2

Jumlah warga negara Indonesia yang beragama Islam pada akhir tahun 2012 adalah, sekitar 84 % dari
keseluruhan jumalh penduduk Indonesia. Bandingkan dengan...
3

Sejarah mencatat paling tidak ada dua pendapat yang berbeda mengenai datangnya Islam di Indonesia.
Pertama Islam datang pada abad ke 7 H sebagaimana pendapat sejarawan muslim, dan kedua, Islam datang pada
abad ke 14 sebagaimana dikatakan oleh para sejarawan barat. Islam hadir dalam bentuk penerapan pendapat
madzhab fiqih, terutama yang dominan madzhab Imam Syafi’i. Bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Meretas
kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Ciputat Press, Tangerang, 2005, hlm.
27
4

Istilah Hukum Islam sama sekali tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, sebagai sumber hukum
utama agama Islam, yang ada adalah Hukum, Islam, Syari’ah dan Fiqh. Istilah hukum Islam, adalah istilah

untuk syariah dan fiqh yang diindonesiakan. Lihat idem, hlm. 25
5

Dalam tema hukum Islam yang diidentikan dengan dua istilah, yakni syariah; konsep yang sudah baku dan
tidak menerima tafsir, di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sendiri jumlahnya sedikit dan fiqh; konsep yang
fleksibel dan menerima interpretasi bahkan reinterpretasi disesuaikan dengan zaman tanpa meninggalkan
esensinya, jumlahnya dominan. Bandingkan dengan Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi

2

Dikarenakan karakternya yang fleksibel, dalam tataran praktik, tidak dapat
dipungkiri apabila kemudian muncul dua aliran besar mengenai konsep Islam itu
sendiri, termasuk di dalamnya pemkiran mengenai penerapan hukum Islam.
Pertama yaitu pandangan yang tekstual yang mengutamakan simbolik formal.
Islam menurut pandangan ini tidak cukup dilaksanakan oleh individu sebagai
ajaran agama, akan tetapi harus menjadi aturan resmi bahkan jika perlu Islam
menjadi simbol dan dasar negara. Dan kedua, golongan yang berpaham
konstekstual atau dikeal dengan Islam kultural, yang menginginkan hukum Islam
berlaku tetapi tidak mengutamakan simbol-simbol struktural. Menurut pandangan
ini, yang paling penting adalah sesensi dari ajaran Islam itu sendiri yang mewarnai

konsep sebuah aturan, tanpa harus menyertakan label Islam di luarnya.6
Dalam pandangan penulis, permasalahan yang muncul kemudian adalah
faktor pemahaman umat Islam Indonesia itu sendiri mengenai penerapan hukum
Islam dalam setiap aspek kehidupan. Penyebabnya boleh jadi karena belum
disadarinya hukum Islam sebagai konsep yang komprehensif. Kesyumulan
(komprehensif) hukum Islam dalam menjawab tantangan permasalahan dewasa
ini, masih banyak yang meragukan. Islam sering dibenturkan dengan kecanggihan
teknologi, dan banyak dikesankan kaku dan bahkan kuno. Bahkan berkaitan
dengan hukum, Islam sering dijustifikasi sebagai hukum yang bersebrangan
dengan konsep Hak Asasi Manusia.7
Perlu dicatat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sesungguhnya sangat dihargai dalam agama Islam. Dengan kata lain, yang

Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 11
6

7

Bandingkan dengan Munrokhim Misanam, et.all, Ekonomi Islam, Rajawali Perss, Jakarta, 2007, hlm. 13


Konsep HAM lahir setelah adanya sekularisasi atau pemisahan yurisdikasi greja dan raja pada abad ke 13 dan
14. Sehingga muncullah teori kontrak sosial yang memberikan formulasi bahwa raja atau pemerintah merupakan
perwakilan rakyat yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan untuk mengatur dan memenuhi kepentingan
masyarakat, termasuk di dalamnya masalah HAM. Lihat Moch. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 268

3

menjadi salah satu akar masalah mandegnya internalisasi konsep hukum Islam
(syari’ah)8 termasuk di dalamnya mengenai diberlakukannya hukum Islam dalam
lingkup yang lebih besar, yakni sistem hukum nasional, adalah dikarenakan
konsep hukum Islam merupakan satu hal yang masih asing bahkan bagi kalangan
umat Islam itu sendiri.
Dalam tataran sistem hukum nasional yang menggunakan konsep mix
system, artinya percampuran antara hukum aliran Eropa Kontinental (Civil Law),
hukum adat dan hukum Islam9, maka implementasi konsep-konsep Islam dalam
sebuah peraturan yang baku, mengikat dan memiliki daya paksa, yang diwujudkan
dalam bentuk sebuah peraturan perundang-undangan, seharusnya tidak menemui
kendala, alih-alih diyakini sebagai unsur pembentuk hukum yang mewarnai
hukum positif di Indonesia, baik dari sisi materi, budaya maupun struktur

hukumnya.10
Sekali lagi, Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena yang menjadi
sumber dalam pembentukan hukum, dalam hal ini lebih ditekankan dalam arti
undang-undang, adalah percampuran antara hukum adat lokal masyarakat
Indonesia, hukum Islam dan hukum peninggalan kolonial Belanda. Artinya secara
sadar, materi hukum Islam pada dasarnya diakui dan berlaku bagi penduduk yang
beragama Islam, bahkan sejak penjajahan kolonial Belanda.11
8

Lebih detail mengenai tema syari’ah dianggap sering dirancukan dengan tema serupa, yaitu; fiqih. Secara
cermat Moch. Mahfud MD membedakannya. Menurut Mahfud MD, syariah adalah hukum yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang sifatnya baku dan tidak diperkenankan untuk diubah, sementara fiqih sifatnya
lebih fleksibel, karena merupakan hukum yang bersumber dari hasil penafsiran atau ijtihad para ahli fiqih
(ulama/hakim).
9

Bandingkan dengan Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Rafika Aditama, Bandung,
2006, hlm. 31 sebagaimana dikutip dari Wayne R. Barnes, Contemplating A Civil Law Paradigm For a Future
International Commercial Code, Lousiana Law Review 677, 2005, hlm. 685.
10


Bandingkan dengan Moch. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Op.Cit, hlm.
5, dikutip dari Lawrence M. Firedman dalam bukunya A History of American Law, an Introduction, New York,
Simon and Schuster, 1973, bahwa unsur utama yang membentuk sistem hukum adalah materi hukum, struktur
dan budaya hukum.
11

Hukum Islam sesungguhnya sudah berlaku di Indonesia jauh sebelum Belanda bercokol dan menguasai
Indonesia. Bahkan ketika itu, syariah Islam diberlakukan bagi penganut agama Islam yang benar-benar seudah
paham mengenai hukum Islam, baik dalam bidang hukum perdata maupun pidana. Bandingkan dengan Amir

4

Sebagai penduduk mayoritas, tentunya umat Islam memiliki kepentingan
yang besar, agar konsep hukum Islam dapat menjadi aturan yang mengikat dan
kalau

perlu

berbentuk


sebuah

undang-undang.

Untuk

Indonesia

yang

penduduknya plural, perjuangan hukum Islam lebih dianjurkan untuk mengikuti
pola kultural dan mengesampingkan gerakan simbolik-formal. Yang paling perlu
diperjuangkan adalah nilai-nilai substantif ajaran Islam agar dapat mengakar kuat
dan bahkan menjadi unsur yang mewarnai materi sebuah peraturan perundangundangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang merupakan wujud
aspirasi penerapan prinsip-prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan
dan dianggap sebagai produk dari perjuangan politik hukum Islam kultural adalah
diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dari uraian di atas, kemudian yang menjadi pertanyaan besar bagi penulis
adalah mengenai pengaruh hukum Islam kultural tersebut terhadap arah kebijakan

politik hukum Islam di Indonesia sendiri. Dalam hal yang penulis anggap menarik
untuk ditelaah adalah mengenai bidang hukum perkawinan yang kemudian
penulis rangkum dalam makalah dengan judul Politik Hukum Islam Kultural
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pengaruh ajaran Islam kultural terhadap politik hukum Islam di
Indonesia?
2. Bagaimana arah kebijakan politik hukum Islam Indonesia dihubungkan
dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?

Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 22

5

Bab II
Islam Dan Politik; Suatu Telaah Perbandingan
A. Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?
Tema mengenai Politik di dalam Islam merupakan tema yag sangat penting
dan tetap menarik untuk didiskusikan. Secara konsep ternyata terjadi perdebatan
yang cukup panjang di antara cendekiawan muslin itu sendiri. Pendapat pertama

berpandangan bahwa Islam hanya merupakan hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, sehingga urusan duniawi termasuk politik di dalamnya merupakan
urusan yang terpisah dari agama. Golongan ini mengatakan bahwa “innad diina
syai-un wasiyasatu syai-un a-khar” artinya bahwa sesungguhnya agama adalah
suatu hal dan politik adalah suatu hal yang lain. Pendapat kedua mengatakan
bahwa Islam mempunyai konsep dan aturan yang lengkap, bukan hanya mengenai
hubungan antara manusia dengan Tuhannya tapi juga urusan manusia dengan
sesamanya, termasuk di dalamnya aturan berpolitik.12
Mengenai dua perbedaan pendapat di atas, penulis cenderung memiliki
pemikiran yang sama dengan pendapat kedua. Dalam pandangan penulis justru
letak lengkapnya konsep Islam itu terletak di sana. Sebaliknya ketika Islam
dipandang sebagai aturan yang terpisah dengan dunia, yang secara tegas
melebarkan jarak dengan politik, penulis melihat hal tersebut akan menjadi titik
kelemahan Islam itu sendiri. Saat ini dunia sedang sibuk dengan mempersempit
jarak dan sekat antar negara dengan adanya globalisasi yang melibatkan umat
Islam di dalamnya. Sebuah keniscayaan ternyata hubungan antar negara dan
bangsa tidak ddibatasi oleh perbedaan agama, budaya dan bahasa sekalipun. Jika

12


Bandingkan dengan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, PT. Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 5-6

6

demikian, bagaimana jadinya umat Islam jika menutupmata dari perkembangan
dunia.
Sekali lagi penulis cenderung mengatakan bahwa Islam secara jelas
mengatur bagaimana caranya berpolitik. Senada dengan pandangan penulis,
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy bahwa tata aturan Islam sesungguhnya
merupakan tata aturan yang bersipat politik dan bersipat agama. 13 Sebagai rujukan
beliau juga gambarkan mengenai sejarah pembentukan negara Islam di Madinah
oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya merupakan tata aturan yang
sangat kental dengan politik, yang dikenal dengan konsep syura..14
Sebagai catatan, ternyata sejarah politik Islam di kemudian hari juga
sangat dipengaruhi oleh warisan Romawi dan persia. Sebagaimana Rusjdi Ali
Muhammad mengatakan:15
“Dari kenyataan sejaharh, masa kira-kira 30 tahun pertama sejarah Islam
setelah wafat Nabi Muhammad saw, sejarah Islam tidak mengenal sistem
politik dinastik dan sistem kerajaan. Tetapi dalam perkemabangan lebih

lanjut, akibat kuatnya pengaruh warisan Romawi dan Persia sejak zaman
Khalifah Umayyah (tahun 661-749M), maka doktrin politik egaliter
tersebut terbenam di bawah pengaruh tersebut”.
B. Konsep Islam Tentang Politik dan Hukum
Berbicara tentang bagaimana konsep yang ditawarkan Islam mengenai
politik dan hukum tentu saja memerlukan waktu dan kesempatan yang lebih
khusus. Hal tersebut dikarenakan dua hal tersebut merupakan tema yang sangat
luas cakupannya, sehingga pada sub bab ini penulis hanya mendeskripsikan
beberapa hal yang menurut penulis dapat mewakili gambaran mengenai politik
dan hukum di dalam Islam.

13

Idem, hlm. 5

14

Sebagai contoh konkrit adalah proses pemilihan Abu Bakar r.a. sebagai khalifah selepas wafatnya Rasulullah
saw. Ketika itu diadakan pertemuan penting yang dihadiri oleh para tokoh dari berbagai klan atau kabilah untuk
membahas mengenai keadaan umat dan negara serta menentukan aturan pemilihan pemimpin yang akan
meneruskan kepemimpinan Rasulullah saw. Bandingkan dengan Idem, hlm. 7
15

Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju
Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2003, hlm. 15

7

Secara sederhana gambaran tentang politik atau dalam literatur keislaman
sering disebut dengan istilah siasah islam meliputi beberapa hal berikut16:
1. Siasah Islam menghormati eksistensi kemanusiaan dan akal sehat
(dasar-dasar dan prinsipnya sejalan dengan tata alamiah)
2. Siasah Islam merupakan sistem yang mutlak adil, tidak membedakan
manusia berdasarkan ras, keturunan, serta harta kekayaan dan
beranggapan bahwa semua manusia sama di hadapan hukum (equal
before the law).17
3. Siasah Islam konsisten dengan syarat-syarat seorang pemimpin yakni
kesatriaan,

kemuliaan,

keimanan,

ketakwaan,

kebersamaan,

kekeluargaan, dan pengalamannya dalam urusan agama dan dunia.
4. Siasah Islam merupakan bagian dari satu sistem yang menyeluruh dan
cara hidup yang total (kaafah).
5. Tidak ada tempat bagi pemikiran sekuler yang memisahkan dunia dari
agama. Siasah Islam adalah bagian dari agama.
Sementara berkaitan dengan hukum, pandangan umum hukum sering
diartikan sebagai kaidah atau norma yang hidup sebagai pedoman pergaulan di
dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan sanksi dan
diterapkan oleh lembaga yang berwenang sebagai aturan yang mengikat. Artinya
kaidah yang belum diterapkan oleh lembaga yang berwenang (seperti parlemen)
secara kategoris tidak disebut hukum, meskipun secara harfiah sering disebut
hukum.
Senada dengan hal di atas, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, ciri yang
menonjol hukum yang “murni”, yaitu dibuat secara sengaja oleh suatu badan

16

17

Abu Ridha, Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?, Syamil Cipta Media, Bandung, 2004, hlm. 53-58

Praktik penegakkan hukum Islam dalam suasana masyarakat yang heterogen dan dijalankan dengan sempurna
dapat dirujuk ketika Rasulullah saw membuat sebuah perjanjian yang dikenal dengan “Piagam Madinah” yang
memberikan aturan hidup bagi masyarakat Islam pendatang (muhajirin) dan penduduk asli Madinah (anshar)
serta masyarakat yahudi yang bersedia untuk tunduk di bawah pemerintahan Islam dengan diberikan kebebasan
sepenuhnya dalam menjalankan ritual agama mereka. Lihat Rusjdi Ali Muhammad, Op.Cit, hlm. 49

8

perlengkapan dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan
penciptaan dan pembuatan hukum itu.18
Menurut Mahfud MD, Hal yang mendasari pemikiran tentang hukum,
adalah adanya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat yang menciptakan
ketertiban. Dasar pemikiran tersebut digambarkan dalam adagium “ubi societas
ibi ius”, yang artinya “di mana ada masyarakat di sana ada hukum”. Dari adagium
tersebut jelas, bahwa hukum hanya ada di tengah-tengah masyarakat, sehingga
jika orang hidup sendiri (meskipun tidak mungkin) maka hukum dapat dikatakan
tidak ada. Orang menjadi terikat pada hukum karena dia hidup dengan orang lain
yang mempunyai kepentingan masing-masing. Dalam menaati hukum, adagium
tersebut, ternyata masih memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan
pelanggaran, apabila merasa hidup sendiri atau merasa perbuatannya tidak
diketahui oleh orang lain 19
Dalam konsep Islam, hukum itu ada tanpa harus seseorang hidup dengan
orang lain. Meskipun seumpamanya orang hidup sendiri, hukum itu ada karena
hukum diberlakukan sebagai alat kontrol dan pengatur hidup seseorang sebagai
khalifah baik ketika berhubungan dengan manusia lain, maupun hubungannya
pribadinya dengan Tuhan. Dengan prinsip seperti itu, ketaatan seseorang dituntut
untuk selalu konsisten, kapan dan dimanapun ia berada karena selalu merasa
diawasi Tuhan, sekalipun tidak ada orang yang mengetahui.
C. Antara Islam Struktural dan Islam Kultural; Sebuah Kajian Perbandingan

Penerapan hukum Islam dengan segala konsepnya20 sejak islam berkuasa
dimulai dengan didirikannya negara Islam di madinah sampai dengan runtuhnya

18

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke 6, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 15

19

Mahfud MD, Op.Cit, hlm.

20

Konsep yang dimaksud adalah penerapan hukum Islam dalam bentuk syari’ah dan fikih. Syariah memiliki
sejarah yang singkat, yaitu ketika Nabi memulai dakwahnya di Mekah dan di Madinah, kurang lebih 23 tahun.
Sedangkan fikih berkembang sejak masa kenabian sampai sekarang. Bandingkan dengan M. Khoirul Anam,
Islam, Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, Inisiasi Press, 2004, hlm. 165.

9

Islam setelah perang salib, sampai saat ini telah mengalami pasang surut.
Penerapannya di negara-negara tertentu seperti, Iran, Arab Saudi, Yordania,
Malaysia dan Indonesia telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan
aplikasi tanpa meninggalkan esensi. Hal tersebut dikarenakan sejak awal konsep
mengenai politik dan hukum Islam itu sendiri telah berbeda, antara Islam yang
tekstual dan kontekstual.
Dilihat dari penerapan hukum Islam, dalam membumikan hukum Islam itu
sendiri, tampaknya di Indonesia belakangan semakin mengkrucut menjadi dua
gerakan. Yang pertama, gerakan formal-struktural, biasanya disebut Islam politik
atau Islam struktural. Gerakan ini memperjuangkan Islam menjadi simbol atau
wadah formal dalam organisasi negara, mulai dari bentuk yang paling tinggi,
yakni mernjadi negara Islam sampai menjadikan hukum Islam resmi seperti
Undang-Undang atau Kanun. Yang kedua, gerakan Islam kultural yang
menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai substantif tanpa melibatkan simbol
Islam dan tidak mengharuskan berdirinya negara Islam atau memformalkan
hukum Islam melalui kekuasaan negara.21
Penulis secara pribadi melihat kedua gerakan tersebut mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing yang di saat yang bersamaan akan
dapat saling melengkapi dan pada kesempatan yang berbeda mempunyai nilai
efektifitas tersendiri. Konteks keIndonesiaan sebagaimana disinggung di awal,
ternyata lebih tepat apabila memilih gerakan yang kedua (Islam kultural) sebagai
kendaraan untuk menerapkan hukum Islam.

21

Bandingkan dengan Mahfud MD, Op. Cit. Hlm...

10

Bab III
UU Perkawinan Sebagai Formalisasi Hukum Islam
A. Hukum Islam di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah
Pada masa penjajahan Belanda, sesungguhnya hukum Islam sudah berlaku
di Indonesia berdasarkan pada dua teori, yakni teori Receptie in Complexu yang
dikemukakan oleh Lodewijke Willem Cristian Van den Berg (1845-1927) yang
dalam tahun 1884 menulis buku Muhammadan Recht (asas-asas hukum Islam),
yang intinya menyatakan bahwa “hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam
Bumi Putra walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan”22.
Pendapat ini sesuai dengan Reegering Reglement (Stb 1884 No.129 di
negeri Belanda jo. Stb 1885 No.2 di Indonesia, terutama diatur dalam pasal 75,
pasal 78, jo Pasal 109 RR tersebut). Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur : “
apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama
Islam oleh Hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam Gonsdienting
Wetten dan kebiasaan mereka”.23
Kemudian terdapat teori receptie yang menentang teori receptie in
complexu yang di kemukakan oleh Christian Snouck Hoergronje (1857-1936)
yang menyatakan Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila
telah memenuhi 2 syarat yaitu : pertama, Norma hukum Islam harus diterima
terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat), kedua,
22

Idris Ramulyo. Asas-asas Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 1997. hlm 54

23

ibid

11

kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan kaidah hukum Islam itu
juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh
ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.24
Secara tegas sejak berdirinya negara Indonesia dinatyatkan bahwa
Indoensia adalah negara hukum yang berdasarkan konstitusi UUD 1945. Bukan
negara sekuler, bukan pula negara Islam. Sebagai bukti konkrit, dapat dipahami
bahwa hukum yang berlaku di Indonesia terdiri tidak terlepas dari tiga sumber
hukum utama, yakni; pertama, hukum barat yang merupakan hukum peninggalan
penjajahan Belanda yang di berlakukan di Indonesia berdasarkan Pasal II aturan
peralihan. Kedua, hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan Al-hadits
diberlakukan

karena mayoritas rakyat di Indonesia beragama Islam. Ketiga

hukum adat, di dalam UUD 1945 negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
B. Sejarah Singkat Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sebagai masyarakat mayoritas, telah lama umat Islam di Indonesia ingin
memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa
penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa
kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat
terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk mendeskripsikan mengenai sejarah lahirnya undang-undang
perkawinan tersebut, paling tidak ada empat masa yang dilalui, yakni:
1. Masa Kerajaan Islam di Indonesia

24

Ibid.

12

Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah
menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah
melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.25
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.26 Kemudian pada abad ke 15
dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti
Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. 27 Fungsi
memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para
pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam
bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum
keluarga/perkawinan.28 Sementara itu, di bagian timur Indonesia
berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan
lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.29

2. Masa Penjajahan di Indonesia
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie
(VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di
25

Bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Op.cit. hlm. 43

26

Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 53

27

Hamka, Idem, hlm. 145

28

Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta,
1996, hlm. 70
29

Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Balai Pustaka Departemen
Pendidikan dam Kebudayaan, Jakarta, 1984, hlm. 197.

13

masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa
VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda
menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer,
mengikuti nama penghimpunnya.30 Kemudian membuat kumpulan
hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon,
Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). 31 Ketika pemerintahan
VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah
terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25
Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah
Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun
mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir
penjajah.32
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda
menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat
(onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokokpokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami
dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau
menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh

30

Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm.

11
31

Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, Majalah Pembangunan No
2 Tahun ke XII, Maret 1982, hlm. 101.
32

Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Yayasan Idayu, Jakarta,
1981, hlm. 9-10

14

hakim.33 Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya
diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam
dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan
ordonansi tersebut ditolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi
mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3. Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan
upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan
UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk
bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang
tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang
ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut
selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang
belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang
berpoligami,

mengusahakan

perdamaian

bagi

pasangan

yang

bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anakanaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN
mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.34
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen,
mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan
dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya
Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum
33

Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1992, hlm 77
34

Idem, hlm. 78-79

15

Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah
(PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan
pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.35
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam
mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei
1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asasasas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di
Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada
tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia
bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan
monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami
dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum
usia calon pengantin.36
4. Masa Menjelang Kelahiran UU Perkawinan
Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak
rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU
Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan
rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang
Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur
dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali

35

Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran
Gender, dalam Perspektif Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, Jakarta,
2000, hlm. 53.
36

R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia,
Universitas Airlangga Press, Surabaya, 1988, hlm. 18

16

kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada
tahun 1973.37
5. Pemberlakuan UU Perkawinan
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili
Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR
menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari
1974,

Presiden

mengesahkan

Undang-Undang

tersebut

dan

diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2
Januari 1974.
Dalam pandangan penulis dengan diberlakukannya UU
Perkawinan

tersebut,

jelas

merupakan

bagian

penting

dalam

perjuangan umat Islam di Indonesia untuk formalisasi hukum Islam
menjadi sebuah aturan tertulis yang memiliki kekuatan mengikat dan
berlaku umum karena berlaku dalam bentuk undang-undang.

\
Bab IV
Politi Hukum Islam Kultural Dalam UU Perkawinan
A. Pengaruh Ajaran Islam Kultural Terhadap Politik Hukum Islam di
Indonesia
Melihat kenyataan
B. Arah Kebijakan Politik Hukum Islam Indonesia Dalam UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
Politik sebagaimana yang dimaksud oleh Van Der Tas yaitu beleid
(kebijakan). Apabila dikaitkan dengan politik hukum, penulis cenderung
memahaminya sebagai sebuah bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah
atau lembaga negara yang mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan
tersebut sebagai sebuah kebijakan yang menentukan arah berkehidupan suatu

37

Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Rajawali, Bandung, 1983, hlm. 98

17

bangsa. Bentuk nyata yang paling kental dengan hal tersebut adalah
diundangkannya sebuah undang-undang.
Sebagaimana disinggung di awal, bahwa undang-undang perkawinan
merupakan salah satu produk perundang-undangan yang disinyalir sangat kuat
dipenagruhi oleh aspirasi umat Islam di Indonesia, bahkan perjalanan sejarah
telah merekam begitu panjang proses awal sampai lahirnya undang-undang
perkawinan pada tahun 1974.
Ketika politik hukum diartikan sebagai arah kebijakan negara, dalam
hal ini berkaitan dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, penulis melihat bahwa arah kebijakan yang dimaksud adalah
mengakomodir aspirasi umat Islam yang kebetulan mayoritas memilih faham
madzhab syafi’i dan diwujudkan dalam satu bentuk perundang-undangan.
Harapannya tentu saja agar nilai-nilai Islam yang sudah sejak lama mewarnai
cara berhukumnya orang Indonesia, kemudian dapat memiliki ketegasan dan
pengakuan dari negara. Dengan begitu perjuangan umat Islam, yang dalam
porsi tertentu mengharuskan diberlakukannya hukum islam, paling tidak satu
demi satu dapat terwujud walaupun dengan tetap memperhatikan konteks
keIndonsiaan yang dikenal multi agama, etnik dan budaya..
Bab V
Penutup
A. Simpulan
1. Ajaran Islam kulutral mempunyai pengaruh yang sangat besar dan
dianggap cukup tepat dalam memberi bentuk corak politik hukum
Islam di Indonesia yang bersifat heterogen
2. Arah kebijakan politik hukum Islam di Indonesia dihubungkan dengan
diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sangat
kental terlihat dengan dimasukannya materi fiqih islam terutama fiqih
madzhab Syafi’i hampir dalam seluruh pasal undang-undang tersebut.

18

B. Saran

Daftar Pustaka
Abu Ridha, Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?, Syamil Cipta Media, Bandung, 2004.
Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, Ciputat Press, Tangerang, 2005.
Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema
Insani Press, Jakarta, 1996.
Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975.
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Rajawali, Bandung, 1983.
Demko, George D. and Wood, William B., Reordering the World, Geopolitical Perspectives
on the 21st Century, Westviewpress, United States of America, 1999.
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Rafika Aditama, Bandung, 2006.
Idris Ramulyo. Asas-asas Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 1997.
Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, Lembaga Bantuan
Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, Jakarta, 2000.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999
Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Balai Pustaka
Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, Jakarta, 1984.
Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Yayasan
Idayu, Jakarta, 1981.
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1992.
Misanam, Munrokhim, , et.all, Ekonomi Islam, Rajawali Perss, Jakarta, 2007.
Moch. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2010.

19

Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, Majalah
Pembangunan No 2 Tahun ke XII, Maret 1982.
M. Khoirul Anam, Islam, Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, Inisiasi
Press, 2004
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan
Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam,
Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2003.
R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, Universitas Airlangga Press, Surabaya, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke 6, Alumni, Bandung, 2006.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, PT. Pustaka Rizki
Putra, Semarang, 2002.