Peran Komunitas Epistemik dalam Pengemba

Peran Komunitas Epistemik dalam Pengembangan HI di Indonesia
oleh Muhammad Arif 1

Berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lain seperti Sosiologi dan Antropologi, Hubungan
Internasional di Indonesia relatif muda usianya. 2 HI di Indonesia baru berkembang pada
paruh kedua abad ke-20. Meskipun begitu, hal ini tidak seharusnya dijadikan justifikasi
ketidakberkembangan HI di Indonesia. Karena, pada level global pun HI adalah cabang
keilmuan yang relatif muda, baru lahir pada awal abad ke-20. Selain itu, di beberapa negara,
perhatian terhadap teoritisasi HI semakin berkembang, di Cina dan India misalnya. 3
Semakin membesarnya peran dan posisi internasional Indonesia juga membutuhkan
pengembangan HI di Indonesia, baik itu dalam bentuk pemahaman yang lebih mendalam
terhadap paradigma-paradigma atau metode-metode yang sudah ada ataupun membuka diri
terhadap kemungkinan lahirnya paradigma-paradigma atau metode-metode baru yang
dibangun atas dasar tradisi-tradisi pribumi (indigenous) melalui proses teoritisasi yang
seksama. Sebagaimana pernah penulis utarakan di kesempatan lain, dorongan untuk
mengembangkan HI di Indonesia bukan untuk mengatakan bahwa paradigma atau metode
yang sudah ada sekarang, yang kebanyakan berasal dari Barat, adalah salah. Akan tetapi,
bukankah beralasan untuk mencurigai paradigma-paradigma atau metode-metode ini, karena
bukankah pada akhirnya “theory is always for someone and for some purposes”. 4
Hari ini, kita mensyukuri bahwa, meskipun perannya masih terbatas, komunitas
epistemik HI eksis di Indonesia, yangmana kita para mahasiswa adalah bagian darinya. Di

tengah beragamnya tantangan terhadap upaya pengembangan HI di Indonesia, ada sesuatu
yang dapat dilakukan secara independen oleh komunitas epistemik HI di Indonesia.
Dengan latar belakang permasalahan seperti dijabarkan di atas, menjadi menarik dan
perlu untuk mempertanyakan peran apa yang dapat diambil oleh komunitas epistemik
dalam rangka pengembangan HI di Indonesia?

1

Penulis adalah mahasiswa Program Sarjana Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI. Penulis
menyampaikan terimakasih kepada Gineng Sakti, Dwinta Kuntaladara, Azis Rahmani dan Prasojo atas kritik dan
saran dalam penyusunan tulisan ini.
2
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah Hubungan Internasional untuk merujuk pada cabang keilmuan
yang berusaha menjelaskan hubungan internasional antar berbagai aktor. Istilah “hubungan internasional”
sendiri penulis gunakan unuk merujuk pada realitas sosial yang menjadi objek kajian HI.
3
Lihat Yaqing Qin, “Why is there no Chinese international relations theory” dan Navnita Chadha Behera, “Reimagining IR in India”, dalam Amitav Acharya dan Barry Buzan (ed.), Non-Western International Relations
Theory, (London: Routledge, 2010).
4
Lihat Robert Cox, “Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory”, dalam

Millennium Journal of Internaitonal Studies, Vol. 10 (1981), hal. 126-155.

Jawaban sementara yang penulis ajukan adalah bahwa peran yang dapat diambil oleh
komunitas epistemik dalam rangka pengembangan HI di Indonesia adalah dengan keluar dari
resistensinya dan menginisiasi debat antar paradigma dan dialog lintas metode.

Tinjauan Pustaka
Tidak banyak karya ilmiah yang membahas mengenai ketidakberkembangan HI di
Indonesia. Dari yang sedikit itu, dua diantaranya adalah artikel yang ditulis oleh Bob S.
Hadiwinata berjudul “International relations in Indonesia: historical legacy, political
intrusion, and commercialization” dan tulisan oleh Leonard C. Sebastian dan Irman G. Lanti
berjudul “Perceiving Indonesian approaches to international relations theory”. 5
Dalam tulisannya, Hadiwinata melihat terdapat sebuah paradoks dalam perkembangan
HI di Indonesia. Di satu sisi, sebagai sebuah disiplin ilmu, HI di Indonesia mendapat status
yang lebih baik dibanding masa-masa sebelumnya. Hal ini ditandai dengan semakin
banyaknya jumlah perguruan tinggi yang memiliki departemen HI. Pada tahun 1980an hanya
terdapat 12 perguruan tinggi yang memiliki departemen HI, sedangkan pada tahun 2007
terdapat 47 departemen HI di seluruh Indonesia. Perkembangan HI di Indonesia juga ditandai
dengan semakin banyaknya jumlah peminat pada departemen-departemen HI, terutama sejak
pertengahan 1990an.

Akan tetapi di sisi lain, perkembangan HI di Indonesia sebagaimana disebutkan di
atas tidak diikuti oleh kontribusi akademisi-akademisi HI Indonesia terdapat pengembangan
keilmuan HI melalui publikasi ilmiah, baik di level domestik maupun internasional. Bahkan,
jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, relatif rendah tingkat
kontribusi akademisi-akademisi HI Indonesia dalam perkembangan literatur HI. Tidak
banyak jumlah publikasi ilmiah hasil penelitian serius akademisi HI Indonesia yang dimuat di
publikasi-publikasi berstandar internasional.
Fenomena ini, menurut Hadiwinata, terjadi karena tiga hal –yang sekaligus menjadi
fokus bahasannya- yaitu warisan sejarah perkembangan HI di Indonesia, intrusi politik dan
komersialisasi pendidikan.
Warisan sejarah memainkan peran penting dalam ketidakberkembangan HI di
Indonesia menurut Hadiwinata. Warisan sejarah yang dimaksud adalah dominasi pemikiran
Amerika-sentris secara umum, dan perspektif realisme serta bidang kajian kawasan (Area
5

Bob S. Hadiwinata, “International relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and
commercialization”, dalam International Relations of the Asia Pacific, Volume 9 (2009), hal. 55-81; Leonard C.
Sebastian dan Irman G. Lanti, “Perceiving Indonesian approaches to international relations theory”, dalam
Amitav Acharya dan Barry Buzan (ed.), 2010, op. Cit., hal. 148-173.


Studies) secara khusus. Dominasi ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa generasi awal
penstudi HI di Indonesia memiliki latar belakang pendidikan di AS. Figur-figur seperti
Ichlasul Amal, Amien Rais, Yahya Muhaimin, Mohtar Mas’oed dan Juwono Sudarsono
menempuh pendidikan pasca-sarjana dan/atau doktoralnya di Amerika Serikat (AS). Secara
kebetulan, figur-figur ini menempuh pendidikan di AS pada masa dimana realisme menjadi
perspektif yang dominan dan Area Studies menjadi bidang kajian yang semakin diminati.
Maka ketika kembali ke Indonesia, figur-figur ini membawa pengaruh realisme dan Area
Studies dalam pengajaran HI di kampusnya masing-masing. Bahkan hingga saat ini,
meskipun pilihan tujuan pendidikan HI semakin beragam mencakup misalnya negara-negara
di Eropa, dominasi realisme dan Area Studies masih kental terasa dalam pengajaran HI di
Indonesia.
Faktor kedua yang menurut Hadiwinata mempengaruhi ketidakberkembangan HI di
Indonesia adalah intrusi politik. Akademisi ilmu sosial di Indonesia secara umum selalu
diekspektasi untuk melakukan penelitian dan aktivitas lain seperti publikasi, seminar atau
lokakarya, untuk memenuhi kebutuhan elit-elit pemerintahan. Selain itu, kedekatan dengan
pusat kekuasaan seringkali beperan besar dalam menentukan kelanjutan aktivitas penelitian,
baik oleh akademisi secara individual maupun institusi penelitian seperti think-tank. Hal ini
misalnya terjadi pada kasus Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Dibahas
secara mendalam oleh salah satu pendirinya Jusuf Wanandi, disebutkan bahwa CSIS, dalam
kegiatannya mempengaruhi kebijakan pemerintah, mendapatkan keuntungan dari dukungan

dan perlindungan elit pemerintahan Orde Baru salah satunya untuk sumber pendanaan, baik
militer maupun Soeharto sendiri. 6 Terlepas dari sumbangan besar yang diberikan CSIS, baik
bagi pengembangan keilmuan HI maupun dalam rekomendasi-rekomendasi kebijakannya,
fakta bahwa dukungan dan perlindungan penguasa menjadi prasyarat eksistensi sebuah
institusi penelitian tentu bukan kabar yang menggembirakan bagi upaya pengembangan
keilmuan HI di Indonesia.
Intrusi politik yang menghalangi perkembangan HI di Indonesia adalah juga dalam
bentuk pelarangan terhadap pengembangan perspektif akademis tertentu, dalam hal ini
Marxisme. Pelarangan ini terjadi setelah berkuasanya rejim pemerintahan Orde Baru
menyusul pemberontakan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang dianggap memiliki latar
belakang ideologi politik komunis pada tahun 1965.

6

Jusuf Wanandi, Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, (Jakarta: Equinox
Publishing, 2012), hal. 110-111, 230.

Selain itu, intrusi politik yang menghalangi perkembangan HI di Indonesia juga
terjadi ketika pemerintah memiliki wewenang untuk mempengaruhi penyusunan kurikulum
pengajaran di perguruan tinggi yang sedikit banyak menghalangi independensi kampus untuk

menentukan secara independen materi perkuliahan yang dirasa sesuai dalam rangka
pengembangan keilmuan HI. Pemerintah bahkan juga memiliki peran dalam karir akademis
para akademisi seperti misalnya penentuan promosi Guru Besar.
Faktor terakhir yang menurut Hadiwinata mempengaruhi ketidakberkembangan HI di
Indonesia adalah komersialisasi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Kebijakan
pemerintah untuk “memprivatisasi” perguruan tinggi mengharusnya institusi perguruan tinggi
berusaha menemukan cara mendapat sumber pemasukan dana diluar pemerintah. Hasilnya,
banyak perguruan yang kemudian membukan berbagai program non-reguler seperti program
ekstensi, diploma, dan program Master eksekutif. Pembukaan program-program non-reguler
ini tentunya menambah beban bagi akademisi karena mereka diharuskan mengajar di banyak
kelas sehingga tidak banyak waktu yang tersisa untuk mengerjakan penelitian serius yang
ditujukan semata-mata untuk pengembangan keilmuan.
Publikasi ilmiah kedua yang menjadi bahan tinjauan pustaka adalah tulisan Leonard
C. Sebastian dan dan Irman G. Lanti berjudul “Perceiving Indonesian approaches to
international relations theory”. Argumen utama yang ditawarkan dalam tulisan Sebastian dan
Lanti adalah bahwa terdapat tradisi-tradisi pribumi (indigenous) terutama dari Jawa yang
menjadi dasar pembangunan identitas Indonesia dalam komunitas internasional. Tradisitradisi pribumi ini, menurut Sebastian dan Lanti, seharusnya bisa juga digunakan untuk
membangun tradisi pemikiran HI Indonesia.
Dalam tulisannya, tradisi-tradisi pribumi yang dibahas oleh Sebastian dan Lanti
utamanya adalah tradisi-tradisi Jawa dan non-Jawa (seberang). Tradisi-tradisi ini, menurut

Sebastian dan Lanti, mempengaruhi pemikiran dan perilaku politik di Indonesia. Di Jawa,
tradisi-tradisi yang dimaksud antara lain konsep stratifikasi atau hierarki gusti-kawula, power
yang didefinisikan sebagai sesuatu yang homgen (bentuknya tidak terdiferensiasi) dan
bersifat zero-sum dimana penambahan power oleh satu pihak berarti hilangnya power pada
pihak lain, serta konsepsi mengenai pamrih. Sedangkan tradisi-tradisi pribumi non-Jawa yang
menurut Sebastian dan Lanti mempengaruhi pemikiran dan perilaku politik serta memiliki
potensi untuk dijadikan dasar pengembangan HI Indonesia antara lain sistem sosial yang
tidak terstratifikasi atau hierarkis.
Di tengah presensi tradisi-tradisi pribumi ini, mengapa teoritisasi HI tidak terjadi di
Indonesia, menurut Sebastian dan Lanti, adalah karena lima faktor. Pertama, tidak banyak

jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan program HI. Kedua, institusi pendidikan
tinggi yang menawarkan HI biasanya tidak menawarkan insentif yang kompetitif dan jenjang
karir yang jelas bagi akademisi. Ketiga, kelemahan institusi penelitian HI, baik intra-kampus
maupun ekstra-kampus. Keempat, absensi komunitas epistemik. Kelima, absensi insentif bagi
akademisi untuk melakukan penelitian-penelitian yang berhubungan dengna kegiatan
teoritisasi.
Dari tulisan Sebastian dan Lanti, terdapat dua faktor yang menarik untuk dicermati.
Yang pertama, sebagaimana terbantahkan oleh tulisan Hadiwinata, jumlah institusi
pendidikan tinggi yang menawarkan program HI di Indonesia jumlahnya justru meningkat

pada tahun-tahun belakangan. Yang kedua, argumen mengenai absensi komunitas epistemik
menurut penulis tidaklah sepenuhnya tepat. Sebastian dan Lanti merujuk komunitas
epistemik sebagaimanahalnya Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Jika demikian, pada
faktanya komunitas epistemik yang demikian dalam konteks HI sebenarnya ada, yakni dalam
bentuk Asosiasi Hubungan Internasional Indonesia (AIHI) yang rutin mengadakan konvensi
nasional. Penulis cenderung melihat komunitas epistemik sebagai sesuatu yang tidak harus
mengambil bentuk insitusi formal sebagaimana AIPI atau AIHI. Komunitas epistemik dapat
saja mengambil bentuk komunitas informal selama ia terdiri dari akademisi yang memiliki
kompetensi teknis di bidang terkait dan berupaya untuk saling berbagi ilmu pengetahuan serta
mampu menyediakan beragam kerangka rujukan (frames of reference) yang dapat digunakan
bagi perumusan komponen-komponen normatif (rule formation) dari formulasi kebijakan. 7
Dengan demikian, bahkan kita, mahasiswa HI Indonesia, meski bukan bagian dari AIHI atau
institusi formal apapun, selama memiliki keinginan untuk saling berbagi ilmu dan
mengembangkan HI di Indonesia, adalah bagian dari komunitas epistemik HI Indonesia.
Dari tinjauan pustaka yang sudah dilakukan, jika dirangkum, terdapat empat faktor
yang mempengaruhi ketidakberkembangan HI di Indonesia: warisan sejarah, intrusi politik,
komersialisasi pendidikan dan kelemahan institusional. Menurut penulis ini belum
seluruhnya. Masih ada satu lagi faktor yang mempengaruhi ketidakberkembangan HI di
Indonesia yaitu resistensi kelompok epistemik HI sendiri untuk menginisiasi debat antar
paradigma dan dialog lintas metode.

Mengapa debat antar paradigma dan dialog lintas metode yang menjadi jawaban
adalah karena penulis melihat dan merasakan bahwa kedua hal ini masih jarang dilakukan
dalam lingkungan komunitas epistemik HI di Indonesia. Padahal, sebagaimana akan
7

Andi Widjajanto, “Komunitas Epistemik Hubungan Internasional Indonesia”, dalam Tim Jurnal Global (ed.),
Juwono Sudarsono: A Token of Appreciation, (Jakarta, 2006), hal. 22.

dijelaskan dengan lebih lugas pada bagian berikutnya, sudah menjadi natur ilmu sosial bahwa
tidak ada satupun paradigma atau metode yang superior atas yang lain. Meminjam bahasa
Martin Hollis dan Steve Smith, tidak ada yang disebut monopoli kebijaksanaan (monopoly of
wisdom). 8 Tidak ada juga satu metode pun yang dapat menjawab seluruh tantangan dalam
penelitian ilmu sosial, entah itu studi kasus, statistik, metode formal dan sebagainya. 9 Selama
didasarkan pada logika inferensi yang sama, penelitian dengan metode apapun adalah sama
baiknya dan saling melengkapi satu sama lain. 10 Diversitas metodologis justru dapat
membantu dalam upaya teoritisasi yaitu dengan saling mempertanyakan asumsi-asumsi dasar,
menawarkan penjelasan alternatif dan meningkatkan spesifikasi. 11 Kesemuanya itu hanya
dapat dilakukan melalui dialog.
Sekali lagi penulis ingin menekankan, sekaligus menentang argumentasi Sebastian
dan Lanti, komunitas epistemik HI di Indonesia sesungguhnya ada, akan tetapi komunitas

epistemik ini memiliki resistensi untuk menginisiasi debat antar paradigma dan dialog lintas
metode yangmana menurut penulis adalah sebuah masalah. Untuk keluar dari resistensi itu
dan menginisiasi debat antar paradigma dan dialog lintas metode adalah rekomendasi
normatif yang ingin ditawarkan pada tulisan ini.
Meskipun bukan tidak mungkin, menurut penulis masalah warisan sejarah, intrusi
politik, komersialisasi pendidikan dan kelemahan institusi adalah sesuatu yang sulit untuk
diselesaikan dalam waktu singkat. Selain itu, keempatnya merupakan permasalahan yang
untuk menyelesaikannya harus melibatkan lebih dari satu pihak. Baik akademisi, institusi
kampus dan pemerintah harus bersama-sama memikirkan dan bekerja untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut. Mengharapkan bentuk penyelesaian yang komprehensif dan lintas
aktor yang demikian, menurut penulis, bukanlah opsi yang realistis, setidaknya saat ini.
Adalah faktor keempat yang menurut penulis lebih realistis untuk diselesaikan.
Alasannya sederhana, karena masalah resistensi terhadap debat antar paradigma dan dialog
lintas metode adalah masalah kita sendiri, komunitas epistemik HI di Indonesia. Adalah kita
sendiri yang memiliki kuasa sepenuhnya terhadap penyelesaian permasalahan ini. Adalah kita
sendiri yang seharusnya keluar dari resistensi itu dan menginisasi debat antar paradigma dan
dialog lintas metode demi mengembangkan HI di Indonesia.
8

Martin Hollis dan Steve Smith, Explaining and Understanding International Relations, (Oxford: Clarendon

Press, 1990), hal. 15.
9
Detlef F. Sprinz dan Yael Wolinsky-Nahmias (ed.), Models, Numbers and Cases: Methods for Studying
International Relations, (The University of Michigan Press, 2004), hal. 367, 378.
10
Lihat Gary King, et. al., Designing Social Inquiry: Scientific Inference in Qualitative Research, (New Jersey:
Princeton University Press, 1994).
11
Ibid., hal. 367.

Resistensi untuk terlibat dalam debat antar paradigma dan dialog lintas metode,
menurut penulis, berasal dari keyakinan bahwa paradigma atau metode tertentu yang menjadi
preferensi adalah yang paling unggul dibandingkan paradigma atau metode lainnya.
Kenyataan bahwa ilmu sosial pada dasarnya memang bersifat multi paradigmatik mungkin
diyakini secara prinsipil. Akan tetapi pada praktiknya, satu sama lain akademisi HI Indonesia
saling menutup diri dan menganggap paradigma atau metode pilihannyalah yang paling benar
dan tepat untuk melihat fenomena hubungan internasional. Berdasarkan pengalaman penulis,
fenomena ini terjadi dari level mahasiswa hingga akademisi yang sudah mencapai level
doktoral.
Sebelum debat antar paradigma dan dialog lintas metode itu sendiri dilakukan, ada
beberapa hal yang menurut penulis harus dipenuhi sebagai prasyarat. Pertama, akademisi
yang terlibat dalam debat dan dialog harus melepaskan diri dari embel-embel institusional
apapun dan melakukan debat dan dialog sebagai akademisi semata-mata dengan motivasi
pengembangan HI di Indonesia. Hal ini untuk menghindari resiko terjadinya penyimpangan
arah dan tujuan debat dan dialog karena kepentingan-kepentingan institusi. Kedua, debat dan
dialog harus dilakukan berbasiskan isu atau fenomena internasional. Artinya, harus kembali
dan senantiasa diingat bahwa paradigma atau metode apapun dalam ilmu sosial tujuannya
adalah untuk menjelaskan, memahami dan/atau menyelesaikan fenomena hubungan
internasional yang kompleks itu. Maka debat antar paradigma dan dialog lintas metode ini
pun harus dilakukan dengan fenomena hubungan internasional tertentu sebagai objek;
paradigma atau metode mana yang kiranya lebih mampu menjelaskan, memahami dan/atau
menyelesaikan fenomena hubungan internasional yang menjadi objek debat atau dialog.
Dengan demikian ada dua hal, menurut penulis, mengapa debat antar paradigma dan
dialog lintas metode penting untuk dilakukan dalam rangka pengembangan HI di Indonesia.
Pertama, melalui debat antar paradigma dan dialog lintas metode diharapkan akan
ditemukan fenomena-fenomena hubungan internasional yang tidak mampu dijelaskan oleh
paradigma-paradigma atau metode-metode yang sudah ada selama ini. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, paradigma atau metode dalam ilmu sosial pada dasarnya hanyalah
alat untuk menjelaskan, memahami dan/atau menyelesaikan fenomena sosial tertentu, dalam
hal ini fenomena hubungan internasional. Oleh karena itu, tentu saja tidak ada satu teori atau
metode tunggal yang dapat menjelaskan, memahami dan/atau menyelesaikan keseluruhan
fenomena hubungan internasional yang sangat kompleks itu. Paradigma atau metode tertentu
dapat menjelaskan fenomena hubungan internasional tertentu pula, sedangkan fenomena yang
lain mungkin lebih dapat dijelaskan, dipahami dan/atau diselesaikan dengan lebih baik oleh

paradigma atau metode yang lain. Ketika debat antar paradigma dan dialog lintas metode
dilakukan secara terus menerus, akan ada satu titik dimana tidak ada satu pun paradigma atau
metode yang terlibat dalam debat dan dialog mampu menjelaskan, memahami dan/atau
menyelesaikan fenomena hubungan internasional yang menjadi objek dalam debat dan
dialog. Jika titik ini dicapai, ada tuntutan bagi bagi paradigma atau metode yang terlibat
untuk merumuskan paradigma atau metode baru yang lebih kredibel. Meminjam bahasa
Friedrich Hegel, tesis, anti tesis dan sintesa akan terjadi.
Kedua, melalui debat antar paradigma dan dialog lintas metode diharapkan
pemahaman atas paradigma atau metode yang terlibat dalam debat atau dialog semakin kuat
dan mendalam. Ketika sebuah paradigma atau metode tertentu, dalam usahanya menjelaskan,
memahami dan/atau menyelesaikan fenomena internasional tertentu, coba ditantang oleh
paradigma atau metode lain, paradigma atau metode yang pertama tentu akan berusaha
mempertahankan dirinya. Mekanisme pertahanan diri ini dapat dilakukan dengan, meminjam
bahasa Lakatos, mengembangkan “auxilliary hypotheses” di sekeliling ide utama atau “hard
core”. 12 Dengan kata lain, kritik dan tantangan yang dilancarkan terhadap paradigma atau
metode tertentu dalam debat antar paradigma atau dialog lintas metode justru menjadi
peluang bagi paradigma atau metode tersebut untuk memperkuat dirinya.
Menurut penulis keterbukaan komunitas epistemik terhadap debat antar paradigma
dan dialog lintas metode haruslah menjadi suatu hal yang prinsipil sifatnya. Maksudnya, ia
tidak seharusnya terjadi hanya di tataran teknis permukaan belaka, misalnya melalui publikasi
penelitian di jurnal-jurnal ilmiah. Publikasi di jurnal ilmiah memang menjadi salah satu
media utama pengembangan keilmuan. Akan tetapi, dalam pandangan penulis, publikasi di
jurnal ilmiah haruslah dilandasi oleh semangat keterbukaan terhadap debat antar paradigma
dan dialog lintas metode. Jika tidak, yang sangat mungkin terjadi kemudian adalah semakin
menguatnya fragmentasi paradigmatik dan metodologis. Gejala ini dapat dilihat pada
dinamika publikasi jurnal ilmiah dalam perkembangan HI di AS. Setiap jurnal ilmiah
memiliki preferensi atas paradigma dan metodenya sendiri. Tulisan yang tidak sesuai dengan
preferensi tersebut hampir mustahil akan diterima dan dipublikasikan. Inilah mengapa, sangat
sulit, jika tidak bisa dikatakan tidak mungkin, untuk menemukan tulisan-tulisan di luar
langgam positivisme terutama neorealisme di jurnal-jurnal seperti International Security atau
Security Studies. Sebaliknya, akan sangat mudah menemukan tulisan-tulisan berbau critical

12

Brendan Larvor, Lakatos: An Introduction, (London: Routledge, 1998), hal. 51.

dan post-positivist di jurnal-jurnal seperti Millenium Journal of International Studies atau
Critical Perspective on International Business.
Selain melalui publikasi ilmiah, debat antar paradigma dan dialog lintas metode
hendaknya terjadi dalam setiap forum akademik seperti seminar, konferensi, lokakarya atau
focus group discussion. Keterbukaan terhadap debat antar paradigma dan dialog lintas
metode harus menjadi dasar pemikiran bagi setiap partisipan dalam forum-forum yang
demikian.

Kesimpulan
Ada banyak tantangan dalam upaya pengembangan HI di Indonesia. Bersamaan
dengan itu, ada kesempatan yang dapat diambil untuk mengembangkan HI di Indonesia.
Komunitas epistemik HI di Indonesia dapat keluar dari resistensinya dan menginisiasi debat
antar paradigma dan dialog lintas metode sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan
HI di Indonesia.
Pada bagian penutup ini, penulis juga ingin menjabarkan sebagian hasil pengamatan
penulis terhadap tradisi-tradisi pribumi yang, entah kebetulan atau tidak, senada dengan
konsep-konsep atau teori-teori HI Barat sebagaimana kita pahami saat ini. Ini untuk
melengkapi apa yang sudah dilakukan oleh Sebastian dan Lanti dan semata-mata untuk
menunjukkan besarnya potensi komunitas epistemik HI di Indonesia untuk melakukan
teoritisasi HI secara independen dan mengembangkan HI di Indonesia.
Dalam tradisi Jawa, power dilihat sebagai sesuatu yang tidak semata-mata hadir dari
penguasaan kapabilitas-kapabilitas materiil. Power dalam tradisi Jawa dilihat sebagai sesuatu
yang simbolik; power hadir dari kepemilikan atas kharisma, legitimasi dan persepsi aktor lain
atas kepemilikan power itu sendiri. Seorang raja Jawa misalnya, meskipun memiliki kerajaan
dengan luas teritori yang besar, sumber daya yang banyak dan angkatan perang yang kuat,
tidak akan dilihat oleh aktor-aktor lain sebagai pemilik power jika ia tidak memiliki
kharisma, legitimasi dan dipersepsikan demikian. Jika dicermati, konsepsi mengenai power
simbolis ini mirip dengan konsep soft power yang saat ini kita pahami. 13
Konsepsi Jawa mengenai power juga mempengaruhi hubungan kekuasaan (power
relations) antara kerajaan-kerajaan di Jawa pada zamannya. Meskipun, dengan konsepsi
modern, power relations pada masa itu dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang anarki
13

Mengenai konsepsi soft power lihat Joseph S. Nye, Bound to Lead: The Changing Nature of American Power,
(New York: Basic Books, 1990) dan Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York: Public
Affairs, 2004).

dimana kerajaan-kerajaan Jawa merupakan entitas politik tertinggi dan tidak tunduk pada satu
kekuasaan tunggal di atas kerajaan, interaksi antara kerajaan-kerajaan ini tidak diwarnai oleh
dilema keamanan (security dilemma) dan keinginan untuk memaksimalisasi power (power
maximization) dalam konteks power materiil. 14 Jika satu kerajaan memiliki sumber daya yang
besar, ia tidak lantas diinterpretasikan sebagai ancaman oleh kerajaan lain, selama ia tidak
memiliki kharisma, legitimasi dan diperspesikan demikian. Sebaliknya, kerajaan yang
memiliki sumber daya tidak banyak tapi memiliki kharisma, legitimasi dan dipersepsikan
demikian, akan dianggap sebagai kerajaan yang memiliki power yang besar.
Dalam melihat perang tradisi Jawa juga memiliki pandangannya sendiri yang,
menurut penulis, seharusnya dapat diteoritisasi. Tradisi Jawa melihat perang sebagai upaya
terakhir untuk menyelesaikan permasalahan antara kerajaan-kerajaan (last resort). Dalam
tradisi Jawa dipercaya konsepsi “nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake” atau
“menggempur tanpa pasukan, memenangkan tanpa merendahkan”. Sekali lagi, ini agaknya
senada dengan konsepsi-konsepsi mengenai diplomasi dan penggunaan soft power pada HI
modern.
Demikianlah, di tengah tantangan-tantangan, sesungguhnya kita komunitas epistemik
HI di Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan HI di Indonesia. Potensi ini,
menurut penulis, hanya bisa dieksploitas jika komunitas epistemik HI Indonesia sendiri mau
untuk keluar dari resistensinya terhadap debat antar paradigma dan dialog lintas metode,
semata-mata untuk berkembangnya HI di Indonesia.

Kepustakaan
Buku
Acharya, Amitav dan Buzan, Barry (ed.), Non-Western International Relations Theory,
(London: Routledge, 2010).
Hollis, Martin dan Smith, Steve, Explaining and Understanding International Relations,
(Oxford: Clarendon Press, 1990)
King, Gary, et. al., Designing Social Inquiry: Scientific Inference in Qualitative Research,
(New Jersey: Princeton University Press, 1994).
Larvor, Brendan, Lakatos: An Introduction, (London: Routledge, 1998).
Mearsheimer, John J., The Tragedy of Great Power Politics, (New York: W. W. Norton,
2001).
Nye, Joseph S., Bound to Lead: The Changing Nature of American Power, (New York: Basic
Books, 1990)

14

Mengenai penjelasan logis bagaimana sistem internasional yang anarki mendorong aktor negara untuk
memaksimalisasi power lihat John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics, (New York: W. W.
Norton, 2001).

_______, Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs,
2004).
Sprinz, Detlef F. dan Wolinsky-Nahmias, Yael (ed.), Models, Numbers and Cases: Methods
for Studying International Relations, (The University of Michigan Press, 2004)
Tim Jurnal Global (ed.), Juwono Sudarsono: A Token of Appreciation, (Jakarta, 2006)
Wanandi, Jusuf, Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998,
(Jakarta: Equinox Publishing, 2012)
Artikel Jurnal
Cox, Robert, “Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations
Theory”, dalam Millennium Journal of Internaitonal Studies, Vol. 10 (1981), hal. 126155.
Hadiwinata, Bob S., “International relations in Indonesia: historical legacy, political
intrusion, and commercialization”, dalam International Relations of the Asia Pacific,
Volume 9 (2009), hal. 55-81.