HUKUM HUMANITER DAN KAITANNYA DENGAN HAK
HUKUM HUMANITER DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI
MANUSIA DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
Oleh :
Putu Suryani
Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Makalah
ini
diberikan
judul:
“Hukum
Humaniter
dan
Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia dilihat dari Perspektif
Hukum Internasional”. Latar belakang dari penulisan makalah ini
adalah menjelaskan sejarah lahirnya hukum humaniter, mengetahui
perbedaan
hukum humaniter
serta
hukum peperangan,
serta
mengkaitkan hukum humaniter dan hak asasi manusia. Karena
hukum humaniter bukanlah untuk melarang perang, melainkan atas
dasar alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi
penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana
kebuasan konfik bersenjata diperbolehkan.
Kata Kunci : Hukum Humaniter, Hukum Perang, Hak Asasi
Manusia
ABSTRACT
This paper is given the title: "Humanitarian Law and its
Relation to Human Rights viewed from the Perspective of
International Law". The background of the paper's writing is to
1
explain the history of the birth of humanitarian law, to know the
diference between humanitarian law and war law, and to link
humanitarian law and human rights. Because humanitarian law is not
forbidding war, but on the basis of humanitarian reasons to reduce or
limit the sufering of individuals and to limit the areas where armed
confict is permitted.
Keywords: Humanitarian Law, War Law, Human Rights
I.
PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang
singkat
namun
penuh
peristiwa.
Untuk
menghindari
penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad
ke-19
negara-negara
melakukan
kesepakatan
tentang
peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang
mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak
saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya
merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak
perbaiakan
dan
perluasan
hukum
humaniter
melalui
negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang
berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan
hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum
perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua.
Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang
Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi
2
Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia
(1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat
pandangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi
Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum
Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata
memiliki
sejarah
yang
sama
tuanya
dengan
peradaban
manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan
yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang
tertulis,
umat
manusia
hanya
mengenal
250
tahun
perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian
membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak
mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga
kemudian
mulailah
orang
mengadakan
pembatasan-
pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur
perang
antara
Kusumaatmadja
bangsa
juga
bangsa.
Selanjutnya
mengatakan
bahwa
Mochtar
tidaklah
mengherankan apabila perkembangan hukum internasional
modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri
dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat
ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan
di
seluruh
dunia.
Perkembangan
modern
dari
hukum
3
humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negaranegara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis,
yang
berdasarkan
pengalaman-pengalaman
pahit
atas
peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu
keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan
militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya
komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia
telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum
humaniter
internasional.
Dewasa
ini,
hukum
humaniter
internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benarbenar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam
aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk
perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa
bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir
semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban
bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war).
Kelompok
orang
tertentu
itu
meliputi
penduduk
sipil,
anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan
tawanan perang.
I.2.
Tujuan Penulisan
4
Adapun maksud dan tujuan penulisan dalam menyusun
makalah ini adalah untuk mengetahui defnisi perang dan
hukum humaniter serta hubungan hukum humaniter dan hak
asasi manusia.
II.
ISI MAKALAH
2.1. Metode Penelitian
Metode adalah cara mendapatkan kebenaran materiil
terhadap
penelitian
yaitu
dengan
cara
penelitian
dan
pengumpulan data untuk dapat menyusun suatu karangan
ilmiah atau laporan sehingga betul-betul akan terarah pada
tujuannya dengan melaluii cara tertentu dan teratur.1 Metode
penelitian
dalam
normatif.
Objek
penulisan
kajiannya
makalah
adalah
ini
adalah
hukum
dokumen-dokumen
peraturan-peraturan hukum serta bahan-bahan pustaka.
2.2. Hasil dan Pembahasan
2.2.1. Defni Hukum Humaniter
Perang dalam pengertian umum yang telah diterima
yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih
terutama dengan angkatan bersenjata mereka, tujuan
terakhir
dari
setiap
kontestan
atau
masing-masing
kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan kontestan1
Soetrisno Hadi, 1987, Metodologi Research, UGM, Yogyakarta, hlm. 49.
5
kontestan
lain
dan
membebankan
syarat-syarat
perdamaiannya.
Menurut
Karl
Von
perjuangan dalam skala
Clausewitz
perang
adalah
besar yang dimaksudkan oleh
salah satu pihak untuk menundukkan lawannyayaguna
memenuhi kehendak.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum humaniter
adalah
sebagai
dari
hukum
perang
yang
mengatur
ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; seperti
mengenai senjata-senjata yang dilarang. Konvensi Janewa
identik
konvensi
atau
sinonim
humaniter
konvensi-konvensi
dengan
hukum
sedangkan
Den
Haag
atau
konvensi-
hukum
perang
atau
mengatur
tentang
cara
melakukan peperangan.
Hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan
oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang
diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan
pada prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap
individu-individu pada saat berlangsungnya konfik-konfik
bersenjata.2
2.2.2. Tujuan Hukum Humaniter
Beberapa tujuan hukum humaniter yaitu :
2
J.G. Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafka,
hlm. 78-79.
6
a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun
penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental
bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan
yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan
sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara
manusiawi;
c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa
mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas
perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional
adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban
perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah
dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter
internasional
lebih
ditujukan
untuk
kepentingan
kemanusiaan, yaitu:
1. Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang berpengalaman
dalam menggunakan kekerasan militer dan tindakan
yang tidak manusiawi
2. Melindungi kombatan atau non kombatan/penduduk
sipil dari penderitaan yang tidak perlu
3. Menjamin hak-hak asasi tertentu dari mereka yang
berada ditangan musuh/pihak lawan, sesuai dengan
7
resolusi PBB No. 2444 tahun 1968 tentang Respector
Human Rights Arned Conficts.
Grotius,
yang
juga
diikuti
oleh
Prof.
Mochtar
Kusumaatmaja membagi:
1. Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu hukum yang
mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan
menggunakan kekeasan bersenjata.
2. Jus in bellow, yaitu hukum yang berlaku dalam perang,
terbagi lagi menjadi dua yaitu:
a. Hukum
termasuk
yang
mengatur
cara
dilakukannya
pembatasan-pembatasannya
yang
perang,
terdapat
dalam konvensi Den Haag.
b. Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang
menjadi korban perang , baik sipil maupun militer. Ini
terdapat dalam konvensi-konvensi Janewa.
3
2.2.3. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter
Hukum perang yang kini lazimnya disebut hukum
humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau
kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang
atau konfik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau
3
T. May Rudy, 2009, Hukum Internasional 2, PT. Reifka Aditama, hlm.
80
8
dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak
mengakibatkan
penderitaan
yang
berlebihan
dan
sebenarnya tidak perlu, baik masyarakat awam ataupun
penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil),
maupun
bagi
korban
perang
dan
anggota-anggota
“combatant”(pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena
itu ada beberapa asas atau prinsip yang terkandungdalam
Hukum
Humaniter. Asas
hukum
atau
prinsip
hukum
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma
dalam
peraturan
perundang-undangan
(Sudikno
Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan berdasarkan
asas-asas sebagai berikut:
a. Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa
dibenarkan
menggunakan
menundukkan
lawan
demi
kekerasan
tercapainya
untuk
tujuan
dan
keberhasilan perang.
b. Asas Perikemanusiaan
Menurut
asas
ini
pihak
yang
bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di
mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan
yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau
penderitaan yang tidak perlu.
c. Asas kesatriaan
9
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang,
kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang
tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara
yang bersifat khianat dilarang.
Prinsip
yang
berlaku
pada
hukum
humaniter
internasional antara lain:
a. Prinsip
keperluan,/kepentingan
militer
(military
necessity)
Yaitu untuk memberikan batasan, landasan atau
pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling
tempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakuakn dan
yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang
melanggar huku (dalam situasi perang), alat/sarana yang
boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan.
b. Prinsip kemanusiaan (humanitarian)
Yaitu
manusia
untuk
menerapkan
sebagaimana
perlakuan
kodratnya
dan
terhadap
bukan
diperlakukan bagaikan binatang(hewan), menyadari rasa
kasih sayang sesama manusia(jangan membantai atau
menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya,
atau sudah menyerah), menghargai hak-hak hidup bagi
manusia, dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak
asasi manusia.
10
c. Prinsip kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandungarti bahwa didalam suatu
peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan
alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan hukum
humaniter serta cara-cara peperangan yang bersifat
khianat dilarang.perang diharapkan hanya dilakukan
sebatas
mengalahkan
atau
melumpuhkan
kekuatan
kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan
personel, keluarga, dan harta benda lawan.oleh karena
itu
seandainya
kesatriandalam
saja
tidak
pembentukan
diterapkan
asas
ketentuan-ketentuan
hukum humaniter, maka sudah pasti peperangan akan
berlangsung dengan sangat brutal dan dan keji.
d. Prinsip non-diskriminasi (non-discrimination)
Yaitu untuk menghargai persamaan derajat tidak
membeda-bedakan,baik para pihak dalam pertempuran
maupun korban perang(termasuk lawan perang).4
2.2.4. Jenis-jenis Konfik Bersenjata
Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konfik
bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter
sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi4
Arlina Permatasari, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta,
hlm. 11
11
konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :
1).
“sengketa
atau
konfik
internasional” (international
bersenjata
armed
yang
confict);
bersifat
serta
2.)
“sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (noninternational armed confict). Pembagian dua bentuk konfik
ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan,
para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk
konfik bersenjata, antara lain :
1. Starke,
membagi
konfik
bersenjata
menjadi
dua,
yaitu war proper between States, and armed confict
which are not of the character of war. Mengenai “armed
confict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat
juga bukan negara menjadi pihak dalam konfik tersebut.
Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared
war”,
yaitu
perang
yang
didahului
dengan
ini
menjabarkan
konfik
suatu “declaration of war”
2. Shigeki
Miyazaki,
pakar
bersenjata sebagai berikut :Konfik bersenjata antara
pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1
dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
a. Konfik bersenjata antara pihak peserta (negara)
dengan
bukan
pihak
peserta
(negara
atau
12
penguasa de
facto),
misalnya
penguasa
memimpin kampanye pembebasan
yang
nasional yang
telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol.
Konvensi
Jenewa
Pasal
2,
Paragraf
4,
Protokol
Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
b. Konfik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan
bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto),
yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun
Protokol.
Konvensi
Jenewa,
Pasal
2,
Paragraf
4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
c. Konfik bersenjata antara dua bukan pihak peserta
(non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2,
Paragraf
4,
Kovensi
Jenewa
Pasal
3
(penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
d. Konfik bersenjata yang serius yang tidak bersifat
internasional
(pemberontakan).
Konvensi
Jenewa,
Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
e. Konfik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional
HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
2.2.5. Hubungan Hukum Humaniter dan HAM
Tidak selamanya saat perang atau konfik terjadi
akan memikirkan tentang HAM, namun antara Hukum
Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling
13
berhubungan. Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi
manusia
terdapat
pula
berbagai
ketentuan
yang
penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun
1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila
terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam
stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi
ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak
yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari
Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan,
integritas fsik, status sebagai subyek hukum, kepribadian,
perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan.
Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB
mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi
HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh
dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai
maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang
tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip
(perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture),
larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang
ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak
dipenjarakan
ketentuan
karena
perjanjian
ketidakmampuan
(kontrak),
melaksanakan
perbudakan
(slavery),
perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan
14
dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai
subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan
agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang
dimumkan
lebih
dahulu
oleh
pengadilan
yang lazim,
larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan
eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi
Jenewa.
Konferensi
internasional
mengenai
hak
asasi
manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada
tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak
Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional
(HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai
“penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”,
meminta
agar
konvensi-konvensi
tentang
pertikaian
bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya
disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini
mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter
Internasional.
III.
KESIMPULAN
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua
jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang
bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional.
15
Menurut Mochtar
Kusumaatmadja hukum
humaniter
adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuanketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan
hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala
sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu
sendiri.
Hukum
humaniter
tidak
dimaksudkan
untuk
melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang
yang
menentukan
permainan
“perang”,
tetapi
karena
alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau
membatasi
penderitaan
individu-individu
dan
untuk
membatasi wilayah dimana kebuasan konfik bersenjata
diperbolehkan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hadi, Soetrisno, 1987, Metodologi Research, UGM, Yogyakarta.
Permatasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC,
Jakarta.
Rudy, T. May, 2009, Hukum Internasional 2, PT. Reifka Aditama.
Strike, J.G. Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafka.
17
MANUSIA DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
Oleh :
Putu Suryani
Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Makalah
ini
diberikan
judul:
“Hukum
Humaniter
dan
Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia dilihat dari Perspektif
Hukum Internasional”. Latar belakang dari penulisan makalah ini
adalah menjelaskan sejarah lahirnya hukum humaniter, mengetahui
perbedaan
hukum humaniter
serta
hukum peperangan,
serta
mengkaitkan hukum humaniter dan hak asasi manusia. Karena
hukum humaniter bukanlah untuk melarang perang, melainkan atas
dasar alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi
penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana
kebuasan konfik bersenjata diperbolehkan.
Kata Kunci : Hukum Humaniter, Hukum Perang, Hak Asasi
Manusia
ABSTRACT
This paper is given the title: "Humanitarian Law and its
Relation to Human Rights viewed from the Perspective of
International Law". The background of the paper's writing is to
1
explain the history of the birth of humanitarian law, to know the
diference between humanitarian law and war law, and to link
humanitarian law and human rights. Because humanitarian law is not
forbidding war, but on the basis of humanitarian reasons to reduce or
limit the sufering of individuals and to limit the areas where armed
confict is permitted.
Keywords: Humanitarian Law, War Law, Human Rights
I.
PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang
singkat
namun
penuh
peristiwa.
Untuk
menghindari
penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad
ke-19
negara-negara
melakukan
kesepakatan
tentang
peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang
mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak
saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya
merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak
perbaiakan
dan
perluasan
hukum
humaniter
melalui
negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang
berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan
hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum
perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua.
Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang
Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi
2
Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia
(1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat
pandangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi
Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum
Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata
memiliki
sejarah
yang
sama
tuanya
dengan
peradaban
manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan
yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang
tertulis,
umat
manusia
hanya
mengenal
250
tahun
perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian
membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak
mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga
kemudian
mulailah
orang
mengadakan
pembatasan-
pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur
perang
antara
Kusumaatmadja
bangsa
juga
bangsa.
Selanjutnya
mengatakan
bahwa
Mochtar
tidaklah
mengherankan apabila perkembangan hukum internasional
modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri
dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat
ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan
di
seluruh
dunia.
Perkembangan
modern
dari
hukum
3
humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negaranegara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis,
yang
berdasarkan
pengalaman-pengalaman
pahit
atas
peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu
keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan
militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya
komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia
telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum
humaniter
internasional.
Dewasa
ini,
hukum
humaniter
internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benarbenar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam
aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk
perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa
bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir
semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban
bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war).
Kelompok
orang
tertentu
itu
meliputi
penduduk
sipil,
anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan
tawanan perang.
I.2.
Tujuan Penulisan
4
Adapun maksud dan tujuan penulisan dalam menyusun
makalah ini adalah untuk mengetahui defnisi perang dan
hukum humaniter serta hubungan hukum humaniter dan hak
asasi manusia.
II.
ISI MAKALAH
2.1. Metode Penelitian
Metode adalah cara mendapatkan kebenaran materiil
terhadap
penelitian
yaitu
dengan
cara
penelitian
dan
pengumpulan data untuk dapat menyusun suatu karangan
ilmiah atau laporan sehingga betul-betul akan terarah pada
tujuannya dengan melaluii cara tertentu dan teratur.1 Metode
penelitian
dalam
normatif.
Objek
penulisan
kajiannya
makalah
adalah
ini
adalah
hukum
dokumen-dokumen
peraturan-peraturan hukum serta bahan-bahan pustaka.
2.2. Hasil dan Pembahasan
2.2.1. Defni Hukum Humaniter
Perang dalam pengertian umum yang telah diterima
yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih
terutama dengan angkatan bersenjata mereka, tujuan
terakhir
dari
setiap
kontestan
atau
masing-masing
kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan kontestan1
Soetrisno Hadi, 1987, Metodologi Research, UGM, Yogyakarta, hlm. 49.
5
kontestan
lain
dan
membebankan
syarat-syarat
perdamaiannya.
Menurut
Karl
Von
perjuangan dalam skala
Clausewitz
perang
adalah
besar yang dimaksudkan oleh
salah satu pihak untuk menundukkan lawannyayaguna
memenuhi kehendak.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum humaniter
adalah
sebagai
dari
hukum
perang
yang
mengatur
ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; seperti
mengenai senjata-senjata yang dilarang. Konvensi Janewa
identik
konvensi
atau
sinonim
humaniter
konvensi-konvensi
dengan
hukum
sedangkan
Den
Haag
atau
konvensi-
hukum
perang
atau
mengatur
tentang
cara
melakukan peperangan.
Hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan
oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang
diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan
pada prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap
individu-individu pada saat berlangsungnya konfik-konfik
bersenjata.2
2.2.2. Tujuan Hukum Humaniter
Beberapa tujuan hukum humaniter yaitu :
2
J.G. Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafka,
hlm. 78-79.
6
a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun
penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental
bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan
yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan
sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara
manusiawi;
c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa
mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas
perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional
adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban
perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah
dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter
internasional
lebih
ditujukan
untuk
kepentingan
kemanusiaan, yaitu:
1. Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang berpengalaman
dalam menggunakan kekerasan militer dan tindakan
yang tidak manusiawi
2. Melindungi kombatan atau non kombatan/penduduk
sipil dari penderitaan yang tidak perlu
3. Menjamin hak-hak asasi tertentu dari mereka yang
berada ditangan musuh/pihak lawan, sesuai dengan
7
resolusi PBB No. 2444 tahun 1968 tentang Respector
Human Rights Arned Conficts.
Grotius,
yang
juga
diikuti
oleh
Prof.
Mochtar
Kusumaatmaja membagi:
1. Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu hukum yang
mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan
menggunakan kekeasan bersenjata.
2. Jus in bellow, yaitu hukum yang berlaku dalam perang,
terbagi lagi menjadi dua yaitu:
a. Hukum
termasuk
yang
mengatur
cara
dilakukannya
pembatasan-pembatasannya
yang
perang,
terdapat
dalam konvensi Den Haag.
b. Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang
menjadi korban perang , baik sipil maupun militer. Ini
terdapat dalam konvensi-konvensi Janewa.
3
2.2.3. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter
Hukum perang yang kini lazimnya disebut hukum
humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau
kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang
atau konfik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau
3
T. May Rudy, 2009, Hukum Internasional 2, PT. Reifka Aditama, hlm.
80
8
dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak
mengakibatkan
penderitaan
yang
berlebihan
dan
sebenarnya tidak perlu, baik masyarakat awam ataupun
penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil),
maupun
bagi
korban
perang
dan
anggota-anggota
“combatant”(pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena
itu ada beberapa asas atau prinsip yang terkandungdalam
Hukum
Humaniter. Asas
hukum
atau
prinsip
hukum
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma
dalam
peraturan
perundang-undangan
(Sudikno
Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan berdasarkan
asas-asas sebagai berikut:
a. Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa
dibenarkan
menggunakan
menundukkan
lawan
demi
kekerasan
tercapainya
untuk
tujuan
dan
keberhasilan perang.
b. Asas Perikemanusiaan
Menurut
asas
ini
pihak
yang
bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di
mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan
yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau
penderitaan yang tidak perlu.
c. Asas kesatriaan
9
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang,
kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang
tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara
yang bersifat khianat dilarang.
Prinsip
yang
berlaku
pada
hukum
humaniter
internasional antara lain:
a. Prinsip
keperluan,/kepentingan
militer
(military
necessity)
Yaitu untuk memberikan batasan, landasan atau
pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling
tempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakuakn dan
yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang
melanggar huku (dalam situasi perang), alat/sarana yang
boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan.
b. Prinsip kemanusiaan (humanitarian)
Yaitu
manusia
untuk
menerapkan
sebagaimana
perlakuan
kodratnya
dan
terhadap
bukan
diperlakukan bagaikan binatang(hewan), menyadari rasa
kasih sayang sesama manusia(jangan membantai atau
menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya,
atau sudah menyerah), menghargai hak-hak hidup bagi
manusia, dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak
asasi manusia.
10
c. Prinsip kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandungarti bahwa didalam suatu
peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan
alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan hukum
humaniter serta cara-cara peperangan yang bersifat
khianat dilarang.perang diharapkan hanya dilakukan
sebatas
mengalahkan
atau
melumpuhkan
kekuatan
kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan
personel, keluarga, dan harta benda lawan.oleh karena
itu
seandainya
kesatriandalam
saja
tidak
pembentukan
diterapkan
asas
ketentuan-ketentuan
hukum humaniter, maka sudah pasti peperangan akan
berlangsung dengan sangat brutal dan dan keji.
d. Prinsip non-diskriminasi (non-discrimination)
Yaitu untuk menghargai persamaan derajat tidak
membeda-bedakan,baik para pihak dalam pertempuran
maupun korban perang(termasuk lawan perang).4
2.2.4. Jenis-jenis Konfik Bersenjata
Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konfik
bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter
sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi4
Arlina Permatasari, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta,
hlm. 11
11
konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :
1).
“sengketa
atau
konfik
internasional” (international
bersenjata
armed
yang
confict);
bersifat
serta
2.)
“sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (noninternational armed confict). Pembagian dua bentuk konfik
ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan,
para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk
konfik bersenjata, antara lain :
1. Starke,
membagi
konfik
bersenjata
menjadi
dua,
yaitu war proper between States, and armed confict
which are not of the character of war. Mengenai “armed
confict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat
juga bukan negara menjadi pihak dalam konfik tersebut.
Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared
war”,
yaitu
perang
yang
didahului
dengan
ini
menjabarkan
konfik
suatu “declaration of war”
2. Shigeki
Miyazaki,
pakar
bersenjata sebagai berikut :Konfik bersenjata antara
pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1
dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
a. Konfik bersenjata antara pihak peserta (negara)
dengan
bukan
pihak
peserta
(negara
atau
12
penguasa de
facto),
misalnya
penguasa
memimpin kampanye pembebasan
yang
nasional yang
telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol.
Konvensi
Jenewa
Pasal
2,
Paragraf
4,
Protokol
Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
b. Konfik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan
bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto),
yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun
Protokol.
Konvensi
Jenewa,
Pasal
2,
Paragraf
4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
c. Konfik bersenjata antara dua bukan pihak peserta
(non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2,
Paragraf
4,
Kovensi
Jenewa
Pasal
3
(penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
d. Konfik bersenjata yang serius yang tidak bersifat
internasional
(pemberontakan).
Konvensi
Jenewa,
Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
e. Konfik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional
HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
2.2.5. Hubungan Hukum Humaniter dan HAM
Tidak selamanya saat perang atau konfik terjadi
akan memikirkan tentang HAM, namun antara Hukum
Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling
13
berhubungan. Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi
manusia
terdapat
pula
berbagai
ketentuan
yang
penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun
1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila
terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam
stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi
ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak
yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari
Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan,
integritas fsik, status sebagai subyek hukum, kepribadian,
perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan.
Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB
mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi
HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh
dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai
maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang
tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip
(perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture),
larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang
ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak
dipenjarakan
ketentuan
karena
perjanjian
ketidakmampuan
(kontrak),
melaksanakan
perbudakan
(slavery),
perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan
14
dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai
subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan
agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang
dimumkan
lebih
dahulu
oleh
pengadilan
yang lazim,
larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan
eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi
Jenewa.
Konferensi
internasional
mengenai
hak
asasi
manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada
tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak
Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional
(HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai
“penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”,
meminta
agar
konvensi-konvensi
tentang
pertikaian
bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya
disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini
mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter
Internasional.
III.
KESIMPULAN
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua
jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang
bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional.
15
Menurut Mochtar
Kusumaatmadja hukum
humaniter
adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuanketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan
hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala
sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu
sendiri.
Hukum
humaniter
tidak
dimaksudkan
untuk
melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang
yang
menentukan
permainan
“perang”,
tetapi
karena
alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau
membatasi
penderitaan
individu-individu
dan
untuk
membatasi wilayah dimana kebuasan konfik bersenjata
diperbolehkan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hadi, Soetrisno, 1987, Metodologi Research, UGM, Yogyakarta.
Permatasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC,
Jakarta.
Rudy, T. May, 2009, Hukum Internasional 2, PT. Reifka Aditama.
Strike, J.G. Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafka.
17