SKRIPSI HUBUNGAN OBESITAS DAN STRESS DEN

www.ngecrot.com
Minggu, 29 April 2012
SKRIPSI HUBUNGAN OBESITAS DAN STRESS DENGAN KADAR GULA
DARAH ACAK PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI
PUSKESMAS KARANGBINANGUN LAMONGAN

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi,
maka semakin banyak pula penyakit infeksi dan menular yang mampu diteliti dan diatasi.
Namun tidak demikian dengan penyakit-penyakit degeneratif, penyakit degeneratif sudah ada di
negara-negara besar seperti Amerika serikat, negara Eropa, Rusia atau Jepang dan sekarang telah
merambah ke negara yang sedang berkembang di dunia termasuk India, Afrika dan Indonesia.
Adapun penyakit degeneratif contohnya Diabetes Mellitus (DM), Diabetes mellitus (DM)
merupakan salah satu penyakit yang tidak ditularkan dan sering ditemukan di masyarakat seluruh
dunia

(Hikmat

Permana,


2009).

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjelaskan dalam Haris Fadilah 2005, penyakit DM
sangat mengancam produktifitas seseorang sehingga penyakit ini perlu diantisipasi sejak dini
sehingga tidak menjadi penyakit yang kronis. Namun beberapa penelitian terakhir disebutkan
bahwa setiap tahunnya penderita diabetes mellitus bukannya semakin berkurang justru semakin
meningkat saja, jumlah penderita diabetes di dunia mencapai 200 juta jiwa. Kemungkinan ini

disebabkan oleh semakin banyaknya penderita obesitas dunia, ditambah lagi dengan tingkat
stress yang cenderung semakin tinggi karena peralihan ke pekerjaan kantoran. Diprediksi angka
tersebut terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2020 (Dahlia Irawati, 2008).
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilakukan di Indonesia kekerapan
diabetes mellitus adalah berkisar antara 1,4 – 1,6% (Aru W Sudoyo, 2006). Sedangkan penderita
diabetes melitus (DM) di wilayah Surabaya terus meningkat, bisa dikatakan pengidap DM saat
ini mencapai 180.000 orang yaitu 6% dari masyarakat daerah itu. Berdasar data yang dihimpun
di RSU dr Soetomo, RSUD dr Soewandhie, RSU Haji, dan RS Al-Irsyad, angka penderita DM
dalam dua tahun terakhir meningkat. Di instalasi rawat jalan RSU dr Sotemo, misalnya, jumlah
kunjungan pasien DM sampai Oktober 2008 menempati posisi ketiga di antara 40 poli yang ada
jumlahnya adalah 25.435 orang. Jumlah penderita DM hanya kalah dari pasien di poli jantung

31.272 pasien dan onkologi 30.055 pasien (Nur dan Ayi, 2008).
Menurut Syaifudin dalam Febrianto 2008, sekitar 200.000 atau 12 persen dari penduduk
Lamongan diduga terkena penyakit DM (penyakit gula). Dan saat ini penyakit itu masuk
golongan penyebab kematian terbesar. Berdasarkan study pendahuluan yang dilakukan peneliti
pada instansi puskesmas Karangbinangun kabupaten Lamongan pada bulan Juni 2009,
didapatkan bahwa diabetes mellitus pada tahun 2007 adalah 134 orang sedangkan pada tahun
2008 adalah sebesar 214 orang, jadi terdapat peningkatan sebesar 27,2% atau 80 kasus baru
diabetes mellitus. Jumlah kunjungan setiap bulannya adalah sekitar 30 orang, pada kasus baru
sekitar 7 orang dan kasus lama 18 orang. Maka masalah penelitian ini adalah peningkatan
kejadian Diabetes Mellitus.
Menurut Wardati (2006) menyatakan banyak faktor yang diduga menjadi timbulnya
Diabetes Mellitus, diantarannya adalah faktor keturunan, lanjut usia, kegemukan (obesitas),

ketegangan (stress), nutrisi, sosial ekonomi, status rural urban dan kelainan ginekologis. Faktor
yang pertama adalah faktor keturunan, menurut penelitian diabetes mellitus merupakan penyakit
keturunan, jika orang tua mengidap penyakit ini maka anak telah mempunyai 40 % resiko
terkena penyakit ini juga (Faiz Akhadiyat T, 2009)
Faktor ke dua adalah lanjut usia , Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan
meningkatnya umur maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada
lanjut usia ini sering dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa

otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat, disamping itu pada orang lanjut usia sudah
terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2
meningkat dengan penuaan, para ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008).
Faktor ke tiga yaitu nutrisi, Menurut Ayu Bulan FKD (2009) bahwa “Diabetes mellitus
merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya kian meningkat. Penyakit ini
sangat erat kaitannya dengan pola makan. Tingginya kadar gula dalam darah akibat asupan kalori
dan karbohidrat yang berlebih merupakan penyebab utama penyakit tersebut”.
Faktor yang ke empat adalah faktor ekonomi. Semakin tinggi status ekonomi dari
seseorang semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, hal ini
akan minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga glukosa tidak terpakai, lama kelamaan
akan timbul obesitas dan akhirnya terjadi resistensi insulin, diabetes tipe 2 lebih sering terjadi
pada orang yang mengalami obesitas atau kegemukan akibat gaya hidup yang dijalaninya. Trend
penyakit yang terkait dengan lifestyle atau gaya hidup cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Salah satunya adalah diabetes melitus (Herman, 2009).
Status rural urban adalah faktor selanjutnya. Cara hidup masyarakat urban yang sibuk
dengan pekerjaan dari pagi hingga sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari dan hanya

duduk di belakang meja, menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah
raga. Hasil penelitian di beberapa daerah urban di Indonesia memang terdapat peningkatan
(Herman, 2009).

Dari semua faktor resiko diabetes mellitus ada dua faktor yang dominan yaitu obesitas
dan stress. Obesitas adalah salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam
pathogenesis diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang baik
dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang ada di
dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan
glukosa dalam darah, memang resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Brunner and
Suddarth, 2002).
Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ
endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam
menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan
sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007). Hal
inilah yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah pada saat stress atau tegang.
Mengingat penyakit ini hanya dapat dikendalikan saja tanpa bisa diobati dan komplikasi yang
ditimbulkan juga sangat besar seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal dan
kerusakan sistem syaraf (Dhania, 2009).
Dari faktor tersebut yang dapat dilakukan pembenahan adalah faktor yang dapat diubah.
Faktor-faktor yang dapat diubah adalah meliputi obesitas, diet nutrisi, aktivitas, asupan lemak,
merokok dan minum alkohol, ketegangan(stress) dan tingkat sosial ekonomi. Upaya pembenahan
meliputi perubahan terhadap faktor yang disebutkan di atas yaitu mengontrol berat badan agar
tidak terjadi obesitas, diet nutrisi yang sehat dan tidak berlebihan, melakukan aktivitas yang


bermanfaat terutama olah raga, membatasi makanan yang mengandung banyak lemak, tidak
merokok dan minum alkohol, meminimalkan stress atau ketegangan yang ada dipikiran dan tidak
meniru gaya hidup kebarat-baratan. Kebanyakan pasien diabetes mellitus memiliki tubuh yang
kurang proporsional dalam arti gemuk atau obesitas, hal ini senada dengan pernyataan “DM tipe
II paling sering ditemukan pada individu yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas” (Brunner
and Suddarth, 2002) selain itu penyakit DM lebih banyak ditemukan pada orang yang memiliki
pekerjaan diam dan berfikir, selain tingkat aktivitas yang rendah tingkat stress yang tinggi juga
berpengaruh.
Untuk itu penulis tertarik dan ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan
“Hubungan Obesitas dan Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes
Mellitus Tipe II Di Puskesmas Karangbinangun”.

1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.

Bagaimana tingkat obesitas pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun
Lamongan.


2.

Bagaimana tingkat stress pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun
Lamongan.

3.

Bagaimana kadar Gula Darah Acak pasien diabetes mellitus tipe II di puskesmas
Karangbinangun Lamongan.

4.

Adakah hubungan Obesitas dengan Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II di
Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

5.

Adakah hubungan Stress dengan Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II di
Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.


1.3 Tujuan
1.3.1

Tujuan umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan obesitas dan stress
dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus di Puskesmas Karang Binangun
Kabupaten Lamongan

1.3.2
1.

Tujuan khusus :
Mengidentifikasi tingkat obesitas pada penderita Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas
Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

2.

Mengidentifikasi tingkat stress pada orang yang mengalami Diabetes Mellitus tipe II di
Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.


3.

Mengidentifikasi kadar glukosa darah acak pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas
Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

4. Menganalisis hubungan obesitas dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus
tipe II di Puskesmas Karang Binangun Kabupaten Lamongan.
5. Menganalisis hubungan stress dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus
tipe II di Puskesmas Karang Binangun Kabupaten Lamongan.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis

1.

Profesi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan
pengetahuan tentang diabetes mellitus tipe II dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya.
Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai
pendukung teori yang sudah ada.


2.

Akademik
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan
pengetahuan tentang diabetes mellitus tipe II dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya.
Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai
pendukung teori yang sudah ada.

1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna, khususnya
bagi :
1. Pihak Puskesmas
Jika tingkat pengetahuan tentang diabetes mellitus pada penderita diabetes mellitus
rendah, pihak Puskesmas atau dokter dapat memberikan atau melakukan sosialisasi kepada
pasien, keluarga dan masyarakat mengenai segala sesuatu tentang diabetes mellitus. Dan dapat
menurunkan faktor resiko diabetes mellitus sehingga diharapkan angka kejadian diabetes
mellitus tidak meningkat tajam.
2. Masyarakat
Dengan pengetahuan tentang faktor resiko diharapkan penderita diabetes mellitus lebih

dapat mengontrol perilakunya, dan dapat terhindar dari terjadinya komplikasi-komplikasi lebih

lanjut. Selain itu, juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya
agar dapat mengantisipasi gejala penyakit diabetes mellitus ini lebih dini.

BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Konsep Diabetes Mellitus Tipe II
2.1.1

Pengertian

Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price and Wilson, 2005).
Diabetes mellitus adalah gangguan kronis metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
(Robbin, 2007).
Diabetes merupakan penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi
insulin yang cukup, atau jika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
diperbuatnya (WHO1, 2009).
Diabetes mellitus tipe II yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin (Brunner and

Suddarth, 2002). Diabetes mellitus tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin
atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes mellitus tipe II merupakan jenis
diabetes mellitus yang paling sering dijumpai, diperkirakan sekitar 90% dari semua penderita
diabetes mellitus dan penderita diabetes yang ada di indonesia (Jhon MF Adam, 2000). Penderita
penyakit diabetes mellitus tipe II lebih banyak menyerang seseorang di atas usia 30 tahun
(Brunner and Suddarth, 2002).

2.1.2

Etiologi

1. Diabetes Mellitus tipe II
Menurut Wardati (2006) faktor resiko terjadinya diabetes mellitus meliputi faktor
keturunan, lanjut usia , kegemukan (obesitas), ketegangan (stress), nutrisi, sosial ekonomi, status
rural urban dan kelainan genekologis.
1) Keturunan / riwayat keluarga
Menurut penelitian yang telah dilakukan, penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit
keturunan, jika orang tua mengidap penyakit ini maka anak telah mempunyai 40% resiko terkena
penyakit ini juga (Faiz Akhadiyat T, 2009).
2) Usia lajut
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur maka intoleransi terhadap
glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut usia ini sering dikaitkan dengan
obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan
penggunaan obat, disamping itu pada orang lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin
dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat dengan penuaan, para
ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008)
3) Obesitas
Obesitas adalah salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam
pathogenesis diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang baik
dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang ada di
dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan
glukosa dalam darah, memang resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Brunner and
Suddarth, 2002).
4) Stress

Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ
endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam
menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan
sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007).
Sistem simpatis umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan energi (flight or flight)
sistem ini meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi.
Glikogen dan lipid dipecah dan glukosa disintesis untuk energi. Motilitas saluran pencernaan dan
sekresi menurun serta urin ditahan (Olson J, 2003).
5) Diet nutrisi
Menurut Ayu Bulan FKD (2009) dijelaskan bahwa Diabetes mellitus merupakan salah
satu penyakit degeneratif yang prevalensinya semakin meningkat. Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan pola makan. Tingginya kadar gula dalam darah akibat asupan kalori dan
karbohidrat yang berlebih merupakan penyebab utama penyakit tersebut.
6) Ekonomi
Hal ini berkaitan dengan gaya hidup, semakin tinggi status ekonomi dari seseorang
semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Tanpa harus
mengeluarkan banyak tenaga barang yang diinginkannya akan dimilikinya, hal ini akan
minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga glukosa tidak terpakai dan akan diubah oleh
hati menjadi glikogen atau disimpan di bawah kulit berupa lemak, lama kelamaan akan timbul
obesitas dan akhirnya terjadi resistensi insulin, diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang
yang mengalami obesitas akibat gaya hidup yang dijalaninya. Trend penyakit yang terkait
dengan lifestyle atau gaya hidup cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah
diabetes melitus (Herman, 2009).

7) Status urban
Cara hidup masyarakat urban yang sibuk dengan pekerjaan dari pagi hingga sore bahkan
kadang-kadang sampai malam hari dan hanya duduk di belakang meja, menyebabkan tidak
adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga. Apalagi hapir setiap hari harus lunch dan
dinner dengan para mitranya, makanan yang dimakan adalah makanan barat yang aduhai. Pola
hidup beresiko inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit PJK, diabetes mellitus
dan lainnya. Hasil penelitian di beberapa daerah urban di Indonesia memang terdapat
peningkatan (Herman, 2009).
8) Kelainan genekologis
Beberapa kelainan genekologis juga dapat memperparah atau bahkan menyebabkan
penyakit diabetes mellitus ini (Brunner and Suddarth, 2002).

2.1.3

Patogenesis

Menurut Robbin, 2007 perjalanan normal tubuh dan penyakit diabetes mellitus adalah
sebagai berikut :
1. Fisiologi Insulin Normal
Gen insulin yang diekskresikan pada sel beta pankreas, disimpan dalam granula sebelum
diekskresikan. Pengeluaran dari sel beta berlangsung dalam suatu proses yang melibatkan dua
simpanan insulin. Peningkatan kadar glukosa darah mendorong pelepasan insulin, yang
diperkirakan dari simpanan pada granula sel beta.
Insulin adalah hormon anabolik utama, insulin diperlukan untuk (1) Pengangkutan
glukosa dan asam amino melewati membran, (2) Pembentukan glikogen dalam hati dan otot

rangka, (3) Perubahan glukosa menjadi trigliserida, (4) Sintesis asam nukleat, dan (5) Sintesis
protein. Fungsi metabolik utamanya adalah meningkatkan laju pemasukan glukosa ke dalam sel
tertentu di tubuh. Sel tersebut adalah sel otot berserat lintang, termasuk sel miokardium,
fibroblast dan sel lemak, yang secara kolektif mewakili sekitar dua per tiga dari seluruh berat
badan tubuh.
Insulin berinteraksi dengan sel sasarannya mula-mula berikatan dengan reseptor insulin,
jumlah dan fungsi dari reseptor ini penting untuk mengendalikan kerja insulin. Reseptor insulin
adalah suatu tirosin kinase yang memicu sejumlah respon intrasel yang mengarah jalur
metabolisme. Salah satu respon dini yang penting adalah terhadap insulin adalah translokasi
glucose transport unit (GLUTs, yang memiliki banyak tipe spesifik jaringan) dan aparatus golgi
ke membran plasma, yang mempermudah penyerapan glukosa oleh sel. Oleh karena itu, hasil
akhir utama kerja insulin adalah membersihkan glukosa dari sirkulasi.
Gambaran terpenting dari penyakit diabetes mellitus adalah gangguan toleransi glukosa.
Hal ini dapat terungkap dengan uji coba toleransi glukosa oral yang memeriksakan kadar glukosa
darah setelah puasa semalam, dan kemudian beberapa menit sampai jam setelah pemberian
glukosa per oral. Pada orang normal, kadar glukosa darah hanya sedikit meningkat, dan respon
insulin oleh pankreas berlangsung cepat yang memastikan pulihnya kadar ke tingkat
normoglikemik dalam satu jam. Pada pengidap diabetes dan pada mereka yang berada dalam
stadium praklinik, glukosa darah meningkat ke kadar yang terlalu tinggi secara berkepanjangan.
Hal ini dapat terjadi akibat kekurangan mutlak insulin yang dikeluarkan dari pankreas atau akibat
gangguan respon jaringan sasaran terhadap insulin, atau keduanya.
Saat ini kreteria berikut digunakan untuk diagnose laboratorium diabetes mellitus.

1) Konsentrasi glukosa plasma vena puasa (semalam) 126 mg/dL atau lebih pada lebih dari satu
kali pemeriksaan
2) Gejala klinis diabetes dan kadar glukosa sewaktu 200 mg / dL atau lebih
3) Setelah ingesti 75 gr glukosa, konsentrasi glukosa vena 2 jam 200 mg / dL atau lebih.
2. Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe II
Patogenesis dari diabetes mellitus tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini
merupakan yang tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan.
Gaya hidup tentu berperan dalam hal ini terutama obesitas dan stress. Dua defek metabolik yang
menandai diabetes mellitus tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin pada sel beta dan
ketidakmampuan jaringan perifer berespon terhadap insulin (Resistensi insulin).
1) Gangguan sekresi insulin pada sel beta
Pada kenyataannya, pada awal perjalanan penyakit kadar insulin bahkan mungkin
meningkat untuk mengkompensasi insulin. Begitu juga dengan sekresi insulin tampaknya normal
dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Fase pertama sekresi insulin (yang cepat) akan
mengakibatkan glukosa menurun.
Namun pada perjalanan berikutnya terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan hingga
sedang. Penyebabnya defesiensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 ini masih belum jelas, data
mengenai hewan percobaan dengan diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi sinsulin
menyebabkan peningkatan masa dan produksi insulinnya. Lambat laun akan terjadi kehilangan
sel beta 20% hingga 50% karena keadaan diatas, tetapi jumlah ini masih belum menyebabkan
kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh gukosa. Hal ini tampaknya akan
menyebabkan gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.
2) Resistensi insulin dan obesitas

Bukti yang ada menunjukkan bahwa resistensi insulin merupakan faktor utama dalam
timbulnya diabets mellitus tipe 2. Sejak permulaan, perlu dicatat bahwa resistensi insulin adalah
suatu fenomena komplek yang tidak terbatas pada sindrom diabetes. Pada kegemukan dan
kehamilan sensitivitas insulin jaringan sasaran menurun (meskipun tidak terdapat diabetes), dan
kadar insulin serum mungkin meningkat untuk mengkompensasi resistensi insulin tersebut.
Dasar seluler dan molekular belum sepenuhnya dimengerti.
Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin : jaringan lemak dan otot; dikedua jaringan
tersebut insulin meningkatkan penyerapan glukosa, dan hati, tempat insulin menekan produksi
glukosa. Insulin bekerja pada sasaran pertama-tama dengan berikatan pada reseptornya.
Pengaktifan reseptor insulin memicu serangkaian respon intrasel yang mempengaruhi jalur
metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transpor glukosa ke membran sel yang
memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi insulin dapat terjadi di tingkat
reseptor insulin atau salah satu pasca reseptor yang diaktifkan oleh pengikatan insulin ke
reseptornya.

2.1.4

Tanda Dan Gejala Diabetes Mellitus

Manifestasi klinis dari penyakit diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi
metabolik defesiensi insulin. Pasien-pasien dengan dengan defesiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa normal atau toleransi glukosa setelah makan
karbohidrat. Tanda dan gejala fisik yang muncul sebagai manifestasi dari hiperglikemi atau
defesiensi insulin banyak sekali, tetapi beberapa gejala yang terkenal yaitu poliuri, polidipsi dan
polifagi :
1. Poliuri

Glukosuria ini akan mengakibatkan deurisis osmotik sehingga meningkatkan pengeluaran
urin.

2. Polidipsia
Polidipsi adalah rasa haus. Hal ini disebabkan oleh gejala lain yaitu poliuri atau banyak
pengeluaran urin, sehingga untuk mengkompensasi hal tersebut tubuh akan memberikan sinyal
ke otak bahwa homeostasis tidak stabil, akhirnya rasa haus akan muncul sebagai kompensasi
tubuh.
3. Polifagia
Karena glukosa glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar mengakibatkan banyak
makan (polifagia).
Manifestasi klinis yang lain akan muncul juga seperti :
1.

Glukosuria. Hal ini terjadi ketika kadar glukosa darah mengalami peningkatan yang sangat
tinggi (hiperglikemi) dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka akan timbul glukosuria
atau kencing manis.

2. Turunnya berat badan.
3. Lemah / somnolent
4.

Jika sakit berat bisa terjadi ketoasidosis dan dapat meninggal bila tidak dilakukan tindakan
segera.

5. Kesemutan atau gatal.
6. Mata kabur.

7. Disfungsi ereksi pada laki-laki dan pruritus vulva pada wanita.
Menurut Price and Wilson (2005), terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol
metabolisme dan pada umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya pasien dengan
diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosa hanya
dibuat berdasarkan pemeriksaan di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada
hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut menderita polidipsi, poliuri, lemah dan
somnolent. Biasanya mereka tidak mengalami ketoassidosis karena pasien ini tidak defisiensi
insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup
utnuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespon terhadap
terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk
menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas
perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau
malahan tinggi,tetapi tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal.
Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.

2.1.5

Diagnosis

Secara epidemiologi diabetes seringkali tidak terdekteksi dan dikatakan onset atau mulai
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Sehingga morbiditas dan
mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Diagnosis diabetes mellitus
ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakan dengan
glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis diabetes mellitus harus diperhatikan asal bahan
dasar darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan
yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Walaupun begitu sesuai dengan kondisi setempat juga dipakai bahan darah utuh (whole

blood), vena atau kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan darah oleh WHO (Sidartawan Soegondo, 2004)
Tabel 2.1 Kadar glukosa sewaktu dan puasa
Pemeriksaan
Kadar gula darah

Rendah

Sedang

Tinggi

Plasma vena