Media massa tradisional finish docx

TUGAS PENGANTAR ILMU KOMUNIKASI
“MEDIA MASSA TRADISIONAL”

Nama :

FADIAH QISTHINA FANDI
HARRIADI

Dosen :

Drs. Sumardi

Ruang:

405

UNIVERSITAS NASIONAL
FISIP

1


KATA PENGANTAR

Kegiatan pendidikan tinggi suka atu tidak dan terlepas dari segala
etorika yang ada saat ini telah berkembang kearah sebuah industri jasa.
Karnannya, kegiatan pendidikan tinggi juga bias diamati melalui kerangka
analisis market stricture- market conduct – market performance. Dalam
kerangka itu,kegiatan pendidikan tinggi termasuk kegiatan dan strategis
yang di tempuh oleh institusi oleh pendidikan tinggi secara kolektif
maupun individual.

Inti di balik itu semua, pendidikan tinggi ilmu komunikasi tidak bias lagi
menempatkan industry media sebagai suatu lanskap yang “objektif” ia
selalu merupakan suatu konstruksi sosoial yang di hasilkan melalui
interaksi kuasa antar berbagi kepentingan.

Terima kasih yang tak terhingga juga saya ucapkan saya ucapkan
kepada para mahasiswa.

2


DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN

1

1.1 Latar Belakang

1

1.2 Rumusan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN

3

2.1 Ragam Media Massa Tradisional 3
2.2 Fungsi Media Tradisional 4
2.3 Keberadaan Media Tradisional
2.4 Alat – alat Media Tradisional


7
10

2.5 Peran Media tradisional dalam Sistem Komunikasi 17
BAB III KESIMPULAN

25

3

BAB I
1.1 Latar belakang masalah
Dongeng adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di
Indonesia. Pada masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng
tersebut selalu ada, karena merupakan bagian dari kebudayaan lisan di
Indonesia. Bagi para ibu mendongeng merupakan cara berkomunikasi
dengan putra-putri mereka, terutama untuk menanamkan nilai-nilai sosial,
yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Di berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil
dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang

ada di daerah-daerah itu. Misalnya, tudung sipulung (duduk bersama),
ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok bambu) di
Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada hari
ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa
contoh media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga
ditunjukkan sebuah instrumen tradisional seperti kentongan yang masih
banyak digunakan di Jawa. Instrumen ini dapat digunakan untuk
mengkomunikasikan pesan-pesan yang mengandung makna yang
berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran, pencurian dan
sebagainya, kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia dibunyikan
dengan irama-irama tertentu.

4

Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian
yang lebih sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat.
Dalam hubungan ini Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988)
mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan,
lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka,
dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka

dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan
mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk
nyayian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat,
pidato rakyat- yaitu semua kesenian rakyat apakah berupa produk sastra,
visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari generasi ke generasi
(Clavel dalam Jahi, 1988).

1.2 Rumusan Masalah
Masalah pokok yang dibahas dalam makalah ini:
1. Fungsi Media Tradisional
2. Peran Media tradisional

BAB II
2.1 Ragam media massa tradisional
Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak
bisa dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang

5


digali dari cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media
tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor
tersebut antara lain:
a. Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
b. Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
c. Puisi rakyat;
d. Nyayian rakyat;
e. Teater rakyat;
f. Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g. Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h. Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).

Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa,
wayang golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media
tradisional telah mengalami transformasi dengan media massa modern.
Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secra apa adanya, melainkan
sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala

6


penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan
oleh oleh suatu televisi swasta.

2.2 Fungsi Media Tradisional
William Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsifungsi pokok folklor sebagai media tradisional adalah sebagai berikut:

7

1. Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau
impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment)
masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng.
Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini
hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu,
menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu
tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja,
cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang
lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
2. Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta
dapat menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang
harus dihormati karena mempunyai kekuatan luar biasa yang ditunjukkan

dari kemapuannya memperistri ”makhluk halus”. Rakyat tidak boleh
menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada pemimpinnya harus
dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika masyarakat
terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai Parang
Kusumo.
3. Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan
Bawang Putih, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur,
baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
4. Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma
masyarakat dipatuhi. Cerita ”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai

8

alat pemaksa dan pengendalian sosial terhadap norma dan nilai
masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak bicara namun
sedikit kerja.
Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada
kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkanpertunjukkan semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah
dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan
iniini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat (Direktorat Penerangan

Rakyat, dalam Jahi, 1988).
Ranganath (1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan
massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya
rendah. Ia disenangi baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok
umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema.
Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasif,
komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera. Ranganath juga
memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa pesan-pesan
modern.
Eapen (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif
murah. Ia tidak perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu,
media ini tidak akan menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan
dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karana ia
mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa

9

pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat
ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan
dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan

televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan
dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal,
memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk
mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan
sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi,1988) menambahkan bahwa
media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol
yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi
yang berada di luar jangkauan pengaruh media massa, dan yang
menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.

2.3 Keberadaan Media Tradisional
Pada masa silam, media tradisional pernah menjadi perangkat
komunikasi sosial yang penting. Kinipenampilannya dalam masyarakat

10

telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988)
melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:
1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti

media cetak, bioskop, radio, dan televisi.
2. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan
berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya
Tagalog.
3. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu
yang menaruh minat pada pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa
perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di desadesa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke
desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan
media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah
masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset
video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah
mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat
menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang

11

menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional
itupun semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat
untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang
semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Surutnya media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian
para peneliti komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert
(dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970
lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan dari masa
sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak
terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media
tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut
oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang
populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga
pola komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan
bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan
teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah.
Untuk mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang
berkembang di dunia ketiga menginvestasikan dana secara besdarbesaran pada pembangunan jaringan televisi, dan akhir-akhirnya pada
komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake, dalam Jahi, 1988). Mereka
lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika tidak
diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan
menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekuarangan ini menjadi
12

kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat
keras media besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program
yang sesuai dengan dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga
mengalami kesulitan besar dalam pembuatan program-program lokal.
Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber daya manusiawi yang
terlatih untuk membuat program-program lokal yang kualitasnya dapat
diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.
Situasi ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan
pintas dengan jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan
dari negara-negara maju. Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi
program-program tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat berbahaya,
karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya
konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.
Perhatian para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit
kembali setelah menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan
pembangunan di banyak negara dunia ketiga dalam dasawarsa 1960.
media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji kembali pada
dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika.
Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai
ditelusuri. UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media
tradisional secara terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan
motivasi untuk kerja bersama masyarakat. Yang tujuan utamanya tidak
13

hanya bersifat pengembangan sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural
(Ranganath, 1976)
Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa
internasional yang menaruh perhatian pada pengembangan dan
pendayagunaan media tradisional bagi pembangunan. Salah satu di
antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West
Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa
strtegi komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang
akan mengalami kerugian besar, jika tidak didukung oleh media
tradisional.

2.4 Alat – alat komunikasi media tradisional
1. Alat yang bernama Kentongan

14

Kentongan sebagai alat komunikasi yang ada di masyarakat. Biasanya di
gunakan untuk mengumunkan suatu berita atau peristiwa yang terjadi.
Para penjaga malam sering menggunakan kentongan sebagai meda
komunikasi ketika ada maling. Sehingga mendengar suara yang di
keluarkan dari kentongan itu membuat masyarakat keluar rumah untuk
mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Informasi pasti tentang sejarah kentongan tidak di temukan dengan pasti,
namun yang pasti bahwa kentongan ini di kenal sebagai alat komunikasi
tradisional.
2. Daun Lontar dari sebuah pohon
Daun lontar adalah media atau sarana dalam menulis surat atau pesan
kepada orang lain. Kertas belum ada, sehingga daun menjadi pilihan
orang zaman dulu untuk menyampaikan pesan. Selain itu, Para raja
zaman dulu, menggunakan daun lontar untuk menulis maklumat atau
pengumuman kepada rakyatnya.

3. Lonceng yang mengeluarkan bunyi

15

Teringat ketika sekolah dulu, dimana intruksi untuk masuk, keluar bermain
atau istirahat, dan pulang terjadi ketika ada suara lonceng sekolah. Nah,
selain sekolah, rumah ibadah seperti gereja juga menggunakan lonceng
untuk informasi komunikasi tertentu kepada penganut agamanya.
4. Hewan yang bernama Merpati pos
Hewan yang bernama burung merpati mempunyai jasa kepada orang
dulu. Bahwa untuk menyampaikan pesan jarak jauh banyak orang dulu
menggunakan burung merpati sebagai alat komunikasi. Maka ada
istilah merpati pos adalah untuk menjelaskan bahwa burung merpati
berperan sebagai pengganti pak pos pengirim surat sebelum pas pos ada.
5. Telepon kaleng yang terhubung dengan benang
Kaleng yang di hubungkan dengan benang dan bisa mendegar suara
orang dengan jarak tertentu menjadi alat komunikasi tradisional juga.
Namun jarak yang di gunakan untuk berkomunikasi dengan alat tradisonal
ini tidak begitu jauh jaraknya, paling sekitar 5 sampai 10 meter.

6. Surat

16

Media surat masih tren sampai sekarang, namun orang dulu masih
menggunakan surat dengan cara menulis di kertas atau di daun. Dan
butuh waktu yang lama untuk sampai kepada penerimanya. Kadang bisa
sebulan atau lebih, semua di tentukan ketersediaan transportasi dan jarak
tempuh yang ada.
7. Terompet yang bisa menghasilkan suara
Walau setiap malam tahun baru masehi selalu banyak orang yang
menggunakan terompet, namun alat ini masih termasuk dalam alat
komunikasi tradisional. Sejarahnya sejak zaman bani israel sudah ada alat
ini.
Terompet hampir sama dengan lonceng, yakni sebagai media penyampai
informasi kepada masyarakat jika ada pesan penting. Mungkin terompet
adalah simbol dari Israel dan lonceng adalah simbol dari gereja.
8. Asap yang keluar dari api
Aneh tapi nyata. Memang sebagian oang dulu memakai asap sebagai alat
komunikasi. Mungkin ini mistik atau gaib, namun ternyata memang efektif
ketika dulu kala.
Untuk proses pembuatan asapnya penulis tidak tahu persis. Apakah asap
di bakar lalu dibacakan mantra tertentu atau kayu di bakar dan
menghasilkan asap begitu saja.’
9. Prasasti yang di tulis

17

Sebagai menandakan tempat atau lokasi tertentu, zaman dulu membuat
prassati sebagai tanda. Zaman dulu biasanya batu yang di jadikan tempat
untuk menulis prasasti.
Nah sekaang ini prasasti masih di gunakan oleh kita. Tapi prasasti itu di
tulis di atas batu keramik dan lebih rapi.
10. Telegraf
Telegraf adalah alat komunikasi yang menggunakan peralatan listrik untuk
mengirimkan dan menerima sinyal sesuai dengan kode dalam bentuk
pulsa listrik. Di dalamnya terdapat kabel-kabel tembaga yang berguna
untuk mengirimkan sinyal jarak jauh.
11. Gong
Untuk meresmikan suatu acara biasanya gong di gunakan pada zaman
dulu dan sampai sekarang. Gong termasuk alat klasik yang masih di
lestarikan oleh masyarakat Indonesia. Ini terlihat dengan seringnya
pemerintah meresmikan acara dengan memukul gong.
12. Gamelan musik
Alat yang terkenal dari suku jawa ini, selain sebagai alat musik, di
fungsikan juga sebagai alat komunikasi tradisonal. Biasa dalam acara
tertentu tidak lengkap jika tidak ada lalat yang bernama gamelan.
13. Alat musik Gendang

18

Gendang juga berfungsi sebagai alat musik yang di gunakan sebagai alat
komunikasi tradisional. Sama seperti gong, alat gendang ini masih ada
dan selalu di gunakan untuk acara tertentu, seperti ada pertunjukan
musik, maka gendang ikut berperan sebagal instrumen musik.
14. Terompet Keong
Terompet memang ada 2 jenis yaitu terompet biasa dan terompet keong.
Kedua alat ini sama-sama di namakan terompet. Namun bentuknya yang
membedakan. Alat terompet keong lebih mirip bentuknya seperti keong.
Tapi untuk sekarang bisa di katakan sebagai barang yang langka.
15. Peluit
Alat ini di gunakan untuk menyampaikan pesan tertentu. Di olahraga
banyak di gunakan oleh wasit. Seperti olahraga sepak bola, di mana
seorang wasit akan membunyikan pluitnya untuk berkomunikasi dengan
pemain bola.
16. Isyarat Tangan
Isyarat tangan masih banyak digunakan hingga saat ini. Isyarat tangan
sering digunakan untuk menyampaikan pesan rahasia yg hanya
dimengerti oleh orang-orang tertentu.

17. Bendera

19

Bendera merupakan salah satu alat komunikasi yg banyak digunakan
untuk mengendalikan pergerakan suatu kelompok atau kendaraan seperti
mobil atau pesawat. Bendera adalah suatu tanda atau ciri khas yg
menandakan status suatu daerah.
18. Lampu (sandi Morse)
Didalam kesunyian, agar tidak mudah di ketahui musuh, pada masa
peperangan dahulu juga banyak menggunakan lampu sebagai tanda atau
penyampai pesan berupa sandi morse. Saat ini lampu juga sering
digunakan untuk mengendalikan arus lalu lintas agar seimbang.
19. Api Unggun
Api unggun adalah suatu alat komunikasi yg berguna sebagai pertanda
berakhirnya suatu acara. Dengan suasana kebersamaan, api unggun
membuat suasana menjadi semakin akrab
20. Anjing
Anjing merupakan suatu penjaga yg sangat signifikan dari zaman dahulu
hingga sekarang, Anjing dapat menjadi penanda ketika ada orang asing
yg datang. Zaman dahulu untuk menghindari musuh, ketika anjing
peliharaan mereka menggonggong mereka akan cepat bersembunyi agar
tidak di temukan musuh.
21. Bedug

20

Meskipun saat ini teknologi semakin canggih, namun sebagian
masyarakat tidak bisa meninggalkan media tradisional ini khususnya di
pedesaan yang di gunakan sebagai sarana ronda malam. Ada
juga kentongan yang bentuknya cukup besar atau yang sering disebut
”bedug” digunakan oleh masyarakat sebagai penanda waktu sholat tiba.
22. Bel Terompet
Bel terompet merupakan alat komunikasi antara penjual dan pembeli.
Ketika pedagang membunyikan bel sepeda, hal itu menandakan
kedatangan penjual.

2.5 Peran Media Tradisional dalam Sistem Komunikasi

21

Media tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem
komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya.
Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam pertunjukkanpertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian, mengakibatkan
orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari, memahami,
dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun
musik yang ditampilkan (Compton, 1984).
Kesulitan tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda
nonverbal yang ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian
juga dengan tidak memadainya latar belakang kita untuk memahami
simbolisme religi dan mitologi yang hidup disuatu daerah, tempat
pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga
membawa pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media
tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh
karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada
khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga menanamkan dan
mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial
(Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).
Walaupun demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli
memperingatkan bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel
untuk digunakan bagi maksud-maksud pembangunan. Karena

22

memadukan yang lama dan yang baru tidak selamanya dapat dilakukan
dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak media itu,
sehingga kita harus waspada (Dissanayake, 1977). Masalah-masalah
dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk maksud
pembangunan, sebanrnya ialah bagaimana menjaga agar media tersebut
tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional ini
memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut
kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesanpesan pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi
1988).
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan
penggunaan media tradisional bagi kepentingan pembangunan, riset
menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin dilakukan. Pesan-pesan
pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-pertunjukkan yang
mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog, dan
yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah
satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa, Bali, dan daerahdaerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai media
penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episodeepisode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata.
Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera
misalnya bahasa jawa, Sunda, atau Bali yang diiringi nyanyian dan musik
yang spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih tradisional, wayang lebih

23

daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang sebagai
perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan
tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk.
Biasanya yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan
melelahkan akan mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang
mengajarkan juga cara memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan
sikap positif yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan
pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan.
Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam
kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan
semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan,
integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan
Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang
suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan
tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu
Belanda, Presiden Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada
dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia
menuju Kemerdekaan.



Meningkatkan Peran media tradisional

24

Harus disadari, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya
20% yang tinggal di kota. Sayangnya, konsumsi media modern justru
menunjukkan angka sebaliknya, 80% dikonsumsi oleh orang kota dan
20% sisanya oleh masyarakat desa. Ketidakimbangan mass media
exposure di wilayah perdesaan ini tentu harus diimbangi dengan
ketersediaan media komunikasi lain yang dapat dengan tepat menyentuh
hajat komunikasi orang desa. Dan tidak bisa tidak, dalam kondisi seperti
ini, penggunaan media tradisional adalah sebuah keniscayaan.

Media massa modern memang sering dinilai lebih “unggul”, karena lebih
cepat dan memiliki kemampuan menaklukkan ruang dan waktu. Akan
tetapi media jenis ini tidak bisa diterapkan secara efektif di kalangan
masyarakat perdesaan karena adanya kendala aksesibilitas. Media cetak
seperti koran dan majalah misalnya, terkendala kemampuan masyarakat
untuk berlangganan. Media elektronik radio dan televisi, belum
menjangkau seluruh wilayah perdesaan di Indonesia—selain memiliki sifat
bawaan “selintas dengar/lihat” sehingga isinya mudah dilupakan publik.
Sementara media baru yakni media online-interaktif, menghadapi kendala
konektivitas karena biaya aksesnya relatif mahal dan ketersediaan
infrastruktur pendukung belum berpihak pada kebutuhan masyarakat
perdesaan.

25

Oleh karena itu, dalam menyebaran informasi di perdesaan, media
modern harus dipergunakan secara terintegrasi dengan media tradisional.
Dengan cara tersebut, kendala aksesibilitas yang muncul dalam
penggunaan media modern dapat tertutup oleh penggunaan media
tradisional. Sebaliknya, sifat media tradisional yang “lambat” dan “lokal”
dapat ditutup oleh media modern yang lebih “cepat” dan “global”.

Berdasarkan konsep starting from people, penyebaran informasi di
perdesaan akan berjalan lebih efektif jika menggunakan media yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Media yang memenuhi karakteristik
tersebut, tak lain dan tak bukan, adalah media tradisional. Berbagai
macam kesenian tradisional yang berkembang dan didukung
keberadaannya oleh masyarakat, dalam hal ini dapat dipergunakan
sebagai sarana pembantu penyebaran informasi yang cukup efektif.

Pertunjukan rakyat misalnya, dapat dipergunakan untuk mengarahkan
perhatian masyarakat desa terhadap informasi tertentu yang akan
disampaikan. Nyanyian, musik, cerita yang ada di dalamnya merupakan
sarana yang sangat efektif untuk memfasilitasi proses berbagi pandangan
dan menggugah perhatian masyarakat terhadap isu tertentu. Namun
untuk mencapai efektivitas komunikasi secara keseluruhan tetap
membutuhkan ‘bantuan’ dari media komunikasi lain secara integratif.

26

Tantangan yang dihadapi dalam menghadirkan media tradisional adalah
bagaimana menempatkannya di antara konstelasi proses mediasi
masyarakat. Hal ini penting, karena keberadaan media tradisional tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat/komunitas budaya pendukungnya.
Tanpa adanya dukungan warga, keberadaan media tradisional tidak ada
artinya.

Ciri dari setiap media tradisional adalah partisipasi warga, melalui
keterlibatan fisik atau psikis. Media tradisional tidak hanya sebagai obyek
hiburan (spectacle) dalam fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat,
tetapi dimaksudkan untuk memelihara keberadaan dan identitas suatu
masyarakat. Budaya tradisional pada hakkatnya berfungsi dalam
memelihara solidaritas suatu masyarakat budaya, karenanya bersifat
eksklusif. Setiap masyarakat budaya memiliki mitos yang khas yang
menjadi perekat kelompok/komunitas.

Perlunya mengangkat suatu budaya tradisional sekaligus dengan media
yang mengampunya, adalah untuk fungsi konservasi. Sementara untuk
mengusung suatu media tradisional dalam dalam konteks lintas budaya,
secara praktis hanya dapat dilakukan jika secara substansial budaya dan
media dimaksud sudah mengalami transformasi sebagai spectacle. Dalam
formatnya yang asli, media tradisional hanya relevan secara eksklusif bagi

27

masyarakat budaya pendukungnya. Begitu pula pemanfaatan media
tradisional sebagai wahana bagi isu-isu kontemporer bagi suatu
masyarakat budaya pendukungnya, akan relevan manakala media
tersebut sudah tidak lagi sebagai sumber mitos budaya tertentu.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dalam konteks penyebaran
informasi, sudahkah kesenian tradisional di Indonesia saat ini benar-benar
diposisikan sebagai “media”, bukan sekadar sebagai spectacle?
Pertanyaan ini sangat penting, karena dalam banyak kasus, sulit
menempatkan dua fungsi (hiburan dan media penyebaran informasi)
secara berimbang. Jika kesenian tradisional terlalu dipaksakan untuk
berfungsi sebagai media penyebaran informasi aktual, maka ia akan
kehilangan karakteristik utamanya sebagai sumber mitos bagi
masyarakat. Sebaliknya, jika porsi hiburan terlalu banyak, maka fungsinya
sebagai media penyebaran informasi dengan sendirinya akan menurun.

Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah, sudahkah media
tradisional mentransformasikan diri sebagaispectacle yang bisa dinikmati
masyarakat di luar komunitas pendukungnya? Seperti diketahui, salah
satu kendala dari media tradisional adalah sifatnya yang eksklusif dan
lingkupnya yang lokal, sehingga cenderung hanya bisa dinikmati oleh
kalangan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Karakteristik eksklusif

28

semacam ini tentu kurang menguntungkan apabila ditinjau dari teori
media, karena salah satu ciri dari media yang baik adalah kemampuannya
menjangkau massa dalam jumlah besar.

Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana
mentrasformasikan media tradisional agar bisa menjadigeneral
spectacle, tontonan yang bisa dinikmati dan diterima oleh masyarakat
dalam jumlah lebih besar dan dalam wilayah teritorial yang lebih luas.
Inovasi dalam hal ini bisa dilakukan, sepanjang tidak mendekonstruksi
wujud dan karakter asli dari kesenian tradisional dimaksud

29

BAB III
Kesimpulan
Berdasarkan infromasi yang penulis kumpulkan dan diolah dalam
penelitian ini, penulis menyimpulkan beberapa poin yang sesuai dengan
topik yang dibahas. Diantaranya :
1. Media masa memiliki sejarah panjang di Indonesia, dari awal
diperkenalkannya media masa oleh belanda melalui VOC, penyiaran radio
perdana pada zaman jepang, sampai jadinya media masa sebagai hal
yang tabu di masa orde baru.
2. Sampai saat ini media masa diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu media
masa tradisional seperti koran dan media masa modern seperti detik.com
contohnya

3. Media masa memiliki beberapa fungsi yang diharapkan dapat bermanfaat
bagi penggunanya.
4.

Tentunya media masa juga memiliki sisi positif dan negatif, contoh
paling dekat yang bisa kita gunakan untuk sisi positifnya adalah
pemberitaan secara terbuka, dan untuk yang negatifnya media masa bisa
digunakan untuk pencitraan yang sedang marak akhir-akhir ini.

5.

Dengan perkembangan teknologi seperti sekarang, media masa juga
tentu terkena dampaknya dan harus menyesuaikan dengan
perkembangan teknologi yang ada, sehingga saat ini kita dapat
menjumpai banyak metode-metode media masa yang baru, seperti halnya
berita dari twitter, kompasiana yang merupakan opini dan tulisan
masyarakat, dan lain sebagainya.

6.

Media cetak juga terkena imbas dari perkembangan era digital ini,
sehingga saat ini banyak kita temui e-book, e-magazine, e-journal dan lain
sebagainya yang dapat diakses dengan mudah dari mana saja, tentunya
hal ini juga mentungkan perusahaan tersebut, dengan digitalisasi media
cetak, mereka dapat menekan pengeluaran produksi (percetakan) dan
juga dapat menjual produknya seluas mungkin dengan mengandalkan
internet.

30

Daftar Pustaka



Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, PT Raja Grafindo



Persada, Jakarta
Amri Jahi, 1988, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan



di Negara-Negara Dunia Ketiga, PT Gramedia, Jakarta
Abdul Muis, 1984, Communicating New Ideas to Traditional



Villagers: an Indonesian Case, Media Asia 11
Ranganath, 1976, Telling the People Tell Themselves, Media Asia 3

31