Efektivitas Metode Psikodrama dalam Men

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Pengajaran sastra di sekolah sebagai bagian dari sistem pembelajaran

berfungsi agar siswa memiliki kepekaan terhadap karya sastra sehingga ia merasa
terdorong dan tertarik untuk melakonkannya dalam kehidupan nyata disamping
itu, pengajaran sastra tidak hanya bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan
tentang

sastra

sebanyak-banyaknya

tetapi

merupakan


sarana

untuk

mengaplikasikan perasaan, penglaman, kreatifitas imajinasi manusia, sampai pada
penelaahan unsur-unsur kehidupan, alam, ketuhanan, teknologi, dan zaman yang
disajikan dalam bentuk tulisan.
Drama sebagai salah satu bentuk karya sastra imajinatif. Sebab tujuan
akhir dari sebuah drama bukan hanya untuk diminati sebagai sebuah tulisan tetapi
utuk dinikmati sebagai sebuah pertunjukan di atas panggung. Ketika drama
diangkat menjadi sebuah pertunjukan di atas panggung, seluruh dialog dan tokohtokoh yang ada di dalam naskah drama dihadirkan ke atas panggung oleh seorang
aktor.
Memerankan tokoh dalam drama, seorang aktor harus berangkat dari
konsep bahwa drama merupakan gambaran cerita kehidupan sehari-hari.
Kepandaian aktor menafsirkan hidup dan kehidupan secara pas, ekspresif dan
estetik di atas panggung, membuat lakon drama menjadi aktual, mirip kehidupan
manusia yang sebenarnya yang pernah dan mungkin akan dialami penonton.
Pengajaran sastra di sekolah, dalam hal ini drama masih sangat rendah.
Siswa melihat drama hanyalah sebuah pelajaran sepintas lalu. Cukup dengan


1

1

2

sedikit teori, dibaca sekali dengan vokal seadanya di kelas dan bila dipertujukkan
di depan kelas, siswa cukup membawa teks drama tersebut atau hanya menghapal
dan melapalkan dialognya di hadapan siswa-siswa yang lainnya. Selesailah
pengajaran drama. Pengajaran drama tersebut tidak memberikan siswa ruang
untuk mengeksplorasi tokoh dan dialog di atas panggung dan tidak
memberitahukan siswa bagaimana bermain drama sebenarnya serta apa-apa saja
yang diperlukan dalam bermain drama. Akhirnya siswa hanya mengetahui sebatas
itulah drama, padahal sebenarnya mereka masih sangat jauh dari apa yang
dikatakan sebagai drama dan bermain drama. Akhirnya siswa hanya mengetahui
sebatas itulah drama, padahal sebenarnya mereka masih sangat jauh dari apa yang
dikatakan sebagai drama dan bermain drama. Dengan kata lain kemampuan dan
pengalaman mereka bermain drama sangatlah rendah.
Hal ini sesuai dengan data yang didapati ketika melaksanakan PPL di

SMA Negeri 1 Stabat ketika siswa kelas XI ditugaskan untuk memainkan drama
singkat banyak yang beralasan tidak mampu untuk melakonkan tokoh dalam
naskah, belum memahami bagaimana bentuk penokohannya, tidak terbiasa
bermain peran dimuka umum, dan sebagainya. Teutama pementasan drama
singkat di dalam kelas, siswa terlihat tidak mampu dan mengalami kebingungan
dalam memerankan tokoh baik dalam berdialog, ekspresi maupun gerak.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bidang studi Bahasa dan
Sastra Indonesia sebenarnya telah tepat dalam menunjukkan dan mengarahkan
pengajaran kepada standart kompetensi yang hendak dicapai. Dari kompetensi
dasar, yakni mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh protogonis dan antagonis,
telah cukup jelas tujuan setiap guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia

3

dalam mengajarkan drama. Hanya saja guru masih terlalu memudahkan
pengajaran drama. Pengajaran seperti ini menyebabkan terbendungnya minat dan
bakat siswa dalam bermain drama, bahkan dalam mempelajari sastra.
Situasi ini menuntut guru untuk mencari metode pembelajaran yang sesuai
guna


untuk

merangsang

dan

meningkatkan

kemampuan

bermain

atau

memerankan tokoh dalam drama. Metode pembelajaran Psikodrama dapat
menjadi pilihan sebagai salah satu metode yang dapat dikembangkan untuk
menjawab persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya. Metode Psikodrama
merupakan metode pembelajaran dengan bermain peran yang bertitik tolak dari
permasalahan-permasalahan psikologis. Oleh karena itulah peneliti merasa tertarik
untuk melakukan penelitian apakah metode Psikodrama efektif dilakukan dalam

meningkatkan kemampuan bermain drama.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Metode Psikodrama dalam
Meningkatkan Kemampuan Bermain Drama Oleh Siswa Kelas XI SMA
Negeri 1 Stabat Tahun Pembelajaran 2009/2010”.

B.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya,

maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran drama di sekolah sering diabaikan begitu saja.
2. Terdapat kesulitan bagi siswa dalam bermain drama/memerankan tokoh
secara ekspresif dan estetik dalam sebuah drama.

4

3. Kurikulum KTSP untuk kelas XI menuntut siswa mampu memerankan
tokoh dalam drama.

4. Metode Psikodrama belum diterapkan dalam meningkatkan kemampuan
bermain drama siswa.

C.

Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi pada

penggunaan metode Psikodrama dalam meningkatkan kemampuan bermain drama
siswa kelas XI SMA Negeri 1 Stabat Tahun Pembelajaran 2009/2010. Untuk
mendukung penelitian ini peneliti memilih naskah”Majalah Dinding” karya Bakdi
Sumanto.

D.

Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah diatas dapat dirumuskan

masalah penelitian yaitu:
1. Bagaimanakah kemampuan siswa bermain drama dengan menggunakan

metode Psikodrama?
2. Apakah metode Psikodrama efektif dalam meningkatan kemampuan
bermain drama siswa pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Stabat Tahun
Pembelajaran 2009/2010 ?

5

E.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kemampuan bermain drama siswa kelas XI SMA Negeri 1
Stabat Tahun Pembelajaran 2009/2010 dengan menggunakan metode
Psikodrama.
2. Mengetahui

keefektifan

metode


Psikodrama

dalam

meningkatan

kemampuan bermain drama siswa pada siswa kelas XI SMA Negeri 1
Stabat Tahun Pembelajaran 2009/2010.

F.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat praktis yaitu memberikan informasi kepada guru tentang metode
Psikodrama sebagai model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia khususnya bermain drama.
2. Manfaat teoretis yaitu memberikan hasanah pengetahuan bagi guru tentang
metode Psikodrama sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran yang
dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan kemampuan bermain drama

siswa.

6

BAB II
LANDASAN TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
A. LANDASAN TEORETIS
Landasan teoretis merupakan rancangan teori yang berhubungan dengan
hakekat suatu penelitian untuk menjelaskan pengertian-pengertian kelas
kontrolang diteliti. Landasan teoretis diupayakan untuk menjelaskan ciri-ciri
variabel.
1. Pengertian Efektivitas
Kata efektivitas berasal dari kata efektif. Menurut Handoko (2002:7),
“Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau
peralatan yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
Selanjutnya Depdiknas (2002:284) menyatakan, “Evektivitas sama dengan
Keefektifan merupakan, 1) keadaan berpengaruh; hal berkesan 2) kemanjuran,
kemujarabatan, 3) keberhasilan (tentang usaha, tindakan) 4) hal mulai berlakunya
(tentang


undang-undang,peraturan).

Hal

senada

dikemukakan

oleh

Soedamaryanti, “Keefektifan adalah suatu usuran yang memberikan gambaran
seberapa jauh target yang ingin dicapai” (dalam Maringga, 1995:61).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas ialah
kemampuan untuk menentukan tujuan yang tepat agar tercapai keberhasilan yang
telah ditetapkan.

6

7


2. Pengertian Metode Psikodrama
Psikodrama
dikembangkan

merupakan
oleh

suatu

J.L.Moreno

bentuk

terapi

(1982-1946)

kelompok,

yang

dikutip

dari

(http://books.google.co.id/books?), dimana siswa didorong untuk memainkan
suatu peran emosional di depan para penonton tanpa dia berlatih sebelumnya.
Tujuan dari Psikodrama ini adalah membantu seorang siswa atau sekolompok
siswa untuk mengatasi masalah-masalah pribadi dengan menggunakan permainan
peran, drama, atau terapi tindakan. Lewat cara-cara ini siswa dibantu untuk
mengungkapkan perasaan-perasaan tentang konflik, kemarahan, agresi, perasaan
bersalah, dan kesedihan. Sama dengan Freud, moreno melihat emosi-emosi yang
terpendam dapat dibongkar (kompleks-kompleks emosional dihilangkan dengan
membawanya ke kesadaran, dan membuat energi emosional diungkapkan)
Metode Psikodrama sangat penting. Seperti yang telah dikembangkan dan
dipraktikkan oleh Moreno, Psikodrama menggunakan tempat yang menyerupai
panggung. Hal ini bertujuan supaya siswa memainkan peran di alam khayal,
dengan demikian dia merasa bebas mengungkapkan sikap-sikap yang terpendam
dan motivasi-motivasi yang kuat. Ketika peran dimainkan, implikasi-implikasi
realistik dari tingkah lakunya yang dramatis menjadi jelas. Keterampilan terapis
dalam mengenal dan menafsirkan dinamika yang diungkapkan memudahkan
proses terapi. Ada tiga tahap yang penting dalam psikodrama, yaitu: (1) Tahap
pelaksanaan, dimana subjek memerankan khayalan-khayalannya; (2) Tahap
penggantian, dimana orang-orang yang sebenarnya menggantikan orang-orang
yang dikhayalkan subjek; (3) Tahap penjernihan, di mana diadakan pengalihan
dari kontak dengan individu-individu pengganti ke kontak dengan individu-

8

individu di mana subjek memiliki kesempatan menyesuaikan diri dengan mereka
dalam kehidupan yang nyata.
Sebaliknya, Whittaker memberikan suatu gambaran singkat tentang
bagaimana sebaiknya Psikodrama itu dilaksanakan. Dia mengemukakan bahwa
Psikodrama menggunakan 4 instrumen utama, yaitu: (1) panggung, yang
merupakan ruang kehidupan psikologis dan fisik bagi subjek atau siswa; (2)
sutradara atau pekerja; (3) staf dari ego-ego penolong atau penolong-penolong
terapeutik; (4) para penonton. Ego-ego penolong maupun para penonton terdiri
dari anggota-anggota kelompok lain. Strateginya adalah memberi kemungkinan
kepada subjek untuk memproyeksikan dirinya ke dalam dunianya sendiri dan
membangkitkan respons-respons dari kawan-kawan anggota kelompoknya
sendiri. Selanjutnya, Whittaker mengemukakan 4 teknik yang bisa digunakan,
yaitu: (1) Presentasi diri – siswa mempersentasikan dirinya sendiri atau seorang
figur yang penting dalam kehidupannya; (2) Memimpin percakapan sendiri –
siswa melangkah keluar dari drama dan berbicara kepada dirinya sendiri dan
kepada kelompok; (3) Teknik ganda – seorang ego penolong berperan bersama
dengan siswa dan melakukan segala sesuatu yang dilakukan siswa pada waktu
yang sama; (4) Teknik cermin – seorang ego penolong berperan sejelas mungkin
menggantikan siswa. Dari para penonton, siswa memperhatikan bagaimana dia
melihat dirinya sendiri sebagimana orang-orang lain melihatnya.
Sutradara atau pekerja berfungsi sebagai produser maupun sebagai terapis.
Sebagai produser, dia memilih dan mengatur adegan-adegan dan juga memimpin
tindakan psikodramatis. Adegan-adegan dipilih berdasarkan situasi-situasi yang
mengandung muatan emosional bagi siswa atau berdasarkan situasi-situasi di

9

mana siswa bertingkah laku tidak tepat atau tidak efektif dalam situasi-situasi itu.
Sebagai terapis, pekerja (sutradara) memberikan dukungan atau klarifikasi kepada
para aktor, dan kadang-kadang memberikan penafsiran (sering dengan bantuan
para anggota kelompok lain) tentang adegan permainan itu (Whittaker, 1974).
Selain itu Sanjaya (2007:161) menyatakan,
Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain
peran yang bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan
psikologis. Psikodrama biasanya digunakan untuk terapi,
yaitu agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih
baik
tentang dirinya, menemukan konsep diri, menyatakan
reaksi terhadap tekanan-tekanan yang dialaminya.
Selanjutnya Anitah (2008:523) mengatakan “Psikodrama merupakan
bagian dari simulasi yang dalam pembelajarannya siswa bermain peran sesuai
dengan aspek psikologis yang dimilikinya.”
Selanjutnya dalam (http// www. Pro-ibid.com/ content/) dikatakan
Psikodrama, “Hampir mirip dengan sosiodrama, perbedaan terletak pada
penekanannya. Sosiodrama menekankan kepada permasalahan sosial, sedangkan
psikodrama menekankan pada pengaruh psikologisnya.”
Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa metode
Psikodrama adalah metode bermain peran yang lebih menekankan pada pengaruh
psikologis siswa.

10

3. Drama
3.1. Pengertian Drama
Kata drama berasal dari bahasa yunani ‘dramoi’ yang berarti menirukan.
Berdasarkan etimologi selanjutnya dalam pengertian umum istilah drama
diartikan sebagai perbuatan atau gerak, sedangkan sebagai istilah seni, yang
dimaksud dengan “seni drama” ialah seni yang mempertunjukan pekerti atau
tingkah laku manusia dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku di atas pentas.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, Dietrich berpendapat, “ drama
adalah suatu cerita dalam bentuk dialog tentang konflik (pertengkaran) manusia,
diproyeksikan dengan ucapan dan perbuatan dari suatu panggung kepada
penonton”. (dalam prasmadji, 1984:19)
Menurut Depdiknas (2003:275) didefinisikan bahwa:
“drama adalah (1) Komposisi syair atau prosa yang
diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak
melalui tingkah laku (acting) atau dialog yang dipentaskan,
(2) Cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau
emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan teater, (3)
Kejadian yang menyedihkan.
Sedangkan Depdikbud (1985:16) menjelaskan ”Drama adalah, (1) Karya
tulis untuk teater, misalnya drama inggris, (2) Setiap situasi yang memiliki konflik
dan penyelesaian cerita (resolution), (3) Jenis Sastra berbentuk dialog, yang bisa
dipertunjukkan di atas pentas”.
Sebagaimana Sumardjo dan Saini K. M berpendapat bahwa,
“Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama sebagai karya
sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah drama
ditulis sebagai dasar untuk sipentaskan. Dengan demikian,
tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca
puisi atau novel. Drama yang sebenarnya adalah kalau
naskah sastra tadi telah dipentaskan” (1986: 31)

11

Kemudian menurut Waluyo (2001:1), “Drama merupakan tiruan
kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Drama adalah potret
kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, hitam putih kehidupan
manusia.”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa drama itu merupakan
hasil karya yang menggambarkan kehidupan dan aktivitas manusia dengan
menyajikan berbagai adegan dan dialog antara sekelompok pelakunya.
3.2. Unsur-unsur Drama
Drama memiliki unsur-unsur yang membentuk menjadi satu kesatuan.
Secara umum unsur-unsur drama itu terdiri dari tema, tokoh/penokohan, dialog,
alur, dan latar.
a. Tema
Setiap karya drama tentu mempunyai dasar atau tema yang merupakan
sasaran tujuan. Penulis merupakan watak tokoh dalam karyanya berdasarkan
tema. Seperti Oemarjati berpendapat bahwa, “Tema adalah keseluruhan cerita
ddan kejadian serta aspek-aspek sebagaimana diangkat pencipta dari sejumlah
kejadian yang ada, untuk dijadikan dalam lakonnya” (1981: 65). Selanjutnya
Lailasari berpendapat bahwa, “tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, ia
selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta,
religius, sosial, dan sebaginya. Dalam hal tertentu, tema sering disinonimkan
dengan ide cerita.” (2006:250)

12

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema merupakan ide,
gagasan, buah pikiran, pesan yang ingin disampaikan pengarang/penulis kepada
pembaca atau penonton.
b. Tokoh dan Penokohan
Dalam karya fiksi selalu didukung oleh beberapa tokoh atau pelaku yang
memiliki peran ataupun juga watak yang berbeda-beda. Sumardjo (1991:146)
mengatakan, “Tokoh cerita adalah mengambil dan mengalami peristiwa yang
digambarkan plot”.
Sejalan dengan itu Lailasari (2006:246) berpendapat bahwa, “Tokoh atau
penokohan

adalah

kualitas

tokoh,

kualitas

nalar

dan

jiwanya

yang

membedakannya dengan tokoh lain”.
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penokohan adalah
pemberian watak, sifat kepada peran tertentu sehingga membentuk alur.
c. Dialog
Dalam naskah drama, dialog merupakan yang terpenting karena dialoglah
yang membedakan karya drama dengan karya sastra yang lainnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sumardjo bahwa, “bagian lain yang sangat penting dan secara
lahiriah membedakan sastra drama dengan jenis fiksi lain adalah dialog. Dialog
adalah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu tokoh
dengan tokoh lainnya” (1991:146).
Dialog merupakan pembicaraan tokoh-tokoh dalam cerita. Dan dialog ini
merupakan unsur yang terpenting dalam drama. Tanpa dialog tidak akan ada
tokoh/perwatakan dan perbuatan.

13

Sihotang berpendapat bahwa,
“Dari perwatakan dilukiskan lewat dialog dan perbuatan.
Dialog harus mampu mengungkapkan perwatakan tokoh,
baik lewat orang lain maupun lewat tokoh itu sendiri. Dan
semuanya harus merupakan satu sebab akibat yang logis.
Misalnya seorang Kyai tidak mungkin mengucapkan katakata jorok, dan lain sebagainya. Dialog berisikan kata-kata
atau kalimat-kalimat antara satu tokoh kepada tokoh yang
lain. Karena itu dialog merupakan senjata utama dalam dialog
skenario drama.” (2003:42)
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dialog mengungkapkan
perwatakan tokoh, dan dalam menyampaikan dengan pengucapan yang jelas,
penuh penjiwaan dan emosi serta volume/tekanan suara yang cukup. Susunan
dialog dalam drama harus sangat diperhitungkan oleh pengarang, bukan saja
kalimat-kalimatnya harus padat dan berisi tetapi menarik untuk diucapkan, dan
tidak lepas dari kewajaran orang berbicara.
d. Plot (alur cerita)
Plot merupakan salah satu unsur fungsional dalam drama. Plot dapat
diartikan juga sebagai bagian atau kerangka kejadian tempat para tokoh
memainkan perannya. Aminuddin berpendapat, “Pengertian plot dalam cerpen
atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita. Istilah alur dalam hal
ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita.” (1990:23)
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Sumardjo (1991:45) bahwa,
“Plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa satu dengan yang lain
dihubungkan dengan sebab akibat. Artinya peristiwa pertama menyebabkan
peristiwa kedua, peristiwa ketiga dan demikian selanjutnya. Sehingga pada
dasarnya peristiwa terakhir ditetapkan oleh peristiwa pertama.”

14

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa alur atau plot
merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan peristiwa mulai dari
situasi awal sampai akhir cerita ditata dalam bentuk jalinan yang teratur.
e. Latar Cerita
Waluyo (2003:08) mengatakan, “Latar atau setting adalah tempat dan
ruang terjadinya cerita.”
Selaras dengan di atas Wiyanto (2002:28) menyatakan, “Setting atau latar
adalah ruang terjadinya cerita.”
Dengan demikian dapat dirumuskan fungsi latar adalah menerjemahkan
situasi, waktu dan tempat berlangsungnya peristiwa yang ada pada sebuah cerita.
Selanjutnya ia (2002:28) menjelaskan, “Latar atau setting dalam drama
sangat berguna menghidupkan suasana cerita. Selain tiu tugas latar adalah
menyokong plot dan perwatakan.”
Maka dapat disimpulkan latar atau setting adalah tempat, waktu, suasana,
dan situasi, ketika sebuah peristiwa itu terjadi.
f. Amanat
Amanat atau pesan adalah suatu yang hendak disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca. Amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang perlu
diberikan beberapa alternatif, dalam menafsirkan amanat itu, kita dapat bersifat
akomodatif.
Hasanudin (1996:103) menjelaskan, “Amanat sebuah drama akan lebih
mudah ditangkap dan dinikmati apabila drama itu dipentaskan. Amanat itu
biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis yang lebih dipetik
dari karya itu.”

15

3.3. Unsur-unsur Pementasan Drama
Drama memiliki dwi fungsi. Sebagai sebuah bentuk karya sastra tertulis
dan sebagai sebuah sarana pertunjukkan yang dapat dinikmati secara ausiovisual.
Bagi seorang pengarang, drama adalah sarana mengaplikasikan kenyataan dan
proses imajinatif ke dalam bentuk karya. Sedangkan dalam pertunjukkannya
memungkinkan segala bentuk kreatifitas dan masa yang berkepentingan untuk
mementaskan drama tersebut.
Maka untuk keperluan pertunjukan tersebut, drama dilengkapi bagianbagian yang harus disiapkan untuk menjadi sebuah pertunjukan. Semakin besar
pertunjukkan yang hendak dibuat, semakin besar kebutuhan yang mesti disipakan.
Namun, pertunjukkan itu sendiri dapat disesuaikan dengan situasi atau keadaan
yang ada. Misalnya untuk sebuah pertunjukan sederhana atau pertunjukan di
sekolah-sekolah.
Untuk itu, dalam proposal penelitian ini dijabarkan seluruh unsur yang
dibutuhkan namun untuk penerapannya di lapangan disesuaikan dengan keadaan
di sekolah, yakni pertunjukan drama sederhana namun memungkinkan siswa
dapat semaksimal mungkin menunjukkan kemampuannya bermain drama dengan
menggunakan metode Psikodrama.
Menurut Wiyanto (2002:31), “Unsur-unsur pementasan drama setidaknya
ada sembilan unsur, yaitu naskah drama, pemain, sutradara, tata rias, tata busana,
tata panggung, tata lampu, tata suara, dan penonton.”

16

a. Naskah Drama
Naskah drama adalah pedoman awal untuk sebuah pertunjukan drama.
Sebab segala kebutuhan dasar pertunjukan drama tersurat atau pun tersirat dalam
naskah tersebut. Naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon.
Dalam naskah tersebut termuat nama-nama tokoh dalam cerita, dialog yang
diucapkan para tokoh, dan keadaan panggung yang diperlukan.
Bermain drama tanpa menggunakan naskah drama akan mengalami
kesulitan yang tinggi. Karena pemain akan bermain tanpa tahu arah dan dialog
yang hendak disampaikan. Dengan kata lain naskah drama selain bertujuan
sebagai murni karya sastra juga sebgai landasan bermain drama.
b. Pemain
Pemain adalah orang yang memperagakan cerita. Segala kesuksesan
kehidupan dalam sebuah pertunjukan drama dititikberatkan pada pemain. Pemain
disebut juga inti dari sebuah pertunjukan drama. Sebab pemainlah yang
menciptakan permainan si atas panggung. Pemain adalah orang-orang yang
ditugaskan bermain drama, yakni menghidupkan tokoh yang tertera dalam naskah
menjadi nyata di atas panggung. Dengan kata lain pemainlah yang bermain drama
di atas panggung untuk dinikmati penonton sebagai sebuah pertunjukan. Lebih
sederhananya lagi pemain adalah orang-orang yang bermain drama.
c. Sutradara
Sutradara adalah pimpinan pementasan/pertunjukan. Tugas pokoknya
adalah bertanggung jawab menykseskan pertunjukan. Mulai dari memilih pemain,
melatih dan membimbing, serta menentukan awak pementasan (Penata lampu,
penata busana, penata rias, urusan produksi, tiket, dll).

17

d. Tata Rias
Tata rias adalah cara mendandani pemain. Orang yang mengerjakan tata
rias disebut dengan penata rias. Tugasnya merias wajah pemain. Menyesuaikan
dengan karakter dan pencahayaan yang dibutuhkan dalam pemeranan pada
pertunjukan tersebut.
e. Tata Busana
Tata busana adalah pengaturan pakaian pemain baik bahan, model,
maupun cara mengenakannya. Orang yang berkecimpung dalam tata busana
disebut penata buasana. Tugasnya menyiapkan busana yang hendak dikenakan
pemain. Sesuai dengan penafsiran yang telah dirundingkan terlebih dahulu
dengan pemain dan sutradara. Tata busana sebenarnya berhubungan erat dengan
tata rias. Karena tugas yang dilaksanakan untuk pementasan masih berhubungan
dengan kebutuhan pemain. Oleh karena itu, sering kali tugas mengatur pakaian
pemain dirangkap penata rias.
f. Tata Panggung
Panggung adalah pentas atau arena untuk bermain drama. Biasanya
tempatnya tepat di depan tempat duduk penonton dan lebih tinggi dari kursi
penonton. Sedangkan tata panggung adalah keadaan panggung yang dibutuhkan
untuk permainan drama. Penata panggung bertugas untuk mengatur dan
menciptakan penataan panggung yang sesuai dengan pementasan. Misalnya,
tuang tamu, kamar, pemukiman, dll.

18

g. Tata Lampu
Yang dimaksud dengan pengaturan cahaya di panggung. Karena itu lampu
erat hubungannya dengan tata panggung. Karena berhubungan dengan
pencahayaan penata lampu harus memiliki kemampuan yang baik tentang listrik
dan pengaturan cahaya. Sebab cahaya yang diciptakan harus mampu
menggambarkan latar dan mendukung penuh penataan penggung. Misalnya,
menciptakan suasana malam, pagi, dll.
h. Tata Suara/Musik
Dalam tata suara, pengaturan suara dan musik pengiring pertunjukan
adalah hal terpenting. Alat-alat musik, paduan dan kesesuaian dengan suasana,
pengaturan keras lembutnya musik harus mampu siperhitungkan untuk
mendukung permainan drama yang baik. Maka seorang penata suara/musik harus
tajam menterjemahkan musik dan kebutuhan pementasan akan musik.
i. Penonton
Penonton termasuk undur penting dalam pementasan drama. Sebab
bagaimanapun sempurnanya persiapan, kalau tanpa penonton siapakah yang akan
menikmati pertunjukan tersebut. Lewat penonton pula dapat diukur pertunjukan
itu sukses atau tidak, menarik atau tidak. Penonton adalah orang-orang yang maun
dan menonton pertunjukan. Sesuai dengan keinginan dan dari kalangan yang
berbeda. Ada yang sekedar penonton awam, penikmat pertunjukan sampai pada
praktisi serta kritikus pementasan karya seni.

19

4. Kemampuan Bermain Drama
Dalam kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2003:433) kata kemampuan
dinyatakan bahwa kata kemampuan berarti “kesanggupan, kekuatan, melakukan
segala perbuatan dan kekayaan yang dimiliki.”
Menurut Depdiknas dalam KBBI (2003:433) dinyatakan bahwa,
“Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan, kekayaan.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah
kecakapan untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan menurut Wiyanto (2002:68), bermain drama diartikan sebagai
memainkan sebuah drama mulai dari persiapan, latihan hingga pementasan.
Sedangkan dari penjabaran Rendra dalam bukunya tentang Bermain
Drama (1976), dapat diambil kesimpulan bahwa bermain drama tidak lain
merupakan proses menciptakan peran dan memainkan peran di atas panggung.
Dan dari berbagai penjabaran tentang bermain drama, titik fokus perhatian
dan hal utama dalam bermain drama adalah pemain (aktor/aktris) drama itu
sendiri. Ditambah dengan bagian-bagian lain yang dibutuhkan pemain di atas
panggung.
Hal ini ditegaskan pula oleh Wiyanto (2002:56-57) bahwa “hasil karya
aktor (pemain drama) melekat di tubuhnya sendiri. Bagaimana ia bermain,
bergerak dan berbicara di panggung. Hasil karya seorang aktor adalah peragaan
cerita. Dalam memperagakan cerita itu aktor melakukan perbuatan aktif yang
disebut akting. Jadi hasil karya aktor adalah akting.”

20

Setiap

aktor

tentunya

selalu

menginginkan

hasil

akting

yang

dimainkannya baik dan penonton yang menikmati permainannya itu merasa puas.
Karena kepuasan penonton adalah kepuasan aktor itu sendiri.
Selanjutnya Anirun (1998:151) menjelaskan, “Konsep kriteria keaktoran
berdasarkan: tubuh, yakni menyangkut ekspresi, gerak/gestur, kesadaran, dll.
Vokal, yakni menyangkut pengucapan, artikulasi, irama, dan diksi. Sukma, yakni
menyangkut penguasaan diri, penghayatan, emosi, motifasi, dll.”
Sedangkan

Riantiarno

(2003:49)

menjabarkan

kriteria

keaktoran

berdasarkan, “raga termasuk di dalamnya ekspresi wajah, vokal, gerak.
Pemahaman, termasuk interpretasi, daya ungkap dan penyajian. Sukma, termasuk
di dalamnya penghayatan, karakter peran, impropisasi, harmonisasi (respon dan
kerjasama pemain), dll.”
Keberhasilan suatu pementasan karena aktor berhasil menerapkan teknik
bermain drama. Kegagalan suatu pementasan drama karena aktor gagal
menerapkan teknik bermain drama. Jadi, bukan karena naskah dramanya bagus
atau jelek untuk ditampilkan.
Naskah drama yang jelek dengan aktor yang baik akan menghasilkan
drama yang baik. Naskah drama yang bagus dengan aktor yang buruk akan
menghasilkan drama yang buruk.
Lalu dalam konteks masalah penelitian ini kemampuan bermain drama
dapat diartikan sebagai kecakapan siswa untuk memainkan sebuah drama sebagai
seorang pemain (aktor dan aktris) dengan akting dan menggunakan alat-alat
ekspresinya (vokal, ekspresi, gerak tubuh, penghayatan peran dan keselarasan)
sebaik mungkin dalam sebuah pementasan drama.

21

Hariningsih (2008:42) mengemukakan, hal-hal yang harus diperhatikan
dan dibahas dalam pementasan drama antara lain sebagai berikut.
1. Apakah tema naskah menarik?
Tema yang diangkat untuk naskah drama pentas harus manarik. Hal
tersebut dimaksudkan agar dapat menarik perhatian umum. Tema harus tidak
ketinggalan (aptudet) zaman dan mampu memberikan kesan pada penonton.
2. Bagaimana akting para pemeran?
Akting/teknik berperan harus meyakinkan penonton, tidak boleh penonton
mengetahui bahwa yang dilakukan hanya sebatas pura-pura. Akting pemain harus
mampu membuat penonton yakin tentang segala sesuatu yang dilakukan tokoh.
3. Apakah kerja sama dan kekompakan diterapkan dengan baik di atas panggung?
Pemain drama tidak boleh bersikap egois dan ingin menonjolkan diri
sendiri pada waktu pemetasan. Mereka harus kerja sama antarpemain karena
pertunjukan merupakan kerja bersama. Apabila pemain yang satu tidak merespons
pemain lain dengan baik, pementasan akan terlihat tidak menarik.
4. Bagaimana kepaduan unsur pementasan tersebut?
Yang dimaksud kepaduan adalah kesesuaian antara cerita naskah dan
akting pemain, tata rias (mekap), busana, musik, dan sebagainya. Apabila unsur
tersebut padu, pementasan drama menjadi satu kesatuan pertunjukan yang
menarik.

22

B. KERANGKA KONSEPTUAL
Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran yang
bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan psikologis. Psikodrama biasanya
digunakan untuk terapi, yaitu agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang dirinya, menemukan konsep diri, menyatakan reaksi terhadap tekanantekanan yang dialaminya.
Bermain drama merupakan salah satu kompetensi dasar yang dipelajari di
SMA. Melalui pembelajaran bermain drama diharapkan siswa memiliki
kemampuan bermain drama yang baik. Setidaknya menciptakan peran yang sesuai
dan bisa dinikmati sebagai sebuah pertunjukan. Baik itu peran antagonis,
protagonis, atau tritagonis. Melalui pembelajaran itu pula, diharapkan siswa
memiliki kecakapan dasar untuk terjun kedalam dunia drama sebagai sastra
maupun sebagai seni pertunjukan.
Pembelajaran bermain drama dengan menggunakan teknik yang tepat akan
mendukung keberhasilan dan kemampuan siswa dalam belajar. Penggunaan teknik
haruslah selaras dengan kebutuhan siswa, pembelajaran yang hendak diajarkan
kepada siswa dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian akan didapatkan
hasil yang maksimal.
Penelitian ini adalah penelitian Eksperimen Design One Group PretestPosttest, yaitu eksperimen yang dilaksanakan pada satu kelompok saja tanpa
kelompok pembanding. Dalam penelitian ini yang ingin dilihat adalah apakah ada
efektivitas metode psikodrama terhadap peningkatan kemampuan bermain drama
siswa.

23

Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa metode
psikodrama memungkinkan untuk menciptakan seorang pemain (aktor) yang
mampu menunjukkan permainan drama di atas panggung. Hal tersebut
mendorong siswa untuk mengeksplorasi bakat yang dimiliki siswa dalam bermain
drama dengan menggunakan metode yang bersentuhan langsung dengan bermain
drama itu sendiri. Setiap siswa dituntut lebih aktif dan produktif dalam proses
pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran khususnya peningkatan kemampuan
bermain drama siswa dapat tercapai.

C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teoretis dan kerangka konseptual, maka dapat dibuat
sebuah hipotesis penelitian sebagai berikut.
Ha : Metode Psikodrama efektif dalam meningkatkan kemampuan bermain drama
siswa kelas XI SMAN 1 Stabat tahun pembelajaran 2009/2010.

24

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.

Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dipilih sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan

bahwa:
1. Sekolah SMA Negeri 1 Stabat, merupakan sekolah yang dapat mewakili dari
seluruh jenis sekolah formal.
2. Sekolah SMA Negeri 1 Stabat merupakan tempat peneliti melaksanakan PPL
terdahulu sehingga mengetahui permasalahan yang terjadi di sekolah tersebut.
3. Belum pernah dilaksanakan penelitian dengan permasalahan yang sama di
SMA Negeri 1 Stabat.
4. Sekolah SMA Negeri 1 Stabat diharapkan dapat membantu kelancaran dalam
penelitian.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka lokasi penelitian
ini dipusatkan di SMA Negeri 1 Stabat Tahun Pembelajaran 2009/2010. Waktu
penelitian dilakukan pada semester ganjil.

B.

Populasi dan Sampel
1. Populasi
Arikunto (2006:130) menyatakan, “Populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian.” Jadi dapat dikatakan populasi merupakan keseluruhan subjek
penelitan.
Berdasarkan pendapat di atas dan yang sesuai dengan judul penelitian ini,
maka yang menjadi sasaran penelitian ini adalah siswa kelas X1 SMA Negeri 1
Stabat yang terdiri dari 7 kelas, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
24

25

TABEL I
JUMLAH POPULASI
No

Kelas

1
XI IA 1
2
XI IA 2
3
XI IA 3
4
XI IA 4
5
XI IA 5
6
XI IS 1
7
XI IS 2
Jumlah keseluruhan siswa

Jumlah
36 orang
36 orang
38 orang
36 orang
36 orang
35 orang
35 orang
252 orang

2. Sampel
Arikunto (2002: 109), mengatakan bahwa ”sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang diteliti”.
Selanjutnya Sugiyono (1999:73) mengatakan, ”Bila populasi besar dan
peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya
karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan
sampel yang diambil dari populasi itu”. Apa yang dipelajari dari sampel itu,
kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil
dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).
Berdasarkan pendapat itu, dalam penentuan sampel, peneliti menggunakan
teknik bertujuan (Arikunto, 2006:131). Arikunto menjelaskan bahwa teknik
pengambilan sampel dengan teknik bertujuan ini cukup baik karena sesuai dengan
pertimbangan peneliti sendiri sehingga dapat mewakili populasi. Dalam mencari
subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi di dasarkan atas
adanya tujuan tertentu.

26

Hal yang penting dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana
keefektifan sebuah metode pembelajaran terhadap siswa, dan hal inilah yang juga
menjadi tujuan pengambilan sampel nantinya.
Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kelas XI IA 1
SMAN 1 Stabat yang berjumlah 36 orang.

C.

Definisi Operasional
Dalam

penelitian

ini,

metode

psikodrama

dihubungkan

dengan

kemampuan bermain drama dengan judul “Majalah dinding” karya Bakdi
Sumanto, yang merupakan standar kompetensi yang terdapat dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa penelitian ini terdiri dari dua
Variabel, yaitu:
1. Variabel (bebas) X pada penelitian ini adalah Metode Psikodrama.
2. Variabel (terikat) Y pada penelitian ini adalah kemampuan bermain drama
dengan naskah “Majalah dinding” karya Bakdi Sumanto oleh Siswa kelas
XI SMAN 1 Stabat.

D.

Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu aktivitas yang mempunyai tujuan yaitu hasil

yang diperoleh setelah penelitian. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan suatu
metode yang tepat dalam penelitian sehingga akan menghasilkan perolehan data
yang tepat dalam penganalisisan data.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan design one group
pretest-posttest. Dimana penelitian yang dimaksud yaitu penelitian yang tidak

27

menggunakan

kelompok

pembanding.

Penelitian

ini

bertujuan

untuk

mengaplikasikan metode psikodrama dalam pembelajaran bermain drama.
Melalui penelitian ini akan terlihat efektivitas metode psikodrama terhadap
kemampuan siswa bermain drama.

E.

Desain Penelitian
Penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah design

one group pretest-posttest (Nazir, 2005:231). Dalam desain ini, kepada unit
percobaan dikenakan dengan dua kali pengukuran. Pengukuran pertama dilakukan
sebelum perlakuan diberikan, dan pengukuran kedua dilakukan sesudah perlakuan
dilaksanakan.
Jalannya proses pembelajaran yang dimulai dari pre-test, perlakuan, dan
post-test selama penelitian ini, dilakukan sepenuhnya oleh guru bidang studi.
Namun sebelumnya, peneliti telah menginformasikan kepada guru bidang studi
tentang gambaran jalannya proses pembelajaran selama penelitian berlangsung.
Metode pembelajaran Psikodrama dalam hal ini diberi perlakuan. Artinya
sebelum guru terjun langsung dalam penelitian sesungguhnya, guru bidang studi
tersebut menguji terlebih dahulu metode yang akan digunakan. Penggunaan
metode Psikodrama diterapkan dengan kerangka kerja metode Psikodrama, agar
hasil atau penguasaan guru dan metode yang akan diterapkan nantinya akan lebih
efektif. Peneliti dalam hal ini hanya berperan sebagai pengamat jalannya proses
pembelajaran.
TABEL II
DESAIN EKSPERIMEN

28

DESIGN ONE GROUP PRETEST-POSTTEST
Kelas
E

Pretes
01

Perlakuan
Metode Psikodrama

Postest
02

Keterangan:
E

= Simbol yang kelas eksperimen

O1

= Pemberian tes awal/pretes

O2

= Pemberian tes akhir/postes

TABEL III
PROSEDUR EKSPERIMEN
DESIGN ONE GROUP PRETEST-POSTTEST
DENGAN PENERAPAN METODE PSIKODRAMA
Pertemuan I
Kegiatan Guru
1. Memberikan sambutan
kepada siswa sebagai
pembuka kelas.
2. Memberikan pre test
kepada siswa.

Kegiatan Siswa
1. Siswa memberikan
reaksi.
2. Mengerjakan pre
tes.

Pertemuan II

Alokasi Waktu
5 menit
40 menit

29
Kegiatan Guru

Kegiatan Siswa

Alokasi Waktu

1. Guru menjelaskan secara
jelas dan benar tentang
langkah-langkah
pelaksanaan metode
Psikodrama

1. Menyimak
penjelasan dari
guru.

5 menit

2. Guru membagi siswa
menjadi 6 kelompok
yang masing-masing
kelompok terdiri 6
orang.

2. Siswa membentuk
kelompok

10 menit

3. Guru membagi naskah
drama kepada masingmasing siswa.

3. Siswa menerima
naskah drama dari
guru.

5 menit

4. Guru bertanya dan
memberikan bimbingan
seputar permasalahan
yang dihadapi siswa
dalam bermain drama
pada tes awal.

4.

20 menit

5. Guru menjelaskan serta
menggambarkan
permasalahan pada
naskah drama dengan
jelas disertai dengan
contoh.

5. Siswa bertanya
pada bagian
permasalahan yang
tidak diketahui
atau yang tidak
dimengerti

10 menit

6. Guru dan siswa
membahas karakter dari
setiap tokoh dalam
naskah drama dan guru
menyuruh siswa untuk
memilih sendiri karakter
tokoh yang akan
dimainkannya.

6. Siswa berdiskusi
bersama teman
kelompoknya
untuk menentukan
tokoh yang akan
dimainkannya

20 menit

7. Guru mendiskusikan
sengan siswa bagaimana
penataan panggung.

7. Siswa dan guru
mendiskusikan
bagaimana
penataan
panggung.

5 menit

8. Guru menunjuk satu
orang perwakilan sari
setiap kelompok sebagai
pengamat sementara
yang bertugas
mengamati dan mnecatat
kekurangan dan
kelebihan drama yang
ditampilkan.

8. Satu orang siswa
menjadi
perwakilan setiap
kelompok

15 menit

Siswa menjawab
dan bertanya pada
saat guru
memberikan
bimbingan.

30

Pertemuan ke III
Kegiatan Guru

Kegiatan Siswa

Alokasi
Waktu
5 menit

1. Guru memilih secara acak

1. Kelompok yang terpilih

kelompok yang akan memainkan

memainkan perannya (bermain

peran (bermain drama)

drama)

2. Melakukan Post test

2. Bermain drama

F.

40 menit

Instrumen Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang bertujuan mengetahui

tingkat kemampuan bermain drama siswa dengan menggunakan metode
Psikodrama.
Untuk menjaring data tersebut, digunakan tes non objektif melalui
pengamatan dengan menugaskan siswa melakukan kegiatan bermain drama
dengan mengekspresikan tokoh protagonis dan antagonis. Tes tersebut diujikan
kepada seluruh sampel, baik untuk pretes maupun postes yang sebelumnya telah
diujicobakan pada subjek lain.
Kisi-kisi penilaian terhadap kemampuan bermain drama yang dipakai
adalah kisi-kisi penilaian aktor oleh Hariningsih (2008:42), sebagai berikut:

TABEL IV
KRITERIA PENILAIAN BERMAIN DRAMA
Nama :
Peran :
No.
1.
2.
3.

Aspek Yang Dinilai
Vokal
Ekspresi
Gestur

Skor
0-20
0-20
0-20

31

4.
5.

Respon
Kerjasama Kelompok
Jumlah

0-20
0-20
100

Kriteria penilaian bermain drama:
1. Vokal dinyatakan baik apabila pemain mampu menciptakan tokoh dengan
perpaduan irama dan intonasi dalam berdialog yang sesuai dengan kata-kata
yang diucapkan.
2. Ekspresi dinyatakan baik apabila pemain mampu menciptakan tokoh dengan
mimik wajah yang sesuai dengan karakter, emosi dan dialog.
3. Gestur dinyatakan baik apabila pemain mampu menciptakan gerak dan laku di
atas panggung yang sesuai dengan emosi dan mendukung dialog.
4. Respon dinyatakan baik apabila pemain mampu menciptakan tokoh yang
mampu menjaga ketepatan dan keselarasan akting terhadap lawan mainnya.
5. Kerja sama kelompok dinyatakan baik apabila pemain mampu menciptakan
tokoh yang mampu menjaga keselarasan antar pemain untuk menciptakan
permainan yang hidup, kompak dan rapi.
Untuk mengetahui kategori Efektivitas Metode Psikodrama dalam
meningkatkan Kemampuan Bermain Drama, digunakan skor menurut Sudjiono,
sebagai berikut:
TABEL V
KATEGORI PENILAIAN
Skor
85-100
70-84
55-69
40-54
0-39

Kategori
sangat baik
baik
cukup
kurang
sangat kurang

32

G.

Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul selanjutnya akan dianalisis guna mencapai

hasil yang maksimal. Langkah-langkah analisis tersebut dapat dilakukan dengan:
1) Menyusun data pre test dan post test dalam bentuk tabel.
2) Menghitung nilai rata-rata dalam standar deviasi data sampel, yaitu data pre
test dan post test.
Menghitung nilai rata-rata digunakan dengan menggunakan rumus:
M=

Keterangan: Mx = Rata-rata

 X = Jumlah dari hasil perkalian antara midpoint masingmasing interval dengan frekuensinya.
N = Jumlah sampel
Menghitung standar deviasi menggunakan rumus:

SDx =

Keterangan:

SD = Standar deviasi
Fx2 = Jumlah hasil perkalian antara frekuensi masingmasing interval dengan X2
N

= jumlah sampel
(Sudijono, 2007:161)

3) Pemeriksaan uji normalitas data yang digunakan teknik Liliefors, yaitu:

33

a. Data hasil belajar X1, X2, X3,...............Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2,
Z3,............,Zn dengan menggunakan rumus:
Zi =

b. Menghitung peluang F(Zi) = P (Z <

Zi), dengan menggunakan

distribusi normal.
c. Menghitung Z1, Z2, Z3,........,Zn yang lebih kecil atau sama dengan Zi.
Jika proporsi ini dinyatakan oleh S (Zi), maka:
S (Zi) = Banyaknya Z1, Z2, Z3,.........,Zn < Zi
n
d. Hitung selisih F(Zi) – S(Zi) kemudian tentukan harga mutlaknya.
e. Ambillah harga paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut
yang dinyatakan dengan L0. Jika L0 < L yang diperoleh dari harga nilai

Uji Liliefors dengan taraf nyata

= 0,05 , maka data berdistribusi

normal.

4) Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yang tidak
diambil memiliki varians yang homogen atau tidak. Uji homogenitas dilakukan

menggunakan rumus:

F=

atau

34

F=
Dimana S12 = Varians terbesar
S22 = Varians terkecil
(Sudjana, 2002: 261)
5) Menguji Hipotesis
Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis data penelitian
ini adalah teknik uji t. Tujuannya untuk mengetahui apakah ada perbedaan kedua
nilai tersebut secara signifikan, maka digunakan rumus uji t.
Menurut Arikunto (2005:246-247) sebagai berikut:
t 0 = MD
SEMD
Keterangan :
t0

= t observasi

MD

= Mean diffrent

SEMD = Standart Error
Pengujian rumusan di atas, setelah normalitas dan homogenitas sebagai
persyaratan analisis diuji.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan mengkonsultasikan Thitung dan Ttabel
pada derajat kebebasan N = 36 pada taraf signifikan 5% jika Thitung ≥ Ttabel maka H0
ditolak dan Ha diterima dan jika Thitung ≤ Ttabel maka H0 diterima dan Ha ditolak.
G. Organisasi Pengelolahan Data
Organisasi pengolahan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mentabulasi skor pre-test
2. Mentabulasi skor post-test
3. Mencari mean variabel hasil pre-test
4. Mencari mean variabel hasil post-test
5. Melakukan uji normalitas

35

6. Melakukan uji Homogenitas
7. Mengkonsultasikan hasil tes hitung dengan t tabel pada taraf signifikan α
0,05 atau tingkat kepercayaan 95% sebagai batas penerimaan atau
penolakan hipotesis.

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Penyajian Data
Langkah berikutnya yang dilakukan setelah terkumpulnya data dari lapangan,
adalah menganalisis data. Penelitian eksperimen ini akan menganalisis data dari dua

36

variabel, yaitu data hasil pre test dan data hasil post test dari siswa kelas XI SMAN 1
Stabat tahun pembelajaran 2009/2010. Berikut ini data hasil pre test dan post test siswa.
TABEL VI
DATA HASIL PRE TEST DAN POST TEST
NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
B.

NAMA
ADELINA KURNIATY
ADE LUCIA
AGUSTIA AYU
ANNISA LISMARANI
ANTONI
AS’AD KHAIR
AYU OKTAVIA
AYU SYAHPUTRI
CITRA PURNAMASARI
DEWI WULANDARI
DINI ZAHRA
DOLI ARDIANSYAH
DYAH SARI ANJARIKA
FADILLAH ISLAMI
HENNI SYAHFITRI
HUSNI HAMIDAH
ISMI MULIYANTI
JENNI LILAWATI
JOKO MULYA
KIKI M ANDARI
LUKLU ILMAKNUN
M. FAIZAL
M. HASAN BASRI
M. IQBAL
NINA SORAYA
NURMALA HAYATI
NURUL HUDA ISMI
PURI MAWARDANI
RIRIN WULANDARI
RIZQKA ARIESTA
RIZKY WIDYA PRATIWI
SILVIA ATIKA
TRI ANGGRAINI
WINDARI PRATIWI
WINDA SUWARDIA
YUDHA GUSTANTO

SKOR PRE TEST

SKOR POST

44
64
84
65
66
70
65
79
48
77
64
54
55
54
60
44
73
68
62
73
49
74
60
66
64
54
48
58
48
68
58
62
58
60
84
74

TEST
66
77
92
86
81
84
76
90
70
82
75
74
72
74
76
92
81
84
84
92
73
92
85
85
71
66
92
78
69
85
88
87
87
88
90
86

36

Analisis Data
1. Analisis Data Hasil Pre Test
Distribusi Frekuensi Hasil Pre Test
Perolehan data hasil pre test dapat dideskripsikan sebagai berikut.
TABEL VII

37

DISTRIBUSI FREKUENSI HASIL PRE TEST
X

F

FX

(X- )

44
48
49
54
55
58
60
62
64
65
66
68
70
73
74
77
79
84

2
3
1
3
1
3
3
2
3
2
2
2
1
2
2
1
1
2
36

88
144
49
162
55
174
180
124
192
130
132
136
70
146
148
77
79
168
2254

-18,61
-14,61
-13,61
-8,61
-7,61
-4,61
-2,61
-0,61
1,39
2,39
3,39
5,39
7,39
10,39
11,39
14,39
16,39
21,39

F

346,37
213,48
185,26
74,15
57,93
21,26
6,82
0,37
1,93
5,71
11,48
29,04
54,60
107,93
129,71
207,04
268,60
457,48
2179,17

692,75
640,45
185,26
222,45
57,93
63,79
20,45
0,75
5,79
11,41
22,97
58,08
54,60
215,86
259,41
207,04
268,60
914,97
3902,56

Dari data di atas dapat dicari rata-rata, standar deviasi hasil pre test yaitu.
1. Rata-rata
N = 36

M=

=

2. Standar Deviasi

SDx =

=

Dari hasil perhitungan di atas, maka data tersebut dapat dikategorikan
menjadi dua kategori yaitu Sangat kurang dan kurang. Adapun ketentuan
pengkategorian data sebagai berikut.

38

TABEL VIII
IDENTIFIKASI KECENDERUNGAN HASIL PRE TEST
RENTANG
00-54

F. ABSOLUTE
9

F. RELATIVE
25%

KATEGORI
Sangat kurang

55-64

12

33,33%

Kurang

65-74

11

30,56%

Cukup

75-84

4

11,11%

Baik

85-100

0
36

0%
100%

Sangat Baik

Dari tabel di atas diketahui bahwa hasil pre test pembelajaran bermain
drama dengan menggunakan metode Psikodrama, yang termasuk kategori baik
sebanyak 4 orang siswa atau 11,11%, kategori cukup sebanyak 11 oarang siswa
atau 30,56%, kategori kurang sebanyak 12 orang siswa atau 33,33%, dan kategori
sangat kurang sebanyak 9 orang siswa atau 25%. Identifikasi hasil pre test dalam
pembelajaran bermain drama dengan menggunakan metode Psikodrama di atas
termasuk kategori kurang. Frekuensi tabel di atas dapat digambarkan dalam
bentuk diagram batang berikut.

FREKUENSI HASIL PRE TEST

DIAGRAM BATANG 1. FREKUENSI HASIL PRE TEST
Keterangan:

39

A= Sangat Baik
B= Baik
C= Cukup

D= Kurang
E= Sangat Kurang

2. Analisis Data Hasil Post Test
Distribusi Frekuensi Hasil Post Test
Perolehan data hasil post test dapat dideskripsikan sebagai berikut.

TABEL IX
DISTRIBUSI FREKUENSI HASIL POST TEST
Y

F

FY

(Y- )

66
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
81
82
84
85
86
87
88
90
92

2
1
1
1
1
1
2
1
2
1
1
2
1
2
3
3
2
2
2
5
36

132
69
70
71
72
73
148
75
152
77
78
162
82
168
255
258
174
176
180
460
2932

-15,44
-12,44
-11,44
-10,44
-9,44
-8,44
-7,44
-6,44
-5,44
-4,44
-3,44
-0,44
0,56
2,56
3,56
4,56
5,56
6,56
8,56
10,56

F
238,53
154,86
130,98
109,09
89,20
71,31
55,42
41,53
29,64
19,75
11,86
0,20
0,31
6,53
12,64
20,75
30,86
42,98
73,20
111,42
1251,06

477,06
154,86
130,98
109,09
89,20
71,31
110,84
41,53
59,28
19,75
11,86
0,40
0,31
13,06
37,93
62,26
61,73
85,95
146,40
557,10
2240,89

Dari data di atas dapat dicari rata-rata, standar deviasi hasil post test yaitu:
1. Rata-rata
N = 36

M=

=

2. Standar Deviasi

40

SDx=

=

=

= 7,68

Dari hasil perhitungan di atas, maka data tersebut dapat dikategorikan
menjadi dua kategori cukup dan baik. Adapun ketentuan pengkategorian data
sebagai berikut.
TABEL X
IDENTIFIKASI KECENDERUNGAN HASIL POST TEST
RENTANG
00-54

F. ABSOLUTE
0

F. RELATIVE
0%

KATEGORI
Sangat kurang

55-64

0

0%

Kurang

65-74

9

25%

Cukup

75-84

10

27,78%

Baik

85-100

17
36

47,22%
100%

Sangat Baik

Dari tabel di atas diketahui bahwa hasil post test pembelajaran bermain
drama dengan menggunakan metode Psikodrama, termasuk kategori sangat baik
sebanyak 17 orang siswa atau 47,22%, kategori baik sebanyak 10 orang siswa
atau 27,78%, dan kategori cukup sebanyak 9 orang siswa atau 25%. Identifikasi
hasil pembelajaran bermain drama dengan menggunakan metode Psikodrama di
atas termasuk kategori sangat baik. Frekuensi tabel di atas dapat digambarkan
dalam bentuk diagram batang berikut.
FREKUENSI HASIL POST TEST

41

DIAGRAM BATANG 2. FREKUENSI HASIL POST TEST
3. Uji Persyaratan Analisis Data
a. Uji Normalitas Hasil Pre Test
Untuk menguji normalitas dapat digunakan uji normalitas Liliefors
(perhitungan pada lampiran). Berikut tabel normalitas hasil pre test.
TABEL XI
UJI NORMALITAS HASIL PRE TEST
X
44
48
49
54
55
58
60
62
64
65
66
68
70
73
74
77
79
84

F
2
3
1
3
1
3
3
2
3
2
2
2
1
2
2
1
1
2
36

F kum
2
5
6
9
10
13
16
18
21
23
25
27
28
30
32
33
34
36

Zi
-1,76
-1,38
-1,29
-0,82
-0,72
-0,44
-0,25
-0,06
0,13
0,23
0,32
0,51
0,70
0,98
1,08
1,36
1,55
2,03

F(Zi)
0,04
0,08
0,10
0,21
0,24
0,33
0,40
0,48
0,55
0,59
0,63
0,70
0,76
0,84
0,86
0,91
0,94
0,98

S(Zi)
0,06
0,14
0,17
0,25
0,28
0,36
0,44
0,50
0,58
0,64
0,69
0,75
0,78
0,83
0,89
0,92
0,94
1,00

L
0,02
0,06
0,07
0,04
0,04
0,03
0,04
0,02
0,03
0,05
0,07
0,05
0,02
0,00
0,03
0,00
0,00
0,02

Berdasarkan tabel di atas, di dapat L hitung= 0,07 dengan menggunakan

=

0,05 dan N = 36, maka nilai kritis melalui uji Liliefors diperoleh Ltabel = 0,148.