Profil Pertanahan Indonesia Tahun 2015

KATA PENGANTAR

Tanah atau agraria berasal dari beberapa bahasa. Istilah agraria berasal dari kata ‘akker’ (Bahasa Belanda), ‘agros’ (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, ‘agger’ (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, ‘agrarian’ (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian (Santoso, Urip. 2009:1). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agra- ria berarti (1) urusan pertanian atau tanah pertanian, (2) urusan pemilikan tanah. Men- gacu pada amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945, segala kekayaan yang dimiliki oleh Indone- sia, dikuasai, diatur dan dikelola serta didistribusikan oleh negara. Pengelolaan ini menjadi salah satu poin penting untuk dapat mencapai cita-cita pasal 33 yaitu untuk semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, yang saat ini terjadi adalah masih ada beberapa kasus terkait kurangnya kinerja pengelolaan aset negara (dalam hal ini tanah) yang membawa dampak cukup besar terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Sebagai contoh, konflik dan sengketa tanah adat, kepemilikan hak atas tanah, kurangnya lahan untuk pembangunan kepentingan umum dan lain sebagainya. Penjabaran terkait perma- salahan pengelolaan pertanahan di atas perlu adanya tindak lanjut, sehingga hal ini dapat diminimalisir.

Buku Profil Pertanahan Nasional menjelaskan kondisi pengelolaan pertanahan di Indonesia yang disajikan dalam data angka maupun penjelasan deskriptif yang mudah dipahami. Diharapkan buku ini dapat membuat seluruh pembacanya mengetahui kondisi pertanahan pada setiap provinsi di Indonesia. Selain itu, buku ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan di bidang pengelolaan pertanahan ke depannya. Selain itu juga dapat menjadi sarana evaluasi implementasi perencanaan sekaligus menjadi acuan bagi perencanaan ke depannya di Indonesia.

Jakarta, Desember 2015 Plt. Direkttur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas i

DAFTAR SINGKATAN

Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BIG

: Badan Informasi Geospasial BPN RI

: Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Ha : Hektar

HGU : Hak Guna Usaha HGB

: Hak Guna Bangunan IP4T

: Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah IPSLA

: Institutional Partnership for Strengthening Land Administration Kakanwil : Kepala Kantor Wilayah Kantah

: Kantor Pertanahan KBBI

: Kamus Besar Bahasa Indonesia Keppres

: Keputusan Presiden KK

: Kepala Keluarga KPPN

: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional LP2B

: Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LSM

: Lembaga Swadaya Masyarakat MBR

: Masyarakat Berpenghasilan Rendah MPR RI

: Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia P4T

: Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah PP

: Peraturan Presiden PPAN

: Program Pembaharuan Agraria Nasional Renstra

: Rencana Strategis RKP

: Rencana Kerja Pemerintah RPJMN

: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJPN

: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RTRW

: Rencana Tata Ruang Wilayah RUU

: Rancangan Undang-Undang SIP

: Sistem Informasi Pertanahan TI

: Teknologi Informasi TIK

: Teknologi Informasi dan Komputerisasi TOL

: Tanah Objek Landreform TORA

: Tanah Objek Reforma Agraria UU

: Undang-Undang UUD

: Undang-Undang Dasar UUPA

: Undang-Undang Pokok Agraria

ii Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas

DAFTAR ISTILAH

Dalam buku profil pertanahan daerah ini, terdapat beberapa istilah yang biasa digunak- an dalam bidang pertanahan. Himpunan istilah ini diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam memahami maksud dari setiap data dan informasi yang disajikan dalam buku profil per- tanahan. Berikut istilah-istilah yang digunakan:

1. Peta Dasar Pertanahan

Peta dasar pertanahan adalah peta yang memuat titik-titik dasar teknik pengukuran dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik bidang-bidang ta- nah.

2. Peta Tematik

Peta Tematik adalah peta yang menyajikan tema tertentu dan untuk kepentingan tertentu ( land status, penduduk, transportasi dll.) dengan menggunakan peta rupabumi yang telah disederhanakan sebagai dasar untuk meletakkan informasi tematiknya.

a. Peta Zona Nilai Tanah Peta zona nilai tanah adalah peta tematik yang menggambarkan besaran-besaran nilai tanah atau harga pasar dan potensi tanah di suatu wilayah tertentu. Peta ini dibuat dengan skala 10.000 atau lebih kecil.

b. Peta Sosial-Ekonomi Peta sosial-ekonomi adalah peta tematik yang menggambarkan kondisi sosial-ekono- mi yang ada di suatu wilayah berdasarkan variabel tertentu secara spasial.

c. Peta Penggunaan Tanah Peta penggunaan tanah adalah peta tematik yang menggambarkan peruntukkan lahan yang ada di suatu wilayah.

3. Status Hukum Atas Tanah

a. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan bahwa “Semua hak atas tanah mempun- yai fungsi sosial”.

b. HGU atau Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Hak ini diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 Ha dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai den- gan perkembangan zaman.

c. HGB atau Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangu- nan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

d. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi we- wenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas iii Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas iii

e. Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar sewa kepada pemiliknya.

f. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

g. Hak Wakaf

h. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaan- nya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya (PP No 24/1997)

4. Tanah Terlantar

Tanah Terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

5. Redistribusi Tanah

Redistribusi tanah ( land reform) merupakan salah satu bagian dari agrarian reform, atau yang sering disebut dengan reforma agraria. Program land reform melalui redistribusi tanah melakukan koreksi agar sebagian besar penduduk dapat hidup di tanah yang luasan- nya layak secara ekonomi, sosial, dan budaya.

6. PRONA ( Sumber: bpn.go.id) Nama kegiatan legalisasi aset yang umum dikenal dengan PRONA, adalah singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria. PRONA adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi aset dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudi- kasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertifikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara masal. PRONA dimulai sejak tahun 1981 berdasarkan Kepu- tusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria. Berdasarkan keputusan tersebut, Penyelenggara PRONA bertugas memproses pensertifikatan tanah secara masal sebagai perwujudan daripada program Catur Tertib di Bidang Pertanahan.

7. Sertifikasi Tanah Lintas Sektor (LINTOR) ( Sumber: bpn.go.id) Program pemberdayaan sertifikasi LINTOR merupakan kegiatan legalisasi aset yang awal- nya berupa inisiatif dan dana kegiatan berasal dari sektor terkait, seperti Kementerian Ko- perasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun karena portofolio sertifikasi hak atas tanah adalah domainnya Ke- menterian Agraria dan Tata Ruang/BPN, maka kegiatan sertifikasi hak atas tanah terse- but harus diletakkan di DIPA BPN. LINTOR dimaknai dengan istilah lintas sektor karena kegiatan ini tidak diselenggarakan oleh satu instansi saja (Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN), tetapi merupakan kegiatan bersama dengan sektor/kementerian/lemba-

ga lain.

iv Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas

8. Kasus Pertanahan ( bpn.go.id)

Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Peng- kajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Kasus Pertanahan adalah sengketa, konflik atau perkara pertanahan yang disampaikan kepada BPN RI untuk mendapatkan pena- nganan penyelesaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebi- jakan pertanahan nasional.

a. Sengketa pertanahan yang selanjutnya disingkat Sengketa adalah perselisihan per- tanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak ber- dampak luas secara sosio-politis.

b. Konflik pertanahan yang selanjutnya disingkat Konflik adalah perselisihan pertana- han antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.

c. Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilak- sanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimin- takan penanganan perselisihannya di BPN RI.

9. Tipologi Kasus Pertanahan ( Sumber: bpn.go.id)

a. Penguasaan Tanah Tanpa Hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, ke- pentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau be- lum dilekati hak (tanah negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.

b. Sengketa Batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Per- tanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.

c. Sengketa Waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan menge- nai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan

d. Jual Berkali-Kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan me- ngenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli ke- pada lebih dari 1 orang.

e. Sertifikat Ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan me- ngenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertifikat hak atas tanah lebih dari

f. Sertifikat Pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang telah diterbitkan sertifikat hak atas ta- nah pengganti.

g. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya akta jual beli palsu.

h. Kekeliruan Penunjukkan Batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan menge- nai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan Penunjukkan ba- tas yang salah.

i. Tumpang Tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas v Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas v

j. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai Putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.

10. Kriteria Penyelesaian Kasus Pertanahan

a. Kriteria (K1): penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa.

b. Kriteria (K2): penerbitan surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pem- batalan sertifikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

c. Kriteria (K3): pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang bersengketa.

d. Kriteria (K4): pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang intinya me- nyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan.

e. Kriteria (K5): pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang menyatakan bah- wa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenan- gan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

11. Sertifikat Tanah

Sertifikat tanah adalah surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

12. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

13. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, me- ngendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelan- jutan.

vi Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

__ UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) __

Pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia beserta pengelolaannya menjadi konsentrasi pemerintah sejak disusunnya Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar hukum negara ini dibuat. Pemanfaatan ini ditujukan tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan negara. Pemerintah berperan sebagai fasilitator sekaligus regulator untuk membagi agar sumber daya tersebut dapat terus terjaga pemanfaatannya. Hak penguasaan oleh negara diatur lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Peraturan tersebut menyatakan bahwa hak menguasai dari negara yaitu (i) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (ii) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan (iii) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hu- kum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Selain hak menguasai oleh negara, hak menguasai tersebut dapat dimiliki oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum (Pasal 4 ayat (1) UUPA). Kutipan dari pasal 4 ayat (1) UUPA menjadikan kandungan yang terdapat di dalam bumi seperti air dan kekayaan alam lainnya memiliki nilai ekonomi, investasi dan multiplier effect, tidak lagi mampu me- ningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, melainkan hanya kesejahteraan bagi orang-peroran- gan.Akibatnya, banyak timbul permasalahan yang sangat umum terjadi saat ini, seperti konflik antar masyarakat, sengketa kepemilikan dan lain sebagainya, sehingga amanat UUD pasal 33 ayat (3) diatas tidak dapat tercapai sepenuhnya.

Indonesia memiliki cukup banyak sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, salah satunya adalah tanah.Tanah atau agraria berasal dari beberapa ba- hasa. Istilah agraria berasal dari kata ‘akker’ (Bahasa Belanda), ‘agros’ (Bahasa Yunani) berarti ta- nah pertanian, ‘agger’ (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, ‘agrarian’ (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian (Santoso, Urip. 2009:1). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agraria berarti (1) urusan pertanian atau tanah pertanian, (2) urusan pemilikan tanah. Urip Santoso dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah juga menyebutkan beberapa pengertian tanah menurut para ahli.Andi Hamzah menyebutkan bahwa Agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan diatasnya. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan diatasnya, dimana yang ada di dalam tanah seperti batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah seperti tanaman dan bangunan. Terminologi tanah atau permukaan bumi yang disetarakan dengan sebutan “agraria” tidak lepas dari pola hidup masyarakat Indonesia yang notabenenya bergerak di sektor pertanian,

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 3 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 3

Mengacu pada amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas, segala kekayaan yang dimil- iki oleh Indonesia, dikuasai, diatur dan dikelola serta didistribusikan oleh negara. Pengelolaan ini menjadi salah satu poin penting untuk dapat mencapai cita-cita pasal 33 yaitu untuk semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, yang saat ini terjadi adalah masih ada beberapa kasus terkait pengelolaan aset negara (dalam hal ini tanah) yang membawa dampak cukup besar terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Sebagai contoh, konflik dan sengketa tanah adat, kepemi- likan hak atas tanah, kurangnya lahan untuk pembangunan kepentingan umum dan lain sebagainya. Di Provinsi Bali, tepatnya di Desa Temukus Kabupaten Buleleng, terdapat konflik dan sengketa ta- nah adat, dimana tanah kuburan karang rumpit desa ini di klaim oleh orang-perorangan. Selain klaim tanah, juga terdapat sengketa tanah warisan seperti yang terjadi di Kabupaten Tabanan. Hal ini juga terjadi di kota-kota besar lainnya, dari Aceh hingga Papua, yang memiliki permasalahan ter- kait pengelolaan pertanahan lainnya, seperti tersendatnya pelaksanaan redistribusi tanah, kurang optimalnya pelayanan pertanahan dan tidak adanya jaminan hukum atas tanah. Hal ini tidak hanya membawa dampak materil tetapi juga sistem moril yang dapat mempengaruhi interaksi antar ma- syarakat di suatu wilayah.

Penjabaran terkait permasalahan pengelolaan pertanahan diatas perlu adanya tindak lanjut sehingga hal ini dapat diminimalisir.Namun tidak semua stakeholder mampu memahami bagaima- na kondisi real dilapangan sehingga sering kali kebijakan yang dibuat malah tidak dapat sepenuh- nya di implementasikan.Perlu adanya suatu dokumen berupa buku profil pertanahan yang mampu menjelaskan bagaimana kondisi-kondisi terkait pengelolaan pertanahan yang ada di tiap-tiap provin- si di Indonesia yang disajikan dapat berupa data angka maupun deskriptif yang mudah dipahami seluruh pembacanya.

1.2 Tujuan

Buku Profil Pertanahan Nasional ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai kondisi pertanahan nasional. Gambaran tersebut merupakan ulasan data-data terkait berdasarkan isu dan arah kebijakan strategis bidang pertanahan berbasis RPJMN 2015-2019. Harapannya, buku ini- dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan atau acuan dalam pengambilan keputusan ter- kait pengelolaan pertanahan di Indonesia kedepannya.

1.3 Struktur Penulisan

Buku ini disusun ke dalam 5 bab yang secara garis besar terurai sebagai berikut. BAB 1

PENDAHULUAN Bab ini merupakan pengantar umum dari Buku Profil Pertanahan Nasional 2015. Pemba-

hasan diawali dengan latar belakang pembuatan buku ini. Kemudian tujuan dibuatnya Buku Profil Pertanahan Nasional 2015.Terakhir bagian mengenai struktur penulisan dalam buku ini.

4 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas

BAB 2 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN RPJMN 2015-2019

Pada bab ini akan ditampilkan penjelasan singkat mengenai arah kebijakan dan strategi bi- dang pertanahan berdasarkan RPJMN 2015-2019. Kemudian hal tersebut akan dikaitkan dengan kondisi pertanahan nasional melalui matriks keterkaitan antara keduanya.

BAB 3 KELEMBAGAAN PERTANAHAN INDONESIA Bab ini membahas mengenai apa saja peraturan terkait bidang pertanahan yang ada di Indo-

nesia. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang lembaga atau pemangku kepentin- gan yang mengurusi urusan pertanahan. Bagian terakhir pada bab ini akan menggambarkan bagaimana sistem pelayanan pertanahan yang sudah berjalan di Indonesia.

BAB 4 PROFIL PERTANAHAN NASIONAL Bab ini merupakan gambaran dari kondisi pertanahan di Indonesia dengan menjelaskan

beberapa butir pembahasan.Sebagian besar butir pembahasan didasarkan pada arah dan kebijakan strategis bidang pertanahan berbasis RPJMN 2015-2019. Butir pembahasan pada bab ini terdiri dari penggunaan tanah di Indonesia, sistem pendaftaran tanah di Indo- nesia, reforma agraria, pencadangan tanah bagi kepentingan umum, sumber daya manusia (SDM) bidang pertanahan, kasus pertanahan di Indonesia, dan pola transaksi pertanahan di Indonesia.

BAB 5 DATA DAN INFORMASI PERTANAHAN PROVINSI Pada bab ini akan dibahas mengenai data dan informasi pertanahan di provinsi-provinsi

yang terdata, yakni Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur, serta Maluku Utara. Data dan informasi yang akan dijelaskan adalah mengenai peta dasar pertanahan, wilayah bi- dang bersertifikat, tanah terlantar, redistribusi tanah dan legalisasi aset, kasus pertanahan, jumlah dan nilai transaksi tanah, pegawai pertanahan, serta isu spesifik pertanahan yang ada di masing-masing provinsi. Seluruh data dan informasi tersebut akan diulas berdasarkan isu strategis pertanahan berbasis RPJMN 2015-2019.

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 5

BAB 2 ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN BIDANG PERTANAHAN

BERDASARKAN RPJMN 2015-2019

Dalam mencapai tujuan pengelolaan pertanahan nasional, RPJMN 2015-2019 merumus- kan isu strategis, sasaran bidang, arah kebijakan, strategi, serta kerangka pelaksanaan urusan per- tanahan. Isu strategis dan arah kebijakan menjadi acuan dalam penulisan Buku Profil Pertanahan Nasional Tahun 2015 ini. Berikut penjabaran mengenai isu strategis dan arah kebijakan bidang pertanahan berdasarkan RPJMN 2015-2019.

2.1 Isu Strategis Pertanahan Nasional

Berdasarkan arah pengelolaan pertanahan yang dilandasi oleh Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan diturunkan dalam RPJPN 2005-2025, terdapat 4 (empat) isu strategis bidang pertanahan.

a. Jaminan Kepastian Hukum Hak Masyarakat Atas Tanah

Berdasarkan paparan RPJMN 2015-2019, isu kepastian hukum ini erat kaitannya den- gan beberapa faktor utama di antaranya rendahnya cakupan peta dasar pertanahan (14.58% dalam skala nasional), rendahnya jumlah bidang tanah yang telah bersertifikat (51.8%), rendahnya kepastian batas kawasan hutan dan non hutan (49.96%), rendahnya tingkat penyelesaian kasus pertanahan, dan rendahnya penetapan batas kawasan tanah adat/ulayat (hingga saat ini baru 1 tanah adat/ulayat yang ditetapkan, yakni Tanah Adat Badui, Banten). Adapun isu jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah masih menjadi isu utama ketika faktor-faktor utama tersebut belum dapat diperbaiki secara signifikan.

Selain itu, kepastian hukum hak masyarakat atas tanah ini juga berkaitan dengan masih dianutnya sistem pendaftaran bertendensi negatif (stelsel negatif) oleh Negara Indonesia. Sistem pendaftaran tanah bertendensi negatif artinya walaupun seseorang memiliki tanda bukti pemilikan hak atas tanahnya dalam bentuk sertifikat hak atas tanah yang mempunyai kekuatan hukum, na- mun masih memiliki peluang untuk dipersoalkan oleh pihak lain yang mempunyai alasan bukti hukum yang kuat (bisa dalam bentuk sertifikat dan alat bukti lainnya) melalui sistem peradilan hukum tanah di Indonesia. Hal ini karena tidak adanya kejelasan antar batas-batas tanah, sehingga mampu men- jadi suatu objek sengketa tanah yang baru (Limbong, 2012: 96). Selain itu, pemerintah juga belum memiliki dasar pendataan yang kuat untuk membuktikan tiap-tiap kepemilikan hak atas tanah terse- but, dan dapat diselesaikan apabila faktor-faktor utama yang mempengaruhi kepastian hukum hak atas tanah dapat diperbaiki, seperti cakupan peta dasar pertanahan, jumlah bidang bersertifikat, penetapan kepastian batas kawasan hutan dan non hutan untuk menghindari pemanfaatan lahan di kawasan hutan, penyelesaian kasus pertanahan serta penetapan batas tanah adat/Ulayat.

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 9 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 9

Kesejahteraan rakyat

Isu ini berfokus pada aksesibilitas masyarakat dalam memiliki lahannya sendiri, khususnya para petani yang dapat meningkatkan produktifitas pertaniannya. Sebagaimana yang dipaparkan dalam RPJMN 2015-2019, sensus pertanian 2013 menunjukkan bahwa dari 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar (Ha) dan 14,25 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 Ha per keluarga. Sementara data dari Kementerian per- tanian menunjukan bahwa Indonesia ada kemungkinan mengalami defisit lahan pertanian seluas 730.000 Ha apabila hal ini tidak ditangani, dan akan terus meningkat menjadi 2,21 juta Ha pada tahun 2020, dan mencapai 5,38 Ha pada tahun 2030.

Beberapa langkah upaya penanganan untuk hal ini sudah dilakukan oleh beberapa Kemen- terian terkait, seperti salah satunya adalah BPN dengan program pembaharuan agraria (Reforma Agraria). Konsep pembaharuan agraria pada hakekatnya adalah konsep Landreform yang dilengka- pi dengan konsep access reform dan asset reform. Konsep Landreform adalah penataan kembali struktur penguasaan kepemilikan tanah yang lebih adil. Sedangkan konsep access reform berkaitan dengan penataan penggunaan atau pemanfaatan tanah yang lebih produktif disertai dengan pena- taan dukungan sarana dan prasarana yang memungkinkan petani memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah perdesaan. Adapun asset reform berkaitan dengan kekuatan hukum yang ber- pihak pada rakyat luas. Reforma agraria dilakssanakan melalui program redistribusi tanah dan legalisasi aset. Namun demikian, sumber redistribusi tanah hanya berasal dari tanah terlantar dan pelepasan tanah hutan semata. Sedangkan penetapan tanah terlantar pun tidak cukup optimal dalam pelaksanaannya, mengingat dalam skala nasional, dari tahun 2004 hingga 2013 hanya ber- hasil ditetapkan seluas 68.953,21 Ha.

Suatu kepemilikan lahan dianggap penting oleh karena dapat berimbas pada ketimpangan kepemilikan tanah. Ketimpangan terjadi ketika adanya jumlah bidang bersertifikat yang tidak seim- bang khususnya hak milik tanah oleh masyarakat dengan hak atas tanah lainnya.Dalam hal ini tanah yang dimiliki oleh petani menjadi sorotan atas pertimbangan penggunaan lahan pertanian sebagai lahan yang produktif di suatu negara, khususnya negara agraris.Oleh karenanya, redistribusi tanah dan legalisasi aset sebagai salah satu upaya pemerintah menjadi acuannya yang dibandingkan den- gan jumlah wilayah bidang bersertifikat khususnya dari LINTOR di suatu provinsi.

c. Kinerja Pelayanan Pertanahan

Penyebab belum optimalnya pelayanan pertanahan adalah masih kurangnya jumlah pega- wai juru ukur pertanahan yang tersedia di tiap Kanwil BPN. Berdasarkan RPJMN 2015-2019, kinerja pelayanan pertanahan dapat dilihat salah satunya dari perspektif masyarakat yang merasa harus menunggu cukup lama untuk dapat menyelesaikan pelayanan pertanahannya sebagai akibat kurangnya jumlah juru ukur pertanahan. Data 2014 menunjukkan komposisi perbandingan juru ukur secara keseluruhan dalam skala nasional, didapatkan hanya 15% dari total jumlah pegawai pertanahan atau sekitar 3.013 orang untuk melayani pelayanan pertanahan.

10 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 10 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas

Tanah merupakan salah satu aset dan modal dasar bagi kegiatan pembangunan, dimana hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan tanah sebagai media pemban- gunannya. Namun, pembangunan yang terus meningkat tidak diimbangi dengan ketersediaan tanah yang ada. Jumlah tanah yang tersedia tidak berubah menjadikan kegiatan pembangunan menjadi terhambat dimana pembebasan tanah menjadi berlarut-larut sehingga memperpanjang masa pembangunan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah membuat peraturan perundang- undangan, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Perpres Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Pe- rubahan Perpres 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Umum serta peraturan terkait lainnya. Peraturan ini menyelesaikan permasalahan kepastian dari Kerangka waktu pengadaan tanah maksimal, namun peraturan tersebut belum dapat mengantisi- pasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan pengadaan tanah tadi secara umum. Hal ini disebabkan oleh karena dalam peraturan tersebut, proses pengadaan tanahnya diserahkan kem- bali kepada tiap instansi yang membutuhkan tanah. Permasalahan ini lah yang perlu diantisipasi. Apabila tidak dilakukan pengadaan tanah melalui pembebasan lahan, maka akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Harga tanah yang terus naik dan cenderung tidak dapat dikendalikan akan berdampak pada biaya pembangunan infrastruktur untuk pemenuhan pelayanan dasar ma- syarakat yang menjadi mahal.

2.2 Arah Kebijakan dan Strategi Bidang Pertanahan

Arah kebijakan dan strategi merupakan turunan dari perumusan isu strategis dan sasaran pembangunan bidang pertanahan dalam RPJMN 2015-2019. Terdapat 4 (empat) arah kebijakan untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang pertanahan sebagai berikut.

1. Membangun Sistem Pendaftaran Tanah Publikasi Positif Arah kebijakan ini berkaitan dengan isu kepastian hukum hak masyarakat atas tanah. Meng-

ingat bahwa sistem pendaftaran tanah yang masih bertendensi negatif, maka perlu dikembangkan sistem pendaftaran tanah publikasi positif. Harapannya, upaya ini dapat menjamin kepastian hukum hak masyarakat atas tanah ke depannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka berikut strategi yang disusun untuk mewujudkan arah kebijakan ini.

a. Percepatan cakupan peta dasar pertanahan

b. Percepatan cakupan bidang tanah bersertifikat (target ideal sebesar 80% dari luas wilayah nasional)

c. Publikasi tata batas kawasan hutan pada skala pendaftaran tanah (kadastral 1:5.000) yang terintegrasi dalam sistem pendaftaran tanah

d. Sosialisasi peraturan perundangan penetapan tanah adat/ulayat

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 11

2. Reforma Agraria melalui Redistribusi Tanah, Pemberian Tanah, dan Bantuan Pember- dayaan Masyarakat

Reforma agraria merupakan arah kebijakan yang menjawab isu terkait ketimpangan P4T dan mendorong kesejahteraan rakyat. Redistribusi tanah dilakukan dengan memberikan hak atas tanah kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah. Kebijakan redistribusi tanah tersebut mem- bantu menyeimbangkan kepemilikan tanah di masyarakat. Sedangkan upaya penyamarataan kes- ejahteraan rakyat dilakukan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat (access reform) melalui upaya mengoordinasikan dan menghubungkan (channeling) masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi produktif. Berikut strategi untuk dalam menjalankan arah kebijakan tersebut.

a. Penyediaan sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)

b. Pelaksanaan pemberian hak milik atas tanah (reforma aset) yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset

3. Pencadangan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Arah kebijakan ini berkaitan dengan isu ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk ke- pentingan umum. Pencadangan tanah merupakan kewenangan Negara yang diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat. Kebijakan tersebut dicapai melalui pembentukan instrumen kelembagaan khu- sus penyediaan tanah atau bank tanah.

4. Pencapaian Proporsi Kompetensi SDM Ideal Bidang Pertanahan untuk Mencapai Kebu- tuhan Minimum Juru Ukur Pertanahan

Dengan adanya isu kinerja pelayanan pertanahan, maka diperlukan adanya upaya dalam me- ningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) bidang pertanahan sebagai faktor utama yang menentukan. Dalam kebijakan ini, SDM bidang pertanahan berfokus pada juru ukur pertanahan sebagai ujung tombak di lapangan. Adapun strategi untuk dapat mewujudkan arah kebijakan terse- but adalah dengan melakukan perbaikan proporsi penerimaan SDM juru ukur pertanahan melalui peneriman PNS Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang terencana.

12 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas

BAB 3 KELEMBAGAAN PERTANAHAN INDONESIA

Urusan pertanahan diatur dalam suatu sistem kelembagaan.Terdapat peraturan perundan- gan yang menjadi acuan dalam keberjalanan urusan pertanahan.Selain itu terdapat lembaga yang mengurus urusan pertanahan dengan kewenangannya.Dari peraturan dan lembaga yang menga- tur urusan pertanahan tersebut didapatkan bentuk pelayanan pertanahan bagi masyarakat di In- donesia.

3.1 Peraturan Perundangan terkait Urusan Pertanahan di Indonesia

Terdapat beberapa peraturan yang terkait dengan urusan pertanahan di Indonesia. UUD 1945 menjadi landasan dasar dalam perumusan peraturan di bawahnya. Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disebut dengan UUPA menjadi acuan utama dalam urusan pertanahan di Indonesia. Sedangkan UU Nomor 56 PRP Tahun 1960 dan UU Nomor 2 Tahun 2012 mendukung adanya UUPA tersebut. UUPA menjadi landasan utama bagi peraturan-peraturan pertanahan yang ada di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, PP Nomor 16 Tahun 2004, dan PP Nomor 16 Tahun 2004.

Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945

Pasal 33 ayat 3 tercantum dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahter- aan Sosial pada UUD 1945. Isi dari pasal ini adalah “ Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekay- aan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. Bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat, oleh karenanya harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ( penjelasan UUD 1945).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanah merupakan permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali atau permukan bumi yang memiliki batas. Oleh karena itu, tanah menjadi bagian dari bumi yang diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sehingga, pasal ini menjadi landasan dasar bagi setiap peraturan urusan pertanahan di Indonesia.

UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-undang ini biasa disebut atau disingkat sebagai UUPA. Isi dari UUPA memuat men- genai dasar-dasar yang menggambarkan kerangka dasar dari hukum agraria nasional. Selain itu juga mengandung dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pada masa itu dan juga dasar-dasar untuk kepastian hukum atas tanah. Muatan UUPA terdiri dari 4 (empat) bab, yakni mengenai Dasar dan Ketentuan Pokok; Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa serta Pendaftaran Tanah; Ketentuan Pidana; dan Ketentuan Peralihan.

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 17

Dalam Bab I UUPA terdapat penekanan azas kebangsaan dalam penguasaan tanah. Hal ini dilandaskan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pasal 1 ayat 2 menyatakan :

“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di- dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Dari isi pasal tersebut, UUPA mencoba menjelaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan kekayaan di dalamnya adalah semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan paling atas, yaitu tingkatan seluruh wilayah Negara Republik Indonesia (penjelasan UU No 5 Tahun 1960).

Meskipun bumi, air, dan kekayaan di dalamnya merupakan kekayaan nasional, namun UUPA menyatakan bahwa Negara bukan menjadi “pemilik”, tetapi sebagai “penguasa” dari hal tersebut, termasuk tanah di Indonesia. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang pertama ka- linya memperkenalkan konsep hak menguasai Negara. Hal ini tercantum jelas pada Pasal 2 UUPA, bahwa bumi, air, dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Berdasarkan hal tersebut maka Negara sebagai penguasa memiliki wewenang sebagaimana yang telah disebutkan dalam UUPA. Beda halnya dengan status pemilik, sebagai penerima kuasa, maka negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat seb- agai pemberi kuasa. Kewenangan penguasaan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan Negara.

Pada pasal yang sama, UUPA menunjukkan adanya pengakuan hak ulayat di Indonesia se- cara resmi. Melalui pasal berikutnya, UUPA mengakui adanya hak ulayat di Indonesia, yakni :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan- nya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” (Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960). Dari pasal tersebut jelas menunjukkan bahwa hak ulayat diakui dan diperbolehkan ada sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan umum.

UUPA juga menjelaskan bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial hak atas tanah merupakan bentuk perwujudan dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat terbentuknya Undang-Undang tersebut. Unsur kepentingan masyarakat dalam penggunaan tanah dalam UUPA merupakan bentuk pencegahan terjadinya monopoli dan ketimpangan kepe- milikan tanah di Indonesia. Dari kewenangan penguasaan yang dimiliki oleh Negara, maka Negara berhak membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar. Sehingga konteks pengaturan UUPA mendahulukan kepentingan umum untuk fungsi sosial di atas segalanya.

Pada pasal 10 UUPA dinyatakan bahwa hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Selain itu, UUPA juga memandang penyamarataan gender baik laki-laki maupun perempuan Indonesia berhak memiliki tanah sendiri. Hal ini sesuai dengan azas kebang- saan yang dianut oleh Undang-Undang tersebut.

18 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas

Penjelasan Historis Acuan Utama : UUPA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disetujui dan disahkan pada tanggal 24 September 1960. Dari terbentuknya UUPA tersebut menandakan berakhirnya masa dualisme hukum agraria (mengacu pada hukum kolonial

:Agrarische Wet 1 ) yang sebelumnya berlaku di Indonesia.Selain itu, UUPA merupakan produk hu- kum Indonesia pertama yang bersummber pada hukum adat.Setelah proses pembahasan Ran- cangan UUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria pada masa itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa :

“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah per- juangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penja- jahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.

Pembuatan UUPA menggambarkan semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan. Proses pembuatan Undang-Undang tersebut dipengaruhi oleh dinamika dari ber- bagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolo- nialisme.Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA.

Dasar konstitusional dalam UUPA adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUPA menekankan adanya kekuasaan Negara di atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia.Selain itu, manfaat dari bumi, air, dan kekayaan alam tersebut diprioritaskan bagi kepentingan masyarakat luas.Oleh karenanya, UUPA dibuat den- gan dilandaskan pada dua konsepsi besar, yakni hak menguasai negara dan fungsi sosial hak atas tanah.

UU Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Undang-undang ini dibuat berdasarkan pertimbangan tujuan adanya landreform di Indone-

sia. Pembuatannya dilatarbelakangi oleh adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah di Indonesia, khususnya kepemilikan tanah oleh petani atau lahan pertanian. Undang-undang ini mengacu pada UUPA untuk menjelaskan bagaimana penetapan lahan pertanian mulai dari luasan dan juga keten- tuan peralihan lahan untuk pertanian. Terdapat 13 pasal yang tercantum dalam UU Nomor 56 PRP Tahun 1960.

1 Agrarische Wet adalah sebuah undang-undang yang dibuat di Belanda terkait pertanahan.Agrarische Wet membuka peluang bagi swasta untuk mendapatkan tanah yang masih berupa hutan dari pemerintah. Tanah tersebut dapat digunakan dalam jangka waktu selama 75 tahun.

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 19

UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Pembuatan UU ini dibuat berlandaskan UUPA. Muatannya mengandung tentang pokok pen- gadaan tanah yakni menjelaskan siapa pihak yang menyelenggarakan dan prosedur dasar pen- gadaan tanah. Kemudian juga membahas mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah. Pada bagian ini dijelaskan secara jelas mengenai perencanaan, persiapan, dan pelaksanaan pengadaan tanah.

Selain itu, UU ini juga menjelaskan bagaimana prosedur peralihan tanah menjadi tanah per- tanian. Oleh karena adanya peralihan fungsi dan pemilikan tanah, maka Negara mengatur terkait ketentuan ganti-rugi dalam urusan pertanahan. Kemudian UU ini juga mengatur mengenai keten- tuan pidana terkait pengadaan tanah di Indonesia.

3.2 Lembaga Terkait Urusan Pertanahan

Urusan pertanahan di Indonesia dinaungi oleh satu lembaga khusus yang sekarang dipegang oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional.Berikut penjelasan men- genai perkembangan pembentukan lembaga pertanahan di Indonesia serta tugas dan fungsi yang dimilikinya saat ini.

3.2.1 Sejarah Lembaga Pertanahan di Indonesia

Pembentukan lembaga pertanahan dapat digambarkan berdasarkan lini masa pemerin- tahan di Indonesia. Berikut akan dijelaskan bagaimana sejarah lembaga pertanahan dari mulai di bawah wewenang pemerintah kolonial Belanda hingga menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ru- ang (ATR) / BPN saat ini.

Masa Penjajahan

Lembaga pertanahan sudah berjalan sejak masa penjajahan kolonial Belanda.Keberadaan lembaga tersebut diatur dalam peraturan kolonial pada masa itu, yakni Agrarische Wet. Berdasar- kan Ordonansi Staatblad 1823 Nomor 164, lembaga yang mengatur urusan kadasteral adalah Kadasteral Dient.Lembaga tersebut menjadi lembaga di bawah Departemen Kehakiman pada saat itu. Pelayanan urusan pertanahan bagi orang Belanda dan Timur Asing berupa penerbitan surat keputusan hak atas tanah dilakukan oleh Bupati, Residen, dan/atau Gubernur, dan kadaster yang bersifat peta dan informasi dikerjakan oleh Kehakiman, serta balik nama oleh pengadilan. Sedangkan bagi pribumi urusan pertanahannya cukup dilaksanakan oleh administrasi desa/ kelurahan.

Setelah Jepang menjajah Indonesia, keberadaan lembaga Kadsteral Dient tetap ada.Namun, namanya berganti menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan kantornya bernama Kantor Pendaft- aran Tanah.Pada prinsipnya, keberjalanan urusan pertanahan dilaksanakan seperti jaman kolonial Belanda.Hanya saja terdapat peraturan khusus pada masa itu, yakni pelarangan pemindahan hak atas benda tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun 1942) dan penguasaan tanah-tanah partikelir

1 oleh Pemerintahan Dai Nippon dihapus. 2 “tanah partikelir”, ialah tanah “eigendom” di atas mana pemiliknya sebelum Undang-undang ini berlaku,

mempunyai hak-hak pertuanan (Pasal 1 UU No. 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir)

20 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas

Masa Kemerdekaan

1945-1960 : Selepas proklamasi kemerdekaan, Pemerintah masuk ke dalam masa pembenahan per-

aturan dari peraturan berlandaskan kolonialisme menjadi peraturan mandiri sesuai UUD 1945 termasuk urusan pertanahan.Lembaga yang mengurusi hal tersebut pada saat itu adalah Kemen- terian Dalam Negeri (Kemendagri).Penyelenggaraan urusan pertanahan oleh Kemendagri di Indo- nesia berlangsung kurang lebih selama 25 tahun.

Pada 1948, berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948, Pemerintah mem- bentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, terbit Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang membentuk Panitia Agraria Jakarta, sekaligus membubarkan Panitia Agraria Yogyakarta. Kedua kepanitiaan tersebut ditugaskan untuk membangun dasar hukum dari urusan pertanahan di Indonesia.

Pada tahun 1957, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, Pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari Departemen Dalam Neg- eri.Kemudian, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula berada di Kementerian Kehakiman dialihkan ke Kementerian Agraria.

1960-1965 : Tahun 1964 Kementerian Agraria berubah menjadi Departemen Agraria meIalui Peraturan

Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964.Peraturan tersebut nantinya disempurnakan dengan Per- aturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965 yang mengurai tugas Departemen Agraria serta menambahkan Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke dalam organisasi. Pada periode ini, terjadi penggabungan antara Kantor Inspeksi Agraria-Departemen Dalam Negeri, Direktorat Tata Bumi-Departemen Pertanian, dan Kantor Pendaftaran Tanah-Departemen Kehakiman.

1965-1988 Pada tahun 1965, Departemen Agraria diubah dan ditambah fungsinya dalam urusan trans-

migrasi menjadi Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi di bawah Kementerian Dalam Neg- eri.di tahun yang sama, terjadi perubahan organisasi yang mendasar. Direktorat Jenderal Agraria tetap menjadi salah satu bagian dari Departemen Dalam Negeri, namun permasalahan transmi- grasi ditarik ke dalam Departemen Veteran, Transmigrasi, dan Koperasi.

Pada 1972, terjadi perubahan organisasi dalam Direktorat Jenderal Agraria.Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 145 Tahun 1969 dicabut dan diganti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1972, yang menyebutkan penyatuan instansi Agraria di daerah. Di tingkat provinsi, dibentuk Kantor Direktorat Agraria Provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota dibentuk Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya.

1988-1993 Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional yang menjadi tema sentral proyek eko-

nomi – politik Orde Baru, kebutuhan akan tanah juga makin meningkat. Persoalan yang dihadapi Di- rektorat Jenderal Agraria bertambah berat dan rumit.Oleh karenanya, Pemerintah Orde Baru pada

Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 21 Profil Pertanahan Nasional 2015 - Kementerian PPN / Bappenas 21

1993-1998

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993, Kepala BPN merangkap menjadi Menteri Agrari Nasional. Dengan kata lain, terdapat 2 (dua) lembaga yang berbeda fungsi dipimpin oleh 1 orang. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kantor Menteri Negara Agraria berkonsentrasi meru- muskan kebijakan yang bersifat koordinasi, sedangkan Badan Pertanahan Nasional lebih berkon- sentrasi pada hal-hal yang bersifat operasional.

1999-2000

Pasca Orde Baru, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999 tentang Pe- rubahan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, Kepala BPN merangkap menjadi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan pelaksanaan pengelolaan pertanahan sehari-harinya dilaksanakan oleh Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional.

2000-2006

Pada periode ini Badan Pertanahan Nasional beberapa kali mengalami perubahan struk- tur organisasi.Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional mengubah struktur organisasi eselon satu di Badan Pertanahan Nasional.Namun yang lebih men- dasar adalah Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Dae- rah Dibidang Pertanahan. Disusul kemudian terbit Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan memposisikan BPN sebagai lembaga yang menangani kebijakan nasional di bidang pertanahan.

2006-2013

Pada 11 April 2006 terbit Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Per- tanahan Nasional yang menguatkan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional, di mana tugas yang diemban BPN RI juga menjadi semakin luas. BPN RI bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sek- toral.

2013-2014

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100