Hubungan Karakteristik Rumah Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012
1
HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SIMPANG KIRI
KOTA SUBULUSSALAM TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh :
NIM :081000002 MELISAH PITRI SIREGAR
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SIMPANG KIRI
KOTA SUBULUSSALAM TAHUN 2012
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh
NIM :081000002 MELISAH PITRI SIREGAR
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
ABSTRAK
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis yang hidup ditempat dengan kelembaban yang tinggi.
lingkungan rumah merupakan salah satu media yang memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan bakteri mycobacterium tuberkulosis serta penyebarannya apabila kondisinya tidak memenuhi syarat kesehatan. Kuman tuberkulosis dapat hidup hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi, yang baik, kelenbaban, suhu dan kepadatan penghuni rumah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru.
Desain penelitian ini adalah Case Control dengan total sampel 50 responden, terdiri dari 25 sampel kasus, yaitu penderita tuberkulosis paru yang tercatat didata rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam, dan 25 sampel kontrol yaitu penduduk yang bermukim disekitar rumah penderita tuberkulosis paru dengan pencocokan sama dengan kasus dalam hal umur dan jenis kelamin. Data dianalisis dengan menggunakan Chi Square pada taraf kepercayaan 5 %.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik rumah penduduk yang menderita tuberkulosis paru dengan yang bukan penderita tuberkulosis paru. dimana data menunjukkan bahwa OR dari kepadatan hunian 13,5, ventilasi 30,5, jenis lantai 22,1, pencahayaan 9,33, suhu 27,5 dan kelembaban 84,4. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012.
Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat serta peran aktif pemerintah dan petugas kesehatan, dalam meningkatkan pelayanan dan pengetahuan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru melalui penyuluhan, penemuan kasus dan pemberdayaan masyarakat.
(4)
ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is a communicable disease which is caused by mycobacterium tuberculosis that lives in high moist place, and house in one of media that gives high influence to the mycobacterium tuberculosis’s growth and its transmitting if the condition do not complete the term of health. Tuberculosis bacteria can lives for weeks depend on the present of ultraviolet, the condition of ventilation, humidity, temperature and over crowding
The aim of this research was for determining the relation between the characteristics of house with the prevalence of pulmonary tuberculosis.
The design of this research was Case Control. Total samples of this research was 50 respondents which is consist of 25 respondents for case that as the sufferer of pulmonary tuberculosis which recorded on the medical record of public health centre Simpang Kiri Kota Subulussalam city, and 25 respondents for Control, that was the people who lives around the sufferer of pulmonary tuberculosis by matching the characteristics age and gender with case. The data was analiyzed by Chi Square with degree of confidence was 5%.
Accourding to the result of this rsearch, there was a significant differenc between the characteristics of citizen’s house who suffer from pulmonary tuberculosis. With the citizens who didn’t suffer from it. The data shows, that Odds Ratio Of over crowing 13,5, ventilation is 30,5, type of floor is 22,1, lighting is 9,3, temperature is 27,5 and humidity is 84,4 it is estimated that th characteristic of citizen’s house who didn’t suffer from it this condition indicate that there is relation between the characteristic of house with the prevalence of pulmonary tuberculosis in public health centre Simpang kiri area Subulussalam city in 2012.
Therefore, it is required the public participation with the government and health officer’s assignment in increasing the knowledge to prevent in the prevalence of pulmonary tuberculosis by information, finding case and public participant
(5)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : MELISAH PITRI SIREGAR
Tempat/Tanggal Lahir : Kuala Simpang/ 10 Mei 1990 Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Anak ke : 2 dari 4 Bersaudara Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat Rumah : Jl. Murni Gg. Warga Mesjid No. 13 Tanjung Rejo, Medan Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri 4 Kota Subulussalam : 1996 - 2002
2. SLTP Negeri 1 Kota Subulussalam : 2002 - 2005 3. SMA Negeri 1 Kota Subulussalam : 2005 - 2008 4. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera : 2008 - 2013 Utara
Riwayat Organisasi :
1. Unit kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah USU : 2008 - 2009 2. Panitia Hari Besar Islam (PHBI) FKM USU : 2009 – 2010 3. Unit kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) FKM USU : 2011 – 2012 4. Ikatan Mahasiswa Kesehatan Lingkungan (IMAKEL) : 2011
(6)
KATA PENGANTAR
Ba’da tahmid dan sholawat, tiada kata seindah pujian kepada Allah SWT
yang telah banyak memberi nikmat kepada tiap hambaNya. Iringan salam disampaikan pula kepada Rasulullah SAW yang telah membawa kesempurnaan akhlak, insyaAllah di akhirat nanti mendapat syafaatnya.
Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini didedikasikan untuk orang tua tercinta, Ayahanda Rusliadi Siregar dan Ibunda Asniati, orang yang selalu membangkitkan semangat dan inspirasi dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas doa, kasih sayang, serta dukungan moril maupun materil yang telah ayah dan ibu berikan setiap saat.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS. Selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
2. Ir. Evi Naria, MKes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Sekaligus penguji II yang banyak memberikan masukan dalam perbaikan skripsi ini.
(7)
3. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH. Selaku Dosen Pembingan I sekaligus Ketua penguji yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen Pembimbing II sekaligus penguji I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran, bimbingan, dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Dra. Nurmaini, MKM, Ph.D selaku Dosen Penguji III yang telah memberikan saran serta masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.
6. Dra. Abdul Jalil Amri Arma, MKes selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memperhatikan penulis selama mengikuti pendidikan di FKM Universitas Sumatera Utara.
7. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU yang telah banyak membantu dan memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.
8. Adri, SKM, MKes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Subulussalam yang telah memberikan izin penelitian dalam penulisan skripsi ini
9. Hj. Khairuna, SKM selaku Kepala Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam yang telah memberikan izin penelitian dalam penulisan skripsi ini.
10. Staf Laboratorium Lingkungan Aceh Singkil yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.
(8)
11.Teristimewa untuk keluarga tercinta, atok, nenek, bulek Ida, bulek Anum, cik Diah, kak Ulan bang Misbah dan adik-adikku Puput, Asri, juga keponakan tersayang Aja dan Afiqa, serta saudara-saudariku yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk dukungan doa, kasih sayang, serta semangat yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini 12.Sahabat-sahabat seperjuangan “Elep_You Community” (Linda
Handayani, Evi Novrina Runasmi, Sri Ulia Sari, Sri Lestari, Winny R.E Tumanggor Annisa Surto siregar). Terima kasih untuk dukungan, doa, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
13.Sahabat-sahabat “sejak kecil” (Ayu, Lili, Susi, Evi, Yanti, Anita) terima kasih untuk dukungan serta doa-doa kalian.
14.Teman-teman satu kos “ Pondok An Nahl” (Ceyik, Inda, Oi, Rahmi, Winni, Oos, kak Ainun, dan kak Gema). Terima kasih untuk dukungan dan doa kalian semua.
15.Teman-teman yang paling banyak memberikan support pada penulis (kak Tari, kak Dwi, kak Nia) terima kasih untuk motivasi-motivasi kalian. 16.Teman-teman stambuk 2008 FKM dan Ikatan Mahasiswa Kesehatan
Lingkungan (IMAKEL FKM USU) TAHUN 2011
17.Para Kru dilapangan , Abdi, kak Lilies dan kak Onel terima kasih banyak bantuannya.
(9)
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun bahasanya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skrisi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
(10)
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 PerumusanMasalah ... 5
1.3 TujuanPenelitian ... 5
1.3.1 Tujuan Umum ... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis ... 7
2.1.1 Definisi Tuberkulosis ... 7
2.1.2 Etiologi ... 7
2.1.3 Karakteristik Kuman Tuberkulosis ... 8
2.1.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis ... 8
2.1.5 Penularan dan Penyebaran ... 9
2.1.6 Patogenesis ... 10
2.1.7 Diagnosis ... 12
2.1.7.1 Diagnosis Tuberkulosis Paru pada Orang dewasa ... 12
2.1.7.2 Pemeriksaan Klinis ... 12
2.1.7.3 Pemeriksaan Radiologik ... 14
2.1.7.4 Pemeriksaan Laboratorium ... 15
2.1.7.5 Imunologi/ serologi ... 16
2.1.8 Pengobatan Penyakit TB Paru ... 18
2.1.8.1 Tatalaksana Pengobatan TB Paru di Berikan Dua Tahap ... 18
2.1.8.2. Program Obat Anti Tuberkulosis ... 19
2.1.9 Program Penanggulangan tuberkulosis ... 21
2.1.9.1 Berskala Nasional dan Terintegrasi ... 22
2.1.9.2 Program ... 22
2.1.10 Manajemen TBC Berbasis Wilayah ... 23
2.2. Faktor Kejadian Tuberkulosis ... 24
2.2.1 Kependudukan ... 24
2.2.2 Lingkungan ... 27
(11)
2.3.1 Kriteria Rumah Sehat ... 32
2.3.2 Adapun Ketentuan Persyaratan Kesehatan rumah tinggal Menurut Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999 ... 36
2.4. Kerangka Konsep ... 38
2.5. Hipotesa Pene;itian ... 38
BAB III METODE PENELITIAN ... 40
3.1 Jenis Penelitian ... 40
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 40
3.2.2 Waktu Penelitian ... 40
3.3 Populasi Dan Sampel ... 41
3.3.1 Populasi Kasus ... 41
3.3.2 Populasi Kontrol ... 41
3.3.3 Sampel Kasus ... 41
3.3.4 Sampel kontrol ... 41
3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 42
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 42
3.5.1 Data Primer ... 42
3.5.2 Data Sekunder ... 42
3.6 Definisi Operasional ... 42
3.7 Aspek pengukuran ... 44
3.8 Pengolahan Data ... 48
3.8.1 Editing ... 48
3.8.2 Coding ... 48
3.8.3 Procesing ... 48
3.8.4 Cleaning ... 48
3.9 Analisa Data ... 48
3.9.1 Univariat ... 48
3.9.2 Bivariat ... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 50
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50
4.2 Analisis Univariat Karakteristik Rumah ... 50
4.2.1 Kepadatan Hunian ... 50
4.2.2 Ventilasi ... 51
4.2.3 Jenis Lantai ... 52
4.2.4 Pencahayaan ... 52
4.2.5 Suhu ... 53
4.2.6 Kelembaban ... 54
4.3 Analisis Univariat Karakteristik Responden ... 54
4.3.1 Tingkat Pendidikan Responden Kasus dan Kontrol ... 54
4.3.2 Jenis Pekerjaan Responden Kasus dan Kontrol ... 55
(12)
4.4 Analisis Bivariat ... 56
4.4.1 Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis paru ... 57
4.4.1.1 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Tuberkulosis paru ... 58
4.4.1.2 Hubungan Ventilasi dengan kejadian Tuberkulosis Paru ... 59
4.4.1.3 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 59
4.4.1.4 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 60
4.4.1.5 Hubungan Suhu dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 61
4.4.1.6 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 62
4.4.2. Hubungan Karakteristik Responden dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 63
4.4.2.1 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kejadian Tuberkulosis Paru ... 64
4.4.4.2 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan kejadian Tuberkulosis Paru ... 65
4.4.2.3 Hubungan Penghasilan Keluarga dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 65
BAB V PEMBAHASAN ... 65
5.1 Karakteristik Rumah ... 67
5.1.1 Kepadatan Hunian ... 67
5.1.2 Kondisi Ventilasi ... 67
5.1.3 Jenis Lantai ... 68
5.1.4 Pencahayaan ... 68
5.1.5 Suhu ... 68
5.1.6 Kelembaban ... 69
5.2 Karakteristik Responden ... 69
5.2.1 Tingkat Pendidikan Responden ... 69
5.2.2 Jenis Pekerjaan ... 70
5.2.3 Penghasilan Keluarga ... 70
5.3 Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 70
5.3.1 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 71
5.3.2 Hubungan Kondisi Ventilasi dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 72
5.3.3 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Tuberkulosis Paru 74 5.3.4 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian Tuberkulosis paru ... 75
(13)
5.3.5 Hubungan Suhu dengan Kejadian KejadianTuberkulosis
Paru ... 76
5.3.6 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Tuberkulosis Paru 77 5.4 Hubungan Karakteristik Responden dengan Kejadian Tuberkulosis paru ... 77
5.4.1 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Tuberkulosi paru ... 79
5.4.2 Hubungan Jenis pekerjaan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 79
5.4.3 Hubungan Tingkat Penghasilan Keluarga dengan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 80
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 81
6.1 Kesimpulan ... 81
6.2 Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA
(14)
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Kategori Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 51 Tabel 4.2 Kategori Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan
Ventilasi di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 51 Tabel 4.3 Kategori Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Jenis
Lantai di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 52 Tabel 4.4 Kategori Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan
Pencahayaan di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 53 Tabel 4.5 Kategori Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Suhu di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 53 Tabel 4.6 Kategori Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan
Kelembaban di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 54 Tabel 4.7 Kategori Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 55 Tabel 4.8 Karakteristik Berdasarkan Jenis Pekerjaan Responden di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 52 Tabel 4.9 Karakteristik Berdasarkan Penghasilan Keluarga Responden di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 56 Tabel 4.10 Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 57 Tabel 4.11 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 58 Tabel 4.12 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 59 Tabel 4.13 Hubungan Jenis lantai dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 60 Tabel 4.14 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 61 Tabel 4.15 Hubungan Suhu dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 61 Tabel 4.16 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di
(15)
Tabel 4.17 Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Pusksmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 63 Tabel 4.18 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Tuberkulosis
paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012 ... 64 Tabel 4.19 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru
di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012... 65 Tabel 4.20 Hubungan Penghasilan Keluarga dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam tahun 2012 ... 66
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Survei Pendahuluan dari FKM Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM
Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Penelitian dari Dinas kesehatan Kota Subulussalam
Lampiran 4 Kuesioner Penelitian
Lampiran 5 Lembar Observasi Penelitian Lampiran 6 Output Analisis Data
Lampiran 7 Surat telah Selesai Penelitian dari Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam
Lampiran 8 Laporan Hasil Pengukuran Kualitas Suhu, Pencahayaan dan Kelembaban dalam ruangan di Rumah Responden Kota Subulussalam Tahun 2012
Lampiran 9 Master Data
Lampiran 10 Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999 Lampiran 11 Dokumentasi pada Saat Melakukan Penelitian
(17)
ABSTRAK
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis yang hidup ditempat dengan kelembaban yang tinggi.
lingkungan rumah merupakan salah satu media yang memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan bakteri mycobacterium tuberkulosis serta penyebarannya apabila kondisinya tidak memenuhi syarat kesehatan. Kuman tuberkulosis dapat hidup hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi, yang baik, kelenbaban, suhu dan kepadatan penghuni rumah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru.
Desain penelitian ini adalah Case Control dengan total sampel 50 responden, terdiri dari 25 sampel kasus, yaitu penderita tuberkulosis paru yang tercatat didata rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam, dan 25 sampel kontrol yaitu penduduk yang bermukim disekitar rumah penderita tuberkulosis paru dengan pencocokan sama dengan kasus dalam hal umur dan jenis kelamin. Data dianalisis dengan menggunakan Chi Square pada taraf kepercayaan 5 %.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik rumah penduduk yang menderita tuberkulosis paru dengan yang bukan penderita tuberkulosis paru. dimana data menunjukkan bahwa OR dari kepadatan hunian 13,5, ventilasi 30,5, jenis lantai 22,1, pencahayaan 9,33, suhu 27,5 dan kelembaban 84,4. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam Tahun 2012.
Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat serta peran aktif pemerintah dan petugas kesehatan, dalam meningkatkan pelayanan dan pengetahuan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru melalui penyuluhan, penemuan kasus dan pemberdayaan masyarakat.
(18)
ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is a communicable disease which is caused by mycobacterium tuberculosis that lives in high moist place, and house in one of media that gives high influence to the mycobacterium tuberculosis’s growth and its transmitting if the condition do not complete the term of health. Tuberculosis bacteria can lives for weeks depend on the present of ultraviolet, the condition of ventilation, humidity, temperature and over crowding
The aim of this research was for determining the relation between the characteristics of house with the prevalence of pulmonary tuberculosis.
The design of this research was Case Control. Total samples of this research was 50 respondents which is consist of 25 respondents for case that as the sufferer of pulmonary tuberculosis which recorded on the medical record of public health centre Simpang Kiri Kota Subulussalam city, and 25 respondents for Control, that was the people who lives around the sufferer of pulmonary tuberculosis by matching the characteristics age and gender with case. The data was analiyzed by Chi Square with degree of confidence was 5%.
Accourding to the result of this rsearch, there was a significant differenc between the characteristics of citizen’s house who suffer from pulmonary tuberculosis. With the citizens who didn’t suffer from it. The data shows, that Odds Ratio Of over crowing 13,5, ventilation is 30,5, type of floor is 22,1, lighting is 9,3, temperature is 27,5 and humidity is 84,4 it is estimated that th characteristic of citizen’s house who didn’t suffer from it this condition indicate that there is relation between the characteristic of house with the prevalence of pulmonary tuberculosis in public health centre Simpang kiri area Subulussalam city in 2012.
Therefore, it is required the public participation with the government and health officer’s assignment in increasing the knowledge to prevent in the prevalence of pulmonary tuberculosis by information, finding case and public participant
(19)
17
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan upaya untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Hal ini sesuai dengan Undang–Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Salah satu penyakit yang dapat menurunkan kemampuan hidup masyarakat adalah penyakit tuberkulosis (TBC). Penyakit tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai
high-burden countries terhadap TB. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan
China dalam menyumbang TB di dunia. Menurut WHO estimasi insidence rate untuk pemeriksaan dahak didapatklan basil tahan asam (BTA) positif adalah 115 per 100.000 (WHO, 2003) .
Tuberkulosis paru adalah merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia karena Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada tahun 1993 Word Health organization (WHO) mencanangkan kedaruratan Global penyakit tuberkulosis paru (TB paru), karena sebagian besar negara di dunia tidak bisa mengendalikan penyakit tuberkulosis paru . Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular
(20)
(BTA Positif). Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru tuberkulosis paru dengan kematian 3 juta orang (WHO, 1997) .
Di berbagai negara maju penyakit tuberkulosis paru hampir dikatakan sudah dapat dikendalikan, meski peningkatan angka HIV merupakan ancaman potensial terhadap merebaknya kembali tuberkulosis paru di negara maju. Di negara maju diperkirakan hanya 10 hingga 20 kasus diantara 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian hanya berkisar antara 1 hingga 5 kematian per 100.000 penduduk. Sementara di Afrika diperkirakan mencapai 165 kasus baru diantara 100.000 penduduk, dan Asia 110 diantara 100.000 penduduk, namun mengingat penduduk Asia lebih besar dibanding Afrika, jumlah absolute yang terkena tuberkulosis paru di benua Asia 3,7 kali lebih banyak dari pada Afrika (Achmadi, 2010) .
Penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia. Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis. (Notoatmojo, 2007) .
Di Indonesia tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien tuberkulosis paru di Indonesia merupakan ke -3 terbanyak
(21)
di dunia setelah India dan China dengan jumlah pasien sekitar 10 % dari total jumlah pasien tuberkulosis paru didunia. Insiden kasus tuberkulosis paru BTA Positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008) .
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 estimasi prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000 penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 tuberkulosis paru menduduki rangking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4 % dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan. Hasil survei prevalensi tuberkulosis paru di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI,2007) .
Di Nanggroe Aceh Darussalam Angka kejadian tuberkulosis paru dua tahun terakhir menunjukkan penambahan penderita tuberkulosis paru positif dari tahun 2006 sebanyak 3.251 kasus, menjadi 3.636 kasus pada tahun 2007 (Profil Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam Tahun, 2007, 2008) .
Angka kejadian tuberkulosis paru di Kota subulussalam dua tahun terakhir menunjukkan angka peningkatan dari jumlah kasus 88 kasus tuberkulosis paru positif pada tahun 2007 menjadi 104 kasus di tahun 2008. (Profil kesehatan Kota Subulussalam).
Menurut Hendrik L Blum dalam Notoadmojo (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain adalah faktor lingkungan, prilaku, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.
(22)
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1 – 2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah. (Notoatmodjo, 2007) .
Rumah adalah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal. (Dinas Perumahan dan Pemukiman RI 2008) .
Rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan berisiko menjadi sumber penularan berbagai jenis penyakit. Oleh karena itu, Standar arsitektur bangunan perumahan umum pada dasarnya ditujukan untuk menyediakan rumah tinggal yang cukup baik dalam bentuk desain, letak dan luas ruangan serta fasilitas lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga atau dapat memenuhi persyaratan rumah tinggal yang sehat. Rumah atau tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mendukung terjadinya penyakit dan berbagai gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan, penularan penyakit tuberkulosis infeksi pada kulit, infeksi akibat infestasi tikus dan kecelakaan mental (Chandra, 2007) .
Berdasarkan survei pendahuluan peneliti menemukan data dari rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam jumlah pasien penderita tuberkulosis paru pada awal Januari 2012 sampai dengan Juni 2012 memiliki total kunjungan sebanyak 29 orang dan kasus tersangka tuberkulosis paru sebanyak 29 orang.
(23)
Dari referensi diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang apakah ada hubungan antara karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam tahun 2012.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan survei awal di Puskesmas Kecamatan simpang kiri terdapat kasus penderita tuberkulosis paru sebanyak 29 orang di akhir tahun 2012, dan dari observasi penulis ketahui bahwa masih banyak karakteristik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan di Kota Subulusalam. Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah ada hubungan karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam tahun 2012 .
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik rumah yang dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam tahun 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik rumah responden penderita tuberkulosis paru yang tercatat di data rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam 2. Mengetahui karakteristik responden penderita tuberkulosis paru yang tercatat di
data rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
3. Mengetahui hubungan karakteristik responden dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
4. Mengetahui hubungan karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
(24)
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi pelaksana program kesehatan lingkungan pemukiman pada instansi Dinas Kesehatan Kota Subulussalam.
2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas terkait dalam merencanakan program pencegahan tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
3. Bagi peneliti kegiatan ini merupakan sarana belajar untuk dapat membantu mencegah penyakit tuberkulosis paru yang ada di masyarakat serta dapat menerapkan ilmu dan pengalaman belajar selama di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. Bagi peneliti dapat dijadikan bahan dan perbandingan untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam dan berhubungan dengan skripsi ini.
(25)
23
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobakterium tuberculosis tipe Humanus. Kuman tuberkulosis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982. Jenis kuman tersebut adalah mycobacterium tuberculosis, mycobakterium afrium dan mycobacterium
bovis. ( Stanford, 1994).
Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. (Jhon, 2002).
2.1.2. Etiologi
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium. Genus
mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya mycobacterium tuberculosis
yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2m-4m dan lebar 0,2m–0,5m. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler. Kuman ini bersifat obligat aerob dan pertumbuhannya lambat. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk mengganda danpertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu. (Amin, 1989).
Suhu optimal untuk untuk tumbuh pada 37oC. Jika dipanaskan pada suhu 60oC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping itu organisme ini agak resisten
(26)
terhadap bahan-bahan kimia dan tahan terhadap pengeringan, sehingga memungkinkan untuk tetap hidup dalam periode yang panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain yang ada dikamar tidur. Dinding selnya 60% terdiri dari kompleks lemak seperti mycolic acid yang menyebabkan kuman bersifat tahan asam,
cord factor merupakan mikosida yang berhubungan dengan virulansi. Kuman yang
virulen mempunyai bentuk khas yang disebut serpentine cord, Wax D yang berperan dalam immunogenitas dan phospatides yang berperan dalam proses nekrosis kaseosa. Basil tuberkulosis sulit untuk diwarnai tapi sekali diwarnai ia akan mengikat zat warna dengan kuat yang tidak dapat dilepaskan dengan larutan asam alkohol seperti perwarnaan Ziehl Nielsen. Organisme seperti ini di sebut tahan asam. Basil tuberkulosis juga dapat diwarnai dengan pewarnaan fluoresens seperti pewarnaan auramin rhodamin. (Depkes RI, 2002).
2.1.3. Karakteristik Kuman Tuberkulosis
Di luar tubuh manusia, kuman Mycobakterium tuberkulosis hidup baik pada lingkungan yang lembab dan tidak tahan terhadap sinar matahari. (Depkes RI 2002).
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang lembab, gelap tanpa sinar matahari selama bertahun-tahun. Dan akan mati bila terkena sinar matahari, sabun lisol , karbol, dan panas api. (Atmosukarto 2000).
2.1.4. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis
Pada penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua penderita tuberkulosis yang menyerang jaringan paru–paru ini merupakan satu–satunya bentuk dari tuberkulosis yang mudah
(27)
tertular. Tuberkulosis ekstra paru merupakan bentuk penyakit tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain, selain paru–paru seperti pleura, kelenjar limpe, persendian tulang belakang, saluran kencing, susunan syaraf pusat dan pusat. Pada dasarnya penyakit tuberkulosis ini tidak pandang bulu karena kuman ini dapat menyerang semua organ- organ dari tubuh. (Misnadiarly 2006).
2.1.5. Penularan dan Penyebaran.
Tuberkulosis ditularkan melalui udara oleh partikel kecil yang berisi kuman tuberkulosis yang disebut “droplet nukleus”. Droplet nukleus yang berukuran 1-5m dapat sampai ke alveoli. Droplet nukleus kecil yang berisi basil tunggal lebih berbahaya daripada sejumlah besar basil didalam partikel yang besar, sebab partikel besar akan cenderung menumpuk dijalan napas daripada sampai ke alveoli sehingga akan dikeluarkan dari paru oleh sistem mukosilier. Batuk merupakan mekanisme yang paling efektif untuk menghasilkan droplet nukleus. Satu kali batuk yang cepat dan kuat akan menghasilkan partikel infeksius sama banyaknya dengan berbicara keras selama lima menit. Penyebaran melalui udara juga dapat disebabkan oleh
manuver ekspirasi yang kuat seperti bersin, berteriak, bernyanyi. Satu kali bersin
dapat menghasilkan 20.000–40.000 droplet, tapi kebanyakan merupakan partikel yang besar sehingga tidak infeksius. Pasien yang batuk lebih dari 48 kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien. Sementara pasien yang batuk kurang dari 12 kali/malam menginfeksi 28% dari kontaknya. Basil tuberkulosis dapat juga memasuki tubuh melalui traktus gastrointestinal ketika minum susu yang mengandung mycobakterium tuberkulosis. Jalan masuk lain kedalam tubuh manusia adalah melalui luka pada kulit atau membran mukosa, tetapi penyebaran dengan cara ini sangat jarang. Jika fokus tuberkulosis telah terbentuk pada satu bagian tubuh maka penyakit dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain melalui pembuluh darah, saluran limfatik, kontak langsung, saluran cerna (sering dari intestinum kembali ke darah melalui duktus torasikus) dan terakhir yang paling sering melalui jalan napas. (Misnadiarly, 2006).
2.1.6. Patogenesis
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated immune
response. Sel efektornya adalah makrofag, sedang limfosit (biasanya sel T)
merupakan immunoresponse cell. Inhalasi partikel besar yang berisi lebih dari tiga basil tuberkulosis tidak akan sampai ke alveoli, partikel akan melekat di dinding
(28)
bronkus dan akan dikeluarkan oleh sistem mukosiliari, tetapi inhalasi partikel kecil yang berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli.
Basil tuberkulosis yang menginfeksi paru dalam 6–8 minggu akan menimbulkan gejala karena telah mengaktifasi limfosit T helper CD 4 (cluster
diffrentiated) agar memproduksi interferon gamma guna aktifasi makrofag sehingga
meningkatkan kemampuan fagositosisnya. Disamping itu juga diproduksi TNF
(tumor necrotizing factor) oleh limfosit T dan makrofag dimana TNF berperan
dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal.
Basil tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi dan masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag yang berfungsi untuk memakan dan membunuh basil tersebut. Setelah beberapa hari maka leukosit berkurang dan makrofag jadi dominan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut yang disebut dengan focus primer atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini dapat sembuh dengan atau tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Gabungan terserangnya kelenjar getah bening dengan fokus primer disebut kompleks ghon. Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post primer.
TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas terutama pada segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah. Terjadinya TB post
(29)
primer dapat terjadi melalui salah satu dari 3 mekanisme ini yaitu:
1. Perkembangan langsung dari TB primer
2. Reaktivasi dari TB primer (endogenous)
3. Reinfeksi dari luar (exogenous reinfection).
Proliferasi dari basil tuberkulosis didalam nekrosis sentral diikuti dengan perlunakan dan pencairan zat-zat kaseosa yang dapat pecah ke bronkus dan membentuk kavitas. Perdarahan dapat terjadi jika proses kaseosa berlanjut ke pembuluh darah pada dinding kavitas. Penyebaran kaseosa dan bahan-bahan cair kedalam percabangan bronkus akan menyebarkan infeksi ke daerah paru yang lainnya. Rupturnya fokus kaseosa kedalam pembuluh darah akan mengakibatkan terjadinya TB milier.
Pemberian vaksinasi BCG yang merupakan imunisasi aktif dimana vaksin yang digunakan merupakan kuman yang dilemahkan sehingga tidak dapat menyebabkan penyakit, melainkan masih dapat mengakibatkan imunitas. Individu yang telah diberikan vaksin BCG secara lengkap maka didalam badannya telah terbentuk suatu kekebalan yang dapat melawan infeksi tuberkulosis sehingga walaupun tidak dapat menjamin individu tersebut dari penyakit ini tetapi jika ia terserang tuberkulosis umumnya penyakit tidaklah berat. Infeksi tuberkulosis berkaitan erat dengan imunitas seseorang. Meskipun penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi tetapi ternyata diperlukan juga suatu hereditas tubuh untuk dapat menderitanya. (Achmadi, 2010).
(30)
2.1.7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis paru perlu dilakukan beberapa pemeriksaan seperti:
pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologik dan pemeriksaan laboratorium (mikrobiologik).
2.1.7.1. Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua tiga specimen SPS BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
2.1.7.2. Pemeriksaan Klinis
TB disebut juga the great imitator. Oleh karena gejalanya banyak mirip dengan penyakit lainnya. Pada pemeriksaan klinis dibagi atas pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan jasmani.
1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis paru dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu: 1) Gejala respiratorik
a) Batuk ; merupakan gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan. Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang
(31)
berlangsung ≥ 3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.
b) Batuk darah ; darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak-bercak atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat juga terjadi pada bronkiektasis dan tumor paru.
c) Sesak napas ; dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas.
d) Nyeri dada ; timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura sudah terlibat.
2) Gejala sistemik
a) Demam ; merupakan gejala yang paling sering dijumpai, biasanya timbul pada sore dan malam hari.
b) Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu makan menurun.
2. pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmani sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan jasmani. Suara bising napas abnormal dapat berupa dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Sedangkan limfadenitis yang disebabkan oleh
(32)
minggu atau bulan dan selalu disertai nyeri tekan pada nodul yang bersangkutan. Lesi umumnya terletak di sekitar perjalanan vena jugularis, belakang leher ataupun di daerah supra clavicula.
2.1.7.3. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks gambaran radiologik yang ditemukan dapat berupa.
a. Bayangan lesi diatas lapangan paru atau segmen apikal lobus bawah b. Bayangan berawan atau berbercak
c. Adanya kavitas tunggal atau ganda d. Bayangan bercak milier
e. Bayangan efusi pleura umumnya unilateral
f. Destroyed lobe sampai destroyed lung
g. Kalsifikasi
h. Schwarte
Berdasarkan luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:
a. Lesi minimal (minimal lesion)
Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal
(33)
vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi sedang (moderately advanced lesion):
Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses tuberkulosis tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat / tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.
c. Lesi luas (far advanced):
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
2.1.7.4. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah rutin:
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Laju endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik.
2. Pemeriksaan bakteriologik:
(34)
bilasan lambung, jaringan baik lymph node atau jaringan reseksi operasi, cairan pleura, cucian lambung, cairan serebrospinalis, pus / aspirasi abses, urine, apusan laring.
a. Pemeriksaan mikroskopik biasa
Pada pemeriksaan ini dapat dilihat adanya basil tahan asam. Dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per cc sputum untuk mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen dan pewarnaan Kinyoun-Gabbett. Cara pengambilan sputum tiga kali (3 X) dengan cara;
1. Spot (sputum saat kunjungan pertama)
2. Sputum pagi (keesokan harinya)
3. Spot (pada saat mengantarkan sputum pagi pada hari kedua)
b. Pemeriksaan mikroskopik fluorescens:
Dengan mikroskop fluorescens ini gambaran basil tahan asam yang terlihat lebih besar dan lebih jelas karena daya pandang diperluas dan adanya fluorescens dari zat warna auramin-rhodamin.
3. Kultur/biakan kuman
Pada pemeriksaan ini paling sedikit 10 kuman tuberkulosis yang hidup. Jenis-jenis pemeriksaan kultur sputum ini antara lain:
a. Metode konvensional seperti Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh, Middlebrook 7H-10 dan 7H11.
(35)
b. Metode Radiometrik seperti BACTEC. Dengan teknik ini waktu yang dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi mikrobakterium tuberkulosis menjadi tiga minggu saja. Untuk test sensitifitas ditambah 5-7 hari lagi.
2.1.7.5. Immunologi /serologi 1. Uji Tuberkulin:
Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi pemeriksaan ini kurang berarti apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan bermakna jika didapatkan konversi dari uji yang sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau timbul bila. Tes tuberkulin berguna dalam menentukan diagnosis penderita (terutama pada anak-anak yang mempunyai kontak dengan seorang penderita tuberkulosis yang menular), namun penderita tersebut harus diperiksa oleh dokter yang berpengalaman. Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam "Screening TBC ". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Uji tuberkulin dibaca setelah 48-72 jam (saat ini dianjurkan 72 jam) setelah penyuntikan. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan alat tulis, kemudian diukur dengan alat pengukur transparan, diameter transversal indurasi yang terjadi dan dinyatakan hasilnya dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm.
2. ELISA ( Enzyme Linked Immmunosorbent Assay)
(36)
antigen-antibodi yang terjadi. Dengan cara ini maka dapat ditentukan kadar antibodi terhadap basil tuberkulosis pada serum penderita.Dari hasil penelitian didapatkan bahwa IgG saja yang memberikan kenaikan diatas normal secara bermakna. Sayangnya uji serologis ini hanya memberikan sensitifitas yang sedang saja (62%).
Pada penelitian ini untuk menetapkan diagnosis pasien sebagai penderita tuberkulosis paru ditetapkan berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik dan radiologik. Dikatakan menderita tuberkulosis jika didapatkan salah satu dari berikut ini:
1. Klinis (+), bakteriologik (+), radiologik (+)
2. Klinis (+), bakteriologik (-), radiologik (+) .
2.1.8. Pengobatan Penyakit TB Paru
2.1.8.1. Tatalaksanaan Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap yaitu : 1. Tahap Intensif (awal dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadap semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis), terutama Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara tepat pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar TBC Paru BTA Positif (+) menjadi BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan ini.
2. Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan. Tujuan dari pengobatan pasien TB paru adalah penyembuhan pasien, mencegah kematian, mencegah
(37)
kekambuhan dan menurunkan resiko penularan. Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada pasien, mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah kuman menjadi resisten dan melindungi kelurga dan masyarakat penderita terhadap infeksi .
Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain
1. Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.
2. Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH.
3. Piranizamid, (Z), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel suasana asam
4. Streptomycine (S), bersifat bakterisid 5. Etambutol (E), bersifat bakteriotatik. 2.1.8.2. Program Obat Anti Tuberkulosis
Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO (World
Health Organization) dan IUAT-LD (International Union Againts Tuberculosis and
Lung Disease) dengan jangka 6 (enam) bulan yaitu :
1. Kategori I (2HRZA / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazanamid (Z) dan Etamburol (E), obat diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 (tiga) kali seminggu selama 4 (empat) bulan (4H3R3)
(38)
Panduan OAT kategori I diberikan untuk : 1. Pasien baru TB – Paru BTA Positif (+)
2. Pasien baru TBC – Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang sakit berat. 3. Penyakit paru ekstra berat.
2. Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu.
3. Kategori III (2HR2/4H3R3
Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.
)
OAT kategori ini diberikan untuk :
1. Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif (+) sakit ringan. 2. Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar limfe
(limfadenitis), pleuritis eksudtiva unilateral, Tuberkuilosis kulit, Tuberkulosis tulang
(kecuali tulang belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal. 3. Hasil Pengobatan
Hasil pengobatan diklasifikasikan antara lain 1. Sembuh
(39)
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow - up) paling sedikit 2 (dua) berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow up sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap
Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut Penderita diberi tahu apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.
3. Pindah
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan penderita harus membawa surat pindah / rujukan (TB –09).
4. Drop Out (DO)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif. 5. Gagal
Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau
(40)
lebih dan penderita dengan hasil BTA Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
6. Meninggal
Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun. (Harun, 2002).
2.1.9. Program Penanggulangan Tuberkulosis
Dalam menangani masalah tuberkulosis di suatu Negara seperti Indonesia diperlukan program penanggulangan yang terencana baik, dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat dievaluasi dan dapat memberikan hasil yang optimal dalam menurunkan angka kesakitan serta kematian akibat penyakit ini, belum semua negara di dunia memiliki program penanggulangan tuberkulosis yang berskala nasional Tuberkulosis Control Programme (NTP).
2.1.9.1 Berskala Nasional dan Terintegrasi
Badan Kesehatan Nasional dunia (WHO) telah menggariskan beberapa hal yang patut dilakukan oleh suatu program nasional penanggulanggan tuberkulosis. Program ini seyogyanya benar-benar berskala nasional mengingat tuberkulosis biasanya tersebar secara luas di seluruh daerah di suatu negara , dan untuk mendapatkan dampak yang bermakna, maka program tersebut harus dikerjakan dalam cakupan yang luas.
Selain harus berskala nasional, WHO juga menganjurkan agar program penanggulangan tuberkulosis ini bersifat permanen, menetap, terus-menerus
(41)
dilakukan dan jangan terputus di tengah jalan. Dalam proses pelaksanaan program maka kasus tuberkulosis baru masih akan tetap muncul, dan karena itu perlu tersedianya pelayanana kesehatan.
Guna mendapatkan hasil yang optimal, diharapkan agar program penanggulangan tuberkulosis ini berintegrasi dengan program pelayanan kesehatan yang ada di negara itu. Khususnya dalam pelayanan kesehatan primer. Jadi untuk mendapatkan pelayanan bagi penyakit tuberkulosis. Seseorang cukup datang ke Puskesmas setempat.
2.1.9.2. Program
1. Imunisasi BCG
Penanggulangan tuberkulosis mencakup berbagai kegiatan guna menurunkan jumlah penderita dan kematian akibat penyakit ini. Imunisasi BCG adalah salah satunya mencegah timbulnya tuberkulosis berat yang dapat mematikan. Cakupan imunisasi BCG di berbagai belahan dunia kini telah cukup baik, berkisar antara 80 % sampai 90%. Secara organisatoris, program pemberian imunisasi BCG ini ditangani bersama-sama dengan pemberian immunisasi yang lain, yang tergabung dalam suatu program yang disebut Progran pengembangan Imunisasi/PPI (expanded Programme of immunization/EPI)
2. Case Finding (Penemuan Kasus)
Bagian terpenting lainya adalah penemuan penderita. Dengan berbagai upaya perlu dilakukan agar kita dapat menemukan penderita sedini mungkin. Untuk
(42)
dilakukan diagnosis secara benar, dan dilakukan penyuluhan kesehatan yang luas dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, agar semua perlu tahu perannya dalam membantu upaya penemuan penderita. Setelah ditemukan penderita kemudian dilanjutkan dengan pengobatan. (Aditama, 2000).
2.1.10. Manajemen TBC Berbasis Wilayah
Manajemen penyakit TBC berbasis wilayah, pada prinsipnya harus memperhatikan 2 kelompok besar kegiatan sekaligus, yang hendaknya dilakukan secara paripurna dan simultan. Dua kegiatan pokok tersebut adalah:
1. Manajemen kasus
Tata laksana kasus TBC secara aktif adalah pencarian kasus yang dilakukan oleh puskesmas, baik dengan penyebaran poster ataupun pelibatan kader desa atau petugas lapangan. Pencarian kasus juga dilakukan oleh organisasi swadaya masyarakat seperti Perkumpulan Pemberantasan TBC (PPTI). Kasus-kasus diperiksa diobati, ditindaklanjuti sampai terbukti sembuh. Beberapa puskesmas mengintgrasi kegiatan pencarian kasus TBC secara aktif ini melalui juru kusta yang di samping mencari kusta juga TBC.
2. Manajemen faktor risiko.
Manajemen faktor risiko tidak ada dalam pedoman nasional. Pengobatan atau program penanggulangan TBC sulit dilaksanakan kesinambungannnya atau
sustainability nya sulit terjamin tanpa memperhatikan penangggulangan faktor risiko.
DOTS yang mengendalikan pengobatan pada akhirnya akan mengalami fase hard rock yakni menemui kesulitan dalam penanggulangan. Oleh sebab itu diperlukan manajemen faktor risiko TBC, yaitu pengendalian berbagai variabel yang berperan
(43)
timbulnya kejadian penyakit TBC, khususnya disekitar penderita aktif.
Keduanya harus dilakukan secara simultan dan didukung oleh surveilance yang baik. (Achmadi, 2010).
2.2. Faktor Resiko Kejadian Tuberkulosis
Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TBC saling berkaitan satu sama lain. Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan kedalam 2 kelompok faktor risiko. Yaitu 2.2.1. Kependudukan
1. Usia
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
2. Jenis kelamin
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita tuberkulosis paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita tuberkulosis paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita tuberkulosis
(44)
paru pada wanita menurun 0,7%. tuberkulosis paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya tuberkulosis paru dimana Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
3. Penyakit Penyerta
Umumnya penderita tuberkulosis paru dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat tuberkulosis paru adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi pemikiran bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan resiko tuberkulosis menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera makan, tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli makanan yang mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita ini mempunyai status gizi yang buruk.
Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan salah satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah. Prevalensi tuberkulosis paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM dan aktivitas kuman tuberkulosis
(45)
meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penderita tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi. tuberkulosis diketahui merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan reaksi seropositif. Apabila seseorang dengan seropositif tertular kuman ini maka karena kekebalannya rendah, besar sekali kemungkinannya akan langsung menderita tuberkulosis. Hal ini berbeda sekali dengan orang normal atau mereka dengan seronegatif, karena kuman ini yang masuk akan dihambat oleh reaksi imunitas yang ada dalam tubuhnya. Disamping itu penyakit tuberkulosis pada mereka dengan seropositif cepat berkembang kearah perburukan. (Kepmen PU no 20/KPRS/1986)
4. Kondisi Sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90 % penderita TBC di dunia menyerang sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TBC bersifat timbal balik, TBC merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TBC. Kondisi soasial ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk serta perumahan yang tidak sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.
Menurut perhitungan, rata-rata penderita tuberkulosis kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30 % dari pendapatan rumah tangga. (Achmadi, 2010).
(46)
5. Prilaku
Prilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita tuberkulosis paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
2.2.2. Lingkungan
1. Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan penyakit semakin cepat, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita tuberkulosis dengan BTA positif. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita tuberkulosis paru paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah. Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan. Di daerah perkotaan (urban) yang lebih padat dari pada di pedesaan.
Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Ventilasi yang baik juga menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) adalah sekitar 40–70%. Kelembaban yang lebih Dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam
(47)
ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban juga merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (penyebab penyakit).
Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh mycobacterium tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap. (Azwar, 2000).
2. Lantai Rumah
Secara hipotetis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis, melalui kelembaban dalam ruangan, lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis dilingkungan juga sangat mempengaruhi.
3. Ventilasi
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10 % luas lantai rumah. Luas lantai <10% lantai rumah mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrai karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan
(48)
penyerapan. (Azwar, 2007)
Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman tuberkulosis dan kuman lain terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet.
Menurut Supriyono dalam Achmadi (2010) menghitung di Ciampea risiko untuk terkena tuberkulosis 5,2 kali pada penghuni yang memiliki ventilasi buruk dibanding penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Meski secara skeptical bias saja terdapat bisa karena sebab lain, misalnya kemiskinan.
4. Pencahayaan
Rumah sehat memerlukan cahaya cukup, khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Hal ini dibuktikan oleh Robert Koch (1843-1910). Dari hasil penelitiannya Robert Koch menyimpulkan sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari masuk melalui jendela atau genteng kaca. (Azwar, 2007).
5. Kelembaban
Menurut Mulyadi dalam Achmadi (2010) meneliti di kota bogor, penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60 % berisiko terkena TBC 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60%.
(49)
Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama.
Seperti telah dikemukakan kelembaban berhubungan dengan kepadatan penghuni dan ventilasi. Topografi menurut penelitian juga berpengaruh terhadap kelembaban, wilayah lebih tinggi cenderung memiliki kelembaban lebih rendah. (Achmadi, 2010).
6. Ketinggian
Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,50
Ketinggian berkaitan juga dengan kerapatan oksigen. M. tuberculosis sangat
aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen dipegunungan akan mempengaruhi
viabilitas kuman TBC (olander, 2003).
C.
2.3. Rumah
Dalam undang-undang No 1 tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman disebutkan rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana membina keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta merupakan aset bagi pemiliknya.
Menurut Azwar (2007) rumah berfungsi untuk melepaskan rasa lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung, dan menyimpan barang berharga, dan rumah merupakan status lambang sosial. Rumah yang layak huni harus memenuhi standar kesehatan agar penghuni rumah tersebut dapat terjamin kesehatannya.
(50)
Menurut Depkes RI 2002 rumah harus memenuhi empat kriteria agar bisa dikatakan sehat yaitu :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis
Berupa pencahayaan, penghawaan, ruang gerak yang cukup, dan terhindar dari kebisingan.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis
Antara lain privacy yang cukup dan komunikasi yang sehat antar penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit
Antara lain penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas dari vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi dan terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan kecelakaan
Antara lain konstruksi bangunan tidak mudah roboh dan tidak mudah terbakar, posisi garis sempadan jalan dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.
Menurut dinas perumahan dan permukiman RI tahun 2008 rumah adalah rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari
(51)
bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
2.3.1. Kriteria Rumah Sehat
Adapun kriteria rumah sehat yang tercantum dalam Residential Environment dari WHO (1974), antara lain :
1. Harus dapat melindungi dari hujan, panas, dingin, dan berfungsi sebagai tempat istirahat.
2. Mempunyai tempat untuk tidur, masak, mandi mencuci, jamban dan kamar mandi.
3. Dapat melindungi dari bahaya kebisingan dan bebas dari pencemaran. 4. Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya.
5. Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi penghuninya dari gempa, keruntuhan dan penyakit menular.
6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi. Kriteria rumah sehat menurut Winslow, antara lain :
1. Dapat memenuhi kebutuhan fisiologis 2. Dapat memenuhi kebutuhan pikologis 3. Dapat menghindari terjadinya kecelakaan
4. Dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit.
Di Indonesia terdapat kriteria untuk rumah sehat sederhana, yaitu : 1. Luas tanah antara 60–90 meter persegi
(52)
3. Memiliki fasilitas kamar tidur, WC (kamar mandi), dan dapur 4. Berdinding batu bata dan diplester
5. Memiliki lantai dari ubin keramik, dan langit–langit dari triplek 6. Memiliki sumur atau air PAM
7. Memiliki fasilitas listrik minimal 450 watt
8. Memiliki bak sampah dan saluran air limbah (chandra, 2007).
Menurut Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM dan PL Tahun 2002 secara umum rumah di katakan sehat apabila memenuhi kriteria :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu
2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antara anggota keluarga dan penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, dan limbah rumah tangga bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, di samping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul dari luar maupun dari dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, dan tidak mudah terbakar.
Selain kriteria di atas faktor– faktor kebutuhan yang perlu di perhatikan berkaitan dengan perumahan adalah :
(53)
a. Kebutuhan Fisiologis 1. Suhu Ruangan
Suhu ruangan sebaiknya tetap berkisar antara 18–20 0
2. Penerangan
C suhu ruangan dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara, suhu benda–benda yang ada di sekitarnya
Rumah harus cukup mendapatkan penerangan pada siang hari maupun malam hari, idealnya penerangan di peroleh dengan bantuan listrik. Setiap ruangan di upayakan mendapat sinar matahari di pagi hari.
3. Ventilasi udara
Pertukaran udara yang cukup membuat hawa ruangan tetap segar (cukup mengandung oksigen). Setiap rumah harus memiliki jendela yang memadai, luas jendela keseluruhan kurang lebih 15% dari luas lantai. Susunan ruangan harus sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu terbuka.
4. Jumlah Ruangan atau Kamar
Jumlah ruangan atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni yang tinggal di rumah tersebut atau sekitar 5m2
b. Kebutuhan Psikologis
(54)
1. Keadaan rumah dan sekitarnya, harus memperhatikan unsur keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat.
2. Adanya kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di rumah keluarga tersebut.
3. Untuk setiap anggota keluarga terutama yang mendekati dewasa harus memiliki ruangan tersendiri sehingga privacinya tidak terganggu.
4. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, seperti ruangan untuk menerima tamu.
c. Bahaya Kecelakaan atau Kebakaran
1. Konstruksi rumah dan bahan – bahan bangunan harus kuat sehingga tidak mudah runtuh.
2. Memiliki sarana pencegah kecelakaan di sumur, kolam atau tempat lain terutama untuk anak–anak.
3. Bangunan terbuat dari material yang tidak mudah terbakar.
4. Memiliki alat pemadam kebakaran terutama yang menggunakan gas. 5. Lantai kedap air dan tidak licin.
d. Lingkungan
1. Memiliki sumber air bersih dan sehat yang tersedia sepanjang tahun.
2. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah dan pembuangan air limbah yang baik.
(55)
4. Letak rumah jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal sekitar 5 km dan bebas banjir (Chandra, 2007).
2.3.2.1 Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut :
1. Bahan bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain : debu total kurang dari 150 µg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m 3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruangan
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan.
c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.
d. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir.
e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.
(56)
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
4. Kualitas udara
a. Suhu udara nyaman antara 18–30 0
b. Kelembaban udara 40–70 %
C
c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam
d. Pertukaran udara 5 kaki3
e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam /menit/penghuni
f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3
5. Ventilasi
.
Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.
6. Vektor penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.
(57)
a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/ orang/hari
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.
8. Sarana penyimpanan makanan
Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.
9. Pembuangan Limbah
a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah.
b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.
10. Kepadatan hunian
Luas kamar tidur minimal 8 m2
2.4 Kerangka Konsep
dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. Penyelenggara pembangunan perumahan (pengembang) yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman dapat dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi administrasi sesuai dengan UU No. 4 /1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan UU No. 23 /1992 tentang Kesehatan, serta peraturan pelaksanaannya.
(58)
Variabel Independen Variabel Dependen
2.5 Hipotesa Penelitian
1. Ho : tidak ada hubungan kepadatan hunian dengan tuberkulosis paru. Ha: ada hubungan kepadatan hunian dengan tuberkulosis paru
2. Ho : tidak ada hubungan jenis lantai dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan jenis lantai dengan tuberkulosis paru
3. Ho : tidak ada hubungan ventilasi dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan ventilasi dengan tuberkulosis paru
4. Ho : tidak ada hubungan pencahayaan dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan pencahayaan dengan tuberkulosis paru
Kasus
Karakteristik Responden:
1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Penghasilan
Karakteristik Rumah: 1. Kepadatan Hunian 2. Ventilasi
3. Jenis Lantai 4. Pencahayaan 5. Kelembaban 6. Suhu
(59)
5. Ho : tidak ada hubungan suhu dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan suhu dengan tuberkulosis paru
6. Ho : tidak ada hubungan kelembaban dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan kelembaban dengan tuberkulosis paru
7. Ho : tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan tingkat dengan tuberkulosis paru
8. Ho : tidak ada hubungan jenis pekerjaan dengan tuberkulosis paru Ha : ada hubungan jenis pekerjaan dengan tuberkulosis paru 9. Ho : tidak ada hubungan penghasilan dengan tuberkulosis paru
Ha : ada hubungan penghasilan dengan tuberkulosis paru
BAB III
(60)
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitik yaitu untuk mengetahui hubungan karakteristik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam tahun 2012 dengan rancangan penelitian Case Control, yaitu suatu penelitian survai analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko di pelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif, efek penyakit atau status kesehatan diidentifikasi pada saat sekarang sedangkan faktor risiko diidentifikasi adanya atau terjadinya pada waktu yang lalu.
3.2Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam adapun alasan dipilihnya lokasi tersebut sebagai tempat penelitian adalah:
a. Tingginya kejadian penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam pada bulan Januari sampai Juni tahun 2012
b. Karakteristik rumah di tempat penelitian masih banyak yang belum memenuhi syarat kesehatan
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan selesai.
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Kasus
(61)
Populasi kasus dalam penelitian ini adalah semua penduduk yang menderita tuberkulosis paru berdasarkan data rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam pada bulan Januari - Juni tahun 2012, dan menetap di Kota Subulussalam, yaitu 29 orang.
3.3.2 Populasi Kontrol
Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah orang yang bermukim dengan populasi sampel dan tidak terdaftar sebagai pasien tuberkulosis paru didata rekam medis Puskesmas Kota Subulussalam.
3.3.3 Sampel Kasus
Sampel kasus dalam penelitian ini adalah penderita penyakit tuberkulosis paru berdasarkan data dari rekam medis periode Januari - Juni tahun 2012 di Puskesmas Simpang kiri Kota Subulussalam. Yaitu sebesar 25 orang. 4 penderita lainya tidak dapat dijadikan sampel karna dinyatakan pindah dari alamat asalnya. 3.3.4 Sampel Kontrol
Sampel kontrol adalah orang terdekat dari penderita kasus yang bermukim di sekitar rumah penderita tuberkulosis paru yang tidak menderita tuberkulosis paru dengan pencocokan (matching) sama dengan kasus dalam hal umur (atau memiliki
range umur 5 tahun diatas umur kasus) dan jenis kelamin.
(62)
Untuk memperoleh besar sampel yang diinginkan dilakukan dengan cara penelusuran kasus yang ada sebelum penelitian sampai pada saat penelitian berlangsung. Responden terdiri dari kasus dan kontrol .
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, diperoleh sampel sebanyak 29 responden positif menderita tuberkulosis paru. Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampling jenuh yaitu teknik pengambilan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Arikunto, 2007). 3.5 Metode Pengumpulan Data
3.5.1 Data Primer
Data yang akan di kumpulkan diperoleh dari hasil penelitian yaitu berupa data karakteristik rumah yang diperoleh melalui lembar observasi, kuesioner maupun pengukuran langsung dan data karakteristik responden diperoleh dengan menggunakan kuesioner.
3.5.2 Data Sekunder
Data sekunder yang akan di gunakan adalah data rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam mengenai data penyakit tuberkulosis paru pada periode Januari - Juni tahun 2012 yang diperoleh dari Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
3.6 Definisi Operasional a. Variabel dependen
1. Kasus tuberkulosis paru adalah penderita tuberkulosis paru yang tercatat di data rekam medis Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
(63)
1. Karakteristik rumah
Karakteristik rumah adalah keadaan lingkungan rumah yang terdiri dari kepadatan hunian, ventilasi, jenis lantai, pencahayaan, suhu dan kelembaban. a. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian adalah perbandingan jumlah penghuni dengan luas ruangan.
b. Ventilasi
Ventilasi adalah persentase antara lubang ventilasi tetap dan lubang ventilasi tidak tetap dari luas lantai yaitu 10 % dari luas ruangan.
c. Jenis lantai
Jenis lantai yang baik yang adalah lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
d. Pencahayaan
Pencahayaan rumah adalah banyaknya cahaya matahari yang jatuh pada luas permukaan.
e. Suhu
Suhu adalah ukuran panas dinginnya ruangan yang dinyatakan dalam besaran.
f. Kelembaban
Kelembaban adalah persentase air yang banyak diudara pada suatu ruangan.
(1)
1. Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di Simpang Kiri Kota Subulussalam perlu mengupayakan kesehatan lingkungan perumahan dengan memodifikasi desain rumah agar sistem sirkulasi udara atau ventilasi dapat memenuhi syarat kesehatan sehingga memperkecil untuk terjadinya kejadian tuberkulosis paru
2. Bagi Puskesmas Simpang Kiri diharapkan agar lebih meningkatkan pelayanan serta penyuluhan kepada masyarakat tentang pencegahan dan pengobatan penyakit tuberkulosis paru yang merupakan penyakit berbasis lingkungan.
3. Melatih pemberdayaan masyarakat dengan melatih kader untuk meningkatkan surveillance penemuan kasus dan membantu mencegah penyakit tuberkulosis paru.
4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar meneliti variabel–variabel lain yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru serta melakukan penelitian yang lebih mendalam di Kota Subulussalam.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,. U, 2010. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Universitas Indonesia press: Jakarta
Aditama,. T, 2000. Tuberkulosis Paru. Universitas Indonesia : Jakarta.
Amin,. M, 1989. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press: Jakarta.
Anies,. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan. PT. Alex Media Komputindo, Jakarta.
Arikunto,. S, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka cipata : Jakarta.
Azwar,. A, 1996. Pengantar Kesehatan Lingkungan, PT. Rineka Cipta. Jakarta. Atmosukarto dan Sri, S. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam
Penyebaran. Tuberkulosis. Media Litbang Kesehatan : Jakarta
Budiarto,. E, 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Chandra,. B, 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Darmono,. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Universitas Indonesia: Jakarta.
Departmen Kesehatan RI,. 2007. Strategi Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2006-2007. Jakarta.
Depkes RI,. 1995. Pedoman Teknis Pelaksanaan Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Ditjen PPM & PLP. Jakarta.
Depkes RI, 2002. Pedoman Teknis Pelaksanaan Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Ditjen PPM & PLP, Jakarta.
Departemen Pekerjaan Umum, 1986.. Pedoman Tehnik Pembangunan Perumahan
Sederhana Tidak Bersusun, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum, No.
20/kprs/1986, Jakarta
Fatimah,. S, 2008. Jurnal Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di kabupaten Cilacap Tahun 2008
Hidayat,. A, 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Salemba Medika: Jakarta.
Harun,. M, 2002. Tuberkulosis Klinis. Widya medila : Jakarta
Hendrawan,. N, 1996. Penyebab Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis paru. Puspas swara : Jakarta
Jhon,. C, dan Norman, H, 2002. Tuberkulosis Klinis, edisi ke 2. Perdhaki: Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999. Tentang
Kesehatan Perumahan Dan Lingkungan Pemukiman.
Keman,. S, 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman. Jurnal kesehatan lingkungan Vol 2 NO 1 Juli.
Machfoedz., I, 2008. Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai Penyakit. Fitramaya: Yogyakarta.
(3)
Marlina,. E, dkk, 2005. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Penerbit ANDI: Yogyakarta.
Mukono,. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University Press: Surabaya.
Misnadiarly,. 2006. Mengenal, Menanggulangi TBC Paru, Ekstra Paru, Anak dan Pada Kehamilan. Pustaka Popolar Obor.:Jakarta.
Musadad,. 2001. Jurnal Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penularan TB Paru di Rumah Tangga Tahun 2001.
Notoatmodjo,. S , 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. ---, 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar.
Rineka Cipta: Jakarta
---, 2003. Ilmu kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta: Jakarta
Nurhidayah,. I , 2007. Makalah Hubungan antara Karaktristik Lingkungan Rumah Dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak Di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang.
Nuraini,. E, 2001. Petunjuk Praktis Bagi Petugas Pelaksana Penanggulangan Tuberkulosis di Unit Pelayanan Kesehatan. Depkes : Jakarta
Putra,. N , 2011. Jurnal Hubungan Prilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah Dengan Kejadian TB Paru Di Kota Solok Tahun 2011.
Sastroasmoro,. S, 2011. Dasar-dasar metodologi Penelitian Klinis. Cetakan ke 4. Sagung Seto : Jakarta
Stanford,. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Gadjah mada University Press : Yogkarta
Soemirat,. J, 2000. Epidemiologi Lingkungan. Gadjah mada University Press : Yogyakarta
Singarimbun,. M, 2000. Metode Penelitian Survei. Pustaka LP3ES : Jakarta
Suarni,. H, 2009. Jurnal Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru dikecamatan Pancoran Mas Depok Tahun 2009.
Smith,.P.G, 1994. Epidemiologi of Tuberkulosis Pathogenesis, Protection and Control. ASM press: Washington DC
Suyono, 2005. Pokok Bahan Modul dan Pemukiman Sehat. Pusdiknakes
Tobing,. T.L, 2008. Skripsi Pengaruh Prilaku penderita TB Paru dan Kondisi Sanitasi Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di kabupaten Tapanuli Utara tahun 2008.
(4)
Lampiran Gambar
Gambar lampiran 1. Kondisi perumahan kasus tuberkulosis paru di salah satu desa Kecamatan Simpang kiri
(5)
Gambar lampiran 3. Kondisi lantai di salah satu rumah responden kasus tuberkulosis paru.
Gambar Lampiran 4. Kondisi ruangan di rumah responden kontrol. terdapat atap seng transparan (genteng kaca) yang berfungsi sebagai jalan masuknya cahaya matahari kedalam rumah.
(6)
Gambar Lampiran 5. Alat pengukuran Suhu, kelembaban dan Pencahayaan. Yaitu hygrometer, temperature meter dan Lux meter.
Gambar Lampiran 6. Peneliti dan Petugas Laboratorium melakukan wawancara dan pengukuran langsung di salah satu rumah responden kontrol.