Hubungan antara peer relationship dengan interpersonal competence pada siswa MA boarding school Amanatul Ummah Surabaya.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Sofia Aulina B07213038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

relationship dengan interpersonal competence pada mahasiswa. Peer relationship merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang hingga memiliki interpersonal competence. Penelitian ini memiliki variabel bebas dan variabel terikat yaitu peer relationship dan interpersonal competence. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala peer relationship dan skala interpersonal competence. Penelitian ini merupakan penelitian sampel. Subjek penelitian berjumlah enam puluh satu siswa MA Boarding School Amanatul Ummah Surabaya. Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis product moment dengan taraf signifikansi 0.05. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi p = 0.000 < 0.05 dan r = 0.701 > 0.254 artinya Ha diterima. Hal ini berarti terdapat hubungan antara peer relationship dengan interpersonal competence pada siswa. Berdasarkan hasil tersebut juga dapat dipahami bahwa hubungannya bersifat positif sehingga menunjukkan adanya hubungan yang positif, artinya semakin tinggi peer relationship maka semakin tingi pula interpersonal competence pada siswa. Siswa MA boarding school dengan peer relationship yang tinggi maka mereka mampu membina hubungan interpersonal sehingga berdampak pada kemampuan membuka diri (self disclousure), kemampuan untuk memberikan bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain, empati serta kemampuan mengelola dan mengatasi konflik dengan orang lain.


(7)

peer relationship and interpersonal competence in students. Peer relationship is a factor that affects a person to experience interpersonal competence. This research has independent variable and dependent variable that is peer relationship and interpersonal competence. This research is a quantitative correlation research using data collection techniques in the form of peer relationship scale and interpersonal competence scale compiled by the researchers itself. This research is a sample research. Subjects were sixty one students of MA Boarding School Amanatul Ummah Surabaya. Technical analysis of data used is the analysis of product moment with significance level of 0.05. The results showed correlation value p = 0.000 <0.05 and r = 0.701> 0.254 means Ha accepted. This means there is a relationship between peer relationships with interpersonal competence in students. Based on these results can also be understood that the relationship is positive to indicate a unidirectional relationship, meaning that the higher the peer relationship the higher the interpersonal competence of the students. MA boarding school students with high peer relationship then they are able to foster interpersonal relationships that impact on the ability to open up, the ability to provide assertiveness, the ability to provide emotional support to others, empathy and the ability to manage and resolve conflicts with others.


(8)

DAFTAR ISI Halaman Sampul

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Gambar ... viii

Daftar Lampiran ... ix

Intisari ... x

Abstract ... xi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang... 1

B.Rumusan Masalah ... 10

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 10

E.Keaslian Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Interpersonal Competence 1. Pengertian Interpersonal Competence ... 15

2. Aspek-Aspek Interpersonal Competence ... 16

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Interpersonal Competence ... 19

4. Manfaat Interpersonal Competence ... 25

B.Peer Relationship 1. Pengertian Peer Relationship... 25

2. Aspek-Aspek Peer Relationship ... 27

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peer Relationship ... 28

4. Fungsi Peer Relationship... 30

5. Bentuk-Bentuk Hubungan Peer Relationship... 32

C.Kajian Boarding School 1. Pengertian Boarding School ... 32

2. Tujuan Boarding School ... 33

3. Peran Boarding School ... 34

D.Hubungan Antara Peer Relationship dengan Interpersonal Competence ... 35

E.Kerangka Teoritis ... 37

F. Hipotesis ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 41


(9)

2. Definisi Operasional ... 42

B.Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 43

1. Populasi ... 43

2. Sampel ... 44

3. Teknik Sampling ... 44

C.Teknik Pengumpulan Data ... 45

D.Validitas dan Reliabilitas Data ... 53

1. Uji Validitas ... 53

2. Uji Reliabilitas ... 60

E. Analisis Data ... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ... 64

1. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

2. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Usia ... 64

3. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Kelas ... 65

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data 1. Deskripsi Data ... 66

2. Reliabilitas Data ... 69

3. Uji Prasyarat ... 70

C. Hasil Penelitian ... 72

D. Pembahasan ... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 78

Daftar Pustaka ... 80


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk yang sempurna. Dipercayai bahwa salah satu kunci keberhasilan hidup manusia adalah kemampuan dalam menjalin hubungan antar pribadi dengan orang lain yakni komunikasi. Komunikasi dapat berjalan dengan baik karena adanya interaksi sosial antar pribadi dengan orang lain.

Dalam tulisannya, Golson (2006) menyatakan bahwa bukan persoalan seseorang memiliki kecerdasan, juga bukan karena yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk mengelaborasi persoalan yang dihadapi. Namun, jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi kepada orang lain, maka kemampuan-kemampuan tersebut menjadi tidak berguna, interpersonal competence merupakan kunci bagi individu untuk mengkomunikasikan ide-ide cemerlangnya kepada orang lain. Lebih lanjut diungkap Golson (2006) bahwa orang yang memiliki kemampuan sosial dan dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam waktu yang lama cenderung lebih berhasil dibanding dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan tersebut dan salah satu faktor yang banyak menentukan keberhasilan dalam menjalin komunikasi dengan orang lain adalah interpersonal competence.

Menurut Spitzberg dan Cupach (dalam DeVito, 1996) menyatakan bahwa interpersonal competence adalah kemampuan individu untuk


(11)

melakukan komunikasi yang efektif, yang ditandai karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Pendapat lain, Handfield (2006) mengartikan interpersonal competence sebagai kemampuan seseorang untuk bekerja dengan orang lain. Dua pendapat tersebut cukup beralasan sebab interpersonal competence merupakan kemampuan individu dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya.

Buhrmester dkk (1988) dalam sebuah jurnal yang berjudul “Five Domains of interpersonal Competence in Peer Relationship” menjelaskan

bahwa kemampuan mengelola hubungan antar pribadi dibutuhkan

interpersonal competence yang meliputi kemampuan berinisiatif membina hubungan interpersonal, kemampuan untuk membuka diri (self disclosure), kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional (emotional support), dan kemampuan untuk mengelola dan mengatasi konflik-konflik yang timbul dari suatu hubungan interpersonal. Dengan demikian maka interpersonal competence sangat penting untuk menciptakan hubungan yang baik dengan sesama manusia, khususnya untuk kalangan remaja.

Kalangan remaja saat ini dalam kondisi memprihatinkan dimana, kalangan remaja mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal tampak dari kebiasaan remaja saat ini yang lebih sering menghabiskan waktunya melakukan komunikasi melalui pesan teks daripada melakukan percakapan melalui tatap muka. Hal ini di dukung oleh survei


(12)

yang dilakukan oleh Pew Research Center, menyatakan bahwa 800 remaja usia 12-17 tahun yang di survei, hanya 33% mengaku berkomunikasi dengan teman-teman mereka secara tatap muka setiap hari. Sedangkan 54% remaja lebih sering melakukan percakapan lewat teks.

Hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 14-24 desember 2015 sebanyak 77,5 persen mengaku paling sering mengakses facebook, 7,8 persen mengaku paling sering mengakses Instagram, 6 persen mengaku paling sering mengakses Twitter, 4,7 persen mengaku paling sering mengakses platfrom lainnya. Angka tersebut dapat disimpulkan bahwa pengguna media sosial saat ini di Indonesia didominasi oleh remaja dalam pengunaan media sosial dalam kehidupan sehari-harinya.

Dari beberapa hasil survei dan penjelasannya telah memperlihatkan teknologi komunikasi telah mengisolasi manusia dalam kesendirian dan mengakibatkan rendahnya interpersonal competence yang dimiliki remaja sehingga mengakibatkan kesulitan remaja dalam membangun hubungan interpesonal.

Banyak faktor yang dinilai memiliki peranan penting terhadap

interpersonal competence, salah satunya adalah faktor lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu jasa pendidikan serta proses pelayanan untuk mentransfer ilmu pengetahuan, sikap dan mengembangkan kompetensi siswa khususnya dalam hal interpersonal competence. Kemajuan bangsa di masa sekarang dan di masa yang akan mendatang sangat dipengaruhi oleh sektor pendidikan, dengan bantuan lembaga pendidikan setiap individu akan


(13)

dapat berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Oleh karena itu, diharapkan melalui lembaga pendidikan siswa dapat mengembangkan bakat dan interpersonal competence secara maksimal.

Pada kenyataannya, siswa di lingkup sekolah tidak selalu mampu dalam hal membangun hubungan interpersonal yang disebabkan oleh rendahnya

interpersonal competence. Terdapat berbagai masalah yang dialami siswa terutama siswa yang menempuh pendidikan di pondok pesantren atau

boarding school. Problem interpersonal competence yang terjadi pada diri siswa boarding school diantaranya: kesulitan menjalin hubungan dengan sesama, kurang mampu mengendalikan emosi, sering terlibat konflik antar teman. Kesadaran kognitif akan pentingnya interpersonal competence dalam diri siswa ternyata tidak selamanya dapat tumbuh dan berkembang secara baik.

Dari hasil primary research yang peneliti lakukan dengan wawancara pada salah satu pengurus asrama MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya, maka didapatkan hasil wawancara sebagai berikut:

“Di MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya ini memiliki peraturan yang sangat ketat sekali dan harus dipatuhi oleh seluruh siswa yakni tidak diperbolehknnya siswa membawa alat elektronik seperti halnya telephone genggam, bila ada siswa yang kedapatan membawa alat elektronik tersebut kami kumpulkan terlebih dahulu setelah berbulan-bulan kami sita lalu kami hancurkan atau tidak akan dikembalikan lagi. Siswa tidak diperbolehkan keluar dari wilayah pondok pesantren tanpa adanya izin. siswa juga tidak diperbolehkan membeli makanan diluar wilayah pondok pesantren. Kerap ditemukannya siswa yang mengalami konflik dengan teman satu kelas ataupun teman sekamarnya. Terkadang ada pula siswa yang kurang begitu mampu untu membangun sebuah hubungan antar pribadi dengan teman, guru ataupun pengurus asrama.” (Wcr, 05/05/2017)


(14)

MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya merupakan pondok pesantren yang berbasis modern. MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah menyadari bahwa upaya mendidik dan mencerdaskan tidak cukup hanya mengandalkan pendidikan di pondok pesantren. Selain menguasai ilmu agama islam, generasi muslim wajib menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini sesuai dengan misi lembaga Amanatul Ummah mempersiapkan peserta didik yang berkualitas dan memiliki kemampuan maupun ketrampilan yang baik, serta berakhlaqul karimah untuk bisa menjadi anggota masyarakat yang dapat mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Terdapat beberapa alasan mengapa lokasi penelitian ini di MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya salah satu diantaranya ialah MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya memiliki berbagai peraturan ketat yang harus dipenuhi oleh santriwan maupun santriwati yakni tidak diperbolehkan membawa alat elektronik dalam bentuk apapun, ini demi mengurangi dampak buruk yang dibawa oleh tekhnologi di dalam Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya, terdapatnya berbagai problem diantaranya siswa yang kerap mengalami konflik dengan teman sebayanya dan terdapat beberapa siswa yang dapat dikatakan kurang dapat mengembangkan kemampuan interpersonal dalam membangun hubungan antar pribadi.

Boarding school adalah sekolah dengan asrama, dimana peserta didik, para guru, dan pengelola sekolah tinggal di asrama yang berada di lingkungan


(15)

sekolah. Pada sistem boarding school terdapat tuntutan interpersonal (Interpesonal demands) yakni berupa tuntutan pencapaian interpretasi yang tinggi dan kesuksesan dalam berinteraksi secara sosial dengan baik. Ini berkaitan dengan kemampuan menjalin hubungan yang baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan para pelaku kependidikan, dan kemampuan penggunaan bahasa verbal maupun non verbal. Kemampuan ini berupa kemampuan membuka dan membina hubungan interpersonal. Kemampuan mendukung secara emosional, mengelola dan mengatasi konflik yang terjadi, yang mungkin timbul dalam hubungan interpersonal Desmita (2010).

Setidaknya secara empirik kerap ditemukan terutama pada siswa

boarding school yang mengalami konflik antar teman sesamanya dan mereka tidak berusaha menyelesaikan konflik dengan baik, namun mereka justru memilih menyelesaikannya dengan pertengkaran. Kemampuan untuk mengatasi konflik dengan baik merupakan indikasi adanya interpersonal competence, hal ini sebagaimana diungkap oleh McGaha & Fitzpatrick (2005) bahwa ciri adanya interpersonal competence pada individu adalah kemampuan memulai kontak, dukungan emosional, keterbukaan, dan mengatasi konflik.

Untuk dapat mengembangkan interpersonal competence pada diri siswa sebagaimana peserta didik dalam lingkungan pendidikan agar dapat mencapai keberhasilan tentunya siswa tidak mampu untuk berdiri sendiri namun ia membutuhkan orang lain untuk saling berinteraksi atau menjalin hubungan


(16)

antar pribadi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi interpersonal competence yaitu faktor bersifat eksternal dan internal. Dalam salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi interpersonal competence yakni peer relationship. Dalam hal Peer relationship yang dimaksud oleh peneliti adalah lebih memfokuskan pada hubungan interaksi teman sebaya (peer relationship) pada siswa boarding school.

Dalam proses interaksi teman sebaya (peer relationship), siswa akan banyak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan dalam hal meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina hubungan interpersonal. Tekait dengan hal tersebut, Welsh dan Bierman (2006) mengungkap bahwa dalam banyak situasi, relasi teman

sebaya sebagai “ladang latihan” (training grounds) bagi hubungan

interpersonal, menyiapkan individu mempelajari tentang hubungan timbal balik dan kedekatan (intimacy).

Secara lebih tegas Kuh & Terenzini et al., (dalam Foubert & Grainger, 2006) menyatakan bahwa interaksi teman sebaya (peer relationship) juga memiliki kontribusi terhadap interpersonal competence. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Kramer dan Gottman (1992) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina hubungan


(17)

Bagi remaja kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain di luar lingkungan keluarga ternyata sangat besar, terutama kebutuhan interaksi dengan teman-teman sebayanya, hasil penelitian Larson menemukan fakta bahwa 74,1% waktu remaja dihabiskan bersama orang lain di luar keluarganya. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat di katakan bahwa interaksi sosial atau menjalin hubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan yang penting dan mendasar bagi remaja mengingat sebagian besar waktu mereka dihabiskan bersama orang-orang di luar lingkungan keluarganya (Ling & Dariyo, 2002).

Dalam menjalin hubungan antar pribadi dengan orang lain, individu memerlukan komunikasi yang baik. Salah satu kualitas hidup yang menentukkan keberhasilan menjalin hubungan antar pribadi dengan orang lain adalah interpersonal competence. Pada masa remaja interaksi sosialnya dengan teman-teman sebaya, termasuk teman lingkungan sekolah menjadi lebih penting di banding dengan masa kanak-kanak. Selanjutnya jika telah terjadi hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan, maka individu yang memiliki interpersonal competence ini akan mudah untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan utamanya.

Begitu pentingnya interpersonal competence ini untuk dimiliki oleh setiap individu, oleh karenanya ranah ini menarik untuk dikaji. Dari paparan di atas terungkap bahwa salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya

interpersonal competence seseorang adalah adanya peer relationship. Berdasarkan hal ini, maka penelitian yang ingin mengungkap keterkaitan


(18)

antara peer relationship dengan interpersonal competence penting untuk dilakukan pada siswa MA boarding School. Diasumsikan bahwa semakin baik interaksi yang terjadi antara individu dengan teman sebaya (peer),

dengan bukti diterimanya individu tersebut dalam kelompok teman sebaya, maka akan semakin tinggi interpersonal competence yang dimiliki individu tersebut.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa: Lia Hartati, Winanti Siwi Respati. Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta 2012 dengan judul Interpersonal competence Pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan Asrama dan yang Tinggal di Panti Asuhan Cottage. Penelitian ini akan melihat bagaimana gambaran interpersonal competence pada remaja yang tinggal di panti asuhan Asrama dan yang tinggal di panti asuhan Cottage. disimpulkan Secara umum interpersonal competence remaja yang tinggal di panti asuhan Asrama relatif lebih baik dibandingkan interpersonal competence remaja yang tinggal di panti asuhan Cottage.

Anastasia Melinda Putri Suwardi Ratriana Y.E. Kusumiati Enjang Wahyuningrum. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana,Salatiga 2016 dengan judul Perbedaan Interpersonal competence Antara Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal Bersama Orang Tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan

interpersonal competence antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal bersama orang tua. Tidak terdapat perbedaan yang


(19)

signifikan pada interpersonal competence antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal bersama orang tua.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan antara peer relationship dengan interpersonal competence pada siswa MA boarding school?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan antara peer relationship dengan interpersonal competence pada siswa MA

boarding school. D. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

a. Secara Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan dan pengetahuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan hubungan antara peer relationship dengan interpersonal competence pada siswa MA boarding school.

b. Secara Praktis

Secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi para pendidik di MA dalam menangani kasus-kasus siswa yang


(20)

berhubungan dengan interpersonal competence pada siswa MA boarding school.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap variabel yang dipakai dalam penelitian ini yaitu: variabel Interpersonal Competence dan Peer Relationship

berikut akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti terkait dengan Interpersonal Competence dan Peer Relationship.

Penelitian terdahulu berkaitan Interpersonal competence yang telah dilakukan oleh Lia Hartati dkk (2012). Penelitian ini akan melihat bagaimana gambaran interpersonal competence pada remaja yang tinggal di panti asuhan Asrama dan yang tinggal di panti asuhan Cottage. disimpulkan Secara umum

interpersonal competence remaja yang tinggal di panti asuhan Asrama relatif lebih baik dibandingkan interpersonal competence remaja yang tinggal di panti asuhan Cottage. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti adalah keduannya sama meneliti mengenai interpersonal competence, namun perbedaannya penelitian ini menggunakan subjek pada remaja yang tinggal di panti asuhan Asrama dan yang tinggal di panti asuhan Cottage, sedangkan penelitian yang akan dilakukan pada siswa MA Boarding School.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Fitria Susanti dkk (2010) dengan hasil penelitian ini dapat melihat seberapa besar pengaruh permainan tradisional terhadap interpersonal competence dengan teman sebaya pada siswa SD. Disimpulkan Secara umum interpersonal competence pada


(21)

kelompok eksperimen sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan permainan tradisional mengalami perbedaan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti adalah keduannya sama meneliti mengenai interpersonal competence dan teman sebaya (peer), namun perbedaannya penelitian ini menggunakan subjek siswa MA boarding school dan mencari hubungan antar dua variabel.

Selanjutnya penelitian yang telah dilakukan oleh Endang Aprinastiti (2015). Penelitian ini akan melihat bagaimana hubungan antara kelompok teman sebaya (peer) dengan pencarian identitas diri pada siswa-siswi SMP. Disimpulkan Secara umum adanya hubungan yang sangat signifikan antara kelompok teman sebaya (peer) dengan pencarian identitas diri. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti adalah keduannya sama meneliti mengenai kelompok teman sebaya (peer) namun perbedaannya penelitian ini menggunakan variabel interpersonal competence pada siswa MA boarding school.

Berikutnya sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Muhammad Idrus (2009). Penelitian ini akan melihat bagaimana hubungan antara teman sebaya (peer) dengan interpersonal competence mahasiswa. Disimpulkan Secara umum adanya hubungan yang sangat signifikan antara teman sebaya (peer) dengan interpersonal competence mahasiswa. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti adalah keduannya sama meneliti mengenai kelompok teman sebaya (peer) dengan interpersonal competence


(22)

namun perbedaannya penelitian ini menggunakan variabel interpersonal competence pada siswa MA boarding school.

Penelitian selanjutnya yang telah dilakukan oleh Miranti Rasyid (2012). Penelitian ini akan melihat bagaimana hubungan antara peer attachment

dengan regulasi emosi remaja yang menjadi siswa di boarding school. Disimpulkan Secara umum terdapat hubungan positif antara peer attachment dengan regulasi emosi remaja yang menjadi siswa di boarding school. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti adalah keduannya sama meneliti subjek siswa MA boarding school namun perbedaannya penelitian ini menghubungkan antara variabel teman sebaya (peer) dengan interpersonal competence pada siswa MA boarding school.

Penelitian yang dilakukan oleh Jennifer E. Lansford dkk (2014). Penelitian ini akan melihat bagaimanaPersiapan hubungan sebaya dari masa kanak-kanak sampai dewasa muda. Disimpulkan secara umum bahwa Hubungan sebaya menunjukkan kontinuitas sejak kecil hingga awal masa dewasa dan bahwa kualitas kepribadian inti adalah Terkait dengan perkembangan persahabatan dewasa. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti adalah keduannya sama meneliti peer relationship namun perbedaannya penelitian ini menghubungkan antara variabel interpersonal competence pada siswa MA boarding school.

Penelitian selanjutnya yang telah dilakukan oleh Joseph L. Mahoney (2013). Penelitian ini akan melihat bagaimana interpersonal competence dan Kesuksesan Pendidikan Melalui Partisipasi Kegiatan Ekstrakurikuler.


(23)

Disimpulkan secara umum bahwa partisipasi ekstrakurikuler berkontribusi untuk status pendidikan, sebagian, dengan mempengaruhi interpersonal kompetensi dan aspirasi pendidikan selama masa remaja. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti adalah keduannya sama meneliti Interpersonal Competence namun perbedaannya penelitian ini menghubungkan antara variabel peer relationship pada siswa MA boarding school.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Interpersonal Competence

1. Pengertian Interpersonal competence

Sears, Freedman dan Peplau (1991) mengemukakan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang membuat individu lebih dihargai oleh orang lain. Interpersonal merupakan suatu hubungan antar individu dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang efektif seperti persahabatan, jika mereka memiliki kemampuan-kemampuan dalam membina hubungan interpersonal. Kemampuan tersebut secara khusus oleh Buhrmester dkk (1988) disebut sebagai interpersonal competence. Menurut Buhrmester, Firman, Witenberg dan Reis (1988) mengatakan bahwa interpersonal competence adalah keterampilan atau kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain atau antar individu.

McGaha & Fitzpatrick (2005) mengartikan interpersonal competence sebagai perilaku-perilaku yang sesuai dalam berhubungan seperti memulai kontak, dukungan emosional, keterbukaan, mengatasi konflik. Handfield (2006) mengartikan interpersonal competence dengan kemampuan mengelola diri sendiri secara efektif dalam bekerja dengan orang lain dalam rangka menyelesaikan tugas/pekerjaan bersama. Kemampuan tersebut adalah sikap dan perilaku interpersonal yang


(25)

biasanya dikenal sebagai kemampuan kerja sama tim. Demikian pula Bierman dan Suchy (2000) juga menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa

interpersonal competence adalah salah satu faktor penting bagi keberhasilan individu dalam meniti kehidupannya.

Spitzberg dan Cupach (dalam DeVito, 1996) memberi pengertian

interpersonal competence sebagai kemampuan seorang individu untuk melakukan komunikasi yang efektif. Jerving (2001) mengartikan Interpersonal competence sebagai sebuah kemampuan untuk membangun dan menjaga hubungan yang efektif.

Dari beberapa pengertian interpersonal competence yang dipaparkan di atas, dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk melakukan komunikasi secara lebih efektif yang meliputi kemampuan untuk memulai suatu hubungan antar individu dengan yang lain secara interpersonal, kemampuan membuka diri, kemampuan untuk memberikan bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain, empati serta kemampuan mengelola dan mengatasi konflik dengan orang lain.

2. Aspek-Aspek Interpersonal Competence

Buhrmester, dkk (1988) menyatakan interpersonal competence

meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a. Kemampuan berinisiatif Menurut Buhrmester (1988) inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain, atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar.


(26)

Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar, juga tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahaminya.

b. Kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure) Kemampuan membuka diri merupakan kemampuan untuk membuka diri, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi dan penghargaan terhadap orang lain. Kartono dan Gulo (1987) mengungkap bahwa pembukaan diri adalah suatu proses yang dilakukan seseorang hingga dirinya dikenal oleh orang lain. Sears,dkk, (1991) menyatakan bahwa kemampuan membuka diri diwujudkan dengan perilaku orang yang melakukan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain.

c. Kemampuan bersikap asertif Menurut Pearlman dan Cozby (1983) asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas. Dalam konteks komunikasi interpersonal seringkali seseorang harus mampu mengungkapkan ketidaksetujuannya atas berbagai macam hal atau peristiwa yang tidak sesuai dengan alam pikirannya.

d. Kemampuan memberikan dukungan emosional Kemampuan memberikan dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan komunikasi interpersonal antar dua pribadi. Beker dan


(27)

Lemie (dalam Buhrmester, dkk, 1988) dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini lahir dari adanya empati dalam diri seseorang.Kemampuan dalam mengatasi konflik Kemampuan mengataasi konflik meliputi sikap-sikap untuk menyusun strategi penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atau suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru. Menyusun strategi penyelesaian masalah adalah bagaimana individu yang bersangkutan merumuskan cara untuk menyelesaikan konflik dengan sebaik-baiknya.

Sementara itu, Stephenmarks (2006) memerinci komponen

interpersonal competence yang terdiri dari:

a. Kesadaran diri, yaitu seberapa jauh individu mengenal dirinya sendiri. b. Kemampuan mendengar, yaitu seberapa efektifnya seseorang menjadi

seorang pendengar yang baik. c. Empati dan pemahaman. d. Kemampuan berkomunikasi.

Elsayed-Elkhouly (2001) mengungkap beberapa faktor

interpersonal competence yaitu adanya komunikasi, perolehan kekuasaan dan pengaruh, memotivasi orang lain, pengelolaan konflik dan negosiasi.

Chickering dan Reisser (1993) mengungkap bahwa interpersonal competence mencakup:


(28)

a. Kemampuan mendengar b. Kerjasama

c. Komunikasi

d. Kemampuan untuk memilih dari strategi yang bervariasi untuk menolong hubungan yang atau fungsi kelompok.

Dari uraian di atas, komponen dari interpersonal competence dapat berupa (a) kemampuan untuk memulai suatu hubungan interpersonal, (b) kemampuan membuka diri kepada orang lain, (c) kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain, (d) kemampuan bersikap asertif, (e) empati, serta (f) kemampuan mengelola dan mengatasi konflik dengan orang lain.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interpersonal competence

Interpersonal competence merupakan bagian dari kompetensi sosial (Hurlock, 2000). Kompetensi sosial dipengaruhi oleh partisipasi sosial yang dilakukan oleh individu, semakin besar partisipasi sosial semakin besar pula kompetensi sosialnya. Partisipasi sosial dipengaruhi oleh pengalaman sosial, dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan Interpersonal competence dipengaruhi faktor pengalaman dimana pengalaman tersebut tidak terlepas dari faktor usia dan kematangan seksualnya.

Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi interpersonal competence menurut Nashori (dalam Indah, 2012) mengemukakan bahwa interpersonal competence dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:


(29)

a. Faktor Internal 1) Jenis Kelamin

Nashori (2008) mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja laki-laki memiliki tingkat gerakan-gerakan yang aktif yang lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Selanjutnya, gerakan-gerakannya yang aktif tersebut menjadi modal untuk berinisiatif dalam melakukan hubungan sosial-interpersonal, bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapi.

2) Tipe Kepribadian

Adler (Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa ada individu yang berorientasi ke dalam (intrinsik) dan ada pula yang berorientasi ke luar (ekstrinsik). Individu yang berorientasi keluar cenderung selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain.

3) Kematangan

Nashori (2008) mengemukakan bahwa kematangan beragama berkorelasi positif dengan interpersonal competence. Orang yang matang dalam beragama memiliki kesabaran terhadap perilaku orang lain dan tidak mengadili atau menghukumnya. Ia dapat menerima kelemahan-kelemahan manusia dengan mengetahui bahwa ia punya kelemahan-kelemahan yang sama.

4) Konsep Diri

Nashori (2008) menemukan bahwa konsep diri berkorelasi positif dengan interpersonal competence. Orang yang konsep dirinya positif


(30)

merasa dirinya setara dengan orang lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain.

b. Faktor Eksternal

1) Kontak dengan Orangtua

Menurut Hetherington dan Parke (Nashori, 2008), kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap interpersonal competence

anak. Adanya kontak anak dengan orangtua, dapat menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosial anak dalam lingkungan sekitarnya. 2) Interaksi dengan Teman Sebaya

Kramer dan Gottman (Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya (peer) memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah dalam membina hubungan interpersonal.

3) Aktivitas

Aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu dapat mempengaruhi pada tingkat kompentensi interpersonal yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan oleh Danardono (Nashori, 2008) membuktikan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kepecintaalaman memiliki perbedaan interpersonal competence yang signifikan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan kepecintalaman. Mahasiswa pecinta alam


(31)

lebih tinggi interpersonal competencenya dibanding dengan mahasiswa bukan pecinta alam.

4) Partisipasi Sosial

Kompetensi sosial, termasuk interpersonal competence dapat dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Oleh karena itu, semakin besar partisipasi sosial, maka semakin besar pula interpersonal competencenya. Selain itu,diketahui bahwa perlakuan khusus pada individu dapat meningkatkan interpersonal competence, seperti pelatihan asertivitas, pelatihan inisiatif sosial, dan lain sebagainya (Nashori, 2008).

Menurut Monks, dkk. (1994), ada beberapa faktor yang mempengaruhi interpersonal competence, yaitu :

a. Umur. Konformisme semakin besar dengan bertambahnya usia, terutama terjadi pada remaja usia 15 atau belasan tahun.

b. Keadaan sekeliling. Kepekaan pengaruh dari teman sebayanya sangat mempengaruhi kuat lemahnya interaksi teman sebaya.

c. Jenis kelamin. Kecenderungan laki-laki untuk berinteraksi dengan teman sebaya lebih besar daripada perempuan.

d. Kepribadian ekstrovert. Anak- anak ekstrovert lebih komformitas daripada introvert.

e. Besar kelompok pengaruh kelompok menjadi makin besar bila besarnya kelompok bertambah.

f. Keinginan untuk mempunyai status. Adanya dorongan untuk memiliki status inilah yang menyebabkan remaja berinteraksi dengan teman


(32)

sebayanya, individu akan menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam perebutan tempat di dunia orang dewasa.

g. Interaksi orang tua. Suasana rumah yang tidak menyenangkan dan tekanan dari orang tua menjadi dorongan individu dalam berinteraksi dengan teman sebayanya.

h. Pendidikan. Pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam interaksi teman sebaya karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas, yang mendukung dalam pergaulannya.

Selain faktor di atas, Lunandi (1987) menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi interpersonal competence antara lain: a. Faktor psikologis, yaitu segala sesuatu yang ada di benak komunikator dan

komunikan, termasuk sikap dan situasi kejiwaan komunikator. Hal ini akan menggiring komunikasi yang terjadi menjadi formal, tidak formal, tegang, atau bersahabat.

b. Faktor fisik, yaitu lingkungan fisik saat terjadi komunikasi, seperti restoran, bioskop, gereja, atau kantor. Lingkungan fisik akan mempengaruhi komunikasi yang terjadi.

c. Faktor sosial, meliputi hubungan manusia satu sama lain, misalnya orangtua dan anak, guru dan murid, atau antar teman sekerja. Relasi interpersonal yang terjadi mengikuti aturan-aturan sosial yang ada dalam masyarakat.


(33)

d. Faktor budaya, meliputi tradisi, kebiasaan, dan adat yang memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi karakter seseorang. Seluruh isi komunikasi akan mengikuti kebiasaan normal suatu budaya.

e. Faktor waktu, yaitu kapan sebuah komunikasi interpersonal terjadi. Waktu komunikasi bisa pagi, siang, sore, atau malam. Hari, minggu, dan bulan akan berpengaruh pada bentuk komunikasi. Karena sebagian orang aktif berkomunikasi di pagi hari sedangkan sebagian yang lain aktif berkomunikasi di malam hari, maka faktor waktu mempengaruhi

interpersonal competence.

Individu yang memiliki kesempatan untuk dapat berinteraksi dengan orang lain akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial dan perkembangan emosi serta lebih mudah dalam membina kemampuan interpersonal.

Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi interpersonal competence antara lain umur, keadaan sekeliling, jenis kelamin, kepribadian ekstrovert, besar kelompok, keinginan untuk memperoleh status, interaksi orang tua, interaksi antar teman sebaya (peer), pendidikan, psikologis, fisik, sosial, budaya, waktu, imitasi, sugesti, identifikasi, simpati dan penerimaan diri.


(34)

4. Manfaat Interpersonal competence

Menurut Amelia (2008) bahwa manfaat yang diperoleh seseorang dalam melakukan hubungan interpersonal antara lain:

a. Menghindari kesepian. b. Menstimulasi rasa aman.

c. Memahami diri dan meningkatkan kebehargaan diri. d. Meningkatkan rasa nyaman dan meminimalisir rasa sakit. B. Kajian Peer Relationship

1. Pengertian Interaksi teman Sebaya (Peer Relationship)

Salah satu tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (Gunarsa, 2004) adalah mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya. Menurut Santrock (2006) teman sebaya (peer) bagi remaja merupakan sumber mendapatkan status, wadah untuk menjalin persahabatan dan berbagi rasa saling memiliki yang penting dalam situasi apapun.

Musser & Graziano (1991) menulis bahwa istilah teman sebaya (peer) merujuk pada kesamaan status. Ivor Morrish (dalam Ahmadi, 2007) mengungkap teman sebaya dengan kalimat “a peer is an equal, and a peer is a group composes of individuals who are equals”. Dari pendapat Morrish setidaknya dapat dimaknai bahwa istilah teman sebaya (peer) memiliki makna sekelompok individu yang memiliki kesamaan. Tentunya kesamaan yang dimaksud oleh Morrish dapat dimaknai secara berbeda.


(35)

Atwater (1983) memberikan definisi teman sebaya sebagai berikut:

“………peer relationship are the relationship between adolescents of the same age, as seen in neighborhood, school, and social environments.”

Menurut Atwater (1983), hubungan sebaya adalah hubungan antara remaja pada usia yang sama seperti yang terlihat di lingkungan sekolah dan lingkungan sosial.

Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama (Santrock, 2009). Hubungan (relationship) dengan teman sebaya (peers) adalah aspek yang sangat signifikan dari lingkungan sosial bagi remaja (Santrock, 2009). Sedangkan hubungan (relationships) didefinisikan sebagai kesatuan dari interaksi yang berlangsung terus melalui waktu dan membentuk dasar harapan interpersonal timbal balik yang merupakan dasar konteks sosial (Hinde dalam Rubin, dkk 2009). Kemampuan dalam berkomunikasi, pengaturan diri, bersama-sama dengan orang lain, dan pengetahuan tentang dunia timbul kebanyakan sejak awal hubungan dan terus berlanjut dalam diri mereka. Hubungan merupakan sumber yang menahan seseorang dari stress dan merupakan alat untuk penyelesaian masalah secara kompetitif maupun korperatif. Hubungan juga merupakan yang memungkinkan dari hubungan-hubungan lainnya. Suatu hubungan yang berfungsi dengan baik, memiliki dampak pada kesehatan mental dan fisik, ketahanan, dan kesejahteraan.


(36)

Sehingga dapat disimpulkan, peer relationships yang dimaksud dalam penelitian ini adalah satu-kesatuan interaksi dan perilaku yang dimiliki seseorang melalui hubungan interpersonal timbal balik dengan individu lain pada tingkat kedewasaan atau tingkatan usia yang hampir sama atau sepadan (teman sebaya).

2. Aspek-aspek Peer Relationship

Menurut Santrock (2003) ada tiga aspek dari peer relatonship yang penting dalam masa remaja yaitu:

a. Persahabatan (Friendship) Menurut Coleman (1994) persahabatan adalah rasa kebersamaan dan rasa timbal balik satu sama lain. Sedangkan menurut Baron & Bryne (2006) persahabatan adalah hubungan dimana dua orang menghabiskan waktu bersama, berinteraksi dalam berbagai situasi, dan menyediakan dukungan emosional.

b. Peer Groups (Kelompok Teman Sebaya) Peer Groups adalah sekelompok individu pada usia relatif sama, yang merupakan kelompok sosial yang mengatur langkah untuk bersosialisasi. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka (Santrok, 2003). Santrock juga mengatakan beberapa dari remaja akan melakukan apapun untuk dapat dimasukkan dalam suatu anggota kelompok.

Adapun yang menjadi karakteristik Peer Groups (kelompok teman sebaya) yaitu : i. Tempat dimana Individu merasa nyaman ii. Meningkatkan harga diri individu iii. Memberi individu suatu identitas.


(37)

iv. Terlibat dalam aktivitas yang sama v. Pergi hang out bersama-sama dengan anggota kelompok vi. Individu mendapatkan sumber penting akan informasi.

c. Hubungan Romantis Connoly & McIsaac (dalam Lerner, R & Steinberg, L . 2009) menyatakan bahwa hubungan romantis pada remaja adalah langkah awal menuju suatu hubungan cinta dan komitmen seperti hubungan pada orang dewasa.

Adapun yang menjadi karakteristik hubungan romantis yaitu (Santrok, 2003): i. Pergi jalan bersama dengan teman-teman yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. ii. Memikirkan suatu hubungan romantis dengan lawan jenis. iii. Menghabiskan waktu untuk pergi jalan dengan lawan jenis (kencan).

3. Faktor Peer Relationship

Santrock (2003) mengatakan bahwa peer relationships dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :

a. Status Sosial Ekonomi

Remaja dengan tingkat perekomomian menengah, mempengaruhi sifat dasar dari kelompok dimana mereka tergabung di dalamnya.

b. Faktor budaya yaitu remaja dengan etnis minoritas terutama para imigran, lebih tergantung dengan teman sebaya daripada remaja mayoritas (Spencer & Dornbuch dalam Santrock, 2003).


(38)

Menurut Rubin, K., dkk (2009) faktor yang mempengaruhi hubungan dan interaksi dengan teman sebaya pada anak dan remaja adalah:

a. Distal (race/ethnicity, culture, neighborhood)

Faktor yang dimaksudkan disini adalah faktor lingkungan yang ada pada diri remaja yaitu etnis atau suku, budaya dan lingkungan rumah. b. Proximal (genes, temperament, parents, and family)

Faktor yang dimaksudkan disini adalah faktor yang berkenaan dengan gen, temperamen, orang tua dan keluarga dari remaja.

Monk’s dan Blair (Ahmad, 2009) ada beberapa faktor yang cenderung menimbulkan munculnya peer relationship pada remaja, yaitu:

a. Umur, konformitas semakin besar dengan bertambahnya usia, terutama terjadi pada usia 15 tahun atau belasan tahun.

b. Keadaan sekeliling, kepekaan pengaruh dari teman sebaya lebih besar dari pada perempuan.

c. Kepribadian ekstrovet, anak-anak yang tergolong ekstrovet lebih cenderung mempunyai konformitas dari pada anak introvet.

d. Jenis kelamin, kecenderungan laki-laki untuk berinteraksi dengan teman lebih besar dari pada anak perempuan.

e. Besarnya kelompok, pengaruh kelompok menjadi semakin besar bila besarnya kelompok bertambah.


(39)

f. Keinginan untuk mempunyai status, adanya suatu dorongan untuk memiliki status, kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya interaksi diantara teman sebayanya. Individu akan menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam perebutan tempat dari dunia orang dewasa.

g. Interaksi orang tua, suasana rumah yang tidak menyenangkan dan adanya tekanan dari orang tua mejadi dorongan indivudu dalam berinteraksi dengan teman sebayanya.

h. Pendidikan, pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam interaksi teman sebaya karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai wawasan dan pengetahuan luas yang akan mendukung dalam pergaulannya.

Berdasarkan uraian diatas faktor yang peer relationship antara lain status sosial ekonomi, faktor budaya, lingkungan, serta dipengaruhi juga oleh umur, jenis kelamin, kepribadian ekstrovet, besarnya kelompok, keinginan untuk mempunyai status, interaksi dengan orang tua, pendidikan, pentingnya aktivitas bersama, tinggal dilingkungan yang sama, dan ikut serta dalam kegiatan di masyarakat.

4. Fungsi Peer Relationship

Santrock (2006) menyatakan fungsi peer relationships sebagai berikut :

a. Memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga.


(40)

Individu menerima umpan balik tentang kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya mereka. Mereka juga mengevaluasi apa yang mereka lakukan dengan ukuran apakah hal tersebut lebih baik, sama baiknya, atau lebih buruk dari apa yang dilakukan orang lain. Hal ini sulit dilakukan di rumah karena saudara biasanya lebih tua atau lebih muda. b. Memenuhi kebutuhan sosioemosional.

Hubungan sebaya yang baik diperlukan untuk pertimbangan sosioemosional yang normal. Anak dan remaja yang menarik diri, yang ditolak oleh sebaya atau menjadi korban dan merasa kesepian, memiliki resiko untuk mengalami depresi. Anak dan remaja yang bersikap agresif terhadap teman sebaya mereka memiliki risiko mengalami beberapa masalah termasuk kenakalan remaja dan putus sekolah.

c. Belajar memformulasikan dan menyatakan pendapat d. Menghargai sudut pandang sebaya

e. Menegosiasikan solusi atas perselisihan secara kooperatif. f. Mengubah standar perilaku yang diterima oleh semua.

g. Belajar menjadi pengamat yang tajam terhadap minat dan perspektif sebaya dalam rangka mengintegrasikan diri secara mulus dalam aktifitas sebayanya.


(41)

5. Bentuk-Bentuk Hubungan Peer Relationship

Santrock (2007) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk peer relationship adalah sebagai berikut:

a. Perubahan individual, perubahan individual ini mempunyai fungsi kebersamaan, dukungan fisik, dukungan ego, perbandingan sosial, keakraban dan perhatian.

b. Kerumunan (crowd), kerumunan merupakan bentuk interaksi teman sebaya yang terbesar, mereka bertemu karena memuat tujuan yang sama dalam suatu aktivitas.

c. Klik (cliques), jumlah yang lebih kecil, melibatkan keakraban yang lebih besar diantara anggota yang lebih kohensif dari pada kerumunan. Klik mempunyai ukuran yang lebih besar dan tingkat keakraban yang lebih rendah dari persahabatan.

Berdasarkan uraian diatas yang merupakan bentuk-bentuk dari interaksi teman-teman sebaya adalah teman dekat atau sahabat, kelompok kecil yang terdiri dari beberapa teman dekat, kelompok besar atau klik, kelompok terorganisasi yang dibina oleh orang dewasa, kelompok geng dan perubahan individual.

C. Kajian Boarding School

1. Pengertian Boarding School

Menurut Encyclopedia Wikipedia yang dikutip oleh Maksudin (2008), boarding school adalah lembaga pendidikan dimana para siswanya tidak hanya belajar, tetapi mereka bertempat tinggal dan hidup


(42)

menyatu di lembaga tersebut. Boarding school mengkombinasikan tempat tinggal para siswa di institusi sekolah yang jauh dari rumah dan keluarga mereka dengan diajarkan agama serta pembelajaran beberapa mata pelajaran.

Menurut Oxford dictionary, pendidikan kepesantrenan (Boarding School) is school where some or all pupil live during the term. Artinya adalah pesantren adalah lembaga pendidikan yang mana sebagian atau seluruh siswanya belajar dan tinggal bersama selama kegiatan pembelajaran.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa boarding school didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran dan memperhatikan materi-materi dasar keilmuwan yang mendukung dengan mata pelajaran sekolah yang melibatkan peserta didik dan para pendidiknya bisa berinteraksi dalam waktu 24 jam setiap harinya dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen.

2. Tujuan Boarding School

Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, disamping faktor-faktor lain yang terkait: pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan (Mujamil, 2007). Dari berbagai konsep yang diterapkan di boarding school, maka tujuan boarding school yaitu:

a. Menghasilkan generasi yang beraqidah, shalih, berkepribadian matang, mandiri, sehat, disiplin, dan bermanfaat tinggi.


(43)

b. Menghasilkan generasi berprestasi dalam akademik dan daya saing tinggi.

c. Menghasilkan generasi yang memiliki kecakapan dan keahlian dalam menunjang kehidupannya.

d. Menghasilkan generasi mandiri, kreatif, inovatif dan jiwa wirausaha. 3. Peran Boarding School

Sesungguhnya konsep boarding school bukan sesuatu yang baru dalam sistem pendidikan Indonesia. Karena sejak lama konsep boarding school dikenal dengan konsep pondok pesantren. Pondok pesantren ini adalah cikal bakal boarding school di Indonesia. Boarding school

memiliki peranan penting, antara lain sebagai lembaga pendidikan, lembaga keilmuwan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, dan lembaga bimbingan keagamaan.

Boarding school memiliki peranan penting dan strategis dalam pembentukan akhlak yang paripurna, hal ini bisa dicermati dari latar belakang berdirinya boarding school yang memadukan kurikulum pesantren dengan sekolah umum. Adapun peran boarding school, sebagai berikut:

a. Mengembangkan lingkungan belajar yang Islami.

b. Menyelenggarakan program pembelajaran dengan system mutu terpadu dan terintegrasi yang memberikan bekal kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional, serta kecakapan hidup (life skill).


(44)

c. Mengelola lembaga pendidikan dengan sistem manajemen yang efektif, kondusif, kuat, bersih, modern dan memiliki daya saing.

d. Mengoptimalkan peran serta orang tua, masyarakat dan pemerintah. D. Hubungan antara Interaksi Teman Sebaya (Peer Relationship) dengan

Interpersonal competence (Interpersonal Competence)

Fuligni, dkk., (2001) menengarai bahwa pengaruh interaksi teman sebaya (peer) meningkat terhadap anak saat mereka memasuki masa transisi remaja. Kecenderungan peningkatan ini menurut Fuligni, dkk. terjadi selama tahun-tahun awal remaja dan akan menurun secara bertahap saat anak-anak mulai melakukan penawaran hubungan mereka dengan orang tua dan mulai mengembangkan otonomi. Lebih jauh dijelaskan oleh Fuligni, dkk (2001) bahwa anak secara meningkat menghabiskan waktu luangnya dengan teman sebaya melebihi dari yang dilakukannya dengan orang tua atau anggota keluarga lainnya. Dalam hubungan peer relationship tersebut seorang anak bukan hanya memperoleh “sesuatu hal”, namun yang bersangkutan juga dapat memberikan sesuatu sehingga dapat dikatakan hubungan interpersonal timbal balik. Mereka saling membagi norma dan tujuan-tujuan, saling mengembangkan status dan peran, serta memiliki kewenangan untuk mengatur suatu hubungan tersebut.

Dengan adanya hubungan peer relationship menjadikan anak untuk dapat mengolah cara berpikir, perasaan, dan mengeluarkan pendapat (aspirasi) sebagaimana mereka pelajari, dan untuk selanjutnya mereka terima atau mereka sebarkan pada sesamanya. Secara lebih sederhana dalam


(45)

interaksi teman sebayanya, seorang anak akan saling mempengaruhi antar sesamanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Mussen, dkk (1979) yang menyatakan bahwa peer relationship akan menyediakan peluang untuk belajar cara berinteraksi dengan teman seusianya, untuk mengontrol perilaku sosial, untuk mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usia dan untuk saling membagi persoalan atau perasaan yang sama.

Hubungan peer relationship, anak akan lebih dapat mengembangkan pemikiran yang dimilikinya, mencoba berbagai peran di antara mereka, mempelajari dan menerima cara pandang orang lain, mengembangkan kompetensi sosial, memahami berbagai aturan sosial, budaya dan norma yang ada pada lingkungannya. Lebih dari itu, hubungan teman sebaya bukanlah hubungan satu arah semata, namun lebih merupakan hubungan interaksi dua arah yang saling memberi dan menerima, hal inilah yang menyebabkan anak dapat secara lebih baik mengembangkan nilai-nilai yang dimiliki serta

interpersonal competence. Terkait dengan interpersonal competence, Kuh & Terenzini et al., (dalam Foubert & Grainger, 2006) menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya (peer) memiliki kontribusi terhadap

interpersonal competence.

Dari paparan tersebut dapat dipahami dan disimpulkan bahwa dalam mengadakan peer relationship, seorang anak akan banyak mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki. Hal ini senada dengan Buhrmester, Firman, Witenberg dan Reis (1988) mengatakan bahwa interpersonal competence adalah keterampilan atau kemampuan yang dimiliki individu


(46)

untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain atau antar individu. Kemampuan-kemampuan tersebut akan digunakannya dalam proses berinteraksi dengan orang lain, baik dalam komunitas sebayanya, atau dengan individu lain di luar komunitasnya. Salah satu kemampuan yang dikembangkan anak dalam peer relationship adalah interpersonal competence, yaitu sebuah kompetensi yang dipandang memiliki peran penting dalam kehidupan individu dan dalam kehidupan pekerjaan. Secara ringkas dapat diungkap bahwa interpersonal competence dapat menjadi penentu keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Jika interaksi dan komunikasi antar individu dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan individu yang bersangkutan akan sukses dalam kehidupan.

Gambar 1. Skema Hubungan Peer Relationship dan Interpersonal Competence

E. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis penelitian adalah suatu urusan dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoadmodjo, 2010). Landasan teoritis dalam penelitian ini adalah variabel yang saling berhubungan variabel bebas dari penelitian ini adalah

peer relationship sedangkan variabel terikatnya adalah interpersonal competence pada siswa MA boarding school.

Peer Relationship Interpersonal


(47)

Menurut Buhrmester, Firman, Witenberg dan Reis (1988) mengatakan bahwa interpersonal competence adalah keterampilan atau kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain atau antar individu.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi interpersonal competence yaitu faktor bersifat eksternal dan internal. Dalam salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi interpersonal competence yakni interaksi teman sebaya. Interaksi teman sebaya inilah yang dimaksud dalam variabel peer relationship.

Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama (Santrock, 2009). Sedangkan hubungan (relationships) didefinisikan sebagai kesatuan dari interaksi yang berlangsung terus melalui waktu dan membentuk dasar harapan interpersonal timbal balik yang merupakan dasar konteks sosial (Hinde dalam Rubin, dkk 2009). Jadi dapat disimpulkan, peer relationships adalah satu-kesatuan interaksi secara emosi, kognisi, dan perilaku yang dimiliki seseorang melalui hubungan interpersonal timbal balik dengan individu lain pada tingkat kedewasaan atau tingkatan usia yang hampir sama atau sepadan (teman sebaya).

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi peer relationship antara lain antara lain status sosial ekonomi, faktor budaya, lingkungan, serta dipengaruhi juga oleh umur, jenis kelamin, kepribadian ekstrovet, besarnya kelompok, keinginan untuk mempunyai status, interaksi dengan orang tua,


(48)

pendidikan, pentingnya aktivitas bersama, tinggal dilingkungan yang sama, dan ikut serta dalam kegiatan di masyarakat.

Pada sistem boarding school terdapat tuntutan interpersonal (Interpesonal demands) yakni berupa tuntutan para siswa boarding school

dalam pencapaian interpretasi yang tinggi dan kesuksesan dalam berinteraksi secara sosial dengan baik. Ini berkaitan dengan kemampuan menjalin hubungan yang baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan para pelaku kependidikan, dan kemampuan penggunaan bahasa verbal maupun non verbal. Kemampuan ini berupa kemampuan membuka dan membina hubungan interpersonal. Jika siswa boarding school telah terjalin hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan antara guru, maupun siswa lainnya maka individu yang memiliki interpersonal competence ini akan mudah untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan utamanya.


(49)

Gambar 2. Skema Konsep Penelitian

Dari gambar skema konsep penelitian dapat dijelaskan bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi interpersonal competence antara lain, interaksi teman sebaya. Interaksi teman sebaya inilah yang dimaksud dalam variabel peer relationship.

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teoritis di atas, dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut, terdapat hubungan antara peer relationship dengan

interpersonal competence pada siswa MA boarding school.

Interpersonal competence

Faktor Internal 1. Jenis Kelamin 2. Tipe Kepribadian 3. Kematangan 4. Konsep Diri

Faktor Eksternal

1. Kontak dengan Orang Tua 2. Interaksi Teman Sebaya 3. Aktivitas


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Untuk menguji hipotesis penelitian, sebelumnya akan dilakukan pengidentifikasian variabel-variabel yang diambil dalam penelitian ini. Metode penelitian kuantitatif yang penulis gunakan adalah penelitian korelasional yang ditujukan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel-variabel lain (Sukmadinata, 2013).

Azwar (2011) menyatakan bahwa variabel adalah beberapa fenomena atau gejala utama dan beberapa fenomena lain yang relevan mengenai atribut atau sifat yang terdapat pada subjek penelitian. Variabel adalah sesuatu yang dapat berubah-ubah dan mempunyai nilai yang berbeda-beda (Turmudi, 2008). Sedangkan menurut Suryabrata (1998) variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. Variabel yang terdapat dalam suatu penelitian, ditentukan oleh landasan teori dan ditegaskan oleh hipotesis penelitian.

Variabel memegang peranan penting dalam suatu penelitian, mengartikan variabel sebagai segala sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan penelitian. Sering pula dinyatakan variabel penelitian itu sebagai faktor- faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang


(51)

akan diteliti. Adapun kedudukan masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Variabel Bebas (Independent Variabel) : Peer Relationship

b. Variabel Terikat (Dependent Variabel) : Interpersonal Competence

2. Definisi Operasional

a. Interpersonal Competence

Interpersonal competence adalah kemampuan untuk melakukan komunikasi secara lebih efektif yang meliputi kemampuan untuk memulai suatu hubungan antar individu dengan yang lain secara interpersonal, kemampuan membuka diri, kemampuan untuk memberikan bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain, empati serta kemampuan mengelola dan mengatasi konflik dengan orang lain.

Adapun cara mengukur interpersonal competence yaitu dengan menggunakan skala interpersonal competence.

b. Peer Relationship

Peer relationship adalah satu-kesatuan interaksi secara emosi, kognisi, dan perilaku yang dimiliki seseorang melalui hubungan interpersonal timbal balik dengan individu lain pada tingkat kedewasaan atau tingkatan usia yang hampir sama atau sepadan (teman sebaya).

Adapun cara mengukur peer relationship yaitu dengan menggunakan skala peer relationship.


(52)

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 1. Populasi

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya. Siswa MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya berjumlah tiga ratus tiga puluh empat orang yang terdiri dari keseluruhan siswa kelas X, XI dan XII. Adapun keterbatasan penelitian ini dalam populasi dikarenakan siswa kelas XII sudah lulus dan telah dimulainya Tahun ajaran baru maka, populasi dalam penelitian ini siswa MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya telah mengalami kenaikan kelas. kelas X menjadi kelas XI dan kelas XI menjadi kelas XII yang berjumlah dua ratus empat puluh dua.

Tabel 1.

Data Siswa Tahun 2016-2017 MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya

Kelas Jumlah Siswa

X XI XII

118 124 92 Total 334

Adapun karakteristik populasi yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Siswa aktif MA Pondok PesantrenAmanatul Ummah Surabaya. b. Siswa kelas XI dan XII.


(53)

2. Sampel

Menurut Arikunto (2006), apabila populasi kurang dari 100 sebaiknya diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, selanjutnya apabila jumlah populasi lebih dari 100 dapat diambil 10-15% atau 20-25%. Peneliti menetapkan jumlah sampel yang akan di gunakan dalam penelitian ini sebanyak 25% siswa MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya kelas XI dan XII. Untuk itu peneliti menentukan sampel sebanyak enam puluh satu siswa agar lebih mewakili populasi. Adapun rincian dari sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Gambaran Sampel Siswa MA Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya

Kelas Populasi Sampel

XI 25% x 118 30

XII 25% x 124 31

Total 61

3. Teknik Sampling

Adapun teknik yang akan digunakan adalah teknik kuota sampling. Menurut Arikunto (2006) teknik kuota sampling ini juga dilakukan tidak mendasarkan diri pada strata atau daerah, tetapi mendasarkan diri pada jumlah yang sudah ditentukan. Jadi jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak enam puluh satu siswa yang mana setiap kelas ada yang mewakili.


(54)

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang diteliti. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala yang digunakan untuk mendapatkan jenis data kuantitatif. Secara umum, skala merupakan suatu alat pengumpulan data yang berupa sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek yang menjadi sasaran atau responden penelitian. Singkatnya, skala adalah suatu prosedur penempatan atribut atau karakteristik objek pada titik-titik tertentu sepanjang suatu kontinum (Azwar, 2013).

Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode skala, yaitu skala interpersonal competence dan peer relationship. Azwar (2013) menyebutkan bahwa karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi antara lain:

1) Stimulus berupa pertanyaan yang tidak langsung untuk mengungkapkan atribut yang hendak diukur, yaitu mengungkapkan indikator perilaku dan atribut yang bersangkutan.

2) Jawaban subjek terhadap satu aitem baru merupakan sebagain dari banyak indikasi mengenai atribut yang diukur. Sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis baru dapat dicapai bila semua aitem telah direspon.

3) Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban yang “benar” atau “salah”. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan


(55)

sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda pula.

Sebagai instrumen peneliti menggunakan skala Likert dengan alasan: untuk memudahkan partisipan untuk memberikan tanda pada setiap instrumen yang telah dipahami. Skala likert memiliki asumsi bahwa setiap item yang digunakan memiliki bobot yang sama dan bertujuan untuk mengukur sikap seseorang terhadap suatu persoalan (Azwar, 2010).

Dalam skala Likert terdapat pernyataan-pernyataan yang terdiri atas dua macam, yaitu pernyataan yang favorable (mendukung atau memihak pada objek sikap), dan pernyataan yang unfavorable (tidak mendukung objek sikap).

1. Skala Interpersonal Competence

Skala interpersonal competence menggunakan lima aspek sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Buhrmester, dkk (1988) sebagai berikut:

a. Kemampuan berinisiatif

Inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain, atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar, juga tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahaminya.


(56)

b. Kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure)

Kemampuan membuka diri merupakan kemampuan untuk membuka diri, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi dan penghargaan terhadap orang lain.

c. Kemampuan bersikap asertif

Asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas. Dalam konteks komunikasi interpersonal seringkali seseorang harus mampu mengungkapkan ketidaksetujuannya atas berbagai macam hal atau peristiwa yang tidak sesuai dengan alam pikirannya.

d. Kemampuan memberikan dukungan emosional

Kemampuan memberikan dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan komunikasi interpersonal antar dua pribadi. Dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini lahir dari adanya empati dalam diri seseorang.

e. Kemampuan dalam mengatasi konflik

Kemampuan mengataasi konflik meliputi sikap-sikap untuk menyusun strategi penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atau suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru. Menyusun strategi penyelesaian masalah adalah bagaimana individu yang


(57)

bersangkutan merumuskan cara untuk menyelesaikan konflik dengan sebaik-baiknya.


(58)

Blue Print skala Interpersonal Competence adalah sebagai berikut : Tabel 3.

Blue Print skala Interpersonal Competence

No. Aspek Indikator No.Aitem Jumlah Bobot

F UF

1. Kemampuan berinisiatif

1.1 Usaha untuk memulai suatu bentuk hubungan dengan orang lain.

2, 15, 26

22, 24 5 12,5%

2. Kemampuan untuk bersikap terbuka

(self-disclosure)

2.1 menyampaikan informasi yang bersiat pribadi.

3, 7, 16,36

28 5 12.5%

2.2 penghargaan terhadap orang lain.

8, 9, 17,19

35, 39 6 15%

3. Kemampuan bersikap asertif

3.1 mempertahankan pendapat.

1, 40 20, 27 4 10%

3.2 mengekspresikan

keyakinan yang dirasakan dan diinginkan.

14, 21, 37

29, 31 5 12.5%

4. Kemampuan memberikan dukungan emosional

4.1 kemampuan untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada orang lain.

4, 6, 12

30, 33 5 12.5%

5. Kemampuan dalam mengatasi konflik

5.1 menyusun strategi penyelesaian masalah

5, 18, 32

10, 11, 23, 25

7 17.5%

5.2 mempertimbangkan kembali penilaian suatu masalah, mengembangkan konsep harga diri yang baru.

13 34, 38 3 7,5%

Jumlah Total 22 18 40 100%


(59)

2. Skala Peer Relationship

Skala Peer Relationship menggunakan tiga aspek sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Santrock (2008) sebagai berikut:

a. Persahabatan (Friendship) Menurut Coleman (1994) persahabatan adalah rasa kebersamaan dan rasa timbal balik satu sama lain. Sedangkan menurut Baron & Bryne (2006) persahabatan adalah hubungan dimana dua orang menghabiskan waktu bersama, berinteraksi dalam berbagai situasi, dan menyediakan dukungan emosional.

b. Peer Groups (Kelompok Teman Sebaya) Peer Groups adalah sekelompok individu pada usia relatif sama, yang merupakan kelompok sosial yang mengatur langkah untuk bersosialisasi. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka (Santrok, 2003). Santrock juga mengatakan beberapa dari remaja akan melakukan apapun untuk dapat dimasukkan dalam suatu anggota kelompok.

Adapun yang menjadi karakteristik Peer Groups (kelompok teman sebaya) yaitu : i. Tempat dimana Individu merasa nyaman ii. Meningkatkan harga diri individu iii. Memberi individu suatu identitas. iv. Terlibat dalam aktivitas yang sama v. Pergi hang out bersama-sama dengan anggota kelompok vi. Individu mendapatkan sumber penting akan informasi.

c. Hubungan Romantis Connoly & McIsaac (dalam Lerner, R & Steinberg, L . 2009) menyatakan bahwa hubungan romantis pada remaja adalah langkah


(60)

awal menuju suatu hubungan cinta dan komitmen seperti hubungan pada orang dewasa.

Adapun yang menjadi karakteristik hubungan romantis yaitu (Santrok, 2003): i. Pergi jalan bersama dengan teman-teman yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Memikirkan suatu hubungan romantis dengan lawan jenis. iii. Menghabiskan waktu untuk pergi jalan dengan lawan jenis (kencan).


(61)

Blue Print skala Peer Relationship adalah sebagai berikut : Tabel 4.

Blue Print skala Peer Relationship

No. Aspek Indikator No. Aitem Jumlah Bobot

Favorabel Unfavorabel

1. Persahabatan (Friendship)

1.1 Berbagi masalah 1, 38 8, 12 4 10%

1.2 Menerima apa adanya

2, 5, 39 6,7 5 12.5%

1.3 Rasa berharga memiliki sahabat

3, 4, 9 13, 15 5 12.5%

1.4 Saling mendukung secara emosi

10, 11 14 3 7.5%

2. Peer Groups (Kelompok Teman Sebaya) 2.1 Keterlibatan

individu dalam kegiatan kelompok.

16, 17, 18 19, 20 5 12.5%

2.2 Memberikan ide bagi kemajuan kelompok.

21, 22, 23, 27

24, 25, 26 7 17.5%

2.3 Individu merasa nyaman

28, 29, 30 31 4 10%

3. Hubungan romantis

3.1 Memikirkan suatu hubungan romantis

32, 33, 35 34 4 10%

3.2 Menghabiskan waktu membentuk hubungan romantis dengan lawan jenis

37, 40 36 3 7.5%

Jumlah Total 24 16 40 100%

*Rujukan membuat blue print diperoleh dari buku Penyusunan Skala Psikologi, Saifuddin Azwar, 2015.

Untuk menentukan skor terhadap subjek maka ditentukan norma penskoran dengan empat alternatif jawaban. Menurut Arikunto (2006), ada kelemahan dengan lima alternatif jawaban, karena responden cenderung memilih alternatif yang ada di tengah R (ragu-ragu), karena jawaban dirasa paling aman dan paling gampang.


(1)

1. Bagi sekolah

Diharapkan untuk dapat memantau pengembangan hubungan interpersonal competence siswa dilingkup sekolah sehingga dapat berkembang dengan baik .

2. Bagi siswa

Diharapkan untuk dapat memiliki peer relationship yang baik sehingga siswa mampu untuk mengembangkan interpersonal competence. Hal tersebut dapat ditingkatkan melalui kemampuan membuka diri, kemampuan untuk memberikan bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain, empati serta kemampuan mengelola dan mengatasi konflik dengan orang lain, maka peer relationship akan semakin kuat dan berkembang.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya disarankan agar mencermati faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap interpersonal competence seperti tipe kepribadian yang dimiliki seseorang, interaksi dengan orang tua, dan variabel lainnya.


(2)

80

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Muhid. (2012). Analisis Statistik. Sidoarjo: Zifatama. Abu, Ahmadi. (2007). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta

Ahmad Asrori. (2009). Hubungan Kecerdasan Emosi dan Interaksi Teman Sebaya dengan Penyesuaian Sosial Pada Siswa. Lapoan Penelitian. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Ali Muhammad. (2008). Psikologi Remaja. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Amelia, G. (2008). Hubungan Performa Kerja Dengan Kompetensi Interpersonal (Studi Pada Staf Personal Trainer PT. EI). Jurnal Phronesis, 10 (1), 54-75. Aprianti, Indah. (2012). Hubungan antara Perceived Social Support dan

Psychology Well Being Pada Mahasiswa Perantau Tahun Pertama di Universitas Indonesia. Skripsi. Jakarta; Fakultas Psikologi Program Studi Sarjana Reguler Depok.

Arikunto, S., (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineke Cipta.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur penelitian Suatu Pendekatan praktik. Jakarta: Rineke Cipta.

Atwater, E. (1983). Psychology of Adjusment : “personal growth in changing world” (2nd edition). New Jersey : Prentice Hall.

Azwar, S. (2012). Pedoman Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2013). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Azwar, S. (2015). Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Azwar, S., (2011). Sikap dan Perilaku. Dalam: Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. 2nd ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 3-22.

Azwar, Saifuddin. (1998). Metode penelitian. Yogyakarta. Pustaka pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2003). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, A. Robert, Bryne, Donn, & Branscombe, Nyla R. (2006). Social


(3)

Bierman, & Suchy,S. (2000). Personal Change and Leadership Development: A process of Learning How To Learn. Paper presented to ICTOP Annual

Victoria, Canada. Retrieved From

:http://www.city.ac.uk/ictop/suchy.2000.html. 15 Oktober 2006.

Buhrmester, D., Furman, W., Wittenberg, M.T., & Reis, D. (1998). Five Domain of Interpersonal Competence in Peer Relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 55 (6), 991-1008.

Chickering, Arthur, & Reisser, Linda. Education and Identity. Josey-Bass: San francisco, CA 1993.

Cobb, Nancy. (2007). Adolescence. Continuity, Change and Diversity. McGrawHill International Edition; New York.

Coleman, J.S. (1994). Dasar-dasar Teori Sosial, Edisi Revisi. Nusa Media: Bandung

Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

DeVito, J.A. (1996). The Interpesonal Communications Book. 7 thEdition. New York: Harper Collins College Publishers.

Elsayed-Elkhouly, Sayed M (2001). Core Competency as a Competitive Advantage in Service Operations Management: A Comparative Study. Source: Global Competitiveness American Society for Competitiveness. Http//www.accessmyalibarary.com/com2/browse_JJ_G07

Foubert, J.D. Grainger, L. U. .(2006). Effects of Involvement in Clubs and Organizations on the Psychosocial Development of First-Year and Senior College Students. NASPA Journal, 2006, Vol. 43, no. 1. Pp. 166-182 Fuligni, A.J., Eccles, J.S., Barber, B.L., and Clements, P. (2001). Early

Adolescence Peer Orientation and Adjustment during High Schools. Developmental Psychology. 37(1) 28-36.

Ghozali, Imam. (2001). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Golson, H. L. (2006). The I-Competencies and Leadership. Retrieved April, 28,

2007. From http://www.management

psychology.com/Articles/ICompetencies.html

Gottman, J. & Declaire, J. (1977). Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Penterjemah Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


(4)

Handfield, R. (2006). Faith in the Moral Integrity of Others. http://www.careersuperstar.com/interpersonal_competence/

Hurlock, E. B. (2000). Psikologi Perkembangan : suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan (terjemahan: Istiwidayati). Jakarta: Erlangga.

Jerving, J. (2001). Managing Through Motivation. e-book: a summary of M35. Managing . Condensed from Management Enrichment Training Program (MERIT) module M35 Managing Through Motivation, published by CUNA’s Center for Professional. www.cuna.org.

Kartono, K. & Gulo, D. (1987). Kamus Psikologi. Bandung: Pionei Jaya.

Kramer, L., & Gottman, J. M. (1992). Becoming A Sibling: With A Little Help From Friends.Journal Of Developmental Psychology, 28, 685-699.

Lerner, Richard & Steinberg, Laurence. (2009). Handbook of Adolescent Psychology Secend Edition. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey

Lunandi, A.G. (1987). Komunikasi Mengena: Meningkatkan Afektifitas Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius.

Maksudin. (2008). Pendidikan Nilai Sistem Boarding School di SMP IT Abu Bakar, Disertasi. Yogyakarta : Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

McGaha, V. & Fitzpatrick, J. (2005). Personal and social contributors to dropout risk for undergraduate students. College Student Journal, June, 2005. http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m0FCR/is_2_39/ai_n14703156/ pg_7

Monk,F.J Knoers, A.M.P. Haditono. (1994). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Mussen, P.H., Conger, J.J., Kagan, J. (1979). Child Development and Personality. Fifth Edition. New York: Harper & Row, Publishers, Inc.

Musser, L. M. & Graziano, W.G. (1991). Behavioral Confirmation in Children's Interactions With Peers. Basic and Aplied Social Psychology, 12(4), 441-456. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Nashori, F. (2008). Psikologi Sosial Islami. Bandung: PT Refika Aditama.

Noor, Juliansyah. (2011). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana

Notoatmodjo , S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.


(5)

Pearlman, D. & Cosby, P. C. (1983). Social Psychology. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Qomar, Mujamil, (2007), Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga

Rubin, K., Bukowski, W. M., & Laursen. B., (2009). Handbook of Peer Interactions, Relationships, and Groups Social, Emotional, and Personality Development in Context. London : The Guilford Press.

Santoso, Singgih. (2002). Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Santrock, J W. (2003). Adolescence. 6th edition. Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga

Santrock, J W. (2009). Life Span Development, (12th ed). New York : McGrawHill. International Edition.

Santrock, J. W. (2006). Human Adjustment . University Of Texas at Dallas. Mc Graw Hill Companies.

Santrock, J.W. (2007). Psikologi Pendidikan (edisi kedua). (Penerj. Tri Wibowo B.S). Jakarta: Kencana.

Sears, D. O. , Freedman, J.L., & Peplau, L. A. (1991). Psikologi Sosial. Terjemahan M. Adryanto & S. Sokresno. Jakarta: Airlangga.

Stephenmarks. (2006). Interpersonal Competence.

http://www.stephenmarks.com/interpersonal-competence.htm Sugiyono, (1997), Statistika Untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta.: 2002), hal. 108

Suharsimi Arikunto. (2008). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi Aksara. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung :

PT Remaja Rosdakarya

Sumadi Suryabrata, (1998). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksplorati dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka Welsh, J.A., and Bierman, K., L. (2006) Social Competence. Retrieved From :

http://www.findarticles.com/p/articles/mi_g2602/is_0004/ai_2602000487/ pg_11). The Pennsylvania State University . 20 Oktober 2006.


(6)

Yioe Ling & A. Dariyo. (2002). “Interaksi sosial di sekolah & harga diri pelajar sekolah menengah umum (SMU)”. Jurnal Phronesis Vol. 4, No. 7. Universitas Tarumanegara : Jakarta.