Hubungan Karakteristik Penderita, Lingkungan Fisik Rumah Dan Wilayah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA, LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN WILAYAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU

DI KABUPATEN ACEH TENGGARA TAHUN 2009

TESIS

Oleh

I S K A N D A R 077031003/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA, LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN WILAYAH DENGAN TUBERKULOSIS PARU

DI KABUPATEN ACEH TENGGARA TAHUN 2009

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M,Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

I S K A N D A R 077031003/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA, LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN WILAYAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI KABUPATEN ACEH TENGGARA TAHUN 2009 Nama Mahasiswa : Iskandar

Nomor Induk Mahasiswa : 077031003

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Irnawati Marsaulina, M.S) (dr. Wirsal Hasan, M.P.H)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 30 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Irnawati Marsaulina, M.S Anggota : 1. dr. Wirsal Hasan M.P.H


(5)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA, LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN WILAYAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU

DI KABUPATEN ACEH TENGGARA TAHUN 2009

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2010

ISKANDAR 077031003/IKM


(6)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di Kabupaten Aceh Tenggara, di mana terjadi peningkatan kasus tiap tahunnya dari 43 kasus tahun 2007 menjadi 61 kasus di tahun 2008 dan 65 kasus pada tahun 2009.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis hubungan karakteristik penderita, karakteristik lingkungan fisik rumah dan karakteristik wilayah dengan kejadian tuberkulosis paru. Jenis penelitian ini adalah jenis survei analitik dengan menggunakan desain kasus kontrol. Populasi penelitian adalah seluruh penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009. Sampel penelitian adalah 130 orang, yaitu 65 orang yang memenuhi kriteria kasus dan 65 orang sebagai non kasus. Pengumpulan data meliputi data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner, observasi dan pengukuran, serta data sekunder dari Dinas Kesehatan dan Badan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Tenggara. Data dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistik pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara karakteristik penderita (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, status imunisasi BCG, status gizi, status sosial ekonomi, dan tindakan), karakteristik lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan suhu), dan karakteristik wilayah (ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut, curah hujan, dan jarak tempuh ke sarana kesehatan) dengan kejadian tuberkulosis paru. Faktor risiko yang paling dominan berdasarkan uji Regresi Logistik adalah status imunisasi BCG dengan R Square sebesar 0,619.

Disarankan agar Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara meningkatkan penyuluhan, membantu perumahan sehat, memperhatikan keterjangkauan sarana kesehatan, dan meningkatkan kegiatan imunisasi BCG. Bagi masyarakat perlu mengonsumsi makanan bergizi, memperhatikan hunian kamar, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu udara, polutan dalam rumah sesuai syarat kesehatan, serta mendapatkan imunisasi BCG.


(7)

ABSTRACT

Lung tuberculosis as a contagious disease became the world health problem in Southeast Aceh district, where there have been increasing cases each year from 43 cases in 2007 to 61 cases in 2008 and 65 cases in 2009.

The purpose of this study was to analyze the relationship of characteristics patient, characteristics of physical home environment and characteristics of area of with pulmonary tuberculosis incidence. This type of research was the kind of analytic survey using a case control design. The population were all patients with pulmonary tuberculosis in Southeast Aceh District in 2009. The samples were 130 people, 65 of them fulfilled the case criteria and 65 of them did not. Data collection includes primary data through interviews using questionnaires, observation and measurement, as well as secondary data from the Health Office and the Agency for Regional Development of Southeast Aceh District. The data were analyzed by using logistic regression test on the level of confidence 95%.

The results showed there were significant relationship between patient characteristics (age, sex, education, occupation, knowledge, BCG immunization status, nutritional status, socioeconomic status, and action), physical home environment characteristics (residential density, floor type, ventilation, lighting , humidity, and temperature), and regional characteristics (land surface elevation from sea level, rainfall, and distance to health facilities) with the occurrence of tuberculosis. The most dominant risk factor based on Logistic Regression test was the status of BCG immunization with R Square of 0,619.

It is recommended that the Southeast Aceh District Health Office, should increase the counseling, build healthful housing, make the distance of health infrastructure closer, and increase the activity of BCG immunization. It was also recommended that the people should consume nutritious food, take notice of room occupancy, types of floor, ventilation, light, moisture, temperature, pollutant inside the house, and obtain BCG immunization.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan karunianya penulis telah dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ‘‘Hubungan Karakteristik Penderita, Lingkungan Fisik Rumah dan Wilayah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009”.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.H, M.Sc (C.T.M), Sp.A(K).

Terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, serta terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Irnawati Marsaulina, M.S selaku Sekretaris Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri dan selaku ketua komisi Pembimbing, serta dr. Wirsal Hasan, M.P.H selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu, meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.

Terima kasih tak terhingga kepada isteri tercinta Nilva Ritamimi. S.Pd dan ketiga anak tercinta Ridha Ar Rahman, Tasya Rahim dan Muhammad Altaf yang


(9)

telah mengizinkan dan memberi motivasi serta dukungan do`a kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.

Selanjutnya terima kasih penulis kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu penulis memberi dukungan moril dan berkonsultasi, serta semua pihak yang telah membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Desember 2010

ISKANDAR 077031003/IKM


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Iskandar yang dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1969 di Cot Girek Aceh Utara - Aceh.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Sekolah Dasar Bakongan Kabupaten Aceh Selatan tahun 1977-1983, Sekolah Menengah Pertama Negeri Idi Kabupaten Aceh Timur tahun 1983-1986, Sekolah Menengah Atas Negeri Idi Kabupaten Aceh Timur tahun 1986-1989, Diploma Tiga (D3) Akademi Penilik Kesehatan Jabal Gafur Sigli Kabupaten Pidie tahun 1990-1993, Strata Satu (S1) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2001-2003, dan Program Magister Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri - Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2007-2010.

Penulis memulai karir sebagai staf Pencegahan Penyakit Menular Seksi Survailance dari tahun 1996-2004, Staf Binagram Seksi Perencanaan Kesehatan tahun 2004-2008, dan Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan dan Pemukiman pada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009 sampai dengan sekarang.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis... 8

2.2. Yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 18

2.3. Pengobatan Tuberkulosis ... 30

2.4. Pengawasan Menelan Obat (PMO)... 31

2.5. Penyuluhan Tuberkulosis ... 32

2.6. Kerangka Teori... 33

2.7. Kerangka Konsep ... 34

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 36

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.3. Populasi dan Sampel ... 36

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 42

3.6. Metode Pengukuran ... 45


(12)

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48

4.2. Karakteristik Penderita ... 49

4.3. Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah ... 51

4.4. Karakteristik Wilayah ... 52

4.5. Hubungan Karakteristik Penderita dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 53

4.6. Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 57

4.7. Hubungan Karakteristik Wilayah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 61

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Hubungan Karakteristik Penderita (Umur, Jenis Kelamin, Pekerjaan, Pendidikan, Pengetahuan, Status Gizi, Status Imunisasi BCG, Status Sosial Ekonomi dan Tindakan) dengan Kejadian Tuberkulosis Paru... 63

5.2. Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah (Kepadatan Hunian Kamar, Jenis Lantai, Ventilasi Rumah, Pencahayaan, Kelembaban, Suhu dan Volutan Dalam Rumah) dengan Kejadian Tuberkulosis Paru... 68

5.3. Hubungan Karakteristik Wilayah (Ketinggian Permukaan Tanah, Curah Hujan, dan Jarak Tempuh Kesarana Kesehatan) dengan Kejadian Tuberkulosis Paru... 73

5.4. Resiko Paling Dominan yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru... 75

5.5. Keterbatasan Penelitian ... 75

BAB 6 KESIMPILAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 76

6.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Jenis Dosis Obat Tuberkulosis Anak ... 30 3.1. Variable dan Definisi Operacional ... 42 4.1. Distribusi Frekwensi Karakteristik Penderita Yang Berpengaruh

Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Aceh Tenggara

Tahun 2009 ... 49 4.2. Distribusi Frekwensi Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah Yang

Berpengaruh Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten

Aceh Tenggara Tahun 2009 ... 51 4.3. Distribusi Frekwensi Karakteristik Wilayah Yang Berpengaruh

Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Aceh Tenggara

Tahun 2009 ... 52 4.4. Hubungan Karakteristik Penderita dengan Kejadian Tuberkulosis

Paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009... 53 4.5. Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian

Tuberkulosis Paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009... 57 4.6. Hubungan Karakteristik Wilayah dengan Kejadian Tuberkulosis


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Alur Deteksi Dini dan Rujukan Tuberkulosis Paru Anak ... 17 2. Kerangka Tiori ... 33 3. Kerangka Konsep ... 34


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Lokasi Penelitian, Peta Administrasi Kabupaten Aceh Tenggara ... 80

2. Kuesioner Penelitian ... 81

3. Master Tabel ... 85

4. Hasil Pengolahan Data ... 88

5. Photo Dokumentasi Penelitian ... 104

6. Surat Izin Penelitian ... 108


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis... 8

2.2. Yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 18

2.3. Pengobatan Tuberkulosis ... 30

2.4. Pengawasan Menelan Obat (PMO)... 31

2.5. Penyuluhan Tuberkulosis ... 32

2.6. Kerangka Teori... 33

2.7. Kerangka Konsep ... 34

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 36

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.3. Populasi dan Sampel ... 36

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 42

3.6. Metode Pengukuran ... 45


(17)

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48

4.2. Karakteristik Penderita ... 49

4.3. Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah ... 51

4.4. Karakteristik Wilayah ... 52

4.5. Hubungan Karakteristik Penderita dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 53

4.6. Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 57

4.7. Hubungan Karakteristik Wilayah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 61

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Hubungan Karakteristik Penderita (Umur, Jenis Kelamin, Pekerjaan, Pendidikan, Pengetahuan, Status Gizi, Status Imunisasi BCG, Status Sosial Ekonomi dan Tindakan) dengan Kejadian Tuberkulosis Paru... 63

5.2. Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah (Kepadatan Hunian Kamar, Jenis Lantai, Ventilasi Rumah, Pencahayaan, Kelembaban, Suhu dan Volutan Dalam Rumah) dengan Kejadian Tuberkulosis Paru... 68

5.3. Hubungan Karakteristik Wilayah (Ketinggian Permukaan Tanah, Curah Hujan, dan Jarak Tempuh Kesarana Kesehatan) dengan Kejadian Tuberkulosis Paru... 73

5.4. Resiko Paling Dominan yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru... 75

5.5. Keterbatasan Penelitian ... 75

BAB 6 KESIMPILAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 76

6.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(18)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Jenis Dosis Obat Tuberkulosis Anak ... 30 3.1. Variable dan Definisi Operacional ... 42 4.1. Distribusi Frekwensi Karakteristik Penderita Yang Berpengaruh

Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Aceh Tenggara

Tahun 2009 ... 49 4.2. Distribusi Frekwensi Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah Yang

Berpengaruh Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten

Aceh Tenggara Tahun 2009 ... 51 4.3. Distribusi Frekwensi Karakteristik Wilayah Yang Berpengaruh

Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Aceh Tenggara

Tahun 2009 ... 52 4.4. Hubungan Karakteristik Penderita dengan Kejadian Tuberkulosis

Paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009... 53 4.5. Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian

Tuberkulosis Paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009... 57 4.6. Hubungan Karakteristik Wilayah dengan Kejadian Tuberkulosis


(19)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Alur Deteksi Dini dan Rujukan Tuberkulosis Paru Anak ... 17 2. Kerangka Tiori ... 33 3. Kerangka Konsep ... 34


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Lokasi Penelitian, Peta Administrasi Kabupaten Aceh Tenggara ... 80

2. Kuesioner Penelitian ... 81

3. Master Tabel ... 85

4. Hasil Pengolahan Data ... 88

5. Photo Dokumentasi Penelitian ... 104

6. Surat Izin Penelitian ... 108


(21)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di Kabupaten Aceh Tenggara, di mana terjadi peningkatan kasus tiap tahunnya dari 43 kasus tahun 2007 menjadi 61 kasus di tahun 2008 dan 65 kasus pada tahun 2009.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis hubungan karakteristik penderita, karakteristik lingkungan fisik rumah dan karakteristik wilayah dengan kejadian tuberkulosis paru. Jenis penelitian ini adalah jenis survei analitik dengan menggunakan desain kasus kontrol. Populasi penelitian adalah seluruh penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009. Sampel penelitian adalah 130 orang, yaitu 65 orang yang memenuhi kriteria kasus dan 65 orang sebagai non kasus. Pengumpulan data meliputi data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner, observasi dan pengukuran, serta data sekunder dari Dinas Kesehatan dan Badan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Tenggara. Data dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistik pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara karakteristik penderita (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, status imunisasi BCG, status gizi, status sosial ekonomi, dan tindakan), karakteristik lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan suhu), dan karakteristik wilayah (ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut, curah hujan, dan jarak tempuh ke sarana kesehatan) dengan kejadian tuberkulosis paru. Faktor risiko yang paling dominan berdasarkan uji Regresi Logistik adalah status imunisasi BCG dengan R Square sebesar 0,619.

Disarankan agar Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara meningkatkan penyuluhan, membantu perumahan sehat, memperhatikan keterjangkauan sarana kesehatan, dan meningkatkan kegiatan imunisasi BCG. Bagi masyarakat perlu mengonsumsi makanan bergizi, memperhatikan hunian kamar, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu udara, polutan dalam rumah sesuai syarat kesehatan, serta mendapatkan imunisasi BCG.


(22)

ABSTRACT

Lung tuberculosis as a contagious disease became the world health problem in Southeast Aceh district, where there have been increasing cases each year from 43 cases in 2007 to 61 cases in 2008 and 65 cases in 2009.

The purpose of this study was to analyze the relationship of characteristics patient, characteristics of physical home environment and characteristics of area of with pulmonary tuberculosis incidence. This type of research was the kind of analytic survey using a case control design. The population were all patients with pulmonary tuberculosis in Southeast Aceh District in 2009. The samples were 130 people, 65 of them fulfilled the case criteria and 65 of them did not. Data collection includes primary data through interviews using questionnaires, observation and measurement, as well as secondary data from the Health Office and the Agency for Regional Development of Southeast Aceh District. The data were analyzed by using logistic regression test on the level of confidence 95%.

The results showed there were significant relationship between patient characteristics (age, sex, education, occupation, knowledge, BCG immunization status, nutritional status, socioeconomic status, and action), physical home environment characteristics (residential density, floor type, ventilation, lighting , humidity, and temperature), and regional characteristics (land surface elevation from sea level, rainfall, and distance to health facilities) with the occurrence of tuberculosis. The most dominant risk factor based on Logistic Regression test was the status of BCG immunization with R Square of 0,619.

It is recommended that the Southeast Aceh District Health Office, should increase the counseling, build healthful housing, make the distance of health infrastructure closer, and increase the activity of BCG immunization. It was also recommended that the people should consume nutritious food, take notice of room occupancy, types of floor, ventilation, light, moisture, temperature, pollutant inside the house, and obtain BCG immunization.


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia karena Mycobacterieum tuberculosa telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) mencanangkan kedaruratan Global penyakit tuberkulosis paru (TB Paru), karena sebagian besar negara di dunia penyakit tuberkulosis paru tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA Positif). Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru tuberkulosis paru dengan kematian 3 juta orang (WHO, Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Program, 1997).

Diperkirakan 95% kasus TB Paru dan 98% kematian akibat TB Paru di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Sekitar 75% pasien TB Paru adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB Paru dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB Paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB Paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stima bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008).


(24)

Situasi tuberkulosis paru didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB Paru meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB Paru besar (big burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan sebagai kedaruratan dunia (global emergency).

Di berbagai negara maju penyakit tuberkulosis paru hampir dikatakan sudah dapat di kendalikan, meski peningkatan angka HIV merupakan ancaman potensial terhadap merebaknya kembali tuberkulosis paru di negara maju. Di negara maju diperkirakaan hanya 10 hingga 20 kasus diantara 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian hanya berkisar antara 1 hingga 5 kematian per 100.000 penduduk. Sementara di Afrika diperkirakan mencapai 165 kasus baru diantara 100.000 penduduk, dan di Asia 110 diantara 100.000 penduduk, namun mengingat penduduk Asia lebih besar dibanding Afrika, jumlah absolut yang terkena tuberkulosis paru di benua Asia 3,7 kali lebih banyak dari pada Afrika (Achmadi, 2008).

Di Indonesia, tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB Paru di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan China dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB Paru didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.00 orang. Insiden kasus TB Paru BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008).


(25)

kematian) setelah sistem sirkulasi dan sistem pernapasan. Pada survei yang sama angka kesakitan tuberkulosis paru di Indonesia ketika itu sebesar 800 per 100.000 penduduk. Namun pemeriksaan ini memiliki kelemahan, yakni hanya berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan Laboratorium (Badan Litbangkes, 2002). Estimasi Incidence Rate tuberkulosis paru di Indonesia berdasarkan hasil pemeriksaan sputum basil tahan asam (BTA) positif adalah 128 per 100.000 untuk tahun 2003, sedangkan untuk semua kasus adalah 675 per 100.000 penduduk (Achmadi, 2005).

Dari hasil survei prevalensi yang di tumpangkan pada SKRT 2004, memberikan estimasi prevalensi tuberculosis berdasarkan pemeriksaan BTA positif sebesar104 per100.000 dengan batas bawah 66 dan batas atas 142 pada selang kepercayaan 95%. Perbedaan yang bermakna ditemukan antara kawasan Jawa Bali yakni 59 per 100.000 dengan luar Jawa Bali 174 per 100.000. Untuk kawasan luar Jawa bali, KTI memberikan angka yang lebih tinggi yaitu 189 per 100.000 dibanding Sumatra sebesar 160 per 100.000. Perbedaan juga terlihat di bawah 45 tahun dan di atas 45 tahun di mana yang tua Tiga kali lebih besar di Banding dengan yang muda. Angka Nasional tuberkulosis paru SP (Survei Prevalensi) SKRT tuberkulosis paru mengindikasikan sebesar 119 per 100.000 dan angka insidensi 110 per 100.000. Bila dirinsi secara regional, maka prevalensi untuk Jawa Bali sebesar 67 per 100.000 dan insidensi sebesar 62 per 100.000. sedangkan luar Jawa Bali masing-masing 198 (prevalensi) dan 172 (insidensi) per 100.000 orang (Achmadi, 2005).

Di Nanggroe Aceh Darussalam Angka kejadian tuberkulosis paru dua tahun terakhir menunjukkan penambahan penderita TB Paru Positif dari tahun 2006


(26)

sebanyak 3.251 kasus, menjadi 3.63.6 kasus pada tahun 2007 (Profil Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam Tahun, 2007, 2008).

Angka kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara dua tahun terakhir menunjukkan angka peningkatan dari jumlah kasus 43 kasus TB Paru positif pada tahun 2007, dan 61 kasus TB Paru positif pada tahun 2008 (Profil Kesehatan Aceh Tenggara Tahun, 2008, 2009).

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti kasus tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping kasusnya cukup tinggi, penyakit ini menyebabkan dampak sosial yang negatif karena penyakit ini sangat menular. Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara berusaha untuk melakukan penurunan secara intensif dengan meningkatkan presentase kesembuhan >85% sampai dengan tahun 2012. Namun untuk mencapai target tersebut masih mengalami hambatan yaitu adanya kantong-kantong penderita tuberkulosis paru yang sebagian besar terletak di daerah yang sulit dijangkau serta daerah yang relatif miskin. Sehingga memungkinkan penyakit ini terlupakan keberadaannya.

Menurut Hendrik L Blum dalam Notoatmodjo (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan. Oleh karena itu intervensi melalui faktor lingkungan perlu dikembangkan dan


(27)

ditingkatkan. Belum dikembangkannya intervensi lingkungan untuk memerangi tuberkulosis paru, merupakan suatu tantangan tersendiri yang perlu di beri porsi yang besar bagi stakeholder agar segera mengimplementasikan pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia khususnya di Kabupaten Aceh Tenggara.

Berdasarkan Pedoman Rumah Sehat dari Centers for Disease and Control and Prevention (CDC) tahun 2006, persyaratan rumah sehat diantaranya harus memenuhi kebutuhan dasar fisik, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.

Dari beberapa latar belakang tersebut di atas, jelas bahwa penyakit tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit berbasis wilayah yang menjadi masalah kesehatan masyarakat.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan hal tersebut di atas, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan karakteristik penderita (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, status gizi, status Imunisasi BCG, status sosial ekonomi, dan tindakan), karakteristi lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan suhu), dan karakteristik wilayah (ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut, curah hujan dan jarak tempuh kesarana kesehatan) dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009.


(28)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan karakteristik penderita, karakteristik lingkungan fisik rumah dan karakteristik wilayah dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009.

1.3 Hipotesis

Hipotesa sementara dari hasil penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan antara karakteristik penderita (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, status imunisasi BCG, status gizi, status sosial ekonomi, dan tindakan) dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009.

2. Ada hubungan antara karakteristik lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan suhu) dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009.

3. Ada hubungan antara karakteristik wilayah (ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut, curah hujan, dan jarak tempuh ke sarana kesehatan) dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009.


(29)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan dalam perencanaan program penanggulangan tuberkulosis paru bagi pengelola program Pencegahan Penyakit TB Paru di Kabupaten Aceh Tenggara dan di kota atau kabupaten lainnya.

2. Memberikan informasi data ilmiah penelitian faktor risiko tuberkulosis paru yang nantinya dapat disebarluaskan ke tiap Puskesmas dalam Kabupaten Aceh Tenggara dan kota atau kabupaten lainnya.

3. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam menganalisa permasalahan TB Paru, khususnya hubungan epidemiologi kesehatan lingkungan.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Pengertian

Tuberkulosis di sebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa. Kuman tuberkulosis biasanya masuk ke dalam tubuh melalui udara lewat pernapasan ke dalam paru, selanjutnya kuman tersebut dapat menyebar dari paru menuju bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran limfe, melalui saluran napas (Bronchus) atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.

Menurut Yunus (1989), sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru-paru, akan tetapi dapat menyerang organ lain di dalam tubuh. Secara khas kuman membentuk granuloma dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan (Achmadi, 2008).

2.1.2. Kuman Tuberkulosis

Kuman ini berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat lebih tahan asam, sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya


(31)

oksigen, terutama bagian apical posterior. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat tidur (dormant), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).

2.1.3. Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif, pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup dan masuk ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia dapat menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau menyebar langsung ke bagian-bagian tubuh lainnnya.

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection/ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%, pada daerah dengan ARTI 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberkulosis, hanya sekitar


(32)

10% dari yang terinfeksi yang akan menderita penyakit tuberkulosis (Depkes RI, 2002).

Dari keterangan di atas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1% maka diantara 100.000 penduduk rata-rata 100 penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA Positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya gizi buruk atau HIV/AIDS.

2.1.4. Gejala Tuberkulosis 1. Gejala Utama

Gejala utama adalah batuk yang terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.

2. Gejala Tambahan

Gejala tambahan yang sering dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, napsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.

Gejala-gejala tersebut diatas di jumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut di atas, harus dianggap sebagai seorang ”suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita tuberkulosis dan perlu dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2002).


(33)

2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis

1. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

- Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif.

- Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis, pemeriksaan dahak SPS diulangi.

- Apabila fasilitas memungkinkan, maka dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan tuberkulosis, ulangi pemeriksaan dahak SPS.

- Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA postif. - Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk


(34)

Bila hasil rontgen mendukung tuberkulosis, di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA negatif Rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis, penderita tersebut bukan tuberkulosis.

Kalau UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen dada ke RS di Indonesia pada saat ini , uji Tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi tuberkulosis. Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan mycobcterium tuberculosa. Dilain pihak hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis, misalnya pada penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, tuberkulosis milier dan morbili (www.meprofarm.com).

2. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak.

Diagnosis yang paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman tuberkulosis dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, biopsi dll. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin.

Untuk itu penting memikirkan adanya tuberkulosis pada anak kalau terdapat tanda-tanda yang mecurigakan atau gejala-gejala seperti di bawah ini :

a. Seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis kalau :


(35)

2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (Bacillus Calmette et Guerin) dalam 3-7 hari.

3. Terdapat gejala umum tuberkulosis. b. Gejala Umum tuberkulosis pada anak :

1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam satu bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).

2. Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat.

3. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran napas akut), dapat disertai keringat malam.

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha (inguinal).

5. Gejala-gejala dari saluran napas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri di dada.

6. Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.

c. Gejala spesifik

Gejala spesifik biasanya tergantung dibagian tubuh mana yang terserang, misalnya :


(36)

1). Tuberkulosis kulit (skrofuloderma). 2). Tuberkulosis tulang dan sendi yaitu

- Tulang punggung (spondilitis); gibbus

- Tulang panggul (kolsitis); pincang, pembengkakan di pinggul - Tulang lutut: pincang dan atau bengkak

- Tulang kaki dan tangan 3). Tuberkulosis otak dan syaraf

- Meningitis dengan gejala : iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun.

4). Tuberkulosis Mata dengan gejala : Konjungtivitis fliktenularis dan Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan fundusckopi).

5). Lain-lain.

4. Uji Tuberkulin (Mantoux).

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara mantoux (penyuntikan intra kutan) dengan semprit tuberkulin 1ml jarum nomor 26. tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimter. Uji tuberkulin dinyatakan positif bila indurasi > 10 mm (pada anak dengan gizi baik), atau >5 mm pada anak dengan gizi buruk.

Bila uji tuberkulin positif, menunjukan adanya infeksi tuberkulosis dan kemungkinan ada tuberkulosis aktif pada anak, namun uji tuberkulin dapat negatif


(37)

pada anak dengan tuberkulosis berat (malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif, dll).

5. Reaksi Cepat BCG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat ( dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobactrium tuberculosa.

6. Fhoto Rontgen Dada

Gambaran rontgen tuberkulosis paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati, kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis.

Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal.

Gejala lain dari fhoto rontgen yang mencurigai tuberkulosis adalah milier, Atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, Konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, dan destroyed lung.

Bila ada diskongruensi antara gambaran klinis dan gambaran rontgen , harus dicurigai tuberkulosis. Fhoto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (postero-Anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja.

7. Pemeriksaaan mikrobiologi dan Serologi.

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA


(38)

secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Cara baru untuk mendeteksi kuman tuberkulosis dengan cara PCR (Polymery Chain Reaktion) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian jiga pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis.

Bila dijumpai 3 atau lebih dari hal-hal yang mencurigakan atau gejala-gejala klinis umu tersebut di atas. Maka anak tersebut dianggap tuberkulosis dan diberikan pengobatan dengan OAT sambil diobservasi selama 2 bulan. Bila menunjukan perbaikan, maka diagosis tuberkulosis dapat dipastikan dan OAT diteruskan sampai penderita tersebut sembuh.

Bila dalam observasi dengan pemberian OAT selama 2 bulan tersebut di atas, keadaan anak memburuk atau tetap, anak tersebut bukan tuberkulosis atau mungkin tuberkulosis tapi kekebalan obat ganda atau Multiple Drug Resistent (MDR). Anak tersangka MDR perlu dirujuk ke rumah sakit untuk penatalkaksanaan spesialistik.


(39)

Gambar 1. Alur Deteksi Dini dan Rujukan TB Paru Pada Anak (Sumber Depkes RI, 2002)

Penting diperhatikan bahwa bila pada anak dijumpai gejala-gejala berupa kejang, kesadaran menurun, kaku kuduk, benjolan dipunggung, maka ini merupakan tanda-tanda bahaya. Anak tersebut harus segera dirujuk kerumah sakit untuk penatalaksanaan selanjutnya.


(40)

2.2. Yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru 2.2.1. Karakteristik Individu

1. Umur

Daya tahan tubuh untuk melawan infeksi pada hakekatnya sama untuk semua umur akan tetapi pada usia sangat muda awal kelahiran dan pada usia 10 tahun pertama hidupnya memiliki sistem pertahanan tubuh sangat lemah. Kemungkinan anak balita untuk terinfeksi dan menimbulkan sakit sangat tinggi. Sebelum massa puberitas infeksi primer ditemukan di paru. Sampai usia 2 tahun dapat mengakibatkan keadaan yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosis (Crofton, 1989).

Penyakit tuberkulosis menyerang sebagian besar kelompok produktif usia kerja 15-50 tahun sebesar 75% (Gerdunas, 2002), dengan kata lain 25% pada usia 0-14 tahun dan >50 tahun.

Selama ini pemeriksaan tuberkulosis paru belum maksimal karena sulitnya pemeriksaan pada anak, akan tetapi sekarang pemeriksaan pada anak sudah mulai dianjurkan dengan banyaknya pemeriksaan penunjang yang lebih lengkap. Keberhasilan penanggulangan tuberkulosis paru tergantung dari kedisiplinan berbagai pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung.

2. Jenis Kelamin

Hampir tidak ada perbedaan diantara anak laki-laki dengan anak perempuan sampai puberitas, bayi dan anak kecil kedua jenis kelamin memiliki daya tahan


(41)

yang lemah. Menurut Achmadi (2008), diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah. 3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil ”tahu”, dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu Know (tahu), memahami (comfrehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis), evaluasi (evaluation).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003).

4. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap terdiri dari 4 tingkatan yaitu : menerima (receiving), merespons (responding), menghargai (valuing), bertanggung jawab (responsible). Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek dan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2003).


(42)

5. Tindakan atau Praktek

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek kesehatan atau tindakan kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan. Tindakan atau praktek terdiri dari 4 tingkatan yaitu : persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons), mekanisme (mecanism), adaptasi (adaptation), (Notoatmodjo, 2003).

Tiap individu berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan meskipun gangguan kesehatan sama. Tindakan kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan kesehatan.

Tindakan kesehatan terhadap lingkungan seperti hindari kerumunan orang banyak (yang sekaligus dapat mengurangi penyakit saluran pernapasan yang menular), terhadap ventilasi rumah dengan cara menutup dan membuka jendela di pagi dan siang hari, serta ajakan agar setiap orang tidak meludah disembarang tempat.

6. Status Gizi

Pola makan dan konsumsi gizi pada seseorang dapat menetukan tercapainya tingkat kesehatan, apabila tubuh berada dalam tingkat kesehatan gizi optimum.


(43)

tubuh yang sangat tinggi. Apabila konsumsi gizi pada seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi kesalahan akibat gizi (Notoatmodjo, 2004).

Terdapat bukti yang sangat jelas bahwa kelaparan atau gizi buruk mengurangi daya tahan terhadap penularan penyakit tuberkulosis, faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon imunologis terhadap penyakit (Soemirat, 2000).

Pada anak yang sehat bakteri masuk ke dalam paru tidak langsung berkembang dan menyerang, tetapi akan menumpuk pada waktu kondisi tubuh menurun atau lemah karena sakit atau kurang gizi, penyakit ini akan cepat berkembang (Suyitno, 1990).

7. Lama Tinggal

Lama tinggal individu dihubungkan masa inkubasi tuberkulosis, pada penderita TB Paru biasanya paling cepat 3-6 bulan setelah terjadi infeksi (Depkes RI, 2002). Masa inkubasi adalah jarak waktu mulai terjadi infeksi hingga muncul gejala penyakit, sehingga responden dapat diidentifikasi waktu tinggalnya sebelum masa inkubasi atau dalam kurun waktu inkubasi.

8. Pekerjaan

Penyakit tuberkulosis dapat di hubungkan dengan beberapa penyakit paru akibat kerja, mengingat penyakit ini adalah airborne infektion, maka juga dapat temukan penyebaran penyakit pada lingkungan kerja disekitar penderita.


(44)

Telah dilaporakan dari sebuah kapal Amerika Serikat yang mempunyai sirkulasi udara yang tertutup, seorang penderita tuberkulosis BTA positif yang amat simtomatik telah menyebabkan konversi tuberkulin dari negatif menjadi positif pada 53 dari 60 orang (>80%) yang berada satu ruangan, dimana enam diantaranya kemudian menderita tuberkulosis. Sedangkan pada ruangan lain disebelah ruangan kasus awal, ditemukan perubahan test tuberkulin pada 43 dari 81 orang (53%) dimana seorang diantaranya memang menderita tuberkulosis (Aditama, 1996).

Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas terutama terjadi gejala penyakit saluran pernapasan dan menurunnya fungsi paru (Ware JH, 1981).

9. Riwayat Kesehatan.

Keluhan yang dirasakan penderita seperti batuk selama 3 minggu atau lebih, sesak napas, rasa nyeri dada, berat badan menurun, napsu makan menurun, badan lemah, keringat malam, dahak bercampur darah, demam meriang dan lainnya (Depkes RI, 2002).

10. Sosial Ekionomi

Kondisi sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkat pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan pelayanan kesehatan (Sukarni, 1994).

LIPI (2000), menyatakan bahwa penurunan ringkat pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli pangan,


(45)

lebih besar untuk bahan makanan di bandingkan untuk kebutuhan bukan makanan seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. WHO (2003), menyebutkan 90% penderita TB Paru di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin.

11. Status Imunisasi BCG

Imunisasi BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil yang hidup yang telah dilemahkan atau dihilangkan virulensinya, Basil ini berasal dari suatu strain tuberkulosis bovin yang dibiakan selama beberapa tahun dalam laboratorium. Vaksin BCG merangsang kekebalan, basil tuberkulosis dapat memasuki tubuh akan tetapi pada kebanyakan kasus daya pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan dan membunuh kuman-kuman tersebut.

Percobaan-percobaan terkontrol di negara-negara barat dengan sebagian anak bergizi cukup menunjukan bahwa BCG dapat memberikan 80% perlindungan terhadap penyakit tuberkulosis selama 15 tahun bila diberikan sebelum infeksi pertama kali (yakni kepada anak-anak dengan tuberkulin negatif). Namun percobaan-percobaan pada skala luas dengan tipe yang sama di Amerika Serikat dan India telah gagal menunjukan manfaat, tetapi sejumlah percobaan berskala lebih kecil pada bayi di negara-negara miskin telah menunjukan perlindungan penting khususnya terhadap tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosis (Crofton, 1993 ).


(46)

2.2.2. Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah 1. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai fungsi antara lain menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah sehingga kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen atau bakteri-bakteri penyebab penyakit, (Notoatmodjo, 2004).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.

2. Kelembaban dan Suhu

Udara segar sangat diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan.umumnya temperatur kamar 22-30oC. Udara bukanlah lingkungan yang baik bagi perkembangan mikroorganisme, tetapi berbagai agent dapat bertahan hidup untuk beberapa waktu di dalamnya. Lingkungan udara yang tidak bebas lebih menguntungkan bagi agent, karena lebih terlindung terhadap beberapa faktor udara ambient seperti kecepatan angin, temperatur. Kelompok agent yang


(47)

dapat disebarkan oleh udara tidak bebas di dalam rumah hunian seperti penyakit menular tuberkulosis, Influenza (Soemirat, 2000).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, kelembaban udara antara 40-70 %, dan suhu udara yang nyaman dalam sebuah rumah berada pada kisaran 18oC-30oC.

3. Kepadatan Hunian

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan over crowded, hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurang konsumsi O2, juga bila salah satu anggota keluarga terkena infeksi penyakit menular akan menularkan kepada anggota keluarga yang lain . Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar tidur minimal 8 meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruangan.

4. Cahaya alami

Sinar matahari langsung dapat membunuh baksil tuberkulosis paru dalam waktu 5 menit, tetapi kuman-kuman dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun di tempat gelap sehingga banyak penularan di rumah yang ruangannya gelap.


(48)

Cahaya buatan yaitu sumber cahaya yang bukan alamiah seperti lampu minyak tanah, listrik, lilin dan sebagainya (Notoatmodjo, 2004).

Sinar matahari merupakan pencahayaan alamiah mampu membunuh kuman pathogen. Cahaya yang cukup untuk penerangan ruangan di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia, penyakit tuberkulosis berkaitan erat dengan Ventilasi dan pencahayaan rumah (Achmadi , 2001).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

5. Kontak Penderita

Percikan dahak penderita merupakan media sumber penularan yang penting. Kuman

tuberkulosis paru dapat menyebar ke udara waktu penderita berbicara, batuk atau bersin sehingga orang yang berada disekitar penderita dapat tertular kerena mengirup udara yang mengandung Baksil tuberkulosis. Kerena itu penderita harus menutup mulut bila batuk atau bersin, jangan membuang dahak disembarangan tempat.

Terdapatnya penderita tuberkulosis dalam satu rumah dapat menyebabkan terjadinya kontak serumah dengan anggota keluarga lain. Satu penderita tuberkulosis paru BTA positif dapat menularkan kepada 10-15 orang (GPBK,


(49)

6. Polutan Dalam Rumah a. Merokok

Faktor risiko yang paling penting dengan kejadian tuberkulosis paru adalah merokok. Merokok berbahaya untuk kesehatan, kematian yang disebabkan oleh merokok adalah sebanyak 2,5 juta orang tiap tahun artinya terjadi kematian setiap 13 detik akibat merokok (Aditama, 1997).

Kebiasaan merokok terbukti memiliki hubungan dengan jenis penyakit yaitu : kanker paru-paru, bronchitis kronis, empisiema, penyakit kardiovaskuler serta tuberkulosis (Subramanian, 2003; Lam,2005; LIU, 1998; Gajalakshmi, 2003). Satu hisapan rokok mengandung 1.014 radiktif bebas dan 1016 oksidan yang semuanya akan masuk ke dalam paru-paru, biasanya penyakit baru muncul setelah seseorang menghisap rokok selama 10-20 tahun (Aditama, 1997). Penelitian yang dilakukan Kolappan dan Gopa menunjukan bahwa seseorang memiliki risiko mengidap penyakit tuberkulosis paru bila dihubungkan dengan banyaknya jumlah rokok yang dihisap perhari dengan lamanya merokok. Dalam jangka panjang merokok 1-10 batang per hari akan meningkatkan 1,75 kali, bila merokok 11-20 batang per hari akan meningkatkan risiko 3,17 kali, sedangkan bila merokok lebih dari 20 batang per hari risiko meningkat menjadi 3,68 kali.

Demikian juga bila seseorang merokok kurang dari 10 tahun maka risiko mendapat tuberkulosis paru meningkat menjadi 1,72 kali, bila selama


(50)

rentang waktu 11-20 tahun risiko meningkat menjadi 2,45 kali dan apabila sudah lebih dari 20 tahun maka risiko akan meningkat sebanyak 3,23 kali. b. Menggunakan kayu bakar

Penggunaan kayu bakar menjadi pembahasan yang sering dibicarakan, karena menghasilkan pembakaran tidak sempurna berupa bermacam-macam partikel antara lain CO, NO, SO, Aldehid, Hidrocarbon aromatik yang polisiklik, Benzena, Akrolin 1,3 butadiena dan partikulate matter (Soesanto, 2002). Beberapa penelitian mengkaitkan adanya hubungan antara indoor air pollution dengan kejadian tuberkulosis paru, maka dalam pelaksanaan DOTS sudah memikirkan intervensi yang dilakukan dengan memperhatikan tingginya penggunaan kayu bakar, arang dan bahan padat lainnya (Soesanto, 2002). Dari beberapa studi epidemiologi didapatkan peningkatan risiko kejadian dan kematian tuberkulosis paru pada orang yang terpapar dengan indoor air pollution, penggunaan kayu bakar untuk memasak, arang atau bahan bakar padat lainnya.

c. Penggunaan Obat Nyamuk Bakar

Pertiwi (2004), menjelaskan bahwa menggunakan obat nyamuk bakar memiliki OR 3,4 dengan nilai p=0,001 artinya penggunaan obat nyamuk bakar akan meningkatkan kejadian tuberkulosis paru. Paparan yang berulang akibat pembakaran bahan kimia akan menyebabkan meningkatnya infeksi saluran pernapasan juga kanker (U.S. Environment Agency, EPA; Chauhan,


(51)

2.2.3 Karakteristik Wilayah

1. Ketinggian Permukaan Tanah dari Permukaan Laut

Ketinggian berkaitan dengan kelembaban dan kerapatan oksigen. Mycobacterium tuberkulosa sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen dipergunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman TB Paru. Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,5 oC (Olander, 2003). Ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut akan memiliki kerapatan oksigen yang lebih rendah dibandingkan daerah rendah. Oleh sebab itu secara tioritis, ditenggarai Mycobacterium tuberkulosa atau mikroba penyebab penyakit tuberkulosis tidak tahan hidup lama di lingkungan pegunungan (Ahmadi, 2008) 2. Curah Hujan

Curah hujan sangat berkaitan dengan tingkat kelembaban udara semakin tinggi curah hujan semakin tinggi pula tingkat kelemban udara disuatu wilayah. Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara (Depkes RI, 1989).

3. Akses Sarana Kesehatan

Akses sarana kesehatan merupakan permasalahan yang sering dihadapi dalam pemberantasan penyakit tuberkulosis paru, seperti masih rendahnya pemerataan, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini terkait dengan kendala biaya, jarak, dan transportasi.


(52)

Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita, seperti malaria dan TB Paru, lebih sering terjadi pada masyarakat miskin. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan 48,7% masalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan karena kendala biaya, jarak dan transportasi (LKPK, 2007)

2.3. Pengobatan Tuberkulosis

2.3.1. Pengobatan Tuberkulosis Pada Anak

Prinsip dasar pengobatan tuberkulosis pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa, tetapi ada beberapa hal yang memerlukan perhatian :

− Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak, dengan susunan 2HRZ/4HR.

− Pemberian obat pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap hari. Tahap intensif adalah Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR) (Depkes RI, 2002).

Tabel 2.1 Jenis Dosis Obat Tuberkulosis Pada Anak

Jenis Obat BB < 10 Kg BB 10-20 Kg BB 20-33 Kg

Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg


(53)

Pemantauan kemajuan pengobatan pada anak dapat dilihat antara lain dengan terjadinya perbaikan klinis, naiknya berat badan dan anak menjadi lebih aktif dibandingkan dengan sebelum pengobatan (Depkes RI, 2002).

2.3.2. Pengobatan Tuberkulosis pada Orang Dewasa

Pengobatan tuberkulosis pada orang dewasa ada beberapa katagori hal yang memerlukan perhatian yaitu :

− Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) : Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada Penderita baru TB Paru paru BTA positif dan Penderita TB Paru ekstra paru (TB Paru di luar paru-paru) berat.

− Kategori 2 (HRZE/5H3R3E3) : Diberikan kepada Penderita kambuh, Penderita gagal terapi dan Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

− Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) : Diberikan kepada Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

2.4. Pengawas Menelan Obat (PMO)

Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO, sebaiknya adalah petugas kesehatan, misalnya bidan desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain, bila tidak ada petugas kesehatan PMO dapat berasal dari


(54)

kader kesehatan, guru, PKK, tokoh masyarakat atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO :

1. Mengawasi penderita tuberkulosis agar menelan obat secara teratur sampai selesai.

2. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan penderita untuk periksa atau kontrol pada waktu yang telah ditentukan.

4. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita yang mempunyai gejala-gejala tuberkulosis, segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.

2.5. Penyuluhan Tuberkulosis

Penyuluhan tentang tuberkulosis dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung atau menggunakan media.

1. Penyuluhan langsung bisa dilakukan secara perorangan atau kelompok.

2. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media dalam bentuk media cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan dengan media massa dapat berupa koran atau majalah dan media elektronik serperti radio dan televisi.


(55)

2.6. Kerangka Teori

Berdasarkan teori yang diperoleh dari berbagai kepustakaan dan beberapa penelitian didapatkan berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis Paru seperti bagan di bawah ini:

Karakteristik Indipidu : - Usia

- Jenis Kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Prilaku - Status Gizi

- Status imunisasi BCG - Kebiasaan Merokok

Lingkungan Fisik Rumah: - Ventilasi

- Suhu

- Pencahayaan - Kelembaban

- Bahan Bakar Memasak - Obat Nyamuk Bakar

Lingkungan Sosial: - Kepadatan Penghuni - Penghasilan

- Kontak Penderita

- Penyakit lain (HIV/AIDS)

Mycobacterium Tuberculosis

Penderita Tuberkulosis Paru

Pelayanan Kesehatan : -Ketersedian Obat -Adanya PMO -Penyuluh Kesehatan


(56)

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka di kembangkan kerangka konsep untuk menentukan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independent Variabel Dependent

1

I. Karakteristik Penderita : 1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Pengetahuan 6. Status Gizi

7. Status Imunisasi BCG 8. Status Sosial Ekonomi 9. Tindakan

II. Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah :

1. Kepadatan Hunian 2. Lantai

3. Ventilasi 4. Pencahayaan 5. Kelembaban 6. Suhu

7. Polutan

Kejadian Tuberkulosis Paru

III. Karakteristik Wilayah :

1. Ketingian permukaan tanah dari permukaan laut

2. Curah Hujan

3. Jarak Tempuh ke Sarana Kesehatan


(57)

Dari kerangka konsep tersebut yang menjadi variabel independentnya adalah karakteristik penderita (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, status imunisasi BCG, status gizi, status sosial ekonomi, dan tindakan), karakteristi lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu), karakteristik wilayah (ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut, curah hujan dan jarak tempuh kesarana kesehatan). Sedangkan yang menjadi variabel dependentnya adalah kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009.


(58)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis survei bersifat deskriptif analitik dengan

menggunakandesian kasus kontrol, yaitu menganalisis hubungan faktor karakteristik

yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 16 Kecamatan dalam Kabupaten Aceh Tenggara, dengan pertimbangan bahwa angka kesakitan tuberkulosis paru Positif terjadi peningkatan jumlah kasus setiap tahunya.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian di mulai dengan pengusulan judul penelitian, penelusuran daftar pustaka, persiapan proposal, konsultasi dengan pembimbing, pelaksanaan penelitian, analisa data dan penyusunan laporan akhir. Penelitian ini direncanakan selama 6 (enam) bulan, yaitu dari bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Juni 2009.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009.


(59)

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah 65 orang kasus yang memenuhi kriteria kasus tuberkulosis paru Positif, dan 65 orang sebagai non kasus dengan perbandingan 1:1, sehingga sampel dalam penelitian ini 130 orang (Total Sampel).

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tahapan-tahapan sebegai berikut :

1). Melakukan verifikasi data mengenai penderita tuberkulosis paru Sub.Din P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara dan ke Puskesmas-Puskesmas dalam Kabupaten Aceh Tenggara.

2). Memilih penderita tuberkulosis paru sesuai jumlah diperlukan untuk penelitian. 3). Melakukan verifikasi dengan petugas P2TB dan petugas PMO tingkat puskesmas

dalam Kabupaten Aceh Tenggara.

4). Melakukan Observasi dan pengukuran untuk mendapatkan informasi mengenai faktor-faktor lingkungan fisik rumah dan faktor-faktor wilayah.

3.4.1. Data Primer

Data diperoleh dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan responden, menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan seperti di bawah ini:

1. Mengukur luas Ventilasi rumah dengan meteran.

2. Mengukur kepadatan hunian kamar responden dengan menanyakan pada orang

tua atau pendamping responden berapa jumlah orang yang tidur sekamar dengan responden di bandingkan dengan luas lantai kamar.


(60)

3. Mengukur kelembaban, dilakukan dengan alat hygrometer. Pengukuran dilakukan bersamaan dengan pengukuran suhu ruangan. Cara menggunakan alat yaitu dengan meletakan alat pada ruang tidur dan ruang kumpul keluarga.

4. Mengukur pencahayaan alami, dengan menggunakan lux meter digital dengan

cara mengarahkan lensa alat ukur ke ruang kamar tidur dan ruang kumpul keluarga sekitar 5 menit. Hasilnya dapat dilihat dengan membaca angka yang ditunjukan pada alat lux meter dilakukan pada siang hari. Pengukuran dilakukan pada waktu ada cahaya matahari antara pukul 08.30-15.00 WIB.

5. Menanyakan pendidikan responden atau orang tua responden.

6. Menanyakan pengetahuan responden atau orang tua responden.

7. Menanyakan kepemilikan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat.

8. Menanyakan status imunisasi BCG Subyek

9. Menanyakan adanya kontak penderita

10.Merujuk kontrol untuk foto Rontgen dada

11.Mengukur keadaan gizi kontrol diukur secara antropometri berdasarkan indeks

BB/U kemudian di bandingkan dengan standar BB/U dari standar baku Z score BB/U WHO-NCHS (KepMenkes No 920/Menkes/SK/VIII/2002).

12.Mengukur ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut dengan GPS (Global


(61)

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder yang di peroleh adalah data dari:

1. Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara Subdin P2PL, seksie P2M bidang

program P2TB dengan mendata nama,umur, dan alamat sesuai formulir TB04.

2. Pemegang Program P2TB Seluruh puskesmas dalam Kabupaten Aceh Tenggara,

mendata nama PMO dan berat badan penderita tuberkulosis paru dengan melihat formulir TB 01.

3. Hasil pemeriksaan rontgen (+) penderita tuberkulosis paru yang ada diseluruh

puskesmas dalam Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009.

4. Badan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Tenggara berupa peta wilayah,

luas wilayah dan data curah hujan per Kecamatan tahun 2009.

3.4.3. Batasan-batasan dan Kriteria Kasus dan Kontrol 3.4.3.1. Batasan-batasan kasus dan kontrol

1. Kasus

Kasus adalah penderita tuberkulosis yang datang berobat ke Puskesmas di Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009 yang telah di diagnosa oleh dokter berdasarkan gambaran klinis dan rontgen dada (+) masih dalam pengobatan, tercatat pada register TB 01 dengan identitas lengkap meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, hasil gambaran klinis dan rontgen dada.

2. Kontrol (Non Kasus)

Adapun kontrol atau non kasus adalah orang yang tinggal dekat kasus yang berdomisili di di Kabupaten Aceh Tenggara dengan tidak mempunyai gambaran klinis serta hasil rontgen Negatif tuberkulosis paru.


(62)

3.4.3.2. Kriteria Kasus dan Kontrol

1. Kasus

a. Kriteria Inklusi

1) Penderita tuberkulosis paru dinyatakan oleh dokter menderita tuberkulosis

paru dengan gambaran klinis dan rontgen positif yang berobat ke Puskesmas dalam Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009.

2) Dalam satu rumah diambil satu kasus untuk penelitian.

3) Kasus masih minum obat.

4) Telah menempati rumah tiga bulan atau lebih sejak didiagnosa dokter

menderita tuberkulosis paru.

5) Tercatat pada register TB 01 dengan identitas yang lengkap

6) Bersedia menjadi subyek penelitian

7) Mengisi seluruh kuesioner oleh orang tua atau penderita tuberkulosis

paru.

b. Kriteria Eksklusi

1) Penderita tuberkulosis paru yang berdomisili di luar wilayah Kabupaten

Aceh Tenggara.

2) Penderita tuberkulosis paru dengan register TB paru tidak lengkap

3) Tidak bersedia menjadi subyek penelitian

4) Menempati rumah kurang dari tiga bulan sejak didiagnosa menderita


(63)

2. Kontrol (Non Kasus)

a. Kriteria Inklusi

1) Satu Orang tetangga terdekat kasus dengan tidak menderita tuberkulosis

paru menurut diagnosa dokter.

2) Bersedia menjadi subyek penelitian.

b. Kriteria Eksklusi

Berasal dari luar wilayah Kabupaten Aceh Tenggara.

3.4.4. Cara Pengambilan sampel

Cara pengambilan sampel melalui tahapan sebagai berikut: 1. Kasus

a. Kasus diambil dari seluruh puskesmas di Kabupaten Aceh Tenggara, masih

minum obat dan didiagnosa berdasarkan dokter berdasarkan gambaran klinis dan rontgen dada (+) serta di catat dalam TB01

b. Penderita tuberkulosis paru positif telah tercatat sebagai kasus ditindak lanjuti

dengan wawancara menggunakan kuesioner serta dilakukan observasi.

2. Kontrol (Non Kasus)

a. Kontrol ditetapkan sesegera mungkin setelah kasus ditemukan, kontrol adalah

tetangga dekat korban yang tidak menderita tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan klinis oleh dokter.

b. Orang yang memenuhi kriteria sebagai kontrol dicatat identitas diri dan

keluarga, selanjutnya ditindak lanjuti dengan wawancara menggunakan kuesoiner, kegiatan ini dilakukan hingga jumlah kasus dan kontrol terpenuhi.


(64)

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Adapun Variabel dan definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional No Nama Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Variabel Independen

I Karakteristik Penderita

1 Penderita TBC Paru

Orang yang telah didiagnosa secara klinis dan rontgen TBC Positif

Pemeriksaan klinis dan rontgen

Register TB Paru 01

1).Gambaran klinis dan rontgen(+) 2).Gambaran klinis dan Rontgen(-) Ordinal

2. Umur Usia genap

respon-den pada waktu wawancara

Wawancara dan observasi

Kuesioner 1). <30Tahun

2). > 30tahun

Interval 3 Jenis Kelamin Keadaan tubuh responden yang dibedakan secara fisik dan biologis

Wawancara dan observasi

Kuesioner 1). Laki-laki

2). Perempuan

Nominal

4. Pendidikan Jenis pendidikan

formal yang diikuti oleh responden

Wawancara Kuesioner 1). Tdk sekolah

2). Sekolah

Ordinal

5. Pekerjaan Aktivitas sehari

-hari yang dimiliki responden membe-rikan hasil secara ekonomi

Wawancara Kuesioner 1). Tdk bekerja

2). Bekerja

Ordinal

6. Pengetahuan Pengetahuan

res-ponden tentang tuberkulosis paru

Wawancara Kuesioner 1). Tidak tahu

2). Tahu

Ordinal

7. Status Gizi Gambaran status gizi yang diukur secara antropome-tri berdasarkan indeks BB/U dari standar Z Score BB/U, WHO-CHS Berat Badan per Umur - Kartu status Penderita - Timbang-gan badan

1). Gizi buruk = <-3 SD 2). Gizi Baik

= >-3 SD


(65)

Tabel 3.1. Lanjutan 8. Status Imunisasi BCG Responden telah mendapatkan imunisasi BCG dilihat scar pada lengan kanan atas

Pemeriksaan scar

Kuesioner 1). BCG (-) 2). BCG (+)

Ordinal 9. Status Sosial Ekonomi Kemampuan res-ponden untuk mendapatkan pela-yanan kesehatan Wawancara dan Observasi

Kuesioner 1). Tidak

Memiliki kartu jaminan kesehatan masyarakat 2). Memiliki kartu jaminan kesehatan masyarakat Ordinal

10. Tindakan Tindakan

respon-den tentang Tuberkulosis Paru

Wawancara Kusioner 1). Baik

2). Kurang

Ordinal

II Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah

1. Kepadatan hunian kamar

Jumlah orang yang menempati luas kamar dalam meter persegi Mengukur luas kamar dan mendata jumlah orang yang menempati

Kuesioner 1). Tidak

meme-nuhi syarat = <8m2 untuk 2 orang 2). Memenuhi

syarat = ≥8m2 untuk 2 orang

Ordinal

2. Jenis Lantai Bahan bangunan yang dipakai sebagai lantai

Observasi Kuesioner 1). Tanah

2). Semen Plesteran/ Sejenisnya Ordinal 3. Ventilasi rumah

Luas lubang keluar masuk udara rumah dibanding-kan dengan luas lantai

Mengukur luas lubang penghawaan

Meteran 1). Tidak

meme-nuhi syarat = <10% dari luas lantai. 2). Memenuhi syarat = >10% dari luas lantai. Ordinal


(66)

Tabel 3.1. Lanjutan 4.

Pencahaya-an

Besarnya energi cahaya alam dan buatan yang mene-rangi dalam rumah

Mengukur cahaya masuk dalam ruang rumah

Lux Meter 1). Tidak meme-nuhi syarat = < 60 Lux. 2). Memenuhi

syarat = ≥60 Lux

Ordinal

5. Kelembaban Kadar air di udara dalam ruangan rumah / kamar

Mengukur kelembaban udara dalam ruangan Hygro-meter 1). Tidak meme-nuhi syarat = </> 40-70%. 2). Memenuhi

syarat = an-tara 40-70%

Ordinal

6. Suhu Mengukur suhu

ruangan kamar Mengukur suhu dalam ruangan kamar Thermo meter ruangan 1). Tidak memenuhi syarat = </>

180C-300C 2). Memenuhi

syarat = 180C- 300C

Ordinal 7. Polutan Dalam Rumah Adanya aktifitas/ kebiasaan perlaku-an di dalam rumah menggunakan bahan yang meng-hasilkan asap hasil pembakaran

Wawancara dan observasi

Kuesioner 1). Tidak

2). Ada

Ordinal

III Karakteristik Wilayah

1. Ketinggian Permukaan Tanah dari Permukaan Laut Keadaan keting-gian permukaan tanah dengan permukaan laut Pengukuran dengan GPS (Global Postioning Sytem) Dikelom-pokkan dalam dua katagori Ketinggian

1). ≥373 meter 2). <373 meter

Interval

2. Curah Hujan

Banyaknya turun hujan dalam satuan ukur per tahun

Data sekunder dari Bapeda Kabupaten Aceh Tenggara Dikelom-pokkan dua katagori curah hujan

1). ≥ 2732 mm/ tahun 2). < 2732 mm/

tahun Interval 3. Jarak Tempuh kesarana Kesehatan Jarak tempuh responden ke unit Pelayanan Kesehatan

Wawancara Kuesioner 1). < 4610

meter 2). > 4610

meter


(67)

3.6. Metode Pengukuran 3.6.1. Alat Ukur

Alat ukur yang dipakai untuk mengukur variabel bebas (independen) adalah:

1. Kuesioner berstruktur tertutup

2. Meteran untuk mengukur Ventilasi

3. Timbangan untuk mengukur berat badan

4. Lux meter untuk mengukur pencahayaan.

5. Hygrometer untuk mengukur kelembaban

6. GPS (Global Postioning System) untuk mengukur ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut.

Alat ukur yang dipakai untuk mengukur variabel terikat (Dependen) adalah tanda-tanda dan gejala klinis dan pemeriksaan rontgen.

3.8.2 Cara pengukuran Lingkungan Fisik Rumah.

Cara yang dilakukan untuk mengukur lingkungan fisik rumah pada kasus dan kontrol dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengukur luas rumah pada setiap rumah responden

2. Mengukur ventilasi dilakukan pada setiap rumah responden dengan mengukur

seluruh lubang ventilasi yang ada dibandingkan dengan luas lantai bangunan.

3. Mengukur cahaya dilakukan pada setiap rumah responden dengan cara mengukur

cahaya yang masuk ke dalam rumah

4. Mengukur kelembaban dilakukan pada setiap ruangan rumah dan tidur responden

5. Mengukur suhu ruangan rumah dilakukan pada setiap ruangan rumah dan ruang


(1)

5.3.2. Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan signifikan antara curah hujan dengan kejadian tuberkolosisis paru dengan nilai p = 0,022 (p<0,05). Pada penelitian ini diperoleh bahwa responden yang menderita tuberkulosis paru lebih banyak pada pemukiman dengan curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah menjadi lembab dan menimbulkan banyaknya genangan air sehingga menimbulkan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih 80% sel bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup bakteri (Gould & Brooker, 2003).

Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara akan meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patigen termasuk bakteri TBC. 5.3.3. Hubungan Jarak tempuh ke Sarana Kesehatan dengan Kejadian

Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan signifikan antara jarak tempuh ke sarana kesehatan dengan kejadian tuberkolosisis paru dengan p = 0,007 (p<0,05). Penelitian ini menunjukkan yang menderita tuberkulosis paru lebih banyak pada responden dengan jarak tempuh >4610 meter ke sarana kesehatan. Hal ini sesuai dengan Margarethy (2008), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah jarak pelayanan kesehatan.

Jarak pelayanan kesehatan akan mengakibatkan masyarakat malas datang menggunakan pelayanan kesehatan karena membutuhkan waktu dan transportasi


(2)

yang sulit untuk menempuh pelayanan kesehatan, sehingga masyarakat lebih memilih menahankan penyakitnya dibandingkan datang untuk memeriksakan kesehatannya. 5.4. Resiko yang Paling Dominan yang Berhubungan dengan Kejadian

Tuberkulosis Paru.

Berdasarkan uji regresi logistik dengan metode enter diperoleh R Square sebesar 0.619 artinya 61.9% variasi status imunisasi BCG menjelaskan tuberkulosis paru (kategori sangat kuat). Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa responden yang mendapatkan imunisasi BCG bebas dari penyakit TB paru. Hal ini membuktikan bahwa imunisasi BCG dapat menghindari terjadinya tuberculosis paru.

Imunisasi BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil yang hidup yang telah dilemahkan atau dihilangkan virulensinya. Baksil tuberkulosis paru dapat memasuki tubuh tetapi dalam kebanyakan kasus daya pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan dan membunuh kuman-kuman tersebut.

5.5. Keterbatasan Penelitian

Pada saat dilakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan tuberkulosis paru ditemukan beberapa keterbatasan antara lain :

1. Karena sampel di ambil secara total sampling seluruh kasus dan non kasus (1:1), yang menyebar di seluruh wilayah, cukup menyita waktu dalam penelitian.

2. Umumnya responden kasus dan non kasus mempunyai pekerjaan bertani, menyulitkan peneliti untuk mewawancarai, obserpasi dan pemeriksaan faktor lingkungan fisik rumah kasus atau non kasus yang tidak berada tempat tinggal.


(3)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Ada hubungan antara karakteristik penderita (umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, status gizi, status imunisasi BCG, status sosial ekonomi dan tindakan) dengan kejadian tuberkulosis paru.

2. Ada hubungan antara lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian kamar, jenis

lantai, ventilasi rumah, pencahayaan, kelembaban, suhu dan polutan dalam rumah) dengan kejadian tuberkulosis paru.

3. Ada hubungan antara karakteristik wilayah (ketinggian permukaan tanah dari

permukaan laut, curah hujan, dan jarak tempuh ke sarana kesehatan) dengan tuberkulosis paru.

4. Resiko yang paling dominan berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru

berdasarkan uji Regresi Logistik adalah status imunisasi BCG.

6.2. Saran

6.2.1 Saran untuk Program

1. Hendaknya Pemegang program Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan meningkatkan penyuluhan tentang tuberkulosis taru di masyarakat dalam Kabubupaten Aceh Tenggara.


(4)

2. Pemerintah melalui program Penyehatan Linkungan dan Pemukiman memberikan bantuan perbaikan perumahan dan atau percontohan perumahan sehat untuk masyarakat kurang mampu dalam Kabupaten Aceh Tenggara.

3. Hendaknya dalam penempatan sarana kesehatan dapat terjangkau oleh

masyarakat yang dilayani.

4. Dinas Kesehatan melalui program imunisasi lebih meningkatkan kegiatan

imunisasi BCG bagi masyarakat daerah yang rawan tuberkulosis paru.

6.2.2 Saran untuk Masyarakat

1. Hendaknya masyarakat Kabubupaten Aceh Tenggara perlu meningkatkan pengetahuan dan tindakan atau berprilaku yang baik tentang penyakit tuberkulosis paru.

2. Bagi penderita tuberkulosis paru sebaiknya mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk membantu agar tuberkulosis paru yang di derita tidak lebih parah.

3. Perlunya memperhatikan jumlah hunian kamar, jenis lantai, ventilasi, pencahayaan rumah, kelembaban dan suhu udara dan polutan dalam ruangan yang sesuai dengan syararat kesehatan untuk mencegah tutuberkulosis paru. 4. Hendaknya masyarakat Kabubupaten Aceh Tenggara perlu mendapatkan


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U F, 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Kompas, Jakarta. Aditama, C. Y, 1996. Perkembangan di Bidang Penangulangan Tuberkulosis paru,

Majalah Kesehatan Masyarakat edisi XXIV Nomor 6, Jakarta

Aditama , Tjandra Yuga, 1997. Tuberculosis Paru, Masalah dan Penaggulangannya, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Jakarta

Candra Budiman, 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan, IGC Jakarta.

Crofton, Sit John, Home, Norman and Miller, Fred, 1993. Tuberculosis Klinis, Widya Medika, Jakarta.

Depkes RI, 1999. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 829, Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan , Depkes RI, Jakarta.

_________, 2000. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Direktorat jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

_________, 2002. Kumpulan Journal Publikasi Penyakit Tuberkulosis, Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

_________, 2007. Pedoman Nasional PenanggulanganTuberkulosis Depkes RI, Jakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, 2007. Profil Kesehatan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam tahun 2006, Dinas Kesehatan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam.

________________________________________________, 2008. Profil Kesehatan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam tahun 2007, Dinas Kesehatan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam.

Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara, 2008. Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2007, Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara, Kutacane. ___________________________________, 2009. Profil Kesehatan Kabupaten Aceh


(6)

Hariza Adnani, Asih Mahastuti, 2006. Penelitian Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003 - 2006, http://www.skripsistikes.wordpress.com, Diakses Tanggal 02 Agustus 2010.

Murti, Bhisma, 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rinika Cipta, Jakarta.

___________________, 2004. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rinika Cipta, Jakarta. Soesanto, S.S, 2000. Hubungan Kondisi Perumahan dengan Penuralan Penyakit ISPA

dan TB Paru, Bahan Lokakarya Sehari Penyehatan Perumahan, Jakarta. Sukarni. M, 1994. Pengantar Epidemiologi, Dian Rakyat, Jakarta.

Soemirat, J, 2000. Epidemiologi Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Suyitno, R, H, 1990. Pengamatan Vaksinasi dalam Hubungan dengan Berbagai Tingkat Gizi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Jakarta.

WHO, 2001. Revired International Definition In Tuberculosis Control, net J Tubere Dia 5(3) 213-215.

_____, 2002. The Global Plan To Stop Tuberculosis, WHO, Switnerland.

_____, 2005. WHO Report 2005 Global Tuberculosis Control Surveillance Planning Financing WHO, Genewa.

Meprofarm Pharmaceutical Industry, PT, Seputar Pertanyaan TBC, http://www.meprofarm.com Diakses Tanggal 14 Januari 2009.

Mussadad, Anwar. Penelitian Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penularan TB Paru di Rumah Tangga, http://www.litbang-depkes.go.id, Diakses Tanggal 14 Januari 2009.


Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik dan Perilaku Mengenai Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa Tahun 2013

3 44 122

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DAN PERILAKU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta Tahun 2016.

0 3 18

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DAN PERILAKU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta Tahun 2016.

0 3 18

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.

3 11 15

PENDAHULUAN Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.

0 4 6

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.

0 2 16

Hubungan antara Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kayen Kabupaten Pati.

0 0 1

ANALISIS FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYU URIP KABUPATEN PURWOREJO

0 0 11

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN PERILAKU MASYARAKAT MENGENAI LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LAGUBOTI KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBASA TAHUN 2013 SKRIPSI

0 0 14

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENDERITA TUBERKULOSIS (TB) PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SEMPOR 1

0 0 62