cover KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK MENURUT UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Karya Ilmiah
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN PENGADILAN
PAJAK MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
Oleh :KASMAN SIBURIAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM
MEDAN 2010
(2)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Dalam penulisan Karya Ilmiah ini, penulis memperoleh bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan 2. Ibu kepala perpustakaan Universitas HKBP Nommensen Medan
3. Pihak-pihak tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu. Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam Karya Ilmiah ini belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan , untuk itulah penulis dengan segala rendah hati menerima berbagai kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Akhirnya penulis sangat mengharapkan bahwa Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat untuk membantu mahasiswa dalam perkuliahan dan sekaligus dapat digunakan untuk melangkapi persyaratan akademis.
Medan, Agustus 2010 Penulis
(3)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penulisan ... 6
BAB II : URAIAN TEORITIS... 7
A. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Kehakiman ... 7
1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman... 7
2. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman ... 12
3. Prinsip-Prinsip Pokok Kekuasaan Kehakiman ... 15
B. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Pajak Dalam Hukum Pajak 18 BAB III : PEMBAHASAN ... 21
A. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan Pajak di Indonesia ... 21
B. Kedudukan Peradilan Pajak Dalam Peradilan Nasional Indonesia 28 BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 47
A. Kesimpulan... 47
B. Saran... 48
(4)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, maka keberadaan peradilan sangatlah penting karena berfungsi sebagai benteng terakhir penegakan hukum didalam negara. Oleh karena itu dalam konstitusi negara indonesia sebagaimana tertera dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 Ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Atas dasar landasan konstitusi tersebut diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 10 dinyatakan: ‘‘kekuasaan kehakiman oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tatausaha Negara. Mahkamah Agung adalah peradilan negara tertinggi. Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat akhir pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang menurut ketentuan yang diterapkan dengan undang-undang. Demikian juga didalam Undang-Undang
(5)
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman itu, yang dalam pasal 18 dinyatakan ‘‘Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkunganPeradilan Tata Usaha Negara, oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pengadilan pajak yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bersifat khusus menyangkut acara penyelegara persidangan sengketa perpajakan yaitu:
1. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim khusus yang mempunyai keahlian dibidang perpajakan dan Berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
2. Sengketa yang proses dalam pengadilan pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
3. Putusan pengadilan pajak memuat penetapan besarnya pajak terutang dari wajib pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga wajib pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan pengadilan pajak, disamping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mangabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut maka dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diatur hukum acara tersendiri untuk menyelegarakan pengadilan pajak.
Pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus dalam era berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
(6)
Kehakiman, sama halnya dengan pengadilan khususnya yang sebelumnya yaitu Pengadilan Anak yang diikuti kemudian dengan Pengadilan Niaga, dan Pengadilan HAM.
Pengkhususan Pengadilan ini terlihat dari penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan: “Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan, misalnya dalam peradilan umum dapat diadakan pengkhususan berupa pengadilan lalu lintas, Peradilan Anak, Pengadilan Niaga, dan sebagainya dengan Undang-Undang”.
Sebagaimana diketahui dalam sistim hukum Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 hanya ada empat lingkup Peradilan, yaitu Peradilan umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer. Dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2) diatur tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dan badan perdilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.” Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu juga diatur dengan Undang-Undang dan juga diisebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
(7)
keadilan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebut bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama, peradilan umum lingkungan peradilan Tata usaha negara dan Peradilan Militer. Selain badan peradilan yang diuraikan diatas dikenal pula badan peradilan yang bersifat khusus salah satu diantaranya adalah peradilan pajak. Putusan pengadilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undangundang perpajakan sehingga ketentuan -ketentuan didalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan kesediaan bagi semua pihak. para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingin atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum. Ketentuan mengenai warga negara Iindonesia sebagai mana dimaksud pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menunjukkan bahwa warga negara asing dilarang menjadi kuasa hukum untuk mendampingi atau mewakili para warga yang bersengketa pada pengadilan Pajak walaupun Warga Negara Asing (WNA ) tersebut menguasai Perundang-Undangan Perpajakan di Indonesia dengan demikian hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak.
(8)
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tengtang Pengadilan Pajak pasal 3 dinyatakan bahwa dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan pajak yang hanya bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi wajib pajak dan fiskus yang berdomisili diluar Jakarta dan diluar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa Pajak masing-masing. Sidang pengadilan pajak dilaksanakan ditempat kedudukannya apa bila perlu dapat dilakukan ditempat lain. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa sementara tempat sidang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak.
Kekuasaan pengadilan Pajak secara jelas dan tegas ditentukan dalam Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang berbunyi Pengadilan Pajak:
1. Pengadilan mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.
2. Pengadilan pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
3. Pengadilan Pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagih pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya.
Dalam Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut ditegaskan pengadilan pajak mempunyai tugas dan kewenangan memeriksa dan memutus sengketa Pajak yang diatur dalam Pasal 32 yang berbunyi sebagai berikut:
(9)
1. Selai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 31, pengadilan pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang sidang pengadilan pajak.
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan Ketua.
Bahwa pengadilan pajak merupakan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Pengadilan Pajak juga berwenang memanggil pihak ketiga untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang berbunyi sebagai berikut :
“Uuntuk keperluan pemeriksaan sengketa pajak, pengadilan pajak memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan sengketa pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan demikian hanya pengadilan pajak yang berwenang memeriksa sengketa pajak dan atas putusannya tidak bisa diperiksa oleh badan peradilan lain, misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum (perdata).
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penulisan Karya Ilmiah ini bertujuan untuk:
a. Menjelaskan tentang apa latar belakang pembentukan pengadilan pajak di Indonesia.
b. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan peradilan pajak dilingkungan Peradilan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
(10)
BAB II
URAIAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Kehakiman 1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok Negara Hukum (rechtsstaat) dan prinsip the rule of law. Demokrasi mengutamakan the willof the people, Negara Hukum mengutamakan mangutamakan the rule of law. Banyak sarjana yang membahas kedua konsep itu, yakni demokrasi dan negara hukum dalam satu kontinum yang tak terpisahkan satu sama lain. Namun keduanya perlu dibedakan dan dicerminkan dalam institusi yang terpisah satu sama lain. Di Indonesia, kekuasaan kehakiman, sejak awal kemerdekaan juga diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti Majelis Permusyahwaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden. Dalam penjelasan pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan ditentukan:
‘‘kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undand-Undang Tentang Kedudukan Para Hakim”.
Yang dimaksud dengan pemerintah dalam penjelasan itu dapat dipahami dalam arti luas, yaitu mencakup pengertian cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif sekaligus, mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(11)
sebelum perubahan tidak menganut paham pemisahan kekuasaan, terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif. Namun, meskipun tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, cabang kekuasaan kehakiman tetap dinyatakan bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Karena itu, cabang kekuasaan kehakiman semula memang diperlakukan khusus sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dan tersendiri. Inilah salah satu ciri penting prinsip negara Hukum yang hendak dibangun berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi Tahun 1945.
Untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum itu, setelah reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalam perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001. Pada pasal satu ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum Pasal 1 Ayat (3). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, maka sesuai dengan tuntutan reformasi dibidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
(12)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Tetang Kekuasaan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial, maupun urusan organisasi, administrasi, dan finnasial berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan inidengan istilah populer biasa disebut “kebijakan satu atap”. Kebijakan ini ditentukan sudah harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan berlakunya undang-undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan militer dan badan Peradilan Tata Usaha Negara berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dan memerhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Setelah Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 1999 tersebut diubah lagi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004, proses peralihan itu dipertegas lagi dalam Ketentuan Peralihan Pasal 42 Undang-Undang ini bahwa peradilan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum
(13)
dan Peradilan Tata Usaha Negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.
Ketentuan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa mahkamah konstitusi memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi memiliki kewjiban memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Repblik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman itu sendiri dirumuskan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudsial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan perdilan militer, lingkungan
(14)
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, puncak sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia sekarang terdiri atas sebuah Mahkamah Agung Dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua perdilan yang berada diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-Undang. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan diluar pengadilan negara melalui perdamaian atau arbitrase. Peradilan negara menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Ketentuan Pasal 4 Ayat (1), peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan ini sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa:
“Negara Berdasarkanatas Ketuhanan Yang Maha Esa”
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ditentukan pula dalam ayat (2) bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam penjelasan dinyatakan bawa ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Pemeriksaan dan penyelesaian perkara bersifat “sederhana” dalam arti dilakukan dengan prosedur acara yang efisien dan efektif serta biaya ringan. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” itu adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat pencari keadilan (justice seekers, justitiabelen) dengan tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
(15)
2. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman
Kedudukan kekuasaan kehakiman itu sendiri merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Dalam bahasa indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut cabang kekuasaan yudikatif, dari istilah belanda judicatief. Dalam bahasa inggris, disamping istilah legislatife dan exekutive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial, judiciary, atau judicature. Sedangkan yang biasa dianggap sebagai pilar keempat atau “the fourth estate of democracy” adalah pers bebas (free press) atau prinsip independence of the press. Karena itu, jika dalam pengertian fungsi negara (state functions) dikenal adanya istilah trias political, dalam sistem demokrasi secara lebih luas juga dikenal adanya istilah “quadru politica”.
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary ini merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegaara. Dikatakan oleh John Alder, “The principle of saparasion of
powers is particularly important for the judiciary”. Bahkan, boleh jadi, karena Montesquiue sendiri adalah seorang hakim (perancis), maka dalam bukunya, /’Esprit des Lois ia memimpikan pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstrim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan terutama kekuasaan yudisial. Dalam praktek dikemudian hari impian montesquien ini tidak pernah terbukti, terutama dalam hubungan antara fungsi legislatif dan eksekutif. Namun dalam konteks fungsi kekuasaan kehakiman, apa yang diimpikaannya itu justru menjadi pegangan universal di seluruh dunia. Karena itu, sampai sekarang, prinsip the independence of judiciary menjadi salah satu ciri terpenting setiap negara hukum yang demokratis.
Baik di negara-negara yang menganut tradisi civil law maupun common law, baik yang menganut sistem pemerintah parlementer maupun presidensial, lembaga kekuasaan kehakiman selalu bersifat tersendiri. Misalnya, dinegara yang menganut parlementer, terdapat pencampuran antara fungsi eksekutif dan fungsi legislatif. Di
(16)
Inggris misalnya, untuk menjadi mentri seseorang justru disyaratkan harus berasal dari anggota parlemen. Parlemen dapat membubarkan kabinet melalui mekanisme “mosi tidak percaya”. Sebaliknya pemerintah juga dapat membubarkan parlemen dengan cara mempercepat pemilihan umum. Namun, meskipun demikian, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary tetap bersifat independen dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistemnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistem peradilanberkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosutono, ada empat tahap sekaligus empat macam rechtpraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:
1) Rechtpraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat 2) Rechtspraak naar precedenten yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip
preseden atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di inggris.
3) Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik di dalam pengadilan agama (islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-jama’ah atau kitab-kitab ulama syi’ah, dan
4) Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang atau kitab undang-undang. Pengadilan ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving).
Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab undang-undang (wet en wetboeken) dimaksud. Strukturnya dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan sifat perkara dan bidang hukum yang terkait. Ada perkara yang cukup diselesaikan melalui peradilan pertama dan sekaligus terakhir, ada pula perkara yang diselesaikan dalam tiga tahap, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Selain itu, seperti
(17)
pembagian menurut Van Vollen Hoven, “justitierecht” atau “the law of the
administrasion of justice”sendiri terbagi lagi menjadi empat, yaitu:
1) Staatsrechtelijke rechtspleging (peradilan tata negara) 2) Privaatssrechttelijke rechtspleging (peradilan perdata) 3) Strafsrechtelijke rechtspleging (peradilan pidana) dan
4) Administratiefrechtelijke rechtspleging (peradilan tata usaha negara).
Disamping itu, dalam sistim peradilan di Indonesia dewsa ini, terdapat empat lingkunangan, yang masing-masing mempunyai lembaga pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada tingkat kasasi, semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung (MA). Pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam keempat lingkungan peradilan tersebut adalah:
1) Pengadilan negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam Lingkungan Peradilan Umum
2) Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam Lingkungan Peradilan Agama
3) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
4) Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam Lingkungan Peradilan Militer.
Disamping itu, dewasa ini, dikenal pula adanya sembilan bentuk pengadilan khusus, yang bersifat tetap ataupun ad hoc, yaitu:
1. Pengadilan hak asasi manusia (HAM)
2. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) 3. Pengadilan Niaga
4. Pengadilan Perikanan
5. Pengadilan Hubungan Kerja Industrial 6. Pengadilan Pajak
7. Pengadilan Anak
(18)
9. Mahkamah Pelayaran 10. Pengadilan Adat di Papua 11. Pengadilan Tilang
3. Prinsip-Prinsip Pokok Kehakiman
Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistim peradilan (judicial system), yaitu (i) the principle of judicial indepedence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistim disemua negara yang disebut hukum modern atau “modern constitutional state”.
Prinsip indepedensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memerikasa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu, indepedensi itu juga tercermin dalam berbagai pengaturan hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistim penggajian, dan pemberhentian para hakim.
Sementara itu, prinsip kedua yang penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality). Bahkan oleh O.Hood PHILLIPS dan kawan-kawan dikatakan, “the impartiality of the judiciary ia recognised as an important, if not the most important element, in the administrasion of justice”. Dalam praktik, ketidakberpihakan atau impartiality itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to be impartial).
(19)
Namun, disamping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang juga dianggap penting. Misalnya, dalam forum international judicial conference di Bangalore, India, 2001, berhasil disepakati draft kode etika dan perilaku hakim sedunia yang kemudian disebut The Bangalore draft. Selanjutnya, setelah mengalami revisi dan penyempurnaan berkali-kali, drat ini akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai pedoman bersama dengan sebutan resmi The Bangalore Principles Of Judicial Conduct.
Dalam the Bangalore Principles itu, tercantum adanya enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-prinsip Indepedence, Impartiality, Intergrity, Propriety, Equlity, dan Competence & Diligence.
1) Indepedensi (Indepedence Principle): 2) Ketidakberpihakan (Impartiality Principle) 3) Integritas ( Integrity Principle)
4) Kepantasan dan Sopan-Santun ( Property Principle ) 5) Kesetaraan ( Equality Principle )
6) Kecakapan dan Keseksamaan ( Competence and Diligence Principle )
Keenam prinsip etika hakim itu oleh hakim indonesia dapat dijadikan untuk merumuskan sendiri kode etik yang berlaku di indonesia. Dalam hubungan ini, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Kode Etik Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PMK/2005.
(20)
Disamping itu, sebagaimana telah diuraikan diatas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelengggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Prinsip negara hukum tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dalam penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, diuraikan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial tersebut bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, kemerdekaan atau independensi peradilan itu dibatasi oleh hukum dan keadilan itu sendiri. Keadilan dimaksud harus merupakan keadilan menurut perasaan keadilan yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengukur bahwa
(21)
sesuatu itu sudah merupakan cermin dari perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk? Apakah sesuatu yang populer dalam media massa dapat dikatakan sebagai cerminan dari rasa keadilan dalam seluruh masyarakat Indonesia? Apakah mungkin cita rasa masyarakat yang demikian majemuk seperti Indonesia dapat tercermin hanya dalam satu ekspresi tentang keadilan yang bersifat nasional. Apakah cerminan rasa keadilan itu harus bersifat nasional atau bersifat lokal, yaitu terkait langsung dengan kasus demi kasus konkrit yang terjadi dalam masyarakat, sehingga perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat itu benar-benar dapat tercermin dalam keputusan-keputusan yang konkrit yang ditetapkan oleh hakim.
B. Tinjauan Umum Tentang Peradilan Pajak Dalam Hukum Pajak Hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum Administrasi.
Hukum administrasi umumnya berupa sanksi administrasi baik berupa bunga, denda, tambahan pokok pajak, maupun kenaikan dan dijatuhkannya oleh fiskus pajak. Sanksi administrasi umumnya berkaitan dengan masalah-masalah ketidaktaatan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban, seperti tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT)s, atau menyampaikan SPT tetapi tidak benar dan tidak lengkap, yang dikarenakan alpa, dan lain-lain.
(22)
2. Hukum Pidana.
Hukum pidana berkaitan dengan denda pidana maupun hukum penjara dan dijatuhkan oleh hakim. Hukuman pidana umumnya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan, seperti sengaja tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, dan lain-lain.
Peradilan administrasi pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Peradilan administrasi tidak murni
Peradilan administrasi ini disebut peradilan administrasi tidak murni karena dalam peradilan administrasi ini hanya melibatkan dua pihak yaitu pihak wajib pajak dan pihak fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang bersangkutan.
2. Peradilan administrasi murni
Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu wajib pajak, fiskus dan hakim yang mengadili. Wajib pajak dan fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan hakim atau majelis hakim adalah pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.
(23)
Pengadilan pajak berkedudukan di ibu kota negara., Susunan pengadilan pajak terdiri atas pimpinan, hakim anggota, sekretaris, dan panitera. Pimpinan pengadilan pajak terdiri atas seorang ketua dan paling banyak 5 (lima) orang wakil ketua.
Hakim tidak boleh merangkap menjadi; 1. Pelaksana putusan pengadilan pajak;
2. Wakil, pengampun, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu sengketa pajak yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
3. Penasihat hukum; 4. Konsultan pajak; 5. Akuntan publik; 6. Pengusaha.
Kekuasaan Pengadilan Pajak
a. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutuskan sengketa pajak.
b. Pengadilan pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pengadilan pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutuskan sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya.
Gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap:
1. Pelaksana surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang.
2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan. 3. Keputusan pembetulan yang berkaitan dengan surat tagihan pajak.
d. Pengadilan pajak adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutuskan sengketa pajak
(24)
BAB III PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan Pajak di Indonesia.
Hal ini didasari adanya pendapat bahwa dengan adanya Pengadilan Pajak dapat terwujudnya hak-hak masyarakat Indonesia, mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tentram dan tertib serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat. Maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud diatas, pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan.
Selain itu, juga dalam hal karena badan penyelesaian sengketa pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung, maka diperlukan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara, sehingga dapat tercapai keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warganegaranya.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai memungut pajak secara hukum, pada saat hampir bersamaan dengan itu, ditetapkan suatu ordonansi tentang keadilan
(25)
(Billijk heid ordonantie, stbld 1929 Nomor 187 diubah dengan stbld 1940 no 266). Maksudnya dalam pemungutan pajak meskipun dapat dipaksakan, masih juga diberikan rasa keadilan, yaitu maksudnya Jika pemerintah hindia belanda dalam menghitung pajak terlalu memberatkan rakyat, rakyat atau WP dapat mengajukan persoalannya kepada badan yang di beri nama Raad van Beroep in Belastingzaken atau dalam bahasa Indonesia berarti Majelis Pertimbangan Pajak. Badan ini merupakan badan keadilan pajak yang pertama kali dibentuk di Indonesia. Raad van Beroep in Belastingzaken dibentuk pada tahun 1915 (stbl no. 707) yang kemudian disempurnakan dengan stbl No. 29 tahun 1927 tentang Ordonantie tot regeling van het Beroep in Belasting Zaken dan berkedudukan di Jakarta. Tepatnya di Jl. Cut Meutia Jakarta Pusat yang sekarang menjadi Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Menteng satu.
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. lebih dari 70 persen belanja negara dalam APBN berasal dari sektor ini. Bisa dikatakan tanpa pajak maka pembangunan sulit berjalan. Keberadaan Pengadilan Pajak menjadi salah satu faktor penting untuk menyelamatkan uang negara dari para ‘mafia pajak’. Perlu diketahui, Pengadilan Pajak memiliki sejarah dari masa ke masa.
Pengadilan Pajak sudah ada pada masa sebelum kemerdekaan dan lebih dikenal dengan peradilan. Peradilan dapat dibedakan, yakni peradilan tingkat pertama dan kedua. Peradilan pertama tidak dapat dikatakan sebagai peradilan dalam arti yang
(26)
sebenarnya atau peradilan murni. Hal ini disebabkan instansi yang melaksanakan fungsi peradilan adalah sama dengan yang melakukan penetapan pajak.
Dengan kondisi seperti ini, tentu saja wajib pajak berada dipihak yang lemah dan sulit untuk mendapatkan pengadilan yang sebenarnya. Buku berjudul “Mencari Keadilan di Pengadilan Pajak” karya Djazoeli Sadhani, Syahriful Anwar dan K. Subroto, menjelaskan pada masa itu, ketentuan yang mengatur tentang hal ini adalah Ordonansi atau Peraturan atau Undang-Undang Pajak yang bersangkutan.
Misalnya, keberatan untuk Pajak Perseroan (PPs) 1925 atau Vennotschap Belasting diatur di dalam Ordonansi PPs 1925. Demikian pula untuk pajak pendapatan (Inkomsten Belasting) diatur dalam Ordonansi Pajak Pendapatan 1944.
Apabila wajib pajak merasa keberatan dan tidak dapat menerima keputusan tersebut, maka wajib pajak masih diberi kesempatan untuk melakukan upaya lanjutan yakni dengan permohonan banding. Oleh sebab itu, pemerintah waktu itu berkeinginan untuk mendirikan badan khusus yang mengurusi dan menyelesaikan permohonan banding ini. Keinginan tersebut dapat dipenuhi dengan ditetapkannya Staatsblad tahun 1915 No.707 tanggal 11 Desember 1915 yaitu Ordonnantie Tot Regeling van Het Beroep in Belastingzaken (Peraturan Banding Pajak).
Namun, badan ini masih berada dibawah Gubernur Jenderal. Sedangkan yang menjadi ketua badan ini adalah Menteri Keuangan yang ditunjuk karena jabatannya
(27)
(ex officio). Anggotanya pun terdiri dari calon-calon yang diusulkan oleh Mahkamah Agung dan Kamar Dagang dan Industri.
Dalam perkembangannya, dengan diundangkannya Staatsblad tahun 1927 Nomor 29 yaitu tot regeling van het beroep in belastingzaken atau Majelis Banding Urusan Pajak yang menggantikan Stb. 1925 Nomor. 707, hal penting diatur dalam peraturan baru tersebut adalah mengenai jabatan Ketua Majelis Banding Pajak. Sesuai Pasal 2 Ordonansi tersebut, yang menjadi Ketua Majelis adalah Wakil Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda (Hooggererechtshof).
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, maka kedudukan Badan Peradilan Pajak ini semakin jelas sebagai peradilan yang tidak lagi dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Sehingga dapat dikatakan sebagai cikal bakal peradilan pajak yang mandiri seperti sekarang.
Pengadilan pajak pada masa pra kemerdekaan dibentuk oleh pemerintahan Belanda. Pembentukan lembaga ini pada masa itu dikenal dengan sebutan Peradilan Pajak yang berkedudukan di Batavia. Pada 1925, sebutan Peradilan Pajak berubah menjadi Peradilan Banding Pajak.
Proklamasi kemerdekaan membawa banyak perubahan bagi keberadaan tatanan mengenai Peradilan Banding Pajak, namun tetap mempertahankan Peradilan Banding Pajak tersebut sebagaimana diatur dalam Aturan Peralihan Undang-Undang
(28)
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 merupakan Undang-Undang yang tidak mengubah substansi dari peraturan sebelumnya, hanya saja Undang-Undang tersebut mengubah aturan tentang sebutan atau istilah.
Keberadaan MPP di Komplek Kemenkeu Lapangan Banteng cukup lama. Setelah pemerintah menerbitkan UU No.17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Kantor BPSP sempat pindah ke Jl.Cut Mutia No 7 Jakarta Pusat. Saat ini, gedung tersebut digunakan sebagai Gedung KPP Menteng. Tidak lama di Jl.Cut Mutia, pada tahun 1998 Pengadilan Pajak kembali pindah ke Pancoran, tepatnya di gedung yang saat ini digunakan sebagai Kantor Pusat Jasindo..
Pengadilan Pajak berkantor di Pancoran hanya sampai tahun 2002. Pengadilan Pajak kini berada di Gedung Sutikno Slamet tepatnyadi komplek Kementerian Keuangan. Gedung ini merupakan gedung pertama yang dibangun dikomplek Kemenkeu. Beberapa tahun setelah Pengadilan Pajak pindah ke Gedung Sutikno Slamet, barulah Gedung-gedung lain dibangun pada komplek tersebut.
Adapun hakim yang bekerja pada Pengadilan Pajak terdiri atas 55 orang dan beberapa merangkap sebagai Ketua dan dua Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Saat ini, terdapat delapan belas majelis, di mana setiap majelis terdiri dari tiga hakim. Saat ini, Pengadilan Pajak dipimpin oleh Saroyo Atmosudarmo.
(29)
Pengadilan Pajak memiliki delapan ruang sidang yang terletak pada lantai 9 dan 10. Tiap ruangan sidang, rata-rata berukuran 6x8 meter. Ruangan ini sama seperti ruang sidang lainnya, hanya saja sedikit berukuran kecil. Ruang sidang terdiri dari meja dan kursi majelis hakim, tergugat dan penggugat serta beberapa kursi tamu yang terletak di bagian belakang.
Setiap lantai yang berfungsi sebagai ruang sidang dilengkapi dengan tiga ruang tunggu. Ruang tunggu umum, yakni ruang tunggu yang terletak tepat didekat pintu masuk. Memasuki lorong sebelah kanan, terdapat ruang tunggu tergugat sementara lorong sebelah kiri menjadi ruang tunggu penggugat.
Tetapi, Gedung Sutikno Slamet yang ditempati Pengadilan Pajak rupanya sudah tidak memadai lagi. Apalagi, saat ini Gedung Sutikno Slamet ditempati oleh Dirjen Anggaran dan Pengadilan Pajak sendiri. Ruangan yang berukuran kecil dan sempit dinilai sebagai indikator utama untuk Pengadilan Pajak segera berpindah ke gedung baru.
Untuk diketahui, pemerintah ingin memindahkan sebagian tempat bersidang Pengadilan Pajak yang selama ini hanya berada di Jakarta ke 5 kota besar di Indonesia. Kelima kota itu adalah Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Tempat bersidang Pengadilan Pajak rencananya akan mengambil lokasi di Gedung Keuangan Negara yang ada di kelima kota tersebut.
(30)
Pemilihan kelima kota tersebut didasarkan pada perhitungan dan proyeksi jumlah sengketa pajak di masing-masing daerah berdasarkan data dari Bagian Administrasi Sengketa Pajak II, Sekretariat Pengadilan Pajak. Namun dari 5 kota tersebut, Pengadilan Pajak baru hadir di Yogyakarta pada 7 Juni 2012.
Menghitung pajak terlalu memberatkan rakyat, rakyat atau WP dapat mengajukan persoalannya kepada badan yang di beri nama Raad van Beroep in Belastingzaken atau dalam bahasa Indonesia berarti Majelis Pertimbangan Pajak. Badan ini merupakan badan keadilan pajak yang pertama kali dibentuk di Indonesia. Raad van Beroep in Belastingzaken dibentuk pada tahun 1915 (stbl no. 707) yang kemudian disempurnakan dengan stbl No. 29 tahun 1927 tentang Ordonantie tot regeling van het Beroep in Belasting Zaken dan berkedudukan di Jakarta. Tepatnya di Jl. Cut Meutia Jakarta Pusat yang sekarang menjadi Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Menteng satu.
Pengadilan pajak merupakan lembaga peradilan yang relatif baru di Indonesia meskipun embrio dari lembaga ini sudah ada sejak zaman kolonia belanda. Pada awalnya peradilan mengenai pajak-pajak dalam tingkat terakhir berada ditangan Gubernur Jenderal. Setelah tanggal 11 Desember 1915, maka peradilan pajak-pajak tersebut penyelesaiannya ditangan Majelis Pertimbangan Pajak (Raad Beroep Voor Belasting Zaken).
(31)
B. Kedudukan Peradilan Pajak Dalam Peradilan Nasional Indonesia
1. Peradilan Pajak Pada Masa Berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
a. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak Terhadap Sistem Peradilan Nasional Indonesia.
Apabila dipertanyakan, apakah badan penyelesaian sengketa pajak merupakan satu badan perdilan atau bukan badan peradilan pajak? Maka pertanyaan tersebut dapat dibahas bahwa menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, badan penyelesaian sengketa pajak adalah peradilan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kalau memang badan peradilan, mengapa tidak menggunakan nama “peradilan pajak”? Perubahan nama dari “peradilan pajak” menjadi “badan penyelesaian sengketa pajak” terjadi pada saat pembahasan rancangan undang-undang di DPR, sadangkan Rancangan Undang-Undang yang diajukan pemerintah menggunakan nama “badan peradilan pajak”.
Mengapa ada perubahan nama atau mengapa DPR berkeberatan menggunakan nama “badan peradilan pajak”?. Pertama, kehadiran badan peradilan pajak sebagai lingkungan peradilan tersendiri diluar lingkungan peradilan yang sudah ada,dan bertentangan dengan sistem lingkungan peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor14 Tahun 1970. Sistem peradilan Indonesia hanya terdiri dari 4 (empat) lingkungan peradilan. Tidak akan ada lingkungan peradilan baru. Penambahan hanya
(32)
dimungkinkan sebagai spesialisasi atau diferensiasi dari lingkungan peradilan yang sudah ada, misalnya spesialisasi dalam lingkungan peradilan umum seperti “pengadilan ekonomi”, pengadilan anak”. Kalaupun ada peradilan pajak, maka hanya sebagai spesialisasi dari lingkungan peradilan yang ada, dan yang paling tepat adalah dalam lingkungan peradilan tata usaha negara. Jadi, merupakan badan peradilan khusus dari lingkungan peradilan tata usaha negara. Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 9 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajaks, menyebutkan bahwa putusan peradilan pajak, merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Jadi, tidak dimungkinkan ada (upaya hukum) Kasasi ke Mahkamah Agung. Ketentuan semacam ini tidak dapat diterima, apabila badan tersebut secara resmi dinamakan badan peradilan, karena bertentangan dengan sistem peradilan dan pembatasan terhadap hak pencari keadilan untuk menggunakan segala upaya hukum dalam memperoleh keadilan.
Didalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan penyelesaian Sengketa Pajak bahwa badan penyelesaian sengketa pajak adalah badan peradilan pajak yang mempunyai tagas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa banding terhadap keputusan pejabat yang berwenang, dan gugatan terhap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan dibidang penagihan.
(33)
Dari tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa pajak yang sedemikian itulah dapat dipahami bahwa kedudukan hukum badan penyelesaian sengketa pajak belum ditempatkan daalam sistem kekuasaan kehakiman dan tidak mengacu pada Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10, Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman.
Dengan demikian jelaslah bahwa kemauan politik pembentuk undang-undang menghendaki bahwa kedudukan hukum badan penyelesaian sengketa pajak tidak berada di dalam sistem kekuasaan kehakiman. Maka keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak di luar sistem kekuasaan kehakiman dan juga di luar sistem peradilan nasional Indonesia.
Apabila dilihat dari konsideran “mengingat” Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, maka Baadan penyelesaian sengketa pajak (BPSP) tidak termasuk dalam salah satu lingkunganperadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka putusan badan penyelesaian sengketa pajak bukanlah merupakan putusan badan peradilan. Keputusan yang dibuat oleh baadan diluar badan peradilan merupakan keputusan administrasi negara oleh karena itu bunyi pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 tentang BPSP, yang menyatakan putusan-putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukan merupakan
(34)
keputusan tata usaha negara bertentangan dengan maksud Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Karena itu, keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tersebut diambil setelah melewati upaya keberatan, berarti diambil dalam tingkat banding administratif, maka gugatan terhadap keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tersebut harus diajukan dan menjadi kewenangan pengadilan tinggi tata usaha negara. Kalau ada eksepsi tentang kewenangan absolut yang dikaitkan dengan pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997, maka hakim dapat menolak eksepsi tersebut dengan menyesampingkan Pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dengan pertimbangan administratif. Kemudian hakim, pengacara dan siapa saja dapat dengan penuh kejujuran dan berkehendak memberikan keadilan kepada masyarakat. Akan tetapi, manusia yang sama, dapat saja memilih untuk tidak berbuat seperti itu, dan yang lebih memberatkan lagi adalah semua sama-sama mengaku bedasarkan hukum. Pada hal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dapat dilihat sebagai suatu alat yang digunakan pemerintah untuk menekan publik atau rakyat (goverment pressure) untuk membayar pajak, sehingga secara politis memperoleh legalisasi, walaupun substansi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak telah memberikan gerak yang lebih leluasa kepada pemerintah untuk menempatkan dirinya sebagai pemenang dalam “sengketa plitik” dengan rakyat, dengan mengabaikan sistem hukum dan sistem peradilan Indonesia.
(35)
b. Prinsip-Prinsip Yang Terdapat Dalam Sistem Peradilan Nasional Dengan Yang Dianut Dalam Undang-Undang BPSP
Bersikap taat asas dan konsisten dengan Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya yang menyangkut kekuasaan kehakiman, maka segala macam badan-badan peradilan yang sudah ada maupun yang akan ada, atau badan-badan peradilan yang umum maupun yang khusus, kesemuanya itu harus menemukan tempatnya didalam salah satu dari keempat macam lingkungan peradilan.
Keempat macam lingkungan peradilan tersebut semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung dengan segala fungsinya (fungsi mengadili dalam tingkat kasasi, fungsi pengawsan, fungsi administratif, fungsi memberikan nasihat dan judicial review).
Dengan demikian, ditinjau dari segi teknis mengadili dalam rangka melaksanakan kekuasaan kehakiman, maka suatu badan perdilan pajak (sekalipun merupakan badan perdilan khusus) agar dapat terkait dengan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi, haruslah masuk kedalam salah satu dari keempat macam lingkungan peradilan tersebut diatas.
Sebab tidak disebutkan dalam undang-undang tentang adanya “lingkungan peradilan yang kelima atau lebih. Sedangkan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana telah diubah dengan pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
(36)
Kehakiman) hanya mengatakan tentang keharusan dibentuknya dengan undang-undang bagi badan-badan peradilan khusus, disamping badan-badan peradilan yang sudah ada. Jadi pasal tersebut adalah mengenai pengakuan adanya badan-badan peradilan khusus (bukan berarti menambah lingkungan peradilan), dan bahwa badan-badan peradilan tersebut harus ditetapkan dengan undang-undang.
Kerenanya adalah lebih tepat kalau dipikirkan bahwa badan peradilan pajak dimasukkan dalam lingkungan peradilan umum (seperti di Nederland) atau dalam lingkungan peradilan tata usaha negara (seperti di Perancis). Tetapi dalam peristilahan lingkungan peradilan tersendiri ( lingkungan perdilan’’kelima’’). Kiranya letak badan peradilan pajak tidaklah tepat, sekalipun memang harus di akui bahwa peradilan pajak dapat dikategorikan dalam badan peradilan khusus sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jadi badan sebagai badan perdilan khusus, dasarnya ada dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, tetapi ditinjau dari segi lingkungan, maka jadi pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan pasal 18 undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) harus juga dihubungkan dengan pasal 13, dengan demikian pula sebaliknya yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan tata usaha negara.
Sehingga badan peradilan pajak memang tetap akan merupakan badan peradilan khusus, tetapi masih terkait kedalam salah satu dari empat lingkungan peradilan yang disebutkan dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
(37)
1970 (sebagaimana telah diubah dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Memang peradilan pajak tersebut akan terpisah sama sekali seratus persen dari pengadilan negeri ataupun dari pengadilan tata usaha negara, dan tidak dapat dicampuri oleh pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara.
Karenanya tidak tertutup kemungkinan bahwa sebagai badan peradilan khusus, dalam undang-undang pembentukan badan peradilan pajak dapat diatur proses hukum acara yang khususdan lebih mencerminkan kecepatan beracara, pelaksanaan eksekusi yang segera demi kepastian hukum dalam masyarakat dan berbagai pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Demikian pula dapat diatur secara khusus tentang syarat-syarat dan tata cara pengangkatan hakimnya dan sumberdaya manusianya dan sebagainya. Namun kesemua itu pada akhirnya berpuncak dan bermuara pada Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi bagi keempat lingkungan peradilan dan bagi semua badan peradilan umum ataupun khusus. Sebab, selama suatu badan peradilan pajak ingin disebut sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, baka badan peradilan tersebut harus dikaitkan dengan Mahkamah Agung sebagai puncak dan pemegang kekuasaan kehakiman yang tertinggi, dan karenanya tidak bisa terlepas dari jangkauan Mahkamah Agung dengan segala fungsinya.
(38)
Jika tidak, maka eksistensi badan peradilan pajak akan bertentangan dengan konstitusi, yaitu Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, dan berada diluar sistem peradilan yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian, penulis menyetujui dan dapat menerima adanya suatu badan peradilan pajak sebagai suatu peradilan khusus, tetapi ialah harus tetap berada dalam sistem yang berlaku bagi kekuasaan kehakiman sesuai dengan pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jika dipikirkan dalam konstruksi yuridis sebagaimana yang diuraikan diatas, maka menurut hemat penulis badan peradilan pajak akan benar-benar merupakan suatu badan peradilan khusus dalam kerangka sistem pelaksanaan kekuasaan kehakiman menurut konstitusi negara, dan bukannya hanya sekedar menjadi peradilan semu (quasi rechtspraak), ataupun suatu upaya administratif (administrative beroef). Sebab badan tersebut memenuhi syarat untuk dapat dikategorikan sebagai badan peradilan yang melaksanakan tugas mengadili, yaitu:
a. Adanya dua pihak atau lebih yang saling berhadapan dan saling bersengketa di pengadilan mengenai suatu persengketaan yang kongkrit.
b. Adanya hukum materiil dan hukum formil (acara) tersendiri dibidang perpajakan. c. Adanya pejabat yang independen terhadap kedua belah pihak yang bersengketa
dalam memutus sengketanya atau menjatuhkan putusannya.
d. Termasuk dalam jajaran pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berpuncak dari segi teknis perkara pada Mahkamah Agung (Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
(39)
Karena itu, prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem peradilan nasional dengan yang terdapat dalam undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak sinkron, sebab, terjadinya dualisme penanganan sengketa pajak antara Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dengan PeradianTata Usaha Negara mengakibatkan kerugian bagi wajib pajak, masyarakat, pemerintah dan negara. Wajib pajak rugi karena tidak ada kepastian hukum dan penyelesaian sengketa pajak menjadi rumit memakan waktu yang lama dan biaya yang lebih besar. Sebagai contoh, beberapa oknum wajib pajak yang mencoba menghindari atau menunda pembayaran utang pajak dengan mengajukan gugatan kepada PTUN atau PTTUN seandainya wajib pajak menang atau dimenangkan oleh PTUN atau PTTUN bahkan sampai tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, putusan lembaga PERATUN tersebut tetap dilaksanakan, karena sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sengketa pajaktersebut merupakan kompetensi absolut dari PTUN sehingga fiscus secara hukum terikat kepada putusan PTUN/PTTUN.
Selanjutnya, putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bersifat final, yaitu putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak merupakan putusan akhir yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan merupakan upaya hukum terakhir, agar kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak dapat segera diperoleh dalam waktu singkat. Tetapi sesuai dengan perkembangan hukum dan perubahan nilai keadilan bagi masyarakat, putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tersebut dirasakan
(40)
belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena tidak berpuncak kepada putusan Mahkamah Agung.
Sedangkan hukum acara badan Penyelesaian Sengketa Pajak masih perlu dilengkapi dan disempurnakan pada beberapa ketentuan tentang gugatan dan jenis-jenis putusan, hal mendasar yang menjadi sorotan pokok adalah pemeriksaan sengketa pajak dilakukan secara tertutup. Hal tersebut didasarkan padasifat kerahasiaan perpajakan dimana data yang disampaikan oleh wajib pajak kepada fiscus wajib dijaga dan dilindungi kerahasiaannya untuk tidak diketahui dan diekspos kepada pihak ketiga yang tidak berhak. Namun demikian putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Salah satu persyaratan pengajuan banding terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, wajib pajak melunasi utang pajak sebagaimana diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Ketentuan tersebut dianggap sebagai penghambat bagi pencari keadilan, karena bagi wajib pajak yang tidak mampu membayar lunas tidak memperoleh kesempatan untuk diperiksa materi perkara bandingnya, dan diputus oleh majelis Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dengan putusan tidak dapat diterima (niet onvannkelijkeverklarard).
Kemudian dalam hal persinggungan kewenangan absolut antara pengadilan tata usaha negara dengan badan penyelesaian sengketa pajak adalah menolak kewenangan badan penyelesaian sengketa pajak atas dasar Undang-Undang Nomor
(41)
17 Tahun 1997 (eksepsi tergugat ditolak) maka sikap hakim terhadap pokok sengketa adalah tetap melakukan pengujian terhadap surat keputsan objek sengketa dengan menggunakan ketentuan pasal satu butir 3 dan pasal 53 ayat (2) a, b dan c Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian, Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 bukan hanya bertentangan dengan konstitusi tetapi juga dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ketika itu. Pertentangan itu, dalam Undang-Undang Nomor RI 17 Tahun 1997 dinyatakan bahwa segala keputusan yang dibuat Badan Penyelesaian Sengketa Pajak merupakan putusan terakhir yang tidak dapat dilanjutkan banding kebadan peradilan yang ada. Sedangkan dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) jelas dinyatakan, kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Kontradiksi seperti ini tidak dapat dibiarkan terus menerus terjadi, kalau ingin menegakkan supremasi hukum. Karena itu, perangkat hukum maupun undang-undang yang bertentangan satu dengan lainnya, apa bila dengan konstitusi mengakibatkan distorsi terhadap upaya penegakkan hukum. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak secara hukum dan moral sangat merugikan masyarakat/rakyat karena tidak memberi sedikitpun kepada rakyat (wajib pajak) untuk membela hak-haknya.
(42)
2. Peradilan Pajak Setelah Berlaku Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
Penyelesaian Sengketa Pajak sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor14 Tahun 2002 tentang Peradilan Pajak, dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tenteng Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih terdapat ketidak pastian hukum yang dapat menimbulkan ketidak adilan. Pada hal, penyelesaian sengketa pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Selain itu keberadaan BPSP yang diatur dalam -Undang Nomor 17 Tahun 1997 bukan hanya bertentangan dengan konstitusi tetapi juga dengan Undang-Undang Nomor14 Tahun 1970 dan Undang Nomor 5 Tahun 1986 ketika itu. Dimana dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dinyatakan bahwa segala keputusan yang dibuat Badan Penyelesaian Sengketa Pajak merupakan putusan terakhir yang tidak dapat diajukan banding ke badan peradilan yang ada. Sedangkan dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) jelas dinyatakan, kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Pemerintah melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang menentukan putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali ke Mahkamah
(43)
Agung merupakan upaya hukum luar biasa, disamping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus oleh Mahkamah Agung.
Proses penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak perlu dilakukan secara cepat, oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diatur pembatasan waktu penyelesaian, baik ditingkat Pengadilan Pajak maupun di tingkat Mahkamah Agung. Selain itu, proses penyelesaian sengketa pajak hanya mewajibkan kehadiran terbanding atau tergugat, sedangkan pemohon banding atau penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apa bila di panggil oleh hakim atas dasar alasan yang cukup jelas. Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, penyelesaian sengketa perpajakan melalui pengadilan pajak mengharuskan wajib pajak untuk melunasi 50% (lima puluh persen) kewajiban perpajakannya terlebih dahulu. Meskipun demikian proses penyelesaian sengketa perpajakan melalui pengadilan pajak tidak menghalangi proses penagihan pajak.
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan pengadilan pajak.
(44)
Pengadilan pajak merupakan peradilan khusus dalam era berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor48 Tahun 2009), sama halnya dengan pengadilan khususnya yang sebelumnya yaitu Pengadilan Anak, yang diikuti kemudian dengaan Pengadilan Niaga, dan Pengadilan HAM.
Pengkhususan pengadilan ini terlihat dari penjelasan pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan:“perbedaan dalam empatlingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (difrensiasi/spesislisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam peradilan umum dapat diadakan pengkhususan berupa pengadilan lalulintas, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-Undang.”
Sebagaimana diketahui dalam sistem hukum Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia RI Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pengadilan Pajak hanya ada empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Agama dan Peradilan Militer. Demikian juga setelah dilakukan Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang RI Nomor 35 Tahun 1999, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak merubah ketentuan mengenai empat lingkup peradilan tersebut. jadi hanya dapat dibentuk pengadilan khusus didalam empat peradilan yang sudah ada tersebut.
(45)
Dengan berlakunya Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak maka pengadilan pajak sesuai sebagai pengkhususan terhadap keempat lingkup peradilan tersebut diatas maka masalah ketika berlakunya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang kedudukannya berada diluar sistem peradilan nasional (kekuasaan kehakiman) yaitu dibawah kekuasaan eksekutif telah berubah menjadi pengadilan pajak yang berada dibawah kekuasaan yudikatif. Namun demikian juga harus tegas tentang pengkhususan pengadilan pajak tersebut masuk lingkup salah satu dari empat peradilan sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nasional yang berlaku. Dimana dilihat dari karakteristik pengadilan pajak adalah menyelesaikan sengketa warganegara yang tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh Negara khususnya Kantor Perpajakan baik itu daerah dan untuk dipusat dengan kata lain yang digugat dalam sengketa pajak adalah putusan dari pejabat negara.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2004 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, tidak semua tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat negara atau Badan Tata Usaha Negara menjadi obyek diperadilan Tata Usaha Negara tetapi hanya tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat ekstern, publik, sepihak, individual, dan konkrit saja yang dapat menjadi obyek sengketa. Sedangkan tindakan-tindakan material dan tindakan
(46)
hukum laainnya, apabila disengketakan akan termasuk dalam kewenangan badan Peradilan Umum.
Lebih lanjut Pasal 1 angka 5 Undang Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara memberikan suatu pengertian secara formil yang dimaksud dengan sengketa tata usaha negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tat usaha Negara antar orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik dipusat maupun dinegara, sebagai akibat dikeluarkan keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarka peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemahaman tentang hal tersebut diatas penting terkait dengan penyelesaian sengketa pajak yang diatur dengan Undang-Undang Nomor RI 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak di dirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak pusat dan daerah, bea masuk dan cukai dan pajak daerah, dalam prakteknya terkadang tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap wajib pajak itu sendiri, karena para wajib pajak merasakan bahwa peningkatan kewajiban pajak tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara instansi perpajakan dan tidak wajib pajak untuk mempermudah penyelesaian sengketa perpajakan dibutuhkan suatu peradilan khusus untuk menanganinya, dan sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak kemudian diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan pajak, yang dalam
(47)
konsiderannya dinyatakan: Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang belum berpuncak di Mahkamah Agung, karena itu diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan maupun menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan “ sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penagung pajak dengan pejabat yang berwnang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan surat paksa”.
Dengan demikian dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak terdapat dua jenis upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu pengajuan banding dan gugatan. Banding adalah upaya hukum yang dilakukan wajib pajak apa bila tidak puas dengan keputusan atas keberatan yang di ajukan. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat diajukan wajib pajak apa bila tidak puas dengan prosedur penagihan pajak atau keputusan lain dibidang perpajakan. Upaya hukum banding dapat mengakomodasi ketidak puasan terhadap penyelesaian sengketa pajak yang diselesaikan dengan mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Namun tidak seperti halnya pengadilan lain, pengadilan pajak
(48)
tidak mengenal upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi maupun Kasasi. Hanya ada satu upaya hukum terhadap putusan pengadilan pajak yaitu Peninjauan Kembali yang dapat diajukan pada Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dalam putusan atas judicial review yang diajukan oleh Cornelius Moningka Vega atas Pasal 33 ayat 1 jo. Pasal 77 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengeliminasi upaya hukum banding maupun kasasi, lebih lanjut mengatakan bahwa proses Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sama dengan proses pemeriksaan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negaara karena tersedianya upaya hukum banding administratif bagi pencari keadilan.
Pada pengadilan pajak sama halnya dengan subyek pada peradilan Tata Usaha Negara, dimana subjek pada Pengadilan Pajak dalam keadaan yang tidak seimbang antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang. Hakim yang independen akan mengambil peranan untuk membuat keadaan ini menjadi lebih seimbang. Oleh karena itu, hakim pada pengadilan pajak harus tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian khusus dibidang perpajakan. Namun pada prakteknya hakim pada Pengadilan Pajak sebagian besar adalah mantan pejabat pada departemen keuangan pada khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan bukan Hakim karir yang berasal dari pembinaan karir pada umumnya. Selain itu pembinaan terhadap hakim pengadilan pajak bukan dibawah Mahkamah Agung namun dibawah departemen Keuangan. Walaupun terlihat Pengadilan Pajak berada dibawah
(49)
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak sepenuhnya berlandaskan pada prinsip satu atap dibawah Mahkamah Agung karena adanya dualisme pembinaan yang berada di dua lembaga peradilan tersebut sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Ketentuan ini mengakibatkan hakim pada Pengadilan Pajak banyak di rekrut dari para mantan pegawai Kementrian Keuangan dengan kedudukan sebagai Hakim ad Hoc. Keadaan ini mempengaruhi independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa pajak tersebut.
(50)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa belum ada kejelasan mengenai pengaturan peradilan pajak dalam sistem peradilan nasional, dalam hal sebagai pengadilan khusus dan dimana letak keberadaannya didalam empat lingkungan peradilan nasional Indonesia, baik pada masa berlakunya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan juga setelah berlakunnya Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak .
2. Beberapa kerancunan dalam substansi Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menimbulkan perbedaan dan pertentangan yang cukup mendasar dengan badan peradilan lainnya bila ditinjau dari struktur kekuasaan kehakiman, susunan pengadilan, usulan mengenai pengangkatan pimpinan dan pembinaan organisasi, administrasi dan finansial. Perbedaan ini menimbulkan persoalan yuridis dan penyimpangan dari sistem kesatuan peradilan yang berlaku. Berbagai kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak, tentunya harus segera diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan finansialnya.
(51)
Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada dibawah Mahkamah Agung.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan penulis dari pembahasan tersebut diatas dan semoga dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga pada pelaksanaannya tidak memunculkan suatu masalah. Lembaga pembuat Undang-Undang harus memberikan tujuan serta manfaat yang jelas atas undang-undang yang dibuatnya untuk menghindari terjadinya multitafsir oleh masyarakat dalam memahami beberapa pasal dalam undang-undang tersebut.
2. Untuk memberi nilai kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, sebaiknya materi muatan Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak direvisi, disesuaikan dengan kedudukan Pengadilan Pajak yang meruapakan bagian dari Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini berdasarkan obyek dan subyek dan persoalan substansi sengketa yang diselesaikan, pengadilan pajak mengandung unsur publik yang menjadi bagian dari hukum administrasi negara, sehingga pengadilan pajak di tempatkan sebagai pengadilan khusus dalam pengadilan Tata Usaha Negara.
(52)
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Asshiddqie Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
--- , Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007.
H. Sobari, Pengantar Hukum Pajak. Rajawali Pers Jakarta, 1993.
Jamal Wiwoho dan Lulik djatikusumo, Dasar-Dasar Penyelesaian Sengketa Pajak. PT Citra Adiya Bakti Bandung, 2004.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta,1992.
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Kostitusi di Indonesia,studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketata Negaraan, Edisi I, Liberti Jogyakarta, 1993.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta Kencana Perdana Media Group, 2009.
Rizki Argama, Pengadilan Pajak di Indonesia dan Pelaksanaannya Sebagai Solusi Sengketa Pajak. Makalah Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Soleh Djandang, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cetakan 8, Jakarta, Ichtiar Baru, 1990.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Hukum Pajak, Eresco: Bandung 1995.
S. Nasution, Metode Research (Penelitian Hukum), Jakarta Bumi Aksara, cetakan 8, 2006.
Supandi, (H), Keberadaan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Nasional Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011.
Y sri Pudyamoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005.
(53)
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan..
(1)
45
tidak mengenal upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi maupun Kasasi. Hanya ada satu upaya hukum terhadap putusan pengadilan pajak yaitu Peninjauan Kembali yang dapat diajukan pada Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dalam putusan atas judicial review yang diajukan oleh Cornelius Moningka Vega atas Pasal 33 ayat 1 jo. Pasal 77 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengeliminasi upaya hukum banding maupun kasasi, lebih lanjut mengatakan bahwa proses Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sama dengan proses pemeriksaan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negaara karena tersedianya upaya hukum banding administratif bagi pencari keadilan.
Pada pengadilan pajak sama halnya dengan subyek pada peradilan Tata Usaha Negara, dimana subjek pada Pengadilan Pajak dalam keadaan yang tidak seimbang antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang. Hakim yang independen akan mengambil peranan untuk membuat keadaan ini menjadi lebih seimbang. Oleh karena itu, hakim pada pengadilan pajak harus tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian khusus dibidang perpajakan. Namun pada prakteknya hakim pada Pengadilan Pajak sebagian besar adalah mantan pejabat pada departemen keuangan pada khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan bukan Hakim karir yang berasal dari pembinaan karir pada umumnya. Selain itu pembinaan terhadap hakim pengadilan pajak bukan dibawah Mahkamah Agung namun dibawah departemen Keuangan. Walaupun terlihat Pengadilan Pajak berada dibawah
(2)
46
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak sepenuhnya berlandaskan pada prinsip satu atap dibawah Mahkamah Agung karena adanya dualisme pembinaan yang berada di dua lembaga peradilan tersebut sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Ketentuan ini mengakibatkan hakim pada Pengadilan Pajak banyak di rekrut dari para mantan pegawai Kementrian Keuangan dengan kedudukan sebagai Hakim ad Hoc. Keadaan ini mempengaruhi independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa pajak tersebut.
(3)
47 BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa belum ada kejelasan mengenai pengaturan peradilan pajak dalam sistem peradilan nasional, dalam hal sebagai pengadilan khusus dan dimana letak keberadaannya didalam empat lingkungan peradilan nasional Indonesia, baik pada masa berlakunya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan juga setelah berlakunnya Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak .
2. Beberapa kerancunan dalam substansi Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menimbulkan perbedaan dan pertentangan yang cukup mendasar dengan badan peradilan lainnya bila ditinjau dari struktur kekuasaan kehakiman, susunan pengadilan, usulan mengenai pengangkatan pimpinan dan pembinaan organisasi, administrasi dan finansial. Perbedaan ini menimbulkan persoalan yuridis dan penyimpangan dari sistem kesatuan peradilan yang berlaku. Berbagai kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak, tentunya harus segera diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan finansialnya.
(4)
48
Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada dibawah Mahkamah Agung.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan penulis dari pembahasan tersebut diatas dan semoga dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga pada pelaksanaannya tidak memunculkan suatu masalah. Lembaga pembuat Undang-Undang harus memberikan tujuan serta manfaat yang jelas atas undang-undang yang dibuatnya untuk menghindari terjadinya multitafsir oleh masyarakat dalam memahami beberapa pasal dalam undang-undang tersebut.
2. Untuk memberi nilai kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, sebaiknya materi muatan Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak direvisi, disesuaikan dengan kedudukan Pengadilan Pajak yang meruapakan bagian dari Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini berdasarkan obyek dan subyek dan persoalan substansi sengketa yang diselesaikan, pengadilan pajak mengandung unsur publik yang menjadi bagian dari hukum administrasi negara, sehingga pengadilan pajak di tempatkan sebagai pengadilan khusus dalam pengadilan Tata Usaha Negara.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Asshiddqie Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
--- , Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007.
H. Sobari, Pengantar Hukum Pajak. Rajawali Pers Jakarta, 1993.
Jamal Wiwoho dan Lulik djatikusumo, Dasar-Dasar Penyelesaian Sengketa Pajak. PT Citra Adiya Bakti Bandung, 2004.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta,1992.
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Kostitusi di Indonesia,studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketata Negaraan, Edisi I, Liberti Jogyakarta, 1993.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta Kencana Perdana Media Group, 2009.
Rizki Argama, Pengadilan Pajak di Indonesia dan Pelaksanaannya Sebagai
Solusi Sengketa Pajak. Makalah Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005.
Soleh Djandang, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cetakan 8, Jakarta, Ichtiar Baru, 1990.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Hukum Pajak, Eresco: Bandung 1995.
S. Nasution, Metode Research (Penelitian Hukum), Jakarta Bumi Aksara, cetakan 8, 2006.
Supandi, (H), Keberadaan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Nasional Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011.
Y sri Pudyamoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005.
(6)
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan..