Modul Infeksi pada Pasien dengan Malignansi (PHKA1PSF-FKUB)

DENGAN KEGANASAN

Diana Lyrawati, MS. PhD. Apt.

Pasien dengan demam neutropenia

• Diperkirakan neutropenia < 7 hari

• Hemodinamik tidak stabil

• Stabil secara klinis

• Mukositis dengan diare atau kesulitan menelan

• Tidak ada komorbid

• Gejala GI (nyeri, mual, muntah, diare) • Skor MASCC > 21 • Baru saja terjadi perubahan neurologis atau

status mental • Infeksi kateter intravaskular • Baru saja terjadi infiltrate paru-

paru/hipoksemia atau

Penatalaksanaan

• penyakit kronis paru-paru yang mendasari

DI RS atau klinik dengan antibiotik PO

• Insufisiensi hati atau ginjal atau IV • Skor MASCC < 21

Farmakoterapi: a

• Siprofloksasin + amoxicillin/clavulanate (A-1) • Siprofloksasin atau levofloxacin

Penatalaksanaan

(monoterapi) (B-III)

Dirawat inap untuk antibiotik IV

• Siprofloksasin + Klindamisin (B-III)

Farmakoterapi: • Monoterapi IV dengan anti-pseudomonas β-laktam b (cefepime, imipenem- cilastatin, meropenem, or piperacillin-tazobactam) • Tambah aminoglikosida atau fluorokuinolon pada pasien hipotensi atau dicurigai pneumonia, atau terbukti atau dicurigai resistensi • Tambah vankomisin pada kasus yang dicurigai infeksi karena kateter, pneumonia, SSTI, terbukti atau dicurigai resistensi, atau tidak stabil hemodinamik

• Cek riwayat infeksi sebelumnya, rawat inap, tinggal pada fasilitas kesehatan jangka lama, atau kolonisasi ○ MRSA: Pertimbangkan pemberian dini vankomisin, daptomycin, atau

linezolid (B-III) ○ VRE: Pertimbangkan pemberian dini linezolid atau daptomycin (B-III) ○ ESBLs: Pertimbangkan pemberian dini carbapenem (B-III) ○ KPCs: Pertimbangkan pemberian dini polymyxin, colistin, atau tigecycline

(C-III)

PROGRAM STUDI FARMASI

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang atas kehendak-Nya buku ini dapat diselesaikan.

Modul ini ditulis pada tahun 2015, berdasarkan tulisan Infections in Patients with Malignancies oleh Melissa Badowski, Pharm.D., BCPS, 2015. Materi yang ada dalam buku ini merupakan sumber pustaka sebagai pelengkap untuk mata kuliah Farmakoterapi Infeksi, Kanker dan Gangguan Nutrisi terutama pada sesi terapi suportif pada penderita keganasan (kanker). Namun demikian, materi modul ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk mata kuliah Pelayanan Farmsi Klinis yang mayoritas pembelajaran dilakukan berdasarkan problem based-learning. Modul ini dibuat untuk membantu mahasiswa yang ingin membaca sendiri mengenai isi kuliah farmakoterapi infeksi pada kasus keganasan, terutama jika dirasa pertemuan tatap muka dan tutorial di kelas tidak cukup, terlalu cepat atau terlalu singkat.

Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini dapat memberikan sumbangan pemahaman pengetahuan klinis baik bagi mahasiswa farmasi, dosen di bidang kesehatan dan siapa saja yang berminat untuk mengetahui mengenai farmakoterapi infeksi pada keganasan/kanker.

Diana Lyrawati

Tabel 1. Demam Neutropenia, Neut ropenia, and Limfopenia yang Diinduksi ……. 4 Kemoterapi. Stratifikasi resiko kemoterapi berdasarkan insiden. Tabel 2. Resiko dan Pencegahan Infeksi pada Neutropenia …………………………… 11 Tabel 3. Tambahan untuk Terapi Empiris pada Demam Neutropenia Berdasarkan

Tanda dan Gejala Klinis ………………………………………………………………… 13 Tabel 4. Lama Terapi Anti ─infeksi pada Demam Neutropenia ………………………… 14

Gambar 1. Masa Terjadinya Infeksi pada Transplantasi Sel Hematopoiesis. …9 Gambar 2. Penatalaksanaan Empiris Demam Neutropenia ………………………… 10

Modul FARMAKOTERAPI INFEKSI PADA PASIEN DENGAN KEGANASAN

TUJUAN PEMBELAJARAN Minggu ke 2

Bahan ajar ini dirancang agar mahasiswa dapat:

F 1. F Mendemonstrasikan pemahaman mengenai faktor-faktor

resiko dan penyebab infeksi bakteri, virus dan jamur

pada pasien dengan keganasan hematologis atau tumor-

padat.

T 2. T Membedakan antara pasien-pasien dengan resiko demam

R neutropenia tinggi, menengah dan rendah. R

P 3. P Mengembangkan rencana farmakoterapi baik untuk

terapi maupun pencegahan infeksi bakteri, virus dan

jamur pada pasien dengan keganasan hematologis atau

tumor-padat.

S 4. S Menilai (assess) profil keamanan obat antiinfeksi yang

K digunakan untuk menangani dan mencegah infeksi K

N bakteri, virus dan jamur. N

5. E Mengevaluasi terapi obat untuk mendeteksi adanya E

interaksi obat ─obat pada pasien yang menerima terapi

atau pencegahan demam neutropenia.

G 6. G Mengevaluasi peran faktor pertumbuhan pada

N pencegahan demam neutropenia. N

PENDAHULUAN

Diperkirakan 1,6 juta peduduk Amerika menerima diagnosis baru kanker (ACS 2014). Untuk sebagian besar pasien, kemoterapi merupakan komponen esensial terapi; namun, kemoterapi juga mengakibatkan neutropenia yang bermakna, yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas terkait infeksi. Sekitar 10% pasien yang menerima kemoterapi mengalami komplikasi infeksi yang memerlukan rawat-inap di rumah sakit (CDC 2013). Setiap episode demam neutropenia ( febrile neutropenia, FN) dapat menelan biaya rata-rata $19.110 (Kuderer 2006). Komplikasi infeksi merupakan sumber mortalitas pasien rawat inap pada 9,5% pasien dengan keganasan (Kudere 2006). Infeksi dapat merupakan akibat dari penggunaan kemoterapi, tindakan bedah untuk membuang tumor, transplantasi sel hematopoesis (HCT), penggunaan alat-alat kesehatan yang menempel pada pasien, dan/atau kunjungan berulang ke lembaga kesehatan.

FAKTOR RESIKO

I MUNODEFISIENSI Pasien-pasien dengan keganasan memiliki peningkatan resiko infeksi karena defisiensi

imunitas humoral dan selular. Pasien yang defisiensi imunitas selular seperti pada keganasan hematologis antara lain pada leukemia akut dan kronis, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, dan sindroma mielodiplastik, mengalami disfungsi pada limfosit T dan makrofag. Selain itu, keganasan hematologis tingkat lanjut atau refrakter dapat disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang yang diakibatkan oleh keganasan itu sendiri atau akibat terapi sitotoksik beberapa siklus atau imunosupresan. Peningkatan resiko infeksi oportunistik yang disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus terjadi pada individu-individu yang mendapat HCT alogenik sampai selama 2 tahun sejak ditransplantasi (Marr 2002; Wald 1997). Pasien dengan multipel mieloma dan leukemia limfositik kronis mengalami hipogammaglobulinemia, yang menyebabkan disfungsi sel-sel B dari penurunan imunitas humoral. Selain itu, pasien yang menerima steroid dan/atau kemoterapi, atau pasien yang mendapat tindakan splenektomi (dalam hal ini, untuk diagnosis penyakit Hodgkin) beresiko tinggi mengalami infeksi terutama yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia.

K ERUSAKAN B ARRIER M UKOSA Kerusakan kulit dan lapisan mukosa akibat tindakan bedah, prosedur diagnosis,

pemasangan alat injeksi, tusukan jarum, kateterisasi, dan radiasi, merusak lini pertama pertahanan tubuh terhadap flora lokal. Gangguan pada flora kulit normal berakibat pada infeksi bakteri yang disebabkan oleh Streptococcus aureus, Streptococcus epidermidis, atau streptococci. Radang mukosa gastrointestin yang pemasangan alat injeksi, tusukan jarum, kateterisasi, dan radiasi, merusak lini pertama pertahanan tubuh terhadap flora lokal. Gangguan pada flora kulit normal berakibat pada infeksi bakteri yang disebabkan oleh Streptococcus aureus, Streptococcus epidermidis, atau streptococci. Radang mukosa gastrointestin yang

L INGKUNGAN DAN K ESEHATAN Pasien dengan penurunan imunitas ( immunocompromise) rentan terhadap infeksi

yang disebabkan oleh patogen yang telah membuat koloni pada pasien atau patogen yang didapat dari lingkungan. Tanpa kepatuhan yang ketat terhadap pedoman kontrol infeksi, petugas rumah sakit dapat memindahkan patogen melalui sanitasi tangan yang kurang tepat atau melalui kontaminasi peralatan kesehatan. Kebanyakan infeksi pada pasien disebabkan oleh flora kulit atau saluran cerna pasien sendiri. Penggunaan antibiotik spektrum luas, kemoterapi, dan penekan asam lambung dapat mengubah flora dan integritas aluran cerna sehingga meningkatkan resiko infeksi. Keamanan makanan bagi pasien yang baru saja sembuh dari kanker juga sangat penting. Makanan mentah atau produk yang tidak dipasteurisasi, daging makan siang, dan buah-buahan dan sayuran yang tidak dicuci dapat menyebabkan penyakit yang berkaitan dengan Escherichia coli, Campylobacter, Listeria, Norovirus, Salmonella, Toxoplasma, atau Vibrio (FDA 2014). Air juga merupakan salah satu sumber bakteri bagi pasien dengan penurunan imunitas. Air yang akan diminum harus dididihkan paling sedikit 1 menit sebelum diminum dan disimpan pada wadah yang bersih dan tertutup serta disimpan dalam kulkas sampai 72 jam (NCI 2011). Penyaringan air dengan filter tidak menghilangkan organisme yang berbahaya dan sebaiknya tidak digunakan untuk mengganti metode mendidihkan air. Air kemasan dalam botol harus didistilasi atau melewati filtrasi osmosis untuk menghilangkan organisme yang bertanggungjawab terhadap infeksi lambung atau usus (NCI 2011). Sistem filtrasi air tidak aman kecuali jika ditambahkan klorin pada sistem. Filter yang digunakan harus dapat menghilangkan coliform dan Cryptosporidium. Selain itu, sistem filter air portable hanya memfilter zat kimia tapi tidak bakteri (NCI 2011). Dianjurkan jika memelihara binatang, sebaiknya dihentikan untuk menghindari organisme penyebab infeksi. Pasien dengan steroid dosis tinggi dan mereka yang sedang menjalani terapi untuk limfoma dan leukemia sangat dianjurkan untuk menghindari binatang peliharaan (NIH 2014). Pasien juga harus mencuci tangan dengan seksama setelah mengurus binatang peliharaan. Jika memelihara kucing, sebaiknya orang lain yang mengurus agar pasien terhindar dari paparan Toxoplasma. Jika pasien sendiri yang mengurus, maka harus menggunakan sarung tangan karet dan penutup wajah.

NEUTROPENIA

Neutropenia didefinisikan sebagai jumlah absolut netrofil (ANC) kurang dari 500

3 sel/mm 3 atau diperkirakan ANC akan turun di bawah 500 sel/mm dalam 48 jam. Jika terjadi neutropenia yang bermakna (ANC kurang dari 100 sel/ mm 3 ), resiko pasien

akan terinfeksi bakteri yang mengancam jiwa dapat mencapai 20% (Freifeld 2011;

Schimpff 1986). Resiko neutropenia, termasuk tingkat dan durasi dan perkembangan demam neutropenia, dipengaruhi oleh jenis kemoterapi (Tabel 1). Senyawa pengalkilasi, antimetabolit, antrasiklin, penghambat topoisomerase, taksan, dan alkaloid vinka meningkatkan resiko terjadinya neutropenia yang diinduksi oleh kemoterapi. Pasien yang menerima terapi untuk leukemia akut dan kronis, beberapa penghambat tirosin kinase (misalnya bosutinib, dasatinib, imatinib, nilotinib) juga dapat menyebabkan neutropenia. Usia lanjut, pemberian kemoterapi sebelumnya atau bersamaan dengan radiasi, nutrisi yang buruk, dan disfungsi organ juga merupakan faktor resiko neutropenia yang diinduksi kemoterapi(Fausel 2010). Imunodefisiensi, keganasan tingkat lanjut, kemoterapi dosis tinggi dan jangka lama dapat mengaburkan tanda-tanda infeksi dan demam.

LIMFOPENIA

Limfopenia merujuk pada jumlah limfosit yang kurang dari 1000 sel/mm 3 dan dapat berakibat pada infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit (NIH 2013). Kortikosteroid

dosis tinggi bersama dengan kemoterapi berdampak pada neutrofil dan limfosit. Beberapa kemoterapi yang digunakan untuk menangani leukemia dan limfoma diketahui menyebabkan limfopenia (Tabel 1).

DEMAM NONINFEKSI

Sekitar 25% individu dengan kanker dapat mengalami demam sebelum diagnosis (Brusch 1988). Demam yang lebih dari 38,3˚C (100,9˚F) beberapa kali selama lebih dari 3 minggu harus diperiksa untuk mengetahui adanya keganasan, dengan asumsi telah dibuktikan bukan karena penyebab lain (diagnosis banding tersingkir) termasuk infeksi, gangguan jaringan ikat, dan reaksi obat. Beberapa antimikroba, antineoplasma, obat kardiovaskular, imunosupresan, antiinflamasi nonsteroid, antikonvulsan, antidepresan, dan obat lain dapat menyebabkan demam (Patel 2010). Pasien dengan limfoma tingkat lanjut, leukemia, karsinoma sel ginjal, karsinoma hepatoseluler juga dapat mengalami demam jangka panjang. Demam dapat terjadi karena tumor melepaskan sitokin dan petanda inflamasi, nekrosis atau inflamasi tumor, obstruksi tumor, tromboemboli vena, dan perubahan termoregulasi akibat metastase hipotalamus.

Tabel 1. Demam Neutropenia, Neutropenia, and Limfopenia yang Diinduksi Kemoterapi. Stratifikasi resiko kemoterapi berdasarkan insiden.

Resiko Tinggi

Resiko Sedang

Resiko Rendah

(Insiden 10-20%) (Insiden <10%) Demam

(Insiden >20%)

Clofarabine

Azacitidine

Aflibercept

neutropenia

Decitabine

Gemtuzumab

Arsenic

Ponatinib

Omacetaxine

Bendamustine

Vincristine (liposomal)

Pertuzumab Rituximab Topotecan Vinorelbine

Bevacizumab Bosutinib Brentuximab Cabazitaxel Cyclophosphamide Dactinomycin Dasatinib Docetaxel Epirubicin Eribulin Gemcitabine Imatinib Irinotecan Ixabepilone Lenalidomide Nelarabine Nilotinib Paclitaxel (nanopartikel) Pemetrexed Pomalidomide Pralatrexate Trastuzumab

Neutropenia

Aflibercept Azacitidine Bendamustine Bevacizumab Bosutinib Busulfan Cabazitaxel Carboplatin Cetuximab Clofarabine Dasatinib Decitabine Docetaxel Epirubicin Eribulin Etoposide Fludarabine Ibritumomab Ibrutinib

Arsenic Bexarotene Bortezomib Brentuximab Carfilzomib Crizotinib Daunorubicin Doxorubicin Pralatrexate Sunitinib Temozolomide Trametinib Trastuzumab Vincristine (liposomal)

Ado-trastuzumab Aldesleukina Cabozantinib Capecitabine

Chlorambucil a Cyclophosphamide a Dabrafenib Dactinomycin a Doxorubicin (liposomal) Enzalutamide Everolimus Gefitinib Lapatinib

Methotrexate a Pazopanib Pemetrexed Radium-223 Ramucirumab

Nilotinib Obinutuzumab Ofatumumab Omacetaxine Paclitaxel Paclitaxel (nanopartikel) Pertuzumab Pomalidomide Ponatinib Recombinant Interferon Alfa-2b Rituximab Romidepsin Topotecan Vinorelbine

Pomalidomide Regorafenib

a Insidens tidak dilaporkan. Kategori resiko berdasarkan informasi efek/kejadian tak diinginkan tingkat ( Grade) 3–4

dari brosur obat.

DEMAM NEUTROPENIA

Demam neutropenia adalah neutropenia disertai demam (lebih dari 38,3°C [101°F] atau lebih dari 38,0°C [100,4°F] selama 1 jam). Hampir 50% pasien dengan tumor Demam neutropenia adalah neutropenia disertai demam (lebih dari 38,3°C [101°F] atau lebih dari 38,0°C [100,4°F] selama 1 jam). Hampir 50% pasien dengan tumor

Pasien yang mengalami demam ketika neutropenia harus dievaluasi penyebab infeksinya: tanda dan gejala yang biasa mungkin tidak nampak karena penurunan jumlah limfosit dan kegagalan respon inflamasi pada tempat infeksi. Nyeri pada tempat infeksi mungkin merupakan satu-satunya gejala yang dilaporkan pasien. Selama neutropenia, penting untuk secara kontinyu menilai apakah pasien mengalami infeksi. Paling sedikit 2 set kultur darah harus diperoleh dari semua pasien pada asesmen awal. Jika demam tetap bertahan walaupun pasien telah menerima antibiotik, disarankan untuk mengulang kultur darah setiap hari selama 2 hari. Untuk pasien dengan metastase yang dicurigai infeksi, kultur harus dilakukan berdasarkan tanda dan gejala infeksinya.

TERAPI ANTIBIOTIK EMPIRIS (PASIEN RESIKO RENDAH)

Untuk pasien dengan resiko rendah mengalami infeksi ketika demam neutropenia (Gambar 1), penatalaksanaan pasien rawat jalan dengan siprofloksasin dan amoksisilin/klavulanat disarankan sebagai terapi empiris; monoterapi siprofloksasin atau kombinasi siprofloksasin dan klindamisin dapat digunakan sebagai pilihan lini ke dua (Freifeld 2011). Monoterapi siprofloksasin dianggap tidak adekuat karena tidak cukup untuk organisma gram-positif. Monoterapi dengan levofloksasin oral 750 mg atau moksifloksasin 400 mg sehari merupakan alternatif, namun data klinis tidak cukup untuk mendukung praktek ini (Freifeld 2011). Baru-baru ini, satu studi multicenter tersamar-ganda yang dilaksanakan di Eropa menunjukkan bahwa moxifloxacin 400 mg dosis tunggal harian sama efektif dan amannya dengan siprofloksasin 750 mg oral 2x/hari plus amoksisilin/klavulanat 100 mg 2kali/hari (Kern 2013). Jika obat oral tidak dapat ditoleransi, pasien yang mual atau muntah, atau yang sebelumnya telah menggunakan fluorokuinolon sebagai profilaksis, mungkin diperlukan pemberian antibiotik intravena di rumah, di klinik, atau pada kondisi rawat inap. Jika pasien membaik ketika mendapat antibiotik intravena dan dapat menggunakan secara oral, maka perubahan cara pemberian ke terapi oral dan observasinya dapat dilakukan di luar lembaga perawatan kesehatan. Jika pasien mengalami penurunan suhu badan ketika mendapat terapi, antibiotik tetap Untuk pasien dengan resiko rendah mengalami infeksi ketika demam neutropenia (Gambar 1), penatalaksanaan pasien rawat jalan dengan siprofloksasin dan amoksisilin/klavulanat disarankan sebagai terapi empiris; monoterapi siprofloksasin atau kombinasi siprofloksasin dan klindamisin dapat digunakan sebagai pilihan lini ke dua (Freifeld 2011). Monoterapi siprofloksasin dianggap tidak adekuat karena tidak cukup untuk organisma gram-positif. Monoterapi dengan levofloksasin oral 750 mg atau moksifloksasin 400 mg sehari merupakan alternatif, namun data klinis tidak cukup untuk mendukung praktek ini (Freifeld 2011). Baru-baru ini, satu studi multicenter tersamar-ganda yang dilaksanakan di Eropa menunjukkan bahwa moxifloxacin 400 mg dosis tunggal harian sama efektif dan amannya dengan siprofloksasin 750 mg oral 2x/hari plus amoksisilin/klavulanat 100 mg 2kali/hari (Kern 2013). Jika obat oral tidak dapat ditoleransi, pasien yang mual atau muntah, atau yang sebelumnya telah menggunakan fluorokuinolon sebagai profilaksis, mungkin diperlukan pemberian antibiotik intravena di rumah, di klinik, atau pada kondisi rawat inap. Jika pasien membaik ketika mendapat antibiotik intravena dan dapat menggunakan secara oral, maka perubahan cara pemberian ke terapi oral dan observasinya dapat dilakukan di luar lembaga perawatan kesehatan. Jika pasien mengalami penurunan suhu badan ketika mendapat terapi, antibiotik tetap

empiris antibiotik, pasien harus dirawat inap untuk pemberian antibiotik intravena spektrum luas. Antibiotik mungkin perlu dimodifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dan atau tempat infeksi. Untuk beberapa infeksi, beberapa obat yang dapat ditambahkan pada terapi empiris tercantum pada Tabel 3, dan jangka waktu terapinya pada Tabel 4.

TERAPI ANTIBIOTIK EMPIRIS (PASIEN RESIKO TINGGI)

Pencegahan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh bakteri patogen merupakan tujuan dimulainya terapi empiris antibiotik. Pada pasien dengan demam neutropenia. Diperkirakan 23% kasus demam neutropenia merupakan bakteremia, di mana 57%-nya disebabkan bakteri gram positif, 34% gram negatif, dan 9% infeksi polimikroba (Klatersky 2007). Data terkini menunjukkan adanya pergeseran insiden lebih tinggi yang disebabkan oleh gram negatif yang diikuti dengan resiko mortalitas yang lebih tinggi (Trecarichi 2014). Sayangnya, pada banyak kasus, kultur darah menunjukkan hasil negatif, dan terapi empiris antibiotik harus dilanjutkan sampai ANC

mencapai lebih dari 500 sel/mm 3 dan terus meningkat. Untuk pasien yang masih neutropenia setelah regimen terapi untuk infeksinya komplit, terapi fluorokuinolon

proflaksis harus mulai diberikan sampai neutropenia teratasi (Freifeld 2011). Seleksi antibiotik empiris harus didasarkan pada asesmen resiko infeksi, pola kerentanan lokal patogen yang dicurigai terhadap antimikroba, tempat infeksi, patogen yang dicurigai, ketakstabilan klinis, penggunaan antibiotik sebelumnya, dan alergi atau toleransi terhadap obat. Untuk pasien beresiko tinggi (lihat Tabel 2), resiko infeksi lebih dari 20%, oleh karena itu, penatalaksanaan pasien rawat inap dengan antibiotik intravena spektrum luas yang dapat mengatasi Pseudomonas aeruginosa dan patogen gram negatif serius lainnya harus segera dimulai (Gambar 2). Diperkirakan sekitar 20% infeksi bakteri gram negatif pada pasien demam neutropenia disebabkan oleh P. aeruginosa, walaupun Acinetobacter spp., Stenotrophomonas maltophilia, dan infeksi gram negatif yang multi-resisten antibiotik juga sering terjadi pada populasi pasien ini (Trecarichi 2014). Terapi lini pertama tunggal (monoterapi) yang disarankan adalah dengan antipseudomonas β-laktam (cefepime), carbapenem (imipenem/cilastatin atau merop enem), atau kombinasi penisilin/penghambat β- laktamase (piperacillin/tazobactam). Monoterapi dengan antibiotik tersebut sama efektifnya dengan kombinasi antibiotik dan lebih sedikit efek samping.

Gambar 1. Masa Terjadinya Infeksi pada Transplantasi Sel Hematopoiesis.

Dicetak ulang dari Tomblyn, M Chiller T, Einsele H. et al. Guidelines for preventing infectious complications among hematopoietic cell transplantation recipients: a global perspective. Biol Blood Marrow Transplant 2009; 15:1143-238.

Walaupun tidak diteliti langsung pada pasien demam neutropenia, tidak ditemukan manfaat lebih terhadap mortalitas pada pasien yang menerima terapi kombinasi dibanding monoterapi terhadap P. aeruginosa (Bowers 2013; Hu 2013; Vardakas 2013). Terapi kombinasi dapat dipertimbangkan untuk kasus-kasus komplikasi atau resistensi berdasarkan pola kerentanan lokal. Kekhawatiran mengenai terapi cefepime pada pasien neutropenia muncul ketika hasil meta-analisis 19 studi acak terkontrol menunjukkan peningkatan resiko mortalitas-dalam-30- hari dibanding dengan β- laktam lainnya (rasio resiko [RR] 1.41; 95% confidence interval [CI], 1.08–1.84) (Yahav 2007). Pada studi lain, analisis semua penyebab mortalitas yang berkaitan dengan cefepime tidak berhasil menunjukkan peningkatan resiko (Nguyen 2009). U.S. Food and Drug Administration (FDA) mengevaluasi data dan uji klinis pada studi meta-analisis lainnya dan tidak menemukan peningkatan resiko mortalitas dalam 30 hari yang terkait dengan cefepime (RR, 1.20; 95% CI, 0.82 –1.76). Oleh karena itu, cefepime masih direkomendasikan sebagai terapi antibiotik empiris lini pertama untuk demam neutropenia (FDA 2009).

Pasien dengan demam neutropenia

• Diperkirakan neutropenia < 7 hari

• Hemodinamik tidak stabil

• Stabil secara klinis • Mukositis dengan diare atau kesulitan menelan • Tidak ada komorbid

• Gejala GI (nyeri, mual, muntah, diare) • Skor MASCC > 21 • Baru saja terjadi perubahan neurologis atau

status mental • Infeksi kateter intravaskular • Baru saja terjadi infiltrat paru-paru/hipoksemia

atau

Penatalaksanaan • Penyakit kronis paru-paru yang mendasari Di RS atau klinik dengan antibiotik PO atau

• Insufisiensi hati atau ginjal

IV • Skor MASCC < 21

Farmakoterapi: a • Siprofloksasin + amoxicillin/clavulanate (A-1) • Siprofloksasin atau levofloxacin

Penatalaksanaan (monoterapi) (B-III)

Dirawat inap untuk antibiotik IV • Siprofloksasin + Klindamisin (B-III)

Farmakoterapi: • Monoterapi IV dengan anti-pseudomonas β-laktam b (cefepime, imipenem- cilastatin, meropenem, or piperacillin-tazobactam) • Tambah aminoglikosida atau fluorokuinolon pada pasien hipotensi atau dicurigai pneumonia, atau terbukti atau dicurigai resistensi • Tambah vankomisin pada kasus yang dicurigai infeksi karena kateter, pneumonia, SSTI, terbukti atau dicurigai resistensi, atau tidak stabil hemodinamik

• Cek riwayat infeksi sebelumnya, rawat inap, tinggal pada fasilitas kesehatan jangka lama, atau kolonisasi ○ MRSA: Pertimbangkan pemberian dini vankomisin, daptomycin, atau

linezolid (B-III) ○ VRE: Pertimbangkan pemberian dini linezolid atau daptomycin (B-III) ○ ESBLs: Pertimbangkan pemberian dini carbapenem (B-III) ○ KPCs: Pertimbangkan pemberian dini polymyxin, colistin, atau tigecycline

(C-III)

Gambar 2. Penatalaksanaan Empiris Demam Neutropenia

a Pasien yang sedang menerima fluorokuinolon profilaksis tidak boleh menerima fluorokunolon lagi

b Pasien dengan alergi penisilin, sefalosporin biasanya ditoleransi namun jika memerlukan alternatif dapat dipertimbangkan siprofloksasin + klindamisin atau aztreonam + vankomisin.

ESBL = extended-spectrum β-lactamase ; KPC = Klebsiella pneumoniae carbapenemase ; MRSA = methicillin-resistant Staphylococcus aureus ; VRE = vancomycin-resistant Enterococcus .

Adaptasi dari Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, et al. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2011;52:e56-e93.

Tabel 2. Resiko dan Pencegahan Infeksi pada Neutropenia

Faktor Resiko

Profilaksis

Rendah (< 10%) • Kemoterapi standar • Tidak diindikasikan profilaksis antibakteri,

untuk tumor padat

fungi atau virus

• Neutropenia • Profilaksis antivirus dapat dipertimbangkan

diperkirakan

jika sebelumnya HSV

berakhir < 7 hari

Sedang (10% – • HCT autolog

Bakteri:

20%) • CLL • Pertimbangkan fluorokuinolon • Limfoma

Fungi:

• Multipel Mieloma • Dipertimbangkan flukonazol atau micafungin • Terapi analog purin

dengan HCT autolog + mukositis (sampai ○○ Clofarabine

neutropenia mereda)

○○ Cladribine a Viral : ○○ Fludarabine

• Mulai acyclovir, valacyclovir, atau famciclovir ○○ Nelarabine

selama neutropenia dan 30 hari setelah HCT • Neutropenia

(pertimbangkan VZV profilaksis paling sedikit

diperkirakan

selama 1 tahun setelah HCT)

sembuh dalam 7 –

10 hari

Tinggi (>20%) • Leukemia akut Bakteri: dipertimbangkan fluorokuinolon ○○ Induksi

Fungi:

○○ Konsolidasi • Dipertimbangkan flukonazol pada ALL • Alemtuzumab

sampai neutropenia sembuh • HCT alogenik

• Dipertimbangkan flukonazol atau micafungin • GVHD + steroid

pada neutropenia HCT alogenik (dilanjutkan dosis tinggi

selama neutropenia atau paling sedikit 75 hari • Neutropenia

pasca-transplantasi)

bermakna • Dipertimbangkan posakonazol pada pasien • Inhibitor

dengan MDS (sampai neutropenia sembuh) Proteasome

atau GVHD bermakna (sampai GVHD sembuh) ○○ Bortezomib

Virus a :

○○ Carfilzomib • Mulai acyclovir, valacyclovir, atau famciclovir • Skor MASCC < 21

selama neutropenia dan selama 30 hari • Neutropenia

setelah HCT untuk HSV (Pertimbangkan VZV diperkirakan

profilaksis paling sedikit selama 1 tahun pasca profilaksis paling sedikit selama 1 tahun pasca

HCT)

hari • Proteasome inhibitors: harus menerima VZV profilaksis selama terapi • Alemtuzumab: pasien harus menerima HSV profilaksis paling sedikit selama 2 bulan pasca terapi dan sampai CD4+ > 200 sel/mm 3 • CMV profilaksis dengan valganciclovir, ganciclovir, foscarnet, atau cidofovir pada HCT alogenik(1 –6 bulan pasca-transplantasi atau GVHD) ATAU pasien yang menerima terapi alemtuzumab (minimum 2 bulan setelah terapi komplit) b

Pneumocystis: trimetoprim/ sulfametoksazol (lebih dipilih) atau dapsone, atovaquone, pentamidine jika intoleransi trimetoprim/ sulfametoksazol • Mulai profilaksis pada pasien: ○○ Alemtuzumab ○○ ALL ○○ HCT alogenik • Pertimbangkan profilaksis: ○○ HCT autolog ○○ Analog purine ○○ terapi kortikosteroid jangka panjang ○○ Temozolomide + radiasi Beberapa institusi menunggu hingga terjadi penanaman ( engraftment).

a Profilaksis virus untuk HSV dan VZV termasuk acyclovir, valacyclovir, atau famciclovir

b Pasien yang menerima profilaksis CMV dengan cidofovir, foscarnet, ganciclovir, atau valganciclovir harus mendapat antibiotik yang mencakup anti- HSV dan VZV

ALL = acute lymphocytic leukemia; CLL = chronic lymphocytic leukemia; CMV = cytomegalovirus; GVHD = graft-versus-host disease; HCT = hematopoietic cell transplantation; HSV = herpes simplex virus; MASCC = Multinational Association of Supportive Care in Cancer; MDS = myelodysplastic syndrome; VZV = varicella zoster virus. Informasi dari Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, et al. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2011;52:e56-e93; dan Tomblyn M, Chiller Ta, Einsele H, et al. Guidelines for preventing infectious complications among hematopoietic cell transplantation recipients: a global perspective. Biol Blood Marrow Transplant 2009;15:1143-238.

Tabel 3. Tambahan untuk Terapi Empiris pada Demam Neutropenia Berdasarkan Tanda dan Gejala Klinis

Nyeri perut/diare Metronidazol oral atau vankomisin oral jika dicurigai infeksi Clostridium difficile metronidazol intravena hanya boleh digunakan jika pasien tidak dapat menggunakan terapi per oral Memastikan antinfeksi terhadap bakteri anaerob

Infiltrat paru-paru Azithromycin or fluoroquinolone (kecuali jika sedang menerima terapi empiris atau profilaksis) Antifungi dengan aktivitas antikapang (itraconazole, posakonazol, atau vorikonazol) untuk pasien beresiko sedang ─ tinggi Antivirus selama musim influenza Khawatir terinfeksi Pneumocystis jiroveci, ditambah trimetoprim/sulfametoksazol Khawatir MRSA, ditambah vankomisin atau linezolid

Cellulitis atau kulit dan infeksi kulit

Vankomisin

dan jaringan lunak (SSSI) Daptomycin, linezolid, or quinupristin/dalfopristin dapat ditambahkan sebagai pengganti vankomisin Untuk papula atau lesi, dipertimbangkan antifungi dengan aktivitas antikapang pada pasien beresiko tinggi

Alat akses pembuluh darah ( ports)

Vankomisin Mungkin alat harus dilepas

Lesi vesikular Acyclovir, famciclovir, atau valacyclovir Infeksi SSP

Khawatir meningitis: antipseudomonas β-laktam dengan penetrasi cairan serebrospinal (mungkin telah terjadi) (cefepime, meropenem) +

vankomisin + ampisilin a

Dicurigai Encephalitis: acyclovir dosis tinggi

a Jika piperacillin/tazobactam atau meropenem digunakan, ampisilin tidak perlu. SSP = sistem saraf pusat; MRSA = methicillin-resistant Staphylococcus aureus; SSSI =

skin and soft tissue infection. Informasi dari Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, et al. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2011;52:e56-e93.

Tabel 4. Lama Terapi Anti ─infeksi pada Demam Neutropenia

Infeksi yang tidak terdokumentasi

Apapun faktor resikonya ANC > 500 sel/mm 3 dan terus meningkat Infeksi yang terdokumentasi a

Bakteri SSSI

Fungi(Kapang atau Ragi)

Candida or ragi BSI Paling sedikit 14 hari setelah kultur darah menjadi negatif

Kapang (Aspergillus, Fusarium, Paling sedikit 12 minggu namun dapat sampai Mucor)

beberapa bulan sampai tahunan, durasi berdasarkan respon klinis/radiografis

Virus

CMV Paling sedikit 14-21 hari + sampai CMV tidak lagi terdeteksi dalam darah

HSV/VZV

7 –10 hari

Influenza

10 hari dan sampai gejala hilang

Β - LAKTAMASE S PEKTRUM D IPERLUAS , R ESISTEN -C ARBAPENEM Enterobacteriaceae, dan berbagai macam bakteri patogen resisten multi-obat

bermunculan sebagai penyebab infeksi gram-negatif parah pada populasi pasien keganasan, yang secara konstan terpapar pada tempat perawatan kesehatan dan/atau menerima antibiotik profilaksis atau empiris.

Penting untuk mempertimbangkan organisma yang resisten multi-obat pada pasien dengan penurunan imunitas dan mengikuti informasi epidemiologi lokal dan pola kerentanan.

Pemberian terapi empiris vankomisin tidak boleh tanpa mempertimbangkan adanya kemungkinan klinis infeksi yang berkaitan dengan pemasangan kateter intravena, kultur darah positif yang menunjukkan adanya bakteri gram-positif (sebelum identifikasi dan kerentanan diketahui), instabilitas hemodinamik, sepsis, kolonisasi pneumococci atau Staphylococcus aureus yang resisten metisilin (MRSA) penisilin atau sefalosporin infeksi jaringan lunak, atau dokumentasi radiografis pneumonia. Pemberian vankomisin harus bijaksana karena munculnya enterococci resisten-vankomisin dan potensi berkembangnya S. aureus Pemberian terapi empiris vankomisin tidak boleh tanpa mempertimbangkan adanya kemungkinan klinis infeksi yang berkaitan dengan pemasangan kateter intravena, kultur darah positif yang menunjukkan adanya bakteri gram-positif (sebelum identifikasi dan kerentanan diketahui), instabilitas hemodinamik, sepsis, kolonisasi pneumococci atau Staphylococcus aureus yang resisten metisilin (MRSA) penisilin atau sefalosporin infeksi jaringan lunak, atau dokumentasi radiografis pneumonia. Pemberian vankomisin harus bijaksana karena munculnya enterococci resisten-vankomisin dan potensi berkembangnya S. aureus

Untuk pasien yang demamnya turun dan kultur negatif, antibiotik empiris harus dilanjutkan sampai ANC lebih dari 500 sel/mm 3 dan terus meningkat. Untuk pasien

dengan infeksi yang terdokumentasi, antibiotik harus diganti, jika perlu, dan antibiotik dilanjutkan sampai 7-14 hari berdasarkan data mikrobiologis. Selain itu, antibiotik

dapat dilanjutkan lebih dari 14 hari sampai ANC lebih dari 500 sel/mm 3 dan terus meningkat. Atau, sebagai alternatif, pada pasien rawat jalan fluorokuinolon profilaksis kadang-kadang dilanjutkan jika pasien tidak demam tanpa infeksi yang terdokumentasi. Jika pasien demam persisten namun stabil secara klinis, antibiotik empiris harus dilanjutkan dan dilakukan asesmen untuk melihat tempat infeksi. Jika demam tetap bertahan hingga 4-7 hari walaupun telah mendapat terapi antibiotik spektrum luas pada pasien dengan resiko tinggi yang diperkirakan neutropenia berlangsung hingga lebih dari 10 hari dan tanpa sumber infeksi yang diketahui, pemberian antifungi empiris sebaiknya dimulai.

S KENARIO A SUHAN P ASIEN Seorang pasien wanita berusia 61 tahun (tinggi (tingi 172 cm, bobot 68 kg) dengan

kanker payudara stadium IV dirawat di IGD dengan dugaan sepsis dari fasilitas perawatan. Perawat menyampaikan bahwa pasien ditemukan tidak merespon di tempat tidurnya. Riwayat kesehatan lainnya penyakit arteri koroner, depresi, diabetes, hipertensi, dan neuropati perifer. Tidak ada alergi obat. Pada saat masuk RS obatnya adalah aspirin 81 mg/hari, atorvastatin 20 mg per oral tiap malam, duloksetin 40 mg peroral/hari, lisinopril 40 mg peroral/hari, metformin 1000 mg peroral 2x/hari, metoprolol

suksinat 100 mg peroral/hari, dan vinorelbin 36,6 mg/m 2 . Tanda vitalnya TD 80/50 mm Hg; nadi: 121 beats/minute; respiratory rate: 29 breaths/minute; dan temperatur: 36 °C.

Pasien menerima cairan 1 L dan diambil 2 set kultur darah dan urin. Dokter IGD berniat memulai terapi empiris untuk Pseudomonas aeruginosa karena makin banyak kasus infeksi multi-drug resistant yang telah teridentifikasi. Anda diminta konsul oleh tim IGD apakah sebaiknya mulai dengan monoterapi atau kombinasi untuk dapat mengatasi Pasien menerima cairan 1 L dan diambil 2 set kultur darah dan urin. Dokter IGD berniat memulai terapi empiris untuk Pseudomonas aeruginosa karena makin banyak kasus infeksi multi-drug resistant yang telah teridentifikasi. Anda diminta konsul oleh tim IGD apakah sebaiknya mulai dengan monoterapi atau kombinasi untuk dapat mengatasi

Data saat masuk rawat ICU SCr (mg/dL)

1,3 White blood cells (x 10 3 sel/mm 3 ) 1,0

Kultur urin

masih dikerjakan

Kultur darah

masih dikerjakan

JAWABAN

Skenario ini menggambarkan kasus pasien yang sulit dan kontroversial. Status imunosupresi dari pasien dan fasilitas perawatan yang baik meningkatkan resiko pasien untuk infeksi P. aeruginosa. Selain itu, di kawasan ini sedang mengalami peningkatan insiden infeksi pseudomonas. Walaupun tidak dipelajari langsung pada psien dengan demam neutropenia, tidak ada manfaat mortalitas pada pasien yang mendapat terapi kombinasi. Pasien ini mungkin akan mendapat manfaat dari terapi kombinasi karena kasusnya komplikasi, terapi dengan vinorelbin, dan adanya multi-drug resistance di kawasan ini. Terapi empiris dengan antibiotik β-laktam anti-pseudomonas (piperacillin/tazobactam, cefepime, imipenem/cilastatin, atau meropenem) plus aminoglikosida (gentamisin, tobramisin, atau amikasin) atau fluorokuinolon (siprofloksasin atau levofloksasin) disarankan untuk pasien ini. Berdasarkan hasil kultur darah, terapi empiric harus dimodifikasi atau diganti terapi antibiotik spektrum sempit berdasarkan hasil spesies bakteri yang teridentifikasi dan pola kerentanan terhadap antibiotika.

1. Bowers DR, Liew YX, Lye DC, et al. Outcomes of appropriate empiric combination versus monotherapy for Pseudomonas aeruginosa bacteremia. Antimicrob Agents Chemother 2013;57:1270-4.

2. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, et al. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2011;52:e56-e93.

3. Hu Y, Li L, Li W, et al. Combination antibiotic therapy versus monotherapy for Pseudomonas aeruginosa bacteraemia: a meta-analysis of retrospective and prospective studies. Int J Antimicrob Agents 2013;42:492-6.

4. Vardakas KZ, Tansarli GS, Bliziotis IA, et al. β-Lactam plus aminoglycoside or fluoroquinolone combination versus β-lactam monotherapy for Pseudomonas aeruginosa infections: a meta-analysis. Int J Antimicrob Agents 2013;41:301-10.

TERAPI ANTIFUNGI EMPIRIS

Infeksi fungi invasif tetap merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas bermakna pada pasien dengan penurunan imunitas yang mendapat terapi untuk mengatasi kegananasan (Auberger 2008). Etiologi infeksi fungi biasanya dipertimbangkan jika pasien yang telah menerima antibiotik empiris selama 4 hari atau lebih tetap mengalami demam neutropenia atau demam muncul kembali (Freifeld 2011). Kemoterapi intensif meningkatkan resiko infeksi fungi invasif. Karena Candida mengolonisasi pada permukaan mukosa, Candida dapat masuk ke sirkulasi darah jika barier mukosa rusak, sehingga berakibat infeksi pada sirkulasi darah. Walaupun penggunaan azol profilaksis, biasanya flukonazol, meminimalkan insiden infeksi fungi invasif pada pasien dengan resiko tinggi infeksi, masih ada resiko patogen yang resisten-azol. Untuk pasien yang tidak menerima flukonazol profilaksis, flukonazol dapat diberikan sebagai terapi empiris. Infeksi yang disebabkan oleh Candida krusei, Candida glabrata, dan kapang perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah menerima flukonazol profilaksis karena spektrum aktivitasnya yang terbatas. Pasien yang dianggap beresiko tinggi infeksi kapang invasif (misalnya aspergillosis, zygomycosis [mucormycosis], fusariosis) termasuk para pasien dengan neutropenia yang bermakna selama 10-15 hari, penerima HCT alogenik, atau yang menerima steroid dosis tinggi. Pemberian antifungi empiris dimulai setelah 4 hari terapi antibiotik namun tetap demam atau yang demamnya muncul kembali, kecuali jika pasien sedang menerima profilaksis yang tepat. Awitan infeksi Aspergillus bersifat bimodal dan mencapai puncak pada hari ke 16 dan 96 pasca-transplantasi (Wald 1997). Untuk pasien yang menerima antifungi profilaksis, perubahan terapi ke antifungi antikapang yang berbeda kelas harus dipertimbangkan. Amfoterisin B, itrakonazol, vorikonazol, posakonazol, atau echinocandin dapat dipertimbangkan sebagai alternatif terhadap flukonazol. Penggunaan itrakonazol terbatas karena bioavailabilitas dan absorpsinya yang tidak menentu. Vorikonazol mencegah 26% infeksi fungi invasif, sedangkan amfoterisin B liposom mencegah 31%. Vorikonazol juga berkaitan dengan lebih sedikit infeksi breakthrough (infeksi yang disebabkan oleh organisme yang seharusnya dihambat antifungi tersebut) dibanding amfoterisin

B liposom (1,9% vs 5,0%, p=0,02), namun noninferioritas vorikonazol dibanding amfoterisin B liposom tidak terbukti (Walsh 2002). Oleh karena itu amfoterisin B liposom tetap merupakan terapi yang lebih dipilih pada pasien dengan resiko tinggi infeksi kapang invasif, dan vorikonazol merupakan alternatif.

Echinocandin memiliki aktivitas terhadap Candida dan Aspergillus. Studi perbandingan antara caspogungin dan amfoterisin B liposom sebagai terapi empiris infeksi fungi invasif pada demam neutropenia persisten menunjukkan keberhasilan, infeksi breakthrough, dan kesembuhan demam neutropenia yang mirip. Caspofungin berkaitan dengan lebih sedikit kejadian tak diinginkan (Walsh 2004). Diperkirakan baik caspofungin maupun micafungin dan anidulafungin merupakan terapi empiris Echinocandin memiliki aktivitas terhadap Candida dan Aspergillus. Studi perbandingan antara caspogungin dan amfoterisin B liposom sebagai terapi empiris infeksi fungi invasif pada demam neutropenia persisten menunjukkan keberhasilan, infeksi breakthrough, dan kesembuhan demam neutropenia yang mirip. Caspofungin berkaitan dengan lebih sedikit kejadian tak diinginkan (Walsh 2004). Diperkirakan baik caspofungin maupun micafungin dan anidulafungin merupakan terapi empiris

Terapi antifungi dapat ditunda pada pasien demam neutropenia yang secara klinis stabil dan tidak ada riwayat baru sembuh dari infeksi fungi sistemik atau pada hasil pencitraan tomografi tidak terdapat bukti infeksi fungi di dada atau sinus. Untuk pasien dengan resik rendah infeksi fungi, tidak diperlukan terapi empiris antifungi (Freifeld 2011).

P NEUMOCYSTIS JIROVECI Penerima HCT alogenik, pasien yang mendapat terapi ALL, dan pasien yang

mendapat terapa alemtuzumab, steroid dosis tinggi, atau rituximab memiliki resiko tertinggi mengalami infeksi Pneumocystis jiroveci (Martin-Garrido 2013; Bollee 2007). Pasien yang mendapat terapi analog purin, obat yang menekan sel-T, terapi kortikosteroid jangka panjang (prednison ekivalen dengan 20 mg atau lebih selama paling sedikit 4 minggu), temozolomide plus radiasi, atau HCT autolog memiliki resiko sedang ( intermediate) untuk infeksi pneumonia P. jiroveci (PJP). Walaupun jarang terjadi jika profilaksis telah efektif, PJP merupakan diagnosis banding untuk pasien dengan infiltrat paru-paru difus dan pasien yang tidak mendapat profilaksis PJP ketika sistem imunitas terganggu. Terapi PJP terdiri dari trimetoprim/sulfametoksazol 5 mg/kg setiap 8 jam. Jika pasien intoleransi atau alergi trimetoprim/sulfametoksazol dan pasien dengan penyakit ringan sampai sedang, atovaquone, clindamycin plus primaquine (dengan asumsi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) negatif), atau trimetoprim plus dapson (dengan asumsi G6PD negatif) dapat digunakan sebagai alternatif. Pada pasien dengan penyakit yang parah dan trimetoprim/sulfametoksazol kontraindikasi, pentamidine intravena setiap hari atau clindamycin plus primaquine dapat dipertimbangkan. Untuk pasien dengan penyakit yang terdokumentasi atau dicurigai, durasi terapi optimal selain HIV belum diteliti namun dianjurkan dilanjutkan paling sedikit 14 hari (Limper 1989). Transisi ke terapi oral dapat dipertimbangkan pada pasien yang secara klinis membaik dan dapat menoleransi obat secara oral.

INFEKSI VIRUS

Infeksi virus terjadi pada 5% demam neutropenia. Herpes simplex virus yang direaktivasi dari virus laten dapat ditemukan pada pasien yang mengalami neutropenia dan mukositis. Pasien tanpa profilaksis yang mendapat induksi atau reinduksi terapi leukemia akut dan pasien yang seropositif untuk HSV berdasarkan hasil serologi sebelum terapi, memiliki resiko 80% reaktivasi dan infeksi (Zaia 2009). Penerima HCT alogenik beresiko infeksi HSV setelah mendapat terapi pengkondisiannya, dan HSV dapat terjadi kemudian tergantung pada tingkat imunosupresinya. Walaupun penyakit sistemik jarang terjadi, diseminasi HSV berkaitan dengan kerusakan mukosa dan nyeri, yang dapat membatasi nutrisi dan Infeksi virus terjadi pada 5% demam neutropenia. Herpes simplex virus yang direaktivasi dari virus laten dapat ditemukan pada pasien yang mengalami neutropenia dan mukositis. Pasien tanpa profilaksis yang mendapat induksi atau reinduksi terapi leukemia akut dan pasien yang seropositif untuk HSV berdasarkan hasil serologi sebelum terapi, memiliki resiko 80% reaktivasi dan infeksi (Zaia 2009). Penerima HCT alogenik beresiko infeksi HSV setelah mendapat terapi pengkondisiannya, dan HSV dapat terjadi kemudian tergantung pada tingkat imunosupresinya. Walaupun penyakit sistemik jarang terjadi, diseminasi HSV berkaitan dengan kerusakan mukosa dan nyeri, yang dapat membatasi nutrisi dan

Cytomegalovirus (CMV) merupakan infeksi oportunis yang paling sering pada pasien yang mendapat HCT alogenik atau terapi alemtuzumab (Boeckh 2009; Keating 2002). Cytomegalovirus sering terjadi segera setelah transplantasi, namun dapat juga terjadi beberapa waktu kemudian, terutama pada pasien dengan komplikasi penolakan (graftversus-host disease, GvH). Resiko paling tinggi jika pasien penerima HCT yang seropositif CMV sebelum transplantasi atau donornya seropositif. Aktivasi CMV dapat terjadi pada 60% pasien apapun profilaksinya (George 2010). Pasien yang seropositif CMV dan menerima transplan dari donor CMV-negatif memiliki peningkatan resiko infeksi CMV dan reaktivasi dan ketika reaktivasi penyakit dapat terjadi lebih lama dan lebih parah (Pietersma 2011; Beck 2010). Penerima HCT alogenik harus aktif dipantau untuk CMV selama 6 bulan pasca-transplantasi, sedangkan pasien yang menerima alemtuzumab dipantau paling sedikit 2 bulan setelah terapi dihentikan.

Terapi antivirus harus diberikan dengan atau tanpa gejala klinis jika pada darah pasien terdeteksi antigen atau DNA virus. Terapi dimulai pada kasus-kasus dengan antigen tunggal pada darah atau ketika 2 pemeriksaan PCR berturut-turut hasilnya positif terus. Terapi dengan valganciclovir secara oral merupakan terapi yang umum dipilih untuk mengaasi CMV pada HCT aogenik, termasuk pada GvH. Valganciclovir sama efekifnya dengan ganciclovir intravena namun dengan lebih sedikit efek yang tidak diinginkan; keduanya dapat menekan sumsum tulang dan memperpanjang neutropenia. Forcarnet hanya diberikan jika pasien intoleransi ganciclovir atau valganciclovir atau sebagai alternatif jika terjadi toksisitas ganciclovir atau valganciclovir di atas. Cidofovir biasanya digunakan jika pasien tidak merespon ketiga obat di atas atau kambuh. Nefrotoksisitas cidofovir dan foscarnet membatasi penggunaanya. Terapi diberikan paling sedikit selama 14 hari dan sampi CMV tidak lagi terdeteksi, dosis terapi biasanya diikuti dengan dosis penjagaan selama 2-3 bulan.

I NFLUENZA Pasien dengan neutropenia yang terpapar atau mengalami tanda dan gejala infeksi

atau pada masa wabah, harus mulai mendapat terapi antivirus secepatnya dalam 48 jam sejak terpapar atau timbul gejala. Pasien dengan infiltrat paru-paru selama musim influenza (Oktober sampai Maret) dipertimbangkan untuk mendapat terapi antivirus empiris dengan inhibitor neuroimidase. Oseltamivir 75 mg per oral 2x/hari atau pada masa wabah, harus mulai mendapat terapi antivirus secepatnya dalam 48 jam sejak terpapar atau timbul gejala. Pasien dengan infiltrat paru-paru selama musim influenza (Oktober sampai Maret) dipertimbangkan untuk mendapat terapi antivirus empiris dengan inhibitor neuroimidase. Oseltamivir 75 mg per oral 2x/hari

V IRUS BK Infeksi human polyomavirus tipe I, atau virus BK (BKV), biasanya tanpa gejala, pada

50% - 90% individu infeksi mulai sejak usia 10 tahun (Knowles 2006). Walaupun BKV dapat diisolasi pada 80% penerima HCT, hanya 5% –15% yang mengalami replikasi dengan jumah virus tinggi yang mengakibatkan BKV- hemorrhagic cystitis (PVHC) 3 -

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Berburu dengan anjing terlatih_1

0 46 1

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5