Spiritualitas Tanpa Agama dalam Konteks (1)

Spiritualitas Tanpa Agama dalam Konteks Sosiali
Budaya sebagai khazakah keislaman adalah warisan yang tak dapat
diabaikan, karena berbagai macam peradaban telah banyak dihasilkan oleh
budaya yang beragam tersebut. Tidak sebatas daerah, wilayah ataupun
Negara,

Ini

semua

adalah

kenyataan

yang

tidak

dapat

disangkal


keberadaanya, logisnya kita semua pasti bersandingan dengan semua
makhluk Tuhan yang beragam tersebut. Komarudin Hidayat dalam salah satu
ceramahnya pernah berucap, kehidupan dunia yang beragam ini layaknya
mengaruni lautan luas dengan sebuah perahu kayu yang kecil, berbagai
macam etnis, suku, bahasa dan budaya naik bersama-sama pada perahu
tersebut untuk satu tujuan yang sama, bersama-sama menyinggahi pulau
yang dimaksudkan.
Dalam perjalanan yang panjang dan melelahkan tersebut, para
penumpang dalam perahu tersebut mendapatkan ujian, karena lamanya
perjalanan yang harus mereka tempuh. Banyak yang tidak sabar untuk
segera sampai pulau yang dituju, ada juga yang tidak suka dengan
keberagaman yang ada dalam perahu tersebut yang akhirnya mereka saling
berebut benar dalam menentukan rute perjalanan menuju pulau yang
diimpikan.

Ada

yang


lebih

ekstrim,

mereka

frustasi

karena

para

penumpangnya pada bertengkar dan berebut benar, akhirnya diapun
melubangi perahu yang ditumpanginya tersebut. Dan kita pasti tahu, apa
yang akan terjadi setelah perahunya dilobangi, pastinya tidak hanya yang
melonagi

perahu

penumpang


akan

tersebut

yang

tenggelam

akan

karena

tenggelam,
perbuatan

melainkan
yang

semua


bodoh

dan

menyesatkan tersebut. Kalau sudah demikian, tujuan untuk sampai kepada
pulau yang dituju sudah tinggal dalam angan-angan belaka, yang ada hanya
penyesalan dan itu semua sudah terlambat.
Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia yang beragam,
berbagai macam etnis, suku, bahasa dan budaya serta agama, tumpah
ruwah dalam satu bumi yang sama. Dimana diciptakannya manusia dibumi,
tidak lain hanyalah sebagai Mandataris Tuhan/Khalifatullah yang bertugas

mengemban

amanah

dengan

menyampaikan


pesan-pesan

ke-Tuhanan

kepada semua makhluk Tuhan yang ada dibumi. Tidak ada tugas lain selain
tugas tersebut.
Sebagai Mandataris Tuhan, sudah selayaknya manusia saling bahu
membahu, membantu satu sama lain karena kita semua dicipta atas asal
usul yang sama, serta memiliki tujuan yang sama pula yakni membumikan
pesan-pesan Tuhan sebagai Dzat yang Mahabesar. Tidak ada kepentingan
lain selain berusaha menedekati Tuhan dengan sebaik-baiknya ibadah dan
amal perbuatan. Berbanggalah bagi mereka yang sadar dan mau berubah
untuk lebih mengenal Tuhan. Diciptakannya perbedaan tersebut bukan
menjadi sumber terjadinya bencana, melainkan itu adalah pintu rahmat
Tuhan untuk makhluk seluruh alam, jadi bersahabatlah dengan perbedaan
sesuia dengan kemampuan dan pemahaman yang bisa diterima, jangan
jadikan akar permasalahan. Jangan hanya karena perbedaan fisik, bahasa,
budaya ataupun agama semuanya menjadi penghalang untuk mendekat
pada-Nya.

Dalam konteks kehidupan social budaya, dewasa ini tengah terjadi
trend baru berupa pesatnya perkembangan agama Islam puritan dan Islam
radikal yang ingin mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan
Hadits. Side efect (efek samping) yang paling terasa adalah aspek-aspek
kebudayaan lokal tidak lagi menjadi bagian atau perekat pelaksanaan
syariat. Apabila pada masa lalu kebudayaan lokal memiliki peranan penting
dalam penyampaian ajaran atau syiar, maka yang terjadi sekarang adalah
sebaliknya, yaitu adanya usaha isolasi terhadap budaya lokal dalam
pelaksanaan ajaran.ii
Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan budaya spiritual,
kondisi demikian dapat dimaknai sebagai hal yang tidak menguntungkan. Di
Pulau Jawa saja ada beberapa ratus ajaran kepercayaan yang merupakan
sempalan(varian) dari agama Islam. Berbagai ajaran kepercayaan yang pada
umumnya berupa ajaran budi luhur dan peran untuk mencapai tataran insan

kamil(hidup

sempurna)

justru


sering

dimaknai

sebagai

bentuk

banyaknya

ajaran

penyimpangan terhadapagama.iii
Sedangkan

dalam

kacamata


filsafat

timur,

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu keniscayaan,
karena manusia adalah homo religious dan homo festisius. Setiap manusia
berhak mencari Tuhannya dengan caranya masing-masing yang pasti
berbeda-beda sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Upaya pencarian
Tuhan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui wahyu dan melalui
akal pikiran manusia.
Pencarian Tuhan melalui wahyu adalah sebagaimana dilakukan dan
dilaksanaan dalam ajaran agama, seperti dicontohkan oleh nabi-nabi
terdahulu yang bertugas benar-benar sebagai Mandataris Tuhan, tidak ada
konpromi untuk penyampaian pesan Tuhan, itulah yang semestinya kita tiru.
Adapun pencarian Tuhan melalui akal pikiran didasarkan pada hasil olahan
cipta, rasa dan karsa. Dalam hal ini pengalaman dan tindakan yang bersifat
pribadi sangat menentukan seberapa dekat seorang manusia dalam
mengenal Tuhannya. Oleh karena itu konsep pencarian Tuhan model yang
demikian ini digolongkan sebagai bagian dari kebudayaan, bukan agama.
Namun demikian baik pencarian Tuhan melalui wahyu maupun akal

pikiran sama-sama mempertanyakan apa dan siapakah manusia itu, dari
mana asal manusia, apakah yang dimaksud dengan hidup dan kemanakah
perginya manusia setelah hidup di dunia. Dengan kata lain manusia mencari
jawaban dari persoalan aku mbiyen ora ana, ning saiki dadi ana, mbesuk
maneh ora ana.iv
Selama manusia masih ada, saya yakin varian-varian kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang demikian ini akan terus berlangsung,
dan semakin berkembang. Sebab pencarian Tuhan adalah persoalan yang
sangat pribadi dan sensitif. Setiap pribadi berhak menentukan pilihan jalan
untuk mencapai derajat ketuhanan yang diyakininya. Persoalan selanjutnya
adalah bagaimana agar sistem kepercayaan semacam ini dapat sinergi
dalam kehidupan sosial budaya dialam post modernisme seperti sekarang?

Hal paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan cara saling
menghormati dan saling menghargai, toleransi antar pemeluk agama dan
kepercayaan.v
Beruntung sekali kita semua yang hidup didalam bingkai UUD 1945.
Sungguh besar dan panjang pemikiran founding father kita dahulu, mereka
memahami, meyakini dan mampu membayangkan kehidupan keberagaman
yang akan terus berembang di ndonesia, dan itulah sebabnya mereka

cetuskan

UUD

1945.

Kebebasan

memeluk

agama

dan

kepercayaan

sebagaimana tersebut di dalam UUD’45 pada prinsipnya justru melahirkan
keterbatasan. Semakin kita bebas menentukan pilihan maka berarti pula kita
semakin terbatas dengan pilihan yang kita tentukan. Dalam falsafah Jawa
dikenal ungkapan isi sama dengan kosong dan kosong sama dengan isi.vi

Dengan demikian tanpa adanya toleransi akan berakibat tergusurnya
kebebasan orang lain dalam menentukan pilihannya. Apabila hal ini terjadi
maka

akan

bermuara

pada

terjadinya

konflik

agama/kepercayaan, antar etnik dan antar kepentingan.

antar

kelompok

i

Oleh Moh Khoiri, Mahasiswa UIN Jakarta
http://panginyongan.blogspot.com/2008/09/pengembangan-budaya-spiritualdalam_04.html
iii
Ibid,
iv
Istilah jawa yang artinya dahulu saya tidak ada, sekarang menjadi ada, dan suatu saat
akan kembali menjadi tidak ada. Maksudnya disini adalah manusia lahir, hidup dan akan
mengalami kepunahan.
v
http://panginyongan.blogspot.com/2008/09/pengembangan-budaya-spiritualdalam_04.html
vi
Artinya ketika kita bebas menentukan pilihan agama yang kita yakini, maka berarti kita
dibatasi oleh kebebasan yang sama yang dimiliki orang lain.
ii