tugas sejarah pendidikan islam bani Abas (1)

MAKALAH
Makalah ini di Susun guna memenuhi kebutuhan mata kuliah
”sejarah pendidikan islam”
Dosen Pembimbing

Dr.Drs.Muh Idris S.Ag, M.A

Di susun oleh
Riksan Robin
Nim

15.2.4.03

Tarbiyah (Managemen pendidikan islam:semester 5 )
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MANADO
2016

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil a’lamin, segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam. Atas berkat limpahan rahmatNya, sehingga sampai saat ini

kita masih diberi kesempatan dalam mengejar ilmu dan meraih cita-cita
demi mengharap kebahagiaan dunia dan akhirat. Sholawat dan salam
senantiasa terlimpahkan kepada junjungan besar, manusia paling sempurna
yang layak untuk diteladani, yaitu Nabi Muhammad SAW. beserta
keluarga, para sahabat dan Insya Allah juga bagi para pengikut beliau
hingga akhir zaman, Aamiiin. Pemakalah juga bersyukur karena izin
Allah, dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok
pada mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam.

....................................................................................................................................

DAFTAR ISI
Kata pengantar.................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan.............................................................................. 1
A.

Latar Belakang............................................................................... 1

B.


Perumusan Masalah........................................................................ 2

C.

Tujuan Masalah.............................................................................. 2

Bab II Pembahasan.............................................................................. 3
A.
Masa pemerintahan dinasti abbasiyah (750-1258 M)............... 3
B.
Perkembangan pendidikan islam pada masa daulah Abbasiyah
5
C.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa daulah
Abbasiyah10

Bab III Penutup............................................................................... 15
A.
Kesimpulan.............................................................................. 15

B.
Saran........................................................................................... 16
Daftar Pustaka....................................................................................... 17

Bab I
Pendahuluam
A. Latar Belakang
Ketika seseorang telah berhasil menjadi orang maksudnya sukses, tentu
seseorang itu memiliki sejarah yang telah bisa membawanya hingga dia
bertemu dengan kesuksesannya tersebut. Begitu besar jasa sejarah ketika
terus diingat dan dijadikan pelajaran demi kemajuan diri.
Segala yang ada di sekeliling kita, segala apa yang kita nikmati saat
ini, seharusnya tak begitu saja kita rasakan. Namun, hasrat untuk mengetahui
apa yang menyebabkan sesuatu itu terwujud, harus kita miliki, agar kita dapat
menjadi manusia yang bersyukur dan bertanggung jawab terhadap hal yang
kita raih tersebut.
Salah satu sejarah yang harus kita ketahui serta pahami, yaitu sejarah
pendidikan Islam. Sejarah pendidikan Islam merupakan keterangan yang
menjelaskan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di
dunia Islam dari waktu ke waktu, dari suatu Negara ke Negara lain dari masa

Rasulullah SAW sampai masa sekarang. Yang hebatnya pendidikan Islam
sejak zaman dahulu masih bisa dijadikan acuan untuk pendidikan Islam pada
zaman sekarang, jadi pendidikan Islam zaman dahulu dengan sekarang masih
relevan.
Dalam makalah ini tidak akan dibahas seluruhnya mengenai sejarah
Pendidikan Islam, akan tetapi yang dibahas hanya sejarah pendidikan Islam
pada masa daulah Bani Abbasiyah. Pendidikan Islam pada masa Daulah Bani
Abbasiyah termasuk kelanjutan dari Daulah Bani Ummayyah. Daulah Bani
Ummayyah digulingkan oleh Abbasiyah pada tahun 750 M, Marwan bin
Muhammad, khalifah terakhir Bani Ummayyah, walalupun berhasil
melarikan diri ke Mesir, namun tetap berhasil ditangkap dan terbunuh di sana.
Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani

Ummayyah di Timur (Damaskus) lalu digantikan oleh Daulah Bani
Abbasiyah. Selanjutnya akan di bahas dalam bab pembahasan pada makalah
ini.
B. Perumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas tentang:
1.


Bagaimana masa pemerintahan Bani Abbasiyah?

2.

Bagaimana perkembangan pendidikan Islam pada masa Daulah
Bani Abbasiyah?

3.

Apa saja lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa Daulah

Bani Abbasiyah?
4.

Apa yang dimaksud dengan Qurhur?

5.

Bagaimana runtuhnya dinasti Bani Abbasiyah?


C. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini ialah menjadi referensi
pembelajaran mengenai materi pendidikan Islam pada masa Daulah Bani
Abbasiyah, sehingga memudahkan para mahasiswa/i dalam memahami
materi tersebut. Juga termasuk bahan dalam kelancaran diskusi, bagaimana
perkembangan pendidikan Islam pada masa Daulah Bani Abbasiyah dari
awal berdiri hingga runtuh, dari khalifah pertamanya hingga khalifah
terakhir, dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah
khususnya dan bagi pembaca dan pendengar umumnya. Aamiin.

Bab II
Pembahasan
A. Masa Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah bin Muhammad bin Ali
bin Abdullah bin al-Abbas as-Saffah atau lebih dikenal dengan sebutan
Abu al-Abbas (750-754 M). Sekalipun Abu al-Abbas adalah orang yang
mendirikan dinasti Abbasiyah, namun pembina yang sesungguhnya adalah
Abu Ja’far al-Mansyur (754-775 M).
Al-Mansyur dengan keras menghadapai perlawanan dari lawanlawannya yaitu terutama Bani Ummayyah, Khawarij, dan Syi’ah. Untuk
memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi

saingan baginya satu persatu disingkirkan. Abdullah bin Ali dan Shalih bin
Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh
khalifah sebelumnya di Syiria dan mesir. Mereka dibunuh karena tidak
bersedia membaiatnya, al-Mansyur memerintahkan Abu Muslim alKhurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim alKhurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing
baginya.
Ibukota yang awalnya terletak di al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun,
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri,
khalifah al-Mansyur memindahkannya ke Baghdad, dekat bekas ibukota
Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan
dinasti Bani Abbas berada d tengah-tengah bangsa Persia. Lalu, al-Mansyur
juga melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya
dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif.
Khalifah al-Mansyur juga berusaha menaklukan kembali daerahdaerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan
memantapkan keamanan di daerah pembatasan. Di antara usaha-usaha

tersebut ialah merebut kembali benteng-benteng di Asia, kota Malatia,
wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M.
Banyak kebijakan yang dilakukan oleh al-Mansyur demi terciptanya
kesejahteraan Daulah Bani Abbasiyah. Namun, masa kejayaan dinasti
Abbasiyah bukanlah berada di masa pemerintahan al-Mansyur, akan tetapi

pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan puteranya al-Makmun.
Pada masa al-Rasyid (786-809 M), kekayaan negara banyak
dimanfaatkan untuk keperluan social, mendirikan rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter dan farmasi. Setelah al-Rasyid, al-Makmunlah yang
menggantikan, al-Makmun dikenal sebagai kalifah yang sangat cinta dengan
ilmu filsafat.
Selanjutnya khalifah al-Makmun digantikan oleh al-Mu’tasim (833842 M), al-Mu’tasim member peluang besar kepada orang-orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan. Keterlibatan mereka dimulai sebagai
tentara pengawal. Para pengawal berkebangsaan Turki ini kemudian
berkuasa di istana, sehingga khalifah-khalifah Abbasiyah pada akhirnya
menjadi boneka dalam tangan mereka. Yang memerintah pada hakekatnya
bukan lagi khalifah, tetapi perwira-perwira dan tentara pengawal Turki itu.
Al-Wathiq (842-847 M), khalifah penggantinya, sadar dengan keadaan
yang ada, lalu dia berusaha melapaskan diri dari cengkraman perwiraperwira Turki, dengan cara memindahkan ibu kota pemerintahan ke
Sammara, tetapi usahanya tidak berhasil. Khalifah-khalifah Abbasiyah tetap
berada di bawah bayang-bayang para perwira Turki.
Selanjutnya,

khalifah


al-Mutawakkil

(847-861

M)

merupakan

kekhalifahan besar terakhir dari dinasti Abbasiyah. Khalifah-khalifah
sesudahnya pada umumnya lemah dan tidak mampu melawan kehendak
tentara pengawal dan sultan-sultan yang kemudian datang menguasai ibu
kota. Ibu kota kemudian dipundahkan lagi ke Baghdad oleh al-Mu’tadid
(870-892 M). khalifah terakhir dari dinasti Abbasiyah adalah al-Mu’tasim
(1242-1258 M), pada masanyalah Baghdad kemudian dihancurkan oleh
tentara Hulagu Khan di tahun 1258 M.

B. Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Daulah Abbasiyah
Pada Daulah Bani Ummayyah merupakan masa ekspansi1[1],
tetapi pada Daulah Bani Abbasiyah merupakan masa pembentukan dan
perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Di masa Abbasiyah inilah

perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani meningkat pesat.
Dan yang termasuk ilmu pengetahuan yang berkembang ialah ilmu
kedokteran, matematika, optika, geografika, fisika, astronomi, sejarah dan
filsafat.
Perkembangan ilmu pengetahuan ditandai dengan mulainya kegiatan
penerjemahan buku-buku, baik dari bahasa Sansekerta, Suriani mapun
Yunani. Dan khalifah al-Mansyurlah yang meletakkan batu pertama bagi
kegiatan penerjemahan ini. Diantara penerjemah yang terkemuka ialah
Abdullah bin Muqaffa (757 M), seorang Majusi yang kemudian masuk Islam.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah Kalilah Wa Dimmah, yang berasal
dari bahasa Sansekerta dan sudah dialihbahasakan ke bahasa Persi.
Pada masa khalifah al-Rasyid, Yuhannad bin Masuwaih diangkat
sebagai penerjemah buku-buku lama yang terdapat di Ankara, Amuriayah dan
di seluruh negeri Romawi. Penerjemah-penerjemah lainnya antara lain alHajjaj bin Matar, yang menerjemahkan buku Element karya Enclide. Yahya
bin Khalid al-Barmaki, menerjemahkan sebagian dari buku Illiad, karya
Hormeh. Abu Yahya bin al-Batriq (796-806 M) menerjemahkan buku-bukku
karya Hipocrates (536 SM) dan Gallen (200 M).
Pada masa al-Rasyid juga merupakan masa kesejahteraan bagi
penduduk seluruh negeri. Gambaran kesejahteraan pada masa ini
digambarkan dalam satu kisah yang terkenal, yaitu “Kisah Seribu Satu

Malam”. Kemakmuran pada masa ini tidak semata-mata hanya untuk
lingkungan kerajaan, tetapi juga diperlihatkan dalam bentuk pembangunan
1

Suryantara, H. Bahroin. 2011. Sejarah Kebudayaan Islam. Bogor:

Yudhistira.
.

fasilitas social, seperti mendirikan rumah sakit, pendidikan kedokteran dan
farmasi. Dinyatakan bahwa di kota Baghdad terdapat 800 dokter. AlRasyid merupakan Raja Besar di zaman tersebut dan hanya Charlemagne
dari Eropa yang dapat menandinginya, al-Rasyid dipandang seorang
penguasa yang paling cakap dan paling mulia dibandingkan khalifahkhalifah Abbasiyyah. Pasa masanya inilah Abbsiyah memasuki era baru
yang sangat gemilang.
Pada tahun 832 M khalifah al-Makmun mendirikan sebuah akademi di
Bghdad yang bernama Bait al-Hikmah. Di tempat ini para ilmuan Muslim
melakukan kegiatan penerjemahan, penelitian dan menulis buku. Kegiatan
ilmiah terpenting dari lembaga ini adalah pada saat diketuai oleh Hunain bin
Ishak. Dengan bantuan para penerjemahnya, Hunain berhasil memindahkan
ke dalam bahasa Arab isi kandungan buku-buku karangan Eculide, Gallen,
Hipocrates, Apollonius, Plato, Aristoteles, Themistus dan Paulus al-Agini.
Di akhir masa pemerintahan al-Rasyid dan selama masa pemerintahan
al-Makmun telah bermunculan perbendaharaan ilmu pengetahuan yang amat
besar melalui hasil peninggalan Yunani. Sejak masa itu muncullah namanama ilmuwan Muslim dengan berbagai keahliannya. Pada bidang ilmu
pengetahuan ada yang dikenal dengan al-Fazari sebgaai ahli astronomi, orang
yang pertama kali menyusun astrolabe (alat untuk mengukur bintang). AlFarghani, di Barat dikenal dengan sebutan al-Fragnus, orang yang mengarang
ringkasan tentang ilmu astronomi dan bukunya ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin. Dalam bidang optika dikenal nama Abu Ali al-Hasan bin alHaytham (abad X), namun di Barat dikenal dengan sebutan al-Hazen.
Menurut teorinya, yang diakui kebenarannya, “Bendalah yang mengirim
cahaya ke mata dank arena menerima cahaya itu mata melihat benda yang
bersangkutan.”.
Dalam ilmu kimia dikenal nama jabir bin Hayyan dengan julukan bapak
al-Kimia. Kemudian Abu Bakar al-Razi (856-925 M) adalah pengarang buku
terbesar tentang kimia. Dalam bidang fisika ada Abu Raihan Muhammad al-

Baituni (973-1048 M) yang menemukan teori tentang bumi berputar sekitar
porosnya juga melakukan penyelidikan tentang kecepatan suara dan cahaya,
serta berhasil menentukan berat dan kepadatan 18 macam permata dan metal.
Dalam bidang geografis dikenal nama Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud, seorang
pengembara yang mengadakan kunjungan ke berbagai penjuru dunia Islam.
Bukunya Maruj al-Zahab, berisi tentang geografi, agama, adat istiadat dari
daerah-daerah yang dikunjunginya.
Pengaruh Islam terbesar terdapat dalam bidang ilmu kedokteran dan
filsafat. Dalam bidang kedokteran dikenal al-Razi, yang di Eropa dikenal
dengan nama Rhazes. Al-Razi menulis masalah cacar dan campak. Begitu
pentingnya buku ini sehingga diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
Eropa. Bukunya, al-Hawi, yang terdiri dari 20 jilid, membahas berbagai
cabang ilmu kedokteran. Nama lain dalam bidang ini adalah Ibnu Sina (9801037 M), selain filosof juga seorang dokter. Ibnu Sina mengarang
ensiklopedia ilmu kedokteran yang berjudul al-Qanun fi al-Thib. Buku ini
secara berulang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa.
Dalam bidang filsafat dikenal nama-nama seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd. Diantara mereka yang pengaruhnya kuat di Eropa adalah Ibnu
Rusyd, yang dikenal dengan sebutan Averros. Bahkan di Eropa ada aliran
yang bernama Averroism. Al-Farabi mengarang buku-buku filsafat, logika,
jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi tentang filsafat Aritoteles. Sementara
Ibnu Sina di Eropa dikenal sebagai penafsir filsafat Aristoteles.
Dalam periode ini pulalah lahirnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
keagamaan Islam. Diantaranya adalah penyusunan al-Hadits. Dalam bidang
ini terkenal nama al-Bukhari dan Muslim (abad IX). Dalam bidang fiqih atau
hukum Islam muncul nama-nama yaitu Malik bin Anas, al-Syafi’I, Abu
Hanifah dan Ahmad bin Hanbal (abad VIII dan IX). Dalam bidang tafsir
antara lain dikenal al-Thabari (839-923 M). Dalam bidang sejarah dikenal
nama Ibnu Hisyam (abad VIII) dan Ibnu Sa’d (abad IX). Dalam bidang ilmu
kalam dikenal nama-nama seperti Wasil bin Atha’, Ibnu Hudzail, al-Allaf
(golongan Mu’tazilah), Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi (Ahlus

Sunnah). Dalam bidang Tasawuf lahirlah nama-nama Zunnun al-Misri, Abu
Yazid al-Bustami, Husein bin Mansyur al-Hallaj dan seterusnya. Dalam
bidang sastra dikenal nama abu Farraj al-Isfahani dengan bukunya Kitab alAghani. Perguruan tinggi yang didirikan pada masa ini antara lain Bait alHikmah di Baghdad dan al-Azhar di Kairo.
Pada masa ini juga pertama kalinya dalam sejarah terjadi kontak antara
Islam dengan kebudayaan Barat, yaitu antara kebudayaan Yunani Klasik yang
terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia. Kontaknya dengan
kebudayaan Barat telah membawa masa yang gemilang bagi Islam.
Seterusnya, periode ini memiliki pengaruh, sekalipun tidak secara langsung
pada munculnya masa Renaisans2[2] di Barat. Dengan diterjemahkannya
buku-buku yang ditulis oleh ilmuwan Islam ke dalam bahasa Eropa, mulailah
Eropa kenal pada filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Masa kejayaan Islam
adalah bersamaan dengan masa kegelapan Eropa. Tetapi dengan terjemahan
buku-buku itu sedikit demi sedikit memberikan jalan bagi Eropa untuk
memasuki abad pencerahan. Jacques C. Rislar mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan dan teknik Islam amat berpengaruh pada kebudayaan Barat yang
terus berkembang hingga sekarang.
Demikian merupakan perkembangan pengetahuan yang terjadi pada masa
Abbasiyah, juga merupakan masa keemasan bagi dunia Islam pada saat itu.
Dan masa keemasan ini terjadi terutama pada pemeritahan periode pertama,
namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa
kemunduran hingga saat ini.

C. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam pada Masa Daulah
Abbasiyah
Kemajuan dalam segala bidang pendidikan, tentunya juga dilengkapai
sarana atau tempat yang membantu kelancaran jalannya pendidikan tersebut.
Berikut ini merupakan beberapa lembaga pendidikan yang berkembang pada
masa Daulah Bani Abbasiyah.
2

a. Kutab atau Maktab
Kutab atau maktab berasal dari kata kataba yang artinya menulis atau
tempat menulis. Namun akhirnya memiliki pengertian sebagai lembaga
pendidikan dasar. Menurut catatan sejarah, kuttab telah ada sejak pra Islam.
Diperkirakan mulai dikembangkan oleh pendatang ke tanah Arab, yang terdiri
dari kaum Yahudi dan Nasrani sebagai cara mereka mengajarkan Taurat dan
Injil, filsafat, jadal (ilmu debat), dan topic-topik yang berkenaan dengan
agama mereka.
Kutab pada masa ini meruoakan kelanjutan dari kuttab pada masa Daulah
Umayyah. Para ahli sejarah pendidikan Islam sepakat bahwa kutab dan kuttab
adalah hal yang sama, dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar
yang mengajarkan membaca dan menulis, kemudian meningkat kepada
pengajaran Al-Quran dan pengetahuan agama tingkat dasar. Akan tetapi,
keduanya memiliki perbedaan dalam fase, yaitu kalau kutab atau maktab
berarti istilah lembaga pendidikan Islam untuk zaman modern, sedangkan
kuttab berarti istilah lembaga pendidikan Islam untuk zaman klasik.
Kurikulum yang dipakai adalah berorientasi kepada Al-Quran sebagai
suatu textbook. Sehingga pembelajarannya mencakup membaca dan menulis,
kaligrafi, gramatikal bahasa Arab dan sejarah, yang khususnya berkaitan
dengan Nabi Muhammad SAW.

b. Masjid
Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, melainkan juga
berfungsi sebagaia pusat kegiatan pendidikan dan kebudayaan. Sistem
pembelajaran di dalam masjid, berbentuk halaqah3[3], berkembang dengan
baik pada masa Abbasiyah, sejalan dengan munculnya bermacam-macam
pengetahuan agama, sehingga terkadang di dalam suatu masjid besar terdapat
beberapa halaqah dengan materi pembelajaran berbeda, seperti: nahu, ilmu
3Ramayulis. 2011. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

kalam, fiqih dan lain-lain. Ini terjadi di masjid al-Kasai dan al-Manshur di
Baghdad.
c.

Pendidikan Rendah di Istana (QURHUR)
Pendidikan rendah di istana diperuntukkan bagi anak-anak para pejabat

didasarkan atas pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan
peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya nanti setelah dewasa.
Maka dari itu, para pembesar istana berusaha mempersiapkan anak-anaknya
agar sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan tugas-tugas yang
akan diemban nanti. Demi kelancaran pendidikan, mereka memanggil guruguru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.
Pendidikan di istana berbeda dengan pendidikan di kutab. Di istana para
orang tua muridlah (para pembesar istana) yang membuat rencana
pembelajaran sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh orang tua dan
sejalan dengan tujuan serta tanggung jawab yang akan dihadapi sang anak
kelak.
d. Toko-toko Buku (al-Hawarit al-Waraqin)
Selama masa kejayaan Daulah Abbasiyah, toko-toko buku berkembang
dengan pesat seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Hebatnya, took-toko ini tidak hanya menjadi tempat pengumpulan dan
penyebaran (penjualan) buku-buku, tetapi juga menjadi tempat studi dengan
lingkaran-lingkaran studi yang berkembang di dalam toko buku tersebut.
Penjaga toko selain menjadi pemilik toko, juga berperan sebagai muallim dalam
lingkaran studi tersebut. Dan sebagian yang memiliki toko buku ialah para
ulama. Hal ini menunjukkan betapa besarnya antusias umat Islam masa itu
dalam menuntut ilmu.
e.

Perpustakaan (al-Maktabah)
Salah satu perpustakaan yang sangat terkenal, yaitu Bait al-Hikmah, yang

didirikan oleh al-Rasyid. Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga pendidikan
karena pada masa itu buku-buku sangat mahal harganya, ditulis dengan
tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa memiliki secara
pribadi. Oleh sebab itu, bagi masyarakat umum pecinta ilmu, tentunya

memanfaatkan

perpustakaan

ini

sebagai

sarana

memperoleh

ilmu

pengetahuan dan untuk selanjutnya dikembangkan.
f.

Salun Kesusastraan (al-Shalunat al-Adabiyah)
Salun Kesustraan adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh para

khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada masa
Khulafaurrasyidin sebenarnya sudah ada dan diadakannya di masjid.
Sedangkan pada masa Umayyah, pelaksaannya di istana dan hanya dihadiri
oleh orang-orang tertentu saja. Salun sastra yang berkembang adalah salun di
sekitar para khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan
sahabatnya. Majelis sastra ini menjadi tempat pertemuan untuk bertukar
pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan.
Pada masa al-Rasyid majelis sastra ini sangat berkembang, Karena alRasyid sendiri merupakan ahli pengetahuan yang cerdas, sehingga al-Rasyid
aktif di dalamnya. Pada masa pemerintahannya sering diadakan perlombaan
antara ahli-ahli syair, perdebatan antara fukaha dan juga sayembara antara
ahli kesenian dan pujangga.
g. Rumah Para Ilmuwan (Bait al-Ulama’)
Beberapa ilmuwan menjadikan rumah mereka sebagai lembaga
pendidikan, antara lain seperti rumah Abi Muhammad ibn Hatim al-Razi alHafiz dalam mempelajari ilmu-ilmu Hadits. Rumah Ibnu Sina dalam
mempelajari ilmu kedokteran dan rumah Abi Sulaiman al-Sajastani dalam
mempelajari ilmu filsafat dan ilmu mantik4[4].
h. Observatorium dan Rumah Sakit (al-Bamaristan)
Observatorium berfungsi sebagai lembaga pendidikan atau sebagai tempat
untuk transmisi ilmu pengetahuan. Di observatorium sering diadakan kajiankajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Para ilmuwan melakukan
pengamatan dan riset di observatorium tersebut.
Rumah sakit juga merupakan tempat menggali ilmu, khususnya bagi calon
dokter atau orang yang sedang menuntut ilmu kedokteran. Sehingga rumah
4Dr. Marzuki, M.Ag_. Buku PAI SMP - 8 Sejarah Bab 10.pdf.

sakit merupakan tempat mereka mempraktekkan segala teori yang telah
mereka dapatkan sebelumnya. Bisa dikatakan observatorium dan rumah sakit
juga merupakan dua lembaga yang memiliki peran terhadap berkembangnya
pendidikan Islam.
i.

Al-Ribath
Al-Ribath merupakan tempat kegiatan orang sufi yang ingin menjauh dari

keduniawian dan berkonsentrasi semata-mata hanya untuk beribadah. Juga
memberikan perhatian terhadap keilmuan yang dipimpin syeikh yang terkenal
dengan ilmu dan kesholikhannya.
j.

Al-Zawiyah
Al-Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang

mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan
dengan aspek agama serta digunakan oleh para sufi sebagai tempat untuk
halaqah berdzikir dan tafakur untuk mengingat dan merenungkan keagungan
Allah SWT.

Bab III
Penutup

A. Kesimpulan
Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di
Baghdad, Irak. Bani Abbasiyah berkembang pesat dan menjadikan dunia
Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan
tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Bani Abbasiyah berkuasa selama 150 tahun setelah berhasil merebut
kekuasaan Bani Umayyah pada tahun 750 M. Bani Abbasiyah dirujuk
kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW. yang termuda yaitu
Abbas bin Abdul Muthalib, oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam
Bani Hasyim.
Daulah Abbasiyah mencapai masa kejayaannnya pada masa
pemerintahan al-Rasyid dan putranya al-Makmun. Kekayaan Negara
banyak dimanfaatkan al-Rasyid untuk keperluan social dan mendirikan
rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Daulah Abbasiyah
lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada
perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbasiyah dengan
Bani umayyah.

B. Saran
Semoga dengan adanya perjuangan para ilmuwan Islam dapat memacu
semangat kita sebagai generasi yang akan datang dalam menuntut ilmu,
baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama.
Dengan segala penyajian makalah yang masih jauh dari kata sempurna,
pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah-makalah selanjutnya. Terimakasih.

Daftar Pustaka

Buku Pustaka:
Suryantara, H. Bahroin. 2011. Sejarah Kebudayaan Islam. Bogor:
Yudhistira.
Ramayulis. 2011. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Internet:
Dr. Marzuki, M.Ag_. Buku PAI SMP - 8 Sejarah Bab 10.pdf.