Politik Hukum Indonesia Sebagai Negara K

ihsan_btm@yahoo.com

Politik Hukum Indonesia
Sebagai Negara Kepulauan
Oleh: Drs. Muhammad Ihsan, M.H
Dosen dan Sekretaris YPMI
I. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Deklarasi Djuanda merupakan pengukuhan diri Bangsa Indonesia mengenai jati dirinya
sebagai negara yang terdiri dari beribu pulau. Pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan
oleh laut mengacu kepada pasal 1 ayat (1) angka 1 s/d 4 Ordonansi Laut Teritorial dan
Lingkungan Maritim 1939 stb No. 442 (TZMKO Teritoriale Zeeën en Maritieme
Kringen Ordonantie 1939)1 dimana setiap pulau Indonesia hanya memiliki perairan 3 mil
dari garis pantai. Dengan demikian, kapal-kapal asing dengan mudahnya berlalu lalang di
laut pedalaman Indonesia. Hal ini dipandang sangat riskan bagi keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itulah Ir. H. Djuanda Kartawijaya yang pada saat
itu menjabat sebagai Perdana Menteri berusaha menyatukan seluruh pulau-pulau yang
puncaknya dideklarasikan pada tanggal 13 Desember 1957 (tepat 55 tahun yang lalu),
laut tidak lagi pemisah, namun pemersatu.
Deklarasi tersebut menjadi tonggak bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dimana laut
dan segala isinya merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang tak

terpisahkan. Selanjutnya menjadi landasan hukum yang merubah bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dengan undang-undang tentang perairan
(UU No. 4 Prp. 1960) 2. Namun dunia internasional tidak serta merta mengakui deklarasi
tersebut. Baru setelah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut III

1

Henky Supit, Teropong Kajian Tata Kelautan Indonesia, Yayasan Pendidikan Maritim
Indonesia, 2004.
2
ibid

ihsan_btm@yahoo.com
(UNCLOS III) tahun 1982 melalui UU Nomor 17 tahun 1985, PBB resmi mengakui
Indonesia sebagai negara kepulauan.
Sejalan dengan pengakuan tersebut, Indonesia memiliki Hak dan Kewajiban sebagai
Negara Kepulauan. Hak yang dimiliki Indonesia mencakup pemanfaatan kekayaan alam
yang terkandung di dalam laut untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Sementara
Kewajiban yang diemban oleh Indonesia adalah menjamin lalu lintas damai armada
kapal asing di perairan Indonesia, dan kewajiban lain sehubungan dengan pelestarian

lingkungan laut.
Namun, Indonesia selanjutnya tidak melakukan pembenahan hukum menyangkut
perairan yang menjadi roh Deklarasi Djuanda. Indonesia belum melakukan pengaturan
tentang bagaimana seharusnya negara kepulauan tersebut berjalan efektif agar wilayah
teritorial laut menjadi aman, bermanfaat dan menjadikan Indonesia sebagai negara
kepulauan sejati yang disegani dunia internasional sebagaimana pernah terjadi pada
zaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.

I.2 Rumusan Masalah
Ada banyak pakar hukum yang memberikan definisi tentang Politik Hukum, penulis
dalam hal ini mengambil definisi yang diberikan oleh Padmo Wahjono disetir oleh
Kotam Y. Stefanus:
“Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan
criteria

untuk menghukumkan

sesuatu (menjadikan

sesuatu sebagai Hukum).


Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.”3
Dalam paper ini penulis akan berusaha memaparkan bagaimana politik hukum Indonesia
tidak berjalan sebagaimana mestinya membentuk sistem pemerintahan negara kepulauan,
3

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/politik-hukum/apa-politik-hukum-itu/

ihsan_btm@yahoo.com
sebaliknya masih mengacu kepada sistem pemerintahan kontinental dengan menjawab
dua (2) pertanyaan berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan Negara Kepulauan?
b. Sejauh

mana

politik

hukum


Indonesia

menuju

Negara

Kepulauan

yang

sesungguhnya?
I.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengkaji sejauh mana politik hukum Indonesia
konsisten menjalankan visi dan misi sebagai Negara Kepulauan sesuai semangat
Deklarasi Djuanda dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, penulis akan berusaha
memberikan masukan yang konstruktif dengan harapan hal ini bisa menjadi
pertimbangan oleh pemegang keputusan (decision maker) untuk membangun Indonesia
yang lebih baik sebagai negara kepulauan.
II. Pembahasan
Untuk menjawab dua (2) pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah diatas,

penulis akan mencoba mengupas sebagai berikut.
II.1Negara Kepulauan
Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau (citra satelit terakhir menunjukkan 18,108 pulau) termasuk 9.638 pulau
yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni. Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km
serta luas laut sekitar 3,2 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal
sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar
di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral
reefs) dan padang lamun (sea grass beds).4
4

Dahuri, R. et al, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.
Pramadya Paramita, Jakarta.

ihsan_btm@yahoo.com
Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08′ LU hingga 11°15′ LS, dan dari 94°45′ BT
hingga 141°05′ BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi
penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan
Benua Asia dengan Benua Australia. Luas total wilayah Indonesia adalah 7.9 juta km2

terdiri dari 1.8 juta km2 daratan, 3.2 juta km2 laut teritorial dan 2.9 juta km2 perairan
ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km2 tersebut adalah 77% dari seluruh luas Indonesia,
dengan kata lain luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya.
Negara Kepulauan (Archipelagic State) menurut United Nation Convention on the Law
of the Sea (UNCLOS III) 1982 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 17
tahun1985 pada Bagian IV Pasal 46 huruf a dan b menyatakan:
(a) "archipelagic State"means a State constituted wholly by one or more archipelagos
and may include other islands; (“Negara Kepulauan berarti sebuah Negara yang
terdiri dari satu atau lebih pulau-pulau dan bisa termasuk pulau-pulau lain.”)
(b) "archipelago"means a group of islands, including parts of islands, interconnecting
waters and other natural features which are so closely interrelated that such
islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical,
economic and political entity, or which historically have been regarded as such.
(“Kepulauan berarti sekelompok pulau-pulau, termasuk bagian dari pulau-pulau
itu, menghubungkan perairan dan bentuk-bentuk alamiah yang sangat erat pulaupulau itu, perairan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya yang merupakan satu
kesatuan geografis, ekonomi dan bagian politik, atau secara historis telah
dianggap demikian.”)5
II.2Deklarasi Djuanda Sebagai Sumber Hukum
Usaha yang telah bersusah payah diperjuangkan oleh Djuanda dan kawan-kawan
(diantaranya Mochtar Kusuma Atmadja) hendaknya segera ditindaklanjuti dengan usaha

memperkuat posisi Indonesia tersebut. Diantara usaha dimaksud adalah dengan
5

United Nation Conventinos on the Law of the Sea Part IV Article 46.

ihsan_btm@yahoo.com
menjadikan laut sebagai visi dan misi negara kepulauan yang menjadi ciri khusus Negara
Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).
Sebagaimana halnya Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang menjadi
sumber hukum bagi keberadaan Indonesia sebagai satu negara yang berdaulat atas
kepulauan dan laut di sekitarnya, penulis beranggapan bahwa Deklarasi Djuanda
merupakan sumber hukum kedua yang mengukuhkan wilayah teritorial Indonesia
sebagai negara kepulauan yang disatukan oleh laut. Dengan demikian, pulau-pulau
Indonesia yang tadinya terpisah-pisah telah disatukan oleh laut. Politik hukum negara
semestinya mengacu kepada kondisi yang sudah tercipta dalam berbagai aspek kebijakan
mengenai masa depan Indonesia dalam kehidupan sosial/budaya, ekonomi, pendidikan,
dan lain-lain sebagainya.
II.3Produk Hukum Setelah Deklarasi Djuanda
Setelah Deklarasi Djuanda dikukuhkan dengan UU No. 4/Prp/1960, tidak satupun produk
hukum yang dihasilkan sehubungan dengan otoritas negara di laut yang memiliki fungsi

penegakan hukum di laut pada level undang-undang. Padahal, tugas-tugas yang diemban
oleh otoritas tersebut merupakan lintas sektoral (departemen) sehingga sulit melakukan
koordinasi, apalagi mengambil keputusan penting.
Berikut adalah produk hukum yang telah dikeluarkan pemerintah:
a.

Undang-undang No. 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang menjadi
landasan Yuridis Formil.6

b.

Keputusan Menteri Perhubungan No.U/14/7/14PHB tanggal 1 Juli 1969 disusunlah
organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Perhubungan laut.

c.

Keputusan Presiden RI. No.153 tahun 1969 tentang Perubahan Struktur Direktorat
Jendral Perhubungan Laut

d.


Keputusan Presiden RI. No.159/M tahun 1969, tentang penunjukan pimpinan
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

6

Henky Supit, Teropong Kajian Tata Kelautan Indonesia, Yayasan Pendidikan Maritim
Indonesia, 2004.

ihsan_btm@yahoo.com
e.

Kepala Staf Angkatan Laut RI selaku pemegang kuasa pemerintahan Negara di laut,
telah mengeluarkan Keputusan No. 3001 tahun 1960 Tentang Penuntun Patroli Sitat
Tetap (PPST) yang diperuntukkan bagi kapal-kapal patroli Jawatan Pelayaran, Polisi
Perairan serta Bea dan Cukai. Namun hal ini tidak berjalan karena masing-masing
menjalankan tugas pokok lembaga induknya masing-masing.

f.


Surat Keputusan Men/Pangal 23 September 1961 tentang Penunjukan Pejabatpejabat yang diberi wewenang untuk mengadakan penyidikan terhadap kejahatan di
laut

g.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Kapal Asing dalam
perairan Indonesia.

h.

Keputusan Menteri Perhubungan Laut tertanggal 20 Maret 1963 No. kab/3/19
tentang Pemerintahan Negara di Laut yang kemudian diperkuat dengan Peraturan
Presiden No.18 tahun 1964 Tentang Struktur Organisasi Penguasa Pelabuhan (Port
Authority) yang dipimpin oleh seorang Komandan Penguasa Pelabuhan, dan di
Daerah Pelayaran dipimpin oleh seorang Kepala Daerah pelayaran.

i.

Jawatan Pelayaran berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan laut No.
Kab.4/2/13 tanggal 28 Januari 1964 dipecah menjadi empat Direktorat.


j.

Keputusan Menteri Perhubungan Laut No. Kab. 4/9/21 tanggal 4 Mei 1965
Departemen Perhubungan Laut kembali lagi ke Jawatan semula dan ditambah
dengan Kantor Urusan Sungai dan Terusan yang kemudian institusi Departemen
Perhubungan Laut ditempatkan dibawah MENKO Maritim.

k.

Keputusan Menteri Perhubungan laut tertanggal 28 Januari 1964 No. Kab. 4/2/13
tentang penambahan tiga Pembantu.

l.

Keputusan Menteri Perhubungan Laut tertanggal 4 Mei 1965 No.Kab4/9/21 tentang
pemisahan fungsi pembinaan dan fungsi pelaksanaan di Departemen.

m. Keputusan Menteri Perhubungan No.U/14/7/14PHB tanggal 1 Juli 1969 tentang
susunan organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Perhubungan laut
n.

Pengumuman Pemerintah RI 17 Pebruari 1969 tentang Landasan Kontinen Indonesia

o.

Keputusan Presidenen RI. No.159/M tahun 1969, tentang penetapan
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

pimpinan

ihsan_btm@yahoo.com
p.

Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 056/D.A/7/1969 tentang Penyelesaian
Perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia

q.

Surat Keputusan Pangal No. 5810.3 Tahun 1969 tentang Penunjukan pejabat-pejabat
dilingkungan ALRI untuk melaksanakan wewenang Pangal dalam menyelesaikan
perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.

r.

Kep. Menhankam/Pangab. No. Inst/B/92/1969 tentang Pengamanan Pelabuhan di
wilayah RI

s.

Keppres RI No. 16 Tahun 1971 tentang wewenang pemberian ijin berlayar bagi
segala kegiatan kerderaan asing dalam wilayah Perairan Indonesia

t.

Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep/099/DA/12/71 tentang pendelegasian
wewenang penyelesaian perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan
Indonesia.

u.

Menteri

Pertahanan

Keamanan/Panglima

Angkatan

Bersenjata,

Menteri

Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman dan Kejaksaan Agung
No.KEP/D/45/XII/1972, SK.901/M/1972, Kep,779/MK/III/12/1972,JS.8/72/1 dan
KEP/JA/12/1972 tanggal 12 Desember 1972 Tentang Badan Koordinasi Keamanan
Laut (Keputusan Bersama ini telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden RI
No.81 Tahun 2005
v.

Instruksi Jaksa Agung RI No. Inst.006/DA/12/72 tentang jumlah dan cara-cara
penenetapan serta Penyetoran Densa Damai

w. Keppres No.44 dan 45 tahun 1974 tentang Pembentukan KPLP untuk
Mengantisipasi

tuntutan

IMO

sebagaimana

yang

dimaksudkan

Konvensi

Internasional Keselamatan Jiwa di Laut tahun 1974 Chapter V Regulation 15
x.

Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/17/IV/75 tentang Penetapan Alur Pelayaran
Khusus bagi kapal-kapal penangkap ikan asing

y.

Pada tahun 1980 Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional Maritime
Organization (IMO) tentang Keselamatan Jiwa di Laut (Safety of Life at Sea 1974)
melalui Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1980.

z.

UU Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS III.

aa. Keputusan Menteri Perhubungan No.18 tahun 1989 dibentuklah Armada Penjagaan
laut Dan Pantai (APLP).

ihsan_btm@yahoo.com
bb. Pada era pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid, Indonesia kembali memiliki
satu departemen kelautan melalui Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 dalam
Kabinet Periode 1999-2004 mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri
Eksplorasi Laut.
cc. Undang-Undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran yang kemudian direvisi
menjadi Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dari sederet peraturan yang telah penulis coba kumpulkan, jelas terlihat bahwa yang
membuat peraturan umumnya pada level menteri yang kekuatan hukumnya sangat rentan
sehingga gampang berubah apa lagi bila keputusan tersebut menyangkut depertemen
yang berbeda.
Selain itu, sebagai negara kepulauan kita sudah sewajarnya meratifikasi berbagai
konsensus yang telah diambil oleh organisasi internasional menyangkut perairan,
keselamatan, hubungan bilateral dan multilateral terutama dengan negara tetangga.
Meratifikasi berarti menyetujui dan mematuhi segala keputusan yang telah digariskan
dengan komitmen penuh yang tercermin dalam produk-produk hukum.

II.4Konvensi Internasional Tentang Laut yang Telah Diratifikasi Indonesia
a. Konvensi internasional tentang laut pertama kali diratifikasi Indonesia adalah
Konvensi International Maritime Organization (IMO) tentang Safety of Life at Sea
(SOLAS) pada tahun 1980.
IMO merupakan organisasi teknis negara-negara maritim yang berdiri tahun 1958
beranggotakan 170 negara ditambah 3 Asosiasi sebagai Anggota. Organisasi ini
merupakan agen khusus PBB yang bertanggung jawab untuk keselamatan dan
keamanan pelayaran dan pencegahan pencemaran laut oleh kapal. Yang mendorong
berdirinya IMO (sebelumnya bernama Inter-Governmental Maritime Consultative
Organization atau IMCO) adalah peristiwa tenggelamnya kapal Titanic yang banyak

ihsan_btm@yahoo.com
menelan jiwa dan harta. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk memberikan
berbagai teks (konvensi, kebijakan, rekomendasi, prosedur, dan lain-lain) kepada
masyarakat maritim dunia.7
b. Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS III).
Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang di atas bahwa Indonesia baru
diakui oleh dunia setelah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS
III) tahun 1982 melalui UU Nomor 17 tahun 1985. Konvensi tersebut dalam
pembukaannya (preambule) jelas menggaris bawahi bahwa:
a. masalah-masalah ruang samudra memiliki kaitan satu sama lain,
b. konvensi menghormati dan mengakui kedaulatan suatu negara,
c. konvensi diberlukan untuk tertibnya hukum laut dan memudahkan komunikasi
internasional,
d. memajukan penggunaan laut secara damai,
e. penggunaan kekayaan alam secara adil dan efisien, dan
f. konservasi kekayaan hayati, pengkajian, perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut.8
c. Konvensi MARPOL 1973 diratifikasi pada bulan Agustus 2012
Konvensi International Tahun 1973 tentang Pencemaran dari Kapal sebagaimana
telah diubah dengan Protokol 1978 dan Protokol 1997 Lampiran III, Lampiran IV,
Lampiran V dan Lampiran VI.9
d. Konvensi SAR diratifikasi pada bulan Agustus 2012

7
8
9

http://www.imo.org/About/HistoryOfIMO/Pages/Default.aspx
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982
http://www.dephub.go.id/read/berita/direktorat-jenderal-perhubungan-laut/14485

ihsan_btm@yahoo.com
Konvensi ini disahkan di Hamburg, Jerman pada tanggal 27 April 1979 dan telah
berlaku penuh pada tanggal 22 Juni 1985 dan sampai dengan 23 Agustus 2012
terdapat sebanyak 102 Negara Pihak yang merepresentasikan sebanyak 61,45% total
tonase armada kapal dunia atau setara dengan 640.953.243 (Aggregate Tonnage).10
Tujuan dari konvensi SAR adalah untuk membangun sebuah sistem penanganan dan
perencanaan SAR internasional yang dapat memberikan keuntungan pertolongan
yang terkoordinir kepada setiap kejadian kecelakaan dilaut, disegala tempat didunia
dimana saja kapal berada, yang diharapkan akan dapat dilakukan terkoordinir oleh
organisasi SAR, bahkan bila diperlukan akan memungkinkan untuk dilakukan secara
bergotong royong atau bekerjasama dengan Negara disekitar lokasi kejadian.

II.5Lembaga Negara di Laut Terkini
Penegakan hukum di laut saat ini dilaksanakan oleh oleh tiga belas (13) instansi yang
tergabung dalam Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) yang diketuai
oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan melalui Perpres No. 81
Tahun 2005.11 Tugas badan ini sesuai Perpres adalah:
a. Perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang keamanan laut;
b. Koordinasi kegiatan dan pelaksanaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi
kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum
serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah
di wilayah perairan Indonesia;
c. Pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut secara terpadu.
II.6Permasalahan yang Timbul
Meskipun banyak instansi yang melakukan penegakan hukum di laut, tidak serta merta
penegakan dimaksud berjalan dengan baik, justru yang terjadi adalah bahwa masing10
11

Ibid
Perpres No. 81 Tahun 2005

ihsan_btm@yahoo.com
masing personel masih terikat dengan kewajiban yang diemban oleh organisasi induknya
sehingga keberadaan mereka tidak efektif. Hal ini disebabkan beberapa hal sebagai
berikut (Nikson, Willem, 2009)12:
1) Masing-masing unsur tetap berada dalam organisasi institusi induknya;
2) Sistem penganggaran tergantung kepada instansi induknya sehingga amat sulit
diprogramkan dalam kegiatan-kegiatan tertentu yang menjadi satu kesatuan program
dari Bakorkamla;
3) Titik berat pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya mengacu
kepada tugas dan wewenang dari instansi induknya;
4) Terdapat keanekaragaman sistem dan prosedur (tidak seragam);
5) Membingungkan masyarakat dalam upaya pemerintah tentang penegakan hukum (di
laut).

III.Kesimpulan dan Saran
Dari uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan dan menyampaikan saran-saran
sebagai berikut.
a. Kesimpulan
1.1.

Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Dari fakta geografis dan definisi yang tertuang dalam UNCLOS III 1982, jelaslah
bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan. Dengan total Luas wilayah
perairannya yang mencapai 6.1 juta km2 (terdiri dari 3.2 juta km2 laut teritorial
dan 2.9 juta km2 perairan ZEE).

1.2.
12

Politik Hukum Negara Kepulauan Indonesia

Drs. Willem Nikson, S, MM, Kewenangan dan Identitas Lembaga Penjaga Laut dan Pantai
sebagai Penegak Hukum Keselamatan, BAKORKAMLA 2009.

ihsan_btm@yahoo.com
a. Deklarasi Djuanda belum dijadikan sebagai sumber hukum bagi pembuatan
peraturan dan perundang-undangan untuk mencapai misi negara kepulauan
sejati.
b. Pembuatan hukum sejauh ini tidak lebih daripada keinginan ‘menyenangkan’
dunia internasional dan kepentingan parsial instansi tertentu dalam
pemanfaatan laut.
c. Pemerintah Indonesia pasca Deklarasi Djuanda tidak memiliki visi negara
kepulauan untuk mencapai tujuan negara dalam memanfaat sumber-sumber
daya kelautan demi kesejahteraan rakyat Indonesia.
b. Saran-Saran
2.1.

Politik Hukum Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Potensi kekayaan laut Indonesia yang besar tidak akan bisa dimanfaatkan secara
maksimal bila tidak dilakukan penataan secara besar-besaran di bidang hukum
dengan mengacu kepada Deklarasi Djuanda sebagai sumber hukum yang
dikukuhkan secara yuridis formil oleh UU No. 4/Prp Tahun 1960. Kemudian
diikuti dengan melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
berikut:
a. UUD 1945 Pasal 1 (1) dengan penambahan kata pulau dan laut sehingga
berbunyi:
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, terdiri
dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut sekitarnya.
b. UUD 1945 Pasal 25A diubah menjadi:
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara yaitu kesatuan pulau-pulau dan laut-laut diantaranya,
dengan wilayah yang batas-batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang.
c. UUD 1945 Pasal 33 (3) diubah menjadi:

ihsan_btm@yahoo.com
Bumi dan perairan dan angkasa wilayah kedaulatan Republik Indonesia serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengamandemenan tersebut sangat penting artinya sebagai payung hukum bagi
kebijakan pemerintah dalam membuat peraturan dan perundang-undangan
selanjutnya karena sudah dinyatakan oleh konstitusi negara demikian. Siapapun
pemimpin bangsa ini, harus menjalankan politik hukum untuk mencapai amanat
konstitusi dengan produk-produk hukum yang memiliki roh negara kepulauan
agar kekayaan laut bisa bermanfaat dan tidak dinikmati oleh kelompok-kelompok
tertentu dan negara asing saja.
2.2.

Undang-Undang Kelautan
Selanjutnya, Indonesia memerlukan Undang-Undang Kelautan yang bersifat
universal dan menyeluruh serta menyangkut segala aspek kelautan dan kebaharian
yang diantaranya berisikan penataan lembaga negara di laut dengan pemisahan
tugas dan fungsi yang jelas antara Pemegang Otoritas Pelabuhan (Port State),
Otoritas Penegakan Hukum di Laut (Coastal State) dan Otoritas Negara di atas
Kapal (Flag State). Undang-Undang Kelautan hendaknya juga mencakup
keselamatan, keamanan, perlindungan lingkungan laut, dan pemanfaatan laut
sebagai sumber ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Sayangnya, UU
No.32 Tahun 2014 tengang Kelautan belum mengatur Otoritas Negara di atas
Kapal (Flag State) yang tidak kurang pentingnya dari pada dua otoritas lainnya.

2.3.

Undang-Undang Kemaritiman
Selain Udang-Undang Kelautan yang sudah ada, meskipun masih banyak
kekurangannya, Indonesia sudah saatnya memiliki Undang-Undang Kemaritiman.
Berbeda dengan UU Kelautan yang mengatur wujud fisik laut dan peran negara di
wilayah laut, UU Kemaritiman diperlukan untuk mengatur pemanfaatan laut
sebagai sumber ekonomi bagi kesejahteraan bangsa yang merupakan wujud dari
Kebijakan Kemaritiman Nasional (National Ocean Policy) yang mengandung

ihsan_btm@yahoo.com
pokok-pokok Pengaturan dan pokok-pokok Pengusahaan berbagai sektor usaha
berbasis laut.
2.4.

Lembaga Negara di Laut
Sistem pemerintahan negara kepulauan harus menegakkan 3 (tiga) unsur
pemerintahan yang menjalankan beberapa fungsi negara, antara lain Negara
Pelabuhan (Port State), Negara Pantai (Coastal State) dan Negara Bendera (Flag
State). Otoritas Pelabuhan (yakni Syahbandar sesuai UU No. 17 Thn 2008 tentang
Pelayaran) melakukan berbagai verifikasi dan clearance sebelum mengizinkan
sebuah kapal untuk berlayar. Otoritas Negara Pantai semestinya berupa satu
institusi dengan multi fungsi yang tugas utamanya berupa penegakan hukum di
laut, memastikan keselamatan hidup di laut, dan pelestarian lingkungan laut.
Karena tugas-tugas Otoritas Negara Pantai mencakup lintas sektoral, maka
hendaknya langsung berada di bawah presiden, bukan di bawah satu departemen
(UU No. 17 Thn 2008 dan bukan pula berupa koordinasi seperti Bakorkamla).
Sedangkan pemegang Otoritas Bendera (Nakhoda), memahami bahwa di setiap
milimeter kapal yang dikendalikannya berlaku hukum negara dari bendera kapal
tersebut. Jelaslah bahwa seorang Nakhoda tidak hanya harus mampu
mengendalikan kapal, tetapi juga menegakkan hukum negara bendera kapal yang
dia kendalikan.
Pelaksanaan ketiga unsur pemerintah di atas merupakan upaya mewujudkan
ketertiban, keamanan dan keselamatan sebagai kewajiban yang tidak boleh tidak
harus dimiliki oleh sebuah Negara Kepulauan. Ini merupakan konsekwensi logis
kepercayaan dan pengakuan internasional atas Deklarasi Djuanda dan berbagai
ratifikasi atas konvensi internasional mengenai laut.

2.5.

Perlu dilakukan perubahan Sistem Pendidikan Nasional dengan memasukkan
kurikulum ilmu-ilmu mengenai kelautan dan kebaharian sebagai upaya mencetak
Sumber Daya Manusia yang handal untuk dapat memanfaatkan semua sumber

ihsan_btm@yahoo.com
daya laut bagi meningkatkan ekonomi bangsa Indonesia menuju Indonesia
sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA
1. Supit, Henky, Teropong Kajian Tata Kelautan Indonesia, Yayasan Pendidikan Maritim
Indonesia, 2004.
2. http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/politik-hukum/apa-politik-hukum-itu/
3. Dahuri, R. et al, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.
Pramadya Paramita, Jakarta.
4. United Nation Conventinos on the Law of the Sea Part IV Article 46

ihsan_btm@yahoo.com
5. http://www.imo.org/About/HistoryOfIMO/Pages/Default.aspx
6. http://www.dephub.go.id/read/berita/direktorat-jenderal-perhubungan-laut/14485
7. Perpres No. 81 Tahun 2005
8. Nikson, Willem, S, Drs. MM, Kewenangan dan Identitas Lembaga Penjaga Laut
dan Pantai sebagai Penegak Hukum Keselamatan, BAKORKAMLA 2009.

9. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/08/18480781/
UU.Kelautan.Tersendat

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111