Hubungan Karakteristik Rumah Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

  2.1.1. Definisi Tuberkulosis

  Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobakterium tuberculosis tipe Humanus. Kuman tuberkulosis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982. Jenis kuman tersebut adalah mycobacterium tuberculosis, mycobakterium afrium dan mycobacterium

  bovis. ( Stanford, 1994).

  Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. (Jhon, 2002).

  2.1.2. Etiologi

  Penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium. Genus

  

mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya mycobacterium tuberculosis

  yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2m-4m dan lebar 0,2m–0,5m. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler.

  Kuman ini bersifat obligat aerob dan pertumbuhannya lambat. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu. (Amin, 1989).

  o

  Suhu optimal untuk untuk tumbuh pada 37

  C. Jika dipanaskan pada suhu

  o

  60 C akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar terhadap bahan-bahan kimia dan tahan terhadap pengeringan, sehingga memungkinkan untuk tetap hidup dalam periode yang panjang didalam ruangan- ruangan, selimut dan kain yang ada dikamar tidur. Dinding selnya 60% terdiri dari kompleks lemak seperti mycolic acid yang menyebabkan kuman bersifat tahan asam,

  

cord factor merupakan mikosida yang berhubungan dengan virulansi. Kuman yang

  virulen mempunyai bentuk khas yang disebut serpentine cord, Wax D yang berperan dalam immunogenitas dan phospatides yang berperan dalam proses nekrosis kaseosa.

  Basil tuberkulosis sulit untuk diwarnai tapi sekali diwarnai ia akan mengikat zat warna dengan kuat yang tidak dapat dilepaskan dengan larutan asam alkohol seperti perwarnaan Ziehl Nielsen. Organisme seperti ini di sebut tahan asam. Basil tuberkulosis juga dapat diwarnai dengan pewarnaan fluoresens seperti pewarnaan auramin rhodamin. (Depkes RI, 2002).

  2.1.3. Karakteristik Kuman Tuberkulosis

  Di luar tubuh manusia, kuman Mycobakterium tuberkulosis hidup baik pada lingkungan yang lembab dan tidak tahan terhadap sinar matahari. (Depkes RI 2002).

  Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang lembab, gelap tanpa sinar matahari selama bertahun-tahun. Dan akan mati bila terkena sinar matahari, sabun lisol , karbol, dan panas api. (Atmosukarto 2000).

  2.1.4. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

  Pada penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua penderita tuberkulosis yang menyerang jaringan paru–paru ini merupakan satu–satunya bentuk dari tuberkulosis yang mudah tertular. Tuberkulosis ekstra paru merupakan bentuk penyakit tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain, selain paru–paru seperti pleura, kelenjar limpe, persendian tulang belakang, saluran kencing, susunan syaraf pusat dan pusat. Pada dasarnya penyakit tuberkulosis ini tidak pandang bulu karena kuman ini dapat menyerang semua organ- organ dari tubuh. (Misnadiarly 2006).

  2.1.5. Penularan dan Penyebaran.

  Tuberkulosis ditularkan melalui udara oleh partikel kecil yang berisi kuman tuberkulosis yang disebut “droplet nukleus”. Droplet nukleus yang berukuran 1-5m dapat sampai ke alveoli. Droplet nukleus kecil yang berisi basil tunggal lebih berbahaya daripada sejumlah besar basil didalam partikel yang besar, sebab partikel besar akan cenderung menumpuk dijalan napas daripada sampai ke alveoli sehingga akan dikeluarkan dari paru oleh sistem mukosilier. Batuk merupakan mekanisme yang paling efektif untuk menghasilkan droplet nukleus. Satu kali batuk yang cepat dan kuat akan menghasilkan partikel infeksius sama banyaknya dengan berbicara keras selama lima menit. Penyebaran melalui udara juga dapat disebabkan oleh

  

manuver ekspirasi yang kuat seperti bersin, berteriak, bernyanyi. Satu kali bersin

  dapat menghasilkan 20.000–40.000 droplet, tapi kebanyakan merupakan partikel yang besar sehingga tidak infeksius. Pasien yang batuk lebih dari 48 kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien. Sementara pasien yang batuk kurang dari 12 kali/malam menginfeksi 28% dari kontaknya. Basil tuberkulosis dapat juga memasuki tubuh melalui traktus gastrointestinal ketika minum susu yang mengandung mycobakterium tuberkulosis. Jalan masuk lain kedalam tubuh manusia adalah melalui luka pada kulit atau membran mukosa, tetapi penyebaran dengan cara ini sangat jarang. Jika fokus tuberkulosis telah terbentuk pada satu bagian tubuh maka penyakit dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain melalui pembuluh darah, saluran limfatik, kontak langsung, saluran cerna (sering dari intestinum kembali ke darah melalui duktus torasikus) dan terakhir yang paling sering melalui jalan napas. (Misnadiarly, 2006).

  2.1.6. Patogenesis

  Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated immune

  

response. Sel efektornya adalah makrofag, sedang limfosit (biasanya sel T)

  merupakan immunoresponse cell. Inhalasi partikel besar yang berisi lebih dari tiga basil tuberkulosis tidak akan sampai ke alveoli, partikel akan melekat di dinding bronkus dan akan dikeluarkan oleh sistem mukosiliari, tetapi inhalasi partikel kecil yang berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli.

  Basil tuberkulosis yang menginfeksi paru dalam 6–8 minggu akan menimbulkan gejala karena telah mengaktifasi limfosit T helper CD 4 (cluster

  

diffrentiated ) agar memproduksi interferon gamma guna aktifasi makrofag sehingga

  meningkatkan kemampuan fagositosisnya. Disamping itu juga diproduksi TNF (tumor necrotizing factor) oleh limfosit T dan makrofag dimana TNF berperan dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal.

  Basil tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi dan masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag yang berfungsi untuk memakan dan membunuh basil tersebut. Setelah beberapa hari maka leukosit berkurang dan makrofag jadi dominan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut yang disebut dengan focus primer atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini dapat sembuh dengan atau tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Gabungan terserangnya kelenjar getah bening dengan fokus primer disebut kompleks ghon. Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post primer.

  TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas terutama pada segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah. Terjadinya TB post primer dapat terjadi melalui salah satu dari 3 mekanisme ini yaitu:

  1. Perkembangan langsung dari TB primer

  2. Reaktivasi dari TB primer (endogenous) 3. Reinfeksi dari luar (exogenous reinfection).

  Proliferasi dari basil tuberkulosis didalam nekrosis sentral diikuti dengan perlunakan dan pencairan zat-zat kaseosa yang dapat pecah ke bronkus dan membentuk kavitas. Perdarahan dapat terjadi jika proses kaseosa berlanjut ke pembuluh darah pada dinding kavitas. Penyebaran kaseosa dan bahan-bahan cair kedalam percabangan bronkus akan menyebarkan infeksi ke daerah paru yang lainnya. Rupturnya fokus kaseosa kedalam pembuluh darah akan mengakibatkan terjadinya TB milier.

  Pemberian vaksinasi BCG yang merupakan imunisasi aktif dimana vaksin yang digunakan merupakan kuman yang dilemahkan sehingga tidak dapat menyebabkan penyakit, melainkan masih dapat mengakibatkan imunitas. Individu yang telah diberikan vaksin BCG secara lengkap maka didalam badannya telah terbentuk suatu kekebalan yang dapat melawan infeksi tuberkulosis sehingga walaupun tidak dapat menjamin individu tersebut dari penyakit ini tetapi jika ia terserang tuberkulosis umumnya penyakit tidaklah berat. Infeksi tuberkulosis berkaitan erat dengan imunitas seseorang. Meskipun penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi tetapi ternyata diperlukan juga suatu hereditas tubuh untuk dapat menderitanya. (Achmadi, 2010).

2.1.7. Diagnosis

  Untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis paru perlu dilakukan beberapa pemeriksaan seperti: pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologik dan pemeriksaan laboratorium (mikrobiologik).

  2.1.7.1. Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa

  Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua tiga specimen SPS BTA hasilnya positif.

  Bila hanya 1 yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

  2.1.7.2. Pemeriksaan Klinis

  TB disebut juga the great imitator. Oleh karena gejalanya banyak mirip dengan penyakit lainnya. Pada pemeriksaan klinis dibagi atas pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan jasmani.

1. Gejala Klinis

  Gejala klinis tuberkulosis paru dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu: 1) Gejala respiratorik a) Batuk ; merupakan gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan.

  Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang berlangsung ≥ 3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.

  b) Batuk darah ; darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak- bercak atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat juga terjadi pada bronkiektasis dan tumor paru.

  c) Sesak napas ; dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas.

  d) Nyeri dada ; timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura sudah terlibat.

  2) Gejala sistemik

  a) Demam ; merupakan gejala yang paling sering dijumpai, biasanya timbul pada sore dan malam hari.

  b) Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu makan menurun.

  2. pemeriksaan jasmani Pemeriksaan jasmani sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan jasmani. Suara bising napas abnormal dapat berupa dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Sedangkan limfadenitis yang disebabkan oleh

  

M.tuberculosis dapat menyebabkan pembesaran kelenjar limfe dalam beberapa minggu atau bulan dan selalu disertai nyeri tekan pada nodul yang bersangkutan. Lesi umumnya terletak di sekitar perjalanan vena jugularis, belakang leher ataupun di daerah supra clavicula.

2.1.7.3. Pemeriksaan Radiologik

  Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam- macam pada foto toraks gambaran radiologik yang ditemukan dapat berupa.

  a.

  Bayangan lesi diatas lapangan paru atau segmen apikal lobus bawah b. Bayangan berawan atau berbercak c. Adanya kavitas tunggal atau ganda d. Bayangan bercak milier e. Bayangan efusi pleura umumnya unilateral f. Destroyed lobe sampai destroyed lung g.

  Kalsifikasi h. Schwarte

  Berdasarkan luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut: a. Lesi minimal (minimal lesion)

  Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal

  

junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.

  b. Lesi sedang (moderately advanced lesion): Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses tuberkulosis tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat / tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.

  c. Lesi luas (far advanced): Kelainan lebih luas dari lesi sedang.

2.1.7.4. Pemeriksaan Laboratorium

  1. Pemeriksaan darah rutin: Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Laju endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik.

2. Pemeriksaan bakteriologik:

  Untuk pemeriksaan bakteriologik ini spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan lambung, jaringan baik lymph node atau jaringan reseksi operasi, cairan pleura, cucian lambung, cairan serebrospinalis, pus / aspirasi abses, urine, apusan laring.

  a.

  Pemeriksaan mikroskopik biasa Pada pemeriksaan ini dapat dilihat adanya basil tahan asam. Dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per cc sputum untuk mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen dan pewarnaan Kinyoun- Gabbett. Cara pengambilan sputum tiga kali (3 X) dengan cara;

  1. Spot (sputum saat kunjungan pertama)

  2. Sputum pagi (keesokan harinya)

  3. Spot (pada saat mengantarkan sputum pagi pada hari kedua) b.

  Pemeriksaan mikroskopik fluorescens: Dengan mikroskop fluorescens ini gambaran basil tahan asam yang terlihat lebih besar dan lebih jelas karena daya pandang diperluas dan adanya fluorescens dari zat warna auramin-rhodamin.

  3. Kultur/biakan kuman Pada pemeriksaan ini paling sedikit 10 kuman tuberkulosis yang hidup. Jenis- jenis pemeriksaan kultur sputum ini antara lain: a. Metode konvensional seperti Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh, Middlebrook 7H-10 dan 7H11. b. Metode Radiometrik seperti BACTEC. Dengan teknik ini waktu yang dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi mikrobakterium tuberkulosis menjadi tiga minggu saja.

  Untuk test sensitifitas ditambah 5-7 hari lagi.

2.1.7.5. Immunologi /serologi

  1. Uji Tuberkulin: Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi pemeriksaan ini kurang berarti apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan bermakna jika didapatkan konversi dari uji yang sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau timbul bila. Tes tuberkulin berguna dalam menentukan diagnosis penderita (terutama pada anak-anak yang mempunyai kontak dengan seorang penderita tuberkulosis yang menular), namun penderita tersebut harus diperiksa oleh dokter yang berpengalaman. Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam "Screening TBC ". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Uji tuberkulin dibaca setelah 48-72 jam (saat ini dianjurkan 72 jam) setelah penyuntikan. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan alat tulis, kemudian diukur dengan alat pengukur transparan, diameter transversal indurasi yang terjadi dan dinyatakan hasilnya dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm.

2. ELISA ( Enzyme Linked Immmunosorbent Assay)

  Merupakan tes serologi yang mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Dengan cara ini maka dapat ditentukan kadar antibodi terhadap basil tuberkulosis pada serum penderita.Dari hasil penelitian didapatkan bahwa IgG saja yang memberikan kenaikan diatas normal secara bermakna. Sayangnya uji serologis ini hanya memberikan sensitifitas yang sedang saja (62%).

  Pada penelitian ini untuk menetapkan diagnosis pasien sebagai penderita tuberkulosis paru ditetapkan berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik dan radiologik. Dikatakan menderita tuberkulosis jika didapatkan salah satu dari berikut ini:

  1. Klinis (+), bakteriologik (+), radiologik (+) .

  2. Klinis (+), bakteriologik (-), radiologik (+)

2.1.8. Pengobatan Penyakit TB Paru

2.1.8.1. Tatalaksanaan Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap yaitu :

  1. Tahap Intensif (awal dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadap semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis), terutama Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara tepat pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar TBC Paru BTA Positif (+) menjadi BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan ini.

  2. Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan. Tujuan dari pengobatan pasien TB paru adalah penyembuhan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan resiko penularan. Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada pasien, mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah kuman menjadi resisten dan melindungi kelurga dan masyarakat penderita terhadap infeksi . Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain 1.

  Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.

2. Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH.

  3. Piranizamid, (Z), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel suasana asam

4. Streptomycine (S), bersifat bakterisid 5.

  Etambutol (E), bersifat bakteriotatik.

2.1.8.2. Program Obat Anti Tuberkulosis

  Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO (World

  

Health Organization ) dan IUAT-LD (International Union Againts Tuberculosis and

Lung Disease ) dengan jangka 6 (enam) bulan yaitu :

  1. Kategori I (2HRZA / 4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazanamid (Z) dan

  Etamburol (E), obat diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 (tiga) kali

  Panduan OAT kategori I diberikan untuk : 1.

  Pasien baru TB – Paru BTA Positif (+) 2. Pasien baru TBC – Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang sakit berat.

3. Penyakit paru ekstra berat.

  2. Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari.

  Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu.

  3. Kategori III (2HR2/4H R )

  3

3 Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2 bulan

  diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.

  OAT kategori ini diberikan untuk : 1.

  Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif (+) sakit ringan.

  2. Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudtiva unilateral, Tuberkuilosis kulit, Tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal.

  3. Hasil Pengobatan Hasil pengobatan diklasifikasikan antara lain

  Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow - up) paling sedikit 2 (dua) berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow up sebelumnya.

  2. Pengobatan lengkap Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut Penderita diberi tahu apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.

  3. Pindah Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu

  Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan penderita harus membawa surat pindah / rujukan (TB –09).

  4. Drop Out (DO) Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif.

  5. Gagal Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih dan penderita dengan hasil BTA Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

6. Meninggal Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun.

  (Harun, 2002).

2.1.9. Program Penanggulangan Tuberkulosis

  Dalam menangani masalah tuberkulosis di suatu Negara seperti Indonesia diperlukan program penanggulangan yang terencana baik, dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat dievaluasi dan dapat memberikan hasil yang optimal dalam menurunkan angka kesakitan serta kematian akibat penyakit ini, belum semua negara di dunia memiliki program penanggulangan tuberkulosis yang berskala nasional Tuberkulosis Control Programme (NTP).

2.1.9.1 Berskala Nasional dan Terintegrasi

  Badan Kesehatan Nasional dunia (WHO) telah menggariskan beberapa hal yang patut dilakukan oleh suatu program nasional penanggulanggan tuberkulosis.

  Program ini seyogyanya benar-benar berskala nasional mengingat tuberkulosis biasanya tersebar secara luas di seluruh daerah di suatu negara , dan untuk mendapatkan dampak yang bermakna, maka program tersebut harus dikerjakan dalam cakupan yang luas.

  Selain harus berskala nasional, WHO juga menganjurkan agar program penanggulangan tuberkulosis ini bersifat permanen, menetap, terus-menerus dilakukan dan jangan terputus di tengah jalan. Dalam proses pelaksanaan program maka kasus tuberkulosis baru masih akan tetap muncul, dan karena itu perlu tersedianya pelayanana kesehatan.

  Guna mendapatkan hasil yang optimal, diharapkan agar program penanggulangan tuberkulosis ini berintegrasi dengan program pelayanan kesehatan yang ada di negara itu. Khususnya dalam pelayanan kesehatan primer. Jadi untuk mendapatkan pelayanan bagi penyakit tuberkulosis. Seseorang cukup datang ke Puskesmas setempat.

2.1.9.2. Program 1.

  Imunisasi BCG Penanggulangan tuberkulosis mencakup berbagai kegiatan guna menurunkan jumlah penderita dan kematian akibat penyakit ini. Imunisasi BCG adalah salah satunya mencegah timbulnya tuberkulosis berat yang dapat mematikan. Cakupan imunisasi BCG di berbagai belahan dunia kini telah cukup baik, berkisar antara 80 % sampai 90%. Secara organisatoris, program pemberian imunisasi BCG ini ditangani bersama-sama dengan pemberian immunisasi yang lain, yang tergabung dalam suatu program yang disebut Progran pengembangan Imunisasi/PPI (expanded Programme

  of immunization/EPI) 2.

   Case Finding (Penemuan Kasus)

  Bagian terpenting lainya adalah penemuan penderita. Dengan berbagai upaya perlu dilakukan agar kita dapat menemukan penderita sedini mungkin. Untuk dilakukan diagnosis secara benar, dan dilakukan penyuluhan kesehatan yang luas dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, agar semua perlu tahu perannya dalam membantu upaya penemuan penderita. Setelah ditemukan penderita kemudian dilanjutkan dengan pengobatan. (Aditama, 2000).

2.1.10. Manajemen TBC Berbasis Wilayah

  Manajemen penyakit TBC berbasis wilayah, pada prinsipnya harus memperhatikan 2 kelompok besar kegiatan sekaligus, yang hendaknya dilakukan secara paripurna dan simultan. Dua kegiatan pokok tersebut adalah:

  1. Manajemen kasus Tata laksana kasus TBC secara aktif adalah pencarian kasus yang dilakukan oleh puskesmas, baik dengan penyebaran poster ataupun pelibatan kader desa atau petugas lapangan. Pencarian kasus juga dilakukan oleh organisasi swadaya masyarakat seperti Perkumpulan Pemberantasan TBC (PPTI). Kasus-kasus diperiksa diobati, ditindaklanjuti sampai terbukti sembuh. Beberapa puskesmas mengintgrasi kegiatan pencarian kasus TBC secara aktif ini melalui juru kusta yang di samping mencari kusta juga TBC.

  2. Manajemen faktor risiko.

  Manajemen faktor risiko tidak ada dalam pedoman nasional. Pengobatan atau program penanggulangan TBC sulit dilaksanakan kesinambungannnya atau

  

sustainability nya sulit terjamin tanpa memperhatikan penangggulangan faktor risiko.

  DOTS yang mengendalikan pengobatan pada akhirnya akan mengalami fase hard

  

rock yakni menemui kesulitan dalam penanggulangan. Oleh sebab itu diperlukan timbulnya kejadian penyakit TBC, khususnya disekitar penderita aktif. Keduanya harus dilakukan secara simultan dan didukung oleh surveilance yang baik. (Achmadi, 2010).

2.2. Faktor Resiko Kejadian Tuberkulosis

  Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TBC saling berkaitan satu sama lain.

  Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan kedalam 2 kelompok faktor risiko. Yaitu

2.2.1. Kependudukan 1. Usia

  Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.

2. Jenis kelamin

  Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita tuberkulosis paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita tuberkulosis paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita tuberkulosis paru pada wanita menurun 0,7%. tuberkulosis paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya tuberkulosis paru dimana Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.

3. Penyakit Penyerta

  Umumnya penderita tuberkulosis paru dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa.

  Sementara berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat tuberkulosis paru adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi pemikiran bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan resiko tuberkulosis menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera makan, tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli makanan yang mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita ini mempunyai status gizi yang buruk.

  Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan salah satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah. Prevalensi tuberkulosis paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM dan aktivitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penderita tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi. tuberkulosis diketahui merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan reaksi seropositif.

  Apabila seseorang dengan seropositif tertular kuman ini maka karena kekebalannya rendah, besar sekali kemungkinannya akan langsung menderita tuberkulosis. Hal ini berbeda sekali dengan orang normal atau mereka dengan seronegatif, karena kuman ini yang masuk akan dihambat oleh reaksi imunitas yang ada dalam tubuhnya.

  Disamping itu penyakit tuberkulosis pada mereka dengan seropositif cepat berkembang kearah perburukan. (Kepmen PU no 20/KPRS/1986)

4. Kondisi Sosial ekonomi

  WHO (2003) menyebutkan 90 % penderita TBC di dunia menyerang sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TBC bersifat timbal balik, TBC merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TBC. Kondisi soasial ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk serta perumahan yang tidak sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.

  Menurut perhitungan, rata-rata penderita tuberkulosis kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30 % dari pendapatan rumah tangga. (Achmadi, 2010).

5. Prilaku

  Prilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita tuberkulosis paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.

2.2.2. Lingkungan

1. Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah

  Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan penyakit semakin cepat, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita tuberkulosis dengan BTA positif. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita tuberkulosis paru paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah.

  Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan.

  Di daerah perkotaan (urban) yang lebih padat dari pada di pedesaan.

  Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Ventilasi yang baik juga menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) adalah sekitar 40–70%. Kelembaban yang lebih Dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban juga merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (penyebab penyakit).

  Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh mycobacterium tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap. (Azwar, 2000).

2. Lantai Rumah

  Secara hipotetis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis, melalui kelembaban dalam ruangan, lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis dilingkungan juga sangat mempengaruhi.

3. Ventilasi

  Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10

  % luas lantai rumah. Luas lantai <10% lantai rumah mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrai karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan penyerapan. (Azwar, 2007) Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman tuberkulosis dan kuman lain terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet.

  Menurut Supriyono dalam Achmadi (2010) menghitung di Ciampea risiko untuk terkena tuberkulosis 5,2 kali pada penghuni yang memiliki ventilasi buruk dibanding penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Meski secara skeptical bias saja terdapat bisa karena sebab lain, misalnya kemiskinan.

  4. Pencahayaan

  Rumah sehat memerlukan cahaya cukup, khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan.

  Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Hal ini dibuktikan oleh Robert Koch (1843-1910). Dari hasil penelitiannya Robert Koch menyimpulkan sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari masuk melalui jendela atau genteng kaca. (Azwar, 2007).

  5. Kelembaban

  Menurut Mulyadi dalam Achmadi (2010) meneliti di kota bogor, penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60 % berisiko terkena TBC 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60%.

  Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama.

  Seperti telah dikemukakan kelembaban berhubungan dengan kepadatan penghuni dan ventilasi. Topografi menurut penelitian juga berpengaruh terhadap kelembaban, wilayah lebih tinggi cenderung memiliki kelembaban lebih rendah. (Achmadi, 2010).

6. Ketinggian Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan.

  Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,5 C.

  Ketinggian berkaitan juga dengan kerapatan oksigen. M. tuberculosis sangat

  

aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen dipegunungan akan mempengaruhi

viabilitas kuman TBC (olander, 2003).

2.3. Rumah

  Dalam undang-undang No 1 tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman disebutkan rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana membina keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta merupakan aset bagi pemiliknya.

  Menurut Azwar (2007) rumah berfungsi untuk melepaskan rasa lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung, dan menyimpan barang berharga, dan rumah merupakan status lambang sosial. Rumah yang layak huni harus memenuhi standar kesehatan agar penghuni rumah tersebut dapat terjamin kesehatannya. Menurut Depkes RI 2002 rumah harus memenuhi empat kriteria agar bisa dikatakan sehat yaitu :

  1. Memenuhi kebutuhan fisiologis Berupa pencahayaan, penghawaan, ruang gerak yang cukup, dan terhindar dari kebisingan.

  2. Memenuhi kebutuhan psikologis Antara lain privacy yang cukup dan komunikasi yang sehat antar penghuni rumah.

  3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit Antara lain penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas dari vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi dan terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran.

  4. Memenuhi persyaratan pencegahan kecelakaan Antara lain konstruksi bangunan tidak mudah roboh dan tidak mudah terbakar, posisi garis sempadan jalan dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.

  Menurut dinas perumahan dan permukiman RI tahun 2008 rumah adalah rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

2.3.1. Kriteria Rumah Sehat

  Adapun kriteria rumah sehat yang tercantum dalam Residential Environment dari WHO (1974), antara lain :

  1. Harus dapat melindungi dari hujan, panas, dingin, dan berfungsi sebagai tempat istirahat.

  2. Mempunyai tempat untuk tidur, masak, mandi mencuci, jamban dan kamar mandi.

  3. Dapat melindungi dari bahaya kebisingan dan bebas dari pencemaran.

  4. Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya.

  5. Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi penghuninya dari gempa, keruntuhan dan penyakit menular.

  6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi. Kriteria rumah sehat menurut Winslow, antara lain : 1.

  Dapat memenuhi kebutuhan fisiologis 2. Dapat memenuhi kebutuhan pikologis 3. Dapat menghindari terjadinya kecelakaan 4. Dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit.

  Di Indonesia terdapat kriteria untuk rumah sehat sederhana, yaitu :

  1. Luas tanah antara 60–90 meter persegi

  2. Luas bangunan antara 21–36 meter persegi

  3. Memiliki fasilitas kamar tidur, WC (kamar mandi), dan dapur

  4. Berdinding batu bata dan diplester

  5. Memiliki lantai dari ubin keramik, dan langit–langit dari triplek

  6. Memiliki sumur atau air PAM

  7. Memiliki fasilitas listrik minimal 450 watt 8. Memiliki bak sampah dan saluran air limbah (chandra, 2007).

  Menurut Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM dan PL Tahun 2002 secara umum rumah di katakan sehat apabila memenuhi kriteria :

  1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu

2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antara anggota keluarga dan penghuni rumah.

  3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, dan limbah rumah tangga bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, di samping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

  4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul dari luar maupun dari dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, dan tidak mudah terbakar.

  Selain kriteria di atas faktor– faktor kebutuhan yang perlu di perhatikan berkaitan dengan perumahan adalah : a.

  Kebutuhan Fisiologis 1.

  Suhu Ruangan Suhu ruangan sebaiknya tetap berkisar antara 18–20 C suhu ruangan dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara, suhu benda–benda yang ada di sekitarnya 2.

  Penerangan Rumah harus cukup mendapatkan penerangan pada siang hari maupun malam hari, idealnya penerangan di peroleh dengan bantuan listrik. Setiap ruangan di upayakan mendapat sinar matahari di pagi hari.

  3. Ventilasi udara Pertukaran udara yang cukup membuat hawa ruangan tetap segar (cukup mengandung oksigen). Setiap rumah harus memiliki jendela yang memadai, luas jendela keseluruhan kurang lebih 15% dari luas lantai. Susunan ruangan harus sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu terbuka.

  4. Jumlah Ruangan atau Kamar Jumlah ruangan atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni

  2 yang tinggal di rumah tersebut atau sekitar 5m per orang.

  b.

  Kebutuhan Psikologis

  1. Keadaan rumah dan sekitarnya, harus memperhatikan unsur keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat.

  2. Adanya kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di rumah keluarga tersebut.

  3. Untuk setiap anggota keluarga terutama yang mendekati dewasa harus memiliki ruangan tersendiri sehingga privacinya tidak terganggu.

  4. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, seperti ruangan untuk menerima tamu.

  c.

  Bahaya Kecelakaan atau Kebakaran 1.

  Konstruksi rumah dan bahan – bahan bangunan harus kuat sehingga tidak mudah runtuh.

  2. Memiliki sarana pencegah kecelakaan di sumur, kolam atau tempat lain terutama untuk anak–anak.

  3. Bangunan terbuat dari material yang tidak mudah terbakar.

  4. Memiliki alat pemadam kebakaran terutama yang menggunakan gas.

  5. Lantai kedap air dan tidak licin.

  d.

  Lingkungan 1.

  Memiliki sumber air bersih dan sehat yang tersedia sepanjang tahun.

  2. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah dan pembuangan air limbah yang baik.

  3. Dapat mencegah perkembangbiakan vektor penyebab penyakit.

4. Letak rumah jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal sekitar 5 km dan bebas banjir (Chandra, 2007).

2.3.2.1 Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut

  

Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut :

  1. Bahan bangunan

  a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain : debu total kurang dari 150 µg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m 3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan

  b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.

  2. Komponen dan penataan ruangan a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.

  b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan.

  c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.

  d. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir.

  e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

  f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.

  3. Pencahayaan Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

  4. Kualitas udara

  a. Suhu udara nyaman antara 18–30

  b. Kelembaban udara 40–70 % C

  c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam

  d. Pertukaran udara 5 kaki

  3

  e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam /menit/penghuni

  f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m

  3

  5. Ventilasi .

  Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.

  6. Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.

  7. Penyediaan air a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/ orang/hari b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.

  8. Sarana penyimpanan makanan Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.

  9. Pembuangan Limbah

  a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah.

  b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.

  10. Kepadatan hunian Luas kamar tidur minimal 8 m

  2

  dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. Penyelenggara pembangunan perumahan (pengembang) yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman dapat dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi administrasi sesuai dengan UU No. 4 /1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan UU No. 23 /1992 tentang Kesehatan, serta peraturan pelaksanaannya.

2.4 Kerangka Konsep

   Variabel Independen Variabel Dependen

  Karakteristik Rumah: 1.

  Kepadatan Hunian 2. Ventilasi 3. Jenis Lantai 4.

  Kasus Pencahayaan 5.

  Kelembaban 6.

  Suhu Karakteristik

  Kontrol Responden: 1.

  Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Penghasilan

2.5 Hipotesa Penelitian 1. Ho : tidak ada hubungan kepadatan hunian dengan tuberkulosis paru.

  Ha: ada hubungan kepadatan hunian dengan tuberkulosis paru

  2. Ho : tidak ada hubungan jenis lantai dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan jenis lantai dengan tuberkulosis paru

  3. Ho : tidak ada hubungan ventilasi dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan ventilasi dengan tuberkulosis paru

  4. Ho : tidak ada hubungan pencahayaan dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan pencahayaan dengan tuberkulosis paru

  5. Ho : tidak ada hubungan suhu dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan suhu dengan tuberkulosis paru

  6. Ho : tidak ada hubungan kelembaban dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan kelembaban dengan tuberkulosis paru

  7. Ho : tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan tingkat dengan tuberkulosis paru

  8. Ho : tidak ada hubungan jenis pekerjaan dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan jenis pekerjaan dengan tuberkulosis paru