ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PEMAKSAAN PERJODOHAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN : STUDI KASUS DI DESA MORBATOH KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG.
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI
PEMAKSAAN PERJODOHAN SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN
(Studi Kasus di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang)
SKRIPSI Oleh :
Achmad Farid Fanani NIM. C01208076
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam (Akhwalus Shakhsiyah)
Surabaya
(2)
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi yang ditulis oleh Achmad Farid Fanani NIM. C01208076 ini telah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqasahkan.
Surabaya, 16 Januari 2015 Pembimbing
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang ditulis oleh Achmad Farid Fanani NIM. C01208076 ini telah dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya pada hari Rabu, tanggal 01 juli 2015, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam Ilmu Syariah.
Majelis Munaqasah Skripsi
(4)
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ahmad Farid Fanani
NIM : C01208076
Fakultas/Jurusan : Syariah dan Hukum/Akhwalus Shakhsiyah
Judul Skripsi : Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemaksaan
Perjodohan Sebagai Alasan Perceraian;Studi Kasus di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, 29 Desember 2014 Saya yang menyatakan:
Achmad Farid Fanani NIM. C01208076
(5)
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil analisis penulis dalam melihat fenomena
pemaksaan perjodohan yang sudah membudaya di masyarakat. Salah satu contohnya adalah yang terjadi di Desa Murbatoh, Kec. Banyuates, Kab. Sampang. Pemaksaan perjodohan memang cukup marak. Implikasinya, ada yang menerima perjodohan ini dengan legawa hingga mereka menjalankan bahtera rumah tangga mereka dengan tentram. Namun, tak jarang juga oleh karena pemaksaan ini, mereka mengalami kegagalan dalam mengarungi bahtera kehidupan berkularga. Penelitian ini akan difokuskan pada mereka yang ‘gagal’ menjalin hubungan rumah tangga hingga bercerai di tengah jalan. Dalam konteks ini, peneliti juga ingin menggambarkan bahwa dari sekian banyak alasan perceraian yang ada di masyarakat, faktor dominannya juga dikarenakan oleh perjodohan yang dipaksakan oleh orang tua mereka.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Jenis penelitian ini kualitatif
deskriptif, dan akan menggunakan tekhnik-tekhnik penggalian data kualitatitif, seperti wawancara, dokumentasi, dan observasi. Analisis pada penelitian ini adalah conten-analisis, yang dilalui menggunakan logikan deduktif.
Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa:1)Pemaksaan perjodohan di
Desa Murbatah, Kec. Banyuates, Sampang merupakan tradisi dan budaya yang secara turun termurun ada. Dan, bisa dikategorikan haram hukumnya, apabila si anak tersebut melakukan penolakan dalam proses perjodohan. Selama itu tidak terjadi maka hukum tetap makruh. 2) Secara hukum Islam, khususnya dalam KHI, tidak mengenal pemaksaan perjodohan sebagai alasan perceraian. Namun, jika melihat subjektifitas penelitian ini semuanya menyatakan bahwa mereka bercerai karena proses perjodohan yang dipaksakan. Berdasarkan hasil peneliti merekomendasikan 1) Perlu adanya penyuluhan secara utuh kepada masyarakat tentang hukum pemaksaan pejodohan, agar bisa menanggulangi disharmonisasi yang akan terjadi pasca-pernikahan. 2) Perlu adanya penelitian lanjutan sehingga menambah varian-varian lain dalam mengkodifikasikan alasan orang bercerai, yang kemudian memiliki payung hukum. Hal ini penting karena setiap pasangan suami-isteri memiliki masalah pelik yang tidak bisa selalu sama dengan orang lain.
(6)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Indentifikasi dan Batasan Masalah... 8
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G. Definisi Oprasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 14
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II PEMAKSAAN PERJODOHAN DAN PERNIKAHAN ... 22
A. Terminologi Pemaksaan Perjodohan ... 22
1. Pengertian Pemaksaan Perjodohan ... 22
2. Pemaksaan Perjodohan; Tinjauan Hukum Islam ... 25
3. Perjodohan; Tinjauan Kebudayaan ... 34
B. Perceraian ... 37
1. Pengertian dan dasar hukum perceraian ... 37
2. Alasan-Alasan Perceraian ... 38
(7)
BAB III PEMAKSAAN PERJODOHAN SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN ... 59
A. Pemaksaan Perjodohan Sebagai Alasan Perceraian ... 59
1. Pemaksaan Perjodohan sebagai Alasan Perceraian... 67
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMAKSAAN PERJODOHAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN ... 74
A. Pemaksaan Perjodohan di Desa Murbatoh, Kec. Banyuates, Sampang ... 74
BAB V PENUTUP ... 80
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran-saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
(8)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perjodohan, secara antropologis, merupakan salah satu alat kebudayaan
yang dilalui manusia untuk mencapai pernikahan. Perjodohan adalah pintu awal
dua orang yang berbeda saling mengenal. Di dalam Islam, perjodohan seringkali
diterjemahkan dengan bahasa ‘Khitbah”. Namun, tak jarang juga perjodohan ini
dimaknai sebagai pernikahan/perkawinan itu sendiri. Pasalnya, perjodohan
berbeda dengan proses saling mengenal. Di dalam perjodohan sudah ada
kesepakatan bersama (akad) antara orang satu dengan yang lainnya.
Terlepas dari problem pemaknaan terminologis di atas, perjodohan (baca;
perkawinan). Perjodohan mempunyai tujuan untuk melangsungkan kehidupan
manusia. Untuk memenuhi tujuan tersebut perjodohan itu harus diiringi rasa cinta
antara keduanya sehingga dengan harapan adanya rasa cinta tersebut dapat
menjadi sarana pengikat di antara keduanya. Dengan dasar perjodohan atas suka
sama suka, tanpa dipaksa oleh pihak luar, ini mempunyai jaminan yang lebih
besar terhadap keberlangsungan pernikahan untuk memenuhi tujuan perjodohan
sebagai sarana untuk melangsungkan kehidupan manusia.
Perjodohan yang dipaksakan merupakan persoalan yang konkret, yang
perlu mendapat perhatian pada masyarakat Indonesia. Karena perjodohan yang
dipaksakan merupakan diskursus klasik yang sudah menjadi kritik semua
masyarakat, baik secara sosial dan kebudayaan. Selain itu, umumnya, perjodohan
(9)
2
memenuhi keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia harmonis dalam
menjalankan hak dan kewajiban suami isteri. Meskipun, kalau merujuk pada
ajaran Islam, perjodohan ini tidak melanggar norma yang ada di dalam ajaran
Islam. Bahkan, dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa nabi sempat
menikahkan/menjodohkan seorang muslimah dengan sahabat Nabi dengan mahar
harus hafal al-Quran.
Dalam Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 Pasal 11 disebutkan
bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami isteri yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".1 Perkawinan adalah
ikatan yang kuat dan sejati, yang mempersatukan perasaan, menjalin kehidupan
bersama, menjadikan kehidupan suami isteri berjalan harmonis di atas kasih
sayang, perkawinan adalah wahana yang tepat untuk berbagi dan saling
melimpahkan kasih sayang dengan segenap perasaan yang ada di antara kedua
pasangan.2
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya dan di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berpikir.(QS.ar
Rum : 21).”
1Tim Penyusun, Undang-Undang Perkawinan (Surabaya: Pustaka Tinta Mas), 7.
2 Tim Penyusun, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah (Derektor Jendral Bimbingan Masyarakat
(10)
3
Dari uraian di atas menggambarkan bahwa tujuan dilaksanakannya suatu
perkawinan yaitu untuk menciptakan kehidupan suami isteri yang harmonis dalam
rangka membina keluarga yang sejahtera bahagia sepanjang masa. Setiap
pasangan suami isteri dalam mendambakan agar ikatan lahir batin yang di ikat
dengan akad perkawinan itu semakin kokoh sepanjang hayat di kandung badan.3
Rumah tangga bahagia dan kekal adalah dambaan setiap calon suami isteri
untuk mewujudkan kebahagiaan itu tidaklah mudah, mengingat perkawinan
sebagai suatu ikatan yang mempersatukan dua orang yang berbeda dalam banyak
hal seperti jenis kelamin, jenjang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, dan
lain-lainnya. Hanya dalam mawaddah warohmah perbedaan-perbedaan itu dapat di
satukan, yakni saling pengertian, menghargai dan menjunjung tinggi hak dan
kewajiban.4 Maka untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawadah
warohmah antara suami dan istri komunikasi adalah jalan terbaik menyatukan
perbedaan-perbedaan di antara keduanya.
Adapun perkawinan yang dipaksakan oleh orang tua atau kawin paksa
akan berakibat fatal terhadap perkawinan itu sendiri karena seperti penulis
sampaikan di atas, bahwa pada dasarnya, sebuah perkawinan itu harus
berlandaskan suka sama suka, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Oleh
karena itu, jika sebuah proses perjodohan ini dipaksanakan, tidak menutup
kemungkinan akan berimbas pada proses perceraian atau pelayangan gugat cerai
yang dilakukan oleh pihak suami atau isteri yang dipaksa menikah.
3 Tim Penyusun, Pedoman Konselor Keluarga (Derektor Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Dan Penyelenggaraan Bagi Departemen Agama RI, 2003), 220
4 Moh Arifin, Peneyelesaian Perkara Perceraiaan Di Pengadilan Agama Pasca Berlakunya
Undang-Undang no 7 tahun 1989, (Jurnal Penelitian Walisongo, Volume XII, Nomor 1 tahun 2004)
(11)
4
Secara Yuridis-Formal, di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun
1975 pasal 19 jo Kompilasi Hukum Islam diatur tentang alasan-alasan perceraian
yang dibenarkan oleh hukum di Indonesia. Adapun alasan-alasan perceraian
tersebut adalah :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar di sembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.5
Jika melihat alasan-alasan perceraian dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19
Jo Kompilasi Hukum Islam di atas, maka perceraian karena alasan kawin paksa
belum masuk dalam PP tersebut, begitu juga dalam peraturan positif yang lain.
Padahal, Erlan Naofal mengatakan bahwa saat ini ada banyak perkembangan
(12)
5
alasan orang melayangkan gugatan cerai, baik itu pihak laki-laki atau perempuan.
Dia memberikan contoh yang terjadi di beberapa negara-negara maju;
“Di Belanda dalam pasal 151 NBW baru Tahun 1971 ditetapkan bahwa perceraian dapat diputuskan oleh Pengadilan jika perkawinan itu sudah tidak dapat dirukunkan lagi dan ini adalah sama dengan retaknya rumah
tangga yang tidak dapat diperbaiki lagi (brokendown marriage)...Pihak
suami atau isteri yang mengajukan perceraian kepada Pengadilan harus menunjukkan bukti kepada hakim bahwa rumah tangganya betul-betul telah retak yang tidak dapat diperbaiki lagi. (sama halnya dengan di Inggris). Di Inggris semula menganut asas bahwa perceraian hanya dapat dilakukan oleh Penggugat yang tidak bersalah dan dapat membuktikan kesalahan Tergugat bahwa ia telah melakukan pelanggaran dalam perkawinan. Dalam The Matrimanial Act 1973 ditentukan bahwa gugatan perceraian boleh diajukan ke Pengadilan oleh Pihak suami atau isteri atas
dasar perkawinan yang telah retak (brokendown marriage) yang tidak
dapat diperbaiki lagi.”6
Pendapat Erlan Naofal ini menunjukkan bahwa ada progres perubahan
yuridis yang dilakukan oleh negara-negara maju. Dari kerangka peraturan yang
detail dan spesifik, kemudian dirubah pada norma-norma yang lebih umum,
sehingga faktor dan alasan perceraian tidak perlu dibuktikan berdasarkan
pembuktian yang lebih pelik dan kompleks. Perceraian, jika melihat narasi ilmiah
di atas, berada pada konteks hak preogratif pasangan suami-isteri. Hal yang
dilakukan hakim (judgement) adalah mengupayakan proses mediasi agar kedua
pasangan bisa kumpul dan rukun kembali.
Pandangan yuridis memang membutuhkan interpretasi. Pandangan yuridis
juga hanya berdiri sebagai norma umum (common sense), sedangkan interpretasi
sosial-kebudayaan ada pada aspek pendekatan sosiologis. Maka dari itu, konteks
alasan perceraian secara sosiologis jauh berbeda dari alasan-alasan yang diatur
6 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan beberapa Hukum Keluarga di Beberapa Negara
(13)
6
dalam peraturan di atas. Erna Karim mengatakan bahwa setidaknya ada lima (5)
varian penyebab perceraian; pertama, gagalnya membangun komunikasi yang
baik. Kedua, perselingkuhan dan tidak setia terhadap pasangan. Ketiga, Kekerasan
dalam rumah tangga. Keempat, persoalan ekonomi. Keempat, pernikahan dini.7
Sebagaimana yang sudah diasumsikan penulis, bahwa alasan perceraian sangat
bervariatif. Setidaknya, berdasarkan pada pandangan Erna Karim, persoalan
ekonomi dan pernikahan dini tidak menjadi instrument yuridis yang bisa
menjadikan pasangan suami isteri disahkan perceraiannya oleh hukum.
Berawal dari kerangka berfikir di atas, bahwa adanya perbedaan landasan
normatif dan fenomena-sosiologi terkait perceraian, penulis beranggapan bahwa
perlu adanya pengembangan instrumentasi alasan perceraian yang berasal dari
kehidupan atau realitas sosial, salah satunya adalah pemaksaan perjodohan yang
dilakukan oleh orang tua atau tokoh masyarakat (baca; kiai dalam tradisi jawa).
Secara observasional peneliti melihat fenomena perceraian karena adanya
pemaksaan perjodohan sangat banyak, khususnya di Madura. Rifi Hamdani
menyebut bahwa perjodohan di Madura sudah menjadi tradisi. Ada beberapa
model perjodohan yang seringkali dilakukan di Madura. Pertama, perjodohan
yang dilakukan oleh orang tua. Umumnya, ini dilakukan karena keakraban dan
kekerabatan kedua orang tua mempelai. Kedua, perjodohan yang dilakukan oleh
seorang kiai. Pada konteks ini, menurut Rifi Hamdani, perjodohan dilakukan oleh
kiai kepada santriwan atau santriwatinya.8
7 Erna Karim, Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi. Dalam Ihromi, Bunga Rampai
Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1999), 135.
(14)
7
Selain tradisi perjodohan, ada beberapa dampak pula yang tidak disadari
oleh proses yang dipaksakan ini, salah satunya yang paling banyak adalah
perceraian. Di Desa Murbatah, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang, di
dekat rumah peneliti, selama tahun 2013-2014 ini, sudah ada tiga keluarga yang
bercerai karena pemaksaan perjodohan. Kasus pertama adalah pasangan Mahbub
dan Yana. Kedua mempelai ini dijodohkan oleh salah seorang kiai di desa ini.
Mahbub adalah keponakan Bu Nyai Pondok pesantren tersebut. Sedangkan Yana
adalah santriwati yang sedang menempuh ilmu di pondok tersebut. Selama proses
perjodohan, menurut penjelasan kerabat Yana, Yana ini tidak setuju terhadap
proses perjodohan ini. Namun, orang tuanya yang sangat mengagumi kiai,
memaksakan kehendaknya pada Yana. Akhirnya, pernikahan sakral pun
terlaksana. Di atas pelaminan, Yana menampakkan ketidak mauannya, dan terus
berdampak pada kehidupan selanjutnya. Yana acuh tak acuh pada Mahbub.
Hingga Mahbub mengajukan perceraian terhadap Yana.9
Kasus selanjutnya, pasangan Sulhan dan Misriyah dan Kurdi dan Mutiyah.
Dua pasangan suami isteri ini dijodohkan oleh orang tuanya pada awal 2013 yang
lalu. Hubungan Sulhan dan Misriyah hanya berumur empat bulan. Adapun Kurdi
dan Mutiyah resmi bercerai pada 2014 awal. Menurut kepala KUA Kec.
Banyuates mereka bercerai dikarenakan sudah dari awal tidak ada kesepahaman
tentang membangun keluarga yang baik. Namun, karena dipaksa orang tuanya
mereka mau menikah.10
9 Hasil Observasi Peneliti di Desa Mobatah, Kec. Banyuates
(15)
8
Berdasarkan fenomena masyarakat yang peneliti amati, maka penelitian ini
penulis beri judul Pemaksaan Perjodohan Sebagai Alasan Gugat Cerai; Studi
Kasus di Desa Morbatah Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, adapun masalah yang dapat
diidentifikasi adalah :
1. Persepsi sosiologis tentang perjodohan di masyarakat
2. Pemaksaan perjodohan yang menjadi tradisi masyarakat.
3. Alasan pemaksaan perjodohan kepada anak atau keluarga.
4. Faktor-faktor yang mengakibatkan perceraian secara sosial.
5. Persoalan Perspektif yuridis alasan perceraian
6. Alasan-alasan perceraian pasca proses perjodohan yang dipaksakan.
7. Pertimbangan Hukum Islam tentang pemaksaan perjodohan dan imbas
perceraiannya.
Adapun topik pada batasan masalah penelitian ini akan dibatasi pada
beberapa hal;
1. Perceraian yang hanya disebabkan atau didahului proses pemaksaan
perjodohan oleh keluarga dan Tokoh Masyarakat.
2. Pandangan Hukum Islam, tentang pemaksaan perjodohan.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemaksaan perjodohan di Desa Morbatah Kec. Banyuates Kab.
(16)
9
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemaksaan Perjodohan
sebagai alasan gugat cerai?
D. Kajian Pustaka/Penelitian Terdahulu
Hatijah, “Pengaruh Kawin Paksa terhadap Jumlah Perceraian di Kec.
Modung Kab. Bangkalan”, tahun 2000.11 Penelitian ini merupakan kajian lapangan tentang kawin paksa yang didekati melalui pendekatan kuantitatif.
Dalam kesimpulan akhir penelitiannya, dia menyimpulkan bahwa, ada pengaruh
korelatif kawin paksa terhadap perceraian di Kab. Bangkalan. Meskipun, juga
disimpulkan, pengaruhnya tidak begitu signifikan. Selain itu juga, penelitian ini
berawal dari asumsi yang sama dengan penulis, bahwa di beberapa daerah di
Madura masih ada pandangan adat tentang Kawin Paksa bagi anak perempuan
ataupun laki-laki yang sudah sampai pada masa kawin.
Masrani, “Dampak kawin Paksa di desa Petis Benem Kec. Duduk
Sampean Kab. Gresik”, tahun 2003.12 Penelitian ini adalah kajian lapangan tentang fenomena kawin paksa, khususnya, di Desa Duduk Sampean Kab Gresik.
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini lebih banyak
membicarakan tentang dampak-dampak sosiologis dari proses perkawinan yang
dipaksakan. Dari kesimpulan penelitiannya, dampaknya adalah
ketidakharmonisan di dalam keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, hingga
pada perceraian.
11Hatijah, “Pengaruh Kawin Paksa terhadap Jumlah Perceraian di Kec. Modung Kab. Bangkalan”,
(Skripsi-Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2000)
12 Masrani, “Dampak kawin Paksa di desa Petis Benem Kec. Duduk Sampean Kab. Gresik”
(17)
10
Miftahul Huda, “Kawin Paksa: Ijab Nikah dan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan,” Tahun 2009.13 Penelitian ini berfokus pada kajian kepustakaan
tentang status Ijab Nikah dari proses pemaksaan perkawinan. Dalam
kesimpulannya, Miftahul Huda mengatakan bahwa Ijab Nikah dari perkawinan
yang dipaksakan sah secara hukum Islam. Namun, dia juga tidak menampik, ada
juga pendapat yang menyebut kalau proses ijab nikahnya tidak sah (atau makruh).
Misalnya, pendapat Sayyid Sabiq dan para imam-imam kontemporer lainnya.
Selain membincangkan persoalan ijab nikah, dia juga menganalisasi status anak
yang terlahir dari pernikahan yang dipaksakan. Sebagaimana kesimpulannya, ada
dua status anak hasil dari kawin paksa; yaitu sah dan tidak sah. Sesuai dengan
madzhab yang dipegang sebelum pernikahan.
Nur Anwar, “Studi Analisis terhadap putusan pengadilan agama Gresik No 351/pdt.GS tentang keretakan rumah tangga akibat kawin paksa sebagai alasan perceraian”, Tahun 2005.14 Dibandingkan penelitian sebelumnya, penelitian ini bisa dikatakan lebih spesifik, yakni membahas sebuah putusan
peradilan di Pengadilan Agama Kab. Gresik. Putusan yang menjadi objek
kajiannya adalah putusan No-351/pdt.GS, tentang gugat cerai dari seorang isteri
terhadap suaminya yang proses perkawinan atau pernikahannya diawali proses
pemaksaan. Dalam amar putusannya, pengadilan memutuskan atau mengabulkan
permohonan gugat cerai yang dilayangkan sang isteri. Meskipun dalam
13 Miftahul Huda, “Kawin Paksa: Ijab Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan,” (Skripsi
-Fakultas Syariah dan Hukum STAIN Ponorogo, 2003)
14Nur Anwar, “Studi Analisis terhadap putusan pengadilan agama Gresik No 351/pdt.GS tentang
keretakan rumah tangga akibat kawin paksa sebagai alasan perceraian”, (Skripsi-Fakultas Syariah dan Hukum STAIN Ponorogo, 2009)
(18)
11
pertimbangan hukumnya, pengadilan agama Kab. Gresik, tidak banyak
menyinggung keterpaksaan pernikahan, sebagai landasan perceraian.
Mohammad Mahsun “Keluarga Sakinah sebagai Upaya pencegahan
Penceraian dalam Islam”, tahun 1999.15 Penelitian ini adalah kajian kepustakaan tentang proses membangun keluarga sakinah. Elemen penting yang bisa dijadikan
perbandingan, sehubungan dengan penelitian penulis, adalah untuk membangun
keluarga sakinah pernikahan harus didasari pada ke-ridha-an hati kedua
mempelai. Bukan hanya dikarenakan kepentingan atau kecocokan orang tua kedua
mempelai. Penelitian ini berguna sebagai solusi tidak terjadinya proses perceraian
dalam pernikahan.
Berdasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa penelitian ini adalah pengembangan dari pelbagai sudut
pandang (pardigma) melihat fenomena pemaksaan pernikahan yang ada di
masyarakat. Perbedaanya, penulis mengambil lokasi di Desa Murbata, Kec.
Banyuates, Kab. Sampang. Di sisi lain, penulis juga akan lebih banyak membaca
fenomena ini dari perspektif Hukum Islam (fiqh) dan beberapa kajian sosiologi
hukum lainnya. Termasuk di dalamnya, proses pemaksaan perjodohan sebagai
alasan melayangkan perceraian di peradilan agama.
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendapatkan gambaran adat perjodohan adat perjodohan di Desa
Morbatah Kec. Banyuates Kab. Sampang.
15 Mohammad Mahsun “Keluarga Sakinah sebagai Upaya pencegahan Penceraian dalam Islam”,
(19)
12
2. Untuk mendeskripsikan tinjauan Hukum Islam terhadap Pemaksaan
Perjodohan sebagai alasan perceraian.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Setidaknya penelitian ini akan berguna dalam dua konteks, yakni teoritis
dan praktis. Secara teoritis penelitian ini akan menambah khazanah baru terkait
paradigma baru alasan seorang suami/istri yang menggugat cerai pasangannya,
karena alasan perjodohan yang dipaksakan oleh orang tertentu (baca; orang tua,
keluarga, atau kiai). Sedangkan secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi :
1. Masyarakat luas, sebagai bahan atau literatur tambahan tentang
alasan-alasan seseorang menggugat cerai pasangannya. Khususnya, bagi
pemangku otoritas (KUA) yang ada di Desa Morbatoh Kec. Banyuates
Kab. Sampang.
2. Lembaga tempat penulis menempuh studi, yaitu sebagai kontribusi
pemikiran pada dunia akademika secara umum, dan khususnya,
lingkungan UIN Sunan Ampel Surabaya. Sedikitnya, sebagai penambah
literatur kajian tentang perjodohan dan perceraian.
3. Peneliti; pada dasarnya penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Strata 1 Jurusan Akhwalus Syahsiyah Fakultas
Syariah dan Hukum. Selain itu, hasil dari penelitian ini tentu dapat
memberikan informasi baru yang dapat memperluas wawasan dan
(20)
13
G. Definisi Operasional
1. Pemaksaan Perjodohan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘paksa’ adalah mengerjakan sesuatu yang diharuskan meskipun tidak diinginkan/tidak mau. Sedangkan ‘pemaksaan’ adalah proses atau perbuatan memaksakan
(kehendak). 16 Adapun kata ‘jodoh’ bermakna orang yang cocok menjadi
suami/isteri, pasangan hidup. Sama halnya dengan kata ‘pemaksaan’, kata
perjodohan adalah perihal jodoh, atau menjodohkan (berbentuk kata kerja).17
Dalam konteks yang lain, perjodohan disamakan dengan perkawinan. Maka
tidak salah apabila, secara istilah, perjodohan sering dimaknai suatu
perkawinan yang diatur oleh orang tua, kerabat dekat, atau orang lain yang
dimintai pertimbangan, untuk berpasangan dengan orang pilihan yang juga
sudah ditentukan.18
Hal penting lain, selain pemaknaan etimologis dan terminologis di atas, adalah pembedaan antara penggunaan istilah ‘pemaksaan perjodohan’ dengan ‘kawin paksa’. Pemaksaan perjodohan, adalah wujud transformasi kultural yang ada di masyarakat. Sedangkan, kawin paksa tidak selalu
didominasi oleh pengaruh kultural, melainkan juga faktor-faktor lainnya,
seperti ekonomi, politik, dan kepentingan-kepentingan lainnya.
16 http://kbbi.web.id/paksa
17 http://kbbi.web.id/jodoh
18 Tamar Djaja, Tuntunan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam 2, (Bandung: Al-Ma’arif, 1982),
(21)
14
2. Perceraian
Perceraian berasal dari kata dasar cerai yang bermakna putus, putus
hubungan suami isteri, dan perpecahan.19 Sedangkan dalam ensiklopedi
nasional Indonesia perceraian adalah peristiwa putusnya hubungan suami
isteri yang diatur menurut tata cara yang dilembagakan untuk mengatur hal
itu. Dengan pengertian ini berarti kata talak sama artinya dengan cerai atau
menceraikan, istilah kata talak dan cerai ini pun dalam bahasa Indonesia sudah
umum dipakai oleh masyarakat kita dengan arti yang sama.
Dalam terminologi hukum, perceraian dimasukkan dalam pengaturan
tentang perkawinan. Menurut Pasal 39 UU. No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan disebutkan bahwasanya: Pertama, Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan sidang setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Kedua, Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Ketiga, Tata cara
perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam perundang-undangan
tersendiri.20
H. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
berangkat dari filsafat konstruktivisme yang memandang kenyataan itu
berdimensi jamak, interaktif dan menuntut interpretasi berdasarkan
19 http://kbbi.web.id/cerai
(22)
15
pengalaman sosial. Penelitian kualitatif dapat difungsikan pula untuk
menjawab relevansi suatu konsep terhadap problema masa depan. Selain itu,
Saifudin Azwar mendefinisikan bahwa informasi yang dikumpulkan melalui
penelitian kualitatif semata-mata bersifat deskriptif, sehingga tidak bermaksud
menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.21
Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis faktual dan akurat tentang fakta-fakta serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki. Sedangkan pendekatan penelitian yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis-fenomenologis.
Pendekatan ini, umumnya, digunakan untuk membedah tensi-dialektis yang
terjadi di masyarakat dan struktur kesadaran seseorang terhadap sebuah
fenomena tertentu yang dialami.22
Dalam konteks penelitian ini, jenis dan pendekatan penelitian tersebut
di atas, akan penulis gunakan untuk mendeskripsikan kerangka persepsional
yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya di Desa Morbatah, Kec.
Banyuates, Kab. Sampang. Selanjutnya, melalui pendekatan teori
fenomonelogi-pengetahuan, peneliti akan menggunakan pendekatan ini
sebagai instrumentasi struktural untuk menggali sejauh mana pemahaman para
tokoh masyarakat dan pemangku otoritas struktural terhadap fenomena
pemaksaan perjodohan dan gugat cerai yang terjadi di Desa Morbatah, Kec.
Banyuates, Kab. Sampang
2. Sumber Data
21 Saifudin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 7 22Ibid, 47
(23)
16
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data
diperoleh.23 Menurut Lefland dan Lefland, sumber data yang utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya seperti sumber
data tertulis, foto dan statistik merupakan data tambahan sebagai
pelengkap/penunjang data utama.24 Penentuan sumber data dalam penelitian
ini adalah purposif sampling (sampel yang ditentukan oleh tujuan tertentu).
Maka dari itu, dalam penelitian ini penulis sudah menentukan beberapa subjek
penelitian yang bisa memberikan informasi akurat terhadap problematika yang
peneliti persepsikan sebelumnya.
Dalam tradisi penelitian kualitatif sumber data dibagi menjadi dua;
sumber data primer dan sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer penelitian ini adalah semua hal yang
bersumber langsung dari Desa Morbatah, Kec. Banyuates, Kab. Sampang
sekaligus tinjauan kepustakaan primer, meliputi: 1) Tokoh Masyarakat di
Desa Morbatah, Kec. Banyuates, Kab. Sampang; 2) Pelaku penjodohan di
Desa Morbatah, Kec. Banyuates, Kab. Sampang 3) Kepala Kantor Urusan
Agama Kec. Banyuates 4) dan beberapa literatur yang berhubungan
langsung dalam konteks penelitian ini, seperti KHI, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia (Amir Syarifudin), dan Fiqh Sunnah (Sayyid Sabiq).
23 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,
1993), 102.
(24)
17
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dapat mendukung keabsahan data
primer. Dalam konteks penelitian ini, data sekunder berupa; 1) feild-note
research yang dilakukan penulis secara observasional di lapangan. 2) data
kliping media masa tentang perjodohan. 3) dokumentasi penyuluhan
tentang perjodohan di Desa Morbatah, Kec. Banyuates, Kab. Sampang.
3. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar
untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Penggunaan teknik dan alat
pengumpulan data yang tepat memungkinkan mendapat data yang objektif.
Untukmemperoleh data yang tepat, penelitian ini menggunakan beberapa
metode penggalian data yaitu:
a. Observasi
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tehnik
participant-observation untuk mengamati secara langsung keadaan di di Desa
Morbatah, Kec. Banyuates, Kab. Sampang, yang erat kaitannya dengan
fenomena sosial perjodohan dan perceraian yang terjadi. Secara
teoritik, hal yang bisa dicapai dalam melakukan kegiatan observasional
adalah proses pencatatan pola perilaku seseorang atau kejadian yang
sistematis tanpa melalui komunikasi dengan seseorang yang diteliti.25
Ada dua tehnik observasi pada penelitian lingkungan sosial yaitu:
25 Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis (Yogyakarta: BPFE,
(25)
18
1) Participant-Observation. Dalam melakukan observasi, peneliti ikut terlibat dan berdomisili di Desa Morbatah, Kec. Banyuates, Kab.
Sampang. Untuk merangkai fenomena-fenomena perjodohan yang
ada.
2) Non-Participant Observation. Dalam melakukan observasi peneliti
tidak ikut terlibat secara langsung pada lingkungan masyarakat.26
Untuk teknik yang kedua ini penulis hanya memaparkannya, oleh
karena tidak menjadi bagian dari proses penelitian ini.
b. Wawancara
Tehnik wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan
cara berkomunikasi verbal secara langsung yaitu melalui tanya jawab
dengan responden atau informan.27 Wawancara dapat berfungsi
deskriptif yaitu untuk melukiskan kenyataan yang dialami oleh orang
lain, sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih objektif tentang
masalah yang diteliti, selain itu dapat berfungsi studi eksploratif yaitu
apabila masalah yang kita teliti masih samar-samar karena belum
pernah diselidiki secara mendalam oleh orang lain.28
Wawancara pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu:
1) Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menerapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan digunakan.
Wawancara ini dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang telah
26 Ibid 159.
27 Soeratno, Metodologi Penelitian Ekonomi dan bisnis (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1995). 92. 28 Nasution, Metode Research (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 114-115.
(26)
19
disusun terlebih dahulu sebelum diajukan pada narasumber.
Wawancara terstruktur ini digunakan untuk menggali data antara
lain: fenomena perjodohan, alasan-alasan perceraian, dan beberapa
hal lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
2) Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang
pertanyaannya tidak disusun terlebih dahulu.29 Dalam penelitian ini
wawancara tidak terstruktur dilakukan peneliti pada saat mengikuti
kegiatan-kegiatan masyarakat di Desa Morbatah, Kec. Banyuates,
Kab. Sampang.
3) Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah kegiatan mencari data mengenai
hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.30 Metode ini penulis
gunakan untuk memperoleh data tentang profil desa situasi sosial,
norma dan nilai-nilai yang dianut, serta ketaatan terhadap aturan
hukum Islam yang ada di dalam masyarakat.
4. Analisis Data
Karena dalam penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif, maka untuk
menganalisa data (baik dari literatur maupun hasil penelitian) akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif yaitu suatu analisa yang menggambarkan obyek penelitian dengan didukung data yang bersifat
29 Burhan Bungin¸ Metodologi penelitian kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 109. 30 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian 206.
(27)
20
kualitatif atau uraian kata-kata atau kalimat. Dalam analisa data ini penulis menggunakan pola berfikir deduktif dan induktif.
Deduktif adalah suatu cara berfikir yang bertolak dari pernyataan yang
bersifat umum ke pernyataan yang bersifat khusus dengan memakai kaidah logika tertentu. Dalam teknis penelitian ini, untuk memperoleh deskriptif secara jelas penulis berangkat dari sebuah konsep umum, kemudian ditarik pada deskripsi khusus.31
Induktif yaitu suatu analisa yang berangkat dari fakta-fakta yang bersifat
khusus, peristiwa – peristiwa yang kongkret kemudian dari fakta-fakta khusus dan peristiwa kongkrit tersebut ditarik suatu generalisasi atau kesimpulan yang bersifat umum.32 Dalam menganalisa penulis juga menggunakan metode
reflective thinking yaitu pengkombinasian yang jitu dari dua cara deduktif dan induktif. Metode ini penulis menggunakan dua metode tersebut secara bergantian antara kutub-kutub induksi dan deduksi serta setiap informasi yang telah diperoleh akan dianalisis masalah demi masalah untuk mengambil suatu
kesimpulan.33
5. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan pada tulisan ini, dapat di gambarkan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan: Dalam bab ini penulis mengemukakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, dan dirangkai dengan sistematika pembahasan.
31 Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, 22.
32 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Office, 1995), 42. 33 Ibid, 45
(28)
21
Bab II Landasan Teori akan membahas tentang pengertian pemaksaan perjodohan, pemaksaan perjodohan dalam perspektif Hukum Islam, pemaksaan perjodohan dalam pandangan Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kebudayaan Perjodohan, Pengertian Perceraian, Alasan Perceraian, dan dampak perceraian
BAB III; Penyajian data yang berisikan tentang Hasil Penelitian: Bab ini melaporkan tentang Gambaran umum obyek penelitian.
Bab IV Analisis Data Penelitian: Bab ini melaporkan tentang pembahasan utama sesuai dengan rumusan masalah.
Bab V Penutup: Sebagai bab terakhir, bab ini berisi tentang
kesimpulan dari skripsi dan saran-saran dari penulis untuk
(29)
22
BAB II
PEMAKSAAN PERJODOHAN DAN PERNIKAHAN A. Terminologi Pemaksaan Perjodohan
1. Pengertian Pemaksaan Perjodohan
Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat
dalam menikah. Tak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau
sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa
hendaknya seorang Muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik
agamanya, begitu pula sebaliknya.
Pernikahan melalui perjodohan ini sudah lama usianya. Di zaman
Rasul saw pun pernah terjadi. Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak
dijodohkan dan dinikahkan oleh ayahnya dengan Rasulullah saw. Setelah
baligh, barulah Ummul Mukminin Aisyah tinggal bersama Rasul saw.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, seorang sahabat meminta kepada
Rasul saw agar dinikahkan dengan seorang Muslimah. Akhirnya, ia pun
dinikahkan dengan dengan mahar hafalan al-Quran. Dalam konteks ini,
Rasul saw yang menikahkan pasangan sahabat ini berdasarkan permintaan
dari sahabat laki-laki. Meskipun didasarkan pada permintaan, perintah
pernikahan datang dari orang lain, yaitu Rasul saw. Tentu saja dengan
persetujuan dari mempelai perempuan.
Ringkasnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk
menikahkan. Orang tua dapat menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya
(30)
23
diselenggarakan, didasarkan pada keridhaan masing-masing pihak, bukan
keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika
terus berlanjut, akan mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Di beberapa daerah, antara pernikahan paksa dan perjodohan paksa
memiliki konotasi yang berbeda. Perjodohan identik dengan status dimana
antara laki-laki perempuan memiliki status hubungan semi kekeluargaan
yang saling terkait namun belum dalam ikatan perkawinan, istilahnya
adalah pertunangan. Pertunangan tersebut adalah hubungan atau status
pengikat yang nantinya akan dibawa kepintu pernikahan, atau bisa jadi
batal dikarenakan statusnya rusak yang disebabkan oleh berbagai motiv.
Dalam status hubungan ini juga bisa terjadi pemaksaan yang dilakukan
oleh beberapa oknum agar laki-laki dan perempuan menjalani status
hubungan pertunangan ini. Sedangkan pernikahan paksa adalah
sebagaimana memaksakan seseorang untuk menikah, dan atau menikahi
seseorang, bahkan tanpa adanya proses perjodohan terlebih dahulu.34
Perjodohan yang dilakukan orang tua untuk anak, hanyalah salah
satu jalan untuk menikahkan anaknya itu dengan seseorang yang dianggap
tepat menurut mereka. Padahal tepat menurut orang tua belum tentu tepat
menurut sang anak. Orang tua boleh-boleh saja menjodohkan anaknya
dengan orang lain, tapi hendaknya tetap meminta izin dan persetujuan dari
anaknya, agar pernikahan yang dilaksanakan nantinya berjalan atas
keridhoan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Karena pernikahan
34 Sarjono Sutomo, Pernikahan Dalam Adat; Telaah Pernikahan adat Madura, (Surabaya: Enja
(31)
24
yang dibangun di atas dasar keterpaksaan adalah haram hukumnya, dan
jika terus berlanjut, hanya akan mengganggu keharmonisan dalam
berumah tangga anaknya kelak.
Pada konteks global ada beberapa aspek yang sama antara
pemaksaan pernikahan dengan perjodohan, yaitu pilihan yang dicarikan
atau diberikan orang tua atau kerabat. Pilihan ini berasusmsikan pada
pandangan bahwa anaknya kelak akan bahagia jika di jodohkan dengan
orang tersebut disebabkan orang tersebut memiliki kelebihan dibanding
dirinya, seperti harta, kekuasaan, kehormatan dan lain sebagainya. Oleh
karenanya seorang anak dipaksa untuk dijodohkan dan akhirnya menikah
dengan seseorang tersebut karena impian tersebut.
Sedangkan pernikahan paksa, ada beberapa aspek yang
mangharuskan seseorang dipaksa menikah diantaranya karena kecelakaan
(insiden) artinya mereka yang terpaksa nikah karena terlanjur melakukan
hubungan intim lebih dulu yang akhirnya berbuntut kehamilan diluar
nikah dan nikah paksa murni atas kehendak orang tua tanpa melibatkan
persetujuan anak terlebih dahulu dalam hal ini anak tidak bisa ikut andil
memilih dan menentukan dengan siapa seorang anak akan menikah, serta
masih banyak faktor lain yang melatarinya.
Seperti halnya perceraian dalam pernikahan, perjodohan juga
memiliki kondisi terputusnya hubungan atau rusaknya hubungan kedua
pihak yang dijodohkan, namun tidak seperti perceraian yang berimplikasi
(32)
25
tersebut tidak ada aspek halal, haram atau makruh, tidak juga sah atau
tidak sah menurut hukum positif, hanya saja memiliki dampak psikologis
yang negatif, seperti malu, atau tekanan yang berlebih dari orang tua dan
kerabat yang menjodohkannya.
2. Pemaksaan Perjodohan; Tinjauan Hukum Islam
Pemaksaan dalam bahasa arab adalah Ijbar. Kata ijbar berawal dari
kata ajbara-yujbiru ijbaaran. Kata ini memiliki arti yang sama dengan
akraha, argha- ma, dan alzama qahran wa qasran. Artinya pemaksaan
atau mengharuskan dengan cara memaksa dan keras. Mengenai kawin
paksa (ijbar), sebenarnya sudah menjadi polemik klasik dalam khazanah
Islam. Para ahli fiqh berbeda menyikapinya. Sebut saja, Syafi’i, Malik,
Ahmad, Ishaq dan Abi Laila.
Mereka menetapkan hak ijbar berdasarkan sebuah hadis Nabi
Muhammad saw :
ولاق . ْاتْست تح ْ بلْا ح ْ ت ا . م ْاتْست تح مياْا ح ْ ت ا
ل ْوسراي :ا
,
: را ب(."ت ْستْنا: اق ؟ ا نْ ا فْيك
6315
“Janda, tidak boleh dinikahi sampai diminta persetujuannya. Anak gadis tidak boleh dinikahi sampai diminta izinnya”. Para Sahabat bertanya, “Bagaimana izinnya?” Jawab Rasul, “Anak gadis itu dengan
diamnya”. (HR. Bukhari-Muslim).35
Kelompok ini memandang yang harus dimintai izin adalah janda,
bukan gadis. Sebab hadis ini membedakan antara janda dan gadis.
(33)
26
Berdasarkan sebuah hadis riwayat Muslim, janda lebih berhak terhadap
dirinya sendiri ketimbang walinya (ahaqqu binafsiha min waliyyiha).
Dengan demikian, ia harus dimintai persetujuan. Ada- pun pernikahan
yang dipaksakan terhadap dirinya hukumnya batal. Sebaliknya untuk
gadis, justru walinya yang lebih berhak. Sehingga wali tidak harus
meminta persetujuan untuk menikahkan si gadis.36
Imam Syafi’i menilai meminta persetujuan seorang gadis bukan
perintah wajib (amru ikhtiyarin la fardlin). Sebab dalam hadis ini janda
dan gadis dibedakan. Sehinga pernikahan gadis yang dipaksakan tanpa
izinnya sah-sah saja. Sebab jika sang ayah tidak dapat menikahkan tanpa
izin si gadis, maka seakan-akan gadis tidak ada bedanya dengan janda.
Padahal jelas sekali hadis ini membedakan antara janda dan gadis.
Janda harus menegaskan secara jelas dalam memberikan izin. Sementara,
seorang gadis cukup dengan diam saja.37
Namun, Syafi’i dan ulama yang lain, menetapkan hak ijbar bagi seorang wali atas dasar kasih sayangnya yang begitu dalam terhadap putrinya itu. Karenanya, Syafi’i hanya memberikan hak ijbar kepada ayah semata. Walau dalam perkembangan selanjutnya, Ashab (sahabat- sahabat) Syafi’i memodifikasi konsep ini dengan mem- berikan hak ijbar juga pada
kakek.38
Seorang ayah dipersonifikasikan sebagai sosok yang begitu peduli
pada kebahagiaan anak gadisnya. Sebab sang gadis belum berpengalaman
36 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, (Beirut: 1989) Juz 7, 209. 37 Muhammad Idris al-Syafi’I, al-Um, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, (Beirut Libanon, tt. Juz 3) 18. 38 Ibid., 20.
(34)
27
hidup berumah tangga, disamping biasanya ia pun malu untuk mencari
pasangan sendiri, para ulama mencoba memberi sarana bagi ayah untuk
membantu buah hatinya itu.
Oleh karenanya, kalangan Syafi’iyah membuat rambu- rambu
berlapis bagi kebolehan hak ijbar. Antara lain, pertama, harus tidak ada
kebencian yang nyata antara anak dan ayah. Ijbar harus dilakukan dengan
dasar kasih sayang. Kedua, ayah harus menikahkan si gadis dengan lelaki
yang serasi (kufu’). Ketiga, calon suami harus mampu memberi
maskawin sepantasnya (mahar mitsil). Keempat, harus tidak ada
kebencian lahir batin antara calon istri dengan calon suami. Kelima, si
gadis tidak dikhawatirkan menikah dengan orang yang akan
membuatnya sengsara setelah berumah tangga, seperti, menikah dengan
orang tua, orang buta, dan lainnya.39
Melihat syarat-syarat ini, sesungguhnya penerapan hak ijbar tidak
bisa dilakukan serampangan. Kalau pun memang konsisten dengan
ketentuan fiqh, bisa dipastikan hampir tidak ada pemaksaan bagi
perempuan untuk menikah baik itu janda maupun gadis. Untuk janda, jelas
semua ulama sepakat akan kemerdekaannya untuk menentukan pasangan hidup. Sedang untuk gadis, meskipun kalangan Syafi’iyah dan ulama lain sepakat, tapi tetap memberikan hak ijbar bagi ayah, namun syarat-syarat
yang dipatok mengesankan tidak ada unsur pemaksaan. Sebab semua
(35)
28
syarat yang diajukan mengacu bagi kemaslahatan semua pihak yang
terlibat dalam pernikahan itu, terutama si gadis.
Di sisi lain, kelompok ulama seperti, Auza’i, Tsauri, Abu Tsaur dan
kalangan Hanafiyah lebih memilih tidak mengakui hak ijbar. Mereka
menggunakan pijakan argumentasi hadis yang juga digunakan
kelompok pembela ijbar. Menurut mereka, lafadz tusta’dzanu
mengandung arti bahwa izin adalah merupakan keharusan (amrun
dlaruriyun) dari anak gadis yang hendak dinikahkan. Oleh sebab itu,
pernikahan yang dilakukan tanpa kerelaan si gadis, hukumnya tidak sah.40
Dari kalangan muta’akhirin, ulama yang berpendapat senada adalah Yusuf al-Qardlawi dan Dr. Ahmad al- Rabashi. Keduanya
mengatakan, bahwa si gadislah yang nanti akan menghadapi pernikahan,
sehingga kerelaan- nya harus betul-betul diperhitungkan. Kesimpulan ini
didukung oleh sebuah hadis:
“Seorang gadis datang mengadu kepada Nabi saw., “Sesungguhnya ayahku menikahkanku dengan sepupuku agar harga dirinya terangkat”. Lalu Nabi menyerahkan persoalan ini kepada si gadis. Kemudian kata gadis itu,“Aku (sebenarnya) menyetujui apa yang ayahku lakukan. Tetapi, yang penting dari pengaduanku ini, aku ingin agar para perempuan tahu bahwa para ayah tidak berhak memaksakan kehendaknya”.41 (HR. Ibnu Majah)
Pandangan ini senada dengan argumen Hanafi yang tidak
menyertakan wali sebagai syarat dalam pernikahan. Yang menjadi patokan
utama dalam pernikahan adalah kerelaan kedua belah pihak (calon suami
dan calon istri), bukan pada wali. Tidak hanya itu, kalangan ulama Hanafi
40 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, (Beirut: 1989), 250. 41 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt., Juz I) 602.
(36)
29
dalam konsep ijbar-nya tidak didasarkan pada status janda ataupun gadis
akan tetapi pada tingkat kedewasaan perempuan. Kalangan Hanafi
mengatakan bahwa baik itu janda ataupun gadis apabila mereka sudah
dewasa maka dia bisa menikahkan dirinya sendiri, sementara apabila
mereka masih anak-anak maka walilah yang berhak menikahkannya.
Alasan ini berawal dari hadis nabi yang mengatakan: “Tusta’maru
al-yatimatu fi nafsiha wala tunkahu al-yatimatu illa biidzniha” (Kerelaan seorang anak perempuan yatim dibutuhan terkait
urusan-urusan yang menyangkut dirinya, dan perempuan itu juga tidak boleh
dinikahkan kecuali atas izinnya).
Oleh karena itu, seorang ayah berada dalam posisi sebagai wali yang tidak berhak untuk memerintahkan, dalam pengertian ‘memaksa’ seorang anak gadis menikah dengan pasangan tertentu.Pendapat senada
dikemukakan oleh Imam Ibnu Taimiyah. Menurutnya, gadis yang sudah
dewasa (baligh) tidak boleh dipaksa oleh siapapun untuk menikah. Hal ini
berdasarkan hadis sahih:
ت ا
ْ
ح
ْا
ا
ي م
ح
ت
ت
ْس
م ْات
.
ا
ت
ْ
ح
ْا
بل
ْ
ح
ت
ت
ْس
ت
ْا
ق .
لا
و
ي :ا
را
س
ْو
ل
,
ك
ْي
ف
ا
ْ ن
ق ؟ ا
ا
ا:
ْن ت
ْس
ت
."
: را ب(
6315
“Anak gadis tidak boleh dinikahkan sebelum diminta izinnya.
Begitu pula seorang janda, hingga ia diminta kerelaannya. Lalu
dikatakan kepada Rasul, “Sesungguhnya anak gadis malu untuk mengatakannya?” Rasul menjawab, “diamnya berarti rela untuk menikah”. )HR. Bukhori).
(37)
30
Dalam redaksi lain, Nabi saw. Berkata: “Ayahnyalah yang harus
meminta izin kepada anaknya”. Alasan lain menurut Ibnu Taimiyah adalah, seorang ayah tidak berhak untuk membelanjakan (tasharruf) harta
anaknya yang sudah dewasa tanpa seizinnya. Sedangkan urusan kemaluan-nya (budl’) lebih utama ketimbang hartakemaluan-nya sendiri. Bagaimana mungkin seorang ayah berhak seenaknya membuat keputusan terkait
dengan kemaluan anaknya itu tanpa kerelaan dan izin sang anak?
Lain halnya dengan pandangan Imam Syafi’i dan Maliki yang menyertakan wali sebagai salah satu syarat dalam akad nikah. Baik Syafi’i ataupun Maliki sama-sama menekankan aspek kegadisan (al-bikarah)
terkait boleh atau tidaknya seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri. Menurut Imam Syafi’i, baik itu gadis yang sudah dewasa ataupun masih anak-anak mereka tidak memiliki izin untuk menikahkan dirinya.
Demikian sebaliknya, seorang janda, sudah dewasa ataupun masih
tergolong anak-anak, tetap memiliki izin untuk menikahkan dirinya. Pendapat Imam Maliki sekalipun ada kesamaan alasan hukum (‘illat) dengan Syafi’i, tapi Maliki berpan- dangan lain tentang janda yang belum dewasa, menurut- nya janda tersebut masih bergantung pada izin walinya,
dia tidak memiliki wewenang untuk menikahkan dirinya. Polemik fiqh ini,
bermuara pada perbedaan penafsiran hadis-hadis Nabi yang mengatakan bahwa “ats- tsayabu ahaqqu binafsiha min waliyyiha” (janda lebih berhak daripada walinya).
(38)
31
Dari keumuman arti lafaz janda (ats-tsayabu) ini, tidak memandang
baik itu janda yang sudah dewasa ataupun belum, dalam pernikahan
mereka lebih berhak menentukan pilihannya sendiri ketimbang walinya.
Dalam hadis lain Nabi juga bersabda: “la tunkahu al-ayyimu hatta
tusta’maru, wala tunkahu al-bikru hatta tusta’dzanu” artinya, perempuan janda tidak boleh dinikahkan hingga ia berkenan terhadap pernikahan itu,
begitupun seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum ia diminta izinnya. Hadis inilah yang dijadikan alasan oleh kalangan Syafi’i khususnya dan imam-imam yang lain, di mana mereka melihat adanya izin
sebagai tanda kerelaan dari mempelai perempuan, baik gadis dan
terlebih lagi janda, merupakan faktor yang sangat prinsip. Dalam hal ini, Imam Syafi’i mengungkapkan sebuah kaidah, “kullu tsuyubah tarfa’u al
-ijbar” (setiap janda menghapus paksaan/ijbar). Sebuah hadis berbunyi:
ع
ْن
خ
ْ
س
ءا
ب ْ
ت
خ
ا
ْا
ا
ْن
ص
را
ي ة
ر
ض
ي
ل
ع
ْ
ْا:ا
بْا
ه ا
ا
ج
ا
ْه
ي
ث
ي
ب
,
ف
ه
ْت
ل
ك
ف
ت ْا
ْت
ر
س
ْو
ل
ص
ل
ع
ْي
ه
س
م
ف
ن
ح ا
ه
: را ب( .
7773
)
“Dari Khansa’ binti Khidam al-Anshariyah. Ayahnya menikahkannya, di mana dirinya adalah seorang janda. Ia pun enggan
terhadap pernikahan itu, Khansa’ lalu mengadukannya kepada
Rasulullah saw. Rasul lalu menolak (membatalkan) pernikahannya
itu”. (HR. Bukhari, no. 4743).
Memberikan persetujuan sebagai syarat adanya kesepakatan
(39)
32
persetujuan secara suka rela tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak.
Rasulullah Saw berasabda :
ع
ْن
ْبا
ن
ع
ب
سا
ا
ر
س
و
ل
ص
ل
ع
ْي
ه
س
م
ق
ا
ثلا
ْي
ب
أ
ح
ق
ل
ْ
س
ا
م
ْن
ل
ي
ا
بلا
ْ
ت
ْس
ت ْأ
م
ْإ
ن
ا
س
تو
ا
(
ا ر
م سم
)
“Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya dan kepada
gadis perawan dimintai persetujuannya dan tanda persetujuannya
adalah diam. (HR. Muslim).”42
Seorang gadis mendatangi Nabi Saw dan memberitahukan bahwa
ayahnya telah menikahkannya dengan anak pamannya, padahal ia tidak
menyukainya, karena itu nabi saw menyarankan masalah ini kepadanaya, ia pun bersabda : “Sebenarnya saya mengajarkan kepada kaum perempuan bahwa seorang ayah tidak boleh memaksakan kehendaknya dalam hal ini.”43
Asas persetujuan dalam pernikahan yang diungkapkan oleh hukum
islam di Indonesia didasarkan pada hukum islam yang menyatakan bahwa
dalam suatu pernikahan terdapat pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu
pihak-pihak yang berhak akan perkawinan tersebut. Dalam asas
persetujuan pernikahan Islam terdapat hak beberapa pihak yaitu :
Yang dimaksud Hak Allah ialah dalam melaksanakan pernikahan
itu harus diindahkan ketentuan Allah, seperti adanya kesanggupan dari
orang-orang yang akan nikah dengan seseorang yang dilarang nikah
dengannya dan sebagainya. Apabila hak Allah ini tidak diindahkan maka
pernikahan menjadi batal.
42 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj., juz 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 403.
(40)
33
Di samping itu ada hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali.
Mengenai hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali ini tersebut dalam
hadits :
ع
ْن
نبا
ع
ب
سا
ا
ر
س
و
ل
ص
ل
ع
هي
س
م
ق
ا
لا
ي م
أ
ح
ق
ب
ْ
س
ا
م
ْن
ل
ي
ا
لا
ْ ب
ت
ْس
ت
مأ
ب
ْ
س
ا
إ ْ
ن
ا
ص
تا
ا
(
ا ر
را بلا
م سم
(
“Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda : “janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis (perawan dimintai persetujuannya, dan persetujuannya adalah diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).”44
Hadits di atas menerangkan bahwa orang-orang yang akan nikah
baik laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak atas pernikahannya,
begitu pula walinya. Akan tetapi orang yang akan nikah lebih besar
haknya dibanding dengan hak walinya dalam pernikahannya itu. Wali
tidak boleh menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang tidak
disukai. Wali berkewajiban meminta pendapat anak perempuannya
mengenai laki yang akan dijodohkan, apakah ia mau menerima
laki-laki itu atau menolaknya.45
Seseorang tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan haknya atau
tidak melaksanakan haknya selama tindakannya itu tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan haknya. Hak ijbar
(memaksa) dalam Islam dimiliki oleh wali mujbir, namun bukan berarti
wali mujbir berhak menjodohkan anaknya tanpa memberikan persetujuan
kepada anaknya.
44 Muhammad Ibn Ismail As-sanani, Subul al-Salam, juz III, kairo: Dar al Turas al arobi, 1980),
hlm.119.
45 Ghazali Mukri, terj. Panduan Fikih Perempuan, karya Yusuf Al Qardhawi, Yogyakarta: Salma
(41)
34
Di dalam Islam, hak ijbar dimaknai sebagai bimbingan atau arahan
seorang wali kepada putrinya untuk menikah dengan pasangan yang
sesuai. Adanya keihlasan, kerelaan dan izin dari seorang anak gadis adalah
hal yang tidak bisa diabaikan, sebab seorang anaklah yang akan menjalani
kehidupan rumah tangga dan waktunya rentang lama
(permanent/muabbad) dan bukan untuk waktu yang sementara (muaqqat).
3. Perjodohan; Tinjauan Kebudayaan
Perjodohan dalam adat Madura lebih dikenal dengan “Perkawinan
keluarga”, dengan cara melakukan perkawinan dengan sesama keluarga besar. Sistem keluarga besar telah menyebabkan tradisi yang turun
temurun, sehingga dominasi perkawinan dalam keluarga didominasi oleh
orang tua. Anak tidak memiliki power untuk menentukan dengan siapa
mereka akan menjalani perkawinan. Unsur-unsur perkawinan meliputi
benda, perilaku, norma dan makna. Benda-benda dalam perkawinan yaitu :
buah kelapa, pisang, bahan makanan (beras, gula, minyak tanah),
seperangkat alat sholat (mukena, al-Quran, sajadah), seperangkat pakaian
dan alat kecantikan.
Perilaku perkawinan dengan cara pihak laki-laki menghantarkan
barang kepada pihak perempuan, upacara penyerahan, permintaan dan
penerimaan, penentuan perkawinan, upacara akad nikah, resepsi
perkawinan, dan sungkeman, serta anjang sana kepada keluarga besar.
Pernikahan keluarga mengandung norma-norma sebagai berikut:46
(42)
35
a. Tidak boleh menerima tawaran orang lain kalau sudah diikat/dilamar,
b. Segala pemberian harus dipakai sendiri oleh calon penganten
perempuan
c. Menambah erat ikatan keluarga besar,
d. Membangun kekuatan/kekuasaan di masyarakat melalui ikatan
keluarga,
e. Menyambung ikatan keluarga.
Makna yang terkandung didalamnya, yaitu nilai tanggung jawab,
mempersatukan dua keluarga besar, silaturrahmi, menjalankan sunnah
rasul, memperbanyak keturunan, dan memperluas kekuasaan dan pengaruh
di masyarakatnya.
Simbol-simbol yang digunakan, memakai cincin lamaran sebagai
tanda bahwa terikat dengan seseorang dan tidak boleh menerima tawaran
orang lain. Simbol menghias penganten, kamar penganten ditempatkan
dikamar tengah, dengan indah menunjukkan bahwa ada sakralitas sebagai
raja dan ratu dalam resepsi tersebut.
Upacara akad nikah di masjid sebagai tempat ritual agama yang
tinggi kedudukannya karena mengadakan perjanjian suci kepada Allah dan
disaksikan oleh keluarga dan masyarakat. Setelah itu acara sungkeman
kepada orang tua sebagai cara penghormatan yang tulus dan hormat,
kemudia orang tua membawa keliling penganten ke hadapan para tamu
(43)
36
Ada nilai dehumanisasi yang bersistem kekerasan, apabila anak
atau penganten yang dijodohkan oleh orang tua tersebut belum tentu
mendapat persetujuan oleh anak. Apabila terjadi keretakan hubungan
dalam perjalanan hidupnya, maka akan terjadi segregasi sosial antara
keluarga, misalnya putusnya hubungan keluarga, dan berakhir dengan
permusuhan. Dalam intensitas yang tinggi, maka terjadi kekerasan seperti budaya “carok” akibat harga dirinya dihina. Persoalan keretakan keluarga akibat ketidakharmonisan hubungan mengancam hubungan keluarga
besar.47
Mengambil ilustrasi dari perkawinan keluarga adat Madura dari,
unsur-unsur local culture berupa mata pencaharian dengan kepercayaan
bahwa pernikahan itu akan meningkatkan ekonomi keluarga. Ekonomi
orang yang berkeluarga akan semakin kokoh karena ada nilai tanggung
jawab. Pesta merupakan simbol untuk mengerti kekuatan keluarga, dan
ritual untuk membaca doa syukur dan dimensi sosial, bahwa pasangan
tersebut sudah ada yang punya.
Alat perlengkapan dalam keseluruhan penikahan merupakan
sesuatu yang harus dipenuhi, dan diyakini akan mengekalkan hubungan
pernikahan mereka. Seperti seperangkat alat sholat harus lengkap untuk
mengingatkan agar, taat beragama dan menjalankan ibadah solat. Didalam
pernikahan keluarga terdiri dari serangklaian orang yang terorganisasi
melalui ikatan perkawinan.
47Ibid., 68.
(44)
37
Dengan adanya pernikahan tersebut maka akan menambah jumlah
anggota keluarga baru yang terjalin dalam kekerabatan. Pernikahan
keluarga juga mengembangkan sistem bahasa Madura dan bahasa daerah
yang lain. Sistem pengetahuan yang ada didalam pernikahan keluarga
adalah saling kenal mengenal dan memahami karakter masing-masing
pasangan, dari perkawinan tersebut mempertemukan adat dan suku yang
berbeda sehingga memperoleh kehidupan yang baru.
B. Perceraian
1. Pengertian dan dasar hukum perceraian
Percerian berasal dari kata cerai, yang berarti pisah dan talak,
sedangkan kata talak sema dengan cerai, kata mentalak berarti
menceraikan.48 Sedangkan dalam ensiklopedi nasional indonesia
perceraian adalah peristiwa putusnya hubungan suami istri yang di atur
menurut tata cara yang di lembagakan untuk mengatur hal itu.49 Dengan
pengertian ini berarti kata talak sama artinya dengan cerai atau
menceraikan, istilah kata talak dan cerai ini pun dalam bahasa indonesia
sudah umum di pakai oleh masyarakat kita dengan arti yang sama.
2. Alasan-Alasan Perceraian
a. Alasan perceraian menurut hukum.
Para ulama menyepakati bahwa perceraian tanpa alasan haram
hukumnya. Tetapi walaupun begitu al-Qur’an tidak menentukan
48 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum, (Jakarta: BN Balai Pustaka), 200.
(45)
38
secara jelas keharusan suami mengemukakan alasan-alasannya yang
dapat digunakan sebagai alasan untuk bercerai.
Adapun hal-hal yang dapat diajukan sebagai alasan perceraian,
terurai dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan jo PP No 9 Tahun 1975, pelaksana
Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 19, KHI pasal 116 yaitu:
1) Salah satu pihak tersebut zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Jika suami atau isteri itu
ternyata mempunyai kebiasaan yang sangat betentangan dengan
agama, maka hal itu boleh dijadikan alsan untuk melepaskan
ikatan perkawinan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya. Maksudnya jika suami atau
isteri itu pergi tanpa izin dan tanpa memberikan alasan serta tidak
memberi kabar selama kepergiannya itu, maka perceraian boleh
diajukan.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang boleh berat setelah perkawinan berlangsung.
Maksudnya jika suami atau isteri itu dipenjara lima tahun atau
mendapat hukuman yang berat maka pihak yang ditinggalkan jika
merasa terbebani dan tidak kuat selama masa menjalani hukuman
(46)
39
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain. Maksudnya antara suami dan
isteri sering melakukan kekerasan secara fisik sehingga
mengganggu ketentraman dan kedamaian dalam rumah tangga.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau
isteri. Maksudnya antara suami atau isteri mempunyai kelainan
dalam melakukan hubungan suami isteri atau memiliki penyakit
yang parah dan sulit disembuhkan sehingga kewajiban dalam
rumah tangga tidak berjalan.
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Maksud dari percekcokan ini adalah antara suami dan isteri sering
bertengkar dalam kesehariannnya yang dapat mengganggu
ketentraman rumah tangga.
Alasan-alasan di atas merupakan alternatif, pemohon atau
penggugat dapat memilih salah satu dari alasan-alasan tersebut yang
sesuai dengan faktanya saja. Dalam persidangan salah satu alasan saja
yang dapat dibuktikan oleh pemohon atau penggugat dan dapat
meyakinkan hakim, sudah cukup menjadi dasar bagi hakim untuk
(47)
40
b. Alasan perceraian di dalam Masyarakat
Perceraian menjadi salah satu hal yang dianggap biasa di zaman
sekarang ini, ada banyak faktor yang melatarbelakangi sebuah
perceraian. Yang pada umumnya pihak pasangan yang bercerai lebih sering menyebutnya dengan alasan “ketidakcocokan”. Padahal, semua individu tentu terlahir memiliki sifat yang berbeda dengan individu
lain, kekurangan dan kelebihan pasangan seharusnya menjadi sebuah
pelajaran untuk menjadi manusia lebih dewasa, lebih baik dan
bijaksana, seiring bertambahnya usia perkawinan. Faktor penyebab
perceraian yang sering terjadi di masyarakat kita, menurut pendapat
dari para ahli, di antaranya:50
1) Kurang komunikasi
Penyebab utama hancurnya suatu hubungan rumahtangga
disebabkan oleh buruknya jalinan komunikasi antar pasangan. Jika
hal ini terjadi maka akan mudah timbul salah paham antar
keduanya. Kesalahpahaman menjadi kunci utama terjadinya
pertengkaran yang bisa berakibat buruk dalam rumah tangga.
Masalah kurangnya komunikasi rentan terjadi pada kasus
perkawinan campur (dengan warga asing) , pernikahan beda
agama, pernikahan beda kultur.
2) Merasa diabaikan
(48)
41
Perhatian yang tidak didapatkan dari pasangan membuat
jurang pemisah semakin lebar, hal inilah yang ditengarai menjadi
salah satu faktor penting terhadap terjadinya kegagalan dalam
suatu hubungan. Oleh karena itu, jika tidak ingin bahtera rumah
tangga kita mengalami kehancuran, mulailah untuk saling
memberikan perhatian pada pasangan masing-masing. Walaupun
Anda berdua atau pasangan Anda atau Anda yang terlalu sibuk
dengan urusan pekerjaan/kantor, namun berusahalah tetap menjaga
romantisme dalam rumahtangga Anda dan pentingnya
kebersamaan keluarga.
3) Perkataan kasar (intimidasi)
Perkataan kasar / tabiat kasar saat berbicara yang sering
dilontarkan pasangan sering membuat merasa tidak dihargai oleh
pasangan, selain dua hal di atas, alasan ini menjadi penyebab
utama terjadinya kehancuran dalam rumah tangga. Apalagi jika
ditambah dengan ancaman / intimidasi dari pasangan. Jelas, cara
tersebut tidak dibenarkan dan malah menanamkan kebencian dalam
hati pasangan. Sebaiknya, hindari kemarahan yang meledak-ledak.
Lebih baik diam, saling berintropeksi dan memohon petunjukNya
saat Anda/pasangan benar-benar marah besar. Saat sudah tenang,
bicarakan semua permasalahan dengan baik dan tutur kata yang
(49)
42
mendengar dan melaksanakan dengan senang hati apa yang
menjadi harapan Anda/pasangan.
4) Saling curiga ( saling tidak percaya)
Rasa saling curiga biasanya hadir ketika tidak adanya
jalinan komunikasi yang baik antar kedua pasangan, buruknya
komunikasi akan memicu berbagai permasalahan di masa yang
akan datang. Jika pasangan suami isteri sudah tidak saling
mempercayai, bagaimana rumahtangga akan berjalan mulus tanpa
keributan?
5) KDRT
Di Indonesia, kekerasan fisik (KDRT / kekerasan dalam
rumahtangga) merupakan hal yang paling sering dijadikan alasan
seseorang dalam mengajukan gugatan perceraian. Meskipun sudah
dilarang oleh negara, namun kekerasan fisik masih banyak terjadi.
Sebelum menyakiti pasangan kita, sebaiknya ingat kepada Tuhan
atas tanggungjawab yang seharusnya kita jalani terhadap
pernikahan, tidak boleh saling menyakiti.
6) Masalah finansial
Masalah finansial keluarga dapat menjadi pemicu
terjadinya konflik dalam rumah tangga, meskipun jarang yang
menggunakan alasan ini saat ia mengajukan gugatan perceraian.
(1)
77
tersebut bisa dikategorikan haram. Apabila pada proses lanjutannya ada
penolakan yang ditunjukkan oleh anak tersebut. Tiga kasus yang peneliti dapatkan di lapangan menunjukkan bahwa di awal perjodohan mereka
menerima perjodohan ini karena alasan sudah biasa dan tradisi, namun ada
penolakan di tengah-tengah prosesnya. Inilah yang kemudian menjadikan
perjodohan mereka tidak berjalan lama pasca dinikahkan.
Kondisi berbeda apabila kendati mereka dipaksa menikah, namun
pada fase-fase selanjutnya menerima kenyataan bahwa dia sudah dinikahkan.
Hal ini, jelas, bisa dihukumi makruh. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan
pula, bahwa ada banyak pasangan di Desa Murbatah yang awalnya menolak
dijodohkan oleh orang tuanya. Namun, di kemudian hari, mereka bisa
beradaptasi dengan keadaan dan kebutuhan rumah tangga mereka.
B. Analisis Hukum Islam Pemaksaan Perjodohan sebagai Alasan Perceraian di Desa Murbatah, Kec. Banyuates, Sampang
Pada bagian ini peneliti memang harus mengakui bahwa sedikit
kesulitan mencari kerangka analisa teoritis, normatif, ataupun yuridis.
Pasalnya, secara teoritis-formal, sebuah perkawinan putus apabila
dikarenakan tiga hal; kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Perceraian sendiri, dalam kerangka normatifitas hukum islam, bisa dilakukan
dengan cukup sederhana, yakni; mengucapkan kalima t}alaq. Meskipun
secara yuridis hal itu tidak bisa disahkan apabila tidak ada putusan
(2)
78
Untuk mendapatkan pengesahan dalam pengadilan, perceraian hanya
bisa diterima – dalam bingkai hukum – adalah karena alasan salah pertama,
satu pihak berbuat zian, mabuk-mabukan, berjudi, dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan, kedua, salah satu pihak meningkan pihak lain selama 2
tahun berturut-turut tanpa izin atau alasan yang pasti. Ketiga, salah satu pihak
dikenakan hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih
berat pasca mereka menikah. Keempat, salah satu pihak terdapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tida dapat menjalanakan kewajiban suami isteri.
Kelima, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain. Keenam, antara suami-isteri secara terus menerus
terjadi pertengkaran dan tidak bisa melanjutkan lagi bahtera rumah tangga.
Ketujuh, suami melanggar taklik-talak. Kedelapan, berganti agama atau murtad yang menjadikan disharmonisasi dalam rumah tangga.
Delapan alasan yang sudah diungkapkan di atas, tidak menyebutkan
secara eksplisit bahwa sebuah perceraian boleh terjadi apabila dikarenakan
adanya pemaksaan perjodohan sebelum pernikahan itu dilanjutkan. Hal yang
paling tampak dan bisa masuk dalam kategori alasan, berdasarkan pada fakta
di lapangan, adalah pertama, terjadinya pertengkaran terus menerus sehingga
rumah tangga tersebut tidak bisa diteruskan lagi. Kedua, terjadi kekerasan
dalam rumah tangga. Ketiga, salah satu pihak berbuat zian (baca; selingkuh).
Berawal dari kondisi ini, maka tidak ada yang keliru atau salah, akan
jawaban Kepala Kantor Urusan Agama Kec. Banyuates dan KH. Zainal
(3)
79
putusan yang menyebutkan bahwa perceraian diakibatkan oleh proses
pemaksaan perjodohan dan konklusi kiai yang mengatakan bahwa tidak
sebuah perjodohan yang dipaksakan akan berimbas pada sebuah proses
perceraian. Pasalnya, ruang diskursus yuridis dan normativitas keagamaan
berada pada ranah yang instrumentalis dan sempit.
Padahal, tidak ada musabab (akibat) tanpa didahului oleh sebuah
sebab. Tidak akan ada asap apabila tidak ada api. Oleh karena itu, peneliti
beranggapan bahwa alasan terkuat terjadinya perceraian – pastinya
berdasarkan pada subjek penelitian yang ada di Desa Murbatah, Kec.
Banyuates, Kab. Sampang – adalah pemaksaan perjodohan. Lagi-lagi peneliti
perlu tegaskan bahwa disharmonisasi yang dialami oleh Mahbub-Yana,
Sultan-Misriyah, Kurdi-Mutiah, berasal dari keterpaksaan mereka menerima
keyataan untuk hidup dalam satu atap.
Secara psikologis dan sosiologis, kehidupan yang dawali oleh sebuah
proses keterpaksaan memang tidak akan pernah berlangsung lama.
Kerikil-kerikil kecil akan terlihat sangat besar apabila dihadapi dengan keadaan hati
yang tidak mengenakkan. Jadi, pada kesimpulannya, betapapun alasan yang
tertulis dalam kertas formal bahwa perceraian mereka dikarenakan
disharmonisasi yang terjadi di dalam keluarga, hal yang tidak bisa dilepaskan
adalah adanya pemaksaan dari kedua orang tua mereka untuk menikah
(4)
80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada teori, data, dan analisa yang peneliti lakukan
sebelumnya, maka penulis berkesimpulan bahwa:
1. Pemaksaan perjodohan di Desa Murbatah, Kec. Banyuates, Sampang
merupakan tradisi dan budaya yang secara turun termurun ada. Dan, bisa
dikategorikan haram hukumnya, apabila si anak tersebut melakukan
penolakan dalam proses perjodohan.
2. Secara hukum Islam, khususnya dalam KHI, tidak mengenal pemaksaan
perjodohan sebagai alasan perceraian. Namun, jika melihat subjektifitas
penelitian ini semuanya menyatakan bahwa mereka bercerai karena proses
perjodohan yang dipaksakan.
B. Saran-saran
1. Perlu adanya penyuluhan secara masif kepada masyarakat tentang hukum
pemaksaan pejodohan, agar bisa menanggulangi disharmonisasi yang akan
terjadi pasca-pernikahan.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan sehingga menambah varian-varian lain
dalam mengkodifikasikan alasan orang bercerai, yang kemudian memiliki
payung hukum. Hal ini pentinga karena setiap pasangan suami-isteri
(5)
81
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muh. Peneyelesaian Perkara Perceraiaan Di Pengadilan Agama Pasca
Berlakunya Undang-Undang no 7 tahun 1989. Jurnal Penelitian
Walisongo Volume XII, Nomor 1 tahun 2001.
Azwar, Saifudin. Metode Penelitian Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 1993.
Bungin¸ Burhan. Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001.
Djatnika, R.Rachmat. Sistem Ethika Islami. Surabaya: Pustaka Islam, 1985.
Derektor Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Bagi Departemen Agama RI, tahun 2003, Op. Cit ., 220.
Erna, Karim. Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi. Dalam
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1999.
Haryono, Anwar. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Jakarta:Bulan
Bintang, 1968.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research Yogyakarta: Andi Office, 1995.
Kadir, Abdul Muhammad. Perkembangan beberapa Hukum Keluarga di
Beberapa Negara Eropa. Bandung: Citra Aditya, 1999.
Koesnoe, Moch.H. Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan
Hukum Adat.Prasaran Seminar PTIS, Kali urang. 1980.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996.
Nasution. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Nur Indriantoro dan Bambang Supomo. Metodologi Penelitian Bisnis.
Yogyakarta: BPFE, 2002.
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah. Derektor Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Bagi Departemen Agama RI, tahun 2003.
Satria, Effendi. Problematika Hukum Islam Kontempore. Jakarta: Kencana, Cet.2.
(6)
82
Soeratno. Metodologi Penelitian Ekonomi dan bisnis. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN, 1995.
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rieka Cipta, 1994.
Tholib, sayuti. Hokum kekeluargaan Indonesia.jakarta:UI press, 1974.
Undang-Undang Perkawinan. Pusaka Tinta Mas, Surabaya:1995.
Yvonna S. Lincoln & Egog G. Guba. Naturalistic Inquiry Beverly Hill,LA: Sage
Publication, 1985.