MAKALAH ANALISIS GAS DAN TITRASI BEBAS A (1)
MAKALAH
Analisis Gas dan Titrasi Bebas Air
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kimia Analitik I yang diberikan oleh
Drs. Hokcu Suhanda, M.Si.
Oleh :
Cattelya Indra Adiningtyas
NIM 0902209
PROGRAM STUDI KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Gas dapat dianalisa dengan beberapa cara, antara lain dengan cara gravimetri,
volumetri,dan kromatografi gas. Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisa gas dari
campuran kompleks gas – gas. Dalam kromatografi gas dapat digunakan untuk analisa gas,
konstituen – konstituen dari suatu bahan dapat dianalisa sebagai persen berat. Gas – gas
tertentu dapat dikumpulkan dengan menggunakan adsorben yang cocok dan ditentukan secara
gravimetri. Contoh: karbon dalam senyawa – senyawa organik ditentukan dengan
pembakaran (“combustion”) menjadi CO2 lalu diserapkan pada “Ascarite” yang terdapat
dalam sebuah tabung. Pada analisa volumetri gas dapat dilibatkan metoda yang berkaitan
dengan reaksi kimia, dan dari volumenya dapat dihitung beratnya.
Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak mengunakan air sebagai pelarut,tetapi
digunakan pelarut organik. Titrasi ini dilakukan pada zat asam atau basa lemah seperti halnya
asam-asam organik atau alkoloida. Alkoloida sukar larut dalam air juga kurang reaktif dalam
air, seperti misalnya garam – garam amina dimana garam – garam dirombak dulu menjadi
basa bebas yang larut dalam air. Pelarut yang biasa digunakan dibagi atas dua golongan yaitu
pelarut protolitis dan pelarut amfiprotolitis.
Indikator yang digunakan adalah berupa senyawa organik yang bersifat asam atau
basa lemah, dimana warna molekulnya berbeda dengan warna bentuk ionnya. Titrasi bebas
air biasanya dalam bidang farmasi digunakan untuk menentukan kadar obat – obatan karena
sebagian senyawa obat tidak dapat ditentukan kadarnya dalam air karena keasaman dan
kebasaannya lemah.
Penggunaan pelarut bebas air pada asam basa sesuai dengan teori asam basa menurut
Bronsted – Lowry dimana asam adalah proton donor dan basa adalah proton akseptor. Pada
teori asam basa Bronsted – Lowry, suatu asam (HB) akan berdisosiasi dan melepaskan proton
(H+) dan basa konjugasi (B-) dan jika ada basa (B) akan beraksi dengan proton menghasilkan
asam konjugasi (HB+).
HB
B + H+
H + + BHB+
Kesanggupan suatu zat berperan sebagai asam atau basa akan bergantung kepada sifat – sifat
pelarut yang digunakannya.
BAB II
ISI
ANALISIS GAS DAN TITRASI BEBAS AIR
2.1 Analisis Gas
2.1.1 Analisis Volumetri Gas
Pada pendahuluan sudah dituliskan bahwa pada analisis volumetri gas dapat melibatkan
metoda yang berkaitan dengan reaksi kimia, dan dari volume gas dapat dihitung beratnya.
Telah kita ketahui bahwa volume 1 mol gas pada 0°C dan tekanan 760 mmHg adalah 22,4
Liter. Dengan demikian bila massa molekul relatif suatu gas dan volumenya pada kondisi
standar diketahui maka beratnya dapat ditentukan. Ini merupakan prinsip yang mendasari
analisis volumetri gas.
a. Hukum – hukum Gas
Perhitungan – perhitungan analisis gas diselesaikan dengan menggunakan hukum –
hukum gas, yaitu hukum Boyle, hukum Charles, hukum Dalton, hukum Gay – Lussac, dan
hukum Avogadro. Hukum – hukum gas pada umumnya hanya berlaku untuk gas ideal
tetapi dapat diaplikasikan pada analisis sehari – hari namun ketepatan hasilnya bergantung
pada manipulasi analisisnya. Perlu diingat bahwa pada kondisi standar, suatu gas harus
dalam keadaan kering, pada tekanan sama dengan 760 mmHg, dan suhunya 0°C (273 K).
Selain dengan hukum – hukum gas tersebut di atas, perhitungan gas dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus:
PV = nRT
dimana
P = tekanan gas, atm
V = volume, L
n = jumlah mol gas
R = tetapan gas = 0,08205 L.atm/mol.K
T = suhu pada skala Kelvin
b. Koreksi Uap Air
Gas – gas yang keluar sering diukur di atas cairan yang mengeluarkan suatu tekanan
uap, dan dalam keadaan tersebut barometer tidak menggambarkan tekanan gas murni. Gas
tersebut diperkirakan akan dijenuhkan oleh uap dari cairan yang ada di bawah dari gas
yang diukur. Dalam hal ini, tekanan suatu gas murni dapat ditemukan secara sederhana
dengan mensubstraksikan tekanan uap cairan pada suhu tertentu dari tekanan
barometernya. Harga tekanan uap air pada berbagai suhu dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel Tekanan Uap Air
Temperatur (°C)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Tekanan (mmHg)
4,6
4,9
5,3
5,7
6,1
6,5
7
7,5
8
8,6
9,2
9,8
10,5
11,2
11,9
12,7
13,5
14,4
15,4
16,4
17,4
Temperatur (°C)
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
40
50
60
70
80
90
Tekanan (mmHg)
18,5
19,7
20,9
22,2
23,6
25
26,5
28,1
29,8
31,6
33,4
35,4
37,4
39,6
41,9
55
92,2
149,2
233,8
355,5
526
c. Metoda Absorpsi
Metoda ini dapat diaplikasikan untuk penentuan perbandingan komponen – komponen
dalam campuran gas. Pada metoda absorpsi ini, gas diolah dengan sederet absorben pada
suhu dan tekanan yang konstan. Perbedaan volume gas sebelum dan sesudah direaksikan
dengan pereaksi penyerap menunjukkan jumlah gas yang diabsorpsi, dan jumlah ini
biasanya dinyatakan dalam presentase atas dasar volume. Pereaksi – pereaksi yang umum
digunakan dapat dilihat pada tabel berikut:
Beberapa absorben dalam analisis gas
Gas
Karbon dioksida
Hidrokarbon tak jenuh
Pereaksi/Absorben
Natrium hidroksida
Kalium hidroksida
Air brom
Asam sulfat berasap
Larutan pirogalol alkalis
Oksigen
Karbon monoksida
Fosfor kuning
Kupro klorida amoniakal
Sepon paladium (“sponge paladium”)
Hidrogen
Larutan paladium klorida
Larutan paladium kolodial
d. Metoda Pembakaran
Bila suatu campuran gas yang mengandung satu atau lebih komponen yang dapat
dibakar dengan oksigen, biasanya dimungkinkan untuk menentukan presentase dari
komponen – komponen dengan membiarkan pembakaran berlangsung dan mengukur
kontraksi dalam volume, jumlah karbon dioksida yang terbentuk, volume oksigen yang
digunakan, atau gabungan dari pengukuran – pengukuran ini, yang bergantung pada
jumlah dan karakter komponen – komponen yang dapat dibakar. Perhitungan –
perhitungan yang melibatkan kontraksi – kontraksi dalam volume didasari oleh hukum
Gay Lussac. Contoh: pada pembakaran karbon monoksida:
2CO + O2 → 2CO2
Dua satuan volume karbon monoksida dengan satu volume oksigen membentuk dua
volume karbon dioksida. Jadi pembakaran karbon monoksida tersebut disertai kontraksi
yang sama dengan setengah volume karbon monoksida yang ada dan menghasilkan
sevolume karbon dioksida yang sama dengan volume asal karbon monoksida.
Persamaan – persamaan dalam tabel di bawah, menggambarkan reaksi – reaksi
pembakaran yang biasa ditemui dalam analisis gas dan kolom – kolom di sebelah
kanannya memperlihatkan hubungan volume dalam masing – masing kasus.
Beberapa hubungan dalam pembakaran gas
Gas
Hidrogen
Karbon monoksida
Metana
Asetilena
Etilena
Etana
Persamaan reaksi
2H2 + O2 → 2H2O
2CO + O2 → 2CO2
CH4 + 2O2 → CO2 + 2H2O
2C2H2 + 5O2 → 4CO2 + 2H2O
C2H4 + 3O2 → 2CO2 + 2H2O
2C2H6 + 7O2 → 4CO2 + 6H2O
Vol.
O2
Gas
1
1
1
1
1
1
dikomsumsi
½
½
2
2½
3
3½
Kontraksi
½
½
2
1½
2
2½
CO2
hasil
0
1
1
2
2
2
Propilena
Propana
Butana
2C3H6 + 9O2 → 6CO2 + 6H2O
C3H8 + 5O2 → 3CO2 + 4H2O
2C4H10 + 13O2 → 8CO2 + 10H2O
1
1
1
4½
5
6½
2½
3
3½
2.1.2 Alat – alat dalam analisis gas
Beberapa alat yang digunakan dalam analisis gas antara lain manometer Van Slyke, alat
Warburg, alat nitrogen Dumas, dan elektroda oksigen.
a. Alat manometer Van Slykes
Manometer Van Slyke merupakan alat analisis gas yang banyak digunakan dalam
laboratorium klinik yaitu untuk penentuan karbon dioksida dan gas – gas lain dalam darah
atau zat – zat terlarut dalam darah yang dapat diubah menjadi gasnya, misalnya oksigen,
nitrogen organik, karbon monoksida. Dalam operasinya, gas dimampatkan sampai volume
tertentu dan tekanan yang digunakan di ukur. Pengukuran tekanan setelah diabsorpsi gas
dalam suatu pereaksi yangcocok diubah ke konsentrasi volume gas dalam sampel dengan
faktor konversi pada suhu percobaan. Kamar sampel dapat dilihat pada gambar di bawah
dan faktor konversi untuk CO2 dapat dilihat pula di bawah ini.
Faktor konversi dari tekanan CO2 ke mmol/L volume sampel 1 mL
Temperatur (°C)
15
16
17
Faktor untuk
Volume gas 2 mL Volume gas 0,5 mL
0,1229
0,0313
0,1222
0,0311
0,1215
0,031
3
3
4
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
22
34
0,1208
0,1202
0,1196
0,119
0,1183
0,1177
0,1171
0,1165
0,116
0,1154
0,1149
0,1143
0,1138
0,1133
0,1128
0,1123
0,1118
0,0308
0,0306
0,0305
0,0303
0,0302
0,03
0,0299
0,0297
0,0296
0,0294
0,0293
0,0291
0,029
0,0289
0,0288
0,0286
0,0285
b. Alat Nitrogen Dumas
Alat ini secara luas digunakan pada penentuan kadar nitrogen dalam senyawa organik.
Prinsipnya adalah sebagai berikut: sampel dicampur dengan tembaga oksida (yang bebas
karbon dioksida) dalam suatu tabung tertutup. Kemudian tabung dipanaskan, sampel
dioksidasi oleh tembaga oksida menjadi karbon dioksida, air, nitrogen dan oksida
nitrogen. Untuk mengubah oksida nitrogen menjadi nitrogen, gas dialirkan bersama –
sama dengan gas karbondioksida di atas kasa tembaga yang dipijarkan. Gas dialirkan ke
dalam larutan basa (kalium hidroksida). Kalium hidroksida mengabsorpsi karbondioksia
dan air. Gas sisa (N2) dialirkan ke dalam tabung dan diukur volumenya.
2.2 Titrasi Bebas Air
2.2.1 Pelarut Bebas Air
Klasifikasi pelarut bebas air dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Pelarut aprotik
Pelarut ini tidak menerima maupun memberi proton dan dalam keadaan ini bersifat
netral, tidak bereaksi, tetapan dielektriknya rendah, tidak terurai menjadi ion – ion dalam
sistem pelarut, hingga ia tidak bereaksi baik dengan asam maupun basa. Contohnya:
kloroform, toluen, CCl4, hidrokarbon. Pelarut aprotik berguna unutuk mempelajari reaksi
asam dan basa yang bebas dari pengaruh pelarut.
b. Pelarut protofilik
Pelarut yang bersifat dapat menerima proton dari zat terlarut, disebut juga pelarut
basa, dengan reaksi sebagai berikut:
SH+ + B-
HB + S
Contohnya : NH4OH, amine, ketone, aseton, dan eter. Asam lemah bila dilarutkan dalam
pelarut protofilik maka keasamannya akan meningkat yang disebut efek “levelling”.
c. Pelarut protogenik
Pelarut yang bersifat memberi proton (donor proton). Jika basa lemah dilarutkan
dalam pelarut protogenik maka kebasaannya akan meningkat. Contohnya: HF, Asam
Sulfat, asam acetat, asam format, dan HCl.
d. Pelarut amfiprotik
Pelarut ini bekerja sebagai penerima proton, dan pemberi proton. Contoh untuk
pelarut ini adalah golongan alkohol, air, asam acetat glasial. Asam acetat bisa bersifat
asam dengan reaksi :
CH3COO-+ H+
CH3COOH
Tetapi bila asam asetat dilarutkan dalam asam yang lebih kuat misalnya HClO 4, asam
asetat bersifat basa dengan reaksi :
CH3COOH + HClO4
CH3COOH2++ ClO4-
Ion CH3COOH2+ dapat bereaksi dengan basa dengan cara memberikan proton. Maka zat
yang bersifat basa lemah akan berubah sifatnya menjadi basa yang lebih kuat, sehingga
titrasi antara basa lemah oleh HClO4 dapat dilangsungkan bila zat tersebut dilarutkan
dalam asam asetat glasial.
2.2.2 Kemampuan Pelarut Untuk Memperbedakan
Dalam larutan air, asam – asam mineral seperti asam perklorat, asam klorida, dan asam
nitrat tampak sama kuat. Tetapi dalam suatu pelarut asam misalnya asam asetat, lebih
kuatnya asam perklorat dibandingkan dengan asam klorida memungkinkan asam perklorat
dititrasi dalam tahap terpisah dari asam klorida.
HClO4 + CH3COOH
HCl + CH3COOH
CH3COOH2+ + ClO4CH3COOH2+ + Cl-
K = 1,3 × 10-5 (1)
K = 2,8 × 10-9 (2)
Dari ke dua kesetimbangan tersebut di atas, (1) berjalan jauh ke kanan dibandingkan dengan
(2). Jadi dalam titrasi campuran ke dua asam tersebut dalam asam asetat, akan ditemukan dua
patahan dalam kurva titrasi, dan dikatakan bahwa asam – asam tersebut diperbedakan.
Jika suatu campuran dari dua asam memberikan dua kurva titrasi yang terpisah dalam
suatu pelarut, maka pelarut itu dikatakan memperbedakan kedua asam tersebut, tetapi jika
hanya diperoleh satu kurva tunggal maka dikatakan bahwa pelarut itu meratakan asam – asam
tersebut.
2.2.3 Tetapan Autoprotolisis
Pelarut amfiprotik mengalami autoprotolisis. Beberapa contoh reaksi autoprotolisis
adalah sebagai berikut:
H3O+ + OH-
2H2O
2C2H5OH
C2H5OH2+ + C2H5OCH3COOH2+ + CH3COO-
2CH3COOH
Secara umum autoprotolisis dinyatakan dalam reaksi:
H2S+ + S-
2HS
dengan tetapan autoprotolisis sebagai berikut:
KHS = [H2S+][S-]
Dimana HS menyatakan pelarut dan KHS adalah tetapan autoprotolisis
Tetapan autoprotolisis dai beberapa pelarut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tetapan Autoprotolisis dari beberapa pelarut
Pelarut
Asam Asetat
Asetonitril
Ammonia *)
Etanol
Etilendiamin
Metanol
Air
*) Pada -50°C
KHS
3,55 × 10-15
6,31 × 10-33
1,00 × 10-33
3,16 × 10-20
5,01 × 10-16
2,00 × 10-17
1,00 × 10-14
PKHS
14,45
32,2
33
19,5
15,3
16,7
14,00
2.2.4 Tetapan dielektrik
Dalam pelarut amfiprotik, disosiasi suatu asam lemah menjadi ion – ion yang terpisah
dilukiskan sebagai berikut:
1
2
HB + HS
{H2S+B-}
pasangan ion
H2S+ + Bion terpisah
Tahap pertama disebut pengionan dan hasilnya merupakan suatu pasngan ion, sedamgkan
pemisahan dari ion – ion tersebut terjadi pada tahap ke dua.
Salah satu sifat pelarut yang penting dalam titrasi bebas air adalah tetapan dielektrik.
Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi mendorong terjadinya disosiasi sempurna menjadi
ion – ion, sedangkan dalam pelarut dengan tetapan dielektrik rendah, terjadinya pembentukan
pasangan ion cukup besar. Tetapan dielektrik dari beberapa pelarut amfiprotik dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tetapan dielektrik beberapa pelarut amfiprotik
Pelarut
Asam Asetat
Asetonitril
Ammonia *
Etanol
Etilendiamin
Metanol
Air
* pada -50°C
Tetapan dielektrik
6,1
36,0
22
24,3
12,9
32,6
78,5
2.2.5 Pelarut untuk titrasi bebas air
Untuk titrasi bebas air, pelarut yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Pelarut harus melarutkan zat yang dititrasi.
Pelarut tidak bereaksi baik dengan zat yang dititrasi maupun dengan titran.
Pelarut harus murah dan mudah pemurniannya jika perlu dan tidak kompleks
Hasil titrasi berupa larutan atau Kristal
Banyak pelarut yang telah digunakan dalam titrasi bebas air. Beberapa pelarut yang
sering digunakan antara lain:
a. Asam asetat glasial (asam etanoat)
Sebelum digunakan harus diperiksa kandungan airnya, yang mungkin antara 0,1 – 1,0%,
dan agar menambahkan asam asetat anhidrida untuk mengurangi kadar airnya. Asam
asetat glasial dapat digunakan tersendiri atau dicampur dengan pelarut lain misalnya asam
asetat anhidrida, asetonitril, dan nitrometana.
b. Asetonitril (metil sianida, sianometana)
Pelarut ini biasanya dicampur dengan pelarut lain, misalnya kloroform, fenol dan asam
asetat. Digunakan dalam titrasi logam asetat dengan penitrasi asam perklorat.
c. Alkohol
Digunakan dalam titrasi garam dari asam – asam organik terutama sabun dan pelarutnya,
campuran glikol dan alkohol atau glikol dan hidrokarbon.
d. Dioksan
Pelarut ini biasanya dicampur dengan asam asetat glasial.
e. Dimetilformamida (DMF)
Pelarut ini merupakan pelarut protofilik yang dapat digunakan dalam titrasi asam benzoat
dan amida.
2.2.6 Titran
Pada titrasi bebas air, titran yang digunakan dapat bersifat asam atau bersifat basa.
Contoh titran yang bersifat asam adalah asam perklorat, asam p-toluensulfonat, asam 2,4dinitrobenzensulfonat. Sedangkan contoh titran yang bersifat basa adalah tetrabutilamonium
hidroksida, natrium asetat, kalium metoksida, dan natrum aminoetoksida.
Asam perklorat merupakan zat penitrasi basa lemah yang sangat luas pemakaiannya
karena merupakan asam kuat yang mudah diperoleh. Secara komersil biasanya tersedia
sebagai HClO4 72% (b/b) dan sisanya (28%) adalah air. HClO4 dan H2O merupakan
campuran azeotropis dengan komposisi HClO4.H2O yang dirumuskan sebagai H3O+ClO4(hidronium perklorat).
Basa lemah sering dititrasi dalam larutan asam asetat glasial maka titrannya adalah
asam perklorat 0,1 M dalam pelarut yang sama. Pada pelaksanaanya karena adanya air dapat
mengganggu maka HClO4 72% dicampur dengan asam asetat kemudian ditambahkan
anhidrida asam asetat dalam jumlah tertentu agar bereaksi dengan air yang diperkirakan ada.
Hasil reaksinya adalah asam asetat.
Basa kuat yang digunakan sebagai titran lebih bervariasi, antara lain: alkali hidroksida,
tetraalkilamonium hidroksida, dan natrium atau kalium metoksida atau etoksida. Pelarut yang
biasa digunakan untuk basa – basa tersebut adalah alkohol dengan massa molekul relatif
rendah dan campuran benzena dengan metanol atau etanol.
2.2.7 Menentukan Titik Akhir Titrasi
Titik akhir titrasi bebas air dapat ditentukan dengan metode potensiometri atau dengan
penambahan indikator – indikator. Beberapa indikator yang digunakan untuk titrasi bebas air
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Indikator Untuk Titrasi Bebas Air
Zat yang
dititrasi
Basa
Asam
Pelarut
Asam asetat, asetonitril, DMF
Benzena, CHCl3, ROH
Indikator
Perubahan Warna
Kristal violet
Violet – biru hijau
Metil violet
Violet – biru hijau
Metil merah
Fenolftalein
Timolftalein
Violet azo
Timol biru
DMF, Piridin, Butilamin
Timol biru
Kuning – biru
Etilendiamin, Butilamin, Piridin, DMF
Violet azo
Merah – biru
O – nitroanilin
Kuning – jingga
Etilendiamin, DMF
Pemilihan indikator biasanya berdasarkan pengalaman, coba – coba atau menunjuk
pada masalah – masalah yang serupa yang mungkin ada dalam literatur. Contoh: Untuk titrasi
asam – asam lemah dalam benzena, kloroform, dan alohol dapat digunakan indikator
fenolftalein dan timolftalein, tetapi violet azo dan timol biru lebih baik. Timol biru
merupakan indikator yang baik untuk titrasi dalam DMF, piridin, dan butilamin, tetapi tidak
dapat digunakan untuk titrasi dalam dietilamin.
2.2.8 Faktor – faktor yang mempengaruhi titrasi bebas air
a. Suhu
Titrasi bebas air pada umumnya dilakukan pada suhu kamar. Apabila titrasi dilakukan
bukan pada suhu kamar akan berpengaruh pada volume titran sehingga perlu dilakukan
koreksi. Adapun koreksi pengaruh perubahan suhu pada volume titran dirumuskan sebagai
berikut:
Vt = Vo (1 + αt + βt2 + γt3)
Dimana Vt adalah volume pada t°C dan Vo adalah volume pada 0°C. Nilai α, β, dan γ
dapat dicari dalam handbook. Karena β dan γ cukup kecil maka βt 2 dan γt3 diabaikan.
Contoh: Suatu zat tertentu dititrasi dengan titran pada suhu 30°C. Sedangkan titran
tersebut distandarisasi pada 25°C, maka:
1+25 α
V25 = V30 1+30 α
(
)
Dengan demikian maka volume titran yang diperlukan bila titran dilakukan pada 25°C
mudah dihitung. Selain dengan rumus diatas, dapat juga digunakan persamaan berikut:
Vstd = V [1 + 0,0011(Tstd – T)]
dimana Tstd adalah suhu pereaksi pada waktu standarisasi, T adalah suhu pada waktu
penggunaan, V = volume pereaksi yang diukur, dan Vstd = volume yang dikoreksi.
b. Kandungan air
Adanya air akan mengurangi ketajaman titik belok titrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti,
Rini.
(2012).
Tirasi
Bebas
Air.
[Online].
Tersedia:
http://riniastutinur.blogspot.com/2012/05/titrasi-bebas-air.html. [16 Juni 2013]
Graziez Pharmacy. (2012). TIRASI BEBAS AIR. [Online]. Tersedia: http://graciezpharmacy.blogspot.com/2012/11/titrasi-bebas-air.html. [16 Juni 2013]
Hamdani,
S.
(tanpa
tahun).
Klasifikasi
Pelarut.
[Online].
Tersedia:
http://catatankimia.com/catatan/klasifikasi-pelarut.html. [16 Juni 2013]
Putri,
Wiwik
Satriani.
(2013).
TIRASI
BEBAS
AIR.
[Online].
Tersedia:
http://wiwiksatriani.blogspot.com/2012/06/titrasi-bebas-air.html. [16 Juni 2013]
Tim Kimia Analitik. (2000). DASAR – DASAR KIMIA ANALITIK. Bandung: Jurusan
Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia.
Analisis Gas dan Titrasi Bebas Air
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kimia Analitik I yang diberikan oleh
Drs. Hokcu Suhanda, M.Si.
Oleh :
Cattelya Indra Adiningtyas
NIM 0902209
PROGRAM STUDI KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Gas dapat dianalisa dengan beberapa cara, antara lain dengan cara gravimetri,
volumetri,dan kromatografi gas. Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisa gas dari
campuran kompleks gas – gas. Dalam kromatografi gas dapat digunakan untuk analisa gas,
konstituen – konstituen dari suatu bahan dapat dianalisa sebagai persen berat. Gas – gas
tertentu dapat dikumpulkan dengan menggunakan adsorben yang cocok dan ditentukan secara
gravimetri. Contoh: karbon dalam senyawa – senyawa organik ditentukan dengan
pembakaran (“combustion”) menjadi CO2 lalu diserapkan pada “Ascarite” yang terdapat
dalam sebuah tabung. Pada analisa volumetri gas dapat dilibatkan metoda yang berkaitan
dengan reaksi kimia, dan dari volumenya dapat dihitung beratnya.
Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak mengunakan air sebagai pelarut,tetapi
digunakan pelarut organik. Titrasi ini dilakukan pada zat asam atau basa lemah seperti halnya
asam-asam organik atau alkoloida. Alkoloida sukar larut dalam air juga kurang reaktif dalam
air, seperti misalnya garam – garam amina dimana garam – garam dirombak dulu menjadi
basa bebas yang larut dalam air. Pelarut yang biasa digunakan dibagi atas dua golongan yaitu
pelarut protolitis dan pelarut amfiprotolitis.
Indikator yang digunakan adalah berupa senyawa organik yang bersifat asam atau
basa lemah, dimana warna molekulnya berbeda dengan warna bentuk ionnya. Titrasi bebas
air biasanya dalam bidang farmasi digunakan untuk menentukan kadar obat – obatan karena
sebagian senyawa obat tidak dapat ditentukan kadarnya dalam air karena keasaman dan
kebasaannya lemah.
Penggunaan pelarut bebas air pada asam basa sesuai dengan teori asam basa menurut
Bronsted – Lowry dimana asam adalah proton donor dan basa adalah proton akseptor. Pada
teori asam basa Bronsted – Lowry, suatu asam (HB) akan berdisosiasi dan melepaskan proton
(H+) dan basa konjugasi (B-) dan jika ada basa (B) akan beraksi dengan proton menghasilkan
asam konjugasi (HB+).
HB
B + H+
H + + BHB+
Kesanggupan suatu zat berperan sebagai asam atau basa akan bergantung kepada sifat – sifat
pelarut yang digunakannya.
BAB II
ISI
ANALISIS GAS DAN TITRASI BEBAS AIR
2.1 Analisis Gas
2.1.1 Analisis Volumetri Gas
Pada pendahuluan sudah dituliskan bahwa pada analisis volumetri gas dapat melibatkan
metoda yang berkaitan dengan reaksi kimia, dan dari volume gas dapat dihitung beratnya.
Telah kita ketahui bahwa volume 1 mol gas pada 0°C dan tekanan 760 mmHg adalah 22,4
Liter. Dengan demikian bila massa molekul relatif suatu gas dan volumenya pada kondisi
standar diketahui maka beratnya dapat ditentukan. Ini merupakan prinsip yang mendasari
analisis volumetri gas.
a. Hukum – hukum Gas
Perhitungan – perhitungan analisis gas diselesaikan dengan menggunakan hukum –
hukum gas, yaitu hukum Boyle, hukum Charles, hukum Dalton, hukum Gay – Lussac, dan
hukum Avogadro. Hukum – hukum gas pada umumnya hanya berlaku untuk gas ideal
tetapi dapat diaplikasikan pada analisis sehari – hari namun ketepatan hasilnya bergantung
pada manipulasi analisisnya. Perlu diingat bahwa pada kondisi standar, suatu gas harus
dalam keadaan kering, pada tekanan sama dengan 760 mmHg, dan suhunya 0°C (273 K).
Selain dengan hukum – hukum gas tersebut di atas, perhitungan gas dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus:
PV = nRT
dimana
P = tekanan gas, atm
V = volume, L
n = jumlah mol gas
R = tetapan gas = 0,08205 L.atm/mol.K
T = suhu pada skala Kelvin
b. Koreksi Uap Air
Gas – gas yang keluar sering diukur di atas cairan yang mengeluarkan suatu tekanan
uap, dan dalam keadaan tersebut barometer tidak menggambarkan tekanan gas murni. Gas
tersebut diperkirakan akan dijenuhkan oleh uap dari cairan yang ada di bawah dari gas
yang diukur. Dalam hal ini, tekanan suatu gas murni dapat ditemukan secara sederhana
dengan mensubstraksikan tekanan uap cairan pada suhu tertentu dari tekanan
barometernya. Harga tekanan uap air pada berbagai suhu dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel Tekanan Uap Air
Temperatur (°C)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Tekanan (mmHg)
4,6
4,9
5,3
5,7
6,1
6,5
7
7,5
8
8,6
9,2
9,8
10,5
11,2
11,9
12,7
13,5
14,4
15,4
16,4
17,4
Temperatur (°C)
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
40
50
60
70
80
90
Tekanan (mmHg)
18,5
19,7
20,9
22,2
23,6
25
26,5
28,1
29,8
31,6
33,4
35,4
37,4
39,6
41,9
55
92,2
149,2
233,8
355,5
526
c. Metoda Absorpsi
Metoda ini dapat diaplikasikan untuk penentuan perbandingan komponen – komponen
dalam campuran gas. Pada metoda absorpsi ini, gas diolah dengan sederet absorben pada
suhu dan tekanan yang konstan. Perbedaan volume gas sebelum dan sesudah direaksikan
dengan pereaksi penyerap menunjukkan jumlah gas yang diabsorpsi, dan jumlah ini
biasanya dinyatakan dalam presentase atas dasar volume. Pereaksi – pereaksi yang umum
digunakan dapat dilihat pada tabel berikut:
Beberapa absorben dalam analisis gas
Gas
Karbon dioksida
Hidrokarbon tak jenuh
Pereaksi/Absorben
Natrium hidroksida
Kalium hidroksida
Air brom
Asam sulfat berasap
Larutan pirogalol alkalis
Oksigen
Karbon monoksida
Fosfor kuning
Kupro klorida amoniakal
Sepon paladium (“sponge paladium”)
Hidrogen
Larutan paladium klorida
Larutan paladium kolodial
d. Metoda Pembakaran
Bila suatu campuran gas yang mengandung satu atau lebih komponen yang dapat
dibakar dengan oksigen, biasanya dimungkinkan untuk menentukan presentase dari
komponen – komponen dengan membiarkan pembakaran berlangsung dan mengukur
kontraksi dalam volume, jumlah karbon dioksida yang terbentuk, volume oksigen yang
digunakan, atau gabungan dari pengukuran – pengukuran ini, yang bergantung pada
jumlah dan karakter komponen – komponen yang dapat dibakar. Perhitungan –
perhitungan yang melibatkan kontraksi – kontraksi dalam volume didasari oleh hukum
Gay Lussac. Contoh: pada pembakaran karbon monoksida:
2CO + O2 → 2CO2
Dua satuan volume karbon monoksida dengan satu volume oksigen membentuk dua
volume karbon dioksida. Jadi pembakaran karbon monoksida tersebut disertai kontraksi
yang sama dengan setengah volume karbon monoksida yang ada dan menghasilkan
sevolume karbon dioksida yang sama dengan volume asal karbon monoksida.
Persamaan – persamaan dalam tabel di bawah, menggambarkan reaksi – reaksi
pembakaran yang biasa ditemui dalam analisis gas dan kolom – kolom di sebelah
kanannya memperlihatkan hubungan volume dalam masing – masing kasus.
Beberapa hubungan dalam pembakaran gas
Gas
Hidrogen
Karbon monoksida
Metana
Asetilena
Etilena
Etana
Persamaan reaksi
2H2 + O2 → 2H2O
2CO + O2 → 2CO2
CH4 + 2O2 → CO2 + 2H2O
2C2H2 + 5O2 → 4CO2 + 2H2O
C2H4 + 3O2 → 2CO2 + 2H2O
2C2H6 + 7O2 → 4CO2 + 6H2O
Vol.
O2
Gas
1
1
1
1
1
1
dikomsumsi
½
½
2
2½
3
3½
Kontraksi
½
½
2
1½
2
2½
CO2
hasil
0
1
1
2
2
2
Propilena
Propana
Butana
2C3H6 + 9O2 → 6CO2 + 6H2O
C3H8 + 5O2 → 3CO2 + 4H2O
2C4H10 + 13O2 → 8CO2 + 10H2O
1
1
1
4½
5
6½
2½
3
3½
2.1.2 Alat – alat dalam analisis gas
Beberapa alat yang digunakan dalam analisis gas antara lain manometer Van Slyke, alat
Warburg, alat nitrogen Dumas, dan elektroda oksigen.
a. Alat manometer Van Slykes
Manometer Van Slyke merupakan alat analisis gas yang banyak digunakan dalam
laboratorium klinik yaitu untuk penentuan karbon dioksida dan gas – gas lain dalam darah
atau zat – zat terlarut dalam darah yang dapat diubah menjadi gasnya, misalnya oksigen,
nitrogen organik, karbon monoksida. Dalam operasinya, gas dimampatkan sampai volume
tertentu dan tekanan yang digunakan di ukur. Pengukuran tekanan setelah diabsorpsi gas
dalam suatu pereaksi yangcocok diubah ke konsentrasi volume gas dalam sampel dengan
faktor konversi pada suhu percobaan. Kamar sampel dapat dilihat pada gambar di bawah
dan faktor konversi untuk CO2 dapat dilihat pula di bawah ini.
Faktor konversi dari tekanan CO2 ke mmol/L volume sampel 1 mL
Temperatur (°C)
15
16
17
Faktor untuk
Volume gas 2 mL Volume gas 0,5 mL
0,1229
0,0313
0,1222
0,0311
0,1215
0,031
3
3
4
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
22
34
0,1208
0,1202
0,1196
0,119
0,1183
0,1177
0,1171
0,1165
0,116
0,1154
0,1149
0,1143
0,1138
0,1133
0,1128
0,1123
0,1118
0,0308
0,0306
0,0305
0,0303
0,0302
0,03
0,0299
0,0297
0,0296
0,0294
0,0293
0,0291
0,029
0,0289
0,0288
0,0286
0,0285
b. Alat Nitrogen Dumas
Alat ini secara luas digunakan pada penentuan kadar nitrogen dalam senyawa organik.
Prinsipnya adalah sebagai berikut: sampel dicampur dengan tembaga oksida (yang bebas
karbon dioksida) dalam suatu tabung tertutup. Kemudian tabung dipanaskan, sampel
dioksidasi oleh tembaga oksida menjadi karbon dioksida, air, nitrogen dan oksida
nitrogen. Untuk mengubah oksida nitrogen menjadi nitrogen, gas dialirkan bersama –
sama dengan gas karbondioksida di atas kasa tembaga yang dipijarkan. Gas dialirkan ke
dalam larutan basa (kalium hidroksida). Kalium hidroksida mengabsorpsi karbondioksia
dan air. Gas sisa (N2) dialirkan ke dalam tabung dan diukur volumenya.
2.2 Titrasi Bebas Air
2.2.1 Pelarut Bebas Air
Klasifikasi pelarut bebas air dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Pelarut aprotik
Pelarut ini tidak menerima maupun memberi proton dan dalam keadaan ini bersifat
netral, tidak bereaksi, tetapan dielektriknya rendah, tidak terurai menjadi ion – ion dalam
sistem pelarut, hingga ia tidak bereaksi baik dengan asam maupun basa. Contohnya:
kloroform, toluen, CCl4, hidrokarbon. Pelarut aprotik berguna unutuk mempelajari reaksi
asam dan basa yang bebas dari pengaruh pelarut.
b. Pelarut protofilik
Pelarut yang bersifat dapat menerima proton dari zat terlarut, disebut juga pelarut
basa, dengan reaksi sebagai berikut:
SH+ + B-
HB + S
Contohnya : NH4OH, amine, ketone, aseton, dan eter. Asam lemah bila dilarutkan dalam
pelarut protofilik maka keasamannya akan meningkat yang disebut efek “levelling”.
c. Pelarut protogenik
Pelarut yang bersifat memberi proton (donor proton). Jika basa lemah dilarutkan
dalam pelarut protogenik maka kebasaannya akan meningkat. Contohnya: HF, Asam
Sulfat, asam acetat, asam format, dan HCl.
d. Pelarut amfiprotik
Pelarut ini bekerja sebagai penerima proton, dan pemberi proton. Contoh untuk
pelarut ini adalah golongan alkohol, air, asam acetat glasial. Asam acetat bisa bersifat
asam dengan reaksi :
CH3COO-+ H+
CH3COOH
Tetapi bila asam asetat dilarutkan dalam asam yang lebih kuat misalnya HClO 4, asam
asetat bersifat basa dengan reaksi :
CH3COOH + HClO4
CH3COOH2++ ClO4-
Ion CH3COOH2+ dapat bereaksi dengan basa dengan cara memberikan proton. Maka zat
yang bersifat basa lemah akan berubah sifatnya menjadi basa yang lebih kuat, sehingga
titrasi antara basa lemah oleh HClO4 dapat dilangsungkan bila zat tersebut dilarutkan
dalam asam asetat glasial.
2.2.2 Kemampuan Pelarut Untuk Memperbedakan
Dalam larutan air, asam – asam mineral seperti asam perklorat, asam klorida, dan asam
nitrat tampak sama kuat. Tetapi dalam suatu pelarut asam misalnya asam asetat, lebih
kuatnya asam perklorat dibandingkan dengan asam klorida memungkinkan asam perklorat
dititrasi dalam tahap terpisah dari asam klorida.
HClO4 + CH3COOH
HCl + CH3COOH
CH3COOH2+ + ClO4CH3COOH2+ + Cl-
K = 1,3 × 10-5 (1)
K = 2,8 × 10-9 (2)
Dari ke dua kesetimbangan tersebut di atas, (1) berjalan jauh ke kanan dibandingkan dengan
(2). Jadi dalam titrasi campuran ke dua asam tersebut dalam asam asetat, akan ditemukan dua
patahan dalam kurva titrasi, dan dikatakan bahwa asam – asam tersebut diperbedakan.
Jika suatu campuran dari dua asam memberikan dua kurva titrasi yang terpisah dalam
suatu pelarut, maka pelarut itu dikatakan memperbedakan kedua asam tersebut, tetapi jika
hanya diperoleh satu kurva tunggal maka dikatakan bahwa pelarut itu meratakan asam – asam
tersebut.
2.2.3 Tetapan Autoprotolisis
Pelarut amfiprotik mengalami autoprotolisis. Beberapa contoh reaksi autoprotolisis
adalah sebagai berikut:
H3O+ + OH-
2H2O
2C2H5OH
C2H5OH2+ + C2H5OCH3COOH2+ + CH3COO-
2CH3COOH
Secara umum autoprotolisis dinyatakan dalam reaksi:
H2S+ + S-
2HS
dengan tetapan autoprotolisis sebagai berikut:
KHS = [H2S+][S-]
Dimana HS menyatakan pelarut dan KHS adalah tetapan autoprotolisis
Tetapan autoprotolisis dai beberapa pelarut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tetapan Autoprotolisis dari beberapa pelarut
Pelarut
Asam Asetat
Asetonitril
Ammonia *)
Etanol
Etilendiamin
Metanol
Air
*) Pada -50°C
KHS
3,55 × 10-15
6,31 × 10-33
1,00 × 10-33
3,16 × 10-20
5,01 × 10-16
2,00 × 10-17
1,00 × 10-14
PKHS
14,45
32,2
33
19,5
15,3
16,7
14,00
2.2.4 Tetapan dielektrik
Dalam pelarut amfiprotik, disosiasi suatu asam lemah menjadi ion – ion yang terpisah
dilukiskan sebagai berikut:
1
2
HB + HS
{H2S+B-}
pasangan ion
H2S+ + Bion terpisah
Tahap pertama disebut pengionan dan hasilnya merupakan suatu pasngan ion, sedamgkan
pemisahan dari ion – ion tersebut terjadi pada tahap ke dua.
Salah satu sifat pelarut yang penting dalam titrasi bebas air adalah tetapan dielektrik.
Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi mendorong terjadinya disosiasi sempurna menjadi
ion – ion, sedangkan dalam pelarut dengan tetapan dielektrik rendah, terjadinya pembentukan
pasangan ion cukup besar. Tetapan dielektrik dari beberapa pelarut amfiprotik dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tetapan dielektrik beberapa pelarut amfiprotik
Pelarut
Asam Asetat
Asetonitril
Ammonia *
Etanol
Etilendiamin
Metanol
Air
* pada -50°C
Tetapan dielektrik
6,1
36,0
22
24,3
12,9
32,6
78,5
2.2.5 Pelarut untuk titrasi bebas air
Untuk titrasi bebas air, pelarut yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Pelarut harus melarutkan zat yang dititrasi.
Pelarut tidak bereaksi baik dengan zat yang dititrasi maupun dengan titran.
Pelarut harus murah dan mudah pemurniannya jika perlu dan tidak kompleks
Hasil titrasi berupa larutan atau Kristal
Banyak pelarut yang telah digunakan dalam titrasi bebas air. Beberapa pelarut yang
sering digunakan antara lain:
a. Asam asetat glasial (asam etanoat)
Sebelum digunakan harus diperiksa kandungan airnya, yang mungkin antara 0,1 – 1,0%,
dan agar menambahkan asam asetat anhidrida untuk mengurangi kadar airnya. Asam
asetat glasial dapat digunakan tersendiri atau dicampur dengan pelarut lain misalnya asam
asetat anhidrida, asetonitril, dan nitrometana.
b. Asetonitril (metil sianida, sianometana)
Pelarut ini biasanya dicampur dengan pelarut lain, misalnya kloroform, fenol dan asam
asetat. Digunakan dalam titrasi logam asetat dengan penitrasi asam perklorat.
c. Alkohol
Digunakan dalam titrasi garam dari asam – asam organik terutama sabun dan pelarutnya,
campuran glikol dan alkohol atau glikol dan hidrokarbon.
d. Dioksan
Pelarut ini biasanya dicampur dengan asam asetat glasial.
e. Dimetilformamida (DMF)
Pelarut ini merupakan pelarut protofilik yang dapat digunakan dalam titrasi asam benzoat
dan amida.
2.2.6 Titran
Pada titrasi bebas air, titran yang digunakan dapat bersifat asam atau bersifat basa.
Contoh titran yang bersifat asam adalah asam perklorat, asam p-toluensulfonat, asam 2,4dinitrobenzensulfonat. Sedangkan contoh titran yang bersifat basa adalah tetrabutilamonium
hidroksida, natrium asetat, kalium metoksida, dan natrum aminoetoksida.
Asam perklorat merupakan zat penitrasi basa lemah yang sangat luas pemakaiannya
karena merupakan asam kuat yang mudah diperoleh. Secara komersil biasanya tersedia
sebagai HClO4 72% (b/b) dan sisanya (28%) adalah air. HClO4 dan H2O merupakan
campuran azeotropis dengan komposisi HClO4.H2O yang dirumuskan sebagai H3O+ClO4(hidronium perklorat).
Basa lemah sering dititrasi dalam larutan asam asetat glasial maka titrannya adalah
asam perklorat 0,1 M dalam pelarut yang sama. Pada pelaksanaanya karena adanya air dapat
mengganggu maka HClO4 72% dicampur dengan asam asetat kemudian ditambahkan
anhidrida asam asetat dalam jumlah tertentu agar bereaksi dengan air yang diperkirakan ada.
Hasil reaksinya adalah asam asetat.
Basa kuat yang digunakan sebagai titran lebih bervariasi, antara lain: alkali hidroksida,
tetraalkilamonium hidroksida, dan natrium atau kalium metoksida atau etoksida. Pelarut yang
biasa digunakan untuk basa – basa tersebut adalah alkohol dengan massa molekul relatif
rendah dan campuran benzena dengan metanol atau etanol.
2.2.7 Menentukan Titik Akhir Titrasi
Titik akhir titrasi bebas air dapat ditentukan dengan metode potensiometri atau dengan
penambahan indikator – indikator. Beberapa indikator yang digunakan untuk titrasi bebas air
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Indikator Untuk Titrasi Bebas Air
Zat yang
dititrasi
Basa
Asam
Pelarut
Asam asetat, asetonitril, DMF
Benzena, CHCl3, ROH
Indikator
Perubahan Warna
Kristal violet
Violet – biru hijau
Metil violet
Violet – biru hijau
Metil merah
Fenolftalein
Timolftalein
Violet azo
Timol biru
DMF, Piridin, Butilamin
Timol biru
Kuning – biru
Etilendiamin, Butilamin, Piridin, DMF
Violet azo
Merah – biru
O – nitroanilin
Kuning – jingga
Etilendiamin, DMF
Pemilihan indikator biasanya berdasarkan pengalaman, coba – coba atau menunjuk
pada masalah – masalah yang serupa yang mungkin ada dalam literatur. Contoh: Untuk titrasi
asam – asam lemah dalam benzena, kloroform, dan alohol dapat digunakan indikator
fenolftalein dan timolftalein, tetapi violet azo dan timol biru lebih baik. Timol biru
merupakan indikator yang baik untuk titrasi dalam DMF, piridin, dan butilamin, tetapi tidak
dapat digunakan untuk titrasi dalam dietilamin.
2.2.8 Faktor – faktor yang mempengaruhi titrasi bebas air
a. Suhu
Titrasi bebas air pada umumnya dilakukan pada suhu kamar. Apabila titrasi dilakukan
bukan pada suhu kamar akan berpengaruh pada volume titran sehingga perlu dilakukan
koreksi. Adapun koreksi pengaruh perubahan suhu pada volume titran dirumuskan sebagai
berikut:
Vt = Vo (1 + αt + βt2 + γt3)
Dimana Vt adalah volume pada t°C dan Vo adalah volume pada 0°C. Nilai α, β, dan γ
dapat dicari dalam handbook. Karena β dan γ cukup kecil maka βt 2 dan γt3 diabaikan.
Contoh: Suatu zat tertentu dititrasi dengan titran pada suhu 30°C. Sedangkan titran
tersebut distandarisasi pada 25°C, maka:
1+25 α
V25 = V30 1+30 α
(
)
Dengan demikian maka volume titran yang diperlukan bila titran dilakukan pada 25°C
mudah dihitung. Selain dengan rumus diatas, dapat juga digunakan persamaan berikut:
Vstd = V [1 + 0,0011(Tstd – T)]
dimana Tstd adalah suhu pereaksi pada waktu standarisasi, T adalah suhu pada waktu
penggunaan, V = volume pereaksi yang diukur, dan Vstd = volume yang dikoreksi.
b. Kandungan air
Adanya air akan mengurangi ketajaman titik belok titrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti,
Rini.
(2012).
Tirasi
Bebas
Air.
[Online].
Tersedia:
http://riniastutinur.blogspot.com/2012/05/titrasi-bebas-air.html. [16 Juni 2013]
Graziez Pharmacy. (2012). TIRASI BEBAS AIR. [Online]. Tersedia: http://graciezpharmacy.blogspot.com/2012/11/titrasi-bebas-air.html. [16 Juni 2013]
Hamdani,
S.
(tanpa
tahun).
Klasifikasi
Pelarut.
[Online].
Tersedia:
http://catatankimia.com/catatan/klasifikasi-pelarut.html. [16 Juni 2013]
Putri,
Wiwik
Satriani.
(2013).
TIRASI
BEBAS
AIR.
[Online].
Tersedia:
http://wiwiksatriani.blogspot.com/2012/06/titrasi-bebas-air.html. [16 Juni 2013]
Tim Kimia Analitik. (2000). DASAR – DASAR KIMIA ANALITIK. Bandung: Jurusan
Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia.