Dasar Dasar Pendidikan anak KHD

Nama

: Astri Marlia

NIM

: 1600054

Program S.

: PGSD-S1

Kelas

: 4A

Tugas

: Hasil Bacaan Buku Ki Hajar Dewantara
Dasar-Dasar Pendidikan


1. Arti dan maksud pendidikan
Kata ‘pendidikan’ dan ‘pengajaran’ seringkali dipakai bersama, akan tetapi saat kedua
perkataan itu digabungkan akan dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Pengajaran
(onderwijs) merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Jelasnya, pengajaran ialah
pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan, serta juga memberi kecakapan
kepda anak-anak, yang kedua-duanya dapat bermanfaat bagi hidup anak-anak, baik lahir
maupun batin.
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan (opvoeding) pada umunya yaitu tuntunan
di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamanatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
2. Hanya tuntunan dalam hidup
Pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini
berarti, bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak
kaum pendidik. Anak-anak sebagai makhluk, serta sebagai manusia tumbuh menurut
kodratnya sendiri. Maka yang dimaksud dengan ‘menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak’ tiada lain ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari
anak-anak tersebut, yang ada karena kekuatan kodrat. Oleh karena itu kaum pendidik hanya
dapat meenuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan tersebut, agar dapat
memperbaiki tingkah lakunya (bukan dasarnya) dan tumbuhnya.

3. Perlukkah tuntunan pendidikan itu?
Meskipun pendidikan hanya merupakan ‘tuntunan’ saja dalam tumbuhnya anak-anak,
tetapi tidak terlepas hubungannya dengan kodrat dan keadaan dari masing-masing anak. Jika
anak tidak baik dasarnya, maka tentu anak harus mendapat tutunan agar budi pekertinya bisa
lebih baik, sehingga bila ia tidak mendapat tuntunan pendidikan, maka memungkinkan anak
tumbuh menjadi pribadi yang tidak baik. Begitu pula dengan anak yang sudah baik dasarnya,
1

ia pun masih amat perlu untuk mendapat tuntunan pendidikan, sehingga anak memiliki
tingkat kecerdasan yang lebih tinggi, serta meminimalisir terhadap pengaruh eksternal yang
akan dihadapi anak di lingkungannya, atau keadaan anak-anak seperti tinggat ekonomi dan
lingkungan dengan kondisi yang merosot budi pekertinya.
4. Dasar jiwa anak dan kekuasaan pendidikan.
Yang dimaksud ‘dasar jiwa’ adalah keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya
sendiri, sebelum ada pengaruh dari luar, yang dibawa oleh anak ketika lahir ke dunia ini.
Terdapat tiga aliran tentang dasar jiwa yang berhubungan dengan soal daya pendidikan.
Yang pertama, menurut aliran ini anak yang lahir di dunia ini diumpamakan seperti sehelai
kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu
menurut kehendaknya. Artinya pendidik berkuasa seluas-luasnya untuk membentuk watak
atau budi peserta didik seperti yang diinginkannya. Teori ini juga dinamakan teori tabula

rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh pendidik)
Aliran yang kedua ialah aliran negatif, yang berpendapat bahwa anak lahir sebagai
sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, hingga tak memungkinkan pendidikan dari
siapapun dapat mengubah watak-wataknya anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan
mengamati jangan sampai terdapat pengaruh-pengaruh negatif yang mendekati anak. Jadi
pendidikan menurut aliran ini dianggap dapat menolak pengaruh-pengaruh dari luar, akan
tetapi tidak dapat mewujudkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak.
Aliran yang ketiga ialah aliran yang terkenal dengan nma ‘convergentie-theorie’, teori
ini mengajarkan bahwa anak yang lahir diumpamakan sebagai sehelai kerta yang sudah
ditulisi penuh, akan tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Menurut aliran ini pendidikan itu
berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan suram yang berisi baik, agar kelak
nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti yang buruk
hendaknya dibiarkan agar jangan samapai menjadi tebal, bahkan diupayakan untuk semakin
suram.
5. Tabiat yang dapat dan tidak dapat berubah
Menurut "convergentie-theorie' telah dipaparkan, bahwa watak manusia itu terbagi
menjadi dua bagian. Yang pertama dinamakan bagian yang ‘intelligibel’, yakni yang
2

berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) dan yang dapat berubah

menurut pengaruh pendidikan atau keadaan, sedangkan yang kedua dinamakan bagian yang
‘biologis’, yakni yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup dan yang
dikatakan tidak akan dapat berubah lagi selama hidup.
Yang disebut bagian ‘intelligibel’ yang dapat berubah karena pengaruh, misalnya
kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir, dan
sebagainya. Dengan kata lain keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang
atau merasakan dan kuat-lemahnya kemauan.
Bagian yang ‘biologis’ yang tak dapat berubah, ialah bagian-bagian jiwa mengenai
‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia, misalnya rasa takut, rasa malu, rasa
kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani dan sebagainya. Rasa-rasa
itu tetap ada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil sehingga ia menjadi orang
dewasa
6. Perlunya menguasai diri dalam pendidikan budi pekerti
Pendidik tidaklah seharusnya berputus asa menganggap bahwa tabiat-tabiat yang
‘biologis’ (perasaan) tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan
‘intelligibel’ (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak
baik, akan tetapi perlu diingat, bahwa dengan nenguasai diri (zelfbeheersching) tabiat-tabiat
biologis yang tidak baik, senantiasa dapat dilenyapkan atau dikalahkan. Jadi apabila
kecerdasan budi itu sungguh baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian
(‘persoonlijkheid') dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan), maka hal itu dapat

mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiat bologis yang tidak baik.
Maka berdasarkan hal itu, menguasai diri disebut sebagai tujuannya pendidikan dan
maksudnya keadaban. Selanjutnya pada persoalan budi pekerti, yang dinamakan ‘budi
pekerti' atau watak yaitu bulatnya jiwa manusia, yang dalam bahasa asing disebut ‘karakter'
sebagai ‘jiwa yang sudah berazas hukum kebatinan’. Orang yang telah mempunyai
kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan, merasakan, serta selalu memakai
ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya setiap orang dapat
kita kenali wataknya dengan pasti, karena watak atau budi pekerti itu memang bersifat tetap
dan pasti untuk setiap individu manusia, sehingga dapat dibedakan orang yang satu dan yang
3

lainnya. Budi pekerti, watak, atau karakter ialah bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan
kehendak, atau kemuuan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Sehingga kita ketahui bahwa
‘budi’ berarti ‘pikiran-perasaan-kemauan', dan 'pekerti’ itu artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti'
adalah sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dan
dengan adanya 'budi pekerti’ maka tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka
(berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching).
Inilah manusia yang beradab dan yang dimaksud tujuan pendidikan dalam garis besarnya.
7. Jenis-jenis budi pekerti
Setelah mengetahui bahwa budi pekerti seseorang dapat mewujudkan sifat kebatinan

dengan pasti dan tetap, maka kita juga mengetahui bahwa tidak ada dua budi pekerti orang
yang sama. Jadi sama dengan keadaan roman muka manusia, tidak ada dua yang sama.
Meskipun begitu, orang juga dapat membagi-bagi budi pekeru manusia menjadi beberapa
macam atau jenis atau ‘typen’, dengan maksud agar setiap orang dapat mempunyai ikhtisar
tentang sifat-sifat watak orang pada umumnya.
Pembagian budi pekerti menjadi beberapa typen disandarkan pada sifatnya angan
angan, sitatnya perasaan dan sifatnya kemauun (analytis); tiga sifat itu digabungkan menjadi
satu (synthetis); kemudian mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Yang
amat tersohor adalah pembagian dari almarhum Prof. dr. Heymans guru besar di Universtas
Groningen yang sudah mengadakan penyelidikan diserta percobaan-percobaan tentang soal
itu dan kemudian menetap adanya 8 typen budi pekeru orang.
Ada pula yang membagi-bagi budi pekerti menjadi beberapa ypen atau Jenis dengan
bersandar atas hasrat seseorang; jadi ini bukan pembagian ‘analytis’ akan tetapi ‘global’ dan
‘etis' (etis=menurut rasa adab). Yang terkenal dalam hal ini ialah Prof. Spranger yang
membagi-bagi budi pekerti orang menjadi 6 jenis, bersandar atas hasrat orang akan: 1.
kekuasaan. 2. Agama. 3. Keindahan. 4. kegunaan atau faedah. 5. pengetahuan atau kenyataan
dan 6. menolong mendermakan atau mengabdi.
Dalam soal watak atau budi pekerti manusia hendaknya jangan dilupakan bahwa tiaptiap manusia itu mendapat pengaruh dari yang menurunkan; jadi sama pula dengan turuntemurunnya siafat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifat roman mukanya, rambutnya. warna
kulitnya, pendek-tingginya badan, dan lain-lain). Dan juga, bahwa pendidikan dan segala
pengalaman serta keadaan itu semuanya berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.


4

Syarat Syarat Dan Alat Alat Pendidikan
Naluri Pendidikan
Adanya pendidikan pada setiap anak dipengaruhi oleh adanya paedagogis instinct, yakni
keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan
bahagia. Pendidikan yang dilakukan oleh tiap-tiap orang terhadap anak-anaknya, umumnya
hanya bersandar atas cara-kebiasaan, dan seringkali sangat dipengaruhi oleh perasaan yang
berganti-ganti dari pendidik: jadi tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Kalau kadangkadang ada keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka,
yakni tidak berdasarkan pengetahuan. Atau atas dasar pengetahuan yang hanya berasal dari
pengalaman; dan berarti kurang luas.
Syarat-syarat pengetahuan
Pendidikan yang teratur adalah pendidikan yang bersandar atas ‘pengetahuan’, yang
dinamakan ‘ilmu pendidikan’. Ilmu ini tidak berdiri sendiri akan tetapi masih memakai ilmuilmu lainya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan yang terbagi menjadi 5 jenis, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.


Ilmu hidup batin manusin (ilmu jiwa, psychologie)
Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie)
Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral)
Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika)
Ilmu tambo pendidikan (ikhusar cara-cara pendidikan)

Untuk mengerti perlunya mempunyai lima pengetahuan itu maka kita dapat mengadakan
perbandingan antara keadaan seorang pendidik dengan seorang tukang pengukir kayu. Seorang
Pengukir kayu tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas mengenai hakikat atau
keadaan kayu, jadi harus mengetahui ilmu kayu (pada no. 1 dan 2), la wajib mengetahui mana
kayu-kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukir-ukiran yang
halus atau yang kasar, dan seterusnya. Karena pendidik itu 'mengukir' manusia, sedang manusia
mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu kemanusiaan itu dua macam yaitu psychologie dan
fysiologie.

5

Kemudian seorang pengukir kayu yang hendak melaksanakan pekerjaan ukiran-ukiran
dengan baik, haruslah mengerti tentang keindahan keindahan ukiran. Yang bagi seorang pendidik

sama halnya harus mengerti keindahan-keindahan batin dan lahir (etika dan estetika) karena
manusia itu bersifat batin dan lahir (pada no. 3 dan 4).
Akhirnya seorang pengukur kayu dapat menghasilkan ukuran-ukiran yang bagus, kalau ia
mempunyai pengetahuan tentang macam-macam ukiran, yang telah diadakan oleh pengukirpengukir lainnya, pada zaman sekarang dan zaman sebelumnya, di negerinya sendiri atau di
negeri asing.
Peralatan pendidikan
Yang dimaksud dengan perkataan ‘peralatan’ sebenarnya adalah alat-alat pokok caracaranya mendidik. Dan cara-cara mendidik adalah amat banyak, akan tetapi pokoknya dalah
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Memberi contoh (voorbeeld).
Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming)
Pengajaran (leering, wulang-wuruk)
Perintah, paksaan dan hukuman (regeering en tucht)
Laku (zelfdiscipline).

Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).
Alat-alat tersebut tidak perlu dilakukan seluruhnya, bahkan terdapat kaum pendidik yang

tidak mufakat adanya salah satu bagian dari yang termaktub. Misalnya pendidik-pendidik dari
pihak vrije opvoeding (pendidikan bebas) tidak suka memakai alat nomor 4. (perintah, paksaan,
dan hukuman). Seringkali seorang pendidik mementingkan sesuatu bagian dan pada umumnya
memilihnya cara-cara itu dihubungkan dengan macam-macam keadaan teristimewa dan
dihubungkan dengan umur peserta didiknya.
Hubungan dengan umur
Untuk keperluan pendidikan, maka umur peserta didik dapat dibagi menjadi 3 masa,
masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a. waku pertama (l-7 tahun) dinamakan masa
kanak-kanak (kinderperiode), b. waktu ke-2 (7-14 ahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran
(intelectueele periode) dan c. masa ke-3 (14-21 tahun) dinamakan mmasa terbentuknya budi
6

pekerti atau (sociale periode). Berhubung dengan alat-alat atau cara-cara pendidikan, yang
dihubungkan dengan umur kanak-kanak, maka dibawah ini telah disajikan pemakaian cara-cara,
sesuai dengan umur tersebut:
a. Masa kanak-kanak; cara no. I dan
b. Masa ke-2; cara nomor 3 dan 4

c. Masa ke-3; cara nomor 5 dan 6.

‘Keluarga’ Th. 1 No. 1, 2. 3. 4.
Nov., Des, 1936. Jan. Febr. 1937

7