PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAL

1

PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DALAM MENCEGAH TIMBULNYA KONFLIK PENGELOLAAN
SUMBERDAYA ALAM*
Oleh: Iskandar**
A. Pendahuluan
Konflik atau sengketa dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang
seringkali terjadi di Indonesia pada umumnya dan juga di Bengkulu, termasuk di
Kabupaten Seluma, lazimnya terkait dengan masalah sengketa tanah adat, sengketa
tanah garapan, okupasi/penyerobotan lahan oleh masyarakat, okupasi/penyerobotan
lahan oleh perusahaan, tuntutan ganti rugi, tanah masyarakat diambil alih perusahaan
belum ada kesepakatan, tanah yang diperjualbelikan, tanah masyarakat terhadap
penggantian areal plasma, masyarakat menuntut pengembalian tanah, tumpang tindih
alokasi lahan untuk perusahaan, ingin memiliki lahan, ingin ikut sebagai plasma,
keterlambatan konversi plasma, tuntutan nilai kredit yang tidak memberatkan,
penetapan harga/sengketa tandan buah segar (TBS), menolak pembangunan
perkebunan kelapa sawit, perusakan tanaman, penjarahan produksi, perusakan aset
perusahaan, tumpang tindih peruntukan lahan, tidak ada izin lokasi/lahan, hak guna
usaha (HGU) cacat hukum, masyarakat keberatan atas perpanjangan/ pemberian HGU,
tuntutan masyarakat terhadap lahan yang sedang dalam proses HGU, pemberian izin

usaha/kegiatan tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan atau tanpa
upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan atau upaya pemantauan lingkungan (UPL),
perusahaan tidak memiliki izin lingkungan, lemahnya penegakan hukum terhadap
perusahaan nakal, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam penerbitan izin
pengelolaan SDA, dan lain-lain.1
Kekayaan SDA, daya dukung dan daya tampung lingkungan yang makin
terbatas juga dapat menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan/penguasaan
maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan
kepentingan masyarakat setempat dan lingkungan hidup. Pengeluaran izin oleh
Pemerintah daerah tanpa memperhatikan kejelasan status penguasaan lahan, pembiaran
dan tidak optimalnya sistem pengawasan pemanfaatan SDA dari pemerintah daerah,
tidak terpenuhinya hak dan kewajiban antar pengguna, kelangkaan dan meningkatnya
nilai ekonomi SDA tetapi tidak adil dalam pendistribusiannya, kerusakan dan
pencemaran mengancam kelangsungan pemanfaatan SDA bagi sebagian masyarakat.
----------------------------------------Artikel disampaikan pada lokakarya yang di selenggarakan oleh DPRD Kabupaten Seluma, dengan Tema: “Peranan DPRD
Dalam Menyelesaikan Konflik Perkebunan dan Pertambangan Di Kabupaten Seluma”, Rabu, 16 September 2015, di Hotel
Risky, Tais, Kabupaten Seluma.
** Guru Besar Hukum Administrasi/Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.



1 Perhatikan R. Yando Zakaria dan Paramita Iswari, tt, Pelembagaan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Di Kalimantan Tengah, Laporan Hasil Assessment, Karsa, The Samdhana Institut dan
Kemitraan Partnership, hlm. 63-64.

2

Konflik yang terjadi dapat menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut,
rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa,
timbulnya trauma psikologis rasa dendam, benci, antipati, serta semakin melebarnya
jarak antara para pihak yang berkonflik, sehingga hal ini menghambat upaya bagi
terwujudnya kesejahteraan umum.2
Muara dari seluruh konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA ini yaitu
munculnya kerawanan social, ekonomi, budaya, politik, dan keamanan berbagai
kelompok masyarakat yang terlibat dalam konflik dimaksud dalam kehidupan seharihari, dan tentunya juga mengganggu kinerja pemerintahan dan perusahaan di mana
konflik tersebut terjadi. Kondisi demikian, jika tidak ditangani segera, bukan tidak
mungkin akan berimbas pada ancaman disintegrasi nasional, karena dampaknya tidak
hanya dirasakan secara langsung oleh masyarakat lokal, namun juga pemerintah baik di
tingkat daerah maupun pusat serta pihak perusahaan itu sendiri.
Kajian dalam artikel singkat ini mengangkat tema sentral tentang Peran Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mencegah timbulnya konflik dalam

pemanfaatan SDA. Isu hukum yang kaji yaitu (1) konflik dalam pengelolaan SDA dan
bagaimana penanganannya, (2) kedudukan, tugas dan wewenang DPRD pasca
berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(UUPemda Tahun 2014), (3) kebijakan alih kewenangan dalam pengelolaan SDA pasca
berlakunya UUPemda Tahun 2014 (4) peran DPRD dalam mencegah timbulnya konflik
pengelolaan sumberdaya alam. Penulisan artikel ini dilakukan sehubungan dengan
Lokakarya yang digagas oleh DPRD Kabupaten Seluma, dengan tema “Peranan DPRD
Dalam Menyelesaikan Konflik Perkebunan dan Pertambangan di kabupaten seluma”.
Tema yang diangkat dalam artikel ini sengaja ditulis secara umum, hal ini mengingat
untuk menyelesaikan persoalan konflik dimaksud, diperlukan pemahaman yang
komperhensif dan mendalam terhadap akar permasalahannya, agar tidak terjadi
kekeliruan dalam penanganannya. Namun demikian, atas beberapa pokok bahasan yang
diuraikan kiranya dapat sedikit memberikan masukan, guna melengkapi saran,
pendapat, dan upaya yang sudah pernah dilakukan sebelum ini. Telaah atau kajian
bersifat yuridis normatif3, yaitu dengan mengkaji bahan hukum. Analisis bahan hukum
dilakukan secara yuridis kualitatif dengan berdasarkan ketentuan peraturan-perundangundangan dan asas-asas hukum. Hasil analisis dideskripsikan pada bagian penutup dari
tulisan ini sebagai argumentasi atas isu hukum yang diangkat.
B. Hasil Kajian dan Pembahasan
1. Konflik Dalam Pemanfaatan SDA dan Penanganannya
Konflik merupakan bagian yang lekat dan tak terelakkan dalam kehidupan

bermasyarakat. Konflik dalam pemanfaatan SDA yang melibatkan masyarakat,
perusahaan, dan pemerintah ternyata tidak hanya terkait dengan persoalan penegakan
hukum secara represif semata, meski aspek penegakan hukum itu menjadi faktor
utamanya. Sebab, bila penegakan hukum yang bersifat represif bertentangan dengan
2 Perhatikan Muhdar, Muhammad, Nasir, Resolusi Konflik terhadap sengketa penguasaan
lahan dan pengelolaan sumber daya alam, Kertas Kerja Epistema No.03/2012, Jakarta: Epistema
Institute, Ringkasan Eksekutif, hlm. iii, (http://epistema.or.id/resolusi‐konflik/), diunduh 12 September
2015.
3 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm. 22.

3

rasa keadilan masyarakat, maka justru akan menuai kritik dan memunculkan gerakan
perlawanan terhadap tindakan penegakan hukum represif tersebut. Misalnya, dengan
melakukan tindakan penangkapan, penahanan, dan diproses melalui pengadilan yang
dilakukan oleh penegak hukum, seringkali dinilai oleh berbagai kalangan sebagai
tindakan pelanggaran hak asasi manusia. 4 Oleh karena itu, penegakan hukum secara
preventif haruslah dikedepankan, artinya pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya
konflik/sengketa harus menjadi perhatian utama. Penegakan hukum secara preventif

berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa
kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan
bahwa peraturan hukum telah dilanggar.5 Mencegah terjadinya konflik melalui
penegakan hukum secara preventif memang lebih baik, tapi bila telah terjadi konflik,
penyelesaian konflik melalui jalur musyawarah mufakat dapat menjadi alternatif
pilihan yang harus di kedepankan.
Pola penanganan konflik SDA di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara
negosiasi, musyawarah mufakat dan mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana
para pihak yang berkonflik duduk bersama untuk mencari jalan terbaik dalam
penyelesaian konflik dengan prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang
dirugikan (win-win solution). Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih lanjut dari
negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan,
maka langkah lebih lanjut yaitu melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan
pihak lain selaku penengah. Hasil musyawarah tersebut selanjutnya dibuatkan surat
kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan para saksi. Sedangkan
mediasi merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat
konsensus di antara dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang
berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik.6
Dalam penanganan konflik akan sangat dipengaruhi oleh cara pandang terhadap
konflik itu sendiri. Konflik yang terjadi, semestinya tidak selalu di pandang sebagai hal

yang negatif, sebagaimana yang biasa terjadi selama ini. Sebaliknya, justru melihat
konflik memiliki nilai dari sisi nilai yang positif. Sebab, konflik dapat dipandang
4 Pada dasarnya, untuk menyelesaikan konflik dimaksud telah tersedia mekanisme formal
sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-perundangan yang bersangkutan, yaitu melalui
pranata pengadilan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) dan
hukum acaranya (KUHAP). Meski begitu, sebagaimana sering terdengar melalui berbagai pemberitaan
media massa, mekanisme ini tidaklah selalu dapat menyelesaikan konflik dimaksud. Seringkali
penyelesaian konflik melalui jalur pengadilan disertai dengan tindakan represif oleh aparat keamanan,
justru menimbulkan permasalahan baru, menimbulkan konflik yang semakin dalam, serta memicu
meledaknya konflik berikutnya yang lebih besar dan bersifat destruktif. Terkait dengan hal ini,
alternative lain sebagai dasar hukum untuk mekanisme penyelesaian konflik SDA, setidaknya terdapat 4
(empat) instrument hukum yaitu: Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang penggunaan
mediasi sebelum peradilan, yang mengakui mediasi sebelum tahap peradilan, atau dengan kata lain hasil
mediasi di luar pengadilan sah secara hukum, demikian juga Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombusdman Republik Indonesia, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial.
5 Lihat Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan,
Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 191.
6 Kelaziman yang terjadi saat ini, masyarakat tidak mau melakukan penyelasaian melalui

pengadilan karena kebanyakan tidak memiliki bukti formal, seperti sertifikat, atau laas hal lain yang kuat.
Model penyelesaian yang sering ditempuh yaitu jalur non-litigasi (di luar pengadilan), dan melalui jalur
tekanan massa, lobi politik di DPRD. Lembaga politik menjadi ajang penyelesaian konflik hukum,
akibatnya penyelsaian melalui jalur pengadilan menjadi tidak populer dan alternatif melalui sarana
lembaga politik menjadi pilihan.

4

sebagai peluang menjadi titik tolak untuk mendorong adanya pembaharuan/perubahan
dalam tata kuasa, tata guna, tata usaha/tata kelola yang berkaitan dengan SDA. Dengan
demikian pendekatan yang lebih konstruktif dalam menangani konflik SDA sangat
diperlukan sehingga sifat negatif dan destruktif dari konflik dapat dikurangi sementara
sifat positifnya (yaitu mendorong adanya pembaharuan/perubahan) dapat ditingkatkan
dan dikembangkan.7
Penanganan konflik atau sengketa selama ini dilakukan secara ad hoc, yaitu
dengan cara penyelesaian yang bersifat kasuistik. Dengan kata lain, penanganan
dilakukan ketika konflik sudah muncul dan telah terjadi adu kekuatan fisik ataupun
tindakan anarkhis. Pemerintah yang bertanggungjawab terkesan menghindar dari fakta
bahwa konflik itu ada dan belum terselesaikan. Hal ini dapat diamati dari tidak adanya
mekanisme yang jelas untuk menangani konflik yang banyak muncul dan berlarut-larut

tanpa penyelesaian yang tuntas. Mekanisme penyelesaian yang dilakukan seringkali
tidak jelas sehingga kredibilitasnya dipertanyakan. Berdasarkan hal tersebut, maka
penting untuk merancang sebuah mekanisme yang dapat dipercaya dan mengedepankan
keadilan untuk semua pihak, terutama mengingat SDA merupakan barang publik dan
mempertimbangkan bahwa konflik atau sengketa akan selalu ada.8
Mekanisme dalam penyelesaian konflik SDA ini hendaknya selaras dengan
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa, agama, dan budaya serta melindungi
seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas
dari rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Tanggung jawab negara dalam memberikan pelindungan dan pengayoman
kepada warga, sebagai wujud adanya hak setiap orang atas pelindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta hak atas rasa aman, bebas dari
ancaman ketakutan, damai, adil dan sejahtera.
2. Kedudukan, Tugas Dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasca
Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda 2014) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa

perubahan penting terhadap fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu
DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya
melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan kini berubah menjadi
menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (perda), anggaran, dan
pengawasan.9 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan
7 Perhatikan R. Yando Zakaria dan Paramita Iswari, tt, Pelembagaan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Di Kalimantan Tengah, Laporan Hasil Assessment, Karsa, The Samdhana Institut dan
Kemitraan Partnership, hlm. 108.
8 Ibid., hlm 109.
9 Penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan
kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat
rakyat untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Titik fokus perubahan
penting itu terletak pada perubahan fungsi legislasi menjadi fungsi pembentukan perda. Dengan
demikian DPRD itu bukan badan legislatif tetapi penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan
kepala daerah. Perhatikan A’an Efendi, Artikel, Mahasiswa Doktoral Universitas Airlangga,
file:///D:/DPRD%20Seluma/Tinjauan%20Fungsi%20DPRD%20Pasca%20UU%20Pemda%202014.htm ,
diunduh 12 september 2015.

5


Kepala Daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan
sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi
pembentukan perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah
melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur
dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD
dan Kepala Daerah dibantu oleh Perangkat Daerah. Sebagai konsekuensi posisi DPRD
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan, peran,
hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa
undang-undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini secara keseluruhan
guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi.10
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.11 Sedangkan yang dimaksud dengan
Pemerintahan Daerah, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.12 Jadi DPRD mempunyai kedudukan sebagai salah satu unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah bersama-sama dengan pemerintah daerah.

Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas Kepala
Daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah.13
DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah
kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota. Anggota DPRD kabupaten/kota adalah pejabat Daerah kabupaten/kota.
Dalam rangka menjalankan perannya sebagai lembaga perwakilan rakyat Daerah
kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota.14 DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi: a. pembentukan Perda
Kabupaten/Kota; b. anggaran; dan c. pengawasan.15 Fungsi DPRD dijalankan dalam
kerangka representasi rakyat di Daerah kabupaten/kota. Dalam rangka melaksanakan
fungsinya itu, DPRD kabupaten/kota menjaring aspirasi masyarakat. Fungsi
pembentukan Perda Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan cara: a. membahas bersama
bupati/wali kota dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda
Kabupaten/Kota; b. mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan c.
menyusun program pembentukan Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota.
Program pembentukan Perda Kabupaten/Kota memuat daftar urutan dan prioritas
rancangan Perda Kabupaten/Kota yang akan dibuat dalam 1 (satu) tahun anggaran. 16
Dalam menetapkan program pembentukan Perda Kabupaten/Kota, DPRD
kabupaten/kota melakukan koordinasi dengan bupati/wali kota.17
10 Perhatikan Otong Rosadi, Politik Hukum Pemerintahan daerah menurut UU No. 23 Tahun
2014,
http://otongrosadi.com/read-158-politik-hukum-pemerintahan-daerah-menurut-uu-nomor-23tahun-2014.html, diunduh 12 september 2015.
11 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Pemda 2014.
12 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Pemda 2014.
13 Lihat Pasal 57 UU Pemda 2014.
14 Pasal 148 ayat (1) UU Pemda 2014.
15 Pasal 149 ayat (1) UU Pemda 2014.
16 Pasal 150 UU Pemda 2014.
17 Pasal 151 ayat (2) UU Pemda 2014.

6

DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk Perda
Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota; b. membahas dan memberikan persetujuan
rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;
d. memilih bupati/wali kota;18 e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
bupati/wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian. f. memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap
rencana perjanjian international di Daerah; g. memberikan persetujuan terhadap
rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota; h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; i. memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak
ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah; j. melaksanakan tugas dan
wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan
mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang ini diatur dalam peraturan
DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.19
Pengaturan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota kabupaten/kota
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (UUMD3), yaitu sebagai berikut: 20 1). Membentuk peraturan daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota; 2). Membahas dan memberikan persetujuan
rancangan peraturan daerah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kabupaten/kota yang diajukan oleh Bupati/Walikota; 3). Melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota; 4). Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian
Bupati/Walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau
pemberhentian; 5). Memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan
jabatan wakil bupati/wakil walikota; 6). Memberikan pendapat dan pertimbangan
kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di
daerah; 7). Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang di
lakukan oleh pemerinntah daerah kabupaten/kota; 8). Meminta laporan keterangan
pertanggung jawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/kota; 9). Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan
daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
10). Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan 11). Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang di atur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
DPRD kabupaten/kota mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c.
menyatakan pendapat.21 Hak interpelasi adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk
meminta keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.22 Hak angket adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk
18 Telah dihapus berdasarkan ketentuan Pasal 154 UU No. 9 tahun 2015 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
19 Pasal 154 ayat (1) UU Pemda 2014.
20 Lihat ketentuan Pasal 366 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3.
21 Pasal 159 ayat (1) UU Pemda 2014.
22 Pasal 159 ayat (2) UU Pemda 2014.

7

melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, Daerah, dan
negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.23
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan
pendapat terhadap kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang
terjadi di Daerah kabupaten/kota disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau
sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.24
Anggota Kabupaten/kota mempunyai hak: a) mengajukan rancangan Perda
Kabupaten/Kota; b) mengajukan pertanyaan; c) menyampaikan usul dan pendapat; d)
memilih dan dipilih; e) membela diri; f) imunitas; g) mengikuti orientasi dan
pendalaman tugas; h) protokoler; dan i) keuangan dan administratif. 25 Anggota DPRD
kabupaten/kota berkewajiban: a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b)
melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; c) mempertahankan dan
memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; d) mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, atau golongan; e) memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f) menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota; g) menaati tata tertib dan kode etik; h) menjaga etika dan norma dalam
hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota; i) menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala; j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan
pengaduan masyarakat; dan k) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan
politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.26
Untuk fungsi pengawasan DPRD diwujudkan dalam bentuk pengawasan
terhadap: a. pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota; b.
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; dan c. pelaksanaan tindak
lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Jika lebih
diperinci maka lingkup fungsi pengawasan DPRD Kabupaten/Kota, antara lain: a.
Pengawasan terhadap pelaksanaan perda. b. Pengawasan terhadap pelaksanaan
bupati/wali kota; c. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
lainnya. d. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD kabupaten/kota. e. Pengawasan
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di kabupaten/kota; f. Pengawasan terhadap
kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan
kerjasama internasional di daerah. g. Pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut
hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.27
Tujuan utama pengawasan DPRD, antara lain: a. Menjamin agar
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan rencana; b. Menjamin
kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan
penyelewengan yang ditemukan; c. Menumbuhkan motivasi, perbaikan, pengurangan,
peniadaan penyimpangan secara optimal; d. Memastikan bahwa kinerja pemerintah
daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, sesuai
dengan tujuan pemberian Otonomi Daerah.
23 Pasal 159 ayat (3) UU Pemda 2014.
24 Pasal 159 ayat (4) UU Pemda 2014.
25 Pasal 160 UU Pemda 2014.
26 Pasal 161 UU Pemda 2014.
27 Pasal 153 UU Pemda 2014.

8

Berkait dengan pengelolaan SDA, dengan kedudukan, tugas dan wewenang
DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang merupakan unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah, DPRD dapat melakukan upaya pengaturan
melalui Perda dan pengawasan pelaksanaannya. Kapasitas anggota DPRD
kabupaten/kota sebagai pejabat Daerah, dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai lembaga perwakilan rakyat Daerah, dapat mengetahui dan berperanserta dalam
pengambilan kebijakan pemerintah daerah, sebelum menjadi suatu kebijakan dan
keputusan. Hal ini penting, karena DPRD sebagai wakil rakyat memiliki kewajiban
menyerap dan menghimpun aspirasi masyarakat serta
menampung dan
menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Di sisi lain DPRD merupakan
unsur atau bagian dari pemerintah daerah, sehingga melalui fungsi pengawasan yang
dimilikinya, DPRD dapat melakukan upaya preventif berkait dengan kebijakan dan
atau keputusan yang akan diambil oleh Kepala Daerah dan atau perangkat daerah
lainnya. Upaya ini dimaksudkan untuk mencegah diambilnya kebijakan atau keputusan
yang akan merugikan kepentingan masyarakat dan daerah, terutama kebijakan dan
keputusan terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDA yang tidak
mempertimbangkan semua kepentingan stakeholders.
3. Alih Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca Berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Sebagaimana diamanatkan oleh UUD-NKRI Tahun 1945, terdapat urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal
dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan
pemerintahan pilihan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan pemerintahan wajib
yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang tidak terkait
pelayanan dasar. Untuk urusan pemerintahan wajib yang terkait Pelayanan Dasar
ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat.28
Berdasarkan UUPemda Tahun 2014, klasifikasi urusan pemerintahan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
Pada Ayat (2), disebutkan bahwa Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat. Ayat (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
Urusan Pemerintahan Konkuren yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1)
bahwa urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (3)
yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan. Ayat (2) menyebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar. Pada ayat (3) bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
28Iskandar, 2015, Implikasi Alih Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca
Berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Artikel, disampaikan
pada Seminar yang diselenggarakan oleh WALHI-Bengkulu, tanggal 11 Juni 2015, di Samudra Dwinka
Hotel, Bengkulu, hlm. 3.

9

dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan
Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pada Pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2);
Ayat (3) menyebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c.
pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g.
perindustrian; dan h. transmigrasi. Dalam Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan
strategis nasional. Pada Ayat (3) dinyatakan bahwa Berdasarkan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas
Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi. Ayat (4) menyatakan
bahwa Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan
Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan
yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang
manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau d.
Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan
oleh Daerah kabupaten/kota.
Pada Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi. Ayat (2) bahwa Urusan Pemerintahan bidang
kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan
taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
Sedangkan pada ayat (5) dinyatakan bahwa Daerah kabupaten/kota penghasil dan
bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (6) bahwa Penentuan Daerah
kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan
yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Batas wilayah 4 (empat) mil dalam
ketentuan ini hanya semata-mata untuk keperluan penghitungan bagi hasil kelautan,
sedangkan kewenangan bidang kelautan sampai dengan 12 (dua belas) mil tetap berada
pada Daerah provinsi.
Pasal 15 ayat (1) bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Ayat
(2) bahwa Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran
undang-undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan
yang penentuannya menggunakan prinsip dan criteria pembagian urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Ayat (3) bahwa Urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden.
Sedangkan ayat (4) mengatur bahwa Perubahan terhadap pembagian urusan
pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah

10

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berakibat terhadap
pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan
yang lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ayat (5) menyatakan bahwa
Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Dalam Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (3) berwenang untuk: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan criteria dalam
rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Pada ayat (5) bahwa Penetapan norma, standar, prosedur, dan
criteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan
konkuren diundangkan.
Pengaturan dalam Pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa apabila dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) Pemerintah Pusat
belum menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, Penyelenggara Pemerintahan
Daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) bahwa Urusan pemerintahan konkuren yang
menjadi kewenangan Daerah provinsi diselenggarakan: a. sendiri oleh Daerah provinsi;
b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan;
atau c. dengan cara menugasi Desa. Ayat (2) bahwa Penugasan oleh Daerah provinsi
kepada Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepada Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan peraturan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren akan diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 21).
Terkait dengan kewenangan Daerah Provinsi di laut diatur dalam Pasal 27. Pada
ayat (1) disebutkan bahwa Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber
daya alam di laut yang ada di wilayahnya. Ayat (2) Kewenangan Daerah provinsi untuk
mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan
gas bumi; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam
memelihara keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan
negara. Ayat (3) menyebutkan bahwa Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola
sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua
belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
Secara lebih rinci pembagian urusan pemerintahan tertera dalam lampiran
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini yaitu sebagaimana matrik berikut:29
Y. PEMBAGIAN URUSAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN
NO

SUB URUSAN

1

Kelautan, Pesisir,
dan

PEMERINTAH PUSAT
a. Pengelolaan ruang laut di
atas 12 mil dan strategis

DAERAH PROVINSI
a. Pengelolaan ruang laut
sampai dengan 12 mil di

29 Lihat lampiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

DAERAH
KABUPATEN/
KOTA
-

11
Pulau-Pulau Kecil

2

Perikanan
Tangkap

4

Pengawasan
Sumber
Daya Kelautan
dan
Perikanan
Pengolahan dan
Pemasaran

5

nasional.
b. Penerbitan izin pemanfaatan
ruang laut nasional.
c. Penerbitan izin pemanfaatan
jenis dan genetik (plasma
nutfah) ikan antarnegara.
d. Penetapan jenis ikan yang
dilindungi dan diatur
perdagangannya secara
internasional.
e. Penetapan kawasan
konservasi.
f. Database pesisir dan pulaupulau keci
a. Pengelolaan penangkapan
ikan di wilayah laut di atas 12
mil.
b. Estimasi stok ikan nasional
dan jumlah tangkapan ikan
yang diperbolehkan (JTB).
c. Penerbitan izin usaha
perikanan tangkap untuk: a.
kapal perikanan berukuran di
atas 30 Gross Tonase (GT);
dan b. di bawah 30 Gross
Tonase (GT) yang
menggunakan modal asing
dan/atau tenaga kerja asing.
d. Penetapan lokasi
pembangunan dan
pengelolaan pelabuhan
perikanan nasional dan
internasional.
e. Penerbitan izin pengadaan
kapal penangkap ikan dan
kapal pengangkut ikan
dengan ukuran di atas 30 GT.
f. Pendaftaran kapal
Pengawasan sumber daya
kelautan dan perikanan di
atas 12 mil, strategis
nasional dan ruang laut
tertentu.
a. Standardisasi dan sertifikasi
pengolahan hasil perikanan.
b. Penerbitan izin pemasukan
hasil perikanan konsumsi dan
nonkonsumsi ke dalam
wilayah Republik Indonesia.
c. Penerbitan izin usaha
pemasaran dan pengolahan
hasil perikanan lintas Daerah
provinsi dan lintas negara

luar minyak dan gas bumi.
b. Penerbitan izin dan
pemanfaatan ruang laut di
bawah 12 mil di luar
minyak dan gas bumi.
c. Pemberdayaan masyarakat
pesisir dan pulau-pulau
kecil

a. Pengelolaan penangkapan
ikan di wilayah laut sampai
dengan 12 mil.
b. Penerbitan izin usaha
perikanan tangkap untuk
kapal perikanan berukuran
di atas 5 GT sampai dengan
30 GT.
c. Penetapan lokasi
pembangunan serta
pengelolaan pelabuhan
perikanan provinsi.
d. Penerbitan izin pengadaan
kapal penangkap ikan dan
kapal pengangkut ikan
dengan ukuran di atas 5 GT
sampai dengan 30 GT.
e. Pendaftaran kapal
perikanan di atas 5 GT
sampai dengan 30 GT.

a. Pemberdayaan
nelayan kecil
dalam Daerah
kabupaten/kota.
b. Pengelolaan
dan
penyelenggaraa
n Tempat
Pelelangan Ikan
TPI).

Pengawasan sumber daya
kelautan dan perikanan
sampai dengan 12 mil.

-

Penerbitan izin usaha
pemasaran dan pengolahan
hasil perikanan lintas Daerah
kabupaten/kota dalam
1 (satu) Daerah provinsi

-

BB. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN
NO

SUB URUSAN

PEMERINTAH PUSAT

DAERAH PROVINSI

DAERAH
KABUPATE
N/ KOTA

12
2

Pengelolaan
Hutan

3

Konservasi
Sumber
Daya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya

4

Pendidikan dan
Pelatihan,
Penyuluhan
dan
Pemberdayaan
Masyarakat di
bidang
Kehutanan
Pengelolaan
Daerah
Aliran Sungai
(DAS)

5

a. Penyelenggaraan tata hutan.
b. Penyelenggaraan rencana
pengelolaan hutan.
c. Penyelenggaraan
pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan.
d. Penyelenggaraan
rehabilitasi dan reklamasi
hutan.
e. Penyelenggaraan
perlindungan hutan.
f. Penyelenggaraan
pengolahan dan
penatausahaan hasil hutan.
g. Penyelenggaraan
pengelolaan kawasan hutan
dengan tujuan khusus
(KHDTK).

a. Pelaksanaan tata hutan
kesatuan pengelolaan hutan
kecuali pada kesatuan
pengelolaan hutan konservasi
(KPHK).
b. Pelaksanaan rencana
pengelolaan kesatuan
pengelolaan hutan kecuali pada
kesatuan pengelolaan hutan
konservasi KPHK).
c. Pelaksanaan pemanfaatan hutan
di kawasan hutan produksi dan
hutan lindung, meliputi: 1)
Pemanfaatan kawasan hutan; 2)
Pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu; 3) Pemungutan hasil
hutan; 4) Pemanfaatan jasa
lingkungan kecuali pemanfaatan
penyimpanan dan/atau
penyerapan karbon.
d. Pelaksanaan rehabilitasi di luar
kawasan hutan negara.
e. Pelaksanaan perlindungan
hutan di hutan lindung, dan
hutan produksi.
f. Pelaksanaan pengolahan hasil
hutan bukan kayu.
g. Pelaksanaan pengolahan hasil
hutan kayu dengan kapasitas
produksi < 6000 m³/tahun.
h. Pelaksanaan pengelolaan
KHDTK untuk kepentingan
religi.
a. Penyelenggaraan
a. Pelaksanaan perlindungan,
pengelolaan kawasan suaka
pengawetan dan pemanfaatan
alam dan kawasan
secara lestari taman hutan raya
pelestarian alam.
(TAHURA) lintas Daerah
b. Penyelenggaraan konservasi
kabupaten/kota.
tumbuhan dan satwa liar.
b. Pelaksanaan perlindungan
c. Penyelenggaraan
tumbuhan dan satwa liar yang
pemanfaatan secara lestari
tidak dilindungi dan/atau tidak
kondisi lingkungan kawasan
masuk dalam lampiran
pelestarian alam.
(Appendix) CITES.
d. Penyelenggaraan
c. Pelaksanaan pengelolaan
pemanfaatan jenis tumbuhan
kawasan bernilai ekosistem
dan satwa liar.
penting dan daerah penyangga
kawasan suaka alam dan
kawasam pelestarian alam.
a. Penyelenggaraan
a. Pelaksanaan penyuluhan
pendidikan dan pelatihan
kehutanan provinsi.
serta pendidikan menengah b. Pemberdayaan masyarakat di
kehutanan.
bidang kehutanan.
b. Penyelenggaraan
penyuluhan kehutanan
nasional.

-

Penyelenggaraan pengelolaan
DAS.

-

Pelaksanaan pengelolaan DAS
lintas Daerah kabupaten/kota
dan dalam Daerah
kabupaten/kota dalam

Pelaksanaan
pengelolaan
TAHURA
kabupaten/
kota.

-

13

6

Pengawasan
Kehutanan

Penyelenggaraan
pengawasan terhadap
pengurusan hutan.

1 (satu) Daerah provinsi
-

-

CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA
MINERAL
NO

SUB
URUSAN

1

Geologi

2

Mineral dan
Batubara

PEMERINTAH PUSAT

DAERAH PROVINSI

a. Penetapan cekungan air tanah.
b. Penetapan zona konservasi air
tanah pada cekungan air tanah
lintas Daerah provinsi dan lintas
negara.
c. Penetapan kawasan lindung
geologi dan warisan geologi
(geoheritage).
d. Penetapan status dan peringatan
dini bahaya gunung api.
e. Peringatan dini potensi gerakan
tanah.
f. Penetapan neraca sumber daya
dan cadangan sumber daya
mineral dan energy nasional.
g. Penetapan kawasan rawan
bencana geologi.
a. Penetapan wilayah
pertambangan sebagai bagian
dari rencana tata ruang wilayah
nasional, yang terdiri atas
wilayah usaha pertambangan,
wilayah pertambangan rakyat
dan wilayah pencadangan negara
serta wilayah usaha
pertambangan khusus.
b. penetapan wilayah izin usaha
pertambangan mineral logam
dan batubara serta wilayah izin
usaha pertambangan khusus.
c. Penetapan wilayah izin usaha
pertambangan mineral bukan
logam dan batuan lintas Daerah
provinsi dan wilayah laut lebih
dari 12 mil.
d. Penerbitan izin usaha
pertambangan mineral logam,
batubara, mineral bukan logam
dan batuan pada: 1) wilayah izin
usaha Pertambangan yang
berada pada wilayah lintas
Daerah provinsi; 2) wilayah izin
usaha pertambangan yang
berbatasan langsung dengan
negara lain; dan 3) wilayah laut
lebih dari 12 mil;
e. Penerbitan izin usaha
pertambangan dalam rangka

a. Penetapan zona konservasi
air tanah pada cekungan air
tanah dalam Daerah
provinsi.
b. Penerbitan izin pengeboran,
izin penggalian, izin
pemakaian, dan izin
pengusahaan air tanah dalam
Daerah provinsi.
c. Penetapan nilai perolehan air
tanah dalam Daerah
provinsi.

a. Penetapan wilayah izin usaha
pertambangan mineral bukan
logam dan batuan dalam 1
(satu) Daerah provinsi dan
wilayah laut sampai dengan
12 mil.
b. Penerbitan izin usaha
pertambangan mineral logam
dan batubara dalam rangka
penanaman modal dalam
negeri pada wilayah izin
usaha pertambangan Daerah
yang berada dalam 1 (satu)
Daerah provinsi termasuk
wilayah laut sampai dengan
12 mil laut.
c. Penerbitan izin usaha
pertambangan mineral bukan
logam dan batuan dalam
rangka penanaman modal
dalam negeri pada wilayah
izin usaha pertambangan
yang berada dalam 1 (satu)
Daerah provinsi termasuk
wilayah laut sampai dengan
12 mil laut.
d. Penerbitan izin
pertambangan rakyat untuk
komoditas mineral logam,
batubara, mineral bukan
logam dan batuan dalam

DAERAH
KABUPATEN
/ KOTA
-

-

14

3
4

5

Minyak dan
Gas Bumi
Energi Baru
Terbarukan

Ketenagalistri
kan

penanaman modal asing.
wilayah pertambangan
f. Pemberian izin usaha
rakyat.
pertambangan khusus mineral
e. Penerbitan izin usaha
dan batubara.
pertambangan operasi
g. Pemberian registrasi izin usaha
produksi khusus untuk
pertambangan dan penetapan
pengolahan dan pemurnian
jumlah produksi setiap Daerah
dalam rangka penanaman
provinsi untuk komiditas mineral
modal dalam negeri yang
logam dan batubara.
komoditas tambangnya
h. Penerbitan izin usaha
berasal dari 1 (satu) Daerah
pertambangan operasi produksi
provinsi yang sama.
khusus untuk pengolahan dan
f. Penerbitan izin usaha jasa
pemurnian yang komoditas
pertambangan dan surat
tambangnya yang berasal dari
keterangan terdaftar dalam
Daerah provinsi lain di luar
rangka penanaman modal
lokasi fasilitas pengolahan dan
dalam negeri yang kegiatan
pemurnian, atau impor serta
usahanya dalam 1 (satu)
dalam rangka penanaman modal
Daerah provinsi.
asing. i. Penerbitan izin usaha
g. Penetapan harga patokan
jasa pertambangan dan surat
mineral bukan logam dan
keterangan terdaftar dalam
batuan.
rangka penanaman modal dalam
negeri dan penanaman modal
asing yang kegiatan usahanya di
seluruh wilayah Indonesia.
j. Penetapan harga patokan mineral
logam dan batubara.
k. Pengelolaan inspektur tambang
dan pejabat pengawas
pertambangan.
Penyelenggaraan minyak dan gas
bumi.
a. Penetapan wilayah kerja panas
a. Penerbitan izin pemanfaatan
bumi.
langsung panas bumi lintas
b. Pelelangan wilayah kerja panas
Daerah kabupaten/kota dalam
bumi.
1 (satu) Daerah provinsi.
c. Penerbitan izin pemanfaatan
b. Penerbitan surat keterangan
langsung panas bumi lintas
terdaftar usaha jasa penunjang
Daerah provinsi.
yang kegiatan usahanya
d. Penerbitan izin panas bumi
dalam 1 (satu) Daerah
untuk pemanfaatan tidak
provinsi.
langsung.
c. Penerbitan izin, pembinaan
e. Penetapan harga listrik dan/atau
dan pengawasan usaha niaga
uap panas bumi.
bahan bakar nabati (biofuel)
f. Penetapan badan usaha sebagai
sebagai bahan bakar lain
pengelola tenaga air untuk
dengan kapasitas penyediaan
pembangkit listrik.
sampai dengan 10.000
g. Penerbitan surat keterangan
(sepuluh ribu) ton per tahun.
terdaftar usaha jasa penunjang
yang kegiatan usahanya dalam
lintas Daerah provinsi.
h. Penerbitan izin usaha niaga
bahan bakar nabati (biofuel)
sebagai bahan bakar lain dengan
kapasitas penyediaan di atas
10.000 (sepuluh ribu) ton
pertahun.
a. Penetapan wilayah usaha
a. Penerbitan izin usaha
penyediaan tenaga listrik dan
penyediaan tenaga listrik non
izin jual beli tenaga listrik lintas
badan usaha milik negara dan

Penerbitan izin
pemanfaatan
langsung panas
bumi dalam
Daerah
kabupaten/kota
.

-

15
negara.
b. Penerbitan izin usaha
penyediaan tenaga listrik lintas
Daerah provinsi, badan usaha
milik negara dan penjualan
tenaga listrik serta penyewaan
jaringan kepada penyedia tenaga
listrik lintas Daerah provinsi atau
badan usaha milik negara.
c. Penerbitan izin operasi yang
fasilitas instalasinya mencakup
lintas Daerah provinsi atau
berada di wilayah di atas 12 mil
laut.
d. Penetapan tarif tenaga listrik
untuk konsumen dan penerbitan
izin pemanfaatan jaringan untuk
telekomunikasi, multimedia, dan
informatika dari pemegang izin
yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
e. Persetujuan harga jual tenaga
listrik dan sewa jaringan tenaga
listrik, rencana usaha penyediaan
tenaga listrik, penjualan
kelebihan tenaga listrik dari
pemegang izin yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
f. Penerbitan izin usaha jasa
penunjang tenaga listrik yang
dilakukan oleh badan usaha
milik negara atau penanam
modal asing/mayoritas sahamnya
dimiliki oleh penanam modal
asing.
g. Penyediaan dana untuk
kelompok masyarakat tidak
mampu, pembangunan sarana
penyediaan tenaga listrik belum
berkembang, daerah terpencil
dan perdesaan.

penjualan tenaga listrik serta
penyewaan jaringan kepada
penyedia tenaga listrik dalam
Daerah provinsi.
b. Penerbitan izin operasi yang
fasilitas instalasinya dalam
Daerah provinsi.
c. Penetapan tarif tenaga listrik
untuk konsumen dan
penerbitan izin pemanfaatan
jaringan untuk
telekomunikasi, multimedia,
dan informatika dari
pemegang izin yang
ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah provinsi.
d. Persetujuan harga jual tenaga
listrik dan sewa jaringan
tenaga listrik, rencana usaha
penyediaan tenaga listrik,
penjualan kelebihan tenaga
listrik dari pemegang izin
yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah provinsi.
e. Penerbitan izin usaha jasa
penunjang tenaga listrik bagi
badan usaha dalam
negeri/mayoritas sahamnya
dimiliki oleh penanam modal
dalam negeri.
f. Penyediaan dana untuk
kelompok masyarakat tidak
mampu, pembangunan sarana
penyediaan tenaga listrik
belum berkembang, daerah
terpencil dan perdesaan.

Alih kewenangan dalam peyelenggaraan urusan pemerintahan pada sektor SDA
berdasarkan UUPemda Tahun 2014, sebagaimana pengaturan urusan pemerintahan di
atas, secara normative pengaturan dimaksud sepertinya sederhana, karena hanya
sekedar pengalihan kewenangan dalam pengurusan dan pengelolaannya. Namun, bila
dikaji dengan cermat, alih kewenangan beberapa urusan pemerintahan pada berbagai
sektor dapat dipastikan akan berimplikasi secara politik (kebijakan sentralisasi dan
desentralisasi), secara yuridis (terkait dengan hak dan kewajiban, tanggungjawab dan
tanggung gugat). Implikasi lainnya yang akan segera dihadapi yaitu implikasi terhadap
struktur kelembagaan, implikasi terhadap stakeholders dan pemangku kepentingan,
potensi konflik antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi/pusat,
potensi konflik antara masyarakat dan pelaku usaha dengan pemerintah provinsi/pusat,
implikasi terhadap peraturan sektoral dan berbagai produk hukum daerah (peraturan
perundang-undangan sektoral, produk hukum daerah, keputusan perizinan). Untuk itu,

16

dalam pelaksanaan kewenangan dimaksud, perlu kehati-hatian dan kecermatan guna
meminimalisir implikasi yang bersifat negatif.30
Kementerian Dalam Negeri, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor
120/253/Sj, tanggal 16 Januari 2015 Tentang Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan Setelah Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah. Surat Edaran dimaksud sebagai pedoman bagi daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah diberlakukannya UUPemda Tahun
2014 selama masa transisi sebelum diterbitkannya ketentuan pelaksanaan dari undangundang tersebut. Dalam Surat Edaran ini disebutkan, bahwa gubernur, bupati dan
walikota diminta untuk menyelesaikan secara seksama inventarisasi P3D antar
tingkatan /susunan pemerintahan sebagai akibat pengalihan urusan pemerintahan
konkuren paling lambat tanggal 31 Maret 2016 dan serah terima P3D paling lambat
tanggal 2 Oktober 2016. Hasil inventarisasi P3D tersebut menjadi dokumen dan dasar
penyusunan RKPD, KUA/PPAS dan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
Provinsi/