Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 462007036 BAB II

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tidur

2.1.1 Pengertian dan Fungsi Tidur

Menurut Harsono (1996), tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja. Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periodik (Lanywati, 2001).

Menurut Potter & Perry (2005), tidur merupakan proses fisiologis yang bersiklus bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan. Tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun (Mubarak & Chayatin, 2008).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidur adalah proses fisiologis yang terjadi dalam keadaan bawah sadar dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun, bersiklus bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan.

Fungsi tidur antara lain untuk melindungi tubuh, konservasi energi, restorasi otak, homeostasis, meningkatkan fungsi immunitas, dan regulasi suhu tubuh (Lumbantobing, 2004). Tidur menggunakan kedua efek psikologis pada jaringan otak dan organ-organ tubuh manusia. Tidur dalam


(2)

9 beberapa cara dapat menyegarkan kembali aktifitas normal pada bagian jaringan otak (Kozier, 2004).

Potter (2005) berpendapat bahwa, selama tidur NREM bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung dan selama tidur gelombang rendah yang dalam NREM tahap IV tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak. Selain itu, tubuh menyimpan energi selama tidur dan penurunan laju metabolik basal menyimpan persediaan energi tubuh.

2.1.2 Fisiologi Tidur

Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bola dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam-tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan binatang pada siang hari dan tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996).

Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2005).

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi


(3)

10 rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).

2.1.3 Tahapan Tidur

Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat, lalu diikuti oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005).

2.1.3.1 Tidur stadium satu

Sesuai dengan keadaan seorang yang baru saja terlena. Seluruh otot skeletal menjadi lemas, kelopak mata menutupi mata dan kedua bola mata bergerak bolak-balik ke kedua sisi. EEG yang direkam selama tahap tidur pertama itu memperlihatkan penurunan voltase dengan gelombanggelombang alfa yang makin menurun frekuensinya (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun


(4)

11 dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).

2.1.3.2 Tidur stadium dua

Keadaan tidur masuk tahap tidur kedua apabila timbul sekelompok gelombang yang berfrekuensi 14-18 siklus per detik pada aktivitas dasar yang berfrekuensi 3-6 per detik. Gelombang-gelombang 14-18 siklus per detik itu dinamakan gelombang tidur atau sleep spindles. Dalam tahap tidur kedua itu kedua bola mata berhenti bergerak dan tonus otot masih terpelihara (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).

2.1.3.3 Tidur stadium tiga

Pada tahap tidur yang ketiga EEG memperlihatkan perubahan gelombang dasar berfrekuensi 3-6 siklus per detik menjadi 1-2 siklus per detik, yang sekali-sekali diselingi oleh timbulnya gelombang tidur. Keadaan fisik pada tahap tidur ketiga dicirikan oleh lemah lunglai karena tonus muscular lenyap sama sekali (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak


(5)

12 dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010).

2.1.3.4 Tidur stadium empat

Pada tahap tidur keempat ini, EEG memperlihatkan hanya irama gelombang yang berfrekuensi 1-2 per detik tanpa penyelingan dengan gelombang tidur. Dalam tahap tidur keempat badan lemah seperti pada tahap tidur ketiga (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010). Kecepatan jantung dan pernafasan turun, rileks, jarang bergerak dan sulit dibangunkan dan mengalami 4 sampai 6 kali siklus tidur dalam waktu 7 – 8 jam (Kozier, 2004).

Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat restorative karena merupakan bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM.

Tahap tidur REM terjadi setelah 90–110 menit tertidur ditandai dengan peningkatan denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah, otot – otot relaksasi (Maas, 2002) serta peningkatan sekresi gaster (Potter & Perry, 2003; Hidayat, 2006). Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara


(6)

13 fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry, 2005). Karakteristik tidur REM adalah pernafasan ireguler, mata cepat tertutup dan terbuka, sulit dibangunkan, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat dan biasanya disertai mimpi aktif (Hidayat, 2006).

2.1.4 Siklus Tidur

Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008).


(7)

14 Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005). Pada tahap REM aktivitas korteks cukup intensif, sedangkan non-REM adalah dengan hilangnya aktifitas korteks yang digambarkan dengan amplitudo yang besar berfrekuensi rendah pada osilasi elektroensefalografi (EEG). Satu siklus tidur yang lengkap pada orang dewasa berlangsung sekitar 90 menit, tetapi pada anak, terlebih bayi berlangsung lebih singkat lagi (Tanjung & Sekartini, 2004).

2.1.5 Pola Tidur Normal

Tidur dengan pola yang teratur ternyata lebih penting jika dibandingkan dengan jumlah jam tidur itu sendiri. Pada beberapa orang, mereka merasa cukup dengan tidur selama 5 jam saja pada tiap malamnya (Kozier, 2004). Secara umum, durasi atau waktu lama tidur mengikuti pola sesuai dengan tahap tumbuh kembang manusia.

2.1.5.1 Bayi

Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14–18 jam sehari, pernafasan teratur, gerak tubuh sedikit 50% tidur NREM dan terbagi dalam 7 periode. Dan pada bayi tidur selama 12–14 jam sehari, sekitar 20–30 % tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari dan punya pola terbangun sebentar (Asmadi, 2008).


(8)

15 2.1.5.2 Toddler

Kebutuhan tidur pada toddler (1-3 tahun) menurun menjadi 10–12 jam sehari. Sekitar 20–30 % tidurnya adalah tidur REM, banyak. Tidur siang dapat hilang pada usia 3 tahun, karena sering terbangun pada malam hari yang menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari (Asmadi, 2008).

2.1.5.3 Anak pra sekolah

Pada usia pra sekolah (4-6 tahun) tahun biasanya memerlukan waktu tidur 11–12 jam semalam. Kebanyakan pada usia ini tidak menyukai waktu tidur. Bisa jadi anak usia 4–5 mengalami kurang istirahat tidur dan mudah sakit jika kebutuhan tidurnya tidak terpenuhi. Sekitar 20 % tidurnya adalah tidur REM (Asmadi, 2008).


(9)

16 Gambar 2.1.4 Pola tidur berdasarkan usia (Horne J. Images of lost sleep,

2004) dalam (Tanjung & Sekartini, 2004)

2.1.6 Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Selain itu, menurut Hidayat kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Di bawah ini akan dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang dialami.


(10)

17 2.1.6.1 Tanda fisik

Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing.

2.1.6.2 Tanda psikologis

Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan menurun.

2.1.8 Gangguan Tidur

2.1.8.1 Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun secara dini dan tidak tidak dapat tidur kembali (Potter, 2005).

2.1.8.2 Hipersomnia

Hipersomnia merupakan kebalikan dari insomnia. Hipersomnia merupakan kelebihan tidur lebih dari 9 jam di malam hari dan biasanya


(11)

18 berkaitan dengan gangguan psikologis seperti depresi atau kegelisahan, kerusakan sistem saraf pusat dan gangguan pada ginjal, hati atau gangguan metabolisme.

2.1.8.3 Parasomnia

Parasomnia merupakan suatu rangkaian gangguan yang mempengaruhi tidur anak-anak seperti somnabulisme (tidur berjalan), ketakutan dan enuresis (mengompol). Gangguan ini sering dialami anak secara bersama, diturunkan dalam keluarga atau genetis dan cenderung terjadi pada tahap III dan IV tidur NREM.

2.1.9 Efek Tidur Pada Kesehatan

Suatu penelitian eksperimental yang dilakukan pada tahun 1896 yang membiarkan subyek penelitiannya tidak tertidur selama 90 jam. Pada subyek ini ditemukan penurunaan ketajaman sensoris, reaksi, kecepatan motorik dan memori. Kurangnya tidur terutama mempengaruhi fungsi korteks serebral. Perubahan mood, gangguan fungsi kognitif dan performa motorik serta perubahan hormonal merupakan akibat yang mungkin dari kurangnya waktu tidur. (Tanjung & Sekartini, 2004).

Hasil penelitian Smaldone et all (2007) di Amerika menunjukkan bahwa sekitar 15 juta anak di amerika mengalami tidur yang tidak terpenuhi. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa gangguan tidur pada anak dapat mempengaruhi fisik dan psikologis, disfungsi keluarga maupun ancaman


(12)

19 buruk bagi aktifitasnya disekolah maupun komunitas. Penelitian yang dilakukan Kabadayi (2013) terhadap remaja di Turkey melaporkan bahwa tidur yang baik dan teratur dapat mengontrol berat badan. Journal Essay dari Solyom et all (2013) mengenai gangguan tidur yang dirangkum dari berbagai tinjauan pustaka menunjukkan bahwa gangguan tidur dapat menjadi pelopor terjadinya penyakit kronis pada anak-anak. Menurut artikel jurnal oleh Jianghong et all (2012) yang meninjau bukti dari 25 literatur terpilih 5 tahun terakhir (2006-2011) mengenai hubungan antara durasi tidur dan kelebihan berat badan atau obesitas anak melaporkan bahwa meskipun modifikasi gaya hidup untuk mencegah obesitas tidak secara khusus termasuk kebutuhan akan tidur yang cukup, namun banyak literatur dan bukti menunjukkan bahwa durasi tidur memang harus dipertimbangkan sebagai faktor risiko yang dapat menyebabkan obesitas.

2.2 Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.


(13)

20 Kemampuan anak untuk menjalankan segala kegiatannya tergantung dari seberapa banyak tidur yang didapatnya. Bila anak tidak cukup tidur, dia mudah lelah sehingga rewel, menangis dan sulit mengerti keadaan disekelilingnya. Setiap anak memerlukan waktu tidur yang berbeda, jadi berapa banyak waktu tidur yang diperlukan oleh setiap anak akan bervariasi. Ada anak yang memerlukan waktu tidur lebih banyak dibandingkan yang lain (Suririnah, 2010).

Umumnya, anak setelah berusia satu tahun membutuhkan waktu tidur sekitar 13-14 jam sehari yang terbagi menjadi 11-12 jam tidur malam hari dan 2-3 jam tidur siang. Waktu tidur siang ini biasanya terbagi kembali menjadi 2 kali waktu tidur, pagi dan sore hari, dengan waktu yang bervariasi antara 1 sampai 1,5 jam. Namun ada juga anak usia satu tahun yang menunjukkan bahwa dia siap hanya tidur satu kali di siang hari, biasanya setelah selesai makan siang dengan waktu yang lebih panjang. Memasuki usia 2 tahun anak masih memerlukan tidur selama 11-12 jam per hari dengan satu kali tidur selama 1-2 jam di sore hari. Memasuki usia 3 tahun, kebutuhan tidur anak semakin berkurang secara bertahap, mereka jarang tidur siang (Suririnah, 2010). Balita usia 3-5 tahun dan anak usia 6 tahun memerlukan waktu tidur 10-12 jam per hari. Waktu tidur siang mereka makin lama makin sedikit dan umumnya pada usia 5 tahun, anak tidak lagi tidur siang (Benaroch, 2012).


(14)

21 Pada anak terdapat tiga jenis gangguan tidur yakni disomnia, parasomnia dan gangguan tidur sekunder. Istilah disomnia berhubungan dengan masalah jumlah tidur, saat mulai dan mempertahankan tidur. Parasomnia terdiri dari sekelompok masalah yang berhubungan dengan keadaan terjaga, terjaga sebagian atau transisi tahapan tidur. Masalah ini dapat mengganggu tidur, tetapi biasanya tidak menyebabkan keadaan mengantuk yang berlebihan. Gangguan tidur sekunder dihubungkan dengan gangguan psikiatri, neurologis atau masalah medis lainnya (Tanjung & Sekartini, 2004). Jurnal Solyom & Baghiu (2013) juga menyebutkan bahwa gangguan tidur dapat terjadi akibat kondisi medis diantaranya penyakit psikiatris, penyakit saraf, penyakit lain dan gangguan tidur yang disebabkan karena mengkonsumsi zat tertentu.

2.3 Terapi Cairan Intravena (Pemasangan Infus)

2.3.1 Pengertian dan Tujuan Terapi Intravena

Pemberian cairan intravena merupakan pemberian cairan melalui alat intravena untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit, obat-obatan, pemantauan hemodinamik, serta mempertahankan fungsi jantung dan ginjal (Schaffer, dkk, 2000). Menurut Perry & Potter (2006), pemberian cairan intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh ke dalam pembuluh vena untuk memperbaiki atau mencegah gangguan cairan dan elektrolit, darah, maupun nutrisi.


(15)

22 Terapi intravena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien (Darmawan, 2008). Menurut Lukman (2007), terapi intravena adalah memasukkan jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh balik) untuk dilewati cairan infus atau pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah cairan atau obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam jangka waktu tertentu. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa.

Menurut Hidayat (2008), tujuan utama terapi intravena adalah mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral, mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit, memperbaiki keseimbangan asam basa, memberikan tranfusi darah, menyediakan medium untuk pemberian obat intravena, dan membantu pemberian nutrisi parenteral.


(16)

23 2.3.2 Keuntungan dan Kerugian

Menurut Perry dan Potter (2005), keuntungan dan kerugian terapi intravena adalah :

2.3.2.1 Keuntungan

Keuntungan terapi intravena antara lain : Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat, absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari, sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.

2.3.2.2 Kerugian

Kerugian terapi intravena adalah : tidak bisa dilakukan “drug recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi, kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speed shock” dan komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu : kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular, misalnya flebitis kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.


(17)

24 Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya diatas dapat dilihat dan diketahui dengan jelas bahwa pemenuhan kebutuhan tidur sangatlah penting untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia khususnya anak baik itu secara fisik maupun psikis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan tidur pada anak dapat menyebabkan dampak buruk untuk kesehatan maupun aktifitas anak sehari-hari. Untuk itu pemenuhan kebutuhan tidur anak harus diperhatikan dengan baik.


(1)

19 buruk bagi aktifitasnya disekolah maupun komunitas. Penelitian yang dilakukan Kabadayi (2013) terhadap remaja di Turkey melaporkan bahwa tidur yang baik dan teratur dapat mengontrol berat badan. Journal Essay dari Solyom et all (2013) mengenai gangguan tidur yang dirangkum dari berbagai tinjauan pustaka menunjukkan bahwa gangguan tidur dapat menjadi pelopor terjadinya penyakit kronis pada anak-anak. Menurut artikel jurnal oleh Jianghong et all (2012) yang meninjau bukti dari 25 literatur terpilih 5 tahun terakhir (2006-2011) mengenai hubungan antara durasi tidur dan kelebihan berat badan atau obesitas anak melaporkan bahwa meskipun modifikasi gaya hidup untuk mencegah obesitas tidak secara khusus termasuk kebutuhan akan tidur yang cukup, namun banyak literatur dan bukti menunjukkan bahwa durasi tidur memang harus dipertimbangkan sebagai faktor risiko yang dapat menyebabkan obesitas.

2.2 Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.


(2)

20 Kemampuan anak untuk menjalankan segala kegiatannya tergantung dari seberapa banyak tidur yang didapatnya. Bila anak tidak cukup tidur, dia mudah lelah sehingga rewel, menangis dan sulit mengerti keadaan disekelilingnya. Setiap anak memerlukan waktu tidur yang berbeda, jadi berapa banyak waktu tidur yang diperlukan oleh setiap anak akan bervariasi. Ada anak yang memerlukan waktu tidur lebih banyak dibandingkan yang lain (Suririnah, 2010).

Umumnya, anak setelah berusia satu tahun membutuhkan waktu tidur sekitar 13-14 jam sehari yang terbagi menjadi 11-12 jam tidur malam hari dan 2-3 jam tidur siang. Waktu tidur siang ini biasanya terbagi kembali menjadi 2 kali waktu tidur, pagi dan sore hari, dengan waktu yang bervariasi antara 1 sampai 1,5 jam. Namun ada juga anak usia satu tahun yang menunjukkan bahwa dia siap hanya tidur satu kali di siang hari, biasanya setelah selesai makan siang dengan waktu yang lebih panjang. Memasuki usia 2 tahun anak masih memerlukan tidur selama 11-12 jam per hari dengan satu kali tidur selama 1-2 jam di sore hari. Memasuki usia 3 tahun, kebutuhan tidur anak semakin berkurang secara bertahap, mereka jarang tidur siang (Suririnah, 2010). Balita usia 3-5 tahun dan anak usia 6 tahun memerlukan waktu tidur 10-12 jam per hari. Waktu tidur siang mereka makin lama makin sedikit dan umumnya pada usia 5 tahun, anak tidak lagi tidur siang (Benaroch, 2012).


(3)

21 Pada anak terdapat tiga jenis gangguan tidur yakni disomnia, parasomnia dan gangguan tidur sekunder. Istilah disomnia berhubungan dengan masalah jumlah tidur, saat mulai dan mempertahankan tidur. Parasomnia terdiri dari sekelompok masalah yang berhubungan dengan keadaan terjaga, terjaga sebagian atau transisi tahapan tidur. Masalah ini dapat mengganggu tidur, tetapi biasanya tidak menyebabkan keadaan mengantuk yang berlebihan. Gangguan tidur sekunder dihubungkan dengan gangguan psikiatri, neurologis atau masalah medis lainnya (Tanjung & Sekartini, 2004). Jurnal Solyom & Baghiu (2013) juga menyebutkan bahwa gangguan tidur dapat terjadi akibat kondisi medis diantaranya penyakit psikiatris, penyakit saraf, penyakit lain dan gangguan tidur yang disebabkan karena mengkonsumsi zat tertentu.

2.3 Terapi Cairan Intravena (Pemasangan Infus)

2.3.1 Pengertian dan Tujuan Terapi Intravena

Pemberian cairan intravena merupakan pemberian cairan melalui alat intravena untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit, obat-obatan, pemantauan hemodinamik, serta mempertahankan fungsi jantung dan ginjal (Schaffer, dkk, 2000). Menurut Perry & Potter (2006), pemberian cairan intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh ke dalam pembuluh vena untuk memperbaiki atau mencegah gangguan cairan dan elektrolit, darah, maupun nutrisi.


(4)

22 Terapi intravena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien (Darmawan, 2008). Menurut Lukman (2007), terapi intravena adalah memasukkan jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh balik) untuk dilewati cairan infus atau pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah cairan atau obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam jangka waktu tertentu. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa.

Menurut Hidayat (2008), tujuan utama terapi intravena adalah mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral, mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit, memperbaiki keseimbangan asam basa, memberikan tranfusi darah, menyediakan medium untuk pemberian obat intravena, dan membantu pemberian nutrisi parenteral.


(5)

23 2.3.2 Keuntungan dan Kerugian

Menurut Perry dan Potter (2005), keuntungan dan kerugian terapi intravena adalah :

2.3.2.1 Keuntungan

Keuntungan terapi intravena antara lain : Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat, absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari, sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.

2.3.2.2 Kerugian

Kerugian terapi intravena adalah : tidak bisa dilakukan “drug recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi, kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speed shock” dan komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu : kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular, misalnya flebitis kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.


(6)

24 Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya diatas dapat dilihat dan diketahui dengan jelas bahwa pemenuhan kebutuhan tidur sangatlah penting untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia khususnya anak baik itu secara fisik maupun psikis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan tidur pada anak dapat menyebabkan dampak buruk untuk kesehatan maupun aktifitas anak sehari-hari. Untuk itu pemenuhan kebutuhan tidur anak harus diperhatikan dengan baik.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Koping pada Penderita Tuberkulosis dalam Menghadapi Penyakitnya di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga T1 462012026 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akumulasi Stafilokokus pada Linen Tempat Tidur Pasien di Ruang High Care Unit (HCU) Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga T1 462010094 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 462007036 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 462007036 BAB IV

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 462007036 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Kedukaan Pasien Saat Terdiagnosa HIV Positif di Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan Salatiga T1 462009004 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pelaksanaan Metode Keperawatan Tim Di Ruang Dahlia Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga T1 462009032 BAB II

0 0 13

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab MDR (Multi Drugs Resistance) pada Pasien TB di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 BAB II

0 0 15