Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. 2014

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU BASIL TAHAN

ASAM POSITIF DI PUSKESMAS WILAYAH

KECAMATAN SERANG KOTA SERANG

TAHUN 2014

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Faris Muaz

NIM: 1111103000019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

!


(2)

(3)

(4)

(5)

! v!

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang selalu memberikan rahmat-Nya dan segala kemudahan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini dengan judul "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014".Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan para sahabat serta keluarganya. Skripsi ini merupakan persyaratan untuk menyelesaikan program studi pendidikan dokter di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan tersebut ditujukan kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin, SpAnd, dr. M. Djauhari Widjajakusumah, AIF, PFK, Dr. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes, Dra. Farida Hamid, MA selaku Dekan dan Wakil Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggungjawab modul Riset.

5. dr. Mukhtar Ikhsan, SpP(K), MARS selaku Pembimbing I dalam penulisan penyusunan skripsi, yang telah memberikan masukan, waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing saya dalam penelitian ini.

6. dr. Zulhafdy Muchni, SpM selaku Pembimbing II dalam penulisan penyusunan skripsi, yang telah memberikan masukan, waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing saya dalam penelitian ini.


(6)

memberikan ijin dalam melakukan penelitian

10.Seluruh kepala puskesmas di wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Provinsi Banten, yang telah membantu dan memberikan ijin dalam melakukan penelitian

11.Seluruh petugas pemegang program TB Paru di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang provinsi Banten, terima kasih banyak atas bantuannya

12.Seluruh responden yang telah bersedia dan meluangkan waktu untuk pengambilan data

13.Seluruh staf sekretariat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta yang telah membantu

14.Bapak dan Mamah tercinta Toyalis dan Nur'aeni yang selalu memberikan doa yang terus-menerus dipanjatkan, serta pengorbanan yang penuh keikhlasan, ridho yang menjadikan kelancaran, dukungan moril, materil dan motivasi dalam setiap langkah hidup saya.

15.Adik tersayang M. Wildan Fahrurreza dan M. Nurul Robbi, terima kasih untuk doa dan dukungan yang selalu diberikan.

16.Sahabat dan rekan sejawat seperjuangan yang selalu memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini terutama M. Bustomy Chusnul Mubarok sebagai saksi selama peneliti melakukan penelitian.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian. Penulis akan berterima kasih apabila ada saran dan kritik bagi penulis yang sifatnya membangun sehingga akan memperbaiki kualitas skripsi ini.

Jakarta,!!September!2014! !

! Penulis(


(7)

! vii!

ABSTRAK

Faris Muaz. Pendidikan Dokter. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. 2014

Latar Belakang. Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis. Kasus baru TB Paru di Kota Serang pada tahun 2013 ditemukan 572 penderita dengan BTA (+). Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang Mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru BTA (+) di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang tahun 2014, meliputi usia, jenis kelamin, status gizi, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, status imunisasi BCG, merokok, pengetahuan, kepadatan hunian dan pencahayaan hunian. Metode. Menggunakan studi kasus-kontrol, sampel penelitian adalah penderita TB Paru BTA (+) yang berobat di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang pada Agustus-September, dan pasien non-TB sebagai kontrol. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat (distribusi frekuensi), analisis bivariat dengan uji Chi Square, dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil dan Kesimpulan. Dari hasil analisis multivariat, variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian TB Paru BTA+ adalah penghasilan (OR= 6,575), jenis kelamin (OR= 4,772), pekerjaan (OR= 3,272), dan imunisasi BCG (OR= 3,041).


(8)

Positive Pulmonary Tuberculosis In Serang Subdistrict Community Health Centers, Serang City, In 2014. 2014

Background. Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. There were 572 new cases of AFB (+) pulmonary TB in Serang city in 2013. Aim. The purpose was to determine the factors associated with the occurrence of AFB (+) pulmonary TB in Serang Subdistrict Community Health Centers in 2014, which include age, sex, nutritional status, occupation, income, education, BCG immunization, smoking, knowledge, populous household and house lights. Method. This is a case-control study, done within August-September 2014 time periode, among AFB (+) pulmonary TB patients registered in community health center in the subdistrict of Serang, with other non-TB patients as control. The data was collected using questionnaires. Data analysis was performed with univariate analysis (frequency distribution), bivariate analysis with chi-square test, and multivariate analysis with logistic regression. Result and conclusion. Multivariate analysis shows that variables with high impact on AFB (+) pulmonary TB are income (OR = 6.575), sex (OR = 4.772), occupation (OR = 3.272), and BCG immunization (OR = 3.041).


(9)

! ix!

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 2

1.3Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1 Tujuan Umum ... 2

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Hipotesis Penelitian ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Landasan Teori ... 6

2.1.1 Definisi Tuberkulosis ... 6

2.1.2 Gejala Klinis TB Paru ... 6

2.1.3 Penyebab TB Paru ... 7

2.1.4 Patogenesis TB Paru ... 7

2.1.5 Klasifikasi TB Paru ... 8

2.1.6 Diagnosis TB Paru ... 9

2.1.7 Cara Penularan ... 11

2.1.8 Inkubasi ... 11

2.1.9 Program Penanggulangan TB ... 11

2.1.10 Epidemiologi TB Paru ... 12

2.1.11 Faktor Resiko TB Paru ... 12

2.2 Kerangka Teori ... 20

2.3 Kerangka Konsep ... 21

2.4 Perumusan Masalah Khusus ... 21

2.5 Definisi Operasional ... 22

BAB III. METODE PENELITIAN... 25

3.1 Desain Penelitian ... 25

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.3 Populasi dan Sampel ... 25


(10)

3.5 Manajemen Data ... 27

3.5.1 Pengumpulan Data ... 27

3.5.2 Pengolahan Data ... 28

3.5.3 Analisis Data ... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

4.1 Hasil Penelitian ... 31

4.1.1. Hasil Analisis Univariat ... 31

4.1.2. Hasil Analisis Bivariat ... 36

4.1.3. Hasil Analisis Multivariat ... 43

4.2 Pembahasan ... 46

4.3 Aspek Keislaman ... 54

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(11)

! xi!

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Variabel Dependen ... 22

Tabel 2.2 Variabel Independen ... 22

Tabel 4.1 Hasil Analisis Univariat ... 35

Tabel 4.2 Hubungan Umur Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 36

Tabel 4.3 Hubungan Jenis kelamin Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 36

Tabel 4.4 Hubungan Status Gizi Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 37

Tabel 4.5 Hubungan Pekerjaan Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 37

Tabel 4.6 Hubungan Penghasilan Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 38

Tabel 4.7 Hubungan Pendidikan Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 38

Tabel 4.8 Hubungan Imunisasi BCG Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 39

Tabel 4.9 Hubungan Merokok Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 39

Tabel 4.10 Hubungan Pengetahuan Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 40

Tabel 4.11 Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 40

Tabel 4.12 Hubungan Pencahayaan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 41

Tabel 4.13 Resume Analisis Bivariat ... 42

Tabel 4.14 Hasil Seleksi Kandidat Pemodelan Analisis Regresi Logistik ... 43


(12)

Halaman

Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur ... 31

Grafik 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31

Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi ... 32

Grafik 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan ... 32

Grafik 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penghasilan ... 32

Grafik 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan ... 33

Grafik 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Imunisasi BCG ... 33

Grafik 4.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Merokok ... 33

Grafik 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan ... 34

Grafik 4.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian ... 34


(13)

! xiii!

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 2.1 Alur Diagnosis TB Paru ... 9 Bagan 2.2 Kerangka Teori ... 20 Bagan 2.3 Kerangka Konsep ... 21


(14)

APHA = American Public Health Association AFB = Acid-Fast Bacillus

BCG = Bacillus Calmette-Guerin

BTA = Basil Tahan Asam

BTA+ = Basil Tahan Asam Positif

CI = Confidence Interval

DOTS = Direct Observsed Treatment Short-Course

HIV/AIDS = Human Immunodeficiency Virus Acquired Immuno Deficiency Syndrome

KTP = Kartu Tanda Penduduk

MDGs = Millenium Development Goals MDR = Multidrug Resistant

OAT = Obat Anti Tuberkulosis

OR = Odds Ratio

PMO = Pengawas Minum Obat

SD = Sekolah Dasar

SMP = Sekolah Menengah Pertama

SMA = Sekolah Menengah Atas

SPS = Sewaktu Pagi Sewaktu

SPSS = Statistic Product Service Solution

TB = Tuberkulosis

UIN = Universitas Islam Negeri WHO = World Health Organization


(15)

! xv!

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Lembar Informed Consent ... 64

Lampiran 2 Lembar Kuesioner ... 66

Lampiran 4 Lembar Surat Izin Penelitian Dinkes Kota Serang ... 69


(16)

1.1. Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mikobakterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ lain. Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA (+) yang dapat menularkan kepada orang di sekelilingnya terutama yang melakukan kontak lama. Setiap satu penderita BTA (+) akan menularkan pada 10-15 orang pertahun.1

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mikobakterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi di negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian perempuan akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.2

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan keluarganya. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.2

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Jumlah penderita TB Paru di Indonesia secara nasional pada tahun 2010 adalah sebesar 302.861 orang, dimana 183.366 kasus diantaranya adalah menderita BTA positif. Angka ini cenderung mengalami peningkatan dibandingkan dengan jumlah penderita TB paru BTA positif tahun 2008 sebesar 161.741 kasus. Masih tingginya angka penyakit TB Paru di Indonesia di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain diantaranya rendahnya


(17)

2!

!

2

penghasilan, tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan serta rendahnya pengetahuan kesehatan pada masyarakat.3

Di Provinsi Banten, dari hasil data dan informasi diperoleh jumlah penderita TB Paru tahun 2010 sebesar 13.877 kasus, dengan BTA positif sebesar 8.018 kasus. Angka penemuan kasus/Case Detection Rate (CDR) TB paru di Provinsi Banten sebesar 75,2%. Sedangkan di wilayah Kota Serang tahun 2013 kasus BTA (+) baru sebanyak 572 penderita, sedangkan kasus TB paru suspek sebesar 5123 penderita. Di satu puskesmas wilayah Kecamatan Serang saja pada tahun 2013, jumlah penderita TB paru BTA positif kasus baru sebanyak 212 penderita, CDR sebesar 93%, dan kasus kambuh sebanyak 28 pasien.3, 6

Bila dibandingkan dengan puskesmas lain di kota Serang, kasus TB paru di puskesmas wilayah Kecamatan Serang masih tinggi. Hal tersebut menjadi tantangan bagi peneliti untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kasus penyakit TB paru di wilayah tersebut. Dari uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kasus penyakit TB paru di puskesmas wilayah Kecamatan Serang. Hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun langkah-langkah intervensi dan untuk perencanaan penanggulangan TB Paru yang lebih efektif dan efisien di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru BTA positif di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru BTA positif di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.


(18)

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh Umur dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

b. Untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

c. Untuk mengetahui pengaruh status gizi dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

d. Untuk mengetahui pengaruh pekerjaan dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

e. Untuk mengetahui pengaruh penghasilan dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

f. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

g. Untuk mengetahui pengaruh status imunisasi BCG dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

h. Untuk mengetahui pengaruh merokok dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

i. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.

j. Untuk mengetahui pengaruh kepadatan hunian dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.


(19)

4!

!

4

k. Untuk mengetahui pengaruh pencahayaan hunian dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang kota Serang tahun 2014.

1.4. Hipotesis Penelitian

a. Umur produktif lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berUmur non produktif.

b. Jenis kelamin laki-laki lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berjenis kelamin perempuan.

c. Kurang gizi lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang mempunyai gizi cukup. d. Tidak bekerja lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian

penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang bekerja.

e. Berpenghasilan kurang lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berpenghasilan cukup.

f. Berpendidikan rendah lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi.

g. Tidak diimunisasi BCG lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang diimunisasi BCG.

h. Merokok lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang tidak merokok.

i. Berpengetahuan buruk lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berpengetahuan baik.

j. Tinggal di hunian yang padat penghuni lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang tidak tinggal di hunian yang padat penghuni.


(20)

k. Tidak tinggal di hunian dengan pencahayaan matahari yang baik lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang tinggal di hunian dengan pencahayaan matahari yang baik.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Manfaat bagi Dinas Kesehatan

Sebagai bahan informasi dan masukan dalam membuat kebijakan untuk menyusun perencanaan penanggulangan penyakit TB paru.

b. Manfaat bagi perguruan tinggi

# Sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

# Sarana bagi universitas, pimpinan fakultas, staf pengajar, dan mahasiswa untuk menjalin kerja sama.

c. Manfaat bagi peneliti

Sebagai bahan untuk menambah wawasan dalam mengkaji program penanggulangan TB paru beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya yang sampai saat ini masih menjadi masalah. Meskipun faktor yang diteliti sama antara satu peneliti dengan peneliti lainnya, akan tetapi hasil dari penelitian akan berbeda, sehingga dapat memperkaya pengetahuan serta wawasan. Pelaksanaan penelitian ini sebagai sarana belajar dalam meningkatkan kemampuan bidang penelitian, dan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.


(21)

! 6! !

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Definisi Tuberkulosis

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit radang parenkim paru yang menular karena infeksi kuman TB yaitu Mikobakterium tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.2 2.1.2. Gejala Klinis TB Paru

Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis dapat bermacam-macam atau tanpa keluhan sama sekali.

a. Demam

Biasanya subfebris, menyerupai demam influenza tetapi kadang-kadang suhunya 40-41°C. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.7

b. Batuk

Batuk berlangsung 2-3 minggu atau lebih karena adanya iritasi pada bronkus, sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lebih lanjut adanya dahak bercampur darah bahkan sampai batuk darah (hemaptoe) karena terdapat pembuluh darah yang pecah.7

c. Sesak napas

Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.7 d. Nyeri dada

Gejala ini jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila filtrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.7


(22)

e. Malaise

Sering ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun sakit kepala, meriang. Keluar keringat di malam hari tanpa melakukan aktifitas.7

2.1.3. Penyebab TB Paru

TB paru disebabkan oleh kuman Mikobakterium tuberkulosis yang berbentuk batang berukuran ± 0,3–0,6 dan panjang ± 1–4 µ. Mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun.12 Ada beberapa jenis Mikobakterium seperti Mycobacterium africanus, Mycobacterium bovis, mycobacterium kansasii, Mycobacterium avium dan Mycobacterium nenopi. Namun yang penting adalah Mikobakterium tuberkulosis yang menyebabkan penyakit tuberkulosis dan terutama menyerang paru.7

2.1.4. Patogenesis TB Paru

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru. Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah bening di sekitar hilus paru, ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4–6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian beberapa kuman akan menetap sebagai


(23)

8!

!

8

kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit TB.2,7

2.1.5 Klasifikasi TB Paru9

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena # Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).

# Tuberkulosis Extra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelanjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.

b. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopik pada TB Paru.

# Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+), 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan biakan kuman TB Positif, 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

# Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Kriteria diagnosis TB paru BTA negatif harus meliputi: paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif, foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT, ditemukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.


(24)

c. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumya.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

# Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

# Kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, di diagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

# Pengobatan setelah putus berobat (default)

Adalah pengobatan yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

# Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

# Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. # Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan.

2.1.6. Diagnosis TB Paru4

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan


(25)

10!

!

10

dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru:

Bagan 2.1 Alur Diagnosis TB Paru


(26)

2.1.7. Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuklei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.10

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.10

Daya faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dan lamanya menghirup udara tersebut.10

2.1.8. Inkubasi

Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbulnya gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira memakan waktu 3-8 minggu. Resiko menjadi TB paru setelah terinfeksi primer biasanya pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan resiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi.7

2.1.9. Program Penanggulangan TB

Strategi Direct Observed Treatment Short-Course (DOTS) adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam pencegahan penularan TB. Dengan menggunakan strategi DOTS, biaya program penanggulangan TB akan lebih hemat.3

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yaitu:4 a. Komitmen politis


(27)

12!

!

12

c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.

d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

2.1.10.%Epidemiologi Penyakit TB Paru

Indonesia sekarang berada pada peringkat kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya.3

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Detection Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.3

2.1.11. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru

Faktor-faktor yang memungkinkan orang mudah terinfeksi penyakit TB paru ada beberapa karakteristik golongan penduduk yang


(28)

mempunyai risiko mendapat TB paru lebih besar daripada golongan lainnya. Diantaranya adalah faktor umur, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, jenis kelamin, kondisi lingkungan yang tidak sehat, adanya penyakit lain yang menyebabkan daya tahan tubuh rendah, gizi buruk, kontak dengan sumber penularan, pengaruh merokok, asap dapur, asap obat nyamuk dan sebagainya.11

Konsep “trial epidemiology” atau konsep ekologis dari John Gordon menyatakan bahwa terjadinya penyakit karena adanya ketidakseimbangan antara agent (penyebab penyakit), host (pejamu), dan environment (lingkungan).12

a. Faktor Agent (penyebab penyakit)

Faktor agen yaitu semua unsur baik elemen hidup atau mati yang kehadirannya dan atau ketidakhadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Agen diklasifikasikan sebagai agen biologis, kimia, nutrisi, mekanik, dan fisik.12 Untuk khusus TB paru yang menjadi agen adalah kuman Mikobakterium tuberkulosis.

Menurut penelitian, angka prevalensi TB di masyarakat, pengobatan yang relatif lama, terutama yang kontak serumah dengan penderita TB Paru menyebabkan meningkatnya kejadian TB paru.13 Hasil penelitian, menemukan bahwa lama kontak > 3 bulan dengan penderita TB paru dapat meningkatkan kejadian TB paru dalam masyarakat.14

b. Faktor Host (Penjamu)

Faktor pejamu adalah manusia yang mempunyai kemungkinan terpapar oleh agen. Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan penjamu antara lain usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, kebiasaan hidup, status perkawinan, pekerjaan keturunan, nutrisi dan imunitas. Faktor tersebut menjadi penting karena dapat mempengaruhi resiko untuk terpapar, sumber infeksi dan kerentanan serta resistensi dari manusia terhadap suatu penyakit atau infeksi seperti halnya:12


(29)

14!

!

14

# Pendidikan

Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan. Semakin rendah pendidikan maka ilmu pengetahuan di bidang kesehatan semakin berkurang, baik yang menyangkut asupan makanan, penanganan keluarga yang menderita sakit dan usaha-usaha preventif lainnya.15

Tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi pengetahuan di bidang kesehatan, maka secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit TB dan pada akhirnya mempengaruhi tingginya kasus TB yang ada.1

Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita. Pendidikan penderita yang rendah mengakibatkan pengetahuan rendah, sehingga memungkinkan penderita dapat putus dalam pengobatan karena minimnya pengetahuan dari penderita dan ketidakmengertinya pengobatan. Hal ini mengakibatkan penderita tidak dapat teratur dalam program pengobatan yang dijalani. Hampir seluruh penelitian sebelumnya menemukan faktor pendidikan sangat erat kaitannya dengan ketidakteraturan berobat dan minum obat.16

# Pengetahuan

Pengetahuan penderita yang baik tentang penyakit TB paru dan pengobatannya akan meningkatkan keteraturan penderita, dibandingkan dengan penderita yang kurang akan pengetahuan penyakit TB paru dan pengobatannya. Karena itu bimbingan dan pengawasan yang dilakukan oleh PMO akan lebih terarah dan baik. Sehingga akan meningkatkan keteraturan penderita dalam pengobatan tersebut sehingga angka penularan akan menurun.16

Seseorang yang punya pengetahuan yang baik tentang penularan TB paru, akan berupaya untuk mencegah penularannya. Kategori pengetahuan dapat dikelompokkan berdasarkan jawaban


(30)

benar responden. Pengetahuan tinggi jika responden dapat menjawab dengan benar 75%, dan rendah bila < 75%.17

# Pendapatan

Pendapatan akan banyak berpengaruh terhadap perilaku dalam menjaga kesehatan perindividu dan dalam keluarga. Hal ini disebabkan pendapatan mempengaruhi pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam mencari pengobatan, mempengaruhi asupan makanan, mempengaruhi lingkungan tempat tinggal seperti keadaan rumah dan bahkan kondisi pemukiman yang di tempati.15

Sekitar 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada kejadian tuberkulosis paru namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan yang rendah dan kejadian tuberkulosis paru. Lebih lagi, bahwa ada hubungan pengangguran dengan kejadian tuberkulosis.39, 40

# Pekerjaan

Hubungan antara penyakit TB paru erat kaitannya dengan pekerjaan. Secara umum peningkatan angka kematian yang di pengaruhi rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan penyebab tertentu yang didasarkan pada tingkat pekerjaan. Hasil penelitian mengemukakan bahwa sebagian besar penderita TB paru adalah tidak bekerja (53,8%).18 - Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan suatu variabel untuk membedakan presentasi penyakit antara laki-laki dan perempuan. Kadang-kadang ditemukan presentasi laki-laki lebih dari 50% dari jumlah kasus. Pada tahun 2012 WHO melaporkan bahwa di sebagian besar dunia, lebih banyak laki-laki daripada perempuan didiagnosis tuberkulosis. Hal ini didukung dalam data yaitu antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru pada laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada perempuan


(31)

16!

!

16

menurun 0,7%. tuberkulosis paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki-laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya tuberkulosis paru.22

- Status Gizi

Secara umum kekurangan gizi, atau gizi buruk akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun terhadap serangan penyakit. Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak.18

Menurut Misnardiarly dalam Toyalis menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan angka kesakitan/kejadian TB paru, terutama TB paru pertama sakit.27 - Imunisasi BCG

Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis, bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p= 0,003), dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin. Walaupun imunisasi BCG tidak mengegah infeksi tuberkulosis namun dapat mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier.34

Daya cegah faksin BCG terhadap Tuberkulosis tidak tetap.8 Hasil penelitian menunjukan bahwa efek pencegahan BCG bervariasi antara 0%-80% (WHO, 1999). 27

- Penyakit HIV/ AIDS

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS. HIV merupakan faktor resiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV menyebabkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler, sehingga bila terjadi infeksi penyerta (oportunitis), seperti tuberkulosis, maka yang akan menjadi sakit parah bahkan bisa menyebabkan kematian.35


(32)

- Kebiasaan Merokok

Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap isinya. Definisi perokok menurut WHO dalam depkes tahun 2004 adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan selama hidupnya.33

Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang bersifat kronis dan obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema. Merokok juga terkait dengan influenza dan radang paru lainnya. Pada penderita asma, merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih menyempitkan saluran pernapasan. Efek merugikan tersebut mencakup meningkatnya kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak.37

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru, penyakit jantung koroner, bronkitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.21

- Umur

Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis penderita TB paru. Pada saat ini angka kejadian TB paru mulai bergerak kearah umur tua karena kepasrahan mereka terhadap penyakit yang diderita.19

Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insiden TB secara perlahan bergerak kearah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun). Meskipun saat ini sebagian besar kasus terjadi pada kelompok umur 15-54 Tahun.19

c. Faktor lingkungan36

Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis maupun sosial yang berada di sekitar manusia serta pengaruh-pengaruh luar


(33)

18!

!

18

yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia. Unsur-unsur lingkungan adalah sebagai berikut:36

# Lingkungan fisik

Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa. Misalnya air, tanah, kelembaban udara, suhu, angin, rumah dan benda mati lainnya. # Lingkungan Biologis

Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme. # Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang mengatur kehidupan manusia dan usaha-usahanya untuk mempertahankan kehidupan, seperti pendidikan pada tiap individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjan, jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.

# Lingkungan Rumah

Menurut American Public Health Assosiaton (APHA), lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

− Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar konstruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu banyak.

− Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10% dari jumlah luas lantai.

− Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang cukup untuk proses pergantian udara.


(34)

− Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.

− Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang makan, ruang tidur dll.

− Jumlah kamar tidur dan pengaturanya disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang dari lima tahun minimal 4,5m3, artinya dalam satu ruangan dalam suatu ruangan anak yang berumur lima tahun kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4,5 m3 (1,5x1x3m3

) dan atas lima tahun menggunakan ruangan 9 m3 (3x1x3m3

).28

Menurut Keputusan Menteri tentang Pemukiman dan Prasarana tahun 2002 bahwa kebutuhan ruang perorang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2

dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,8 m. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.28

Hasil penelitian Rusnoto, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru (OR=5,983).38


(35)

20!

!

20

2.2. Kerangka Teori

Penghasilan rendah Pendidikan rendah Asupan ! Tidak bekerja Gizi ! Pengetahuan bidang kesehatan ! Kepedulian terhadap kesehatan ! Mempengaruhi kondisi rumah Rumah padat penghuni, lembah, gelap, kurang ventilasi Penyakit Kronis Merokok Tidak Imunisasi BCG Konsentrasi kuman TB di

rumah "

Daya tahan tubuh !

Kekebalan terhadap bakteri

TB !

Pertahanan saluran napas !

Banyak pada laki-laki Lama kontak Resiko TB menular " Terinfeksi bakteri TB TB Paru


(36)

2.3. Kerangka Konsep

Pada kerangka teori serta tinjauan kepustakaan, tidak semua variabel untuk diteliti karena keterbatasan penulis, baik dari segi waktu atau tenaga untuk penelitian ini. Penulis hanya akan meneliti sebagian faktor yang berhubungan dengan tuberkulosis paru BTA positif.

Selanjutnya disusun kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

2.4. Perumusan Masalah Penelitian Yang Khusus

Bagaimana hubungan antara peningkatan angka kejadian penyakit TB dengan, umur, jenis kelamin, status imunisasi BCG, status gizi, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, pendapatan, kepadatan hunian, pencahayaan hunian. Sedangkan kelembaban tidak bisa diteliti karena menggunakan alat pengukur, lama kontak juga tidak masuk dalam variabel karena pasien seringkali tidak menyadari adanya kontak dengan penderita TB Paru dan ventilasi juga tidak masuk dalam variabel karena keterbatasan waktu dan tenaga untuk memeriksa seluruh ventilasi rumah pasien dan penafsiran pasien yang beragam mengenai ventilasi rumah yang baik jika hanya dilakukan dengan

Faktor individu:

# Umur

# Pendidikan # Pekerjaan # Pengetahuan # Pendapatan # Status gizi

# Status imunisasi BCG # Pendidikan

# Jenis kelamin # Merokok

Faktor Lingkungan: # Kepadatan hunian # Pencahayaan

TB Paru BTA+


(37)

22!

!

22

wawancara, konsentrasi kuman juga tidak bisa diteliti karena tidak bisa mengukur bakteri Mikobakterium tuberkulosis dengan kontak. Penyakit HIV/AIDS tidak masuk variable karena puskesmas belum melakukan pemeriksaan HIV bagi penderita TB. Penyakit DM juga tidak masuk variabel karena keterbatasan dana dan waktu untuk mendiagnosis DM. Dan dukungan keluarga tidak dimasukan, karena pasti semua keluarga akan mendukung pengobatan.

2.5 . Definisi Operasional

Tabel 2.1 Variabel Dependen yaitu kejadian penyakit TB Paru BTA (+). No Variabel Difinisi Operasional Skala Kategori

1 Kejadian penyakit TB Paru BTA+

Penemuan kasus TB paru BTA+ yang di dapat berdasarkan informasi petugas program TB tanpa melihat riwayat pengobatan sebelumnya.

Nominal 0 = penderita TB BTA+ 1 = pasien umum

yang bukan penderita TB BTA+

Tabel 2.2 Variabel Independen yaitu faktor resiko yang meliputi : No Variabel Difinisi Operasional Skala Hasil 1 Pendidikan Jenjang sekolah yang

pernah diraih dan mendapatkan ijazah.

Ordinal 0 = rendah (SD dan SMP)

1 = Tinggi (SMA ke atas)29

2 Pengetahuan Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain, pencegahan,

penyebab, penularan dan pengobatan TB

Ordinal 0 = buruk/ Kurang (bila jawaban benar ≤ 75%)

1 = Baik (bila jawaban benar > 75%)14, 17


(38)

*sambungan yang dinilai dengan 11 pertanyaan 3 Pekerjaan Status sosial yang

sesuai dengan KTP

Nominal 0 = Tidak Bekerja 1 = Bekerja 4 Pendapatan Tingkat "penghasilan

keluarga diukur dari pengeluaran rata-rata perbulan dalam satuan rupiah

" Ordinal 0 = rendah (bila ≤ 1,5 Juta/ bulan) 1 = tinggi (bila > 1,5

Juta/bulan)30, 31

5 Usia Lama hari hidup

respon yang

dihitung dari tanggal lahir dengan

pembulatan

Ordinal 0 = Usia produktif (15-58 tahun)

1 = Usia non produktif (< 15 tahun > 58 tahun) 26

6 Imunisasi BCG

Adanya skor dapat dilihat pada lengan atas

Nominal 0 = tidak diimunisasi 1 = diimunisasi.

7 Status Gizi Penilaian indeks masa tubuh yang diukur dengan rumus BB/TB

Ordinal 0 = IMT < 18,5 (kurang) 1 = IMT ≥ 18,5

(cukup)32 8 Kepadatan

hunian

Perbandingan luas rumah dengan jumlah orang yang tinggal di rumah tersebut

Ordinal 0 = padat (bila ≤ 10 m2

/ 1 orang) 1 = tidak padat (bila >

10 m2/ 1 orang)28

9 Merokok Responden memiliki kebiasaan merokok lebih dari 6 bulan

Nominal 0 = Merokok, lebih dari 6 bulan 1 = Tidak Merokok

/merokok kurang dari 6 bulan33


(39)

24!

!

24

10 Pencahayaan hunian

sinar matahari masuk kerumah yang ditandai dengan adanya terang" pada siang hari di dalam rumah

Nominal 0 = Gelap, bila memerlukan alat penerangan untuk membaca pada siang hari di dalam rumah 1 = Terang, bila Tidak memerlukan alat penerangan untuk membaca pada siang hari di dalam rumah27 11 Jenis

Kelamin

Perbedaan jenis kelamin secara biologis

Nominal 0 = laki-laki 1"= perempuan


(40)

3.1. Desain Penelitian

Penelitian menggunakan studi observasional dengan jenis desain penelitian studi kasus kontrol (case control study). Kasus adalah seseorang dengan gejala klinis TB dan hasil laboratorium BTA+ yang sudah didiagnosis oleh Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang pada Januari 2014 hingga Agustus 2014, sedangkan kontrol adalah seseorang yang datang ke puskesmas saat peneliti mengambil data pada kasus dengan jumlah dan waktu yang sama di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang selama 1 bulan, yaitu pada bulan Agustus hingga September 2014. Peneliti mengambil data di 5 puskesmas di wilayah Kecamatan Serang Kota Serang karena disana terdapat banyak masyarakat yang menderita TB Paru. Selain itu Kota Serang merupakan ibukota Provinsi Banten yang merupakan representasi daerah lain di Provinsi Banten sehingga sangat terjangkau untuk diteliti oleh peneliti karena peneliti sudah mengenal dan beberapa kali melakukan observasi awal riset. Adapun puskesmas tempat penelitian adalah Puskesmas Serang Kota, Puskesmas Rau, Puskesmas Unyur, Puskesmas Ciracas dan Puskesmas Singandaru.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian adalah seluruh pasien yang datang berobat di wilayah Puskesmas Kecamatan Serang Kota Serang. Sedangkan sampel kasus dalam penelitian ini adalah semua penderita TB BTA+ yang berobat di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang pada September 2014 mundur ke belakang, dan sebagai kontrol adalah pasien umum yang berobat di pada tempat, bulan, dan tahun yang sama.

Besar sampel minimal yang diperlukan pada kasus kontrol dihitung dengan menggunakan rumus dalam buku Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.2


(41)

26!

!

26

Keterangan:

n= besar minimal sampel masing-masing kelompok

α= derajat kepercayaan, probabilitas untuk membuat kesalahan tipe I (0,05) dan Z1-α= 1,96

β= probabilitas pembuat kesalahan Tipe II (0,10), dan Z1-β = 0,842, Power= 80%

P1= antisipasi peluang dengan kelompok terekspos pada kasus P2= antisipasi peluang dengan kelompok terekspos pada kontrol OR= perkiraan odds ratio yang diharapkan = 2,0

P= P1+P2/2 Q= 1-P

Dari penelitian sebelumnya diambil variabel status gizi terhadap TB Paru dimana diketahui nilai OR = 2 dan P2 = 0,46,

14 maka diperoleh P1 sebagai berikut:

{Z

1'α"

√2

PQ]!+!Z!

1'β

P

1

Q

1

+P

2

Q

2

}

2!

(P

1

'P

2

)

2!

n!=!

P1=

!

P1=

!

(OR)!P2!+!(1'P2)! (OR)!P2!

2!x!0,46! 0,92!+!(1'0,46)!

P1=

!

0,92! 1,46!

P1=

!

0,63!

n!=!

{1,96√[2(0,37)(1'0,46)]!+!0,842√[0,63(1'0,63)+0,46(1'0,46)]}2! (0,63!'!0,46)2!


(42)

Jumlah sampel dibulatkan menjadi 120. Jadi jumlah sampel kasus sebanyak 120, dan sampel untuk kontrol 120.

3.4. Cara Kerja Penelitian

3.4.1. Teknik Pengambilan Sampel

Jenis data primer yang dikumpulkan adalah umur, jenis kelamin, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status imunisasi BCG, status gizi, kepadatan hunian, pencahayaan hunian, diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner. Sedangkan untuk variabel TB menggunakan data sekunder yaitu informasi dari petugas pemegang program TB di Puskesmas tempat penelitian.

Pengambilan sampel kasus dan kontrol dilakukan di puskesmas wilayah Kecamatan Serang juga yang bulan dan tahunnya sama dengan kasus yaitu sebanyak 120 orang. Perbandingan jumlah sampel kasus dan kontrol adalah 1:1.

3.4.2. Kriteria Sampel a. Krieria Inklusi

' Pasien TB Paru BTA positif di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tanpa melihat riwayat pengobatan sebelumnya.

' Bersedia menjadi subyek untuk penelitian ini dan menandatangani informed consent.

' Saat diteliti, subjek sedang dalam keadaan sadar penuh. b. Kriteria Eksklusi

' Subjek membatalkan partisipasi dalam penelitian. ' Subjek tidak mengisi kuisioner dengan benar.

3.5. Manajemen Data

3.5.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data mencari faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB Paru BTA (+) di wilayah Kecamatan Serang Kota Serang dengan cara kuesioner. Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diberikan penjelasan singkat mengenai


(43)

28!

!

28

penelitian. Setelah diberi penjelasan dan sesudah mengisi informed consent, peneliti akan memberikan kuesioner (terlampir) kepada responden untuk diisi. Proses pengumpulan kuesioner berlangsung selama 2-4 minggu. Proses pengumpulan data dibantu oleh petugas program TB di setiap puskesmas di wilayah Kecamatan Serang Kota Serang.

3.5.2. Pengolahan Data

Bagian rangkaian penelitian setelah pengumpulan data kemudian diolah sehingga menghasilkan informasi:25

' Editing Data, Meneliti setiap pertanyaan yang telah terisi: apakah lengkap, jelas, relevan dan konsisten. Bila ada jawaban yang kosong, petugas pengumpul data bertanggung jawab untuk melengkapinya.

' Coding, Merubah data bentuk huruf menjadi angka atau bilangan, gunanya untuk mempermudah saat analisis dan entry data.

' Processing, Setelah selesai melakukan editing dan pengkodean, data diproses dengan cara memasukkan data dari kuisioner ke paket program komputer, program SPSS versi 22 untuk sistem operasi Mac.

' Cleaning Data, Pembersihan data untuk mencegah kesalahan entry data yang mungkin terjadi.

3.5.3. Analisis Data

Proses pengumpulan dan pengolahan data telah dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan analisis dengan tahapan sebagai berikut: ' Analisis Univariat

Analisis univarat untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti, bentuk tergantung jenis data, untuk data kategorik digunakan distribusi frekuensi.25

' Analisis Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.25

Untuk mengetahui hal itu uji yang digunakan adalah uji kai kuadrat (chi


(44)

square) dan perhitungan odd ratio (OR) sehingga dapat diketahui ada dan tidak hubungan yang bermakna secara statistik dengan derajat kemaknaan 0,05 atau α = 5 %.23

Adapun rumus dari uji chi square ini adalah:

X2

=

Df = (b – 1) (k – 1)

Dimana : X2

= Kai Kuadrat/chi square

O (Observed) = Nilai observasi

E (Expected) = Nilai harapan

Df = Degree of Freedom / derajat kebebasan

b = Jumlah baris

k = Jumlah kolom.

Hasil akhir uji statistik adalah untuk mengetahui apakah keputusan uji Ho ditolak atau Ho gagal ditolak. Dengan ketentuan apabila p value < α (0,05), Maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang bermakna, jika p value > α, maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antar variabel.23

' Analisis Multivariat

Analisis yang berhubungan antara beberapa variabel dengan satu variabel dependen. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda untuk mengetahui seberapa besar hubungan keeratan antara variabel independen dengan variabel dependen setelah mengontrol variabel lain yang bermakna. Selain itu regresi logistik berganda ini bertujuan untuk menemukan model regresi yang paling sesuai dengan menggambarkan hubungan antara

(

)

OEE


(45)

30!

!

30

variabel independen dengan variabel dependen yang dikontrol variabel lain.25

Tahap-tahapnya sebagai berikut:25

a. Melakukan seleksi kandidat, dalam tahap ini akan diseleksi variabel independen manakah yang layak masuk model uji multivariat, dimana yang layak adalah yang memiliki signifikansi (sig.) atau p value < 0,25.

b. Memasukkan variabel yang layak masuk model dengan memiliki signifikansi < 0,25.

c. Selanjutnya adalah memeriksa adanya interaksi variabel ke dalam model lalu lihat hasil signifikansi, dan keluarkan variabel independen dengan angka signifikansi tertinggi. Kemudian ulangi analisis multivariat dan hitung perubahan Odds Ratio (OR). Jika perubahan OR <10% maka variabel independen dengan angka signifikansi tertinggi layak dikeluarkan dari model, dan jika perubahan OR >10% maka variabel independen dengan angka signifikansi tertinggi dimasukkan kembali ke dalam pemodelan.

d. Ulangi terus langkah poin c hingga model akhir multivariat. Yang tersisa dalam model berarti terbukti sebagai variabel independen yang secara bermakna atau signifikan mempengaruhi variabel dependen.

e. Variabel dengan Odds Ratio terbesar dalam model akhir multivariat menjadi variabel yang paling dominan mempengaruhi variabel dependen.

f. Selain cara di atas, dapat digunakan metode lain dalam regresi logistik berganda yaitu metode backward wald dengan presisi hasil yang lebih tinggi.


(46)

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Hasil Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti, meliputi variabel penderita TB paru BTA+, umur, jenis kelamin, status gizi, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, imunisasi BCG, merokok, pengetahuan, kepadatan hunian, dan pencahayaan hunian.

Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur


(47)

32!

!

32

Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi

Grafik 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan


(48)

Grafik 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan

Grafik 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Imunisasi BCG


(49)

34!

!

34

Grafik 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan

Grafik 4.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian


(50)

Tabel 4.1 Hasil Analisis Univariat

No Variabel Kategori Frekuensi

n= 240 (%) 1 Penderita

TB Paru BTA+

Ya 120 50,0

Tidak 120 50,0

2 Umur Produktif 208 86,7 Non produktif 32 13,3

3 Jenis Kelamin Laki-laki 140 58,3 Perempuan 100 41,7

4 Status Gizi Kurang 80 33,3

Cukup 160 66,7

5 Pekerjaan Tidak bekerja 112 46,7 Bekerja 128 53,3

6 Penghasilan Rendah 159 66,3

Cukup 81 33,8

7 Pendidikan Rendah 92 38,3

Tinggi 148 61,7

8 Imunisasi BCG Ya 69 28,7

Tidak 171 71,3

9 Kebiasaan Merokok Ya 70 29,2

Tidak 170 70,8

10 Pengetahuan Kurang 86 35,8

Baik 154 64,2

11 Kepadatan Hunian Padat 52 21,7 Tidak Padat 188 78,3

12 Pencahayaan Hunian

Gelap 33 13,8

Terang 207 86,3

Hasil resume analisis univariat didapatkan 120 penderita TB Paru BTA positif (kasus) dan 120 orang tidak menderita TB Paru (kontrol). Diantara sebelas variabel menunjukkan bahwa ada 2 variabel yang homogen yaitu variabel umur dan pencahayaan rumah karena berada di bawah 20% sedangkan variabel lainnya tidak homogen (heterogen).


(51)

36!

!

36

4.1.2 Hasil Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel terikat yaitu penderita TB Paru BTA+, dengan variabel bebas yaitu variabel umur, jenis kelamin, status gizi, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, imunisasi BCG, kebiasaan merokok, pengetahuan, kepadatan hunian, dan pencahayaan hunian. Hasil analisis bivariat akan disajikan dalam beberapa tabel berikut.

4.1.2.1. Hubungan Umur Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.2 Hubungan Umur Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014

Umur TB Paru BTA + Total p value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Produktif 108 51,9 100 48,1 208 100,0 0,092 1,800 (0,837-3,871) Non produktif 12 37,5 20 62,5 32 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,092 artinya p > alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan penderita TB paru BTA+.

4.1.2.2. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.3 Hubungan Jenis kelamin Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Jenis Kelamin TB Paru BTA + Total p

value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Laki-laki 76 54,3 64 45,7 140 100,0 0,075 1,511 (0,902-2,533) Perempuan 44 44,0 56 56,0 100 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,075 artinya p > alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan penderita TB paru BTA+.


(52)

4.1.2.3 Hubungan Status Gizi Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.4 Hubungan Status Gizi Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Status Gizi TB Paru BTA + Total p

value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Kurang 52 65,0 28 35,0 80 100,0 0,001 2,513 (1,441-4,382) Cukup 68 42,5 92 57,5 160 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,001 artinya p < alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 2,513 (CI= 1,441-4,382), artinya responden yang status gizinya kurang, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 2,5 kali dibandingkan dengan responden yang status gizinya baik.

4.1.2.4. Hubungan Pekerjaan Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.5 Hubungan Pekerjaan Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Pekerjaan TB Paru BTA + Total p

value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Tidak Bekerja 75 67,0 37 33,0 112 100,0 0,000 3,739 (2,189-6,386) Bekerja 45 35,2 83 64,8 128 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,000 artinya p < alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 3,739 (CI= 2,189-6,386), artinya responden yang tidak bekerja, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 3,7 kali dibandingkan dengan responden yang bekerja.


(53)

38!

!

38

4.1.2.5. Hubungan Penghasilan Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.6 Hubungan Penghasilan Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Penghasilan TB Paru BTA + Total p

value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Rendah 104 65,4 55 34,6 159 100,0 0,000 7,682 (4,062-14,527) Cukup 16 19,8 65 80,2 81 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,000 artinya p < alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara penghasilan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 7,682 (CI= 4,062-14,527), artinya responden yang penghasilannya rendah, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 7,6 kali dibandingkan dengan responden yang penghasilannya cukup.

4.1.2.6. Hubungan Pendidikan Dengan Penderita TB Paru BTA +

Tabel 4.7 Hubungan Pendidikan Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Pendidikan TB Paru BTA + Total p

value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Rendah 55 59,8 37 40,2 92 100,0 0,012 1,898 (1,119-3,219) Tinggi 65 43,9 83 56,1 148 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,012 artinya p < alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 1,898 (CI= 1,119-3,219), artinya responden yang pendidikannya rendah, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan responden yang pendidikannya tinggi.


(54)

4.1.2.7. Hubungan Imunisasi BCG Dengan Penderita TB Paru BTA +

Tabel 4.8 Hubungan Imunisasi BCG Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Imunisasi BCG TB Paru BTA + Total p

value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Tidak 50 72,5 19 27,5 69 100,0 0,000 3,797 (2,063-6,987) Ya 70 40,9 101 59,1 171 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,000 artinya p < alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara imunisasi BCG dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 3,797 (CI= 2,063-6,987), artinya responden yang tidak diimunisasi BCG, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 3,7 kali dibandingkan dengan responden yang diimunisasi BCG.

4.1.2.8. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.9 Hubungan Merokok Dengan Penderita TB Paru BTA+ di

Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Merokok TB Paru BTA + Total p

value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Ya 39 55,7 31 44,3 67 100,0 0,160 1,382 (0,790-2.419) Tidak 81 47,6 89 52,4 173 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,160 artinya p > alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 1,382 (CI= 0,790-2,419), artinya responden yang merokok, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 1,3 kali dibandingkan dengan responden yang tidak merokok.


(55)

40!

!

40

4.1.2.9. Hubungan Pengetahuan Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.10 Hubungan Pengetahuan Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Pengetahuan TB Paru BTA + Total p

value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Kurang 35 40,7 51 59,3 86 100,0 0,022 0,557 (0,326-0,951) Baik 85 55,2 69 44,8 154 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 00 100,

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,022 artinya p < alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara Pengetahuan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 0,557 (CI= 0,326-0,951), artinya responden yang pengetahuannya kurang, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 0,5 kali dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik.

4.1.2.10. Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.11 Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+ di WilayahPuskesmas Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 Kepadatan

Hunian

TB Paru BTA + Total p value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Padat 24 46,2 28 53,8 52 100,0 0,319 0,821 (0,444-1,521) Tidak Padat 96 51,1 92 48,9 188 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,638 artinya p > alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penderita TB paru BTA+.


(56)

4.1.2.11. Hubungan Pencahayaan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+

Tabel 4.12 Hubungan Pencahayaan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014

Pencahayaan Hunian

TB Paru BTA + Total p value

OR (95% CI) Kasus Kontrol n %

n % n %

Gelap 25 75,8 8 24,2 33 100,0 0,001 3,684 (1,588-8,549) Terang 95 45,9 112 54,1 207 100,0

Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0

Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,003 artinya p < alpha (0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan hunian dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 3,684 (CI= 1,588-8,549), artinya responden yang pencahayaan huniannya gelap, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 3,6 kali dibandingkan dengan responden yang pencahayaan huniannya terang.


(57)

42!

!

42

4.1.2.12. Resume Hasil Analisis Bivariat

Tabel 4.13 Resume Analisis Bivariat

No Variabel P value OR Kesimpulan 1 Umur 0,183 1,800 Tidak ada hubungan

bermakna 2 Jenis Kelamin 0,075 1,511 Tidak ada hubungan

bermakna 3 Status Gizi 0,001 2,513 Ada hubungan

bermakna 4 Pekerjaan 0,000 3,739 Ada hubungan

bermakna 5 Penghasilan 0,000 7,682 Ada hubungan

bermakna 6 Pendidikan 0,012 1,898 Ada hubungan

bermakna 7 Imunisasi BCG 0,000 3,797 Ada hubungan

bermakna 8 Merokok 0,160 1,382 Tidak ada hubungan

bermakna 9 Pengetahuan 0,022 0,557 Ada hubungan

bermakna 10 Kepadatan Hunian 0,319 0,821 Tidak ada hubungan

bermakna 11 Pencahayaan Hunian 0,001 3,684 Ada hubungan

bermakna

Dari sebelas variabel yang diteliti, ada sembilan faktor yang memiliki resiko secara statistik dengan kejadian TB Paru BTA+ di kota Serang yaitu status gizi, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, imunisasi BCG, Merokok, pengetahuan, dan pencahayaan hunian. Dan ada empat faktor yang tidak memiliki hubungan bermakna yaitu umur, jenis kelamin, merokok, dan kepadatan hunian.

Nilai crude OR yang diperoleh dari hasil analisis bivariat tidaklah murni sebagai faktor resiko, namun masih ada pengaruh dari variabel


(58)

4.1.3. Hasil Analisis Multivariat

Setelah dilakukan analisis bivariat, selanjutnya dilakukan analisis multivariat yang bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen yang paling dominan dengan variabel dependen.

Tabel 4.14 Hasil Seleksi Kandidat Pemodelan Analisis Regresi Logistik No Subvariabel P value Keterangan

1 Umur 0,187 Kandidat

2 Jenis Kelamin 0,075 Kandidat 3 Status Gizi 0,001 Kandidat 4 Pekerjaan 0,000 Kandidat 5 Penghasilan 0,000 Kandidat 6 Pendidikan 0,012 Kandidat 7 Imunisasi BCG 0,000 Kandidat 8 Merokok 0,160 Kandidat 9 Pengetahuan 0,029 Kandidat 10 Kepadatan Hunian 0,319 Bukan kandidat 11 Pencahayaan Hunian 0,001 Kandidat

Setelah diseleksi, ada 10 variabel yang merupakan kandidat dan masuk ke dalam pemodelan. Ada 1 variabel dengan P value lebih dari 0,25 yaitu variabel kepadatan hunian (p = 0,319), maka variabel kepadatan hunian keluar dari pemodelan.

Selanjutnya dilakukan uji regresi logistik berganda dengan metode Backward Wald, maka menghasilkan data dalam tabel berikut:


(59)

44!

!

44

Tabel 4.15 Hasil Analisis Multivariat

Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1 umur .076 2.655 .903 7.810

jenis kelamin .002 3.970 1.669 9.442 status gizi .122 1.763 .859 3.619 pekerjaan .004 3.054 1.433 6.508 penghasilan .000 5.927 2.736 12.839 pendidikan .080 1.831 .930 3.603 imunisasi BCG .011 2.678 1.257 5.706 merokok .605 1.230 .561 2.696 pengetahuan .217 .657 .337 1.280 pencahayaan .443 1.466 .552 3.892 Constant .000 .031

Step 2 umur .076 2.673 .904 7.906 jenis kelamin .001 4.285 1.886 9.732 statusgizi .139 1.703 .841 3.448 pekerjaan .004 2.998 1.410 6.376 penghasilan .000 5.995 2.767 12.987 pendidikan .074 1.851 .942 3.638 imunisasi BCG .009 2.714 1.278 5.761 pengetahuan .219 .657 .336 1.283 pencahayaan .436 1.476 .554 3.934 Constant .000 .035

Step 3 umur .063 2.772 .946 8.124 jenis kelamin .000 4.487 1.991 10.112 statusgizi .126 1.732 .858 3.498 pekerjaan .005 2.965 1.396 6.298 penghasilan .000 6.365 2.968 13.650 pendidikan .063 1.894 .966 3.712 imunisasi BCG .006 2.844 1.355 5.970 pengetahuan .232 .665 .340 1.298 Constant .000 .044

Step 4 umur .063 2.794 .948 8.239 jenis kelamin .000 4.946 2.231 10.968 status gizi .121 1.740 .864 3.505 pekerjaan .002 3.198 1.531 6.679 penghasilan .000 6.130 2.885 13.025 pendidikan .060 1.899 .974 3.703 imunisasi .005 2.878 1.375 6.024 Constant .000 .031

Step 5 umur .104 2.355 .839 6.611 jenis kelamin .000 4.969 2.251 10.971 pekerjaan .001 3.452 1.661 7.173 penghasilan .000 6.231 2.946 13.179 pendidikan .056 1.915 .984 3.728 imunisasi BCG .002 3.185 1.538 6.596 Constant .000 .040

Step 6 jenis kelamin .000 5.534 2.521 12.149 pekerjaan .001 3.507 1.683 7.310 penghasilan .000 6.268 2.982 13.173 pendidikan .102 1.718 .898 3.286 imunisasi BCG .004 2.827 1.402 5.702 Constant .000 .049


(60)

Step 7 Jeniskelamin .000 4.772 2.260 10.076 Pekerjaan .001 3.272 1.594 6.717 penghasilan .000 6.575 3.141 13.764 Imunisasi BCG .002 3.041 1.516 6.100 Constant .000 .069

Pada Tabel 4.15 hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa ada 4 variabel yang berperan bersama-sama sebagai faktor risiko terhadap kejadian TB Paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang, variabel tersebut dari yang memiliki OR terbesar adalah penghasilan rendah meningkatkan risiko 6,5 kali lebih besar daripada penghasilan tinggi (CI: 3,141-13,764) yang berarti responden dengan penghasilan rendah adalah faktor resiko yang paling dominan terhadap kejadian TB Paru BTA+ di Kota Serang tahun 2014, belum diimunisasi BCG berisiko juga meningkatkan kejadian tuberkulosis paru 3 kali lebih besar daripada responden dengan yang sudah diimunisasi BCG (95%CI: 1,516-6,100), berjenis kelamin laki-laki meningkatkan risiko 4,7 kali lebih besar terhadap terjadinya tuberkulosis paru daripada perempuan (95%CI: 2,260-10,076), dan terakhir responden yang tidak bekerja meningkatkan risiko 3,2 kali lebih besar daripada yang bekerja (95%CI: 1.594-6717).


(61)

46!

!

46

4.2 Pembahasan

4.2.1. Kualitas dan Akurasi Data

Kualitas data ditemukan oleh relevansi data, validitas data, ketepatan waktu datangnya data, dan kelengkapan data. Sedangkan akurasi data mencakup relevansi data, validitas data dan reliabilitas data.Validitas data terdiri atas validitas eksternal dan internal. Validitas eksternal menunjukkan seberapa besar jauh informasi dari sampel penelitian dapat digeneralisasikan kepada populasi darimana sampel berasal, atau dapat digeneralisasikan ke populasi yang lebih luas. Validitas internal adalah data sampel yang diteliti, atau dalam populasi seluruhnya diteliti. Validitas internal ini akan meningkat apabila kesalahan random dan bias (kesalahan sistematis) dapat dikurangi. Dalam penelitian ini validitas eksternal tak terjamin karena digunakan desain kasus kontrol.24

a. Kesalahan Random

Untuk mengurangi kesalahan random, dapat dilihat dengan sistematis presisi yang diekspresikan ke dalam interval kepercayaan (Confidence Interval/CI). Semakin sempit CI maka semakin tinggi ketelitian. Untuk meningkatkan ketepatan data dapat dilakukan dengan memperbesar ukuran sampel.24 Dalam penelitian ini kesalahan random dengan α= 5%.

b. Kesalahan Sistematis

Kesalahan sistematis disebut bias, yang terdiri dari bias seleksi, bias informasi, dan bias pengacau (counfounding bias).24

$ Bias Seleksi

Dalam penelitian ini bias seleksi dapat dihindari, mengingat data kasus dan kontrol diperoleh melalui bantuan petugas TB di puskesmas.

$ Bias Informasi

Bias informasi dapat terjadi karena perbedaan sistemik dalam mutu dan cara pengumpulan data. Keterbatasan kemampuan responden untuk mengemukakan pendapat adanya faktor subjektif dan kejujuran responden yang sulit dikendalikan misalnya


(62)

pencahayaan hunian, tentunya ini akan mempengaruhi data yang dihasilkan. Selain itu pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner diajukan setelah responden kasus mendapatkan penyuluhan mengenai penyakit TB Paru, sehingga jawaban responden dapat berubah dari saat sebelum sakit.

$ Bias Pengacau

Bias pengacau atau counfounding bias dapat terjadi jika dalam suatu analisis terdapat variabel counfounding. Sulitnya menentukan variabel counfounding karena variabel tersebut juga merupakan faktor resiko (variabel independen) yang berhubungan dengan variabel dependen, namun juga berhubungan dengan faktor risiko lainnya.24

Kemungkinan adanya counfounding bias pada penelitian ini dapat disingkirkan karena berdasarkan hasil analisis bivariat dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dilanjutkan dengan analisis multivariat. Analisis multivariat akan menghilangkan pengaruh dari variabel counfounding.

4.2.2. Faktor Resiko Kejadian TB Paru

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari sebelas variabel bebas yang bermakna terhadap kejadian TB paru BTA+, dengan nilai p <0,05 adalah variabel status gizi, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, imunisasi BCG, merokok, pengetahuan, dan pencahayaan hunian. Setelah dilakukan analisis multivariat diperoleh variabel yang secara bersama-sama berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru yaitu variabel penghasilan, status imunisasi BCG, jenis kelamin, dan pekerjaan.


(63)

48!

!

48

4.2.3. Variabel Independen Yang Dominan Berpengaruh Dengan Kejadian TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014

4.2.3.1 Penghasilan

Hasil analisis multivariat penghasilan dengan TB Paru BTA+ diperoleh nilai OR= 6,575 (CI: 3,141-13,764), artinya bahwa penghasilan rendah akan berpeluang terhadap peningkatan kejadian penyakit TB Paru BTA+ sebesar 6,5 kali dibanding dengan yang berpenghasilan tinggi.

Dikaitkan dengan kemiskinan yang berhubungan erat dengan penghasilan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah, biasanya memiliki tingkat ekonomi yang rendah pula.

Pendapatan akan banyak berpengaruh terhadap perilaku menjaga kesehatan individu dan dalam menjaga keluarga. Hal ini disebabkan pendapatan mempengaruhi pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam mencari asupan makanan, pengobatan, mempengaruhi lingkungan tempat tinggal seperti keadaan rumah dan kondisinya.15

Kejadian TB Paru terkait erat dengan sosial ekonomi seseorang, yang dapat diketahui salah satunya dari penghasilan keluarga. Keluarga yang penghasilannya mencukupi atau ekonominya menengah keatas, relatif memiliki perilaku yang lebih baik dalam menjaga kesehatan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rosmaniar yang juga membuktikan terdapat hubungan erat antara penghasilan keluarga dengan kejadian TB Paru BTA+. Masyarakat yang berpenghasilan rendah lebih beresiko terhadap peningkatan kejadian TB Paru dibanding yang berpenghasilan tinggi.

4.2.3.2. Status Imunisasi

Hasil analisis multivariat imunisasi BCG diperoleh nilai OR= 3,041 (CI: 1,516-6,100), artinya responden yang belum diimunisasi BCG akan beresiko terkena TB Paru BTA+ sebesar 3 kali dibanding responden yang sudah diimunisasi BCG.


(1)

Lampiran 2

Lembar Kuesioner

KUESIONER

Isi jawaban di kotak yang disediakan jika ada kotak disebelah kanan pertanyaan, dengan menulis angka 0 atau 1 berdasarkan data yang sebenarnya. A. IDENTITAS RESPONDEN

Berat badan : ... kg Tinggi badan : ... cm

1) Umur : 0 = 17-58 tahun

1 = dibawah 17 tahun atau 58 tahun keatas 2) Jenis Kelamin : 0 = Laki-laki

1 = Perempuan

3) Pekerjaan : 0 = Tidak Bekerja 1 = Bekerja

4) Penghasilan : 0 = Kurang dari Rp1.500.000 1 = Lebih dari Rp1.500.000

5) Pendidikan terakhir : 0 = SD-SMP 1 = SMA keatas

6) Status Imunisasi BCG : 0 = Tidak Imunisasi 1 = Ya, Diimunisasi


(2)

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan melingkari salah satu jawaban 1 atau 2 atau 3 atau 4

a. Apakah Bapak/Ibu/Sdr pernah mendengar tentang TB Paru? 1. Ya, pernah mendengar

2. Tidak pernah mendengar

b. Sebutkan gejala TB Paru yang Bapak/Ibu/Sdr ketahui? 1. Tahu, bila menyebutkan lebih dari 1 :

2. Tidak tahu, bila tidak menyebutkan

c. Menurut Bapak/Ibu/Sdr apakah penyebab TB paru? 1. Bakteri

2. Virus

d. Apakah penyakit TB Paru penyakit yang menular? 1. Ya

2. Tidak

e. Kalau ya, bagaimana cara penularannya?

1. Melalui udara 3. Bersentuhan dengan penderita 2. Melalui makanan 4. Tidak tahu

f. Menurut Bapak/Ibu/Sdr apakah penyakit TB Paru dapat disembuhkan? 1. Ya, dapat disembuhkan

2. Tidak dapat disembuhkan

g. Bila dapat disembuhkan, bagaimana cara penyembuhannya?

1. Dengan minum OAT (Obat Anti Tuberkulosis) secara teratur dan sesuai petunjuk dokter

2. Mengasingkan diri dari keramaian

h. Menurut Bapak/Ibu/Sdr bagaimana cara pencegahan TB Paru yang dilakukan?

1. Menghindari kontak dengan penderita TB paru, imunisasi BCG, periksa bila batuk darah


(3)

i. Menurut Bapak/Ibu/Sdr apakah OAT didapatkan secara cuma-cuma/gratis? 1. Tidak

2. Ya

j. Bila ya, bagaimana bisa didapatkan OAT tersebut? 1. Puskesmas

2. Klinik swasta

k. Apakah Bapak/Ibu/Sdr tahu bahwa di Puskesmas terdapat pengobatan dan pemeriksaan gratis TB Paru?

1. Tahu 2. Tidak tahu

B. KONDISI TEMPAT TINGGAL

Isi titik-titik dibawah ini berdasarkan jawaban yang sebenarnya berdasarkan pengetahuan Saudara.

1. Berapa luas rumah/tempat tinggal yang ditempati sekarang? Panjang : ... m

Lebar : ... m

2. Berapa orang yang tinggal dalam satu rumah saat ini? ... Orang

3. Bagaimana pencahayaan atau sinar matahari yang masuk rumah,

Apakah

memerlukan alat penerangan seperti lampu untuk membaca buku atau

koran pada siang hari di dalam rumah?

0 = Ya, memerlukan alat penerangan lampu

1 = Tidak, karena dapat membaca buku dengan jelas !


(4)

Lampiran 4

Lembar Surat Izin Penelitian Dinkes Kota Serang


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Biodata :

H

Nama

: FARIS MUAZ

H

NIM

: 1111103000019

H

Tempat Tanggal Lahir

: Serang, 7 Juni 1993

H

Jenis Kelamin

: Laki-laki

H

Agama

: Islam

H

Email

: faris.muaz@gmail.com

2. Pendidikan :

H

1997-1999

: TK Bhakti II Sirih

H

1999-2005

: SDN Ciparay

H

2005-2008

: SMPN 1 Kota Serang

H

2008-2011

: MAN 1 Kota Serang

H

2011-Sekarang

: Program Studi Pendidikan Dokter

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(6)