Filsafat Ilmu Makalah Ontologi Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian
pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat
dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari
kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan
atau menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, filsafat diartikan sebagai
pengetahuan tentang suatu makna. Pengetahuan adalah keseluruhan hal yang
diketahui yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta.
Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan diklasikfikasikan secara
tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan kepada
kebenaran atau hukum-hukum umum.2
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan
melakukan pengamatan ataupun penelitian, kemudia peneliti atau pengamat
tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau
penelitiannya. Dari hasil pengamatan atau penelitian ini akan dihasilkan teori
dan dapat pula pengamatan atau penelitian ini ditujukan untuk menguji teori
yang ada. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya
operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan
berasal.4

Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak
menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian halhal
normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif
semata. Hal-hal yang berkaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif
lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. 4
Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berpikir manusia yang
tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian. Berpikir
merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau
pengalaman dengan maksud tertentu. Makin luas dan dalam suatu
pengalaman atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh

1

proses berpikir yang dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan
digunakan untuk mengabstraksi objek menjadi sejumlah informasi dan
mengolah informasi untuk maksud tertentu.3
Berpikir

merupakan


sumber

munculnya

segala

pengetahuan.

Pengetahuan memberikan umpan balik kepada berpikir. Hubungan timbal
balik antara berpikir dan pengetahuan berlangsung secara berkesinambungan
dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan akan berlangsung secara
kumulatif. Bagian terpenting dari berpikir adalah kecerdasan mengupas
(critical intelegence). 3
Untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dari proses berpikir yang
benar, dalam arti sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka
seorang pengamat atau peneliti harus menggunakan penalaran yang benar
dalam berpikir. Hasil penalaran itu akan menghasilkan kesimpulan yang
dianggap sahih dari sisi keilmuan. Secara definisi, nalar merupakan
kemampuan atau daya untuk memahami informasi dan menarik kesimpulan.
Dengan nalar tersebut, seseorang akan menyajikan gagasan atau pendapat

secara tertib, runtut, teratur dan mengikuti struktur yang sifatnya logis
(mantik). Dengan nalar, ilmu dapat berfungsi menjelaskan, meramalkan dan
mengendalikan keadaan atau kejadian.1, 2
Pada dasarnya terdapat dua bentuk penalaran yakni deduksi dan
induksi. Deduksi berpangkal pada suatu pendapat umum, berupa teori, hukum
atau kaedah dalam menyusun suatu penjelasan tentang suatu kejadian khusus
atau dalam menarik suatu kesimpulan. Deduksi bertujuan untuk mencari
kesahihan (validitas) suatu informasi, bukan pada kebenarannya. Induksi
berpangkal pada sejumlah fakta empirik untuk menyusun suatu penjelasan
umum, teori atau kaidah yang berlaku secara umum di masyarakat. Karena
tidak mungkin untuk mengamati keseluruhan fakta yang ada, terutama pada
fakta yang muncul dikemudian hari, kesimpulan induktif hanya dapat
mencapai kebenaran yang sifatnya probabilistik. Kesahihan pendapat induktif
ditentukan secara mutlak oleh kebenaran fakta yang dijadikan pangkal
penalaran. Namun demikian, induksi memiliki peluang untuk menciptakan
teori baru. Jika induksi dan deduksi dapat digabungkan menjadi satu kesatuan

2

struktur penalaran, maka penalaran akan menghasilkan manfaat yang lebih

besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan.1
Filsafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah
utama yang harus kita bahas adalah masalah kenyataan, tentang realitas,
tentang yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus
memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang
realitas mengontrol pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya
pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban dari mana kita
nantinya akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan
menetapkan disiplin tentang masalah – masalah pokoknya.4
Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau
pengetahuan ilmiah yang sering kali secara populer banyak orang
menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau
kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi
ilmu tentang apa dan bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang
kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa
diamati melalui panca indera manusia. Sementara kajian objek penelaahan
yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan
pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari
pengetahuan lainnya di luar ilmu.4
Berdasar pada latar belakang inilah, penulis membuat makalah dengan

judul “Ontologi : Hakikat Apa yang Dikaji” yang meliputi sub pokok
bahasan Metafisika, Asumsi, Peluang, Beberapa asumsi dalam ilmu dan Batas
– batas penjelajahan ilmu”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penulis menyusun
beberapa topik pembahasan sebagai berikut;
1. Apakah pengertian ontologi?
2. Apakah pengertian metafisika?
3. Apakah pengertian asumsi?
4. Apakah pengertian peluang?

3

5. Bagaimana asumsi dalam ilmu?
6. Di mana batas – batas penjelajahan dalam ilmu?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini bertujuan ;
1. Untuk mengetahui pengertian ontologi.
2. Untuk mengetahui pengertian metafisika.
3. Untuk mengetahui pengertian asumsi.

4. Untuk mengetahui pengertian peluang.
5. Untuk mengetahui deskripsi asumsi dalam ilmu.
6. Untuk mengetahui batas – batas penjelajahan dalam ilmu.

4

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Istilah ontologi berasal dari kata Yunani onta yang berarti sesuatu
yang sunguh-sungguh ada, kenyataan yang sesungguhnya, dan logos yang
berarti teori atau ilmu. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran
tentang keberadaan. Ontologi mempelajari keberadaan dalam bentuknya yang
paling abstrak. Ontologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan
tatanan dan struktur kenyataan dalam arti luas.4
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang
filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi
melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan
tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai
dengan berjalannya waktu. 4

Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara
eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah
knowladge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki
dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai
landasan untuk sebuah knowledge base. Dengan demikian, ontologi
merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, properti dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain
pengetahuan.1
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang
ada. Dalam kaitan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa
yang ditelaah ilmu, bagaimana wujud yang hakiki dari dari objek tersebut,
bagimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan.5
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelahaan keilmuannya
hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Objek penelahaan yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti

5

penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka)

menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu hanya
merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang
mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan
lingkup batas penelahaan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten
dengan asas epistemologi keilmuaan yang mensyaratkan adanya verifikasi
secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang
bersifat benar secara ilmiah.1
B. Metafisika
Pembahasan

otologi

terikat

dengan

pembahasan

mengenai


metafisika. Ontologi membahas hakekat yang “ada” sedangkan metafisika
menjawab pertanyaan apakah hakekat kenyataan ini sebenar-benarnya. Pada
suatu pembahasan metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada
pembahasan lain ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika.
Karena itu, ontologi dan metafisika merupakan dua hal yang saling terkait.2, 5
Metafisika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu ta meta
physica dengan arti makna yang ada setelah fisika. Jujun Suriasumantri
mengumpamakan metafisika sebagai sebagai sebuah landasan roket, roket itu
sendiri adalah pikiran-pikiran manusia. Diibaratkan pikiran adalah roket yang
meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka
metafisika adalah landasan peluncurannya. Dengan kata lain, metafisika
adalah dasar atau landasan pandangan mengenai alam dan manusia sebagai
makhluk hidup (termasuk zat dan pikiran yang dimilikinya).2
Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran
filsafati, termasuk pemikian ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban
tentang apakah alam ini. Terdapat beberapa penafsiran yang diberikan
manusia mengenai alam ini.
1.

Supernaturalisme

Tafsiran supernatural adalah tafsiran yang diberikan manusia
kepada alam bahwa alam terdiri dari wujud-wujud gaib (supernatural)
dan lebih berkuasa dibandingkan dengan kuasa alm nyata. Animisme

6

merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatural ini,
dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat
dalam benda-benda.5
2.

Naturalisme
Paham ini menolak wujud-wujud supernatural. Materialisme
merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum
materialisme menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh
kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri yang dapay dipelajari dan
dengan demikian dapat kita ketahui.3, 5
Democritos (460-370 SM) adala salah satu tokoh awal paham
materialisme.


Ia

mengembangkan

paham

materialisme

dan

mengemukakan bahwa unsur dari alam adalah atom. Hanya berdasar
kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan sebagainya.
Objek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian,
hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas,
dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari
setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindera.1, 4
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia
fisika. Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala
alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika
semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan
kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia
fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur
dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.
Kaum vitalistik mempertanyakan apakah manusia merupakan
bagian dari proses kimia fisika tersebut. Pertanyaan beranjut pada
bagaimana pandangan mengenai pikiran (kesadaran). Bagi kaum
vitalistik, hidup merupakan sesuatu yang unnik yang berbeda dengan
proses kimia fisika tersebut. Proses berpikir manusia menghasilkan
pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun, apakah
kebenarannya dari hakikat pemikiran tersebut. Apakah dia berbeda
dengan benda yang ditelaahnya, ataukkah bentuk lain dari zat tersebut.

7

Kelompok naturalis yang lain, yaitu aliran monoistik dengan
tokohnya Christian Wolf (1679-1754), menyatakan bahwa tidak berbeda
antara pikiran dengan zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang
disebabkan proses berlainan, namun memiliki substansi yang sama.
Sebagaimana energi dan zat, teori Einstein menyatakan energi hanya
bentuk lain dari zat. Jadi proses berpikir dianggap sebagai aktivitas
elektro kimia dari otak.
Kelompok lainnya yaitu aliran dualistik memberikan pendapat
yang berbeda tentang makna kesadaran. Zat dan kesadaran (fikiran)
adalah berbeda secara substantif. Tokoh penganut paham ini antara lain
Rene Descartes, John Locke dan George Berkeley. Mereka menyatakan
bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran manusia, termasuk penginderaan
dari hasil pengalaman manusia adalah bersifat mental. Yang bersifat
nyata hanyalah fikiran, karena dengan berpikir maka sesuatu itu akan
menjadi ada. Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada.
John Locke mengibaratkan fikiran manusia pada awalnya
merupakan sebuah lempeng yang licin dan rata dimana pengalaman
inderawi akan melekat dalam lempeng tersebut. Organ manusialah yang
menangkap dan menyimpan pengalaman inderawi.
Berkeley terkenal dengan ungkapannya “to be is to be perceived”.
Ada adalah disebabkan oleh persepsi. Sesuatu akan muncul karena
manusia berpikir dan memunculkan suatu anggapan. Proses kreasi
muncul karena persepsi ini dan menghasilkan sesuatu yang berwujud.3, 5
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang
mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat
melepaskan diri dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin
dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan semakin banyak pertanyaan
yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal tersebut
di atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh setiap ilmuwan,
maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat individual
yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu adalah
sifat pragmatis dari ilmu.1, 3

8

C. Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk
mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus
obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih
banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu
jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau
gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan yang lain
yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala
hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang
harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi
pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum
melakukan penelitian.2, 4
Hipotesis merupakan suatu asumsi, jika diperiksa ke belakang
(backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan
(forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini
dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah
waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan turun
di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan
menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.4
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam
setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan
berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan
menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil
pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk
melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta
atau data.
Asumsi adalah praduga anggapan sementara (yang kebenarannya
masih dibuktikan). Timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang
belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala

9

alam ini tunduk kepada determinisme , yakni hukum alam yang bersifat
universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala
merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun
berupa peluang, sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal
untuk terjadi).
Asumsi bersifat tidak mutlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak
pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang bersifat mutlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan
mutlak. Kedudukan ilmu dalam asumsi adalah ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, karena keputusan harus
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.2, 3
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain aksioma,
postulat dan premise. Aksioma adalah pernyataan yang disetujui umum tanpa
memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
Postulat adalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa
pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana
adanya. Sedangkan premise adalah pangkal pendapat dalam suatu entimen.
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu
tinjauan dari awal bahwa gejala awal tunduk pada tiga karakteristik yakni :
1.

Deterministik
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang
bersifat universal. Tokoh dalam karakteristik ini adalah William
Hamilton dan Thomas Hobbes, yang menyimpulkan bahwa pengetahuan
bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
universal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik
lebih banyak dikenal dan asumsina banyak digunakan dibanding ilmu
sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam, 1 jam sama dengan
60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa
nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapapun jumlah percobaan
dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan
karbon dioksida. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham

10

fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib
yang telah ditetapkan lebih dahulu. 4, 5

2.

Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya,
tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif.
Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai
misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti
kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak
harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu
suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya
animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India
mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya.
Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung
ruang dan waktu.4, 5

3.

Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal
memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku
deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan
sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan
menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern,
karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu
ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan
metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan
ini berarti suatu variable dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya
sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika
kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut
tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat,
permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri
(peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat

11

kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku
bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham
deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang
bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi
pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran
probabilistic merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab
ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam
memecahkan

masalah

praktis

sehari-hari,

tidak

perlu

memiliki

kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap
hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu
tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative.Jadi,
berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti
mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang
probabilistik, atau bersifat peluang.3-5
Seakin banyak asumsi bearti semakin sempit ruang gerak penelaahan
suatu objek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan
yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam
gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentukasumsi yang kian sempit
menjadi diperlukan.
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin
ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian
teoritis. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya”
bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi harus bercirikan
positif, bukan normatif. Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi adalah
esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat obyektif
dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil
persepsi individu. Mengenai hal ini ada dua asusmsi yang berbeda yakni
nominalisme dan realisme.

12

Pada asumsi nominalisme, kehidupan sosial dalam persepsi individu
tak lain adalah kumpulan konsep-konsep baku, nama dan label yang akan
mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui
konsep yang telah ada. Sedangkan pada asumsi realisme, kehidupan sosial
adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada
konsep mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung
pada persepsi individu.
Akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari
berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi. Ilmu sekedar merupakan
pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu
kehidupan manusia secara pragmatis (sesuatu yang mengandung manfaat).
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu yang paling
maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Fisika merupakan ilmu
teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyakinkan serta
pembutktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah
perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas
yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.(zat,gerak,ruang dan waktu)1, 4
Kesimpulannya sebuah asumsi adalah sebuah ketidak pastian.
Asumsi perlu dirumuskan berdasarkan ilmu pengetahuan dan timbulnya
asumsi karena adanya sesuatu kejadian atau kenyataan.
D. Peluang
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang
pasti mengenai suatu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Peluang
secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana
dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari
10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut
memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi
ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil
keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan

13

terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori
keilmuan.3, 5

E. Beberapa Asumsi dalam Ilmu
Waktu kecil segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi,
orang-orang tampak seperti raksasa Pandangan itu berubah setelah kita
beranjak dewasa, dunia ternyata tidak sebesar yang kita kira, wujud yang
penuh dengan misteri ternyata hanya begitu saja. Kesemestaan pun menciut,
bahkan dunia bisa sebesar daun kelor, bagi orang yang putus asa. Katakanlah
kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri).
Dengan ilmu itu kita membuat kontruksi kayu bagi atap rumah kita. Sekarang
dalam bidang datar yang sama bayangkan para amuba ingin membuat rumah
juga. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus melainkan
bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan
yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta kurva.
Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya masingmasing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. Hal – hal
yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi;
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin
keilmuan.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian
teoritis.. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional
adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau
makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat
dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan
‘bagaimana keadaan yang seharusnya’.
Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan
adalah manusia ‘yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai

14

pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya
begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan
kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya,
maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam
menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan
keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis
teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan
sesungguhnya sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang
dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi
yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang
dipergunakan. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap) dianggap belum
diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Asumsi yang pertama
adalah mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi yang kedua adalah asumsi
yang mendasari telaah moral.4, 5
F. Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Memulai penjelajahannnya pada pengalaman manusia dan berhenti di
batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari hal ihwal surga dan
neraka sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa –apa yang terjadi
sesudah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas
pengalaman kita karena terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan
manusia: yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi
masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari
kemudian tidak akan kita nyatakan kepada ilmu, melainkan kepada agama,
sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang
telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah
di luar batas pengalaman empirisnya, kita tidak dapat melakukan pembuktian

15

secara

metodologis.

Hal

ini

merupakan

suatu

kontradiksi

yang

menghilangkan keahlian metode ilmiah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sangat sedikit batas penjelajahan
ilmu yang ada, hanya sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. bahkan
dalam batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam
menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk,
semua (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang
indah dan jelek, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik.
Menurut Einstein Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta.
Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan
maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Saling
pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multidisipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang
berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua: di mana disiplin seseorang
berhenti dan di mana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas
ini maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan
berubah menjadi sengketa kapling.1, 4, 5

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property
dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada
suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi
adalah studi tentang sesuatu yang ada.
2. Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika.
Karena ontologi membahas hakikat yang “ada”, sedangkan metafisika
merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi
merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika
dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika
merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk
pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah
alam ini.
3. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan
menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian,
semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan
merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat
diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang
diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian.
Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin
(2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi

17

suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard
presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
4. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti
mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
5. Seseorang

ilmuwan

harus

benar-benar

mengenal

asumsi

yang

dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi
yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang
dipergunakan.
6. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia
juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah
teruji kebenarannya secara empiris. Jika tanpa kejelasan batas-batas ini
maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan
berubah menjadi sengketa kapling
B. Saran
Berdasar pada pembahasan diatas tentang “Ontologi, Hakikat Apa yang
Dikaji: Metafisika, Asumsi, Peluang, Beberapa asumsi dalam ilmu dan Batas
– batas penjelaqjahan ilmu”, maka penulis memberikan saran sebagai
berikut :
1.

Memperluas cakupan materi yang berkaitan dengan obyek bahasan.

2.

Membuat peta konsep dari pembahasan ini yang bertujuan untuk
memudahkan para pembaca memahami secara singkat.

18

DAFTAR PUSTAKA

1

A. Idi, and M. Faizin, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, Dan
Pendidikan (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).

2

R. Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar (Jakarta:
Remaja Rosdakarya, 2001).

3

Prasetya, 'Filsafat Pendidikan' (Bandung: Pustaka Setia, 2000).

4

Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2005).

5

J.S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. 22 edn
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2017).

19

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157