124142728 hukum pemilu dalam islam

Ma'had Adz-Dzikr
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepada kita iman dan Islam,
semoga shalawat serta salam selalu kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, shahabat dan orang-orang yang selalu mempelajari, mengamalkan, dan
menda’wahkan sunnah-sunnah beliau hingga yaumil akhir nanti.
Tidak lama lagi kita akan melaksanakan suatu pesta demokrasi, yang mana ini
akan menentukan nasib umat Islam di Indonesia, yaitu Pemilihan Umum. Tetapi sebagian
dari kaum muslimin, menganggap ini hanya sekedar kegiatan politik saja, meskipun kita
mengikutinya pasti keadaan akan tetap saja tidak ada perubahan, karena begitu banyak
para politisi yang mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Tetapi disisi lain, ada
juga sebagian dari mereka enggan mengikuti pemilu dikarenakan demokrasi dengan
segala perangkatnya adalah suatu sistem politik modern dari Barat – yang nota bene
orang kafir – yang mana ini adalah suatu bentuk tasyabbuh, kesyirikan. Sehingga dengan
demikan merekapun mengharamkannya, tanpa melihat sejarah, latar belakang dan fakta
di negara Republik Indonesia dimana orang-orang diluar Islam terutama Kristen, selalu
berusaha untuk “menghabisi” setiap sendi kehidupan umat Islam melalui Parlemen.
Bahkan saat ini mereka sedang menyusun, bahkan bukan tidak mungkin telah
melaksanakan, suatu proyek yang diantara mereka dikenal sebagai proyek Yusuf 2004,
suatu proyek untuk menjadikan Presiden Negara Republik Indonesia dari orang kristen.
Dari sinilah kita mencoba untuk menganalisa pembahasan ini menjadi beberapa

bagian pertama : pengertian pemilu ditinjau dari sudut ilmu politik; bagian kedua : sistem
pengangkatan khalifah pemimpin dalam Islam; bagian ketiga : hukum pemilu; bagian
keempat : kesimpulan.
Melalui tulisan ini penulis tidak mencoba untuk membantah perkataan para
ulama, tetapi mencoba untuk memberikan suatu tinjauan yang objektif, yang mana
pembahasan ini dipandang dari sudut sejarah, latar belakang, dan dalil yang
mengharamkan pemilu, dengan membandingkannya dengan sejarah perkembangan
tumbuhnya agama Islam sampai saat ini dan fakta-fakta yang ada di Indonesia, dan
kemudian kita mencoba untuk memberikan konklusi. Semoga Allah swt memberikan
hidayah dan inayah-Nya. Amin

1

Ma'had Adz-Dzikr
BAB I
PEMILU
A

Definisi
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan

kedaulatan rakyat1 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 19452.
B
Sistem – sistem Pemilihan
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi
umunya berkisar pada 2 prinsip pokok, yaitu :
1.
single-member constituency (satu daerah memilih atau wakil; biasanya
disebut Sistem Distrik). Sistem yang mendasarkan pada kesatuan geografis. Jadi
setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah
yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.
Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya :
a.
Kurang memperhitungkan adanya partai kecil dan
golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa
distrik.
b.
Kurang representatif dalam arti bahwa calon yang
kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya.
Disamping itu sistem ini juga mempunyai kelebihan, antara lain :

a.
Wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga
hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat.
b.
Lebih mendorong kearah integrasi partai-partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Mendorong partaipartai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan
kerjasama.
c.
Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai
yang mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan meningkatkan
stabilitas nasional
d.
Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan
2.
multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa
wakil; biasanya dinamakan Proportional Representation atau Sistem Perwakilan
Berimbang). Gagasan pokok dari sistem ini adalah bahwa jumlah kursi yang
diperoleh oleh sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara
yang diperolehnya.
Sistem ini ada beberapa kelemahan :

a.
Mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai
baru
1

Tentang kedaulatan rakyat – atau kalau boleh dikatakan suatu bentuk demokrasi, yaitu suatu bentuk
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat – sebagian orang memandang, itu adalah suatu sistem dari barat,
sehingga haram suatu pemerintahan yang mayoritas penduduknya muslim menggunakannya. Sebenarnya
hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Karena memang ada diantara nilai-nilai demokrasi yang sama dengan
nilai-nilai yang ada di dalam Islam. Sebenarnya hal ini butuh penjelasan yang panjang tapi insyaAllah, pada
makalah ini akan disinggung sedikit tentang demokrasi itu sendiri.
2
Undang-undang Politik 2003, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, hal 35.

2

Ma'had Adz-Dzikr
b.

Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan

kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya
c.
Mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena
umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua-partai atau lebih.
Disamping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan besar,
yaitu bahwa dia bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut
diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang.3
Di Indonesia pada pemilu kali ini, tidak memakai salah satu dari kedua macam sistem
pemilihan diatas, tetapi merupakan kombinasi dari keduanya.
Hal ini terlihat pada satu sisi menggunakan sistem distrik, antara lain pada Bab VII
pasal 65 tentang tata cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota dimana setiap partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan
calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30%4.
Disamping itu juga menggunakan sistem berimbang, hal ini terdapat pada Bab V
pasal 49 tentang Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota dimana :
Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan :
a.

Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1000.000 (satu juta)
jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;
b.
Provinsi dengan julam penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai
dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (lima puluh lima) kursi;
c.
Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan
5.000.000 (lima juta) jiwa mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;
d.
Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.000 (lima juta) sampai dengan
7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;
e.
Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan
9.000.000 (sembilan juta) jiwa mendapat 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f.
Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.000 (sembilan juta) sampai
dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi;
g.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta)
jiwa mendapat 100 (seratus) kursi.5


3

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal. 177
Undang-undang Politik 2003, UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, hal. 64
5
ibid, hal 58
4

3

Ma'had Adz-Dzikr

BAB II
TATA CARA PEMILIHAN PEMIMPIN DALAM ISLAM
A
1.

Masa Khulafaur Rasyidin
Abu Bakar As-Shiddiq

Semasa hidupnya Rasulullah tidak pernah menunjuk siapakah penggantinya,
kecuali meminta Abu Bakar menjadi imam shalat ketika kesehatannya terganggu. 6
Imam Suyuthi ketika menjelaskan tentang isyarat kekhalifahan Abu Bakar, beliau
membawakan hadits yang diriwayakan oleh Bukhari dan Muslim, dari shahabat
Jubair bin Muth’im dari ayahnya dia berkata,”Seorang wanita datang kepada
Rasulullah, kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk kembali kepadanya.”
Wanita itu berkata,’Bagaimana jika saya datang dan tidak mendapatkan engkau
wahai Rasulullah?’-dia seakan-akan mengatakan jika engkau meninggalRasulullah bersabda,’Jika kau tidak mendapatkan aku, maka temuilah Abu
Bakar.’7
Ketika dalam keadaan kevakuman kepemimpinan, maka keesokan harinya, tanpa
direncanakan sebelumnya diadakan pertemuan di Saqifah, di Balai Pertemuan
Sa’idah. Karena dilangsungkan secara mendadak, banyak shahabat senior yang
tidak hadir, seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf,
Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidah. Dalam
pertemuan itu, terjadi perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin, siapakah
diantara mereka yang layak menjadi pengganti Rasul. Kemudian datanglah Abu
Bakar dan Umar, dan Abu Ubadah bin Jarrrah mencemaskan timbulnya
perpecahan diantara kaum muslimin. Singkat cerita, akhirnya Abu Bakar-lah yang
paling layak dibai’at sebagai pemimpin, melihat keutamaan-keutamaan beliau ra.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Abu Bakar berusaha konsisten dengan

sistem yang berlaku pada masa hidup Rasulullah. Masa kekhalifahan beliau
berlangsung selama 2 tahun, 11-13 H atau 632-634 M, dalam usia 63 tahun.8
Keabsahan pengangkatan Abu Bakar ini untuk menduduki jabatan sebagai Imam
(Khalifah Rasul pertama), menurut al-Baqillani, didasarkan kepada keabsahan
kontrak yang dibuat oleh orang-orang yang berkompeten dan bai’at diberikan
kepadanya oleh semua shahabat.9 Peristiwa pengangkatan Abu Bakar sebagai
khalifah digunakan sebagai dalil oleh Al-Mawardi untuk menolak pendapat yang
mengharuskan keikutsertaan mayoritas ahlul-halli wal ‘aqdi dari seluruh negeri.10
Sebelumnya wafatnya, ia sempat meminta pendapat para shahabat senior tentang
orang yang paling tepat menggantikannya sebagai khalifah karena ia tidak
menginginkan terjadinya perpecahan umat. Para shahabat yang diajak
berkonsultasi adalah Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, sedangkan dari

6

Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, hal. 100
Imam As-Suyuthi membawakan kurang lebih 31 Hadist yang mengisyaratkan adanya kekhalifahan Abu
Bakar, meskipun hadist-hadist yang dibawakan oleh beliau tidak menunjukkan secara eksplisit. Imam AsSuyuthi, Tarikh Khulafa’, hal. 67
8
Abdul Azis Thaba, op cit, hal. 100, 102

9
Jimly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, hal. 36-37
10
Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, hal. 19
7

4

Ma'had Adz-Dzikr
kaum Anshar adalah Usaid bin Khudair11, Sa’id bin Zaid dan yang lain-lain dari
kalangan Muhajirin dan Anshar. Setelah berkonsultasi, maka Abu Bakar
menyuruh Usman untuk menulis wasiat tentang kekhalifahan Umar, dan
menyetempelnya lalu menyuruhnya keluar dengan membawa kertas wasiat yang
telah diberi stempel.12
2.
Umar bin Khattab
Khalifah Umar bin Khattab ditunjuk menjadi khalifah melalui tastemen (wasiat)
yang diberikan khalifah Abu Bakar sebelum ia wafat. Penunjukkan Umar sebagai
khalifah menurut al-Baqillani sah dan bijaksana karena 3 alasan :
a.

Karena motivasinya baik dan tidak diragukan
b.
Pilihan kepada Umar merupakan pilihan yang logis, karena tidak
ada orang lain yang lebih tepat untuk menduduki jabatan khalifah setelah Abu
Bakar, selain Umar bin Khattab13
c.
Tindakan memberikan wasiat kekuasaan kepada penggantinya itu
secara hukum adalah sah, karena hal itu diambil oleh Abu Bakar selaku
khalifah yang berwenang untuk mengambil tindakan demikian.14
Umar menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun, dari 13 H-23 H (634-644 M).
Dalam masa pemerintahannya, ia berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan
imperium Romawi dan Persia, seperti Suriah, Persia, Mesir dan Palestina, serta
membebaskan Baitul Maqdis dari pendudukan Romawi. Karena wilayah
kekuasaan Islam semakin luas, maka pemerintahannya dilengkapi dengan
lengkapi lembaga-lembaga politik, dengan tugas antara lain mengatur hubungan
antara daerah taklukan dan pemerintah pusat. Bangunan dasar negara Islam sudah
mulai dilembagakan, yang kemudian dikembangkan oleh pemerintahan Dinasti
Umayyah.15
Dalam pemerintahannya, Umar membuat kebijakan-kebijakan baru yang belum
pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw dan zaman pemerintahan Abu Bakar.
Dia yang pertama kali mendirikan Baitul Mal, yang pertama kali mengawasi
kondisi rakyat pada malam hari, yang pertama kali memberi hukuman kepada
orang yang menghujat, yang membangun kantor-kantor administrasi. Umar juga
11
12

Abdul Azis Thaba, op cit, hal. 102
Imam As-Suyuthi, op. cit, hal. 88-89

13

Menurut Abdul Azis Thaba, pengangkatan Umar sebagai khalifah dianggap tepat karena pada saat itu
negara masih diancam perpecahan dan tindak pengkhianatan. Sedang dari pihak luar, datang ancaman dari
imperium dari Romawi dan Persia. op.cit hal 103. Hal ini juga didukung dengan hadits-hadits yang
mengisyaratkan keutamaan-keutamaan Abu Bakar yang digandengkan dengan keutamaan Umar, sebagai
contoh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra. berkata,”Ketika Umar telah
diletakkan diatas balai-balainya dan dikerumuni orang-orang yang mensholatkannya dan mendo’akan
sebelum diangkat jenazahnya, maka tiada suatu yang mengejutkanku melainkan adanya orang yang
memegang bahuku dari belakang, tiba-tiba Ali yang mendo’akan Umar lalu berkata,’Anda tiada
meninggalkan seorang yang aku ingin untuk menghadap Allah dengan amalnya seperti anda, demi Allah
aku telah mengira bahwa Allah akan menempatkan anda bersama kedua kawanmu yaitu Nabi saw dan Abu
Bakar, juga aku sering mendengar Nabi saw bersabda,’Aku pergi bersama Abu Bakar dan Umar, masuk
bersama Abu Bakar dan Umar, dan keluar bersama Abu Bakar ra dan Umar ra’. Muhammad Fuad Abdul
Baqi’, Al-Lu’lu’ wal Marjan. (Terjemahan) hadits no. 1545. lihat juga dalam Tarikh Khulafa’ Imam AsSuyuthi, hal. 53-57.
14
Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal. 37.
15
Abdul AT, op.cit, hal. 103

5

Ma'had Adz-Dzikr
membuat lumbung yang didalamnya disimpan tepung gandum, anggur kering
(kismis) dan semua bahan logistik yang diperlukan. Dengan lumbung ini dia
membantu orang-orang yang kehabisan bekal diperjalanan. Dia membangun
lumbung itu diantara Makkah dan Madinah yang gampang diambil oleh orang
yang membutuhkannya.16
Ketika akan melakukan shalat, Umar berkata,”Luruskan shaf kalian!” sebelum
mengangkat tangan untuk takbiratul ikram, Abu Lu’luah datang dan berdiri di
shaf terdepan yang dekat dengan Umar. Dia menikam Umar di bagian pundak dan
lambungnya.17 Umar meninggal dunia setelah dirawat beberapa hari akibat
tikaman dipunggung.18
Ketika Umar ingin dikuburkan di dekat shahabatnya (Rasulullah saw dan Abu
Bakar ra), dan Aisyah pun meluluskannya, orang-orang yang hadir di tempat itu
berkata,”Berwasiatlah wahai Amirul Mukminin dan tentukan siapa penggantimu.”
Umar berkata,”Saya tidak melihat seorangpun yang lebih berhak untuk
memangku khalifah ini daripada orang-orang yang Rasulullah ridha saat dia
meninggal dunia.”19, dan tanpa hak suara.20
Menurut Umar, mekanisme pemilihan khalifah adalah sebagai berikut :
a.
Formatur ini sudah harus memilih seorang khalifah paling lama tiga hari
setelah Umar meninggal dunia.
b.
Penentuan khalifah harus melalui musyawarah,21 dan berbahagialah bila
mereka menyepakati satu nama.
c.
Jika 4-5 orang menyepakati sebuah nama, sedangkan 1-2 orang yang lain
menolak dan ia tidak bisa disadarkan, maka hendaknya semua
menyadarkannya.
16

Imam As-Suyuthi, op.cit, hal. 158
ibid, hal. 154
18
Abdul AT, op.cit, hal. 103-104
19
Imam As-Suyuthi, op.cit, hal. 155
20
Abdul Azis Thaba, op.cit, hal 104, Imam As-Suyuthi, op.cit, hal 156. Syaikh Abu Nashr Muhammad bn
Abdillah al-Imam memberikan tambahan berkenan dengan proses musyawarah yang dilakukan
Abdurrahman bin Auf, berikut penjelasannya :”Adapun tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf
dengan para wanita, maka kalian hendaknya menyimak penjelasan perkara tersebut. Kisah ini (proses
musyawarah Abdurrahman bin Auf – pen.) dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari sebagaimana
termuat dalam Fathul Bari’ jilid 7/61. beliau tidak menyebut tentang musyawarahnya Abdurrahman bin
Auf dengan wanita…kisah ini benar dan shahih sebagaimana disebutkan disini, juga disebutkan oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari’ 7/69 dan Adz-Dzahabi dalam Tarikh Islam hal. 303 dan Ibnu Atsir dalam AtTarikh jilid 3/36 dan Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tarikhul Umam wal Muluk 4/231. Dan tidak satupun dari
mereka yang menyebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan kaum wanita.
Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan kaum lelaki. Sebagaimana dikatakan Al-Hafizh,
bahwa beliau pada malam tersebut berkeliling kepada para shahabat (laki-laki) dan tokoh-tokoh yang masih
ada di Madinah dan semua mereka condong kepada Utsman…Ibnu Katsir telah menyebutkan dalam AlBidayah wan Nihayah tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan para wanita, namun kisah ini
semuanya tanpa sanad. Lihat Syaikh Muhammad bin Abdillah al-Imam, Menggugat Demokrasi dan Pemilu
Menyingkap Borok-Borok Pemilu dan Membantah Para Pemujanya, hal. 229
21
Ketika selesai pemakaman Umar bin Khattab ra., keenam orang anggota formatur itu berkumpul
mengadakan musyawarah. Abdurrahman bin Auf berkata,”Jadikanlah urusan kalian pada tiga orang!”
maksudnya ajukan calon khalifah sebanyak tiga orang. Zubair berkata,”Saya serahkan khalifah ini kepada
Ali.” Sa’ad berkata,”Saya limpahkan masalah ini kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdullah bin Umar
berkata,”Kemudian tiga orang – Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan – itu
berunding melakukan musyawarah.” Lihat Imam As-Suyuthi, op.cit, hal. 156
17

6

Ma'had Adz-Dzikr
d.

Jika suara berimbang (tiga lawan tiga), mereka harus menanyakan
pemecahannya kepada Abdullah bin Umar. Siapapun yang didukung oleh
Abdullah bin Umar, dialah yang menjadi khalifah.
e.
Jika mereka berkehendak untuk tidak mengikutsertakan Abdullah bin
Umar, maka calon yang dipilih oleh kelompok Abdurrahman bin Auf lah yang
harus diterima. Bila ada yang menentang, maka hendaknya dia dibunuh.22
3.
Utsman bin Affan
Khalifah Utsman bin Affan dipilih oleh Majelis Permusyawaratan atau Dewan
Perwakilan yang terdiri dari 6 (enam) anggota yang ditetapkan oleh Khalifah
Umar.23 Masa pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun, yaitu 23 H-35 H
atau 644-656 M.24
Tetapi pemilihan Utsman sebagai khalifah menimbulkan kelompok pembangkang,
seperti gerakan separatis Irak dan Mesir. Hal ini disebabkan :
a.
Kepemimpinannya lemah. Pada saat terpilih, usianya 70 tahun. Padahal,
pada waktu itu situasi sedang bergejolak dan dibutuhkan seorang pemimpin
yang kuat dan berwibawa.
b.
Utsman sering mendelegasikan tugas-tugasnya kepada orang lain. Ia
sendiri lebih banyak beribadah dan kurang mempedulikan urusan duniawi.
c.
Berlangsungnya praktek nepotisme, yaitu penyerahan banyak jabatan
penting kepada anggota keluarganya. Pertimbangannya adalah ia sudah
mengenal orang yang bersangkutan, dan keyakinannya bahwa anggota
keluarga yang diangkatnya tidak akan mencemarkan nama baiknya. Tetapi
kemudian ternyata bahwa ia keliru.
Utsman meninggal secara menyedihkan. Ia dikepung oleh para pemberontak dan
para penentangnya selama berhari-hari. Pada itulah di Madinah tidak ada pasukan
yang siap, dan rumahnya tidak dijaga oleh pengawal khusus. Para pemberontak
lalu masuk ke dalam rumahnya dan membunuhnya.25
4.
Ali bin Abi Thalib
Pada saat khalifah Utsman meninggal beliau tidak sempat menunjuk
penggantinya. Setelah ia meninggal dunia, para pemberontak yang dipimpin oleh
Abdullah bin Saba’ menuju rumah Ali, diikuti oleh orang banyak. Mereka
berkata,”Kami akan membai’atmu sebagai khalifah”.Ali menolak,”Bukan hak
kalian untuk menunjukku. Itu hak para ahli musyawarah dan orang yang ikut
dalam perang Badar. Siapa yang direstuinya, dialah yang menjadi khalifah.”
Massa bersikeras memaksakan kehendaknya. Akhirnya, Ali mengusulkan supaya
pembaiatan dilakukan di masjid, supaya umat Islam menyaksikannya, tetapi usul
ini ditolak. Secara tiba-tiba, kaum Muhajirin dan Anshar, diikuti oleh semua yang
hadir, melakukan pembaiatan secara terbuka.26
22

Abdul AT, op.cit, hal. 104.
Jimly Asshiddiqie, op.cit.
24
Abdul AT, op.cit, hal. 105
25
Ibid, lihat kisah selngkapnya di Tarikh Khulafa’nya Imam Suyuthi hal. 180-191dan buku sejarah yang
lain, yang menceritakan kehidupan para khalifah.
26
Abdul AT,op.cit, hal. 106. Bandingkan dengan Imam As-Suyuthi, op.cit. hal 201-205. Menurut Jimly
Asshiddiqie peralihan kekuasaan pada periode Ali bin Abi Thalib disebut sebagai model revolusi, karena
sebelum pengangkatan Ali sebagai khalifah didahului dengan peristiwa pemberontakan berdarah, yang
menewaskan khalifah Utsman. op.cit, hal. 37
23

7

Ma'had Adz-Dzikr
Keadaan para shahabat waktu itu beragam. Ada yang menuntut darah Utsman, ada
yang tawaqquf dan memilih mengasingkan diri. Dan ada pula yang mendukung
kebijaksanaan Ali. Sebenarnya fihak-fihak yang yang menuntut darah Ali terdiri
dari 2 fihak, yaitu : satu fihak terdiri dari Muawiyah sebagai wali dari Utsman
(dari bani Umayyah untuk menuntut qishash) dan Amr bin Ash beserta dukungan
dari penduduk Syam terhadap mereka. Fihak lain terdiri dari Ummul Mukminin
Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Yang mana Thalhah dan Zubair disuruh untuk
berbaiat secara paksa oleh pembunuh Utsman, dan Aisyah sendiri menyesal
karena perbedaan ijtihad antara dia dengan Utsman ternyata disebarluaskan.
Sehingga terjadi fitnah dan berakhir dengan pembunuhan Usman bin Affan.27
Para shahabat yang waktu itu belum berbaiat, mengajukan 2 alasan : (1) Ali harus
bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman,28 (2) Hak untuk memilih khalifah
bukan lagi monopoli orang-orang Madinah mengingat semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam. Akhirnya terjadilah peristiwa perang Jamal yang kemudian
dilanjutnya dengan perang Shiffin.
Sementara pemerintahan Ali masih bergulat dengan berbagai pemberontakan,
Muawiyah kembali mengusai Irak. Bulan Mei 660 M, bertempat di Yerusalem, ia
menyatakan diri sebagai khalifah. Sebelum ia sempat memadamkan
pemberontakan ini, Ali terbunuh pada tanggal 24 Januari 661 M sehingga
berakhirlah era Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya, Muawiyah diterima sebagai
khalifah, hampir tanpa perlawanan berarti. Hasan, putra Ali, yang menggantikan
kedudukan ayahnya, juga tidak memberikan perlawanan. Dengan demikian,
dimulailah era bani Umayyah, pada tahun 661 M.29
B

Masa Sesudah Khulafaur Rasyidin
Pemerintahan bani Umayyah berlangsung tahun 611-750 M. Pendirinya, Muawiyah
berhasil membangun pola kepemimpinannya yang cerdik. Dengan berkuasanya
dinasti ini, maka terjadi banyak perubahan dalam sistem ketatanegaraan Islam, antara
lain :
1.
Pemilihan khalifah berdasarkan baiat dihapuskan, diganti oleh sistem
dinasti berdasarkan keturunan dengan prinsip pewarisan.
2.
Jabatan khalifah menjadi sakral. Khalifah berkuasa karena “ditunjuk” Allah,
maka pertanggungjawaban khalifahpun diberikan kepada Allah, bukan kepada
rakyat.
3.
Nepotisme berdasarkan kesukuan dan keluarga, merajalela.
Setelah dinasti Umayyah jatuh, maka digantikan oleh dinasti bani Abbasiyah.
Beberapa perubahan dilakukan oleh penguasa Abbasiyah, antara lain :
1.
terjadi perkembangan jabatan wazir yang merupakan gabungan jabatan
perdana menteri dan kepala pelayanan sosial. Diperkenalkan pula gelar khalifah
2.
komposisi ketentaraan diubah. Anggotanya tidak lagi direkrut dari orangorang Khurasan, tetapi dari berbagai suku. Mereka diberi gaji, bukan lagi dibayar
dengan menggunakan rampasan perang.30

27

makalah pengajian Teori Politik Islam, Sebuah Pengantar, oleh Kautsar Amru, hal. 24-26
dalam arti mencari siapakah sebenarnya pembunuh Usman
29
Abdul AT, op.cit, hal 106
30
lihat sebab-sebab jatuhnya dinasti bani Umayyah di Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hal. 107108
28

8

Ma'had Adz-Dzikr
Jadi didalam proses pengangkatan didalam Islam terdapat berbagai macam cara, antara
lain :
1.
Pengangkatan langsung, dengan berlandaskan pada pengangkatan Abu
Bakar ra., yang mana semua sepakat akan keutamaan beliau.
2.
Pemberian wasiat, tetapi terlebih dahulu dilakukan pertimbangan akan
calon khalifah yang akan diberikan wasiat, dengan berdasar pada pemberian wasiat
Abu Bakar ra. kepada Umar bin Khattab ra. al-Mawardi memberikan syarat dalam
proses pengangkatan dengan cara pemberian wasiat, yaitu dengan adanya kerelaan
hati bagi sang penerima wasiat.31
3.
Pembentukan tim formatur (ahlul hal wal aqdi), yang terdiri dari
orang-orang yang berkompeten, dalam hal keilmuan maupun akhlaq, yang
beranggotakan 6 orang. Didasarkan pada pemilihan Utsman bin Affan ra. sebagai
khalifah.
4.
Revolusi (pemberontakan bersenjata), hal ini dilakukan jika telah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Cara ini tidak bisa dilegalkan jika kepala negara
masih dalam statusnya sebagai seorang muslim. Dan cara ini tidak dapat disandarkan
kepada kisah pengangkatan Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, karena waktu itu
status beliau adalah karena memang tidak adanya seorang pemimpin. Yang mana
konsekuensinya ada proses pengangkatan pemimpin yang lain, yaitu
5.
dengan mengisi masa kekosongan kepemimpinan.

31

untuk lebih jelasnya baca Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam karya AlMawardi, hal. 25-35

9

Ma'had Adz-Dzikr
BAB III
HUKUM PEMILU
Sebelum kita mengetahui hukum pemilu dalam syariat Islam, ada baiknya kita
melihat pandangan para Ulama terhadap pemilu. Dalam hal ini, ada tiga pandangan :
1.
Melarang secara mutlak. Seperti Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh
Muhammad bin Hadi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Aqil, Syaikh
Muqbil bin Hadi dan muridnya Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam.
2.
Membolehkan memilih jika menghadapi bahaya yang lebih besar, yaitu
berkuasanya musuh-musuh Islam dengan memilih partai yang paling ringan
bahayanya bagi kaum muslimin. Seperti Syaikh Al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh
Abdul Muhsin Al-Abbad dan lain-lain.
3.
Membolehkan memilih jika diperintahkan oleh penguasa. Tentunya dengan
memilih yang paling ringan bahayanya bagi kaum muslimin. Keterangan Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili.32
4.
Membolehkan mengikuti pemilu dengan alasan :
a.
Hal itu sudah pernah dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara
sederhana dan keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)
b.
Bolehnya mengambil sistem lain (selain sistem Islam) selama tidak
berlawanan dengan Islam
c.
Pemilu sebagai sarana penegakan hukum dan jaminan dalam pelaksanaan
hukum
d.
Pemilu sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran yang bersifat global
e.
Pemilu sebagai perkara yang perlu pembuktian dalil (istidlal)dan tidak
sekedar perkara yang jelas dan dapat dipahami oleh umum (badihiyat)
f.
Pemilu sebagai sarana memelihara Adh-dharuriyat Al-Khamsah (Pokok
Tujuan Syariah yang lima).
g.
Hal itu telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an dalam kisahnya Nabi Yusuf
AS.
Yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Abdul Karim Zaidan (Pakar Fiqh, Ushul
Fiqh dari Irak), Syaikh Abdul Majid Az-Zindani (Pakar Siyasah Islamiyah dan Rektor
Universitas Al-Iman Shan’a Yaman) dan Syaikh Al Faqih Muhammad Yusuf Harbah
(Salah seorang murid Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).
5.
Membolehkan mengikuti pemilu dan parlemen dengan syarat dengan
pemahaman yang benar, menginginkan tegaknya Al-Haq, Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar dan tidak semata-mata ambisi pribadi. Seperti pendapat Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Al Muhaddits Ahmad Muhammad Syakir (Ahli
Hadits sebelum Syaikh Al-Albani).33
Dari sini secara sekilas dapat kita dapat kita ringkas ada tiga pendapat :pertama : ada
ulama yang melarang secara mutlak, kedua : membolehkan secara mutlak , ketiga :
membolehkan tetapi dengan syarat-syarat yang ada karena adanya suatu hal-hal yang
menuntut dilaksanakannya pemilihan umum.
32

Majalah Salafy No.33/1420H/1999M
Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul Majid Az-Zindani,dan Syaikh Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu
dan Parpol dalam Perpektif Syariah.
33

10

Ma'had Adz-Dzikr
A

Pendapat Pertama : mereka melarang secara mutlak mengikuti pemilu karena
dilihat dari 2 sisi : pertama dari substansi pemilu itu sendiri, kedua akibat-akibat
dari pelaksanaan pemilu
1.
Dari substansi pemilu.
a.
Syirik kepada Allah
b.
Menuhankan mayoritas manusia
c.
Menuduh syariat tidak lengkap
d.
Meremehkan masalah Al-Wala’ wal Bara’
e.
Tunduk kepada Undang-undang sekuler
f.
Mengelabui kaum muslimin
g.
Memberi label syar’i terhadap demokrasi
h.
Membantu orang-orang Yahudi dan Nasrani
i.
Menyelisihi cara Rasul didalam menghadapi musuh
j.
Pemilu merupakan sarana yang diharamkan.
2.
Dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari pemilu :
a.
memecah belah persatuan kaum muslimin dan ukhuwah islamiyah
b.
fanatisme dan membela golongan atau partai
c.
memberi rekomendasi menurut kepentingan partai
d.
calon pejabat mencari keridhaan rakyat/massa kadang dengan kepalsuan
dan kelicikan
e.
menyia-nyiakan waktu, harta dan kerja dengan slogan, janji kosong dan
koalisi semu
f.
mementingkan kuantitas dan kursi dan tidak peduli dengan kualitas dan
aqidah
g.
calon pejabat terfitnah oleh harta
h.
menerima calon tanpa syarat, keadilan dan ilmu yang syar’i khususnya
mengabaikan aqidah dan mengangkat perempuan menjadi penguasa
i.
menyalahgunakan nash-nash syar’i dengan menamakan sesuatu dengan
cara yang salah
j.
tidak mengikuti rambu-rambu syar’i dalam memberi kesaksian
k.
menghadiri tempat kedustaan dan bekerja sama dalam dosa dan
permusuhan
l.
prinsip persamaan yang tidak syar’i
m.
fitnah gambar dan wanita
n.
memberikan peluang dan loyal kepada minoritas Yahudi dan Nashrani
serta lainnya untuk bisa mencapai puncak kekuasaan
o.
mempersulit manusia dalam pekerjaan dan rizki mereka
p.
pemecatan penguasa setelah berlalunya masa yang ditetapkan oleh UU34

34

Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam, Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Semua
argumen dari pendapat pertama penulis ambil dari kitab ini, karena menurut penulis kitab ini paling
komprehensif dalam memaparkan 45 argumen borok pemilu. Penulis mengadakan peringkasan disana-sini
pada argumen yang hampir sama. Walau sebenarnya masih ada 2 alasan yang belum dimasukkan, hal ini
disebabkan 2 alasan tersebut tidak relevan untuk dipakai sebagai dalil pengharaman pemilu. Yaitu (1)
keluar/memberontak kepada penguasa muslim, (2) tidak mau mendengar dan taat kepada pemerintah dalam
perkara yang baik. Alasan (1) Menurut beliau, demokrasi membolehkan penentang penguasa muslim
dengan 2 cara, yaitu pemberontakan/kudeta dan pemilihan pemimpin secara langsung. Menurut penulis ini
tidak relevan karena justru demokrasi/pemilu adalah sarana agar tidak terjadi pemberontakan (2) Menurut
beliau, demokrasi tegak diatas prinsip pembolehan untuk tidak taat terhadap pemerintah, kecuali bila

11

Ma'had Adz-Dzikr
B

Pendapat kedua : mereka membolehkan secara mutlak, karena :
1.
Hal itu sudah pernah dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara
sederhana35 dan keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)36
2.
Bolehnya mengambil sistem lain (selain sistem Islam) selama tidak
berlawanan dengan Islam
3.
Pemilu sebagai sarana penegakan hukum37 dan jaminan dalam pelaksanaan
hukum38
4.
Pemilu sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran yang bersifat
39
global
5.
Pemilu sebagai perkara yang perlu pembuktian dalil (istidlal)dan tidak
sekedar perkara yang jelas dan dapat dipahami oleh umum (badihiyat)40
6.
Pemilu sebagai sarana memelihara Adh-dharuriyat Al-Khamsah (Pokok
Tujuan Syariah yang lima).41
7.
Hal itu telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an dalam kisahnya Nabi Yusuf
42
AS.
C
Pendapat ketiga : mereka membolehkan mengikuti pemilihan umum, tetapi
dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
1.
Membolehkan memilih jika menghadapi bahaya yang lebih
besar, yaitu berkuasanya musuh-musuh Islam dengan memilih partai yang paling
ringan bahayanya bagi kaum muslimin
2.
Membolehkan memilih jika diperintahkan oleh penguasa.
3.
Membolehkan mengikuti pemilu dan parlemen dengan syarat
dengan pemahaman yang benar, menginginkan tegaknya Al-Haq, Amar Ma’ruf
Nahi Mungkar dan tidak semata-mata ambisi pribadi.
Setelah kita tahu argumen dari masing-masing pendapat, maka sekarang kita akan
mencoba menelaah mana diantara ketiga pendapat tersebut yang lebih rajih (kuat).
Pendapat Pertama :
Menurut mereka, mengikuti pemilu haram, karena :
1.
Dari segi substansi :
pemerintah sesuai dengan demokrasi. Sekali lagi menurut penulis hal ini tidak relevan, karena dalam
demokrasi ketika tidak ada yang tidak disetujui dari kebijakan pemerintah, harus ditempuh dengan
lembaga-lembaga perwakilan/DPR/Parlemen dan lembaga-lembaga peradilan, seperti Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. Bukan malah pembolehan untuk tidak taat kepada pemerintah..!
dan juga ada buku dengan topik pembahasan yang sama, “50 Indikasi Destruktif Demokrasi, Pemilu, dan
Partai”. Argumen yang diajukan hampir sama, namun ada sebagian argumen yang tidak ada. Dan menurut
penulis argumen-argumen itu terlalu memaksa dipakai sebagai hujjah diharamkannya pemilu. Sebenarnya
penulis ingin sekalian tulis dimakalah ini, tetapi karena keterbatasan waktu, akhirnya niat itu penulis
urungkan.
35
Pendapat Abdul Karim Zaidan
36
Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindani
37
Pendapat Abdul Karim Zaidan
38
Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindany
39
ibid
40
Syaikh Muhammad Yusuf Harbah
41
ibid
42
Dr. Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul Majid Az-Zindany dan Syaikh Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu
dan Parpol dalam Perspektif Syariah, terjemahan dari “Syar’iyyatul Intikhabat”. Kitab ini merupakan
risalah dari sebuah seminar yang diadakan oleh para pakar di Universitas Al-Iman Sana’a. Yaman pada
tahun 1996, sebagai salah satu upaya pen-tashil-an (pengembalian kepada dalil-dalil syar’i)

12

Ma'had Adz-Dzikr

a.

Syirik kepada Allah
Hal ini mungkin tepat pada negara-negara yang menerapkan demokrasi secara
murni43, namun ini tidak tepat pada negara yang mengikuti model teo-demokrasi /
devine demokrasi44 (terminologi Syaikh Abul A’la Al-Maududi) atau nomokrasi
(terminologi Tahir Azhari), seperti Indonesia. Dimana dalam UUD 1945, Bab XI
tentang Agama pasal 29 menyatakan (1)“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”, (2)”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan masing-masing”45

43

Demokrasi menurut asal kata “rakyat berkuasa” atau “ government or rule by the people” jadi pengertian
demokrasi adalah suatu bentuk ideologi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi yang dianut di
Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila, yang masih dalam taraf perkembangan dan
mengenai sifat- sifat dan ciri- cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan (dengan kata lain Pancasila
dapat ditafsirkan oleh berbagai macam paham, penulis). Demokrasi yang tersirat dalam UUD ’45 adalah
demokrasi konstitusional. Selain dari itu UUD juga menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai
naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan sistem pemerintahan negara yaitu
1).
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan
pada kekuasaan belaka
2).
Sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme.
Disamping itu ciri khas demokrasi Indonesia yaitu “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan“(Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, hal. 50-51).
Menurut JJ Rouseau, konsep kedaulatan itu bersifat kerakyatan dan berdasarkan kemauan umum
rakyat yang menjelma melalui perundang-undangan. Karena itu konsep kedaulatan mempunyai 4 sifat yaitu
1) kesatuan (unite), dalam arti semangat dan kemauan umum rakyat sebagai kesatuan yang berhak
memerintah dan menolak diperintah 2) bulat, tidak terbagi-bagi (indivisibilite), dalam arti rakyat adalah
satu maka negara adalah satu kesatuan, 3) tidak boleh diserahkan (inalienabilite) dalam arti rakyatlah satusatunya pemegang kekuasaan tertinggi, karena itu tidak boleh diserahkan pada pihak lain dan, 4) tetap tidak
berubah- ubah (imprescriptibilite), dalam arti kedaulatan adalah milik setiap bangsa sebagai kesatuan yang
bersifat turun menurun (Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, hal 14-16).
44
Demokrasi dalam perspektif Islam adalah theo demokrasi yang dipahami sebagai kedaulatan rakyat yang
terwujud dalam kekuasaan yang terkait dalam fungsi manusia (setiap pribadi rakyat) sebagai Khalifah
Allah. Ini berarti, kedaulatan Tuhan itu dalam pelaksanaannya mewujud dalam kedaulatan rakyat yang akan
memberikan amanah pada para pemimpin yang dipilih oleh mereka sebagai mandataris, dan mengangkat
“al ahlul hal wal aqdi” ataupun Dewan Syuro untuk menetapkan hukum negara yang dirumuskan
berdasarkan atas rujukan syariat ataupun dirumuskan dalam kerangka syariat Tuhan. Theo demokrasi
berbeda dengan theokrasi dimana yang terakhir ini adalah bentuk negara yang mempunyai gagasan bahwa
kedaulatan Tuhan sebagai “Law Giver” yang pada pelaksanaannya terjelma dalam kekuasaan negara yang
menetapkan hukum- hukum atas nama Tuhan (Asshidiqie, op. cit, hal. 25- 26).
45
Pasal ini jika dikaitkan dengan isi Piagam Jakarta mengandung arti adanya suatu jaminan pelaksanaan
hukum/ syariat Islam. Dengan mengutip jawaban pemerintah atas pemandangan umum Konstituante :
“sekalipun tidak berarti berlaku langsung”, begitulah dinyatakan…”pengakuan adanya Piagam Jakarta…
berarti pula pengakuan akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945” tidak hanya pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945”…”bahwa Piagam Jakarta menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, khususnya
terhadap pembukaannya dan pasal 29, pasal mana harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum
keagamaan”…”yaitu bahwa dengan demikian kepada perkataan”Ketuhanan” dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 dapat diberikan arti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam menjalankan
syariatnya, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan”…”atau peraturan pemerintah
lain”…”bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan”…”(atau yang) tidak
bertentangan”…”dengan hukum syariat Islam, dengan tidak mengurangi ketetapan yang termaktub dalam
pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 bagi pemeluk agama lain” akhirnya Profesor Notonagoro sampai
pada suatu kesimpulan “bahwa kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pembukaan”…”isi artinya

13

Ma'had Adz-Dzikr
Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum di amandemen, tentang ayat 1 dinyatakan :
”ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha
Esa”. Ketentuan-ketentuan diatas jelas bertentangan arah dengan sekularisme.
Oleh karena itu negara tidak memisahkan urusan agama dari negara, maka
demokrasipun tidak lepas dari nilai-nilai agama. Urusan agama menjadi bagian
resmi dari urusan negara. Di negeri Indonesia, jelas terlihat buktinya antara lain
dengan masuknya segi-segi normatif gejala keislaman ke dalam sistem hukum
nasional melalui bentuk-bentuk produk legislatif, seperti dicerminkan : UU No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. Tahun 1960 yang lazim disebut
sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, PP No. 28
Tahun 1976 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP No. 9 Tahun 1975, merupakan
dari eksistensi peradilan agama, dibentuknya Departemen Agama, adanya
anggaran negara rutin dan pembangunan untuk kegiatan keagamaan Islam,
pendidikan agama diwajibkan oleh negara di sekolah-sekolah, Kompilasi Hukum
Islam melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991,
dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun
1991 Tanggal 22 Juni 1991 di Indonesia46, dan adanya Majelis Ulama Indonesia
yang menjadi penghubung antara Ulama dan Umara’ serta menjadi penerjemah
timbal balik antara pemerintah dan umat sekaligus menjadi badan yang
mengeluarkan hubungan pemerintah dan umat Islam.47
Sehingga meskipun Indonesia bukan negara yang berdasar pada satu agama
tertentu tetapi juga bukan negara sekular dalam arti memisahkan agama dari
negara.
Meskipun tidak terdapat jaminan formal tidak adanya UU yang ditetapkan yang
berlawanan dengan syariat Islam namun ketentuan-ketentuan UUD 1945 dan
praktek yang ada dengan adanya peraturan dan UU yang telah ada serta lembagalembaga keagamaan (Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia)
membuktikan bahwa tidak ada UU yang jelas-jelas melanggar ketentuanketentuan Islam atau jelas-jelas secara tegas diametrikal berlawanan dengan
hukum Islam.48
b.
Menuhankan mayoritas manusia
mendapat tambahan, dan lengkapnya dengan tambahan itu ialah “kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang
Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab”. Begitulah juga halnya dengan isi arti daripada pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Dasar”. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia (1945- 1949) karya H. Endang Saifuddin Anshari hal. 131- 134. hubungkan dengan
footnote no. 51
46
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, hal.36
47
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Kajian Perbandingan tentang
Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, hal. 94-97 dan 144-166. Hubungan yang
harmonis antara negara dengan umat Islam terlihat dengan jelas setelah peristiwa penggunaan asas tunggal
– Pancasila – yaitu tahap Akomodatif, yang mana satu sisi negara mencoba untuk
mengakomodasi/memenuhi kebutuhan umat Islam, sedangkan disisi lain umat Islam yang merupakan
mayoritas, mendukung segala kebijakan atau bahkan ikut menyukseskan program pemerintah, selama
kebijakan/program itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
48
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal 198-203 dan 209-210.

14

Ma'had Adz-Dzikr
Hal ini mungkin tepat pada negara-negara yang menerapkan demokrasi secara
murni, namun ini tidak tepat pada negara yang mengikuti model teo-demokrasi /
devine demokrasi (terminologi Syaikh Abul A’la Al-Maududi) atau nomokrasi
(terminologi Tahir Azhari), seperti Indonesia. Ketika partai Islam melihat adanya
suatu kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, maka mereka
pasti akan jelas-jelas menolak kebijakan tersebut.49
c.
Menuduh syariat tidak lengkap
Sebenarnya tidak karena serta merta membolehkan pemilu, lalu berarti syariat
menjadi tidak lengkap. Karena pemilu sendiri meskipun secara sederhana telah
dipraktikkan pada masa Khulafaur Rasyidin. Ini pun bisa dilihat dari pendapat
para ulama yang membolehkan pemilu. Terlebih disaat ini kita berhadapan dengan
keadaan yang sudah ada dan tidak bisa diubah (fait accomply), kecuali mengambil

49

Ketika RUU Perkawinan diajukan oleh pemerintah pada tanggal 16 Agustus 1973. Fraksi Persatuan
Pembangunan menolak RUU tersebut, yang mana mereka hanya memperoleh 94 kursi dari 366 kursi. FKP
dan FABRI, ditambah FDI tidak berpihak kepada mereka. Pada tingkat DPR, terjadi perdebatan yang alot.
Menurut pemerintah, RUU tersebut akan tetap dipertahankan dan menolak keberatan FPP terhadap pasalpasal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat RUU dibahas, muncul reaksi keras umat
Islam. Buya Hamka, seorang ulama kharismatik, mengatakan:”kalau RUU semacam itu hendak digolkan
oleh orang di DPR, semata karena mengandalkan kekuatan pungutan suara, kegagah-perkasaan mayoritas,
dengan segala kerendahan hati inginlah kami memperingatkan kaum muslimin tidak akan memberontak,
tidak akan melawan, karena mereka terang-terang lemah. Tetapi demi kesadaran beragama, undang-undang
itu tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan ulama-ulama yang merasa dirinya adalah pewaris
nabi-nabi akan mengeluarkan fatwa haram nikah kawin Islam berdasarkan undang-undang tersebut dan
hanya wajib berkawin secara Islam. Dan barangsiapa kaum muslimin yang menjalankan juga undang
undang itu sebagai ganti rugi peraturan syariat Islam tentang perkawinan, berarti mereka mengakui lagi
satu peraturan yang lebih baik dari peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan demikian “kafirlah
hukumnya”.
Dengan adanya reaksi keras dari umat Islam, maka pemerintah mulai menurunkan “tempo” pemaksaannya
di DPR dan bersedia melakukan kompromi. Beberapa kali dilakukan lobbying diadakan, baik di dalam
maupun di luar DPR. Di rumah menteri agama, sambil berbuka puasa, diadakan enam kali pertemuan
dengan keempat fraksi. Sebelumnya, tokoh-tokoh Islam mengadakan lobbying dengan pejabat-pejabat
negara, termasuk Kepala Negara. Akhirnya lobbying tersebut membuahkan hasil, dengan dicoretnya pasalpasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (Abdul AT, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hal
256-261). Inilah manfaat yang besar dapat kita ambil dari kita masuk menjadi anggota DPR. Jikalau bukan
karena pertolongan Allah kemudian usaha dari wakil-wakil umat Islam yang masih komitmen dengan
identitas keislaman mereka sekaligus presiden Indonesia saat itu adalah dari orang Islam, niscaya akan
timbul reaksi yang lebih besar dari umat Islam Inilah yang seharusnya dilakukan umat Islam, disamping
mereka masuk menjadi anggota DPR – untuk amar ma’ruf nahi mungkar, meskipun yang dapat dilakukan
hanyalah nahi mungkar, karena sedikitnya suara mereka di DPR , – para ulama dianjurkan untuk mendidik
umat Islam agar mereka dapat memilih calon-calon dari umat Islam yang mereka yakini akan dapat
menyalurkan aspirasi umat Islam. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kita diijinkan untuk
merealisasikan syariat Islam, tetapi karena ketakutan dari umat Islam sendiri dalam menerapkan syariat
tersebut, dan juga dikarenakan kurangnya suara umat Islam di badan perwakilan. Untuk itulah pada pemilu
yang akan datang diharapkan umat Islam dapat faham tentang urusan mereka di negeri ini, sehingga dengan
demikian akan muncul calon-calon di DPR yang akan memperjuangkan syariat Islam.

15

Ma'had Adz-Dzikr
1 dari 2 cara,
konstitusional.51

yaitu

secara

inkonstitusional

(pemberontakan) 50

atau

d.

Meremehkan masalah Al-Wala’ wal Bara’
Argumen ini tidak tepat, bahkan kita dengan mengikuti pemilu adalah dalam
rangka al-wala’ wal bara’. Karena kalau kita tidak mengikuti pemilu, maka
musuh-musuh Islam akan dapat menguasai semua urusan yang berkaitan dengan
kepentingan kaum muslimin, bahkan segala peraturan atau UU yang telah ada dan
yang mendukung umat Islam tidak mustahil akan dihilangkan, dengan dalih isuisu negara Islam, terutama yang berkaitan dengan Piagam Jakarta.
e.
Tunduk kepada Undang-undang sekuler
Mengikuti pemilu, tidak berarti bahwa seseorang ridha dengan UU yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan usaha salah satu
partai politik yang menentang Rancangan UU Pendidikan Nasional yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan dengan usaha mereka, tiap-tiap
lembaga pendidikan wajib memberikan pelajaran agama Islam, kepada murid
yang beragama Islam dengan guru yang beragama Islam pula.52
f.
Mengelabui kaum muslimin
Hal ini tidak seluruhnya benar, karena meskipun tidak ada jaminan kemenangan
(karena kemenangan harus diperjuangkan), namun kalau dengan suara mayoritas
umat Islam kita bisa memenangkan 2/3 dari total kursi Majelis Permusyawaratan
Rakyat [452 dari 678 kursi (550 kursi DPR ditambah 128 kursi DPD)] kita bisa
mengubah isi UUD 194553 menurut apa yang kita kehendaki sesuai dengan syariat
50

dengan mengadakan pemberontakan (revolusi) untuk menurunkan penguasa yang sah. Sebagian orang
mungkin akan berpendapat, “kalau memang nanti presiden negara ini (Indonesia) dari orang kafir, maka
kita akan memberontak, mayoritas rakyat Indonesia kan umat Islam.” Kalau memang demikian, hendaknya
mereka menjawab pertanyaan berikut :
1).
Apa syarat-syarat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang
sah?
2).
Berapa prosentase dari umat Islam di negara ini saat ini yang akan mau diajak untuk
melakukan pemberontakan?
3).
Apakah dengan melakukan pemberontakan, akan timbul madharat yang lebih besar,
dengan tertumpahnya darah kaum muslimin?
Bagi pembaca, untuk lebih jelasnya pahami sekali tentang “kapan bolehnya kita memberontak”, pada
makalah yang lalu dengan judul “Jamaah, Imamah dan Bai’at”.
51
Dengan cara-cara yang telah ditentukan, dalam kasus ini adalah mengikuti pemilu, inilah yang insyaAllah
dipilih oleh para ulama (Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani Abu Abdurrahman,
Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
hafidzahullah) dengan melihat maslahat dan madharat yang ditimbulkannya.
52
Lihat juga tentang proses pendirian Peradilan Agama, yang kemudian diikuti Kompilasi Hukum Islam.
untuk lebih jelasnya tentang kedua peristiwa tersebut dapat dilihat di Islam dan Negara dalam Politik Orde
Baru, Abdul AT, hal. 279-285. Sekali lagi hal ini memperkuat untuk pentingnya umat Islam mengikuti
Pemilu.
53
Selengkapnya berbunyi : Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, pasal 37 ayat : (1) Usul
perubahan Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2) Setiap
usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas
bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang
Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat. (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat. (5) Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak

16

Ma'had Adz-Dzikr
Islam, meski tidak diperkenankan mengubah dasar negara, pembukaan UUD 1945
dan bentuk NKRI. Namun jika kita meninggalkan pemilu, maka jaminan untuk
kalah itu pasti terjadi.
g.
Memberi label