Makna Dalam Film Iklan

Makna Dalam Film Iklan
Arif Agung Suwasono
Dosen Program Studi Disain Komunikasi Visual
Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta
ariefagungsuwasono@gmail.com
Abstract. Film, is a medium in communication, but the logic-signs in the film is unique. It have more visible
and natural, and took away the coding message in communication. The power of film language is the sign
that delivered, with visual icons and kinetic representation. Associated with commercial ad film, the
arbitrary does not lie in the signs visually stunning, but on the meaning an associative obtained from the
meanings sign coding ethnicity are semantically. What is served in the film ad is logic image of a
commodities that delivered with a story that is frequently arbitrary, as a consequence of the ways in which
advertise.
Keywords: Film, Visual Representation, Advertising.
Relevance to Visual Communication Design Practice: The messages and information carried by those ads
compete fiercely one another. To win the competition, TV ads need to be designed with the correct strategies.
To be able to set the most effective strategy, the designers have to learn and understand the logic of signs
exist in a TV commercial.

PENDAHULUAN

pemirsa, diterima atau dapat dinikmati


Josep M. Boggs, dari universitas Kentucky,

melebihi dari apa yang pernah difikirkannya.

mengatakan,

sering

Panorama akan tampak sedemikian indah,

merubah apa yang dilihat oleh penonton,

suasana pedesaan akan tampak sejuk, bahkan

seakan-akan apa yang dilihatnya menjadi

sampai

sedemikian indah dari pada kenyataan yang


sedemikian mencekam.

film

kenyataannya

suasana

malam

akan

tampak

ada, In fact, by creating images that are bigger

Meskipun demikian, Boggs melanjutkan

than life, films have sometimes been made to


bahwa film pada dasarnya hanyalah medium,

seem more real than reality 1 . Obyek-obyek

sebagai sarana komunikasi. Dia adalah alat

yang ditangkap dari sudut pandang kamera

seperti halnya peralatan seni yang dimiliki

dapat direpresentasikan melebihi dari apa

oleh seniman.

yang

bahkan

“The camera and its film are only the tools


pengalaman estetis yang didapatkan oleh

used by the filmmaker-no more important in

pernah

dilihat

manusia,

their own way than the artist’s brush, oils, and
1

Joseph M. Boggs, The Art of Watching Films, a guide
to film analysis, The Benjamin/Cimmings Publishing
Company, Inc., Canada, 1978, p., 3

canvas, or the sculptor’s hammer, chisel, and
marble slap. It’s not, after all, the nature of the


JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

1

Makna Dalam Film Iklan

tools that determines whether a finished

berempati,

product is a work of art, but the nature of the

mengikuti justifikasi dalam film, atau bahkan

human mind behind those tools-its sensitivity,

menjadi

its creative power, its artistic vision, and, even


imajinasinya. Kita tidak pernah tahu apakah

more important, its ability to communicate the

vampir itu memang takut dengan bawang

essence of that vision through the skillful use

putih, atau kenapa kita menangis, tertawa

the medium’s tools”.2

ataupun menahan amarah hanya karena
melihat

Film hanyalah sebagai medium untuk
merepresentasikan ide. Film menjadi media
atau kanvas layaknya seorang pelukis ketika
dia


hendak

menuangkan

pengalaman

estetisnya. Kamera, lampu, properti, wardrobe
hanyalah sekumpulan peralatan seperti cat,
kuas dan palet bagi seorang pelukis. Hanya

kekuatan

teks

serta

kebahasaannya sendiri.

karya


artistik

yang

mampu

‘menghipnotis’ audiens bahwa apa yang
dilihatnya menembus dimensi rasional kita,
seolah-olah terbawa dalam lingkup emosional
tertentu,

dibawa

ke

arah

realita-realita


tertentu atau keyakinan-keyakinan tertentu,
yang secara tidak sadar tak lagi menjadi
realitas

yang

hingga

emosi,

meyakini

film. Kemampuan dan kreatifitas

satu kunci keberhasilan dalam penyajian film.
Bahkan kita jarang melakukan resistensi dari
realitas cerita film, karena kita mengikuti
kebenaran-kebenaran dari cerita film yang
disuguhkan meskipun kita tahu bahwa film
tersebut adalah fiksi belaka.

Pembahasan tentang film sebagai karya
seni

memang mempunyai cakupan yang

sangat luas, selain aspek-aspek yang dapat

Di tangan sutradara yang handal, film
menjadi

inspirasi

gejolak

dalam mengatur cerita inilah menjadi salah

saja film bukanlah karya lukisan. Film
mempunyai

merasakan


sesungguhnya.

Dengan

pengolahan penceritaan dan sudut pandang
tertentu, kita secara tidak sadar akan ikut

diidentifikasikan secara visual, sebagai sebuah
pemahaman bahasa, film juga terkait dengan
bahasa yang berhubungan dengan aspek
suara, baik bahasa verbal maupun musik yang
mengiringinya. Disamping itu film juga tidak
dapat dilepaskan dengan realitas kebudayaan,
pemahaman tentang keyakinan dan ideologi,
serta teknologi. Ini semua menunjukkan
betapa rumitnya untuk memahami realitas
film, baik sebagai sarana dokumentasi,
hiburan, komunikasi, promosi sampai dengan
propaganda. Kendati demikian masyarakat

2

2

dalam mengapresiasi film lebih banyak

Ibid

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

Arif Agung Suwasono

melihat bahwa film adalah representasi visual

Realitas Film Iklan

yang bercerita. Kita sering tak begitu

Film iklan adalah produk dari industri bisnis

mempersalahkan

seharusnya

yang sangat potensial dalam segi pemasaran.

teknik pengambilan gambarnya, bagaimana

Dia menjadi sebuah pesan yang senantiasa

sudut

bagaimana

hadir di setiap program acara televisi. Bahkan

adegannya, kode-kode sosial budaya yang

sedemikian berdesak-desaknya film iklan di

melingkupinya,

dengan

televisi, maka sering mengorbankan program

realitas kebenaran ceritanya. Kita akan

acara atau tayangan lain menjadi discontinue.

melihat bagaimana suguhan cerita dari film

Sebuah program acara yang seharusnya

itu sendiri untuk dilihat, dimengerti dan

runtut diterima sebagai sebuah informasi atau

dinikmati. Dari sini dapat dilihat bahwa

hiburan menjadi hilang daya penerimaannya

unsur penceritaan menjadi salah satu kunci

dan suasana mentalnya ketika tiba-tiba film

keberhasilan sebuah film sebagai sarana

iklan muncul ditengahnya.

bagaimana

pencahayaannya,

bahkan

sampai

Film iklan sudah menjadi realitasnya

komunikasi.
akan

sendiri sebagai bagian dari kehidupan media

dibahas secara singkat bagaimana ruang

massa. Ada ketergantungan yang saling

lingkup penceritaan sebuah film dikaitkan

terkait antara media dan iklan yang saling

dengan iklan. Film iklan sendiri adalah

menguntungkan. Tayangan film iklan pun

representasi yang cukup unik. Film iklan

menjadi sebuah program acara yang di

merupakan sebuah informasi yang sangat

formalkan,

dibatasi oleh durasi tetapi mengemban

program acara. Dia tidak hanya menjadi

tanggungjawab yang besar dalam setrategi

sekilas info, tetapi info sekilas, sebuah

pemasaran. Dengan durasi yang sangat

penekanan pada informasi yang memang

singkat, dalam hitungan detik, film iklan

harus ditonton. Dalam sebuah acara debat

harus dapat bersaing dengan film iklan lain

presiden dan cawapres di televisi, moderator

sekaligus

pemirsa,

bahkan sudah menjadikan info sekilas ini

mempengaruhi serta membentuk persepsi

menjadi bagian dari acaranya. Film iklan

dalam jaringan semantik manusia.

sudah disejajarkan nilai informasi tayangnya

Selanjutnya

dalam

merebut

tulisan

perhatian

ini

sebagai

bagian

dari

sebuah

dengan acara debat antara Prabowo Subianto
dengan

Joko

Widodo.

Tapi

memang

begitulah realitas film iklan di Indonesia, dia

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

3

Makna Dalam Film Iklan

terus

menjadi representasi iklan. Realitasnya adalah

menerus menerpa indera kita, menghadirkan

produk-produk massa semakin berlomba

suasana hasrat dan menjadi bagian dari

untuk saling mempengaruhi individu sebagai

informasi kita sehari-hari.

konsumen

menjadi

representasi

Realitasnya,
mendorong

yang

akan

iklan-iklan

masyarakat

ini

telah

untuk

selalu

bahwa

mereka

mempunyai

kebutuhan-kebutuhan yang sangat kompleks
baik fisik sampai psikis.

mengidentifikasi produk untuk memenuhi

Produk-produk yang senantiasa tidak

kebutuhan-kebutuhannya. Bahkan seseorang

mempunyai “arti” hendaklah diberikan nilai

professor dari Harvard berpendapat bahwa

melalui atribut manusia, benda atau segala

iklan

untuk

sesuatu yang sebelumnya telah mempunyai

menghamburkan uang demi memiliki hal-hal

nilai. Ada semacam pertukaran nilai diantara

yang tidak dibutuhkan manakala mereka

penanda dengan petanda, yang diharapkan

seharusnya menggunakan uang itu untuk

dapat membangkitkan motif kebutuhan dari

pekerjaan-pekerjaan umum 3 . Pendapat ini

individu4 . Dari sini Judith ingin memberikan

memang tidak berlebihan, manakala iklan

gambaran bahwa komoditi akan menjadi

iklan ternyata dapat menstimulasi hasrat

produk

individu

produk

mencerminkan sebuah nilai yang melebihi

sebagai bagian dari kebutuhan-kebutuhannya

dari nilai fungsionalnya. Manipulasi nilai

karena iklan bekerja dengan mengeksploitasi

yang direkonstruksikan dalam teks film iklan

alam bawah sadar manusia, merangsang

memang tak jarang memberikan gambaran

motif-motif psikologis manusia.

sebuah realita budaya, sebuah fragmentasi

menggoda

untuk

orang

mengkonsumsi

Tingkah laku atau perilaku konsumen,
meliputi

komunikasi,

pengambilan

manakala

di

dalamnya

sudah

nilai kultural yang memperlihatkan dimensi
ideologis antar manusia.

keputusan, motivasi, pembentukan sikap,

Seiring

kemajuan

teknologi

dan

norma-norma sosial, penyesuaian terhadap

informasi, film tidak dipungkiri telah menjadi

norma dan etika dan reaksi antara manusia,

bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan

telah menjadi dasar pengetahuan dari para

media komunikasi serta industri bisnis dan

pengiklan-pengiklan untuk direkonstruksi

hiburan. Film telah menjadi sarana bisnis

4
3

David Ogilvy, Pengakuan Orang Iklan, Pustaka
Tangga, Jakarta, 1990, hlm. 94

4

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

Judith Williamson, Decoding Advertisement, Ideology
and Meaning in Advertising, Marion Bayars, London.,
1991. hlm. 31

Arif Agung Suwasono

sangat potensial dari pemilik modal dalam

sarat dengan muatan nilai dan kode budaya

mempromosikan berbagai macam komoditi,

serta sebagai medium ideologi yang hadir di

bahkan film sendiri telah menjadi produk

tengah-tengah masyarakat. Film dianggap

dalam industri hiburan dan informasi. Di sisi

menyampaikan realitanya sendiri dengan

lain, film juga sering dipahami sebagai media

dalih refleksi dari realitas sosial.

komunikasi massa yang sarat dengan nilai-

Film

juga

dipandang

sebagai

ajang

nilai kultural, mencerminkan budaya dari

kompetisi dalam menciptakan dunia pulasan

sekelompok masyarakat. Film cenderung

(pseudoworld).

merekam

dan

sosial, film dianggap sebagai agen sosial yang

berkembang di masyarakat dan diproyeksikan

ikut bertanggung jawab atas immoralitas yang

di atas layar. Meskipun film adalah medium

selama ini didengungkan sebagai media yang

komunikasi, atau sebagai alat berkomunikasi,

mendukung

film sering diyakini mempunyai power yang

kemanusiaan

sanggup

untuk

diwacanakan oleh para pemikir mazhab

menerima nilai budaya tertentu, atau sebagai

Frankfurt bahwa media massa termasuk film

sarana legimitasi ideologi yang terkandung di

sering

dalamnya.

melemahkan nilai-nilai kemanusiaaan secara

realitas

yang

menghipnotis

tumbuh

manusia

Dalam

dan

wacana

menggerus

sebagaimana

dianggap

sebagai

diskursus

nilai-nilai

yang

sering

media

yang

Graeme Turner menyatakan bahwa film

kultural. Theodor Adorno dan Horkheimer

tidak hanya merefleksikan realitas, lebih

sendiri menyatakan, bahwa dalam industri

daripada itu, film merepresentasi realitas atau

budaya, khususnya tentang keberadaan media

menghadirkan kembali realita berdasar kode-

massa telah membuat masyarakat menjadi

kode,

semakin

konvensi

serta

ideologi

dari

rendah,

tidak

lagi

personal,

kebudayaannya. Film, adalah teks monolog

melainkan dianggap mempunyai karakterisasi

yang lahir dari pengolahan narasi yang

yang sama. Masyarakat diarahkan untuk

diarahkan

Pada

mempunyai tingkat persepsi yang sama

akhirnya film merupakan permainan logika

terhadap suatu realitas, entah tentang nilai

tanda (sign-logic) yang penuh dengan nilai

selera, kebutuhan sampai dengan harkat

kultural. Dari sinilah, film dewasa ini sering

hidup. Masyarakat dianggap sebagai makhluk

dikaji dari beberapa disiplin ilmu, terutama

yang pasif, bisa diarahkan dan dibentuk oleh

sering disinggung dalam wacana culture

teks-teks yang monolog, seolah-olah budaya

studies. Film dipandang sebagai teks yang

mereka lebih rendah. Bukannya berdialog,

sebagai

sebuah

realita.

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

5

Makna Dalam Film Iklan

media bahkan tidak melakukan apa-apa selain

kemanusiaan, bahwa manusia harus menjadi

monolog yang membuat individu tetap

dirinya sendiri tanpa terpengaruh oleh

berada dalam keadaan audien yang terasing

berbagai macam manipulasi kebutuhan yang

dalam pengertian moral dan sosial. Bahkan

dicoba

menurut tokoh-tokoh kritis dalam mazhab

representasi film iklan. Manusia adalah

Frankfurt ini, memandang bahwa film,

makhluk

terutama film iklan yang muncul di televisi

tatanan nilai yang diinternalisasi untuk

telah mendorong terciptanya kapitalisme

mewujudkan keseimbangan dalam interaksi

lanjut yang semakin memperkuat eksistensi

sosialnya. Tidak selamanya kode-kode sosial

kapitalisme dimana kecenderungan ini telah

yang terdapat di balik representasi film iklan

membuyarkan

melemahkan

ramalan

Marx

bahwa

untuk

yang

dinaturalisasikan

berbudaya,

eksistensi

lewat

mempunyai

tatanan

budaya,

kaptalisme akan hilang dengan sendirinya

terutama yang berkaitan dengan gender,

pada abad 20.

bahwa wanita diwacanakan sebagai individu
yang subordinat. Bahkan aliran feminisme

1. Film Iklan dan Gender
Film iklan memang menjadi perpanjangan
sebuah

bentuk

orang

untuk

kapitalisme,
berlaku

merangsang

dan

konsumtif,

memanipulasi

menjadikan

hasrat

sebagai

bertindak
kebutuhan,
strategi

komunikasi, dan menampilkan retorika akan
nilai-nilai idealisme, melemahkan daya kritis
tentang kebutuhan serta menanamkan citra
sebagai salah satu bagian dari perilaku sosial
yang pada dasarnya adalah rekonstruksi dari
ideologi kapitalisme, di mana fenomena ini
menjadi kritik yang sering disuarakan oleh
pemerhati dalam bidang culture studies.
Namun demikian, di balik representasi
film iklan tersebut, terdapat makna kultural
yang tidak selamanya menjadi pemahaman
yang
6

cenderung

melemahkan

eksistensi

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

Barat

menyuarakan

bahwa

dengan

ketimpangan gender hanya mengakibatkan
mereka selalu di bawah tekanan dari ideologi
patriarki yang bersembunyi di tengah-tengah
kapitalisme.
Untuk mengkaji representasi film iklan,
hendaknya selalu dikaitkan dengan konteks
budaya, sebuah nilai-nilai kehidupan yang
berada di masyarakat, yang diinternalisasi
sebagai manifestasi perilaku sosial. Nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat ini tentu
tidak begitu saja digeneralisir pada seluruh
tatanan

masyarakat.

masyarakat

tentu

Setiap

mempunyai

kelompok
diskursus

budayanya sendiri, sehingga apa yang dikritisi
oleh para pemikir barat tentang dampak
representasi

iklan

sebaiknya

memang

Arif Agung Suwasono

dihubungkan dengan konteks budaya, yang di

pengetahuan

dalamnya juga terdapat ideologi gender.

menunjukkan kualitas baik-buruk, salah-

Iklan, sebagai produk informasi media

benar,

yang

digunakan

indah-jelek,

untuk

unggul-terbelakang,

massa, pada dasarnya adalah sekumpulan

menyenangkan-membosankan

dan

pesan

sebagainya,

dan

yang

sedemikian

dikomposisikan,

memenuhi

melanggengkan dominasi maupun ideologi

terkadang

tertentu. Doxa pada iklan tidak semata-mata

menyentuh bias ideologi tertentu. Muatan

membentuk makna yang ideologis, namun

ideologi ini tampak disebabkan kode-kode

juga

yang

dibungkus

sebuah

sehingga

untuk

membentuk

makna,

rupa

disusun

makna

direkonstruksi

yang

dan

diredifinisikan

makna

yang

oleh

ideologis

tersebut

kepentingan

akumulasi

dalam iklan mengambil dari realitas maupun

modal. Ini berarti makna-makna ideologi

konstruksi sosial yang ada. Iklan tidak hanya

yang diciptakan atau direpresentasikan iklan

sekedar

digunakan

pengorganisasian

pesan

yang

oleh

kapitalisme

untuk

menampilkan teks dan ilustrasi yang bersifat

kelangsungan

persuasif, membujuk dan memunculkan

perubahan

hasrat, akan tetapi di sisi lain iklan juga

memungkinkan diproduksinya makna-makna

direpresentasikan dengan mengambil kode-

ideologis yang baru.

kode sosial sebagai bagian dari konstruksi
sosial

agar

dapat

diterima

tanpa

menimbulkan resistensi sosial.
Kendati

demikian

hidupnya.
dan

Sebaliknya

perkembangan

kapital

Sebagai ilustrasi, Thwaites menyatakan,
bahwa kesuksesan seorang wanita bisnis
sering direpresentasikan lewat media massa

kode-kode

ini

dengan stereotipikasi telah mengorbankan

cenderung bersifat implisit, meskipun ada

kehidupan keluarganya, kesuksesan dalam

beberapa iklan yang tidak termasuk di

bidang bisnis (publik) telah memunculkan

dalamnya, kode-kode dari realitas sosial ini

pandangan bahwa mereka telah melakukan

akan tenggelam dalam permainan antara

pengingkaran

petanda dan penanda pada iklan itu sendiri.

tradisionalnya”, yang bukan dikarenakan

Muatan ideologis ini akan muncul manakala

berkompetisi dengan kaum pria5.

dari

“aturan-aturan

iklan diinterprestasikan dengan memahami
doxa-doxa dari permainan sintaksis tanda5

tanda pada iklan. Pengertian doxa di sini
menurut

Bourdieu

adalah

semacam

Tony Thwaites, Lloyd Davis, Warmick Mules, Tools
for Cultural Studies, an introduction, Macmilan,
Australia, 1994, hlm. 156

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

7

Makna Dalam Film Iklan

Adanya batasan-batasan tertentu dalam

kapitalisme

untuk

menjadikan

produk-

tingkat kompetisi ini secara langsung akan

produk industrinya semakin marak dan

menyentuh dominasi patriarchal ideology.

beragam sesuai dengan kelas-kelas ekonomi

Akan tetapi ‘sisi buruk’ yang dialamatkan

baru.

pada wanita tidak dikemas atau ditunjukkan

keberhasilan dalam peran publik, sering

dalam iklan. Hal ini dikhawatirkan akan

dijadikan

menimbulkan resistensi sosial atau bahkan

ataupun jasa dalam iklan. Sabun, kosmetika,

mungkin revolusi sosial. Wanita sukses,

parfum

adalah sebagai gambaran bahwa marginalisasi

menggambarkan realitas wanita yang telah

terhadap wanita pada peran publik sudah

berperan

berkurang.

melegimitasi adanya kebutuhan-kebutuhan

Wanita

sukses,

dan

mulai

Atribut

kesuksesan,

ragam

popularitas,

citraan-citraan

sampai

dengan

dalam

produk

otomotif

ruang

publik

telah

dan

berperan dalam ruang publik, merupakan

terhadap

tuntutan yang akomodatif bagi kesetaraan

Kapitalisme mendorong peningkatan hasil

gender. Akan tetapi, tetap tidak menunjukkan

indutrinya

bahwa kesuksesan itu bukan hasil dari

sentimen ideologi gender ini sebagai doxa

kompetisi

yang

yang diharapkan diterima oleh masyarakat

diideologikan sebagai penguasa ruang publik

sebagai hal yang bersifat natural. Kapitalisme

dalam ideologi patriarki, sedangkan wanita

terus

lebih

domestik.

sosial seperti gerakan feminisme untuk

Dengan demikian wanita karir atau wanita

diakomodasi dan seolah mereka setuju dan

bekerja dalam wilayah publik pun, jarang

terbuka dengan kritik atas tuntutan yang

yang

bersifat ideologis ini.

dengan

berperan

kaum

dalam

digambarkan

pria

ruang

sebagai

pengendali

produk-produk

dengan

berusaha

industri.

menggunakan

meredam

kedok

gejolak-gejolak

kebijakan atau menempati posisi-posisi yang

Akan tetapi di balik itu semua kapitalisme

strategis. Fenomena ini menunjukkan adanya

berusaha memperkuat sistem ekonominya

penghargaan dan kebebasan terhadap wanita

dengan memanipulasi sentimen ideologi ini

untuk berperan dalam ruang publik akan

menjadi diskursus yang terjadi di dalam

tetapi tidak digambarkan sangat berperan,

realitas sosial. Dengan demikian iklan bisa

karena masih kuatnya dominasi ideologi

jadi mengambil kode untuk mencerminkan

patriarki.

realitas sebagai cara untuk menaturalisasikan

Realitas

sosial

yang

menunjukkan

ideologi gender ini diredefinisikan oleh

8

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

pesan tetapi di lain sisi iklan juga dapat
meredefinisikan

nilai-nilai

ideologi

baru

Arif Agung Suwasono

sebuah

makna

yang

hendak

film ini mempunyai karakteristik yang sangat

dinaturalisasikan.

Iklan

tidak

hanya

kuat. Berbeda dengan film-film lain yang

mencerminkan muatan ideologi, tetapi juga

dibedakan menurut tema atau genrenya, film

dapat menciptakan muatan ideologi yang

iklan adalah film yang berisi komunikasi

hendak dinaturalisasikan oleh golongan-

persuasive yang memang sengaja dirancang

golongan

tertentu

demi

kelangsungan

sebagai bagian dari komunikasi pemasaran.

dominasi

ideologi

dan

kepentingan-

Dengan demikian maka kepentingan untuk

sebagai

mendapatkan feedback, dalam arti masyarakat

kepentingan tertentu, seperti kapitalisme.

mengikuti
2. Film Iklan dan Konsumerisme
Dalam psikologi periklanan, terminologi
iklan sendiri mempunyai pengertian suatu
penerapan komunikasi persuasi terhadap
masalah pemasaran di mana tujuan dasarnya
adalah pemberian informasi tentang suatu
produk atau layanan dengan cara sedemikian
rupa

hingga

pesan

yang

disampaikan

diperhatikan, difahami, diingat dan diarahkan
pada

suatu

tindakan

dengan

cara

menimbulkan asosiasi asosiasi dan sikap yang
tepat6. Lalu apa sesungguhnya film iklan itu.
Jawaban dari pertanyaan ini tentu akan
mengarah pada sudut pandang pemasaran itu
sendiri, bahwa film iklan merupakan bagian
dari upaya promosi untuk menjual produk,
jasa, atau ide/gagasan dari sebuah organisasi
atau korporasi.
Terminologi iklan begitu dominan dalam
pengertian film iklan, sehingga menjadikan

apa

yang

diinginkan

oleh

korporasi menjadi tujuan utamanya.
Di dalam industri kapitalis saat ini
kegiatan untuk beriklan termasuk merancang
film iklan telah menjadi hal cukup strategis.
Televisi sendiri sebagai medium komunikasi,
mempunyai

coverage

yang

sangat

luas,

menjangkau hampir ke seluruh pelosok
daerah.

Hal

ini

dipandang

cukup

menguntungkan para pemasang iklan, Sekali
disiarkan, akan menjangkau wilayah yang
sangat luas. Bahkan untuk memasarkan mie
instan saja, ada sebuah korporasi yang
menghabiskan

dana

miliaran

rupiah.

Meskipun untuk beriklan di televisi sangat
mahal akan tetapi kenyataannya film iklan
saling

berjejalan

dalam

siaran

televisi.

Akibatnya yang sering menjadi korban adalah
program acaranya sendiri yang sering di ‘cut’
hanya untuk menyiarkan iklan. Hal ini
disebabkan penghidupan broadcast memang
bersumber dari belanja iklan. Untuk menarik

6

Anne Anastasi, Bidang-bidang Psikologi Terapan,
Rajawali Press, Jakarta, 1989, hlm. 439

sebanyak banyaknya para pemasang iklan,

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

9

Makna Dalam Film Iklan

broadcast sering menggunakan sistem rating

berpendapat bahwa iklan menggoda orang

yang tentu saja mempunyai konsekuensi

untuk menghamburkan uang demi memiliki

perbedaan

hal-hal yang tidak dibutuhkan manakala

tarif

dalam

setiap

program

acaranya.

mereka seharusnya menggunakan uang itu

Begitu dahsyatnya iklan-iklan saat ini

untuk pekerjaan-pekerjaan umum7. Pendapat

hingga menjadi ujung tombak pemasaran

ini memang tidak berlebihan, manakala iklan

komoditi massa dalam era kapitalisme.

iklan ternyata dapat menstimulasi hasrat

Masyarakat disodori berbagai representasi

individu

sosial yang menyajikan kebutuhan-kebutuhan

sebagai bagian dari kebutuhan-kebutuhannya

ilusif yang dapat memuaskan selera, hasrat

karena iklan bekerja dengan mengeksploitasi

dan pilihan-pilihan untuk mengkomsumsi

alam bawah sadar manusia, merangsang

komoditas. Logika baru dalam kapitalisme

motif-motif psikologis manusia. Tingkah laku

cenderung mendukung masyarakat untuk

atau

mengkonsumsi produk lewat permainan

komunikasi,

penandaan melaui iklan-iklan yang pada

motivasi, pembentukan sikap, norma-norma

akhirnya sering dicap sebagai sarana untuk

sosial, penyesuaian terhadap norma dan etika

merayakan konsumerisme, hedonisme dan

dan reaksi antara manusia, telah menjadi

gaya hidup. Pencerapan kita tentang realitas

dasar pengetahuan dari para pengiklan-

atau tentang kebutuhan sejati pada akhirnya

pengiklan

telah bergeser dan didominasi oleh imaji-

representasi iklan. Realitasnya adalah produk-

imaji

periklanan.

produk massa semakin berlomba untuk saling

Masyarakat dengan tidak sadar dibentuk dan

mempengaruhi individu sebagai konsumen

direkonstruksi untuk menjadi kelas-kelas

bahwa

konsumen

kebutuhan yang sangat kompleks baik fisik

yang

dihasilkan

baru,

oleh

seakan-akan

mereka

untuk

perilaku

mengkonsumsi

produk

konsumen,
pengambilan

untuk

mereka

meliputi
keputusan,

direkonstruksi

mempunyai

menjadi

kebutuhan-

mempunyai mekanisme sosial dan ideologi

sampai

tertentu yang merupakan manifestasi dari

senantiasa tidak mempunyai “arti” telah

pola pikir serta representasi sosialnya. Iklan-

diberikan nilai melalui atribut manusia,

iklan telah mendorong masyarakat untuk

benda atau segala sesuatu yang sebelumnya

selalu

telah

mengidentifikasi

produk

untuk

psikis.

mempunyai

Produk-produk

nilai.

Ada

memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bahkan
seseorang

10

professor

dari

Harvard

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

7

David Ogilvy, Loc.Cit., 1990, hlm. 194

yang

semacam

Arif Agung Suwasono

pertukaran nilai diantara penanda dengan
petanda,

8

yang

membangkitkan

diharapkan

motif

dapat

kebutuhan

dari

individu.

diceritakan

oleh

mempunyai

durasi

sebuah

film

sedemikian

yang
pendek

tersebut. Kendati demikian film iklan adalah
juga sebuah tayangan yang bercerita, sebagai

Di sisi lain iklan-iklan juga bekerja

sebuah unsur dalam film, yakni ada cerita

dengan memainkan peran-peran normatif,

yang disuguhkan, hanya saja fokus dari cerita

hubungan sosial sampai dengan kode-kode

yang direpresentasikan adalah sarana untuk

sosial sebagai bagian dari budaya manusia.

menstimulasi daya tarik terhadap merek atau

Inilah yang menyebabkan seakan-akan iklan-

produk.

iklan tidak mampu ditolak dan cenderung

direkonstruksi untuk membentuk asosiasi

dibiarkan, diterima atau diingat untuk suatu

tertentu terhadap merek. Yang terpenting

saat

memang

bagaimana cerita dalam film iklan dapat

dibutuhkan sebagai bagian dari kehidupan

membentuk sebuah kesadaran bahwa produk

dan gaya hidupnya. Bahkan Judith Willamson

yang ditawarkan mempunyai nilai kebutuhan,

menyatakan bahwa periklanan adalah salah

yang layak untuk dikonsumsi.

ditindaklanjuti

karena

satu dari faktor budaya yang cukup penting,
dalam

membentuk

dan

merefleksikan

kehidupan manusia sehari-hari9.

Cerita

dalam

film

iklan

Cerita dalam film iklan sebenarnya dapat
dikaji lebih mendalam bahwa tanda-tanda
yang

disampaikan

dan

membentuk

Pada kenyataannya film iklan yang

permainan teks tersebut pada dasarnya

ditayangkan di televisi mempunyai durasi

mempunyai nilai-nilai ideologi yang dicoba

sangat pendek, dalam hitungan detik, paling

untuk dinaturalisasikan sebagai bagian dari

lama tak lebih dari 60 detik untuk tayangan

strategi persuasif. Hal yang paling banyak

per produknya. Hal ini tak lepas dari biaya

dikritisi oleh para pengamat bahwa iklan itu

sewa ruang pada media televisi yang sangat

sendiri

mahal,

detik,

ideologi konsumerisme sehingga membawa

sehingga film iklan sendiri rata-rata juga

perubahan hidup bagi masyarakat untuk

ditayangkan dalam hitungan detik. Sekilas

menjadi

tentu

kapitalis, ideologi konsumerisme merupakan

dihitung

kita

dengan

bertanya

apa

ukuran

yang

dapat

salah

satunya

konsumtif.

mengembangkan

Dalam

pandangan

nilai dan cara pandang bahwa makna
kehidupan manusia hendaknya ditemukan
8
9

Judith Williamson, Loc.Cit., 1991, hlm. 31
Ibid, hlm. 11

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

11

Makna Dalam Film Iklan

dari apa yang kita konsumsi, bukan pada apa

dikonsumsi untuk memuaskan kebutuhan

yang kita hasilkan.10

imajinernya.

Wanita

dan

laki-laki

Herbert Marscue berargumen bahwa

distandarisasikan bentuk tubuhnya, bahwa

ideologi konsumerisme telah mendorong

idealisasi bentuk tubuh adalah seperti yang

masyarakat untuk mempunyai kesadaran

divisualisasikan dalam iklan, seolah-olah

palsu dan bahwa kebutuhan ini bekerja

bentuk

sebagai satu bentuk kontrol sosial. Orang-

menjadi pemujaan yang seharusnya diikuti

orang akan menemukan jiwa mereka pada

oleh orang-orang dengan bantuan produk

komoditi yang mereka punyai atau gunakan.

atau komoditi yang ditawarkan, seperti susu

Ada semacam kontrol sosial yang dicoba

misalnya. Ideologi konsumerisme bisa dilihat

untuk direkonstruksikan bahwa komoditi

sebagai salah satu strategi pengalihan dari

yang mereka punyai atau gunakan adalah

pencarian tiada akhir tentang kebutuhan

semacam cermin status atau sebagai dasar

manusia, bahwa konsumsi adalah jawaban

penilaian

bagi semua ‘problem’ kita, atau konsumsi

lingkup

diri

mereka

sosialnya.

sendiri

Bagi

terhadap

Marcues

iklan

akan

tubuh

dengan

menjawab

standar

seolah-olah

tertentu

kita

akan

mendorong kebutuhan palsu agar seseorang

merasakan lengkap, utuh atau terpuaskan

menjadi pribadi sesuai yang digambarkan

hasrat-hasrat terpendam kita. Konsumsi akan

dalam iklan, menjadi jenis orang tertentu

mengembalikan diri kita serasa utuh dalam

dengan menggunakan tipe pakaian tertentu,

kondisi imajiner yang diliputi kebahagiaan.

mobil tertentu, minyak wangi tertentu, sabun
tertentu, makan-makanan dan minuman
tertentu dan barang-barang lainnya. Bahkan
tak jarang daya kritis manusia dilemahkan
menjadi pemuja tertentu

seperti yang

digambarkan dalam iklan dengan obyek
pemujaan-obyek

pemujaan

(fetishisme)

tertentu yang menggerakkan asosiasi tertentu
pada produk sebagai barang yang hendaknya

3. Logika Pencitraan
Kembali pada film iklan, bahwa film iklan itu
sendiri dapat dilihat sebagai tanda, sebuah
gambaran utuh tentang produk dalam bentuk
sajian film. Namun demikian di dalam film
iklan sebenarnya terdapat penanda dan
petanda yang menghasilkan sebuah makna
asosiatif

terhadap

produk.

Hanya

saja

penanda dalam film iklan adalah sajian
gambar dan suara yang bersifat motion atau

10

John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya
Pop, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, hlm. 144.

12

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

bergerak menyerupai realita yang ada dan
hidup. Film iklan hendaknya dipahami bahwa

Arif Agung Suwasono

penanda-penanda

divisualisasikan

arbitrer, di mana penanda-penanda yang

adalah gambar bergerak (motion picture) yang

sekaligus menghasilkan petanda secara visual

direpresentasikan melalui sudut pandang

diarahkan pada pemaknaan asosiatif yang

kamera dan dibatasi oleh waktu. Penanda-

semena-mena

penanda dalam film iklan adalah obyek visual

Produk

yang dihasilkan dari lensa kamera film yang

gambaran mental apapun. Produk hanyalah

direkonstruksi sedemikian rupa dalam proses

mempunyai nilai fungsi yang ditawarkan dan

editing

rentetan

di hargai dalam sejumlah uang. Produk tidak

adegan-adegan yang bekerja sama untuk

membentuk kesadaran akan nilai kepuasan

menghasilkan

terhadap

sehingga

yang

menghasilkan

makna

tertentu

dan

membentuk asosiasi terhadap merek produk.

sama

terhadap
sekali

kebutuhan.

merek
tidak

produk.

mempunyai

Produk

tidaklah

membentuk hasrat, pemujaan bahkan gaya

Film iklan sendiri proses penyandiannya

hidup. Produk hanyalah komoditas konsumsi

sangat berbeda dengan iklan-iklan lain

yang diberi label atau merek yang diharapkan

khususnya yang bersifat statis. Pada media

dibeli oleh orang karena tertarik dari cerita

cetak misalnya, ikon yang terdapat dalam

iklan yang disuguhkan. Hubungan antara teks

iklan adalah statis dan dapat dilihat tanpa ada

dan produk inilah yang bersifat arbitrer. Jika

keterbatasan

dapat

Saussure mempermasalahkan bahwa dalam

diinterprestasi lebih leluasa. Akan sangat

bahasa antara penanda dan petanda adalah

berbeda dibandingkan dengan film iklan di

hubungan yang bersifat semena-mena, maka

mana sajian ikonis yang disampaikan hanya

demikian pula dalam film iklan bahwa teks

berdurasi sangat pendek dan tidak bisa

dan produk atau gambaran tentang merek

diulang. Kita dapat melihat film iklan tersebut

sebenarnya juga bersifat arbitrer. Kita tidak

mungkin di program acara yang lain atau

pernah

dalam segmen yang lain. Dengan demikian

parfum yang diberi label tertentu dapat

maka teks dalam film iklan harus dapat

memikat sedemikian banyak wanita. Kita juga

dengan cepat menyajikan fakta asosiatif

tidak pernah paham bahwa sebuah sabun

terhadap merek produk, bahwa produk yang

dapat memberikan sensasi cinta. Sabun

ditawarkan dapat memuaskan kebutuhan

hanyalah

orang atau konsumen.

hanyalah minuman berkafein dan bukan

waktu,

sehingga

membayangkan

produk

untuk

bahwa

mandi.

sebuah

Kopi

Di dalam film iklan, teks atau cerita yang

produk yang berfungsi agar dihargai oleh

dibangun di dalamnya pada dasarnya bersifat

lawan jenis atau membangkitkan sensasi

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

13

Makna Dalam Film Iklan

harmonis.
bermerek

Produk
yang

hanyalah

mempunyai

komoditas
nilai

Realitas yang dibangun dalam teks atau

tukar

cerita dalam film iklan adalah realitas semu

financial selaras dengan biaya produksi dan

(pseudoword), yang pada dasarnya untuk

biaya iklan yang diharapkan dibeli oleh

membentuk

masyarakat dan mendatangkan keuntungan

membentuk asosiasi-asosiasi tertentu, yang

tertentu.

membedakan dengan pencitraan dari produk

Saussure juga menegaskan

sebuah

citra

tertentu,

bahwa

lainnya. Logika yang dibentuk adalah logika

arbitrer yang terjadi antara penanda dan

konsumsi yang tidak lagi terikat dengan

petanda

diakibatkan

logika fungsi produk itu sendiri. Logika yang

adanya kesepakatan kultural, maka dalam

muncul adalah sebagai logika tanda (logic of

film iklan antara teks dengan produk terdapat

sign) dan logika citra (logic of image), yang

arbitrer semata karena didorong untuk

diarahkan agar orang tertarik untuk membeli.

mempengaruhi

terjadi

Keputusan membeli sudah tidak lagi berdasar

adanya sebuah konvensi dalam konstruksi

pada nilai fungsional akan tetapi berkembang

sosial. Arbitreraritas dalam film iklan terjadi

pada keputusan untuk membeli tanda, citra

adalah diupayakan untuk memacu angka

atau tema yang ditawarkan dibalik sebuah

penjualan,

kemungkinan

produk. Tanda-tanda tersebut dikonstruksi

petanda yang dihasilkan tidak bersifat baku

sedemikian rupa ke dalam berbagai komoditi

sebagai sebuah konvensi antara produsen dan

sebagai upaya untuk membedakan diri,

pengiklan. Dia akan berubah seiring dengan

menyodorkan sebuah alternatif terhadap

langue dari struktur sosial masyarakat.

pemuasan suatu nilai kebutuhan yang pada

Bahkan para produsen dan pengiklan dalam

dasarnya semu.

dalam

kebahasaan

pembaca,

sehingga

besar

bukan

melihat realitas merek produk juga melihat

Kenyataan terhadap logika citra ini tidak

konvensi yang dihasilkan adalah bersifat

dapat dilepaskan dari era kapitalisme baru

sementara, tergantung pada sisi mana orang

yang mendudukkan manusia sebagai subyek,

dapat dipengaruhi dalam kurun waktu

orang yang secara tidak langsung diakui

tertentu. Konvensi dalam film iklan terbentuk

keberadaannya

manakala produsen dan pengiklan bersama-

keberhasilan pemasaran komoditi. Manusia

sama mengkreasikan sebuah image tentang

diakui

produk yang dicoba untuk dinaturalisasikan

mempunyai kebutuhan dan selera tertentu.

kepada konsumen.

Manusia diakui sebagai subyek yang ikut

14

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

sebagai

untuk

ikut

organisme

menentukan

yang

yang

Arif Agung Suwasono

membentuk relasi sosial, kelas sosial dan gaya

dapat dipahami dengan gambaran mental

hidup.

kemudian

ikonik yang ada melalui ilustrasi seorang ibu

melahirkan cara berfikir atas konsep tentang

yang tersenyum, dengan mimik muka yang

pencitraan (imagology). Cerita dalam film

tulus, ceria dihadapan anak atau anggota

iklan direkayasa untuk menanamkan gagasan

keluarganya. Ketombe hilang dapat dipahami

atas citra. Substansi produk menjadi kabur,

dengan ilustrasi adegan wanita atau pria yang

yang ada adalah citra dari suatu merek

tersenyum dengan rambut bersih hitam bebas

(brand). W.F.

dari

Setrategi

Haug
ataupun

inilah

menyatakan
produk

di

yang

bahwa
dalam

komoditi
masyarakat

ketombe.

Gambar-gambar

divisualisasikan

merupakan

realitas

dinotasikannya.

yang

ikonis

yang
bagi

Gambar-

kapitalis akan berkaitan langung dengan

gambar yang divisualisasikan lewat adegan-

domain citra, yaitu bagaimana pencitraan ini

adegan dalam film iklan adalah watak ikonis

digunakan sebagai alat untuk mengendalikan

dari logika cerita (logic of story) itu sendiri.

masyarakat. Produk dijadikan sebagai wacana

Tanda visual yang direpresentasikan

pengendalian selera, gaya hidup, tingkah laku,

lewat adegan-adegan dalam film adalah

aspirasi, serta imajinasi-imajinasi kolektif

menyerupai watak ikonik yang disampaikan.

masyarakat luas oleh masyarakat kapitalis

Informasi atau pesan yang disampaikan akan

lewat berbagai pencitraan agar tercipta

tergambarkan dengan jelas dari tanda-tanda

sebuah hasrat membeli di mana ilusi dan

visual dalam adegan, mulai tanda-tanda

manipulasi adalah cara yang digunakan untuk

ekspresi yakni petunjuk wajah (facial cues),

mendominasi selera masyarakat.

gerak-geriknya (gestural cues), dan kedekatan
antar karakter (proximity cues). Sebuah

4. Watak Ikonik
Kendati teks atau cerita dalam film iklan
mempunyai makna yang arbitrer dikaitkan
dengan watak dan realitas produk, tandatanda ikonik yang terdapat pada film iklan
pada dasarnya adalah hubungan penanda dan
petanda yang tidak bersifat arbitrer, dia akan
menyuguhkan

gambaran

ikonik

yang

menyerupai realitas yang dikonvesikan. Kasih
sayang ibu kepada anak atau anggota keluarga

adegan yang dimaknakan sebagai adegan
kegalauan karena bau badan (ketiak) akan
diekspresikan dengan lugas dari karakter
dengan adegan-adegan yang tidak mau
mengangkat tangannya, berjalan tertunduk,
malu didepan kawan-kawan atau koleganya,
ekspresi

muka

yang

selalu

merengut,

mengambil jarak dengan lawan jenis dan
sebagainya.

Ini

semua

adalah

untuk

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

15

Makna Dalam Film Iklan

menggambarkan pesan tentang betapa bau

akan memperkuat makna dari watak ikonik,

ketiak menjadi persoalan dalam pergaulan,

sebagai sebuah promise dari logika cerita itu

dan pesan ini dapat ditangkap dari tanda-

sendiri. Dalam tataran gambar bergerak,

tanda visual yang dimunculkan lewat adegan-

kode-kode gambar dalam film iklan dapat

adegan itu sendiri. Sebaliknya ketika sebuah

diinternalisasikan sebagai bentuk representasi

produk deodorant mampu mengatasi bau

mental yang bersifat ikonik. Sedangkan dalam

badan ini, maka karakter akan berekspresi

aspek sintaksis, representasi mental yang

ceria, tidak malu mengangkat tangan dan

bersifat ikonik ini diperluas dari teknik visual

seterusnya, yang menunjukkan gambaran

yang pada dasarnya adalah tata bahasa visual

mental dari watak ikonik tentang kepuasan.

dalam film, yakni tentang sudut pandang

Rekonstruksi

karakter

pengambilan gambarnya (angle), mulai dari

tersebut menggambarkan watak ikonik yang

sudut pandang dekat (close up, medium close

jelas tentang makna yang direpresentasikan.

up), sampai dengan sudut pandang jauh

Watak

hanya

(medium long shot, long shot), dan juga

berhubungan dengan ekspresi karakter, tetapi

tentang pemotongan gambar, transisi yang

juga di perluas dari atribut-atribut lain yang

digunakan dan durasi tiap shot, di mana

ikut dihadirkan sebagai pelengkap tanda,

secara teknis adalah gambaran mental dari

sebagai pengorganisasian tanda yang integral

logika

membentuk makna. Properti, wardrobe dan

berdasarkan logika cerita film iklan itu

setting pun disuasanakan sesuai dengan cerita

sendiri.

adegan-adegan

ikonik

ini

pun

tidak

yang direkonstruksikan. Interior dapur, ruang

tanda

Dengan

yang

realitas

direpresentasikan

watak

ikonik

ini,

makan, ruang tamu, ruang kantor dan

kemampuan untuk mentransfer pengalaman

sebagainya adalah tanda-tanda ikonik yang

mental menjadi sangat naturalis. Tidak ada

mengkodekan suasana mental dari ruang

penyandian pesan dalam jaringan semantik

aktivitas karakter. Bahkan visual efek dan

manusia. Tidak ada lagi petanda yang sangat

animasi yang dihadirkan adalah semata untuk

konotatif dalam mengartikulasikan sebuah

menunjukkan tanda ikonik yang menandakan

adegan-adegan visual. Adegan dalam film

gambaran

didenotasikan.

iklan adalah realitas yang dikonvensikan,

Bagaimana baju yang berubah jadi putih

sehingga penafsiran terhadap adegan akan

bersih, kulit yang menjadi kuning langsat,

cenderung monosemik. Adegan dalam film

muka yang berubah menjadi putih berseri,

iklan adalah tanda ikonik yang mengikuti

16

mental

yang

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

Arif Agung Suwasono

logika ceritanya sendiri. Realitas pada adegan-

saja rekonstruksi sosial dalam film iklan

adegan film iklan hendaknya dipahami

terkadang memang mengambil fragmentasi

sebagai

yang

kode budaya yang ada, tetapi tak jarang

sendiri.

merupakan penggambaran tentang sebuah

Arbitreriaritas dalam film iklan muncul

ide. Di sinilah ideologi tentang rekonstruksi

ketika hubungan antara penanda dan petanda

sosial menjadi dasar penciptaan ide tersebut.

dikaitkan dengan logika cerita dan produk

Keharmonisan

yang diasosiasikan. Logika cerita dalam film

diperlihatkan

iklan adalah sebuah konsep yang dipahami

menawarkan komoditi untuk rumah tangga,

sebagai upaya untuk membentuk makna

mulai dari susu, bumbu masak, pengharum

asosiatif, menciptakan citra tentang produk,

dan sebagainya. Penggambaran idealisasi ibu

membedakan diri dengan produk pesaing,

rumah

dan menstimulasi alam bawah sadar manusia

bertanggung jawab dengan sabun cuci sampai

untuk selalu mengingat dan ditawarkan

pembersih ruangan. Bahkan identitas yang

sebagai

digambarkan

rangkaian

membentuk

tanda

watak

ikonik

ikoniknya

kebutuhan,

dan

inilah

yang

sebuah
dalam

tangga

keluarga
film

iklan

digambarkan

lewat

sering

tanda

yang

cukup

yang

cenderung bersifat arbitrer, karena terkadang

mengasosiasikan

melampaui rasio manusia dan cenderung

kecantikan, sampai dengan gaya hidup akan

imajinatif. Sehingga iklan sering dikatakan

menjadi tanda ikonik yang memberikan

sebagai

penafsiran

sandiwara

yang

menawarkan

kebutuhan-kebutuhan semu.

tentang

merepresentasikan

dapat dilepaskan dari simbol dan kode
kultural yang melingkupinya. Seorang yang
atau

menyimbolkan

memakai
sebuah

kejantanan,

produk.

Berger

mengatakan bahwa tanda-tanda ikonik yang

5. Penutup
Logika tanda dalam film iklan tentu tidak

berdasi

tentang

jas,

tentu

identitas

tentang

merupakan

identitas

penafsiran

yang

tersebut
diharapkan

dipahami oleh orang lain11. Hubungan tanda
dan penanda digambarkan sebagai cara untuk
untuk mendeskripsikan sebuah identitas dan
kode budaya.

pekerjaan atau mungkin status sosialnya.
Maka ketika tanda merepresentasikan sebuah
identitas, maka kode budaya akan menjadi
semacam referensinya, sebuah identitas yang
mengacu pada rekonstruksi sosialnya. Hanya

11

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika, Tandatanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2010, hlm. 109

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

17

Makna Dalam Film Iklan

“Dengan memanipulasi tanda-tanda yang
berhubungan dengan sikap-sikap tertentu,
seseorang bisa menjadi hebat . Dengan
menggunakan tanda-tanda tersebut harapan
orang bisa berkembang terhadap lawan
jenisnya, sebagaimana sesorang menjadi orang
yang berarti. Sistem tanda ini dapat juga
disebut sebagai ‘model’ atau ‘kesan’.12
Identitas

yang

tergambarkan

dalam

tanda-tanda ini sebagaimana dalam paham
kapitalis dapat juga menggambarkan kelas
dalam struktur masyarakat, kelas dalam
pergaulan, kelas dalam interaksi sosial, kelas
dalam pekerjaan sampai dengan kelas status
sosial dan gaya hidup. Sistem tanda sebagai
model

atau

kesan

ini

memang

di

manipulasikan secara ikonik sebagai upaya
gambaran mental terhadap asosiasi produk.
Pada akhirnya suasana akan menghasilkan
harapan dan sikap, inilah yang gambaran
dalam film iklan.
PUSTAKA
[1] Anne Anastasi. (1989). Bidang-bidang
Psikologi Terapan. Jakarta: Rajawali
Press.
[2] Arthur Asa Berger. (2010). Pengantar
Semiotika,
Tanda-tanda
dalam
Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
[3] David Ogilvy. (1990). Pengakuan Orang
Iklan, Jakarta: Pustaka Tangga.

12

Ibid.

18

JURNAL DEKAVE VOL.7, NO.1, 2014

[4] John Storey. (2008). Cultural Studies dan
Kajian Budaya Pop. Yogyakarta:
Jalasutra.
[5] Joseph M. Boggs. (1978). The Art of
Watching Films, a guide to film analysis.
Canada:
The
Benjamin/Cimmings
Publishing Company, Inc.
[6] Judith Williamson. 1991. Decoding
Advertisement, Ideology and Meaning in
Advertising. London: Marion Bayars.
[7] Tony Thwaites. (1994). Lloyd Davis,
Warmick Mules, Tools for Cultural
Studies, an introduction. Australia:
Macmillan.