Analisis Faktor Ojek

(1)

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Jasa Ojek dan Becak Motor di Kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis November 2011 Oleh : MUHAMMAD FADHLI, S.Sos., M.Si

1. LATAR BELAKANG

Masalah kependudukan yang tumbuh dan berkembang di kawasan perkotaan merupakan salah satu persoalan yang paling problematis dewasa ini. Pemerintah di wilayah perkotaan, apalagi kota yang sedang pesat berkembang seperti Bengkalis, harus berhadapan dengan berbagai macam persoalan yang terus bertambah kompleks dan menumpuk, baik kemampuan sumber daya manusia, daya serap terhadap lowongan pekerjaan dan daya tampung kota yang dimilikinya relatif terbatas. Meningkatnya angka penggangguran, semakin eksesifnya kriminalitas, tidak memadainya sarana pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain sebagainya adalah beberapa potret kusam yang merefleksikan ketidakramahan kawasan perkotaan. Kota juga menjadi area perebutan “kue ekonomi”ketika batasan-batasaan etika, moral, dan hukum menjadi semakin kabur.

Salah satu permasalahan penting yang terdapat di kawasan perkotaan adalah tumbuh dan berkembangnya sektor informal. Ini merupakan sektor alternatif yang antara lain ditandai oleh (1) mudah untuk dimasuki ataupun untuk keluar, (2) ketergantungan pada sumber daya asli atau endogenous resources, (3) kepemilikan dan pengelolaan bersifat kekeluargaan, (4) usahanya berskala kecil dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi, (5) labor-intensive dengan teknologi tradisional, (6) tidak membutuhkan keahlian tertentu sebagaimana pada sektor formal, dan (7) pasarnya bersifat kompetitif, tetapi tidak disertai regulasi yang jelas (Gilbert & Gugler, 1984:73)1.

Lebih lanjut, Gugler (1984:83)2 juga mencatat bahwa sektor informal bersifat sangat heterogen, sulit ditarik garis pembeda yang jelas dengan sektor formal, bahkan terdapat kesatuan rangkaian antara usaha berskala kecil dengan yang berskala besar, illegal dan legal, serta yang produktif dengan yang kurang produktif. Aktivitas yang mereka jalankan sangat beragam, mulai dari penjaja makanan, jasa ojek, sampai pada para penjual barang-barang elektronik bajakan. Mereka tidak memiliki cukup modal


(2)

untuk meningkatkan skala usahanya sehingga bahkan tidak cukup untuk sekedar menghidupi keluarganya. Orientasinya bukan pada pemupukan modal, tetapi lebih pada upaya memperoleh pendapatan cash yang langsung dapat dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (Rakodi, 1993:211)3. Dengan karakter ini, sektor informal dapat menjadi sarana menuju sektor formal, tetapi dapat menjadi tujuan itu sendiri. Atau ada juga yang melihatnya sebagai proses yang tidak terakomodasi dalam kerangka institusional dan legal suatu masyarakat sebagaimana aktivitas formal lainnya (Portes, et.al., 1989:12)4.

Terlepas dari karakterisasi semacam itu, sektor informal telah menjadi permasalahan sendiri. Namun, tidak sedikit kalangan yang melihat bahwa sektor informal juga solusi; jadi tidak sekedar masalah. Perbedaan cara pandang semacam ini sangat menentukan kebijakan apa yang akan diambil pemerintah.

Fenemona perbedaan cara pandang tersebut terlihat pada apakah sektor informal dapat menjadi jawaban alternatif terhadap masalah pengangguran dan kemiskinan di kota, sehingga harus dikembangkan ataukah cenderung melihat sektor informal sebagai sektor yang tidak mungkin berkembang. Kehadiran mereka hanya menjadi sasaran empuk eksploitasi sektor formal. Dengan demikian, mengembangkan sektor informal merupakan upaya yang sia-sia. Cara pandang kedua inilah yang nampaknya dominan di tanah air sehingga setiap ada masalah, sektor inilah yang selalu menjadi korban atau minimal kambing hitamnya. Tidak terkecuali dalam upaya penataan kota, seperti bidang transportasi.

Untuk konteks Indonesia, kedua pandangan tersebut seolah menyatu. Tidak sedikit kalangan yang menunjukkan antipatinya terhadap kehadiran sektor informal, tetapi lebih banyak lagi yang menaruh empati dan simpati terhadap keberadaan kelompok tersebut. Dengan kata lain, sektor informal merupakan ‘a necessary evil’ yang menawarkan solusi sekaligus mendatangkan masalah.

Guna memperjelas topik di atas, penelitian singkat ini akan secara khusus melihat faktor yang mempengaruhi motivasi keberadaan jasa ojek dan becak motor di kawasan kota Bengkalis khususnya di Pelabuhan Bandar Sri Laksamana. Sektor usaha tersebut merupakan salah satu varian sektor informal yang juga tidak terlepas dari beberapa sinyalemen teoritis sebelumnya. Artinya, kehadiran jasa ojek dan becak motor dapat menjadi solusi bagi keperluan transportasi, tetapi dapat juga menjadi


(3)

masalah itu sendiri. Persaingan jasa ojek dan becak motor juga dapat terlihat di kawasan ini yaitu dengan bajai dan becak tradisional. Penduduk yang memiliki mobilitas tinggi, tetapi mengalami hambatan dalam hal transportasi, yaitu mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi atau terbatas aksesnya terhadap transportasi publik, sehingga kehadiran jasa ojek dan becak motor sangat membantu. Demikian halnya, sektor tersebut dapat menjadi alternatif bagi penciptaan lapangan kerja serta pengurangan angka penggangguran.

Nilai-nilai positif di atas juga disertai oleh berbagai gejala yang memperburuk pencitraan jasa ojek dan becak motor. Media massa sering memberitakan tindak kekerasan atau pemerasan yang dilakukan tukang ojek dan becak motor terhadap penumpangnya. Demikian halnya, pada saat-saat dan di kawasan tertentu, operasi ojek dan becak motor sering menimbulkan kemacetan lalu lintas karena parkir yang tidak beraturan di bahu kiri kanan jalan. Beberapa jasa ojek dan becak motor yang tergabung dalam suatu pangkalan, bahkan bersepakat untuk menegakkan aturan sendiri, baik yang berkaitan dengan tarif jasa, zona operasi, maupun mekanisme pengaturan internal.

Berdasarkan pertimbangan pemikiran di atas, kajian ini akan melihat berbagai hal yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi keberadaaan jasa ojek dan becak motor, khususnya dalam hal persepsi dan perilaku jasa ojek becak motor. Kajian semacam ini semakin penting sejalan dengan berbagai langkah pemerintah untuk menertibkan ojek yang lebih sering mengalami kegagalan karena kekeliruan dalam menggunakan pendekatan.

Salah satu bentuk aktivitas sektor informal di kawasan perkotaan adalah keberadaan jasa ojek dan becak motor yang dapat dijumpai hampir di semua lorong kawasan permukiman, terutama di daerah pinggiran kota. Umumnya jasa usaha ini ditekuni oleh mereka yang tidak memiliki modal usaha yang cukup, bahkan sama sekali tidak memiliki modal usaha, kecuali tenaga, dan dengan tingkat keterampilan yang pas-pasan. Mereka bekerja hampir sepanjang hari dan beberapa di antaranya menggunakan sistem rotasi atau pergantian. Artinya, satu ojek (sepeda motor) dan becak motor bisa digunakan oleh beberapa orang pada waktu yang telah disepakati bersama. Ada juga yang menggunakan sistem persewaan, sehingga ada setoran dalam


(4)

jumlah tertentu dan pada waktu tertentu pula (biasanya harian) yang harus diberikan kepada pemilik ojek maupun becak motor.

Dengan karakter tersebut, penghasilan riil yang diterima oleh tukang ojek dan pemilik becak motor juga pas-pasan atau dapat dikatakan relatif rendah. Jumlahnya pun tidak pasti. Hal ini dapat digunakan sebagai penjelas mengapa sektor usaha tersebut memiliki tingkat persaingan yang tinggi, walaupun agak terselubung, yang tidak jarang berakhir dengan tindakan kekerasan, seperti perkelahian atau pembunuhan, baik antarjasa ojek maupun antarjasa becak motor dengan pengguna (konsumen atau pelanggan). Tingkat kompetisi tersebut makin terasa untuk kawasan operasi yang tidak memiliki aturan atau kesepakatan bersama tentang pengelolaannya. Dampak negatifnya juga dirasakan oleh pengguna, misalnya kurang terjaminnya kenyamanan dan keselamatan karena perilaku kebut-kebutan guna mengejar setoran ataupun terjadi penipuan terhadap pengguna yang tidak pernah ke Bengkalis, misalnya ada penumpang tujuan ke Kelapapati diputar-putar ke Desa Sungai Alam diminta biaya yang besar.

Untuk menghindari kondisi tersebut, beberapa pangkalan menegakkan aturan main sendiri. Misalnya, sistem antrian dan penentuan tarif. Aturan tersebut bersifat mengikat ke dalam maupun ke luar. Artinya, baik tukang ojek yang menjadi anggota maupun tukang ojek dan becak motor dari pangkalan lain, serta pengguna harus mentaati aturan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam kajian ini adalah (1) bagaimanakah faktor-faktor yang memengaruhi motivasi jasa ojek dan becak motor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis?; dan bagaimanakah signifikansi faktor pendapatan, motivasi, dan keterampilan terhadap motivasi jasa ojek becak motor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis?

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Kajian mengenai kelompok profesi tertentu ditemukan dalam tulisan Prembayun Miji Lestari yang berjudul Studi Pemakaian Bahasa Kelompok Profesi di Surabaya. Dalam tulisan ini, penulis mengkaji register pengamen kelompok profesi di Surakarta dan memaparkan pola interaksi verbal atau karakteristik pemakaian bahasa yang digunakan para pengamen dalam kegiatan mengamen dan berkomunikasi sehari-hari.


(5)

Kajian yang mengambil topik analisis faktor ditemukan dalam tulisan Suryo Utomo dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Internal Auditor untuk Mengikuti Program Sertifikasi Profesi Internasional Studi pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) tbk. Pada tulisan ini penulis mengkaji pengaruh faktor prestasi individu, faktor pengakuan, faktor tanggung jawab karyawan, faktor kesempatan pengembangan dan faktor usia terhadap motivasi internal auditor untuk mengikuti program sertifikasi profesi internasional.

Kajian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja suatu jasa/profesi juga ditemukan dalam tulisan Yuliani Indrawati yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada Sekolah Menengah Atas Kota Palembang. Pada tulisan ini penulis mengkaji pengaruh kemampuan/pengetahuan, keterampilan, dan motivasi terhadap kinerja guru matematika dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Sekolah Menengah Atas Kota Palembang. Selain itu tulisan ini juga mengkaji faktor–faktor yang paling dominan mempengaruhi kinerja guru matematika dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Sekolah Menengah Atas Kota Palembang.

Dalam subjudul ini akan dibahas mengenai (1) penelitian yang relevan dengan kajian ini dan (2) kerangka teori yang digunakan sebagai dasar dari analisi data dalam kajian ini.

Abraham Maslow (1943;1970) dalam http://supiani.staff.gunadarma.co.id. (diunduh pada 5 November 2011, pukul 15.30 Wib) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkannya dalam lima tingkatan yang berbentuk piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkatan kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai dengan motif psikologis yang lebih kompleks; yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting.

Aktualisasi diri penghargaan

sosial keamanan


(6)

• Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)

• Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)

• Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki)

• Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan)

• Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri: mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya).

Bila makanan dan rasa aman sulit diperoleh, pemenuhan kebutuhan tersebut akan mendominasi tindakan seseorang dan motif-motif yang lebih tinggi akan menjadi kurang signifikan. Orang hanya akan mempunyai waktu dan energi untuk menekuni minat estetika dan intelektual, jika kebutuhan dasarnya sudah dapat dipenuhi dengan mudah. Karya seni dan karya ilmiah tidak akan tumbuh subur dalam masyarakat yang anggotanya masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman.

Menurut Herzberg (1966) dalam http://supiani.staff.gunadarma.co.id. (diunduh pada 5 November 2011, pukul 15.30 Wib), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktorhigiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik).

Teori dari Vroom (1964) dalam http://supiani.staff.gunadarma.co.id. (diunduh pada 5 November 2011, pukul 15.30 Wib) tentang cognitive theory of motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan.


(7)

Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:

• Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas

• Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu). • Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau

negatif.Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapanMotivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan

3. METODA PENELITIAN

Pada bagian ini akan dibicarakan secara berurutan mengenai (1) pemilihan lokasi penelitian, (2) pengumpulan data, dan (3) analisis data.

Sumber dan Wujud Data

Studi kasus ini dilakukan di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis pada tanggal, 7 November – 14 November 2011. Kajian ini menyangkut sekelompok orang jasa ojek dan becak motor saja, tidak termasuk beca tradisional maupun bajai, jasa ojek dan becak motor ini berasal dari berbagai latar belakang pendidikan (dari yang tidak menamatkan sekolah dasar sampai yang sarjana(S-1)), dan yang berasal dari berbagai suku (Melayu. Jawa dan Batak atau suku lainnya). Pertumbuhan jumlah penduduk, pertambahan pegawai pemerintah daerah, dan instansi-instansi lain yang sebagian adalah sekelompok orang atau pegawai yang bekerjanya di tempat-tempat lain, seperti Sungai Pakning, Selat Panjang dan sekitarnya, memicu perkembangan sektor perdagangan dan kehadiran jasa ojek dan becak motor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis . Kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis ini cukup strategis sehingga keberadaan jasa ojek dan becak motor di kawasan ini telah memiliki aturan sendiri, baik yang bersifat mengikat ke dalam maupun ke luar. Pola pengelolaan jasa ojek dan becak motor tersebut membawa implikasi signifikan bagi kenyamanan dan keselamatan penumpang sehingga hal ini menarik untuk diteliti.


(8)

Data dalam tulisan ini dikumpulkan dari masyarakat jasa ojek dan becak motor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis. Di samping itu, dikumpulkan data-data makro tentang presepsi dan pola perilaku jasa ojek sebagai penyesuaian dari analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi motivasi jasa ojek dan becak motor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis. Untuk mendapatkan data-data yang disebutkan di atas, digunakan metode pengumpulan data yang disebut dengan observasi dan wawancara. Metode observasi ini digunakan untuk mendapatkan data-data presepsi, pola perilaku jasa ojek dan becak motor, dan faktor-faktor yang memengaruhi motivasi jasa ojek di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis . Metode wawancara yang digunakan dalam kajian ini, yaitu (1) wawancara relatif tertutup dan (2) wawancara terbuka. Wawancara relatif tertutup adalah wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang difokuskan pada topik-topik khusus atau umum mengenai presepsi, pola perilaku jasa ojek dan becak motor, dan faktor-faktor yang memengaruhi motivasi jasa ojek dan becak motor. Sebaliknya, wawancara terbuka adalah wawancara dengan memberikan kebebasan kepada informan dan mendorongnya untuk berbicara secara luas dan mendalam tentang hal-hal yang diinginkan.

Proses wawancara biasanya dilakukan berkali-kali dengan informan kunci. Adapun yang dijadikan sebagai informan kunci adalah orang-orang pada masyarakat jasa ojek dan becak motor asli yang tinggal di sekita kawasan Kota Bengkalis . Pemilihan informan tersebut, sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu (i) yang sehat jasmani dan rohani, (ii) mengetahui kondisi sosial jasa ojek dan becak motor secara mantap dalam pengertian bahwa mereka menguasai seluk beluk jasa ojek secara lengkap, (iii) mengetahui latar belakang budayanya, dan (iv) mempunyai cukup waktu dalam memberikan keterangan sesuai dengan apa yang diinginkan.

b. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam mengkaji masalah presepsi, pola perilaku, dan faktor-faktor yang memengaruhi motivasi jasa ojek dan becak motor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis adalah kualitatif. Metode kualitatif ini dapat mengungkapkan berbagai informasi kualitatif yang disertai dengan deskriptif yang diteliti akurat. Metode penelitian ini menggunakan strategi berpikir


(9)

fenomenologis yang bersifat luntur dan terbuka dengan meletakkan data penelitian bukan saja sebagai alat pembuktian, tetapi sebagai modal dasar untuk memahami fakta yang ada (bandingkan dengan Sutopo, 1996)10. Hal ini dimaksudkan agar memperoleh deskripsi yang objektif dan akurat.

Sehubungan dengan metode analisis di atas, data-data yang diperoleh untuk presepsi, pola perilaku, dan faktor-faktor yang memengaruhi motivasi jasa ojek dan becak motor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis itu dilakukan melalui penafsiran dan penyimpulan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Presepsi Jasa Ojek dan Becak Motor

Persepsi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan kognisi (pemikiran). Persepsi seseorang, antara lain, dipengaruhi oleh pengalaman nyata dalam kehidupannya. Dipahami secara demikian, persepsi jasa ojek dan becak motor merupakan hasil interaksi mereka dengan kehidupannya sebagai jasa ojek dan becak motor.

Berkaitan dengan hal di atas, presepsi jasa ojek dan becak motor yang berhasil penulis rumuskan adalah (1) presepsi jasa ojek terhadap pekerjaannya; (2) presepsi jasa ojek dan becak motor terhadap penumpang atau konsumennya; dan (3) presepsi jasa ojek dan becak motor terhadap rekan (sesama) .

Dari hasil pengamatan penulis, terlihat adanya sedikit variasi pandangan jasa ojek dan becak motor dalam melihat pekerjaannya, ada yang melihat pekerjaan tersebut sebagai sekedar pelarian karena tidak adanya alternatif, sebagian lagi melihatnya sebagai warisan keluarga yang sudah ditekuni sejak lama, dan sebagian lagi menganggapnya sebagai sekedar pengisi waktu luang. Variasi persepsi tersebut dapat ditelusuri dari latar belakang sosial ekonomi para tukang ojek dan pembawa becak motor. Pertama, mereka yang menganggap pekerjaan mengojek dan pembawa becak motor sebagai pelarian adalah mereka yang terkena dampak krisis ekonomi. Sebelumnya mereka bekerja di sektor formal, seperti karyawan toko atau kedai, satpam, sopir, dan sebagainya. Karena himpitan krisis, di mana gaji yang diterima relatif kecil, sementara harga berbagai kebutuhan hidup terus menanjak, mereka pun beralih pekerjaan.


(10)

Kedua, jasa ojek dan pembawa becak motor merupakan warisan keluarga yang sudah ditekuni sejak lama, bahwa bapak dan anak sama-sama mengojek, baik secara paralel maupun bergantian untuk menghidupi keluarganya dan hal itu sudah lama dijalani. Adanya latar sosial yang homogen inilah yang nantinya dapat dipakai sebagai dasar eksplanasi atas berbagai kekhasan yang dijumpai di pangkalan kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis tersebut. Kedua pandangan di atas mewakili mereka yang menjadikan ojek sebagai pekerjaan tetap, di mana nafkah hidupnya bergantung.

Presepsi ketiga adalah mereka yang menjalani pekerjaan mengojek dan pembawa becak motor sebagai pekerjaan sampingan. Kebanyakan dari mereka memiliki pekerjaan tetap di sektor formal. Mengojek adalah pekerjaan yang mereka lakukan sebelum atau setelah jam kantor. Walaupun terdapat variasi persepsi dalam melihat pekerjaannya, hampir semua jasa ojek dan becak motor terutama mereka yang menjadikan ojek sebagai pekerjaan tetapnya, mengaku bahwa pekerjaan sebagai jasa ojek dan becak motor adalah pekerjaan yang menyenangkan sekaligus menjanjikan. Selain karena tingkat penghasilan yang relatif cukup, dibandingkan dengan pekerjaan di sektor lain, yang menuntut kualifikasi serupa (sadar atas kekurangan, tidak memiliki pendidikan dan keterampilan lain), mereka sangat menikmati kebebasan sebagai tukang ojek dan pembawa becak motor. Yang jelas mereka sama-sama menikmati kebebasan yang tidak dijumpai kalau bekerja di sektor formal: tidak ada yang mengatur, tidak ada yang menyuruh, dapat bekerja kapan saja, dan sebagainya.

Mengenai pandangan terhadap pengguna atau konsumen, terdapat dua pandangan yang sangat kontras. Jika terdapat interaksi anatara jasa ojek dan konsumen, perilaku jasa ojek dan jasa becak motor terhadap konsumennya sangat manusiawi. Artinya, konsumen atau pelanggan atau pengguna benar-benar dilihat tidak sekedar sebagai partner transaksi ekonomis, tetapi juga sebagai sesama manusia. Apabila ada sesama jasa ojek dan jasa becak motor yang kurang hati-hati, akan diperingatkan oleh teman lainnya. Hal ini bertentangan jika tidak ada ikatan emosi antara jasa ojek dan pengguna atau konsumennya. Sifat transaksional murni ditambah dengan rendahnya saling mengenal dan jalinan interaksi menyebabkan buruknya perlakukan terhadap pengguna. Mereka dapat memotong jalan seenaknya, menempuh


(11)

arah yang berlawanan dengan arah lalu lintas, menjemput pengguna secara bersama-sama, dan sebagainya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan keselamatan pengguna.

Pandangan pengojek dan pembawa becak motor terhadap sesamanya adalah mereka satu keluarga besar yang terikat oleh hubungan persaudaraan, persamaan latar belakang sosial budaya, serta aturan dan norma yang disepakati bersama. Solidaritas di antara mereka sangat tinggi. Tegasnya, di pangkalan tersebut benar-benar terlihat adanya kekeluargaan dalam pengertian yang sesungguhnya.

B. Perilaku Jasa Ojek dan Pembawa Becak Motor (Betor)

Perilaku seseorang merupakan ekspresi cara pandangnya. Atau dapat juga dipahami sebagai respons terhadap rangsangan dari luar. Dalam tulisan ini, penulis beranggapan bahwa perilaku jasa ojek dan pembawa becak motor merupakan fungsi pandangannya sebagaimana telah diuraikan di atas ditambah rangsangan lingkungan lainnya. Untuk keperluan sistematika, perilaku tukang ojek dan pembawa betor dapat dibagi ke dalam perilaku terhadap pengguna, perilaku terhadap sesama, dan perilaku terhadap aturan pemerintah.

Terhadap pengguna jasa ojek dan betor, dijumpai adanya perilaku yang sangat berbeda di setiap pangkalan. Pertama, pengguna diperlakukan sebagai ‘konsumen yang berdaulat’. Mereka diperlakukan dengan ramah dan keselamatan mereka benar-benar diperhatikan. Ada dua pola melayani pengguna di pangkalan ini, yaitu pengguna mendatangi jasa dan kedua jasa baik ojek dan betor yang mendatangi pengguna. Pola kedua biasanya hanya untuk penumpang yang harus menyeberang. Kedua, pengguna diperlakukan seenaknya oleh jasa ojek dan betor. “Yang penting terima duit dan saya harus segera kembali untuk merebut penumpang berikutnya,’ kira-kira seperti itulah bayangan yang ada dalam pikiran jasa ojek dan pembawa betor sehingga perilaku mereka sangat ngawur: memotong jalan seenaknya, merebut penumpang, parkir seenaknya, dan sebagainya.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menghadapi beberapa kendala. Kendala tersebut terutama berkaitan dengan kesulitan menjaring data. Selain karena singkatnya waktu, penelitian ini mensyaratkan adanya kontak yang intensif, serta


(12)

kepercayaan dari obyek yang diteliti. Pada tahap awal sempat timbul kecurigaan terhadap kehadiran peneliti yang dengan berjalannya waktu akhirnya hilang.

Para pengojek dan pembawa betor, dengan tingkat kompleksitas aktivitas yang relatif masih rendah, memiliki nilai-nilai tersendiri yang mungkin hanya dipahami oleh mereka sendiri dan para penggunanya. Namun, kepemilikan itu terbatas pada lokasi di mana terjadi interaksi yang intens di antara para anggota. Dengan interaksi yang intens dimungkinkan adanya saling pengertian, terbentuknya kesepakatan bersama, solidaritas, dan nilai-nilai semacamnya. Bentuk-bentuk kesepakatan sosial yang mengikat secara internal ini membawa dampak yang positif, tidak saja bagi para anggotanya, tetapi juga bagi pihak lain yang terlibat dalam interaksi tersebut. Misalnya dengan penumpang dan pihak lain yang biasa menjadikan jasa ojek dan betor sebagai sumber informasi. Kondisi itu dijumpai di pangkalan ojek dan betor kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis .

Sebagaimana digambarkan sebelumnya, jasa ojek dan betor di pangkalan tersebut sudah saling mengenal dengan baik. Dengan ikatan pertalian yang demikian, mereka dapat dengan mudah membangun kesepakatan dalam melakukan aktivitasnya. Misalnya, adanya kesepakatan tentang sistem antrian, gotong royong dalam membangun pangkalan sehingga ada tempat berteduh yang cukup nyaman, dan adanya tingkat tarif yang sama. Mereka juga menegakkan kontrol sosial yang cukup efektif untuk mengatur perilaku para anggotanya sehingga tidak membahayakan pengguna sekaligus tidak merusak citra tukang ojek dan pembawa betor. Adanya kohesivitas internal juga memungkinkan terjalinnya interaksi yang baik dengan pengguna. Hal itu pada gilirannya menciptakan kenyamanan bagi pengguna sehingga tidak perlu ada rasa was-was dalam menggunakan jasa ojek dan pembawa betor. Dengan kata lain, adanya bentuk-bentuk kesepakatan sosial memungkinkan terciptanya interaksi sosial yang sangat baik antara tukang ojek dengan pengguna. Jadi, tidak hanya berhenti pada hubungan transaksional yang bersifat ekonomis-instrumental.

Adanya kontrol sosial yang baik sekaligus dapat menekan potensi konflik yang bisa timbul, baik di antara sesama tukang ojek, sesama pembawa betor, tukang ojek dan pembawa betor dengan pengguna, maupun dengan pihak lainnya. Bahkan


(13)

soal tarif pun tidak pernah terjadi konflik. Kesalahpahaman soal tarif hanya mungkin terjadi dengan para pengguna baru.

Jika masyarakat mendapatkan kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri, akan ada beberapa hal positif yang dapat diraih. Dalam hal ini, sangat kelihatan adanya komitmen dan rasa memiliki yang tinggi, walaupun bentuknya hanya berupa kesepakatan bersama yang menjelma menjadi aturan atau norma perilaku. Selain komitmen dan rasa memiliki, juga muncul tanggung jawab sosial, baik tanggung jawab terhadap korps jasa ojek dan pembawa betor maupun terhadap penggunanya.

C. Faktor-faktor yang Mepengaruhi Jasa Ojek dan Pembawa Becak Motor Ada beberapa faktor yang diuji dalam penelitian ini yang berpengaruh pada jasa ojek dan pembawa betor. Faktor-fakktor yang dimaksud adalah faktor motivasi jasa ojek dan pembawa betor, faktor pendapatan, dan faktor keterampilan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas lebih rinci satu persatu.

Faktor pertama adalah faktor motivasi yang terdiri dari beberapa unsur penting, yaitu motor milik sendiri dan jasa ojek dan betor pilihan utama. Kepemilikan kendaraan baik motor sendiri atau bukan ternyata tidak berkorelasi dengan jasa ojek dan pembawa betor sebagai pilihan utama, keterampilan lain, kursus, dan pekerjaan lain karena analisis menunjukkan nilai di bawah 0,5. Dengan kata lain, motor sendiri tidak berkorelasi sama sekali dengan jasa ojek dan pembawa betor di Kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis .

Unsur kedua adalah jasa ojek dan jasa betor merupakan pilihan utama tidak memiliki korelasi dengan kepemilikan kendaraan, keterampilan lain, kursus, dan pekerjaan lain karena data menunjukkan hasil di bawah 0,5. Dengan demikian, jasa ojek dan jasa betor di Kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis bukan merupakan pilihan utama mereka.

Faktor kedua adalah pendapatan. Faktor ini tidak dapat dihitung menggunakan program SPSS karena datanya dianggap konstan.

Faktor ketiga adalah keterampilan yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu kepemilikan kendaraan sendiri, keterampilan lain, dan pekerjaan lain. Faktor ini memiliki korelasi yang signifikan dengan pekerjaan lain, yaitu 0,764. Nilai ini berada di atas 0,5 sehingga dianggap memiliki korelasi yang cukup tinggi terhadap jasa ojek


(14)

dan jasa betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis. Di lain pihak, unsur keterampilan lain tidak memiliki korelasi dengan unsur kepemilikan kendaraan, dan jasa ojek serta jasa betor sebagai pilihan utama karena hasil hitungnya kurang dari 0,5.

Berdasarkan hasil hitungan faktor-faktor yang mempengaruhi jasa ojek dan jasa betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis dapat dibuat interpretasi ikhwal pekerjaan yang banyak membantu kita keluar masuk kota Bengkalis. Jasa ojek dan jasa betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis bukan merupakan pilihan utama tukang ojek dan tukang betor meskipun status kepemilikan kendaraan roda dua merupakan milik mereka sendiri. Meskipun lokasi kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis merupakan tempat yang bagus untuk mangkal dan ada yang sudah menarik ojek lebih dari 10 tahun, tapi tetap saja mereka tidak termotivasi oleh lokasi atau lama mereka menarik ojek dan menarik betor.

Faktor pendapatan dapat interpretasi tidak bisa memotivasi penarik ojek dan pembawa betor. Dari data survey yang diperoleh rata-rata tukang ojek per hari mendapatkan 30.000. Pendapatan ini menurut mereka jauh dari cukup untuk menghidupi keluarga sehari-hari. Hal ini juga didukung oleh hasil data survei yang menunjukkan bahwa selain jadi tukang ojekdan betor mereka juga memiliki pekerjaan yang tergolong mjusiman seperti tukang batu dan obyekan lain yang bisa menghasilkan uang.

4. KESIMPULAN

Faktor keterampilan merupakan faktor yang memiliki korelasi dengan jasa ojek dan jasa Betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis. Dengan demikian, mereka tidak termotivasi oleh kepemilikan kendaraan sendiri dan jasa ojek dan betor menjadi pilihan utama. Jasa ojek dan betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis merupakan pilihan terakhir ketika mereka tidak memiliki pekerjaan lain dan tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bekerja di sektor yang lebih baik secara ekonomi.


(15)

DAFTAR PUSTAKA 1

Gilbert, Allan, & Josef Gugler. 1984. Cities, Poverty and Development. Oxford: Oxford University Press.

2

Gilbert, Allan, & Josef Gugler. 1984. Cities, Poverty and Development. Oxford: Oxford University Press.

3

Rakodi, Carole. 1993. “Planning for Whom?,” in Nick Devas & Carole Rakodi, Managing Fast Growing Cities. Princeton: Princeton University Press. Pp. 207-235.

4

Portes, Alejandro. 1989. “Word Uderneath: The Origins, Dynamics and Effects of the Informal Economy,” in Alejandro Portes, et.al.(eds.). The Informal Economy. Baltimore: The John Hopkins University Press. Pp.11-40.


(16)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

H. Muhammad Fadhli, S.Sos, M.Si bin

Bachrumsyah, dengan panggilan hari-hariIIK, lahir di Bengkalis pada tanggal 07 Januari 1972. Menikah tanggal 8 Agustus 1997 dengan seorang wanita yang bernama Hj. Dian Darayanti Binti Ajbar Elwalid, dikarunia 3 (tiga) orang cahaya mata yaitu: (1) Siti Fahma Diani, (2) Muhammad Fandi Fadhli, dan (3) Muhammad Fatahilah Fadhli . Menamatkan SD, SMP dan SMA di Bengkalis. Menamatkan pendidikan Diploma 3 (D3) STPDN Jatinangor Jawa Barat tahun 1994, pendidikan Srata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (Fisipol USU) Tahun 1999 di Medan. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa pernah bekerja sebagai sebagai Kasubsi Perekonomian dan Produksi kantor Camat Bukit Batu Kabupaten Bengkalis selama dua tahun, berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Subbag Mutasi Pegawai pada Bagian Kepegawaian Setda Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 1999-2001. Menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) di Program Magister pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau (Fisipol UNRI) pada tahun 2005 . Memperoleh kesempatan menjabat Sekretaris Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis (Eselon IV/a) dari Tahun 2002 sampai dengan 2003. Tanggal 3 Oktober 2005 sampai dengan Desember 2007 dipromosikan menjabat Camat Siak Kecil Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.Camat Bukit Batu pada tahun 2007 – 2008 dan Camat Bengkalis tahun 2008. Menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Bengkalis (Eselon III/a) akhir Desember Tahun 2008 sampai dengan 17 September 2010. Kemudian menjadi fungsional di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Bengkalis selama satu tahun, staf pada Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik selama 1 tahun dan pada tanggal 8 Juni 2012 dipindahkan ke Badan Diklat dan Kepegawaian Kab. Bengkalis sebagai Widyaiswara sampai dengan sekarang.


(1)

arah yang berlawanan dengan arah lalu lintas, menjemput pengguna secara bersama-sama, dan sebagainya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan keselamatan pengguna.

Pandangan pengojek dan pembawa becak motor terhadap sesamanya adalah mereka satu keluarga besar yang terikat oleh hubungan persaudaraan, persamaan latar belakang sosial budaya, serta aturan dan norma yang disepakati bersama. Solidaritas di antara mereka sangat tinggi. Tegasnya, di pangkalan tersebut benar-benar terlihat adanya kekeluargaan dalam pengertian yang sesungguhnya.

B. Perilaku Jasa Ojek dan Pembawa Becak Motor (Betor)

Perilaku seseorang merupakan ekspresi cara pandangnya. Atau dapat juga dipahami sebagai respons terhadap rangsangan dari luar. Dalam tulisan ini, penulis beranggapan bahwa perilaku jasa ojek dan pembawa becak motor merupakan fungsi pandangannya sebagaimana telah diuraikan di atas ditambah rangsangan lingkungan lainnya. Untuk keperluan sistematika, perilaku tukang ojek dan pembawa betor dapat dibagi ke dalam perilaku terhadap pengguna, perilaku terhadap sesama, dan perilaku terhadap aturan pemerintah.

Terhadap pengguna jasa ojek dan betor, dijumpai adanya perilaku yang sangat berbeda di setiap pangkalan. Pertama, pengguna diperlakukan sebagai ‘konsumen yang berdaulat’. Mereka diperlakukan dengan ramah dan keselamatan mereka benar-benar diperhatikan. Ada dua pola melayani pengguna di pangkalan ini, yaitu pengguna mendatangi jasa dan kedua jasa baik ojek dan betor yang mendatangi pengguna. Pola kedua biasanya hanya untuk penumpang yang harus menyeberang. Kedua, pengguna diperlakukan seenaknya oleh jasa ojek dan betor. “Yang penting terima duit dan saya harus segera kembali untuk merebut penumpang berikutnya,’ kira-kira seperti itulah bayangan yang ada dalam pikiran jasa ojek dan pembawa betor sehingga perilaku mereka sangat ngawur: memotong jalan seenaknya, merebut penumpang, parkir seenaknya, dan sebagainya.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menghadapi beberapa kendala. Kendala tersebut terutama berkaitan dengan kesulitan menjaring data. Selain karena singkatnya waktu, penelitian ini mensyaratkan adanya kontak yang intensif, serta


(2)

kepercayaan dari obyek yang diteliti. Pada tahap awal sempat timbul kecurigaan terhadap kehadiran peneliti yang dengan berjalannya waktu akhirnya hilang.

Para pengojek dan pembawa betor, dengan tingkat kompleksitas aktivitas yang relatif masih rendah, memiliki nilai-nilai tersendiri yang mungkin hanya dipahami oleh mereka sendiri dan para penggunanya. Namun, kepemilikan itu terbatas pada lokasi di mana terjadi interaksi yang intens di antara para anggota. Dengan interaksi yang intens dimungkinkan adanya saling pengertian, terbentuknya kesepakatan bersama, solidaritas, dan nilai-nilai semacamnya. Bentuk-bentuk kesepakatan sosial yang mengikat secara internal ini membawa dampak yang positif, tidak saja bagi para anggotanya, tetapi juga bagi pihak lain yang terlibat dalam interaksi tersebut. Misalnya dengan penumpang dan pihak lain yang biasa menjadikan jasa ojek dan betor sebagai sumber informasi. Kondisi itu dijumpai di pangkalan ojek dan betor kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis .

Sebagaimana digambarkan sebelumnya, jasa ojek dan betor di pangkalan tersebut sudah saling mengenal dengan baik. Dengan ikatan pertalian yang demikian, mereka dapat dengan mudah membangun kesepakatan dalam melakukan aktivitasnya. Misalnya, adanya kesepakatan tentang sistem antrian, gotong royong dalam membangun pangkalan sehingga ada tempat berteduh yang cukup nyaman, dan adanya tingkat tarif yang sama. Mereka juga menegakkan kontrol sosial yang cukup efektif untuk mengatur perilaku para anggotanya sehingga tidak membahayakan pengguna sekaligus tidak merusak citra tukang ojek dan pembawa betor. Adanya kohesivitas internal juga memungkinkan terjalinnya interaksi yang baik dengan pengguna. Hal itu pada gilirannya menciptakan kenyamanan bagi pengguna sehingga tidak perlu ada rasa was-was dalam menggunakan jasa ojek dan pembawa betor. Dengan kata lain, adanya bentuk-bentuk kesepakatan sosial memungkinkan terciptanya interaksi sosial yang sangat baik antara tukang ojek dengan pengguna. Jadi, tidak hanya berhenti pada hubungan transaksional yang bersifat ekonomis-instrumental.

Adanya kontrol sosial yang baik sekaligus dapat menekan potensi konflik yang bisa timbul, baik di antara sesama tukang ojek, sesama pembawa betor, tukang ojek dan pembawa betor dengan pengguna, maupun dengan pihak lainnya. Bahkan


(3)

soal tarif pun tidak pernah terjadi konflik. Kesalahpahaman soal tarif hanya mungkin terjadi dengan para pengguna baru.

Jika masyarakat mendapatkan kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri, akan ada beberapa hal positif yang dapat diraih. Dalam hal ini, sangat kelihatan adanya komitmen dan rasa memiliki yang tinggi, walaupun bentuknya hanya berupa kesepakatan bersama yang menjelma menjadi aturan atau norma perilaku. Selain komitmen dan rasa memiliki, juga muncul tanggung jawab sosial, baik tanggung jawab terhadap korps jasa ojek dan pembawa betor maupun terhadap penggunanya.

C. Faktor-faktor yang Mepengaruhi Jasa Ojek dan Pembawa Becak Motor Ada beberapa faktor yang diuji dalam penelitian ini yang berpengaruh pada jasa ojek dan pembawa betor. Faktor-fakktor yang dimaksud adalah faktor motivasi jasa ojek dan pembawa betor, faktor pendapatan, dan faktor keterampilan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas lebih rinci satu persatu.

Faktor pertama adalah faktor motivasi yang terdiri dari beberapa unsur penting, yaitu motor milik sendiri dan jasa ojek dan betor pilihan utama. Kepemilikan kendaraan baik motor sendiri atau bukan ternyata tidak berkorelasi dengan jasa ojek dan pembawa betor sebagai pilihan utama, keterampilan lain, kursus, dan pekerjaan lain karena analisis menunjukkan nilai di bawah 0,5. Dengan kata lain, motor sendiri tidak berkorelasi sama sekali dengan jasa ojek dan pembawa betor di Kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis .

Unsur kedua adalah jasa ojek dan jasa betor merupakan pilihan utama tidak memiliki korelasi dengan kepemilikan kendaraan, keterampilan lain, kursus, dan pekerjaan lain karena data menunjukkan hasil di bawah 0,5. Dengan demikian, jasa ojek dan jasa betor di Kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis bukan merupakan pilihan utama mereka.

Faktor kedua adalah pendapatan. Faktor ini tidak dapat dihitung menggunakan program SPSS karena datanya dianggap konstan.

Faktor ketiga adalah keterampilan yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu kepemilikan kendaraan sendiri, keterampilan lain, dan pekerjaan lain. Faktor ini memiliki korelasi yang signifikan dengan pekerjaan lain, yaitu 0,764. Nilai ini berada


(4)

dan jasa betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis. Di lain pihak, unsur keterampilan lain tidak memiliki korelasi dengan unsur kepemilikan kendaraan, dan jasa ojek serta jasa betor sebagai pilihan utama karena hasil hitungnya kurang dari 0,5.

Berdasarkan hasil hitungan faktor-faktor yang mempengaruhi jasa ojek dan jasa betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis dapat dibuat interpretasi ikhwal pekerjaan yang banyak membantu kita keluar masuk kota Bengkalis. Jasa ojek dan jasa betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis bukan merupakan pilihan utama tukang ojek dan tukang betor meskipun status kepemilikan kendaraan roda dua merupakan milik mereka sendiri. Meskipun lokasi kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis merupakan tempat yang bagus untuk mangkal dan ada yang sudah menarik ojek lebih dari 10 tahun, tapi tetap saja mereka tidak termotivasi oleh lokasi atau lama mereka menarik ojek dan menarik betor.

Faktor pendapatan dapat interpretasi tidak bisa memotivasi penarik ojek dan pembawa betor. Dari data survey yang diperoleh rata-rata tukang ojek per hari mendapatkan 30.000. Pendapatan ini menurut mereka jauh dari cukup untuk menghidupi keluarga sehari-hari. Hal ini juga didukung oleh hasil data survei yang menunjukkan bahwa selain jadi tukang ojekdan betor mereka juga memiliki pekerjaan yang tergolong mjusiman seperti tukang batu dan obyekan lain yang bisa menghasilkan uang.

4. KESIMPULAN

Faktor keterampilan merupakan faktor yang memiliki korelasi dengan jasa ojek dan jasa Betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis. Dengan demikian, mereka tidak termotivasi oleh kepemilikan kendaraan sendiri dan jasa ojek dan betor menjadi pilihan utama. Jasa ojek dan betor di kawasan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana Kota Bengkalis merupakan pilihan terakhir ketika mereka tidak memiliki pekerjaan lain dan tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bekerja di sektor yang lebih baik secara ekonomi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA 1

Gilbert, Allan, & Josef Gugler. 1984. Cities, Poverty and Development. Oxford: Oxford University Press.

2

Gilbert, Allan, & Josef Gugler. 1984. Cities, Poverty and Development. Oxford: Oxford University Press.

3

Rakodi, Carole. 1993. “Planning for Whom?,” in Nick Devas & Carole Rakodi, Managing Fast Growing Cities. Princeton: Princeton University Press. Pp. 207-235.

4

Portes, Alejandro. 1989. “Word Uderneath: The Origins, Dynamics and Effects of the Informal Economy,” in Alejandro Portes, et.al.(eds.). The Informal Economy. Baltimore: The John Hopkins University Press. Pp.11-40.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

H. Muhammad Fadhli, S.Sos, M.Si bin Bachrumsyah, dengan panggilan hari-hariIIK, lahir di Bengkalis pada tanggal 07 Januari 1972. Menikah tanggal 8 Agustus 1997 dengan seorang wanita yang bernama Hj. Dian Darayanti Binti Ajbar Elwalid, dikarunia 3 (tiga) orang cahaya mata yaitu: (1) Siti Fahma Diani, (2) Muhammad Fandi Fadhli, dan (3) Muhammad Fatahilah Fadhli . Menamatkan SD, SMP dan SMA di Bengkalis. Menamatkan pendidikan Diploma 3 (D3) STPDN Jatinangor Jawa Barat tahun 1994, pendidikan Srata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (Fisipol USU) Tahun 1999 di Medan. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa pernah bekerja sebagai sebagai Kasubsi Perekonomian dan Produksi kantor Camat Bukit Batu Kabupaten Bengkalis selama dua tahun, berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Subbag Mutasi Pegawai pada Bagian Kepegawaian Setda Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 1999-2001. Menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) di Program Magister pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau (Fisipol UNRI) pada tahun 2005 . Memperoleh kesempatan menjabat Sekretaris Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis (Eselon IV/a) dari Tahun 2002 sampai dengan 2003. Tanggal 3 Oktober 2005 sampai dengan Desember 2007 dipromosikan menjabat Camat Siak Kecil Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.Camat Bukit Batu pada tahun 2007 – 2008 dan Camat Bengkalis tahun 2008. Menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Bengkalis (Eselon III/a) akhir Desember Tahun 2008 sampai dengan 17 September 2010. Kemudian menjadi fungsional di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Bengkalis selama satu tahun, staf pada Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik selama 1 tahun dan pada tanggal 8 Juni 2012 dipindahkan ke Badan Diklat dan Kepegawaian Kab. Bengkalis sebagai Widyaiswara sampai dengan sekarang.