Case Study Report PENERAPAN ASAS NONSELF

Forma

Page 1

Case Study Report :
PENERAPAN ASAS NONSELF
INCRIMINATION PADA BERKAS
PERKARA SPLITSING : STUDI
KASUS PADA PENGADILAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun oleh :
RAFLI FADILAH ACHMAD
(1206246313)
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
__

2015

Page 1


BAGIAN I
PENDAHULUAN
I.A. Keterangan Tempat dan Waktu
 Tempat

: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat yang beralamat di

____________..Lantai 1-2 Gedung Ombudsman RI, Jl. HR. Rasuna Said Kav.C-19
____________..Kuningan, Jakarta Selatan.
 Hari/Tanggal : Kamis, 23 April 2015.



Pukul

: 14.05 – 14.47 WIB, sidang ditunda selama 2 minggu atau sampai pada

____________.. tanggal 7 Mei 2015 dengan agenda pembacaan surat tuntutan dari
____________.. Jaksa Penuntut Umum.

I.B. Kasus Posisi
Pelaksanaan case study report yang dilakukan oleh Penulis bertempat di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara 10/Pid.Sus/TPK/2015/PN. Dimana
yang menjadi obyek utama pengamatan adalah pemeriksaan keterangan terdakwa pada kasus
korupsi pembebasan lahan Proyek Double Double Track (DDT) atas nama Terdakwa Iskandar
Rasyid. Berdasarkan wawancara lebih lanjut Penulis dengan salah seorang Penasehat Hukum
Terdakwa, yaitu Bapak Wilvridus Watu S.H di kantor hukumnya di daerah Kalibata didapatkan
fakta bahwa kasus ini bermula ketika Terdakwa Iskandar Rasyid menjadi bendahara proyek
pembangunan Double Double Track pada tahun 2002-2006 di daerah Kampung Melayu. Kasus
ini berawal dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang
menemukan penyimpangan dana sebesar Rp. 33 Milyar dalam penggunaan anggaran terhadap
proyek Double Double Track (DDT) sejak tahun 2002-2005. Temuan ini kemudian
ditindaklanjuti oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal DKI Jakarta yaitu Marwan
Batubara untuk melaporkan hal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Iskandar Rasyid ketika sedang menjabat sebagai bendahara proyek diduga melakukan
tindak pidana korupsi dengan modus pembebasan tanah ganda yang dilakukan dengan cara
memanipulasi data pembebasan tanah, melakukan penggelembungan dana (mark up) dan
membuat dokumen fiktif, artinya tanah untuk pengembangan Double Double Track PT KAI

Page 1


sejatinya sudah dibebaskan, akan tetapi Iskandar Rasyid mengeluarkan anggaran pembebasan
lagi untuk tanah yang sama.
Akibat tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa secara bersama-sama atau sendiri-sendiri
dengan Ketua Proyek Yoyok Sulaiman telah mengakibatkan kerugian kepada negara sebesar Rp.
22,7 Milyar. Bukan hanya kerugian negara saja yang terjadi, tetapi masyarakat Kampung Melayu
yang terkena pembebasan lahan juga mengalami kerugian berupa digusurnya rumah warga tanpa
nilai ganti rugi yang telah disepakati. Menurut Iswadi selaku tokoh masyarakat setempat,
terdapat kejanggalan dalam proses pembebasan lahan proyek ini, misalnya ada warga yang
terima ganti rugi Rp.20 juta, tapi di kwitansi ditulis Rp.60 juta, ada pula kwitansi yang dibuat
dengan tanda tangan palsu.1 Berdasarkan penelusuran lebih lanjut Penulis, ternyata kasus ini
bukanlah yang pertama bagi Terdakwa, karena berdasarkan penelusuran Penulis didapati bahwa
Terdakwa juga pernah dipenjara selama 5 Tahun karena melakukan korupsi dengan modus yang
serupa di daerah yang berbeda yaitu jalur Cikarang-Manggarai di Dinas Perhubungan DKI
Jakarta.
Berdasarkan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, maka Jaksa Penuntut Umum
menuangkan dakwaannya dalam Surat Dakwaan No. Reg. Perkara PDS : 04/JKT.PST/2015
dengan adanya dugaan perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 3 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1
KUHP.
Persidangan yang digelar pada 23 April 2015 silam, terdapat dua agenda sidang sekaligus
yang diselenggarakan yaitu mendengarkan keterangan Ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut
Umum atas nama Suproni S.E., Ak., M.M (Auditor Ahli Madya dari BPKP Pusat) dan
mendengarkan keterangan Terdakwa. Sidang yang dilaksanakan selama 42 menit tersebut
dihadiri oleh tiga Majelis Hakim, satu orang Panitera, dua Jaksa Penuntut Umum, dua Penasehat
Hukum atas nama Hasyim Nahumarury,S.H., dan Wilvridus Watu S.H dan Terdakwa sendiri.
Secara umum persidangan berjalan dengan sangat baik, hanya saja secara formil ada beberapa
hal yang menjadi fokus utama Penulis, yaitu :

1

CRM, “Korupsi Proyek Double-Double Track Segera disidangkan” http://www.hukumonline.com/berita/
baca/hol16039/korupsi-proyek-idoubledouble-tracki-segera-disidangkan , diakses pada 2 Maret 2015

Page 1

a.Tidak adanya Petugas atau keamanan di ruang persidangan. Padahal sejatinya petugas
memiliki perananan yang sangat penting dalam suatu persidangan, salah satunya adalah menjaga

agar sidang tetap kondusif dan berjalan dengan lancar.2 Tanpa adanya petugas keamanan,
dikhawatirkan ada pihak-pihak yang sengaja ingin mengacaukan jalannya persidangan. Adapun
yang penulis lihat hanyalah dua orang polisi yang berjaga di luar ruang persidangan (dekat lift),
itupun yang dilakukannya bukan menjaga, tapi bersantai-santai dengan merokok dan minum
kopi.
b. Hakim anggota sempat tertidur. Penulis memahami bahwa menjadi profesi sebagai
Hakim sangatlah melelahkan, terlebih lagi persidangan pada satu hari sangatlah banyak
intensitasnya dan dilakukan dijam-jam “ngantuk”. Akan tetapi hal tersebut tidaklah dapat
menjustifikasi kelalaian hakim untuk tidur di ruang persidangan, meskipun hanya 3 menit
menutup mata saja, hal itu dapat mengakibatkan runtuhnya marwah persidangan dan bisa saja
para pihak merasa tidak dihargai karena tidak didengarkan secara seimbang (Audi Alteram
Partem).3 Terlebih lagi Hakim adalah profesi penegak hukum yang digaji oleh Negara, maka
sudah sepatutnya para Hakim menjalankan profesinya sebaik mungkin sebagai bentuk totalitas
pengabdian kepada Negara, dan salah satu bentuknya adalah dengan tidak tidur di ruang
persidangan.
c. Ketika sidang sudah selesai dan Terdakwa sudah keluar dari ruang sidang, anehnya
Terdakwa dipanggil kembali ke ruang persidangan untuk mengurus berkas yang belum
diserahkan ke hadapan Majelis Hakim. Menurut Penulis sejatinya ketika sidang sudah ditutup
oleh Hakim Ketua maka sejak saat itu pula tidak ada lagi segala aktivitas persidangan dalam
bentuk apapun dan jika ada aktivitas lagi maka harus konsisten dilanjutkan dengan agenda

sidang selanjutnya atau setidak-tidaknya sidang tersebut dibuka kembali, maka dari itu sejatinya
Majelis Hakim harus cermat atas segala sesuatu yang berkaitan dengan jalannya persidangan,
mulai dari pokok perkara hingga berkas administrasi. Akan tetapi kenyataanya dalam sidang ini,
ketika sidang sudah ditutup Majelis Hakim memanggil kembali Terdakwa yang sudah ada di luar
ruang persidangan untuk mengurus berkas administrasi.
d. Hakim yang bijak. Penulis sejatinya tertegun dengan kebijaksanaan Hakim Ketua pada
persidangan kali ini, dimana Hakim Ketua benar-benar tidak hanya menjalankan fungsinya
2

Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Tertib Persidangan, PMK Nomor
03/PMK/2003, Ps.1
3
Badriyah Harun, Tata Cara Menghadapi Gugatan, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hlm.32

Page 1

sebagai pencari kebenaran materil semata,4 tetapi juga mencoba memahami kondisi psikologis
Terdakwa. Menurut catatan Penulis, setidaknya Hakim ketua sempat menanyakan kepada
Terdakwa apabila diputus bersalah oleh Majelis Hakim, “Apakah saudara punya anak,dan
sudah berapa umurnya?”, “Apa pekerjaan istri saudara?”, “apakah saudara menyesal dan tidak

mau melakukannya lagi?”. Itu artinya Majelis Hakim mencoba menilai perkara ini dengan
objektif, holistik dan komprehensif dengan tidak hanya menilai perbuatan yang dilakukan oleh
Terdakwa secara kacamata kuda, tetapi juga menanyakan perasaan Terdakwa apabila diputus
bersalah, apalagi Terdakwa memiliki anak dan istri untuk dinafkahi. Meskipun jika dilihat dari
perspektif yuridis pada dasarnya pertanyaan ini tidak boleh diajukan oleh Hakim Ketua
berdasarkan Pasal 158 KUHAP, karena Majelis Hakim menilai kesalahan Terdakwa terlalu
prematur, dan harusnya pembuktian salah atau tidaknya Terdakwa hanya dilakukan melalui
putusan yang dikeluarkan.

Bagian II
DASAR HUKUM
Ketentuan yang mengatur masalah penerapan Asas nonself incrimination pada perkara
Korupsi Iskandar Rasyid yang di splits tertuang dalam beberapa peraturan di Indonesia,
diantaranya yaitu :
1. Tindak Pidana Korupsi dan Pemalsuan yang dilakukan oleh Terdakwa
a. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
b. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
c. Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat.
2. Keterangan Terdakwa

a. Keterangan Terdakwa tidak dibawah sumpah, artinya Terdakwa memiliki hak
ingkar dalam menjawab pertanyaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 175 KUHAP
yang menyatakan bahwa Terdakwa memiliki hak untuk tidak menjawab atau
menolak untuk menjawab pertanyaan, yang kemudian dipertegas melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-IX/2011.

4

Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm.36

Page 1

b. Keterangan Terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP, bahwa keterangan yang
diberikan oleh Terdakwa hanya berlaku bagi dirinya sendiri, itu artinya apabila
ada Terdakwa lain, maka keterangan tersebut tidak boleh dipergunakan.5
c. Nilai kekuatan pembuktian keterangan Terdakwa adalah Bebas. Itu artinya Hakim
tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan
Terdakwa. Hakim bebas untuk menilai kebenaran yamg terkandung didalamnya.6
3. Asas Nonself Incrimination

a. Asas non self-incrimination adalah hak terdakwa untuk tidak mengkriminalkan
atau menjerat dirinya sendiri dalam suatu kasus persidangan. 7 Sejatinya tidak ada
ketentuan hukum positif di Indonesia yang secara spesifik mengatur asas ini, akan
tetapi Pasal 66, 169 dan 175 KUHAP merupakan bentuk pasal yang merujuk
asas nonself incrimination, dimana dinyatakan bahwa Terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian. Secara tegas asas mengenai non-self incrimination ini
diatur dalam Article 14 Poin 3 ICCPR yang menyatakan bahwa terdakwa tidak
boleh dipaksa untuk mengaku bersalah, memiliki arti bahwa seorang tidak dapat
dipaksa bersaksi dan memberikan keterangan bagi pemeriksaan atas dirinya
termasuk hak untuk bebas dari paksaan untuk mengaku bersalah.
b. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1967 No. 60
K/Kr/1967 menegaskan akan hadirnya saksi mahkota bahwa seorang terdakwa
dalam perkara lain, meskipun peristiwanya sama, tetapi keterangannya sebagai
saksi dapat didengar di hadapan persidangan.
4. Berkas perkara yang di splits
a. Splitsing adalah hak jasa dalam melakukan pemisahan berkas perkara yang sama
dan dilakukan oleh Terdakwa yang berbeda sebagaimana diatur dalam Pasal 142
KUHAP.8 Biasanya Jaksa melakukan splitsing apabila suatu tindak pidana
5


M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi 2, Cet 4, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002) , hlm. 321.
6
Ibid., hal. 332
7
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009) , hlm. 298.
8
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia : Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya
(Bandung: Alumni, 2007), hlm 179

Page 1

dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung
melihat dan mendengar tidak pidana tersebut dilakukan sehingga yang paling
mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri.

Bagian III
PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan lebih lanjut Penulis kepada Jaksa Penuntut Umum, bahwa
sebelumnya pada jam 11 siang telah ada persidangan terhadap kasus yang sama atas nama

Yoyok Sulaiman selaku Kuasa Pengguna Anggaran sekaligus Ketua Proyek Double Double
Track (DDT), itu artinya terhadap kasus ini Jaksa Penuntut Umum melakukan pemisahan berkas
perkara antara Yoyok Sulaiman dan Iskandar Rasyid. Konsekuensi logis dari pemisahan berkas
dakwaan adalah menyebabkan Terdakwa Iskandar memiliki dua kedudukan dalam kasus ini,
yaitu sebagai saksi mahkota terhadap persidangan Yoyok Sulaiman dan menjadi Terdakwa
dikasusnya sendiri.
Pada prinsipnya, pemisahan berkas perkara adalah hak jaksa.9 Dalam kasus ini Penulis
setuju dengan Jaksa Penuntut Umum dengan melakukan pemisahan berkas perkara antara Yoyok
Sulaiman dan Iskandar Rasyid. Dengan dipecahnya berkas tersebut, tentunya akan memudahkan
pembuktian pada kasus korupsi yang memiliki sedikit saksi dan bukti. Lagipula secara logika
setiap Terdakwa pasti ingin diringankan hukumannya, konsekuensi logisnya keterangan itu akan
membuat rekannya seolah-olah menjadi lebih bersalah dan hal itu pastinya akan membuat mudah
siapa sebenarnya dalang dari korupsi Double Double Track (DDT), ini. Terlebih lagi kasus ini
identik dengan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 142 KUHAP. Dimana pemecahan berkas
perkara cocok terhadap kasus-kasus yang memiliki ciri yaitu terdapatnya beberapa tindak pidana
yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka.10 Dalam perkara ini diduga banyak tindak pidana
yang dilakukan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama seperti contohnya adalah
dengan memanipulasi data pembebasan tanah, melakukan penggelembungan dana (mark up) dan
membuat dokumen fiktif. Jika ditarik dari perspektif historis, pada zaman kolonial Belanda

9

Mon/Ali, “Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum” http://www.hukumonline.com/berita/baca/
hol18013/isplitsingi-memungkinkan-pelanggaran-azas-hukum , diakses pada 2 Maret 2015
10
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan
Komentar (Bogor: Politeia, 1997), hlm.126.

Page 1

splitsing itu sudah ada dengan tujuan memecah berkas pekara karena kurangnya saksi.11 Jikalau
alasan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum seraya adalah kurangnya saksi, maka menurut
Penulis itu adalah kurang tepat. Hal tersebut dikarenakan, dalam kasus ini terdapat berlimpahnya
saksi dan bukti-bukti seperti kwitansi transaksi keuangan, putusan Mahkamah Agung yang
menyatakan terdakwa bersalah sebelumnya, korban warga Kampung Melayu yang digusur,
laporan audit BPKP, keterangan ahli, dan lain-lain.
Terlepas dari hal-hal diatas, faktanya splitsing memanglah hak Jaksa Penuntut Umum
yang dibenarkan oleh Undang-Undang, akan tetapi dalam penerapannya pemisahan berkas
perkara itu kerap menimbulkan suatu masalah. Salah satunya adalah terlanggarnya asas nonself
incrimination sebagaimana yang terjadi pada perkara dengan nomor 10/Pid.Sus/TPK/2015/PN.
Splitsing mengakibatkan Iskandar Rasyid menjadi memiliki dua kedudukan, yaitu
sebagai saksi mahkota pada kasus Yoyok Sulaiman dan menjadi Terdakwa pada kasusnya
sendiri. Pada kasus Yoyok Sulaiman, Iskandar Rasyid dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum
dengan kapasitasnya sebagai saksi mahkota berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 yang menegaskan bahwa saksi mahkota dapat
dihadirkan ke persidangan. Sebagai saksi mahkota, maka Iskandar Rasyid harus memberikan
keterangannnya dibawah sumpah terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 160 ayat 3
KUHAP. Itu artinya, Iskandar tidak boleh berbohong apabila ditanya oleh Majelis Hakim,
Penasehat Hukum, atau Jaksa Penuntut Umum karena sudah disumpah sebelumnya. Lebih lanjut,
tidak dapat dipungkiri adanya kemungkinan apabila Majelis Hakim atau Penasehat Hukum atau
Jaksa Penuntut Umum menanyakan hal mengenai perbuatan pidana yang dilakukannya sebagai
saksi mahkota, maka saksi mahkota itu harus menjawab secara jujur karena saksi tidak memiliki
hak ingkar. Hal ini tentunya bertentangan dengan nafas KUHAP itu sendiri dimana sejatinya
beban pembuktian berada di tangan Jaksa Penuntut Umum, bukan berada di Terdakwa yang
seolah-olah diselimuti status sebagai saksi mahkota.
Terjadi dilematika, disatu sisi Iskandar Rasyid juga memiliki kapasitas sebagai Terdakwa
dalam kasusnya sendiri. Dimana seorang Terdakwa berdasarkan KUHAP memiliki hak ingkar
berupa membantah keterangan yang tidak benar dan dapat mencabut keterangannya sendiri di
dalam penyidikan.12 Hak ingkar tersebut merupakan konsekuensi logis dengan tidak
11

M.Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP: Pemeriksaan sidang
pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).
12
Mario Kalendesang, “Tinjauan Yuridis Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan,”
Lex Crimen Vol. II/No.6. (Oktober-November 2013), hlm. abstraksi

Page 1

disumpahnya Terdakwa dalam memberikan keterangan di persidangan. Akibat dari dijadikannya
Iskandar sebagai saksi mahkota pada kasus Yoyok Sulaiman, tentunya hal ini mempengaruhi
kondisi psikis Terdakwa karena tidak bebas dalam memberikan keterangan di kasusnya sendiri.
Apalagi, apabila terdapat perbedaan keterangan pada saat menjadi saksi mahkota dan menjadi
Terdakwa, hal ini dapat mengakibatkan Iskandar diancam pidana lagi dengan alasan memberikan
kesaksian palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 174 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP jo 242 KUHP.
Itu artinya dengan dipecahnya berkas perkara oleh Jaksa Penuntut Umum, membuat Iskandar
Rasyid tidak dapat memaksimalkan hak ingkarnya dan tentunya hal ini bertentangan dengan asas
nonself incrimination karena disatu sisi Terdakwa tersandra oleh keterangannya sendiri sebagai
saksi mahkota.
Dalam perkara dengan nomor 10/Pid.Sus/TPK/2015/PN, lebih uniknya lagi Majelis
Hakim melakukan diskresi dan terobosan hukum tanpa adanya landasan hukum dan
yurisprudensi yang jelas dengan cara menawarkan untuk mengadopsi secara utuh keterangan
Iskandar Rasyid dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota kedalam sidang Terdakwa. Jadi
sidang ini hanya untuk memperdalam keterangan Terdakwa, bukan untuk mendengarkan ulang
keterangan Terdakwa. Berikut adalah tawaran dari Majelis Hakim yang telah disepakati oleh
para pihak:
“Ini adalagi tawaran pemikiran hukum terkait dengan penyederhanaan, anda waktu
itu didalam perkara saudara Yoyok telah didengar keterangannya sebagai saksi. -Sudah yang
mulia- Anda masih ingat keterangan yang anda berikan itu semua? –Ya, yang mulia- Kalau
kira-kira kita ambilalih keterangan anda sebagai saksi menjadi keterangan terdakwa
bagaimana, apakah keberatan? –Ya, bisa- Saudara Penasehat Hukum, bagaimana apakah
keberatan apabila keterangan yang pernah ia berikan pada perkara Yoyok sebagai saksi kita
ambilalih keterangannya sebagai Terdakwa dalam perkara ini, namun demikian tentunya
masih ada hal-hal yang perlu dipertajam dan didalami tetap dipersilahkan, bisa? -Ya,yang
mulia-.13

Terobosan hukum ini tentunya menjadi fokus penulis untuk dianalisa lebih mendalam,
karena Penulis belum pernah menemukan diskresi semacam ini dalam literatur maupun di
sidang-sidang sebelumnya. Terhadap hal ini secara singkat penulis menilai terdapat nilai positif
13

Hasil rekaman penulis pada persidangan dengan nomor perkara 10/Pid.Sus/TPK/2015/PN, di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi tanggal 23 April 2015.

Page 1

dan negatif atas terobosan hukum ini. Sisi positifnya adalah menjadikan sidang menjadi lebih
sederhana, sehingga sidang menjadi lebih cepat, dan juga Terdakwa tidak perlu berbelit-belit
untuk mengemukakan keterangannya kembali. Hal ini tentunya menguntungkan Terdakwa,
karena tidak perlu memaparkan kembali keterangannya sebagai Terdakwa karena dikhawatirkan
apabila terjadi perbedaan keterangan antara kapasitasnya sebagai saksi mahkota dan kapasitasnya
sebagai Terdakwa dapat diduga beliau telah memberikan keterangan palsu dan diancam pidana
lagi sebagaimana diatur Pasal 174 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP jo. Pasal 242 KUHP.
Kemudian sisi negatifnya adalah tidak dipenuhinya asas nonself incrimination dan hak
ingkar Terdakwa. Hal itu dikarenakan Terdakwa tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan
keterangannya kembali dan mengingkarinya, karena dianggap sudah dilakukan pada saat
menjadi saksi mahkota. Padahal logikanya status antara saksi mahkota dan Terdakwa itu
berbeda. Dalam posisinya sebagai saksi, maka keterangan yang diberikan hanyalah menyangkut
bagaimana cara agar terangnya perkara Yoyok, sedangkan apabila posisisnya sebagai Terdakwa,
maka keterangan yang diberikannya seharusnya adalah menyangkut bagaimana cara untuk
mengelak dari tuntutan jaksa dengan hak ingkarnya. Rekonstruksi diatas secara nyata
memperlihatkan terlanggarnya asas nonself incrimination, dimana sejatinya terdakwa memiliki
hak untuk tidak mengkriminalkan atau menjerat dirinya sendiri dalam satu kasus persidangan.
Tabrakan antara kedua konsepsi ini (Nonself Incrimination dan Splitsting) tentunya
sangat tidak adil bagi Terdakwa dan membuat nafas dari KUHAP itu sendiri menjadi ternoda,
karena KUHAP memiliki cita-cita mulia untuk melindungi hak setiap warga negara Indonesia
yang tersandung masalah hukum pidana.14
Maka dari itu perlu langkah konkret untuk menyempurnakan penerapan asas
nonselfincrimination tersebut, salah satunya adalah mengakomodir kebutuhan praktikal itu ke
dalam Rancangan KUHAP yang saat ini tengah digodok. Poin-poin kritis dan saran Penulis akan
dituangkan dalam bab selanjutnya.

Bagian IV
PENUTUP
14

Justice Publishing, KUHP dan KUHAP Dilengkapi, Pasal-Pasal penting KUHP Yang Perlu
Diperhatikan & Penjelasan Proses Penanganan Kasus Pidana, (Jakarta : Justice Publishing, 2015) hlm. 8

Page 1

IV.A Kesimpulan
1.

Secara umum persidangan sudah berjalan dengan cukup baik dan hikmat,
akan tetapi masih ada kekurangan yang masih perlu disempurnakan seperti tidak adanya
petugas keamanan, hakim anggota yang tertidur, dan alur perkara yang sedikit berantakan.

2.

Bahwa dengan dipecahnya berkas perkara mengakibatkan Sdr. Iskandar
Rasyid menjadi memiliki dua kedudukan yaitu sebagai saksi mahkota pada perkara Yoyok
Sulaiman dan menjadi Terdakwa dalam kasusnya sendiri.

3.

Bahwa ‘saksi mahkota’ pada esensinya adalah berstatus sebagai terdakwa.
Faktanya sebagai saksi mahkota seseorang tidak memiliki hak ingkar karena telah di bawah
sumpah, sedangkan Terdakwa memiliki hak ingkar karena memberikan keterangannya tidak
di bawah sumpah.

4.

Dengan dipecahnya berkas perkara, hal ini mengakibatkan Terdakwa tidak
dapat menggunakan hak ingkarnya dalam keterangannya sebagai Terdakwa, karena apabila
terdapat perbedaan dengan keterangannya sebagai saksi akan diancam pidana memberikan
keterangan palsu sebagaimana diatur Pasal 242 KUHPidana.

5.

Majelis Hakim dalam kasus ini menuangkan pemikiran hukumnya dengan
melakukan diskresi untuk mengambilalih keterangan Iskandar Rasyid sebagai saksi
mahkota, menjadi keterangannya sebagai Terdakwa.

IV.B. Saran
1. Meminimalisir penggunaan pemisahan berkas perkara (splitsing), karena hal tersebut
merupakan bentuk “kemalasan” dari Jaksa Penuntut Umum untuk menguak kebenaran
materiil dan berpotensi melanggar asas nonself incrimination Terdakwa.
2. Mengatur secara ketat ketentuan mengenai saksi mahkota, dimana seharusnya saksi
mahkota adalah pengecualian untuk tidak di sumpah mengingat statusnya sebagai
Terdakwa dalam kasus yang lain.
3. Diskresi yang dilakukan oleh Majelis Hakim patut dijadikan sebagai yurisprudensi
terhadap kasus-kasus lain yang memiliki masalah serupa.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL DAN KARYA ILMIAH

Page 1

Kalendesang, Mario. “Tinjauan Yuridis Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam
_________Persidangan.” Lex Crimen Vol. II/No.6. (Oktober-November 2013.
BUKU
Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Penegakan Hukum.Jakarta: Diadit Media, 2009.
Harahap, M.Yahya. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP: Pemeriksaan sidang
_________pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi 2, Cet 4.
_________Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Harun, Badriyah. Tata Cara Menghadapi Gugatan.Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009.
Karjadi, M dan R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan
_________Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia, 1997.
Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia : Normatif, Teoritis, Praktik, dan
_________Masalahnya. Bandung: Alumni, 2007.
Syamsuddin, Amir. Integritas Penegak Hukum. Jakarta: Kompas, 2008.
WEBSITE
CRM.“Korupsi
Proyek
Double-Double
Track
Segera
disidangkan”
_________.http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16039/korupsi-proyek-idoubledouble_________tracki-segeradisidangkan. Diakses pada 2 Maret 2015
Mon/Ali.
“Splitsing
Memungkinkan
Pelanggaran
Azas
Hukum”
_________http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18013/isplitsingi-memungkinkan_________pelanggaran-azas-hukum. Diakses pada 2 Maret 2015
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Mahkamah Konstitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Tertib Persidangan. PMK
_________Nomor 03/PMK/2003.
LAMPIRAN FOTO

Page 1