Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 462007036 BAB IV

(1)

32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran umum penelitian

Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK Menteri Kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan (RSPAW) atau yang lebih dikenal masyarakat sekitar dengan istilah Sanatorium menjadi satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa Tengah.

Peneliti melakukan penelitian di ruang Kenanga, RSPAW. Ruang kenanga adalah ruang perawatan anak yang terletak di VIP lantai 2 Cendana. Terdapat 12 perawat yang bertugas di ruangan tersebut yang terdiri dari 3 perawat laki-laki dan 9 perawat perempuan. Di ruangan tersebut juga memiliki 3 cleaning service yang bertugas membersihkan ruangan kenanga. Ruang kenanga memiliki 8 kamar perawatan yang terbagi atas 3 kelas. 4 kamar untuk pasien VIP, 2 kamar untuk pasien kelas 2, dan 2 kamar untuk pasien kelas 3. Ruang kenanga juga memiliki 1 ruang tunggu pengunjung pasien dan 1 ruang perawat.

Penelitian ini dimulai dengan mengurus surat ijin penelitian dari Fakultas Ilmu Kesehatan dan kemudian diberikan kepada pihak rumah sakit. Setelah mendapat ijin penelitian, peneliti mulai melakukan penelitian


(2)

33 pada tangal 21 september 20013 dan berakhir pada tanggal 17 oktober 2013. Uji keabsahan data yang dipakai peneliti adalah member check, sehingga setelah selesai melakukan wawancara peneliti biasanya langsung menyusun hasil wawancara dan sesegera mungkin kembali dan melakukan member check dengan partisipan. Riset partisipan yang diwawancarai berjumlah 6 orang. Sebelum peneliti mulai bertemu dengan pasien dan melakukan wawancara, peneliti biasanya memeriksa terlebih dahulu status pasien dan disesuaikan dengan kriteria partisipan yang ingin diteliti.

Peneliti selesai mewawancarai dan menguji keabsahan data partisipan terakhir pada tanggal 8 oktober, sebelumnya peneliti masih tetap menunggu pasien untuk dijadikan partisipan penelitian tetapi karena sudah tidak ada lagi pasien yang memenuhi seluruh kriteria sebagai partisipan penelitian sehingga peneliti mengakhiri penelitian pada tanggal 17 Oktober 2013.

4.2 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada orang tua dari 6 pasien anak, secara umum identitas partisipan dan identitas keenam anak tersebut dapat ditunjukan dalam tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Identitas Partisipan dan Identitas pasien

P1 P2 P3 P4 P5 P6

Nama Ibu. M Bpk. S Ibu. J Ibu. S Bpk. R Ibu. Sm Hubungan Ibu kandung Ayah Ibu Ibu Ayah kandung Ibu


(3)

34 dengan

pasien

kandung kandung kandung kandung

Nama pasien

An. F An. I An. J An. R An. N An. K

Umur pasien

2,3 Tahun 2 Tahun 5 Tahun 5 Tahun 1 Tahun 6 Bulan 3 Tahun

Jenis Kelamin

pasien

Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki

Lama Perawatan

saat wawancara

3 Hari 2 Hari 3 hari 2 Hari 2 hari 2 Hari

4.2.1 Gambaran umum partisipan dan pasien anak

1. Partisipan 1

Partisipan 1 (P1) merupakan Ibu kandung dari Anak F. Saat peneliti meminta P1 untuk menjadi partisipan penelitian, P1 bersedia dan wawancara dilaksanakan pada tanggal 21 September 2013 pukul 12.00 siang. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan P1, peneliti mengetahui bahwa Anak F adalah anak bungsu dari 2 bersaudara yang saat ini tinggal disalatiga bersama orang tua dan kakak laki-lakinya. Anak F masuk rumah sakit pada tanggal 18 September 2013 dan ini adalah kali pertama Anak F dirawat di rumah sakit.

Saat peneliti masuk ke kamar pasien dan melakukan wawancara dengan P1, Anak F dalam keadaan tidur dengan infus RL yang terpasang di


(4)

35 tangan sebelah kirinya yang di balut dan dipakaikan spalk. Anak tidur dengan posisi menyamping kekiri sambil mengisap jempol kirinya. Ketika wawancara sedang berlangsung, anak terbangun dan menangis. P1 berusaha menenangkan anak dengan mengelus kepala anak dan menawarkan anak untuk meminum susu atau air putih namun Anak F menolak. Saat menangis anak terlihat berusaha melepas infusnya. P1 mengatakan anak sering berusaha untuk melepas infusnya saat menangis.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak F termasuk anak balita yang secara kuantitas terpenuhi kebutuhan tidurnya, tidur siang biasanya 2 jam dan tidur malam biasanya 10-11 jam. Anak F mengigau jika dalam keadaan lelah dan saat merasa tertekan, seperti dimarahi atau dibentak oleh orang tuanya. Anak F tiap tidur malam selalu dipakaikan pempers oleh P1. Anak F memiliki kebiasaan mengisap jempol tangan kirinya setiap mau tidur dan saat tidur. Anak F tidak akan bisa tertidur jika tidak mengisap jempol tangan kirinya tersebut.

2. Partisipan 2

Saat peneliti masuk ke kamar pasien anak I, anak sedang ditemani kedua orang tuanya. Anak terlihat sedang tidur sambil digendong ibunya. Terlihat juga terpasang infus RL ditangan kiri Anak I dengan dibalut dan dipakaikan spalk. Ketika peneliti meminta salah satu diantara kedua orang tua anak untuk menjadi partisipan penelitian, ayah kandung dari Anak I (P2) bersedia dan meminta peneliti untuk melakukan wawancara di luar ruangan


(5)

36 dengan alasan Anak I sedang tidur dan biasanya mudah terbangun. Wawancara dilaksanakan pada tanggal 21 September 2013 pukul 13.00 siang.

Saat peneliti melakukan wawancara dengan P2, P2 menceritakan bahwa Anak I adalah anak tunggal yang saat ini tinggal di salatiga bersama kedua orang tuanya. Anak I masuk rumah sakit pada tanggal 18 september 2013 dan ini untuk pertama kalinya Anak I dirawat di rumah sakit.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak I termasuk anak balita yang secara kuantitas terpenuhi kebutuhan tidurnya, dengan kebiasaan tidur pagi sekitar 1-2 jam, tidur di sore hari 1 jam dan tidur malam sekitar 10-11 jam. Anak I kadang mengigau saat tidur jika dia merasa lelah bermain seharian. Saat tidur Anak I jarang terbangun dimalam hari untuk buang air kecil, karena sebelum tidur biasanya Anak I sudah diantar ke toilet untuk buang air kecil. Anak I memiliki satu bantal kesayangan yang harus dipeluknya saat tidur dan punya kebiasaan tidur sambil menghisap dot.

3. Partisipan 3

Partisipan 3 (P3) merupakan ibu kandung dari Anak J. Saat peneliti meminta P3 untuk menjadi partisipan penelitian, P3 bersedia dan wawancara dilaksanakan pada tanggal 24 September 2013 pukul 10.00 pagi. Menurut cerita P3, Anak J adalah anak bungsu atau anak ke 3 dari 3 bersaudara. Anak J tinggal di Getasan, Semarang bersama kedua orang tuanya dan kakak laki-lakinya, karena kakak perempuannya telah menikah


(6)

37 dan menetap di Kalimantan. Anak J masuk rumah sakit pada tanggal 21 September 2013 dan merupakan kali pertama Anak J dirawat dirumah sakit. Saat peneliti masuk dan mulai melakukan wawancara dengan P3, Anak J sedang terjaga dan menonton TV. Di tangan kirinya terpasang infus RL yang dibalut dan dipakaikan spalk.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak J adalah anak balita yang secara kuantitas tidurnya terpenuhi. Di rumah, Anak J biasanya tidur malam sekitar 11 jam dan jarang sekali Anak J tidur siang. Anak J tidak memiliki kebiasaan khusus tertentu saat tidur.

4. Partisipan 4

Partisipan 4 merupakan ibu kandung dari Anak R. Saat peneliti meminta partisipan (P4) untuk menjadi partisipan penelitian, P4 bersedia dan wawancara dilaksanakan pada tanggal 28 September 2013 pukul 09.00 pagi. P4 menceritakan bahwa Anak R adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Anak R menetap disalatiga bersama orang tua dan adik laki-lakinya yang berumur 3 tahun. Anak R masuk rumah sakit pada tanggal 26 September 2013 dan ini merupakan kali ke 2 Anak R masuk rumah sakit. Sebelumnya Anak R sempat dirawat di RSUD salatiga dengan diagnosa types. Saat peneliti masuk kekamar pasien dan melakukan wawancara, Anak R dalam keadaan tidur. P4 menjelaskan bahwa Anak R merasakan nyeri dibagian perut sehingga tidurnya tidak pernah nyenyak. Ketika wawancara sedang berlangsung Anak R sempat terbangun dan menangis.


(7)

38 P5 kemudian mengelus-ngelus perutnya dan berusaha menenangkannya. Sekitar 10 menit kemudian Anak R sudah mulai tenang dan mencoba tidur lagi. Terlihat infus D5 terpasang di tangan sebelah kiri Anak R dengan dibalut dan dipakaikan spalk.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak R adalah anak balita yang secara kuantitas tidurnya terpenuhi. Di rumah, Anak R biasanya tidak pernah tidur siang. Anak R biasanya tidur hanya pada malam hari sekitar 10 jam. Saat tidur Anak R terkadang mengigau jika kelelahan. Anak R punya kebiasaan saat tidur senang menggertakkan giginya.

5. Partisipan 5

Saat peneliti masuk ke kamar pasien Anak N, terlihat banyak keluarga Anak N yang sedang menjenguknya. Peneliti meminta kesediaan salah satu orang tua Anak N untuk menjadi partisipan penelitian, ayah kandung Anak N (P5) bersedia dan wawancara dilaksanakan pada tanggal 2 oktober 2013 pukul 09.00 pagi. Menurut cerita P5, Anak N merupakan anak tunggal yang tinggal dan menetap bersama kedua orang tuanya di Tengaran, Semarang. Anak N masuk rumah sakit pada tanggal 30 September 2013 dan ini untuk pertama kalinya Anak N dirawat di rumah sakit. Saat wawancara berlangsung, terlihat Anak N sedang disusui ibunya di tempat tidur. Di tangan kanan Anak N terpasang infus RL dengan balutan dan dipakaikan spalk. Anak N sempat diajak ibunya untuk mandi tetapi Anak N menolak dan terus menangis. Sempat terlihat oleh peneliti Anak N


(8)

39 berusaha melepas infusnya sendiri dan dicegah oleh ibunya. P5 mengatakan, Anak N terus menangis ingin pulang karena ketidaknyamanannya dengan suasana rumah sakit dan trauma yang dirasakannya sejak di infus.

Dalam kesehariannya dirumah, Anak N tergolong anak yang secara kuantitas tidurnya terpenuhi. Anak N biasanya tidur pagi sekitar 1 jam, tidur sore sekitar 1 jam dan tidur malam sekitar 10-11 jam. Saat tidur anak N biasanya mengigau jika kelelahan, seperti banyak bermain dan banyak menangis. Anak N juga punya kebiasaan harus menyusu pada ibunya sebelum tidur.

6. Partisipan 6

Partisipan 6 adalah ibu kandung dari Anak K. Partisipan 6 bersama suaminya sering bergantian menemani dan menjaga Anak K dirumah sakit. Saat peneliti meminta partisipan (P6) untuk menjadi partisipan penelitian, P6 bersedia dan wawancara dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2013 pukul 13.00 siang. P6 menceritakan bahwa Anak K adalah anak tunggal yang kini tinggal dan menetap bersama kedua orang tuanya di salatiga. Anak K masuk rumah sakit pada tanggal 5 Oktober 2013 dan ini adalah pertama kalinya Anak K dirawat di rumah sakit. Saat wawancara berlangsung, peneliti melihat Anak K sedang tidur dengan tangan kiri yang terpasang infus RL dengan balutan dan dipakaikan spalk. Dalam kesehariannya di rumah, Anak K termasuk anak yang secara kuantitas


(9)

40 tidurnya terpenuhi. Anak K biasanya tidur siang 2 jam dan tidur malam biasanya 10-11 jam. Anak K sudah dibiasakan P6 sebelum tidur buang air kecil terlebih dahulu sehingga sangat jarang Anak K terbangun dimalam hari untuk buang air kecil. Anak K punya kebiasaan senang tidur menyamping ke kanan ketika tidur.

Dalam menyusun hasil penelitian, peneliti menggunakan metode menurut Miles & Huberman (1984) untuk menganalisis data wawancara lapangan yang jumlahnya cukup banyak. Langkah pertama yang dilakukan adalah mereduksi data. Dalam mereduksi data peneliti memilah-milah data kedalam beberapa kategori yang nantinya akan diambil temanya. Kategori dan tema ditentukan dari verbatim hasil wawancara dengan partisipan yang terbagi dalam 2 bagian yaitu verbatim yang menunjukkan pola tidur anak sebelum masuk rumah sakit (verbatim tidak dipertebal) dan verbatim yang menunjukkan pola tidur anak setelah masuk rumah sakit (verbatim dipertebal) yang nantinya hanya dipakai sebagai perbandingan dan acuan peneliti untuk mengetahui gambaran tidur anak setelah masuk rumah sakit dan terpasang infus. Proses pengelompokkan tema dapat terlihat dalam lampiran 2.

Dari hasil reduksi data yang dilakukan peneliti maka dapat terlihat 4 tema besar yang menjadi hal pokok dari hasil penelitian ini, yaitu : (1) Durasi tidur, (2) Kedalaman tidur, (3) Frekuensi terbangun, (4) Masalah yang nampak saat tidur.


(10)

41 1. Durasi tidur

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapati adanya durasi tidur yang berbeda dari masing-masing anak sebelum masuk rumah sakit dan setelah masuk rumah sakit. Untuk lebih mempermudah dalam melihat perbedaannya, peneliti mencoba menggambarkan durasi tidur anak secara jelas berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan lewat tabel berikut ini.

Anak dari Partisipan

Durasi tidur

Sebelum sakit Setelah sakit Anak P1 - Tidur siang sekitar 2 jam

- Tidur malam sekitar 10-11 jam (P1 6)

- Tidur siang sekitar 1-2 jam - Tidur malam

sekitar 8 jam (P1 11-24)

Anak P2 - Tidur pagi sekitar 1-2 jam - Tidur sore sekitar 1 jam - Tidur malam sekitar 10-11

jam (P2 6)

- Tidur malam 10-11 jam (P2 36-38)

Anak P3 - Tidur malam sekitar 11 jam (P3 6)

- Tidur malam 11-12 jam (P3 36) Anak P4 - Tidur malam sekitar 10 jam

(P4 8)

- Tidur malam 11-12 jam (P4 22,26) Anak P5 - Tidur pagi sekitar 1 jam

- Tidur siang atau sore sekitar 1 jam

- Tidur malam sekitar 10- 11 jam (P5 6-8)

- Tidur malam 7 jam (P5 34-36)


(11)

42 - Tidur malam sekitar 10- 11

jam (P6 8,10)

sekitar 30 menit - Tidur malam

sekitar 9 jam (P6 34,40)

Berdasarkan tabel diatas yang dibuat berdasarkan keterangan dari partisipan, dapat dilihat dengan jelas terjadi perubahan durasi tidur anak sebelum dan setelah masuk rumah sakit. Anak dari P1, P2, P5 dan P6 mengalami durasi tidur yang kurang setelah masuk rumah sakit. Sedangkan anak dari P3 dan P4 mengalami durasi tidur malam yang lebih lama dari durasi tidur saat dirumah. Saat siang hari anak dari P3 dan P4 yang biasanya dirumah tidak pernah tidur siang setelah masuk rumah sakit malah sering tidur siang. Durasi tidur siang mereka tidak dicantumkan pada tabel diatas karena P3 dan P4 mengatakan durasi tidur siang anak tidak menentu.

2. Kedalaman tidur

Kedalaman tidur anak menurut masing-masing partisipan tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya kedalam tidur anak ini dapat terlihat dari tingkah laku anak mereka saat tidur. Partisipan mengeluh anak terlihat tidak tenang dan gelisah saat tidur. Keluhan partisipan diutarakan dalam kutipan kalimat dibawah ini :


(12)

43 “Ia mbak, dia ga nyaman gitu mbak. Mungkin mau bolak-balik tidurnya tu kayaknya terbatas ya, disesuaikan sama ininya (infusnya) kan mbak. Takut lepas mungkin atau gimana gitu kan..” (P3)

“Dia ga ngigau cuman gelisah, mungkin agak susah seperti yang tadi saya ceritakan tadi, kebiasaan banyak gerak kalo tidur ini malah terbatas kan.” (P6)

Selain kelihatan gelisah, partisipan juga mengatakan bahwa anak mereka selalu menangis setiap kali terbangun.

“Ia dia ga nyaman, dia ga mau. Tiap kali dia bangun dia nangis. Yang saya tau itu… Mungkin karna dia ngerasa ga nyaman suasananya ditambah traumanya dia jadi ya gitu..” (P2)

“Ya kalo ngompol kejaga dia.. ga ngompol juga tiba-tiba udah bangun gitu, nangis kan.. di tidurin sama ibunya lagi.. Ya bisa 3 sampai 4 kali lah.” (P5)

P1 dan P6 mengeluhkan bahwa anak mereka tidak nyenyak saat tidur dikarenakan spalk yang dipakaikan pada infus anak. P1 dan P6 menceritakan anak mereka memiliki kebiasaan khusus saat tidur yaitu kebiasaan mengisap jempol (P1) dan kebiasaan tidur miring ke kanan (P6) yang mana saat terpasang infus dan spalk menyebabkan ketidaknyamanan pada anak sehingga anak menjadi sulit tidur dan gelisah saat tidur. Anak tidak bisa mendapatkan posisi yang nyaman baginya untuk bisa tidur dengan nyenyak. Dapat dilihat lebih jelas lewat pernyataan-pernyataan partisipan berikut :

“Apalagi diakan ngemut jempol kiri ini kalo tidur jadinya agak susah. Ini kemarin jari-jarinya ditutupin semua ni, ini baru di buka jempolnya yang lain masih ketutup jempolnya aja yg ndak kan biar dia bisa ngemut. Kalo ndak ngemut kan ndak bisa tidur…Terus di buka yang jempolnya jadi udah mulai bisa tidur tapi gerak-gerakinnya tu kan


(13)

44 masih terbatas jadi ga nyenyak ih. Istilahnya kalo tidur suka gelisah..” (P1)

“Maunya dia tidur pake pola tidurnya dia, kebiasaan tidur miring ke kanan tapi kan ini infusnya sebelah kiri jadi mungkin agak ga nyaman buat dia kan, sempat minta dilepas.. Dia ga ngigau cuman gelisah, mungkin agak susah seperti yang tadi saya ceritakan tadi, kebiasaan banyak gerak kalo tidur ini malah terbatas kan.” (P6)

3. Frekuensi terbangun

Pemenuhan kebutuhan tidur anak dalam penelitian ini juga dinilai dari frekuensi terbangun anak saat tidur, terlebih tidur malamnya. Berdasarkan pernyataan partisipan, anak biasanya terbangun untuk buang air, terbangun karena terganggu dengan kebisingan dan terbangun karena mengompol. Berikut pernyataan masing-masing partisipan terkait frekuensi terbangun anak :

“Yah kalo kejaga ni bisa 3-4 kali la mbak.. kan buang air terus juga kan dia.” (P1)

“Mungkin karna dia ngerasa ga nyaman suasananya ditambah traumanya dia jadi ya gitu.. tapi kalo di kasih susu sama mamanya digendong-gendong ya dia tidur lagi. Tapi dia tu harus sampai benar-benar tertidur baru ditaruh di tempat tidur kalo ga dia pasti kebangun minta digendong lagi gitu.. gampang bangun dia dek.. semenjak disini ni bangunnya bisa 3-4 kali dek.” (P2)

“Semalam sempat 2 kali dia bangun, tapi ga pipis, bangun aja gitu tapi setelah itu tidur lagi.” (P3)

“Semalam ya kayak gitu juga, tidur semalam sekitar jam 9 tapi kebangun lagi trus tidur lagi begitu terus bisa 2-3 kali lah waktu pertamanya tuh.. sampai sekarang juga begitu.” (P4)


(14)

45 “Ya kalo ngompol kejaga dia.. ga ngompol juga tiba-tiba udah bangun gitu, nangis kan.. di tidurin sama ibunya lagi.. Ya bisa 3 sampai 4 kali lah.” (P5)

“Ga.. ini kan udah dibiasain bilang pipis, kebelakang.. semalam juga ga bangun buat pipis, cuman tiba-tiba kebangun nangis terus tidur lagi.. tapi agak lama si mbak baru bisa tidur. Dia mau tidur sulit ih..” (P6)

4. Masalah yang nampak saat tidur

Dalam penelitian ini didapati beberapa masalah yang nampak saat tidur, diantaranya adalah mengigau, mengompol dan kebiasaan menggertakkan gigi saat tidur (Bruksisme) yang dapat dilihat lebih jelas dalam pernyataan-pernyataan partisipan berikut ini :

“Disini malah sering dia. Masih takut kan.. Ya kalo ngigau tuh ndak lama yah, kira-kira 3-5 menitan lah istilahnya berhenti terus ngigau lagi terus ngigau lagi seperti itu.” (P1)

“Yah kayak kemarin setelah dipasang infus gitu kan nangis terus dianya jadi tidur malamnya mungkin kebawa ya traumanya ya sampai ngigau dia.” (P2)

“Ia dari kemarin ngelindur terus kalo tidur malam.. mungkin masih takut kali ya mbak ya sampe kebawa mimpi kali ya.” (P3)

“Kan suasananya kayak gini, terus traumanya tadi itu pas sakit dipasang infus itu kan.. lebih sering ngelindur dia.. Ya kalo ngompol kemarin pas masuk itu malamnya 1 kali terus kemarinnya juga sekali juga ngompolnya, gitu.. kalo ngelindur ya sejak masuk tidurnya juga ngelindur tiap tidur malam.” (P5)

P4 mengatakan bahwa anaknya selalu menggertakkan giginya saat tidur. Hal ini juga sudah menjadi kebiasaan anak di rumah saat tidur.


(15)

46 “Dia kan punya kebiasaan apa itu bahasa indonesianya apa? Yang giginya suka bunyi gitu.. giginya kerek-kerek gitu tu lo.. ya paling itu aja sih.” (P4, Sebelum anak sakit)

“Ga, dia ga ngigau o. cuman ya itu tadi, kebiasaan giginya dibunyikan itu sama sempat kebangun.” (P4, Setelah anak sakit)

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian pada 6 partisipan, terdapat empat tema yang terangkum untuk acuan penulis. Empat tema tersebut adalah durasi tidur, kedalaman tidur, frekuensi terbangun dan masalah yang nampak saat tidur. Perubahan yang terjadi pada pemenuhan tidur anak sebelum dan setelah masuk rumah sakit yang terangkum dalam 4 tema tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor. Namun didalam pembahasan ini peneliti akan lebih memfokuskan kepada rasa ketidaknyamanan karena tindakan invasif yang dilakukan dirumah sakit dalam hal ini pemasangan infus.

4.3.1 Durasi tidur

Jurnal essay Solyom & Baghiu (2013) melaporkan bahwa penilaian gangguan tidur dapat dilakukan dengan berbagai metode. Hasilnya tergantung pada definisi gangguan tidur, orang yang diteliti (anak atau orang tua) dan usia. Selain itu, Jumlah jam tidur adalah indikator yang lebih dapat diandalkan untuk mendeteksi keluhan gangguan tidur. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh, durasi tidur merupakan salah satu indikator yang muncul dalam menilai terpenuhi atau tidaknya kebutuhan


(16)

47 tidur anak. Pernyataan Suririnah (2010) tentang anak batita (usia 1-3 tahun) memerlukan durasi tidur rata-rata selama 11-12 jam, dengan waktu tidur siang 1-2 jam, namun pada usia 3 tahun kebutuhan tidur anak mulai berkurang secara bertahap, mereka jarang tidur siang serupa dengan durasi tidur anak sebelum masuk rumah sakit dalam penelitian ini. Durasi itu berubah setelah anak dirawat dirumah sakit. Perubahan pemenuhan durasi tidur anak disebabkan oleh ketidaknyamanan yang dirasakan anak dengan kondisi rumah sakit, tindakan keperawatan yang menyakitkan bagi anak seperti infus yang menyebabkan trauma dan juga keterbatasan anak dalam bermobilisasi karena dipakaikan spalk. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Warda (2008) bahwa tindakan pemasangan infus membuat anak merasa kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan merupakan stresor bagi gangguan pemenuhan istirahat tidur.

4.3.2 Kedalaman Tidur

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang dirawat di rumah sakit rata-rata kedalaman tidurnya tidak terpenuhi semenjak masuk rumah sakit. Anak balita yang menjadi objek dalam penelitian rata-rata mengalami tidur yang tidak nyenyak. Dapat terlihat bahwa tindakan pemasangan infus dan spalk yang dilakukan secara tidak langsung mengganggu pemenuhan kebutuhan tidur anak. Pernyataan ini didukung oleh Carpenito (2001) yang berpendapat bahwa gangguan tidur pada anak dapat terjadi karena faktor tindakan yang berhubungan, yang menimbulkan kesulitan menjalani posisi


(17)

48 tidur yang biasa seperti pemasangan infus, bidai, traksi dan tindakan yang menimbulkan nyeri. Hasil ini juga sesuai penelitian yang dilakukan Lee et al (2008) yang melaporkan bahwa rasa tidak nyaman merupakan salah satu faktor terjadinya gangguan tidur dimana seseorang akan merasa gelisah dan sulit untuk mendapatkan tidur yang nyenyak.

4.3.3 Frekuensi terbangun

Dalam hasil penelitian, frekuensi terbangun anak setelah masuk rumah sakit dan terpasang infus rata-rata sama, yaitu sekitar 2-4 kali dalam semalam. Hal ini juga disebabkan karena rasa takut, trauma dan mobilisasi anak yang terbatas dengan adanya infus dan spalk yang terpasang yang menyebabkan rasa ketidaknyamanan pada anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Potter & Perrry (2005) rasa tidak nyaman merupakan penyebab utama kesulitan untuk tidur atau sering terbangun pada malam hari. Jurnal essay Solyom & Baghiu (2013) juga menyatakan bahwa gangguan tidur dapat terjadi akibat kondisi medis diantaranya gangguan psikiatris seperti rasa cemas dan perasaan tidak nyaman.

4.3.4 Masalah yang nampak saat tidur

Artikel jurnal Mindell (1993) melaporkan bahwa parasomnia yang terjadi pada anak-anak meliputi somnambulisme (berjalan dalam tidur), mimpi buruk, enuresis (mengompol), mengigau dan menggertakkan gigi (bruksisme). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masalah tidur yang nampak adalah parasomnia berupa mengigau,


(18)

49 mengompol dan menggertakkan gigi. Berbagai kondisi ini menimbulkan kualitas tidur anak terganggu. Penelitian yang dilakukan Ertan et all (2008) pada anak-anak berumur 6-15 tahun di Turkey melaporkan bahwa anak dengan eneuresis memiliki latensi tidur yang lebih lama dan mengalami tidur yang tidak tercukupi. Kondisi ini terjadi karena rasa ketakutan, cemas bahkan trauma pada anak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Carpenito (2001) yang mengatakan bahwa gangguan tidur pada anak seringkali berhubungan dengan ketakutan dan eneuresis.

Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat diketahui bahwa tindakan pemasangan infus menyebabkan ketidaknyamanan pada anak yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan tidur anak tidak terpenuhi. Hal ini sejalan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang juga melaporkan hal yang serupa. Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur anak tidak dapat dinilai hanya dari satu aspek saja melainkan dari semua aspek diantaranya durasi tidur, kedalaman tidur, frekuensi terbangun dan masalah yang nampak saat tidur karena semuanya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Peran orang tua sangatlah penting dalam memberikan perhatian lebih pada waktu tidur anak dan menciptakan suasana yang nyaman bagi anak untuk meminimalis perasaan takut, cemas dan trauma serta perlunya memperhatikan posisi yang ideal dan nyaman bagi anak yang terpasang infus terutama pada saat anak sedang tidur supaya dapat dicegah seminimal mungkin kusulitan posisi tidur anak akibat terapi tersebut.


(19)

50 Perawat juga diharapkan untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan khususnya pemenuhan kebutuhan tidur terkait dengan pemasangan infus yang dilakukan pada anak sehingga program terapi dapat tetap berjalan tanpa mengganggu kebutuhan dasar anak.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan. Waktu yang digunakan peneliti saat melakukan penelitian relatif singkat sehingga jumlah partisipan yang diperoleh juga terbatas yaitu 6 partisipan. Hal ini menyebabkan hasil penelitian ini sulit untuk di generalisasikan. Selain itu, manfaat penelitian ini hanya peneliti diskusikan dengan orang tua dari pasien anak yang merupakan partisipan dari penelitian ini dan tidak mencakup pada orang tua pasien anak lainnya yang dirawat di RSP dr Ario Wirawan Salatiga. Kasus yang dipilih peneliti adalah pemenuhan kebutuhan tidur anak dengan terpasang infus. Perlu di teliti lebih dalam lagi faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan tidur anak dan efeknya pada pertumbuhan dan perkembangan anak.


(1)

45 “Ya kalo ngompol kejaga dia.. ga ngompol juga tiba-tiba udah bangun gitu, nangis kan.. di tidurin sama ibunya lagi.. Ya bisa 3 sampai 4 kali lah.” (P5)

“Ga.. ini kan udah dibiasain bilang pipis, kebelakang.. semalam juga ga bangun buat pipis, cuman tiba-tiba kebangun nangis terus tidur lagi.. tapi agak lama si mbak baru bisa tidur. Dia mau tidur sulit ih..” (P6)

4. Masalah yang nampak saat tidur

Dalam penelitian ini didapati beberapa masalah yang nampak saat tidur, diantaranya adalah mengigau, mengompol dan kebiasaan menggertakkan gigi saat tidur (Bruksisme) yang dapat dilihat lebih jelas dalam pernyataan-pernyataan partisipan berikut ini :

“Disini malah sering dia. Masih takut kan.. Ya kalo ngigau tuh ndak lama yah, kira-kira 3-5 menitan lah istilahnya berhenti terus ngigau lagi terus ngigau lagi seperti itu.” (P1)

“Yah kayak kemarin setelah dipasang infus gitu kan nangis terus dianya jadi tidur malamnya mungkin kebawa ya traumanya ya sampai ngigau dia.” (P2)

“Ia dari kemarin ngelindur terus kalo tidur malam.. mungkin masih takut kali ya mbak ya sampe kebawa mimpi kali ya.” (P3)

“Kan suasananya kayak gini, terus traumanya tadi itu pas sakit dipasang infus itu kan.. lebih sering ngelindur dia.. Ya kalo ngompol kemarin pas masuk itu malamnya 1 kali terus kemarinnya juga sekali juga ngompolnya, gitu.. kalo ngelindur ya sejak masuk tidurnya juga ngelindur tiap tidur malam.” (P5)

P4 mengatakan bahwa anaknya selalu menggertakkan giginya saat tidur. Hal ini juga sudah menjadi kebiasaan anak di rumah saat tidur.


(2)

46 “Dia kan punya kebiasaan apa itu bahasa indonesianya apa? Yang giginya suka bunyi gitu.. giginya kerek-kerek gitu tu lo.. ya paling itu aja sih.” (P4, Sebelum anak sakit)

“Ga, dia ga ngigau o. cuman ya itu tadi, kebiasaan giginya dibunyikan itu sama sempat kebangun.” (P4, Setelah anak sakit)

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian pada 6 partisipan, terdapat empat tema yang terangkum untuk acuan penulis. Empat tema tersebut adalah durasi tidur, kedalaman tidur, frekuensi terbangun dan masalah yang nampak saat tidur. Perubahan yang terjadi pada pemenuhan tidur anak sebelum dan setelah masuk rumah sakit yang terangkum dalam 4 tema tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor. Namun didalam pembahasan ini peneliti akan lebih memfokuskan kepada rasa ketidaknyamanan karena tindakan invasif yang dilakukan dirumah sakit dalam hal ini pemasangan infus.

4.3.1 Durasi tidur

Jurnal essay Solyom & Baghiu (2013) melaporkan bahwa penilaian gangguan tidur dapat dilakukan dengan berbagai metode. Hasilnya tergantung pada definisi gangguan tidur, orang yang diteliti (anak atau orang tua) dan usia. Selain itu, Jumlah jam tidur adalah indikator yang lebih dapat diandalkan untuk mendeteksi keluhan gangguan tidur. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh, durasi tidur merupakan salah satu indikator yang muncul dalam menilai terpenuhi atau tidaknya kebutuhan


(3)

47 tidur anak. Pernyataan Suririnah (2010) tentang anak batita (usia 1-3 tahun) memerlukan durasi tidur rata-rata selama 11-12 jam, dengan waktu tidur siang 1-2 jam, namun pada usia 3 tahun kebutuhan tidur anak mulai berkurang secara bertahap, mereka jarang tidur siang serupa dengan durasi tidur anak sebelum masuk rumah sakit dalam penelitian ini. Durasi itu berubah setelah anak dirawat dirumah sakit. Perubahan pemenuhan durasi tidur anak disebabkan oleh ketidaknyamanan yang dirasakan anak dengan kondisi rumah sakit, tindakan keperawatan yang menyakitkan bagi anak seperti infus yang menyebabkan trauma dan juga keterbatasan anak dalam bermobilisasi karena dipakaikan spalk. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Warda (2008) bahwa tindakan pemasangan infus membuat anak merasa kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan merupakan stresor bagi gangguan pemenuhan istirahat tidur.

4.3.2 Kedalaman Tidur

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang dirawat di rumah sakit rata-rata kedalaman tidurnya tidak terpenuhi semenjak masuk rumah sakit. Anak balita yang menjadi objek dalam penelitian rata-rata mengalami tidur yang tidak nyenyak. Dapat terlihat bahwa tindakan pemasangan infus dan spalk yang dilakukan secara tidak langsung mengganggu pemenuhan kebutuhan tidur anak. Pernyataan ini didukung oleh Carpenito (2001) yang berpendapat bahwa gangguan tidur pada anak dapat terjadi karena faktor tindakan yang berhubungan, yang menimbulkan kesulitan menjalani posisi


(4)

48 tidur yang biasa seperti pemasangan infus, bidai, traksi dan tindakan yang menimbulkan nyeri. Hasil ini juga sesuai penelitian yang dilakukan Lee et al (2008) yang melaporkan bahwa rasa tidak nyaman merupakan salah satu faktor terjadinya gangguan tidur dimana seseorang akan merasa gelisah dan sulit untuk mendapatkan tidur yang nyenyak.

4.3.3 Frekuensi terbangun

Dalam hasil penelitian, frekuensi terbangun anak setelah masuk rumah sakit dan terpasang infus rata-rata sama, yaitu sekitar 2-4 kali dalam semalam. Hal ini juga disebabkan karena rasa takut, trauma dan mobilisasi anak yang terbatas dengan adanya infus dan spalk yang terpasang yang menyebabkan rasa ketidaknyamanan pada anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Potter & Perrry (2005) rasa tidak nyaman merupakan penyebab utama kesulitan untuk tidur atau sering terbangun pada malam hari. Jurnal essay Solyom & Baghiu (2013) juga menyatakan bahwa gangguan tidur dapat terjadi akibat kondisi medis diantaranya gangguan psikiatris seperti rasa cemas dan perasaan tidak nyaman.

4.3.4 Masalah yang nampak saat tidur

Artikel jurnal Mindell (1993) melaporkan bahwa parasomnia yang terjadi pada anak-anak meliputi somnambulisme (berjalan dalam tidur), mimpi buruk, enuresis (mengompol), mengigau dan menggertakkan gigi (bruksisme). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masalah tidur yang nampak adalah parasomnia berupa mengigau,


(5)

49 mengompol dan menggertakkan gigi. Berbagai kondisi ini menimbulkan kualitas tidur anak terganggu. Penelitian yang dilakukan Ertan et all (2008) pada anak-anak berumur 6-15 tahun di Turkey melaporkan bahwa anak dengan eneuresis memiliki latensi tidur yang lebih lama dan mengalami tidur yang tidak tercukupi. Kondisi ini terjadi karena rasa ketakutan, cemas bahkan trauma pada anak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Carpenito (2001) yang mengatakan bahwa gangguan tidur pada anak seringkali berhubungan dengan ketakutan dan eneuresis.

Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat diketahui bahwa tindakan pemasangan infus menyebabkan ketidaknyamanan pada anak yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan tidur anak tidak terpenuhi. Hal ini sejalan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang juga melaporkan hal yang serupa. Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur anak tidak dapat dinilai hanya dari satu aspek saja melainkan dari semua aspek diantaranya durasi tidur, kedalaman tidur, frekuensi terbangun dan masalah yang nampak saat tidur karena semuanya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Peran orang tua sangatlah penting dalam memberikan perhatian lebih pada waktu tidur anak dan menciptakan suasana yang nyaman bagi anak untuk meminimalis perasaan takut, cemas dan trauma serta perlunya memperhatikan posisi yang ideal dan nyaman bagi anak yang terpasang infus terutama pada saat anak sedang tidur supaya dapat dicegah seminimal mungkin kusulitan posisi tidur anak akibat terapi tersebut.


(6)

50 Perawat juga diharapkan untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan khususnya pemenuhan kebutuhan tidur terkait dengan pemasangan infus yang dilakukan pada anak sehingga program terapi dapat tetap berjalan tanpa mengganggu kebutuhan dasar anak.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan. Waktu yang digunakan peneliti saat melakukan penelitian relatif singkat sehingga jumlah partisipan yang diperoleh juga terbatas yaitu 6 partisipan. Hal ini menyebabkan hasil penelitian ini sulit untuk di generalisasikan. Selain itu, manfaat penelitian ini hanya peneliti diskusikan dengan orang tua dari pasien anak yang merupakan partisipan dari penelitian ini dan tidak mencakup pada orang tua pasien anak lainnya yang dirawat di RSP dr Ario Wirawan Salatiga. Kasus yang dipilih peneliti adalah pemenuhan kebutuhan tidur anak dengan terpasang infus. Perlu di teliti lebih dalam lagi faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan tidur anak dan efeknya pada pertumbuhan dan perkembangan anak.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Koping pada Penderita Tuberkulosis dalam Menghadapi Penyakitnya di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga T1 462012026 BAB IV

0 1 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akumulasi Stafilokokus pada Linen Tempat Tidur Pasien di Ruang High Care Unit (HCU) Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga T1 462010094 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 462007036 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 462007036 BAB II

0 3 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 462007036 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Tidur pada Anak Usia Balita yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon Kedukaan Pasien Saat Terdiagnosa HIV Positif di Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan Salatiga T1 462009004 BAB IV

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Pelaksanaan Metode Keperawatan Tim Di Ruang Dahlia Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga T1 462009032 BAB IV

0 0 21

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab MDR (Multi Drugs Resistance) pada Pasien TB di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 BAB IV

0 0 37