Laporan Kasus Kista nasolabial yang berh

Laporan Kasus
Kista nasolabial yang berhubungan dengan infeksi odntogenik
Abstrak
Kista nasolabial atau kista klestadt adalah kista non odontogenik yang relatif tidak umum
terjadi, yang berkembang di regio alar nasal (hidung); kista nasolabial memiliki patogenesis
yang tidak jelas. Lesi ini memiliki kecepatan tumbuh yang lambat dan dimensi yang beragam
dan dicirikan secara klinis oleh tumor yang melayang di area lipatan nasolabial di sekitar
pemisah hidung yang menyebabkan elevasi atau peninggian bibir atas dan membuat wajah
relatif tidak simetris. Penegakkan diagnosis ditegakkan secara klinis; jika diperlukan dapat
dilengkapi dengan penggambaran (imaging). Jurnal ini melaporkan kasus seorang laki-laki
usia 39 tahun yang mengeluhkan sakit pada regio premolar kanan atas dan estetik yang buruk
karena adanya tumor padat di hidung bagian kanan. Awalnya hal ini diduga disebabkan oleh
abses odontogenik; namun, diagnosis bandingnya adalah kista nasolabial yang berhubungan
dengan akar gigi 14 dan 15. Terapi pembedahan telah dilaksanakan, diikuti pemeriksaan
histopatologis dan bersamaan dengan penangaan endodontik terhadap gigi yang terlibat.
Pendahuluan
Kista nasolabial dapat dianggap sebagai lesi nonodontogenik dan mempengaruhi jaringan
lunak dari vestibula hidung, fosa canina, dan bibir atas. Efeknya bersifat unilateral ke garis
tengah bibir atas dan dasar alar [1-4]. Kista nasolabial relatif jarang, sekitar 0,7% dari kista
yang mempengaruhi daerah maksilofasial.[5,6]
Kista nasolabial dipelajari oleh klestadt tahun 1953 [2], dan lesi ini diberi nama atas

jasanya. Nama lain yang digunakan untuk lesi ini adalah kista mukoid, kista maxila, kista
angin, kista nasovestibular, kista subalar dan kista nasoglobular. Choi et al menyarankan
istilah kista nasoalveolar yang mana menjelaskan lokasi lesi yaitu di antara jaringan lunak di
bibir atas dan vestibula nasal.
Patogenesis dari lesi ini masih belum jelas dan terdapat beberapa teori mengenai asal
usulnya. Teori terkini yang paling dapat diterima adalah bahwa kista ini berasal dari sisa
epitel yang terperangkap bersamaan dari penggabungan prosesus nasal dengan median dan
rahang; teori lain berspekulasi bahwa ini kista ini merupakan celah kista atau yang berasal
dari endpan epitel duktus nasolakrimal [7].
Secara klinis, kista nasolabial dicirikan oleh peningkatan volume area nasolabial
unilateral yang menyebabkan peninggian jembatan (pemisah) hidung dan proyeksi bibir atas;
pada beberapa kasus, obstruksi hidung terjadi. Hal ini muncul secara lambat dan asimtomatik
kecuali ketika disertai adanya infeksi [9]. Kista nasolabial secara khas terbentuk di antara
dekade pertama dan ke tujuh dan lebih umum terjadi pada orang dewasa usia 40-50 tahun,
wanita (3:1) [1] dan orang berkulit gelap [10].
Diagnosis ini biasanya berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan dapat disertakan
gambaran tes x-ray, CT-Scan dan MRI.
Tatalaksana kista nasolabial dapat dilakukan dengan aspirasi jarum halus atau dengan
insisi dan drainase, enukleasi kista untuk akses intraoral, marsupialisasi, penggunaan
endoskopik atau agen sklerosing atau injeksi intralesi.


Tujuan dari jurnal ini adalah untuk menjelaskan studi kasus mengenai perawatan dari
kista nasolabial dan mendiskusikan diagnosis dan karakteristik lesi.
Laporan kasus
Pasien laki-laki 39 tahun kaukasoid, datang ke igd Universitas Negeri Ponta Grossa
dengan mengeluhkan peningkatan ukuran sinus paranasal di sisi kanan dan adanya nyeri yang
bersifat menyebar pada gigi di regio yang sama. Pasien ini juga mengeluhkan adanya estetis
yang kurang baik akibat pembengkakan selama beberapa bulan. Selama pemeriksaan
intraoral, palpasi menunjukkan peningkatan volume di dekat lipatan bawah. Foto panoramik
(gambar 4), periapikal (gambar 5) dan radiografi oklusal dari maksila dibutuhkan.
Berhubungan dengan gambaran radiologis, terdapat periodontis apikal pada gigi 14 dan 15
yang cocok dengan abses.
Karakteristik klinis dan gambaran radiografi secara bersamaan dapat menegakkan
diagnosis abses endodontik, dimana prosedur emergensi berupa pembukaan dan
instrumentasi endontik pada gigi 14 dan 15 dan diresepkan kalium diklofenak (50 mg untuk 2
hari) dan amoxicilin (500mg untuk 7 hari). Tujuan dari peresepan adalah untuk mengurangi
pembengkakan dan gejala lainya. Dua hari kemudian, pasien kembali untuk mengambil
menganti medikasi intrakanal dan menerima reinstrumentasi endodontik pada kedua gigi.
setelah 8 hari, tidak terdapat penurunan lesi dan pasien mengeluhkan nyeri, lalu penggantian
medikasi intrakanal dilakukan. pasien diresepkan amoksisilin (875mg) dan kalium klavulanat

(125mg) selama 7 hari dan natrium dipirone (500mg) selama 2 hari.
Setelah 7 hari, pasien datang dengan mengeluhkan keluhan yang sama. Jalur fistula
dengan gutta percha dibuat, diikuti dengan pemeriksaan radiografi, yang menegaskan bahwa
lesi periapikal yang bersangkutan benar-benar berasal dari gigi 14 dan 15. Penggantian Obat
intrakanal dilakukan kembali , dan tes sensitivitas pulpa dilakukan pada semua gigi atas, gigi
21, 11, dan 12 tidak berespon terhadap tes. Hasil tes ini dilanjutkan dengan perawatan
endodontik karena selain dari hasil tes ini terlihat bahwa terjadi perubahan warna yaitu gigi
terlihat lebih gelap yang kompatibel dengan nekrosis pulpa.
Karena perawatan endodontik belum menunjukkan efek yang diinginkan atau
pengurangan gejala awal, pemeriksaan darah lengkap dan gula darah puasa pun dilakukan
untuk memeriksa kondisi sistemik dan kemampuan kekebalan pasien hasilnya tidak ada yang
tidak normal; diagnosis kista nasolabial di daerah wajah kanan dengan kemungkinan
berhubungan dengan akar gigi 14 dan 15 ditegakkan. Setelah 1 minggu, dilakukan
penggantian obat intrakanal karena tidak terjadi pengurangan pada gejala awal.
Jika setelah periode ini gejala tidak memburuk tatalaksana pembedahaan pada kasusu ini
dapat diajukan. Awalnya dilakukan asepseis dengan menggunakan bahahn asepsis PVPI
untuk mempersiapkan area bedah. Setelah anestesi lokal dari saraf infraorbital dan anterior
selular nasopalatinus menggunakan tiga ampul mepivacaine (2%) dan epinefrin (1: 100.000).
Pertama lesi kista dilakukan aspirasi (Gambar 6), diikuti dengan biopsi eksisi (Gambar 7).
operasi tidal memiliki komplikasi.

Ditemukan lesi pembengkakan berbentuk oval, keputihan tanpa infiltrasi: lesi tersebut
memiliki permukaan yang licin dengan batas tegas, keras, tidak bertangkai dengan diameter
sekitar 5cm. setelah pengangkata lesi, perhatian ditujukan kepada akan gigi 14, yang
memiliki hubungan dengan lokasi kista, mengkonfirmasi apakah terdapat kontaminasi antara

kista nasolanial dan periodontitis apikalis, untuk menjelaskan mengapa perawatan endodontik
tidak mendapatkan efek yang diinginkan (Gambar 10). Penjahitan dilakukan menggunakan
benag vicryl polyglycolic acid.
Lesi disimpan dengan baik dann dikirim ke patologi klinis untuk dilakukan analisis lebih
lanjut dan pasien menerima peresepan untuk obat antiinflasi setelah oprasi (ibuprofen 600mg
selama 3 hari). Penampilan luar segera setelah operasi pada pasein diamati pada gambar 11:
penampilan ini cukup memuaskan sebagaimana keluhan utama berupa peningkatan volume
daerah wajah dan sudah dihilangkan selama tindakan operasi.
Analisis patologi klinis menunjukan spesimen terdiri dari dinding kista fibrous dengan
epitelium pseudostratifikatum silindris berlapis tipis yang menutupi sel-sel goblet yang
mensekresi mucus dan sel- sel inflamasi (karena adanya kontaminasi kista yang konstan),
dimana terlihat hubungan dengan region periapikal dari premolar kanan, sebagaimana yang
telah dideskripsikan. Setelah pemeriksaan, diagnosis kista nasolabial ditegakkan.
Kontrol setelah operasi dilakukan pada hari ke 7 (Gambar 12), hari ke 15 dan 1 bulan
untuk mengevaluasi kemungkinan kenaikan volume dan rekurensi gejala pada daerah tersebut

, termasuk rasa sakit, parastesia atau tanda lainnya dari perubahan saraf pada daerah tersebut.
Pada kunjungan pertama setelah operasi, parestesia pada region nasolabial dan labial diamati.
Daerah tersebut dijadwalkan untuk sesi terapi laser yang bertujuan untuk menyembuhkan
sensitifitas pada daerah tersebut. Pasien telah melakukan 2 sesi terapi laser; setelah sesi terapi
laser kedua pasien melaporkan bahwa ia mulai dapat merasakan sensasi rasa pada daerah
operasi.
Diskusi
Laporan kasus ini menggambarkan bahwa ciri yang paling sering ditemukan pada pasien
yang terkena kista nasolabial yang memperkuat penelitian sebelumnya [4,6,7,12]. Beberapa
tanda klinis umum yang telah diobservasi, seperti hilangnya lipatan nasolabial dan
peninggian sayap hidung, dapat menegakkan diagnosis akhir dari saat pertama kali kontak
dengan pasien; namun cerita yang dilaporkan oleh pasien, membuat sulit untuk ditegakkan
diagnosis sebuah cedera yang tidak mengenai jaringan tulang. Kesulitan ini dapat
mengarahkan tuntutan berbagai profesional untuk menjamin resolusi komplit dari kasus
tersebut.
Pasien melaporkan pertumbuhan cedera dalam beberapa bulan, beserta dengan gejala
nyeri yang tidak biasa ditemukan dan dia mengeluhkan estetik yang buruk karena terdapat
area yang membengkak. Perbedaan dengan literatur, dimana pada beberapa pasien
melaporkan perkembangan lesi selama 3-5 tahun dan tidak mencari pengobatan karena
lambatnya pertumbuhannya dan tidak menimbulkan gejala apapun serta tidak ada rasa nyeri

dan rasa tidak nyaman. Pada kasus lainnya terdapat pertumbuhan yang tiba-tiba dari lesi
tersebut setelah 1 tahun, dan pada satu kasus setelah jangka waktu 2 bulan, lesi mejadi
berlebihan.
Berdasarkan ras, kasus yang ada berbeda secara literatur yang ada, orang berkulit gelap
telah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi dengan faktor pengaruh usia dan jenis
kelamin. Pada kasus ini, lesi ini telah didiagnosis secara unilateral setelah melalui seluruh
evaluasi dari sisi berlawanan dan tes vitalitas pulpal dari gigi kuadran 2. Terdapat beberapa
kasus kista nasolabial bilateral di literatur.

Diagnosis kista nasolabial hampis secara eksklusif ditentukan secara klinis, dimana
melalui palpasi dua jari pada regio tersebut dan harus dilakukan secara hati-hati. Yang dapat
mengganggu proses adalah lesi yang relatif jarang dan diagnosis banding termasuk banyak
kondisi lainnya yang mempengaruhi regio maksila anterior termasuk kista odontogenik,
granuloma periapikal dan abses. Tes vitalitas pulpa dari gigi yang berdekatan sangat penting
untuk menegakkan diagnosis dan harus dilakukan pertama kali jika itu bukanlah periodonitis
apikal, gigi yang diperiksa ini akan menunjukkan hasil positif pada tes vitalutas tersebut
menandakan adanya kista nasolabial. Ciri ini membuat sulit didiagnosis pada kasus ini,
sebagaimana karakteristik klinis pada pasien sesuai dengan periodontitis apikal dan gigi yang
diperiksan ini merespon negatif pada tes vitalitas pulpa.
kista dermis dan epidermis seharusnya dapat dipertimbangkan di diagnosis banding,

meskipun berhubungan dengan penguningan pada lapisan atas mukosa; pada kasus kista
nasolabial, mereka menahan mukosa labial dengan warna yang normal atau kebiruan, karena
adanya vaskularisasi lokal dan tergantung dari ukurannya. Sebagai tambahan, kista
epidermoid biasanya didiagnosis pada anak-anak, sementara kista nasolabial lebih umum
terjadi pada pasien dewasa dimana sesuai pada kasus ini.
El-DIn dan el-Hamd melaporkan bahwa komplikasi dari kelainan ini biasanya
menyebabkan obstruksi hidung dan dari segi penampilan, wajah pasien menjadi lebih merah.
Menurut Nixcorf et al, pasien hanya mencari terapi ketika terjadi deformitas atau kerusakan,
obstruksi nasal, atau adanya infeksi yang disebabkan oleh lesi tersebut. Bagaimanapun pada
pasien ini, mencari peanganan karena dia berpikir bahwa kelainan ini berasal dari gigi yang
berhubungan dengan kista nasolabial dimana dengan akar gigi 14 dan 15.
Berdasarkan penatalaksanaan dari cedera, banyak studi melaporkan enukleasi adalah
pilihan terapi untuk kista nasolabialis sebagaimana terdiri secara keseluruhan adalah jaringan
lunak, dimana tidak berespon baik dengan marsupialisasi. Penanganan alternatif yang
disarankan, seperti aspirasi, kauterisasi, injeksi, penggunaan agen sklerosis dan drainase
dengan insisi. Namun metode ini berhubungan dengan angka kejadian kekambuhan yang
tinggi. Oleh karena itu, pada pandangan kasus reseksi pembedahan dan potensi kuratif, kita
percayai bahwa prosedur ini seharusnya berpotensi menyembuhkan. Untuk pasien ini,
bergantung pada ukuran lesi, kami memilih untuk melakukan pembedahan setelah
pemeriksaan histologi pada daerah lesi ini.

Untuk prosedur aspirasi dimana bertujuan untuk mengakses kristal kolestrol sebisa
mungkin, mengangkat cedera odontogenik dan memungkinkan injeksi larutan radiopaq,
metode ini kontraindikasi oleh beberapa penulis karena ini dapat meningkatkan risiko
kejadian berulang dari lesi, khususnya ketika dipilih sebagai bentuk penanganan satu-satunya.
Pada kasus ini, ini hanyalah bagian pelengkap dari diagnosis, oleh karena itu ini dapat
digunakan.
Pada pasien kita, pemeriksaan histopatologi tidak sepenuhnya konsisten dengan yang
biasanya dilihat pada histopatologis kista nasolabial, karena proses inflamasi kronik berulang,
kista akhirnya kehilangan beberapa karakteristik epitel, Bagaimanapun, kami melakukan
pengamatan karakteristik lesi kista dengan inflamasi kronik, kapsul fibrosa, permukaan dalam
yang lembut dan terang dan diwarnai seromukosa kekuningan; oleh karena itu, melalui
kombinasi penemuan histopatologis dan ciri klinis yang ditemukan pada lesi ini, diagnosis
kista nasolabial dapat ditegakkan.

Kesimpulan
Jurnal ini disajikan karakteristik klinis dan temuan histologis yang cocok dengan kista
nasolabial meskipun kerangka awal digambarkan hanya berasal dari gigi. Kerusakkan
jaringan lunak seharusnya selalu dipertimbangkan dalam diagnosis banding ketika terdapat
pembengkakan pada jaringan lunak daerah alar hidung. Perawatan dalam hal ini meliputi
endodontik dalam hubungannya dengan eksisi bedah lesi; perawatan ini konservatif, jenis lesi

seperti ini jarang mengalami rekurensi.

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75