Eksistensi Pertanian Organik Dalam Perke

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.

EKSISTENSI PERTANIAN ORGANIK DALAM PERKEMBANGAN AGRIBISNIS PADI
SAWAH SUMATERA BARAT
Atman dan Nurnayetti

PENDAHULUAN
Bahan organik merupakan salah satu komponen tanah yang sangat penting bagi
ekosistem tanah, dimana bahan organik merupakan sumber pengikat hara dan substrat bagi
mikrobia tanah. Bahan organik tanah merupakan bahan penting untuk memperbaiki
kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Apabila tidak ada masukan bahan
organik ke dalam tanah, akan terjadi masalah pencucian sekaligus kelambatan penyediaan
hara. Mikro Organisme Lokal atau yang sering disebut MOL adalah kumpulan organisme
bermanfaat yang dapat digunakan sebagai dekomposer, agens hayati, dan pupuk mikroba
bagi tanaman. Eksplorasi dan pengembangan MOL sangat mudah dilakukan, tinggal
mengeksplorasi dari mana MOL tersebut akan dipilih. Bonggol pisang, rebung, buah maja,
buah-buahan masak, sayur-sayuran, isi bambu, dan rumen merupakan bahan lokal
alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber biakan. Selanjutnya MOL tersebut
digunakan sebagai dekomposer untuk membuat pupuk organik.

Untuk menjaga kesuburan tanah dalam sistem pangan organik (SNI 01-6729-2002),
jenis bahan penyubur yang diperbolehkan diantaranya adalah kompos dari kotoran ternak
dan atau sisa-sisa tanaman seperti jerami padi. Standar mutu kompos yang berkualitas baik
telah diatur dalam Permentan No.02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Pupuk Organik. Sedangkan
pengambilan pupuk organik (kompos) bentuk padat mengacu pada SNI 19-0428-1989 dan
bentuk cair pada SNI 19-0429-1989.
Hasil penelitian penggunaan jerami padi pada lahan sawah di beberapa negara
menunjukkan pengaruh yang positif terhadap perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
sawah (Gunarto, et. al., 2002). Jerami padi merupakan sumber hara utama kalium (K) dan
Silikat (Si) karena sekitar 80% K yang diserap tanaman berada dalam jerami. Pengembalian
jerami ke lahan dapat memperlambat pemiskinan K dan Si tanah (Wiharjaka, et. al., 2002).
Kandungan hara terutama kalium cukup tinggi di dalam jerami padi (1,2-1,7%), selain itu
juga mengandung N (0,5-0,8%), P (0,07-0,12%), dan S (0,05-0,10%) (Dobermann dan
Fairhurst, 2000).
Dari segi kesuburan tanah, ternyata pemberian 5 ton jerami padi/MT selama 4 musim
dapat memberikan sumbangan sebesar 170 kg K, 160 kg Mg, 200 kg Si, dan 1,7 ton Corganik yang sangat dibutuhkan bagi kegiatan jasad mikro tanah (Adiningsih, et. al., 1998).
Pemberian bahan organik juga meningkatkan stabilitas agregat yaitu dari 60 menjadi 80,
sehingga memperbaiki struktur tanah
yang memadat
akibat penggenangan dan

pelumpuran terus menerus. Tanah lebih mudah diolah dan sangat bermanfaat bagi
pertumbuhan akar tanaman palawija seperti jagung, ubi-ubian, kedelai, dan kacang tanah
yang ditanam setelah padi (Suriadikarta, et. al., 2005). Pada areal sawah bukaan baru
pemberian jerami padi dalam bentuk kompos dengan dosis 2,5 t/ha dapat mensubsitusi
kebutuhan pupuk KCl sebesar 50% dari 75 kg KCl/ha (Ismon, et. al., 2008).
Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam pengomposan adalah lamanya proses
pelapukan jerami padi (6-12 bulan) sehingga perlu upaya untuk mempercepat proses
dekomposisi (Isroi, 1994). Percepatan proses pengomposan dapat dilakukan dengan
beberapa strategi, antara lain: (1) Memanipulasi kondisi/faktor-faktor yang berpengaruh
pada proses pengomposan, dan (2) Menambah organisme yang dapat mempercepat proses
pengomposan (mikroba pendegradasi) (Arslan, et. al., 2008). Meskipun Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) sudah mendapatkan dekomposer yang mampu

1

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.

mempercepat proses pelapukan jerami (PROMI dan M-Dec), namun belum banyak diadopsi

petani karena sulit didapatkan di pasaran dan harganya relatif mahal.
Saat ini sudah berkembang berbagai jenis MOL sebagai dekomposer dan sumber
nutrisi bagi tanaman yang berasal dari bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai
pengganti pupuk buatan (an organik). Permasalahannya, petani menggunakan MOL baik
sebagai dekomposer maupun sebagai sumber nutrisi bagi tanaman organik mereka tanpa
mengetahui dosis dan takaran yang tepat.
Untuk mengetahui kondisi pertanian organik dalam mendukung agribisnis padi sawah,
telah dilaksanakan studi pada tahun 2012 di tiga kabupaten sentra padi sawah organik di
Sumatera Barat. Ketiga kabupaten tersebut adalah: (1) Agam; (2) Tanah Datar; dan (3)
Padang Pariaman. Metode menghimpun informasi menggunakan survey terstruktur dengan
teknik pengumpulan data Focus Group Discussion (FGD). Informasi yang diperoleh dianalisis
dengan statistik deskriptif. Selain itu juga dilakukan analisa kandungan mikroba dalam MOL
dekomposer dan kandungan hara pupuk kandang/NPK organik cair di tingkat petani.
IDENTIFIKASI TEKNOLOGI PERTANIAN ORGANIK DI TINGKAT PETANI
a. Mikro Organisme Lokal (MOL)
Saat ini sedang dikembangkan pengelolaan limbah tanaman yang merupakan salah
satu sampah organik yang dapat digunakan sebagai salah satu media biakan (inokulan)
mikroba yang mampu mendegradasi bahan-bahan organik (Galileo, 2007). Pengelolaan MOL
ini selain dapat digunakan sebagai dekomposer juga sebagai pupuk organik cair, dan lainlain. Menurut Purwasasmita dan Kunia (2009), larutan MOL adalah larutan hasil fermentasi
yang berbahan dasar berasal dari berbagai sumberdaya yang tersedia setempat. Larutan

MOL mengandung unsur hara mikro dan makro dan juga mengandung bakteri yang
berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan sebagai agen
pengendali penyakit maupun hama padi. Saat ini MOL digunakan dalam program SRI
(System of Rice Intensification) sebagai pendekomposer, dan atau pupuk hayati, dan atau
sebagai pestisida organik terutama sebagai fungisida.
Berbagai contoh larutan MOL yang dibuat dan diaplikasikan para petani antara lain:
(1) MOL buah-buahan untuk membantu malai (bulir padi) agar lebih berisi; (2) MOL daun
cebreng untuk penyubur daun tanaman, disemprotkan pada padi umur 30 hari; (3) MOL
bonggol pisang untuk dekomposer saat pembuatan kompos, dan disemprotkan di sawah
pada usia padi 10,20,30 dan 40 hari; (4) MOL sayuran untuk merangsang tumbuhnya malai
(bulir padi), disemprotkan pada usia padi 60 hari; (5) MOL rebung untuk merangsang
pertumbuhan tanaman, disemprotkan pada usia padi 15 hari; (6) MOL limbah dapur untuk
memperbaiki struktur fisik, biologi, dan kimia tanah, disemprotkan pada saat olah tanah; (7)
MOL protein untuk nutrisi tambahan pada tanaman, disemprotkan pada usia 15 hari; (8)
MOL nimbi dan surawung untuk mencegah penyakit tanaman; dan (9) lain sebagainya.
Menurut Hadinata (2008), bahan utama dalam MOL terdiri atas tiga komponen yaitu:
(1) karbohidrat yang berasal dari air cucian beras (tajin), nasi bekas (basi), singkong,
kentang, dan gandum; (2) glukosa yang berasal dari gula merah yang diencerkan dengan
air, cairan gula pasir, gula batu dicairkan, air gula, dan air kelapa; dan (3) sumber bakteri,
yaitu keong mas, kulit buah-buahan (pepaya, tomat, dll), air seni, atau apapun yang

mengandung sumber bakteri.
Di Sumatera Barat, MOL dekomposer yang banyak dimanfaatkan petani adalah yang
berasal dari rumen sapi, buah-buahan, rebung, keong, dan mikroba II. Namun, petani belum
mengetahui kandungan mikroba (jamur dan bakteri) dalam MOL tersebut. Hasil identifikasi
kandungan mikroba bermanfaat yang dapat digunakan sebagai dekomposer dan terkandung
didalam MOL disajikan pada Tabel 1. Terlihat bahwa MOL rumen sapi mengandung jamur
Trichoderma dan Fusarium, serta bakteri Lactobaccillus. MOL buah-buahan mengandung
jamur Sacharomyses dan bakteri Lactobaccillus. MOL rebung mengandung jamur Fusarium

2

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.

dan Trichoderma serta bakteri Lactobacillus dan Streptococcus. MOL keong mengandung
jamur Fusarium dan bakteri Lacktobacillus. Selanjutnya, MOL mikroba II mengandung jamur
Trichoderma dan Fusarium serta bakteri Lactobacillus.
Tabel 1.
No

1
2
3
4
5

Kandungan mikroba (jamur dan bakteri) pada beberapa MOL di Sumatera Barat,
2012.
Jenis Mikroba yang terkandung
Jenis MOL
Jamur
Bakteri
Rumen sapi
Trichoderma
Lactobaccillus
Fusarium
Buah-buahan
Sacharomyses
Lactobaccillus
Rebung

Fusarium
Lactobaccillus
Trichoderma
Streptococcus
Keong
Fusarium
Lactobaccillus
Trichoderma
Mikroba II
Trichoderma
Lactobaccillus
Fusarium

 Jamur
Hasil isolasi MOL rumen sapi menunjukkan bahwa pada pengenceran 10-2 didapatkan
ciri-ciri adalah bulat, hijau, keliling putih, pada pengenceran 10-3 ciri-cirinya adalah kuning,
bulat, tidak beraturan, dan pengenceran 10-4 ciri-cirinya adalah putih susu, bulat tengah
tebal. Setelah dilakukan proses identifikasi didapatkan dua jenis jamur, yaitu: Trichoderma
dan Fusarium. Hasil isolasi MOL buah-buahan menunjukkan bahwa pada pengenceran 10-2
didapatkan ciri-ciri warna kream bulat, bergerigi, tebal, mengkilap. Ciri-ciri yang sama juga

didapatkan pada pengenceran 10-3. Setelah dilakukan proses identifikasi didapatkan satu
jenis jamur, yaitu Sacharomyses. Hasil isolasi MOL rebung menunjukkan bahwa pada
pengenceran 10-2 didapatkan ciri-ciri adalah koloni bulat beriva putih, pada pengenceran 10-3
ciri-cirinya adalah bulat beriva putih, dan pengenceran 10-4 ciri-cirinya adalah bulat beriva
hitam dan bulat di tengah hijau, bagian pinggiran putih. Setelah dilakukan proses identifikasi
didapatkan dua jenis jamur, yaitu: Fusarium dan Trichoderma. Hasil isolasi MOL keong
menunjukkan bahwa pada pengenceran 10-2 didapatkan ciri-ciri adalah putih, bulat, bagian
tepi tebal licin, mengkilat, pada pengenceran 10-3 ciri-cirinya adalah putih bulat, tidak
beraturan, mengkilat, licin, beriva putih, dan pengenceran 10-4 ciri-cirinya adalah sama
dengan pengenceran 10-3. Setelah dilakukan proses identifikasi didapatkan dua jenis jamur,
yaitu: Fusarium dan Trichoderma. Hasil isolasi MOL mikroba II menunjukkan bahwa pada
pengenceran 10-2 didapatkan ciri-ciri adalah beriva putih susu tengah kehijauan, pada
pengenceran 10-3 ciri-cirinya adalah putih bulat, bergerigi licin. Setelah dilakukan proses
identifikasi didapatkan dua jenis jamur, yaitu: Trichoderma dan Fusarium.
 Bakteri
Hasil identifikasi yang dilakukan didapatkan satu jenis bakteri yaitu: Lactobacillus
basil satu-satu (MOL rumen sapi), Lactobacillus basil satu-satu (MOL mikroba II),
Lactobacillus basil satu-satu (MOL keong), Lactobacillus basil satu-satu (MOL buah-buahan),
dan Lactobacillus berantai dan satu-satu (MOL buah-buahan). Sedangkan pada MOL rebung
didapatkan dua jenis bakteri, yaitu: Lactobacillus dan Streptococcus.

b. Pupuk Organik
Bahan organik adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah tumbuhan atau hewan
atau produk sampingan seperti pupuk kandang ternak atau unggas, jerami padi yang
dikompos atau residu tanaman lainnya, kotoran pada saluran air, bungkil, pupuk hijau, dan
potongan leguminosa. Untuk merubah sisa-sisa tanaman menjadi bahan/pupuk organik

3

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.

diperlukan proses pengomposan. Pengomposan adalah suatu proses pengolahan buangan
(limbah) secara aerobik dan anaerobik. Kedua proses tersebut saling menunjang untuk
menghasilkan pupuk organik atau kompos. Sisa-sisa bahan organik yang ditumpuk
mengalami perubahan melalui proses degradasi baik secara aerobik maupun anaerobik.
Menurut Toharisman dan Hutasoit (1993), pengomposan merupakan proses biokimia yang
merubah material organik menjadi humus. Proses tersebut bisa dipercepat oleh perlakuan
manusia sehingga menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu tidak terlalu
lama. Ada tiga group mikro organisme yang berperan dalam proses pengomposan, yaitu:

bakteri, aktinomisetes, dan fungi. Bakteri mengurai senyawa golongan protein, lipid, dan
lemak pada kondisi termofilik serta menghasilkan energi panas. Aktinomisetes dan fungi
yang selama proses pengomposan berada kondisi mesofilik dan termofilik berfungsi untuk
mengurai senyawa-senyawa organik yang kompleks dan selulosa dari bahan organik atau
dari bulking agent. Faktor kondisi lingkungan selama operasional dan sangat berpengaruh
terhadap aktifitas mikro organisme dalam proses oksidasi-dekomposisi tersebut dan pada
akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan dan siklus proses pengomposan serta kualitas
kompos yang dihasilkan (Supriyanto, 2000).
Penggunaan pupuk organik bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaaan
pupuk kimia, sehingga dosis pupuk dan dampak pencemaran lingkungan akibat
penggunaaan pupuk kimia dapat secara nyata dikurangi. Kemampuan pupuk organik untuk
menurunkan dosis penggunaan pupuk konvensional sekaligus mengurangi biaya pemupukan
telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, baik untuk tanaman pangan (kedelai, padi,
jagung , dan kentang) maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, teh, tebu,
dll.) yang diketahui selama ini sebagai pengguna utama pupuk konvensional (pupuk kimia).
Lebih lanjut lagi, kemampuannya untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan
terbukti sejalan dengan kemampuannya menurunkan dosis penggunaan pupuk kimia
(Nabila, 2011).
c. Aplikasi Pupuk Organik
Di kawasan pengembangan padi sawah organik di Sumatera Barat, secara umum

didapatkan dua jenis pupuk yang digunakan dalam budidaya padi sawah, yaitu pupuk
kandang dan pupuk NPK organik cair. Keragaan kandungan hara pupuk kandang bervariasi
yaitu 0,84-1,90% (N); 0,16-0,80 (P); 0,26-3,62% (K); 4,64-39,47% (C); dan 5,28-39,07%
(C/N) (Tabel 2). Jika dibandingkan dengan produk pupuk organik yang ada di pasaran
ternyata kandungan C dan rasio C/N masih lebih rendah, kecuali pupuk organik yang
dihasilkan Keltan Salodara. Kandungan hara produk organik yang ada di pasaran adalah
sekitar 12,5% (C) dan 10-25% (ration C/N).
Tabel 2. Hasil analisis kandungan hara pupuk kandang pada beberapa lokasi padi sawah
organik di Sumatera Barat. 2012.
Kandungan unsur hara makro (%)
Kelompok Tani
N
P
K
C
C/N
Lurah Sepakat Baso Agam
1,90
0,80
3,62
10,04
5,28
Serumpun Lintau Tanahdatar
1,46
0,31
2,28
11,53
7,89
Banga Tanjung Kayu Tanam Padang
0,84
0,16
0,26
4,64
5,52
Pariaman
Salodara Kayu Tanam Padang
1,01
0,28
2,40
39,47
39,07
Pariaman
Budi Saiyo Kayu Tanam Padang
1,40
0,65
1,48
10,64
7,60
Pariaman
Keragaan kandungan hara pupuk NPK organik cair juga bervariasi, yaitu: 0,02-0,51%
(N), 0,01-0,02 (P), dan 0,32-0,50 (K) (Tabel 3). Sementara itu, kandungan hara pupuk cair

4

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.

sebagai sumber N, P, dan K di Keltan Lurah Sepakat juga sangat rendah. Pupuk cair sabut
kelapa sebagai sumber K hanya mengandung K sebesar 0,08%, pupuk cair keong sebagai
sumber N hanya mengandung N sebesar 0,06% (malahan yang lebih banyak adalah
kandungan K sebesar 0,43%), dan pupuk cair tulang sebagai sumber P hanya mengandung
P sebesar 0,10% (Tabel 4). Jika dibandingkan dengan produk pupuk NPK organik cair yang
ada di pasaran ternyata kandungan N, P, dan K pupuk organik cair di tingkat petani masih
sangat rendah. Kandungan N, P, dan K produk pupuk NPK organik cair yang ada di pasaran
berturut-turut 11% (N), 8% (P2O5), dan 6% (K2O).
Tabel 3. Hasil analisis kandungan hara pupuk NPK organik cair pada beberapa lokasi padi
sawah organik di Sumatera Barat. 2012.
Kandungan unsur hara makro
(%)
Kelompok Tani
N
P
K
Lurah Sepakat Baso Agam
0,08
0,01
0,42
Serumpun Lintau Tanahdatar
0,51
0,02
0,50
Banga Tanjung Kayu Tanam Padang Pariaman
0,05
0,02
0,32
Salodara Kayu Tanam Padang Pariaman
0,02
0,02
0,41
Tabel 4. Hasil analisis kandungan hara pupuk cair organik di Keltan Lurah Sepakat Baso
Kabupaten Agam Sumatera Barat. 2012.
Kandungan unsur hara makro
(%)
Kelompok Tani
N
P
K
Pupuk cair dari sabut kelapa (sumber K)
0,01
0,02
0,08
Pupuk cair dari keong (sumber N)
0,06
0,07
0,43
Pupuk cair dari tulang (sumber P)
0,01
0,10
0,08
Aplikasi pupuk kandang dan pupuk NPK organik cair di tingkat petani pada pertanian
organik padi sawah juga berbeda-beda. Belum ada rekomendasi yang tepat pada masingmasing lokasi pertanian padi sawah organik. Petani memberikan perlakuan berdasarkan
ketersediaan bahan pupuk organik di lapangan. Pada kelompok tani yang sama, juga ditemui
perbedaan dalam memberikan perlakuan. Pada Tabel 5 disajikan cara aplikasi pupuk organik
di masing-masing lokasi pertanian padi sawah organik. Terlihat, hasil yang didapatkan juga
bervariasi, yaitu 3,6-6,5 t/ha gabah kering panen (GKP).

5

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.
Tabel 5. Aplikasi pupuk organik di tingkat petani pada beberapa lokasi pertanian padi sawah organik di
Sumatera Barat, 2012.
Rata-rata
KabuHasil
Sumber Nutrisi
Aplikasi
paten
(t GKP/ha)
Pupuk kandang  pukan dosis 2-5 t/ha
(tergantung ketersediaan), kadang ditambah
dengan kompos jerami bila ketersediaan pukan
terbatas lalu disebar saat pengolahan tanah; atau
Kotoran sapi, jerami, Kompos jerami  dosis seluruh jerami
keong, tulang, sabut dipertanaman + hijauan dijadikan kompos dan
kelapa, hijauan, NPK disebar saat pengolahan tanah bila pukan tidak
organik cair (ekstrak tersedia.
titonia,
urine Pupuk cair  NPK cair diberikan sebanyak 2-4
kambing, abu, sabut sdm/l air sebanyak 3-4 kali umur 15-60 hst,
Agam
6,0
kelapa, air kelapa, dengan interval 10-15 hari, dimulai umur 2 mst.
dedak,
tulang, Atau diberikan dalam bentuk terpisah berupa
cangkang
telur, nutrisi keong, tulang, dan sabut kelapa masingjantung
pisang, masing dengan dosis 1-2 sdm/l air (dicampur
rebung, keong, dll)
dalam 1 tangki sprayer) sebanyak 4 kali dengan
interval 10-15 hari, dimulai umur 15-60 hst.
Terkadang petani selain memberikan NPK cair juga
memberikan nutrisi terpisah (tergantung kondisi
tanaman di lapangan).
Pupuk kandang  pukan dosis 1,5-5 t/ha
(tergantung ketersediaan) + jerami sebanyak yang
ada di sawah + hijauan disebar saat pengolahan
Kotoran sapi, jerami,
tanah atau sebagian saat pengolahan tanah dan
hijauan,
tulang,
sebagiannya lagi saat penyiangan pertama.
cangkang
telur,
Pupuk cair  NPK cair diberikan sebanyak 1,5-3
keong,
bongkol
sdm/l air sebanyak 4-7 kali umur 15-70 hst,
pisang,
rebung,
Tanah
dengan interval 7-10 hari dimulai umur 1 mst. Atau
sabut kelapa, kulit
6,5
diberikan dalam bentuk terpisah berupa nutrisi
Datar
kakao, NPK organik
keong kulit kakao, sabut kelapa, dan cangkang
cair (ekstrak titonia,
telur, masing-masing dengan dosis 1-2 sdm/l air
urine
kambing,
(dicampur dalam 1 tangki sprayer) sebanyak 4-7
jantung
pisang,
kali dengan interval 10-15 hari, dimulai umur 15rebung, keong, dll)
60 hst. Terkadang petani selain memberikan NPK
cair juga memberikan nutrisi terpisah (tergantung
kondisi tanaman di lapangan).
Pupuk kandang  pukan dosis 1-1,5 t/ha
(tergantung ketersediaan) + jerami sebanyak yang
ada di sawah disebar saat pengolahan tanah; atau
Kompos jerami  kompos jerami dosis 1 t/ha
disebar saat pengolahan tanah bila pukan tidak
tersedia.
Kotoran
ayam,
Pupuk cair  NPK cair diberikan sebanyak 2-3
jerami,
batang
sdm/l air sebanyak 3-4 kali umur 10-40 hst,
pisang, rebung, NPK
dengan interval 10 hari dimulai umur 10 hst. Atau
Padang
organik cair (kulit
3,6
Pariaman
diberikan dalam bentuk terpisah berupa nutrisi
kakao,
batang
rebung dengan dosis 1:10 (1 bagian nutrisi rebung
pisang, kulit durian,
dan 10 bagian air) sebanyak 1 kali dimulai umur 1
urine kelinci, dll.)
mst, pada umur 2 mst dan seterusnya (interval 1
minggu) diberikan nutrisi batang pisang dengan
dosis 1:10 sampai tanaman berumur 7 mst.
Terkadang petani selain memberikan NPK cair juga
memberikan nutrisi terpisah (tergantung kondisi
tanaman di lapangan).
Catatan: NPK organik cair dibuat berdasarkan ketersediaan bahan di lokasi petani.

6

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.

Potensi Pertanian Organik Dalam Mendukung Agribisnis Padi Sawah
Pertanian organik bukan saja ramah lingkungan, tetapi juga mampu menunjang
agribisnis padi sawah di wilayahnya. Kemampuannya mendukung agribisnis padi sawah,
dilihat dari keunggulan kompetitifnya terhadap pertanian padi sawah yang menggunakan
pupuk an organik. Secara konseptual, suatu komoditas dikatakan kompetitif, jika pada
luasan yang sama komoditas itu menghasilkan pendapatan yang lebih besar atau bersaing,
pada tingkat produksi yang minimal.
Keberadaan pertanian organik dewasa ini sangat mendukung agribisnis padi di
Sumatera Barat, terutama semenjak distribusi pupuk bersubsidi bermasalah. Dari segi
produktivitas terlihat bahwa padi dengan pemupukan organik sedikit lebih rendah atau
berimbang dengan padi yang menggunakan pupuk an organik. Namun, dari segi biaya
pengeluaran usahatani, sudah pasti lebih rendah dari budidaya padi sawah an organik,
karena sumber input usahataninya (pupuk, pestisida, dll.) diperoleh secara cuma-cuma dari
limbah tanaman yang terdapat disekitar lingkungannya. Hanya memerlukan sedikit biaya
untuk memprosesnya. Sedangkan, pupuk an organik dibeli dengan biaya relatif cukup mahal.
Selain itu, pupuk organik juga ramah lingkungan, dan tidak merusak tanah, malah sebaliknya
dapat memperbaiki kesuburan tanah. Selanjutnya, dari segi penjualan, harga beras organik
relatif lebih mahal (sekitar Rp. 1.000 per kg) dibanding beras hasil budidaya an organik.
Pada Tabel 6 terlihat bahwa di Kabupaten Tanah Datar tingkat kompetitif padi sawah
organik, lebih tinggi dibanding lokasi lain, dengan indeks kompetitif mencapai 101,56%.
Artinya, jika indeks kompetitif >100% maka lebih mendukung dan berpeluang
dikembangkan untuk agribisnis padi sawah organik. Apalagi jika dikaitkan dengan Kabupaten
Tanah Datar sebagai salah satu sentra pariwisata di Sumatera Barat. Kendala utama dalam
pengembangan pertanian organik berbasiskan padi sawah saat ini di Sumatera Barat antara
lain: (1) rendahnya selisih harga beras organik dan anorganik, hanya sekitar Rp.1.000,sehingga sebagian besar petani memanfaatkan hasil panennya untuk dikonsumsi sendiri,
bukan untuk dijual; (2) masih lemahnya kelembagaan pertanian padi sawah organik; dan (3)
masih sedikitnya promosi/diseminasi tentang padi sawah (beras) organik sehingga minat
masyarakat untuk mengkonsumsi (membeli) beras organik dengan harga tinggi (significan)
dibanding beras anorganik belum memasyarakat. Penguatan kelembagaan pertanian organik
khususnya padi sawah merupakan prioritas yang harus menjadi perhatian pemerintah
kabupaten dan provinsi. Selanjutnya, promosi/diseminasi pertanian organik skala kecil dan
besar juga harus mendapat perhatian secara terus menerus.
Tabel 6.

Tingkat keuntungan kompetitif padi dengan pemupukan organik dengan padi
dengan pemupukan an organik berdasarkan produktivitas.
Produktivitas (t/ha)
Indeks Kompetitif
Kabupaten
(%)
Organik
An organik
Agam
6.00
7,30
82,19
Tanah Datar
6,50
6,40
101,56
Padang Pariaman
3,60
6,20
58,06

PENUTUP
Pengembangan pertanian organik merupakan salah satu kebijakan penting dari
Kementerian Pertanian dalam membantu kehidupan petani golongan bawah menghadapi
pengurangan subsidi pupuk. Disamping itu juga diharapkan untuk memperbaiki kesuburan
tanah sawah yang sudah puluhan tahun menggunakan pupuk an organik dengan dosis yang
pada umumnya lebih tinggi dari rekomendasi. Diduga hal tersebut turut menyebabkan
kelandaian produktivitas padi sawah.

7

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.

Semenjak dilaksanakan program pertanian ramah lingkungan, dan juga penelitianpenelitian dan pengkajian-pengkajian pertanian ramah lingkungan di lembaga-lembaga
penelitian, menyebabkan pengetahuan ini menyebar ke masyarakat, sehinga semakin
maraknya pembuatan MOL sebagai pengganti pupuk anorganik karena mengandung unsur
hara makro dan mikro, selain itu juga digunakan sebagai dekomposer dalam pembuatan
kompos jerami/kotoran ternak maupun limbah tanaman lainnya, karena mengandung
mikroba (jamur dan bakteri) yang berpotensi sebagai perombak bahan organik.
Perkembangan pertanian organik di Sumatera Barat turut mendukung agribisnis padi
sawah, dimana tingkat kompetitifnya bisa melebihi padi sawah an organik (kasus di
Kabupaten Tanah Datar). Dalam jangka panjang prospeknya berpeluang untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, disamping bersifat ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningasih, J. S., D. Setyorini, dan T. Rochayati. 1998. Organic matter management
to increase fertilizers efficiency and soil productivity. ESCAP/FAO-DCDC Regional
Seminar on the Use of Recycled Organic Matter. Guangchu-Chengdu, China : 4-14
May. 1998.
Adiningsih, J. S. dan M. Soepartini. 1995. Pengelolaan Pupa pada Sistem Usahatani
Lahan Sawah. Makalah Apresiasi Metodologi Pengkajian Sistem Usaha Tani Berbasis
Padi dengan Wawasan Agribisnis. Bogor 7-9 September 1995. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Arslan, E.I., E. Obek, S. Kirbag, U. Ipek, and M. Topa. 2008. Determination of the
Effect of Compost on Soil Microorganisms International Journal of Science and
Technology 3(2); 151-159 hlm.
Barus, J. 2012. Pengaruh aplikasi pupuk kandang dan sistem tanam terhadap hasil varietas
unggul padi gogo pada lahan kering masam di Lampung. Jurnal Lahan Suboptimal.
Vol. 1 No. 1. April 2012; 102-106 hlm.
Bebet, N. dan Anna S. 2011. Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi pada Padi Sawah. Encumnurhidayat. Blogspot.com. di unduh tanggal 16 Oktober 2011.
BPTP Sumbar. 2012. Penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan Bagan Warna
Daun (BWD) untuk Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. BPTP Sumbar; 4 hlm.
Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2007. Panduan Penyusunan Cara
Budi Daya yang Baik (Good Agriculture Practices / Gap) Pertanian Organik. Ditjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian-Departemen Pertanian; 27 hlm.
Dobermann, A. dan T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient
Management. Potash and Potash Institute of Canada.
Galileo. 2007. Pengaruh limbah tomat dan EM-4 terhadap percepatan pengomposan
sampah organik. http://blogspot.com/tag/enlpercepatan. Diunduh pada tanggal 22
Mei 2007.
Gunarto, L., P. Lestari, H. Supadmo, dan A. R. Marzuki. 2002. Dekomposisi Jerami
Padi, Inokiulasi Azospirillum dan Pengaruhnya terhadap Efisiensi Penggunaan Pupuk
N pada Padi Sawah. Penelitian Pertanian Vol. 21 No. 2. Hlm 1–9. Puslitbangtan,
Bogor.
Hadinata,
I.
2008.
Membuat
Mikro
Organisme
Lokal
(MOL).
http://ivanhadinata.blogspot.com/. Diunduh pada tanggal 7 Maret 2010.
Ismon. L., K. Zen, Sadar, Aswardi, Darmawi, Syahril, dan John Kenedy. 2008.
Pemberian Jerami Padi Dalam Meningkatkan Produktifitas Lahan Sawah Bukaan Baru.
Laporan Akhir Kegiatan Pengembangan Taknologi Sawah Bukaan Baru Areal Irigasi
Batang. Kerjasama BPTP Sumbar dengan Dipertahorti Sumbar.

8

Diterbitkan pada:
Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi dan Perbaikan Sistem Dalam
Pengembangan Agribisnis. Penerbit Kristal Multi Media; 162-175 hlm.

Isroi. 1994. Peranan mikrobiologi tanah dalam meningkatkan ketersediaan hara. Kyusei
Nature Farming Societies. Vol: OS/IKNFS/II. Jakarta.
IRRI.
2011.
Pengelolaan
Hara
Spesifik
Lokasi
pada
Padi
Sawah.
www.knowledgebank.irri.org. di unduh tanggal 16 Oktober 2011.
Nabila, N. S. 2011. Pencemaran Tanah oleh Pupuk. Ilmuwanmuda.wordpress.com.
diunduh tanggal 10 Oktober 2011.
Puslitbangtan. 2012. Bagan Warna Daun Menghemat Penggunaan Pupuk N pada Padi
Sawah. Puslitbangtan Bogor; 4 hlm.
Purwasasmita, M. dan K. Kunia. 2009. Mikroorganisme Lokal Sebagai Pemicu Siklus
Kehidupan Dalam Bioreaktor Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
Indonesia – SNTKI 2009. Bandung, 19-20 Oktober 2009; TPM221-227.
Supriyanto, A. 2000. Aplikasi wastewater sludge untuk proses pengomposan serbuk
gergaji. PT Novartis Biochemie Bogor.
Suriadikarta, D. A., T. Prihatini, D. Seyorini, dan W. Hartatik. 2005. Teknologi
Pengelolaan Bahan Organik Tanah. Dalam Adimharja. A dan Mappaona (ed.).
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkuangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Sutanto,
R.
2002a.
Penerapan
Pertanian
Organik:
Pemasyarakatan
dan
pengembangannya. Kanisius. Jakarta.
Sutanto, R. 2002b. Pertanian Organik: Menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan.
Kanisius. Jakarta.
Toharisman, A. dan Hutasoit, G. F. 1993. Pengomposan hasil samping pabrik gula
sebagai salah satu penunjang upaya swasembada gula. Berita P3GI Pasuruan No. 4.
Wiharjaka. A., K. Idris, A. Rachim, dan S. Partoharjono. 2002. Pengelolaan Jerami
dan Pupuk Kalium pad Tanaman Padi di Lahan Sawah Tadah Hujan Kahat K.
Penelitian Pertanian Volume 21. No. 1: Hlm 1-63. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

9