Laporan Akhir redd Kaltim 2010
Executive Summary
I. Isu global Perubahan Iklim dan pengaruhnya terhadap Perencanaan Pembangunan berbasis pemanfaatan SDA,
Pembangunan berkelanjutan dengan memanfaatkan Sumberdaya Alam (SDA) yang tersedia baik yang dapat (renewable) dan tidak dapat diperbaharui (non‐renewable) serta kaitannya dengan dampak dan masalah lingkungan yang ditimbulkan telah menjadi kesepakatan dan agenda dunia‐global sejak tahun 1978. Secara faktual terutama di negara‐negara sedang berkembang, pembangunan ekonomi yang berbasis pemanfaatan SDA telah memberikan kontribusi bagi tumbuh berkembangannya kekuatan ekonomi baru di dunia.
Tetapi disisi lain dan pada saat yang bersamaan telah menimbulkan berbagai “bencana ekologis”, antara lain banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya menimbulkan berbagai isu global, antara lain : isu pemanasan bumi (global warming), GRK dan yang sedang mandapatkan perhatian dan sorotan saat ini adalah apa yang disebut sebagai “isu perubahan iklim (climate change). Untuk membahas, mengantisipasi dan menangani dampak dari perubahan iklim telah dirumuskan dan disepakati berbagai inisiatif dan program berskala internasional serta skenario antara lain : Un‐IPCC, COP dan program REDD (termasuk REDD+).
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan terbesar ketiga di dunia setelah Zaire, memiliki peran penting dalam mensikapi dan menangani masalah‐masalah global termasuk masalah Perubahan Iklim yang telah menjadi fokus dari inisiatif‐agenda global tersebut. Terlebih sejak ditunjuk dan telah diselenggarakannya Konferensi Parapihak/Conference of the Parties (COP 13) di Bali tahun 2007, Indonesia telah menjadi bagian penting (icon) dari upaya‐upaya global dalam penanganan masalah Perubahan Iklim.
Keseriusan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia (global society) dalam mensikapi, mengantisipasi dan menangani masalah Perubahan Iklim ditunjukkan pada saat COP ke 15 di Copenhagen (yang telah menghasilkan Copenhagen Accord), Indonesia mempunyai komitmen untuk mengambil bagian dalam upaya global untuk penurunan emisi carbon sebesar 26% sampai dengan tahun 2020. Dari target nasional tersebut hutan dan kehutanan mempunyai posisi yang strategis dan penting, karena dari target‐janji Indonesia dalam penurunan emisi sebesar 26% tersebut, 14% diantaranya “tugas atau bertumpu pada hutan dan kehutanan”.
Provinsi Kalimantan Timur, merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan hutan terbesar setelah pemekaran Papua, yaitu berdasarkan SK Menhut no 79/Kpts‐II/2001, kawasan hutan Kaltim adalah seluas 14.651.553 ha. Sejak dimanfaatkannya sumberdaya hutan lembab tropis diluar Pulau Jawa dalam pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah pada tahun 1970‐an, Provinsi Kalimantan Timur telah menjadi “barometer” hutan dan kehutanan di Indonesia. Dengan demikian dalam kaitannya dengan penanganan masalah dampak dari perubahan iklim, Provinsi Kalimantan Timur memiliki peran strategis dalam mendukung komitmen nasional sebagai bagian dari upaya global untuk mereduksi emisi karbon sebagaimana dikemukakan di atas. Komitmen Provinsi Kalimantan Timur dalam mendukung Provinsi Kalimantan Timur, merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan hutan terbesar setelah pemekaran Papua, yaitu berdasarkan SK Menhut no 79/Kpts‐II/2001, kawasan hutan Kaltim adalah seluas 14.651.553 ha. Sejak dimanfaatkannya sumberdaya hutan lembab tropis diluar Pulau Jawa dalam pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah pada tahun 1970‐an, Provinsi Kalimantan Timur telah menjadi “barometer” hutan dan kehutanan di Indonesia. Dengan demikian dalam kaitannya dengan penanganan masalah dampak dari perubahan iklim, Provinsi Kalimantan Timur memiliki peran strategis dalam mendukung komitmen nasional sebagai bagian dari upaya global untuk mereduksi emisi karbon sebagaimana dikemukakan di atas. Komitmen Provinsi Kalimantan Timur dalam mendukung
II. LOI Norwey‐Indonesia sebagai sebuah peluang dan konsekuensi serta tantangannya dalam pelaksanaan REDD+
Dalam penyelenggaraan COP‐15 di Copenhagen telah dideklarasikan Copenhagen Accord (walaupun tidak mengikat), telah dirumuskan kesepakatan bersama antara negera maju (developed countries) dan negara berkembang (developing countries) untuk mensikapi bersama masalah Perubahan Iklim (Climate Change). Sebagai wujud dari komitmen bersama tersebut Copenhagen Accord juga akan membangun mekansme mobilisasi dana sebesar $ 30 milliar dalam kurun waktu 3 tahun ke depan. Disamping rumusan Copenhagen Accord juga telah dirumuskan 5 pekerjaan rumah bagi kepela negara yang hadir dalam COP‐15, diantaranya adalah : a). Setiap negara harus menterjemahkan Copenhagen Accord kedalam perumusan kebijakan dan kegiatan untuk mereduksi penurunan emisi karbon, b). Setiap negara harus merumuskan kebijakan dalam rangka pengurangan emisi karbon dari deforestasi.
Sebagai tindak lanjut dari Copenhagen Accord tersebut telah ditanda tangani kesepakatan bersama antara Pemerintah Norway dan Pemerintah Indonesia LOI (Letter Of Inten ‐Surat niatan), yang bertujuan untuk berkontribusi terhadap pengurangan signifikan GRK dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut dengan cara mengembangkan dialog kebijakan mengenai kebijakan internasional di bidang perubahan iklim, terutama kebijakan nasional mengenai REDD+ dan bekerja sama dalam mendukung pengembangan dan implementasi strategi REDD+ di Indonesia.
Dalam pelaksanaan Surat Niat/ LoI sampai dengan tahun 2013 terdapat 3 phase, yakni a). Fase persiapan (yang meliputi antara lain : menuntaskan strategi REDD, mengembangkan lembaga, pengembangan strategi MRV), Fase transformasi (yang meliputi antara lain: pengembangan kapasitas di tingkat nasional, pelaksanaan di tingkat provinsi pilot dan Fase kontribusi (yang meliputi antara lain: Indonesia menerima kontribusi dari credit carbon sesuai dengan standar internasional dan Norwegia (atau negara lain) menyalurkan dukungan finansial) ada pengurangan emisi GRK yang terverifikasi (VER: Verified Emission Reduction)
Pada dasarnya‐hakekatnya LoI Nor‐RI mempunyai dua sisi yang perlu dipertimbangkan dalam mengadopsi dan melaksanakannya, karena pada dasarnya disatu sisi LoI Nor‐RI merupakan “peluang pendanaan bagi pelaksanaan REDD+ sebagai salah satu cara mengatasi emisi karbon, tetapi disisi yang LoI Nor‐RI juga mempunyai konsekuensi‐merupakan tantangan. Konsekuensi bisa positif dan negatif yaitu berupa : a). Positif (peluang) : Mendapat reputasi internasional,Kemungkinan mendapat dukungan finansial dari VER, Mendapat dukungan pengembangan kapasitas untuk monitoring hutan (dalam rangka MRV) dan Senantiasa diperhatikan oleh dunia sedangkan yang Negatif (tantangan): Harus melakukan ‘penyesuaian’ strategi pembangunan daerah, Harus mengembangkan strategi pembangunan ekonomi yang baru (ada ekonomi carbon, jasa lingkungan, dll)
III. Sosialisasi tentang pemahaman dan kesepakatan terhadap isu perubahan iklim serta pengaruhnya – konsekuensinya dalam pembangunan berbasis SDA, khususnya di Kalimantan Timur
Dalam tahapan pelaksanaan LoI Nor‐RI dinyatakan bahwa dalam fase‐tahapan kedua perlu ditunjuk dan ditetapkan adanya Provinsi Pilot (percontohan) untuk mengimplementasikan LoI di Indonesia. Sebagaimana halnya dengan daerah (provinsi) lain, pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur direncanakan dan dilaksanakan dengan berbasis pada pemanfaatan SDA, termasuk sumberdaya hutan dan lahan. Dalam impementasi LoI Nor‐RI dituntut adanya perubahan atau penyesuaian perencanaan pembangunan terhadap isu Perubahan Iklim dimana REDD+ termasuk instrumen untuk mengatasinya.
Sebagai konsekuensi lanjut dari hal tersebut di atas, maka diperlukan pemahaman bersama antara unsur atau komponen pembangunan di daerah sebagai Provinsi Pilot (uji coba) REDD+. Dalam rangka membangun pemahaman bersama tentang LoI Nor‐RI di atas, maka pada Tanggal 20 Juli 2010 dilaksanakan Lokakarya “Pemahaman Kriteria dan Kesiapan Kaltim sebagai Provinsi Percontohan REDD+ dalam kerangka LoI Nor‐RI”. Tujuan Pertemuan adalah memperkenalkan kriteria dan indikator untuk pemilihan provinsi pilot. Tentang Kriteria dan Indikator dibangun oleh para pihak, masih mungkin untuk disempurnakan, karena penilaian provinsi untuk menjadi pilot akan dilakukan secara imparsial dan objektif.
Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan LoI Nor‐RI, dimana Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu daerah percontohan, maka semua komponen pembangunan yang ada di daerah ini harus memahami persyaratan ‐persyaratan yang dituangkan kedalam 4 (empat) Kriteria, yaitu : a). Aspek Tata Kelola Pemerintahan, b). Aspek Biofisik hutan, c). Aspek Sosial ekonomi hutan dan d). Aspek Data dan MRV dan secara keseluruhan dirinci kedalam 17 (tujuh belas) indikator pemilihan. Berdasarkan pemahaman terhadap Kriteria dan Indikator tersebut, maka komponen (para pihak) pembangunan Provinsi Kalimantan Timur dapat dan harus mampu mengidentifikasi “kekuatan (apa yang telah ada)” dan Kelemahan (apa yang masih harus dikerjakan untuk memenuhi persyaratan Kriteria dan Indikator).
Identifikasi tersebut perlu dilaksanakan sebagai konsekuensi apabila Provinsi Kalimantan Timur ditunjuk dan ditetapkan sebagai daerah percontohan implementasi LoI Nor‐RI dalam program REDD+. Hal ini berkaitan dengan “konsekuensi negatif‐tantangan” dari LoI Nor‐RI, yaitu perlu adanya perubahan atau penyesuaian “strategi pembangunan daerah yaitu mengembangkan pembangunan ekonomi berbasis pemanfaatan SDA dengan mempertimbangan emisi karbon dan aspek lingkungan”.
Sebagaimana dikemukakan bahwa pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur direncanakan dan dilaksanakan dengan memanfaatkan SDA, dengan kecenderungan pemanfaatan non‐renewable SDA sebagai kontributor (tulang punggung) pembangunan ekonomi. Sudah barang tentu perubahan dan langkah ‐langkah penyesuaian harus dilakukan oleh seluruh parapihak‐komponen pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur (terutama di tingkat Kabupaten/Kota).
IV. Identifikasi dan hasilnya tentang kesiapan serta konsekuensinya bagi Kalimantan Timur sebagai Provinsi Percontohan
Lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal 20 Juli 2010, dihadiri oleh peserta yang memiliki tingkat keterwakilan yang cukup memadai, baik dari unsur Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan), perwakilan Kabupaten/Kota se Kaltim, Lembaga Swadata Masyarakat, Lembaga Internasional, Swasta dan Perguruan Tinggi. Dalam penutup sambutannya Bapak Gubernur menyatakan bahwa Kalimantan Timur siap untuk bekerjasama dalam pengembangan program berdasarkan berbagai inisiatif dan program yang sudah dikembangkan dan akan terus berkembang dengan adanya semangat dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya dari Pemerintahan Kabupaten/Kota dan masyarakat.
Dari hasil identifikasi kesiapan tersebut, melalui diskusi kelompok dapat disimpulkan beberapa hal pokok sebagai berikut :
a. Aspek Tata Kelola Pemerintahan (Governance): Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota se Kalimantan Timur telah memiliki Visi
dan Misi pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan pembangunan (RPJM, Renstra dan RKD). Dalam implementasi pembangunan juga telah tersedia sistem pengawasan pembangunan berupa antara lain berupa : mekanisme LKPJ pimpinan daerah, pembangunan Kriteria Indikator Kinerja Pembangunan, LAKIP.
Berbagai kebijakan dan inisiasi berkaitan dengan masalah‐aspek lingkungan dan konservasi telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur, antara lain : Deklarasi Kabupaten Konservasi, kebijakan pembangunan ramah lingkungan (Bontang Lestari di Kota Bontang, Green Clean Healthy di Balikpapan), progran Kalibersih dan lain sebagainya. Pada saat yang bersamaan masyarakat juga telah berpartisipasi dalam pembangunan ramah lingkungan dengan membentuk berbagai jenis kelembagaan, antara lain : Forum DAS, Dewan Kehutanan Daerah, Forum Masyarakat Pesisir, konservasi hutan Mangrove, dan lain sebagainya.
Juga peran dukungan dari Swasta dalam mendukung pembangunan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari, pengembangan sistem dan mekanisme sosial‐ekonomi kemsyarakatan melalui program CSR dan kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan SDA.
Secara keseluruhan kebijakan pembangunan, inisiasi dan program yang telah dan akan terus dikembangkan di atas, dikemas dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi kesejahteraan masyarakat, yaitu konsep “Kaltim Green Green Development melalui Green Governance”. Untuk mewujudkan hal‐hal tersebut diatas, beberapa hambatan yang masih harus terus diupayakan solusinya, antara lain : a). Pemahaman konsep pembangunan yang mengintegrasikan isu perubahan iklim dan emisi karbon, b). Persoalan Tata Ruang sebagai basis perencanaan pembangunan, c). Adanya tumpang tindih pemanfaatan lahan yang belum dijamin Secara keseluruhan kebijakan pembangunan, inisiasi dan program yang telah dan akan terus dikembangkan di atas, dikemas dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi kesejahteraan masyarakat, yaitu konsep “Kaltim Green Green Development melalui Green Governance”. Untuk mewujudkan hal‐hal tersebut diatas, beberapa hambatan yang masih harus terus diupayakan solusinya, antara lain : a). Pemahaman konsep pembangunan yang mengintegrasikan isu perubahan iklim dan emisi karbon, b). Persoalan Tata Ruang sebagai basis perencanaan pembangunan, c). Adanya tumpang tindih pemanfaatan lahan yang belum dijamin
b. Aspek Biogeofisik Hutan, Kalimantan Timur memiliki ± 700.000 ha lahan gambut sebagai sumber dan peyumbang emisi
karbon terbesar yang tersebar di berbagai wikayah, terutama di Kabupaten Nunukan. Potensi kontribusi emisi karbon dari kawasan hutan tidak hanya berasal dari lahan gambut, tetapi juga oleh akibat terjadinya kebarakan hutan yang merupakan “bahaya laten” untuk hutan lembab tropis di Kalimantan Timur.
Penerapan kaidah kelestarian telah dikembangkan dan diterapkan dalam pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman di Kalimantan Timur. Pengembangan teknologi ramah lingkungan dan konservasi telah diterapkan pula dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, antara lain : penerapan pembalakan ramah lingkungan (Reduced Impact Logging = RIL), penerapan konsep High Conservation Value Forest (HCVF) kedalam sistem inventarisasi hutan dan penerapan sistem perencanaan berbasis neraca sumberdaya hutan yang dikembangkan melalui pelaksanaan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB).
Kalimantan Timur termasuk salah satu Provinsi yang “kaya akan masalah perlindungan sumberdaya hutan” yang disebabkan oleh kejahatan kehutanan (forest crime). Secara lebih spesifik penanganan dan upaya “memerangi pembalakan dan perdagangan kayu secara liar (Illegal logging dan Illegal Trade), terus dilakukan secara terpadu walaupun belum tuntas secara keseluruhan.
c. Aspek Sosial‐Ekonomi Hutan Harus disadari bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan (dalam hal ini adalah hasil hutan kayu)
telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pelaksanaan pembangunan secara nasional dan daerah, yaitu melalui “multiplier effect pemanfaatan SDH dalam pembangunan”. Namun demikian pemanfaatan “multifungsi hutan” masih belum mendapat “perhatian yang cukup proporsional” dalam perencanaan pembangunan berbasis SDA (termasuk SDH).
Secara bertahap dan kondisional telah dikembangkan memanfaatkan multi fungsi hutan (dalam hal ini adalah jasa lingkungan hutan) tersebut melalui pengembangan pola pengelolaan kolaboratif dengan memberdayakan peran masyarakat, antara lain : pengelolaan hutan lindung Sungai Wain, pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), pengelolaan kawasan konservasi ‐hutan lindung Wahea, dan lain sebagainya.
Berbagai skema‐skenario pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan telah dikembangkan, antara lain melalui bebagai sistem‐pola, antara lain : a). Sistem hutan kemasyarakat (HKM), b). Sistem Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan sistem Hutan Rakyat (HR). Namun demikian dalam implementasinya masih diperlukan upaya‐ Berbagai skema‐skenario pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan telah dikembangkan, antara lain melalui bebagai sistem‐pola, antara lain : a). Sistem hutan kemasyarakat (HKM), b). Sistem Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan sistem Hutan Rakyat (HR). Namun demikian dalam implementasinya masih diperlukan upaya‐
d. Aspek Data dan MRV Ketersediaan data tentang SDA yang berkualitas, terbaharui dan komprehensif merupakan
kebutuhan mendesak bagi penyusunan strategi dan perncanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (biogeofisik dan sosial) perlu terus diupayakan. Pembangunan jejaring (networking) data dan informasi secara “sinergi oleh berbagai sumber yang berkompeten” perlu dibangun dan dikembangkan. Untuk dapat mewujudkan upaya Kalimantan Timur menjadi salah satu daerah percontohan dalam implementasi LoI Nor‐RI, diperlukan beberapa prakondisi, antara lain :
a. Dapat disyahkannya RTRWP oleh Pemerintah Pusat, sebagai rujukan dan dasar perencanaan pembangunan yang “multi sektor” dan “multi demensi” dan mensosialisaikannya secara transparan kepada seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan. Dengan demikian RTRWP tersebut memperoleh “akseptabilitas yang luas” pada saat di‐implementasikan di lapangan.
b. Meningkatnya kesadar‐tahuan Pemda dan publik tentang program REDD sehingga dukungan mereka terhadap program REDD semakin optimal, melalui sosialisasi dan komunikasi secara lebih intensif.
c. Terintegrasinya aspek‐aspek : kelestarian lingkungan (termasuk aspek perubahan iklim dan emisi karbon) sebagai variabel penting dalam sistem perencanaan pembangunan ekonomi daerah.
d. Terwujudnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, sehingga peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam program REDD+ dapat optimal.
e. Terbangunnya kelembagaan REDD (Pokja REDD) disetiap tingkatan pemerintahan di daerah (kabupaten/Kota) yang memiliki semangat (spirit) Road Map bagi pengembangan dan pelaksanaan program REDD+ .
Samarinda, 4 Agustus 2010 Sekretariat POKJA REDD‐Kaltim
LAPORAN AKHIR Workshop Pemahaman criteria dan kesiapan kaltim sebagai provinsi percontohan REDD+ dalam kerangka LoI IndonesiaNorwey Samarinda, 20 Juli 2010
Workshop Pemahaman Kriteria dan Kesiapan Kaltim sebagai Provinsi Percontohan REDD+ dalam kerangka LoI Indonesia‐Norway mempunyai ouput; (a) Adanya pemahaman bersama para pihak di daerah terhadap isi LOI Indonesia‐Norway beserta program/kegiatan yang ada pada tiap tahap didalamnya. (b) adanya pemahaman bersama tentang kriteria dan indikator untuk penetapan areal percontohan REDD+ sebagai tindak lanjut RI‐Norway (c) Teridentifikasinya kesiapan Provinsi Kalimantan Timur sebagai calon Provinsi Percontohan untuk implementasi REDD+ dengan mengacu pada kriteria penetapan provinsi percontohan yang telah dirumuskan pada workshop 25 Juni 2010 di Jakarta.
Workshop ini sudah dilaksanakan tanggal 20 Juli 2010 pukul 08.00 – 17.00 Wita, bertempat di Ruang Ruhui Rahayu, Kantor Gubernur Provinsi Kaltim. Dalam implementasinya proses workshop selesai pukul
18.00 Wita karena tingginya antusiasme para peserta dalam berdiskusi.
Peserta yang hadir dalam workshop ini berjumlah 116 orang dari unsur Departemen Kehutanan, DPRD Provinsi Kaltim, Pemprov Kaltim, 12 (duabelas) perwakilan Pemkab/Pemkot lingkup Kaltim, Perguruan Tinggi, Lembaga Internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat dan perusahaan swasta. Workshop ini diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Kehutanan, Pemprov. Kaltim, Pokja REDD Kaltim, GTZ Forclime, The Nature Conservancy/TNC dan WWF.
Proses workshop difasilitasi oleh; Prof. Soeyitno Soedirman, M.Agr (Pokja REDD Kaltim/DKD Kaltim/Unmul); Alfan Subekti, MSc (Pokja REDD/TNC); Ir. Wahyu Widhi Heranata, MP (Pokja REDD/Dishutprov Kaltim); Arif Data Kusuma, SPi (Pokja REDD/WWF); dan Edy Marbyanto (GTZ Forclime).
Penyaji makalah dalam acara workshop ini adalah:
a. Dr. Agus Justianto selaku wakil Kementrian Kehutanan yang menyajikan materi; “Indonesia – Norway di bidang penurunan emisi gas dari deforestasi dan degradasi hutan” dan “Kriteria dan Indikator Propinsi Pilot dalam rangka implementasi LoI NoRI”
b. Drs. Tuparman, MM, selaku wakil Pemprov Kaltim yang menyajikan materi “Kesiapan Kaltim dalam Pelaksanaan REDD Plus”
Untuk mengelaborasi pembahasan materi tentang kesiapan Kaltim sebagai provinsi percontohan, dalam workshop ini juga diselenggarakan diskusi kelompok membahas inisiatif Kaltim yang terkait dengan program REDD dan perubahan iklim khususnya dalam aspek: (1)Tata Pemerintahan/governance, (2) Bio Fisik, (3) Sosial dan Ekonomi Hutan, dan (4) Data dan Monitoring, Reporting dan Verifikasi/MRV.
I. POINTERS PRESENTASI DAN TANGGAPAN
1.1. Presentasi Dr. Agus Justianto (Kementerian Kehutanan)
a. Tujuan LoI Indonesia – Norway adalah untuk berkontribusi pada pengurangan signifikan GRK dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut melalui; (a) Mengembangkan dialog kebijakan mengenai kebijakan internasional di bidang perubahan iklim, terutama kebijakan nasional mengenai REDD+ (b) Bekerjasama dalam mendukung pengembangan dan implementasi strategi REDD+ di Indonesia.
b. Pelaksanaan LoI Indonesia – Norway dilakukan dalam 3 phase;
1) Persiapan (sd Januari 2011) Menuntaskan strategi REDD + termasuk pendorong deforestasi dan degradasi hutan
Mengembangkan lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden untuk mengkoordinasikan pengembangan REDD +
Pengembangan strategi MRV Mengembangkan konsep pembiayaan Pemilihan lokasi provinsi percontohan
2) Transformasi (Jan 2011‐ Des 2013) Pengembangan kapasitas di tingkat nasional, pengembangan kebijakan dan
implementasinya, penegakan hukum dan reformasi sistem legal (termasuk suspensi/penundaan konversi, pengembangan data base kawasan gambut, penegakan hukum terkait pembalakan liar, kepastian kawasan/tenure) Pelaksanaan di tingkat provinsi percontohan (dengan MRV yang memadai dan
memenuhi persyaratan untuk Tier 2) Pelaksanaan kegiatan di provinsi percontohan yang kedua
3) Kontribusi pada Verified Emission Reduction (VER) Indonesia menerima kontribusi dari credit carbon sesuai dengan standar internasional
Norwegia (atau negara lain) menyalurkan dukungan finansial
c. Beberapa pointer penting dalam Pengembangan provinsi percontohan antara lain; (1) Provinsi Percontohan akan dipilih dengan menggunakan kriteria dan indikator yang ditetapkan secara multipihak, (2) Strategi implementasi REDD+ di tingkat provinsi melibatkan parapihak, termasuk masyarakat adat, masyarakat lokal dan LSM sesuai dengan legislasi nasional dan bila mungkin instrumen internasional, (3) Sistem MRV di tingkat provinsi seusai persyaratan Tier 2 atau yang lebih baik dapat terbentuk pada Desember 2011, (4) Kontribusi dana untuk VER dapat diberikan selambat‐lambatnya 3 bulan setelah verifikasi dilakukan, dengan catatan bahwa c. Beberapa pointer penting dalam Pengembangan provinsi percontohan antara lain; (1) Provinsi Percontohan akan dipilih dengan menggunakan kriteria dan indikator yang ditetapkan secara multipihak, (2) Strategi implementasi REDD+ di tingkat provinsi melibatkan parapihak, termasuk masyarakat adat, masyarakat lokal dan LSM sesuai dengan legislasi nasional dan bila mungkin instrumen internasional, (3) Sistem MRV di tingkat provinsi seusai persyaratan Tier 2 atau yang lebih baik dapat terbentuk pada Desember 2011, (4) Kontribusi dana untuk VER dapat diberikan selambat‐lambatnya 3 bulan setelah verifikasi dilakukan, dengan catatan bahwa
d. Aspek dan Kriteria dalam pemilihan propinsi percontohan adalah:
1) Tata Kelola Pemerintahan/Governance
1.1. Kompatabilitas program pembangunan ekonomi daerah dengan program REDD Plus
1.2. Tata Kelola kepemerintahan di daerah
1.3. Kapasitas pemerintah daerah dalam implementasi REDD Plus
1.4. Partisipasi para pihak
2) Biofisik hutan
2.1. Kondisi lahan bergambut
2.2. Kualitas hutan
2.3. Ancaman deforestasi dan degradasi kualitas hutan
2.4. Nilai konservasi hutan
3) Sosial ekonomi hutan
3.1. Nilai Ekonomi Sumber Daya Hutan
3.2. Ketergantungan Masyarakat terhadap Hutah
3.3. Kontribusi sektor kehutanan pada Pembangunan Ekonomi Daerah
3.4. Kapasitas Masyarakat
3.5. Potensi Konflik terhadap Sumberdaya Hutan
3.6. Pengakuan dan perlindungan Hak‐Hak Masyarakat adat (di dalam dan disekitar hutan)
4) Data dan MRV
4.1. Jaringan organisasi dan data
4.2. kejelasan tata ruang provinsi
4.3. Kapasitas MRV
e. Manfaat dan risiko menjadi Provinsi Percontohan: (1) Mendapat reputasi internasional, (2) Kemungkinan mendapat dukungan finansial dari VER (3) Mendapat dukungan pengembangan kapasitas untuk monitoring hutan (dalam rangka MRV) (4) Senantiasa diperhatikan oleh dunia (5) Harus melakukan ‘penyesuaian’ strategi pembangunan daerah, (6) Harus mengembangkan strategi pembangunan ekonomi yang baru (ada ekonomi carbon, jasa lingkungan, dll)
1.2. Tanggapan dan Diskusi atas Presentasi Dr. Agus Justianto
Pengembangan REDD+ dalam Kerangka LoI NoRI merupakan bagian dari komitmen penurunan emisi 41 % yang disampaikan oleh Pemerintah RI.
Kerjasama LoI NoRI hanya merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif kerjasama dalam pengembangan REDD+ sehingga daerah diharapkan bisa terus mengembangkan jaringan
kerjasama untuk pengembangan program dengan pihak lainnya. Perlu dikembangkan skema finansial program REDD+ yang disusun secara partisipatif,
transparan dan adil. Perlu ada kejelasan beberapa terminologi agar tidak muncul makna ganda seperti moratorium konversi perlu dilakukan untuk “kawasan hutan” atau moratorium konversi “hutan”. Pertambangan merupakan salah satu sektor yang berkembang di Kaltim dan sangat ekstraktif,
sehingga perlu dilakukan pengendalian secara ketat agar tidak menimbulkan kebocoran (leakage). Kaltim dan Indonesia perlu menyiapkan “position” yang jelas agar dalam proses negosiasi dengan donor mempunyai kejelasan konsep dan posisi tawar (bargaining position) yang kuat. Perlu dilakukan perbaikan terhadap kriteria dan indikator untuk seleksi provinsi percontohan seperti soal gambut kedalaman 3 meter sebaiknya tidak dijadikan indikator karena sudah ada regulasi yang mengatur tentang konservasi gambut tersebut.
1.3. Presentasi Drs. Tuparman MM
a. Visi Pembangunan Daerah Kalimantan Timur: “ Mewujudkan Kaltim sebagai pusat agroindustri dan energi terkemuka menuju masyarakat adil dan sejahtera”. Misi: Mensinergikan tiga modal bangsa yaitu: (a) Modal manusia, mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bebas dari kemiskinan, (b) modal SDA dan Fisik, memanfaatkan kekayaan alam secara optimal dan berkelanjutan, (c) Modal Sosial, mewujudkan sinergi kelompok birokrasi, wirausaha dan masyarakat menuju daya saing yang global.
b. Kaltim memiliki luas wilayah 19, 6 juta hektar dengan total kawasan hutan mencapai 14,4 juta hektar dan Areal Penggunaan Lain sekitar 5,2 juta hektar (SK 79/2001 updated). Terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, luas areal perkebunan Kaltim telah mencapai 427.850,50 hektar (2007) dengan pertumbuhan rata‐rata dari 2003‐2007 sebesar 5,99%. Perusahaan pertambangan batubara PKP2B berjumlah 25 perusahaan dengan produksi 97,3 juta ton (2007) dan belum termasuk di dalamnya puluhan ijin Kuasa Pertambangan. Sementara pemanfaatan hutan alam sampai tahun 2007 terdapat 92 unit pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK‐HA) dengan luas konsesi 7.119.503 ha. Hutan Tanaman Industri (HTI) b. Kaltim memiliki luas wilayah 19, 6 juta hektar dengan total kawasan hutan mencapai 14,4 juta hektar dan Areal Penggunaan Lain sekitar 5,2 juta hektar (SK 79/2001 updated). Terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, luas areal perkebunan Kaltim telah mencapai 427.850,50 hektar (2007) dengan pertumbuhan rata‐rata dari 2003‐2007 sebesar 5,99%. Perusahaan pertambangan batubara PKP2B berjumlah 25 perusahaan dengan produksi 97,3 juta ton (2007) dan belum termasuk di dalamnya puluhan ijin Kuasa Pertambangan. Sementara pemanfaatan hutan alam sampai tahun 2007 terdapat 92 unit pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK‐HA) dengan luas konsesi 7.119.503 ha. Hutan Tanaman Industri (HTI)
Cadangan batubara di wilayah Kalimantan Timur sekitar 5.352.473.000 ton dengan klasifikasi; teruji sekitar 1.957.932.000 ton, terkira 720.306.000 ton dan terduga sekitar 2.674.235.000 ton. Terdapat kecenderungan penurunan drastis potensi SDA yang tidak terbaharui di Kaltim khususnya minyak dan gas.
c. Kaltim merupakan bagian utama dari pusat keanekaragaman hayati dunia (center of world biodiversity) karena memiliki kekayaan Hayati : 222 spesies mamalia (44 spesies endemik), 13 spesies primata yang semuanya endemik, 420 spesies burung (37 spesies endemik), 166 spesies ular, lebih dari 100 spesies amfibi, 394 spesies ikan (149 spesies di antaranya endemik). Kaltim juga melingkupi 27,6% dari jantung Kalimantan‐Borneo dan merupakan bagian utama dari inisiatif global the Heart of Borneo (Indonesia, Malaysia dan Brunei Darusalam).
d. Terkait dengan kerusakan lingkungan, terdapat kawasan kritis seluas 6.402.472 ha yang terdiri dalam kawasan hutan seluas 4.202.472 ha dan di luar kawasan hutan seluas 2.200.000 ha. Adapun kondisi hutan mangrove di Kalimantan Timur yang luasnya mencapai 883.379 ha, yang mengalami rusak berat 329.579 ha, rusak ringan 328.695 ha, sedangkan yang kondisinya baik seluas 225.105 ha.
e. Untuk mendorong program pembangunan berkelanjutan di Kaltim, pemerintah Kaltim telah mencanangkan Kaltim Hijau. Kaltim Hijau dalam hal ini dimaknai sebagai kondisi Kalimantan Timur yang memiliki perangkat kebijakan, tata kelola pemerintahan serta program‐program pembangunan yang memberikan perlindungan sosial dan ekologis terhadap masyarakat Kalimantan Timur, serta memberikan jaminan jangka panjang terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan hidup.
f. Tujuan Kaltim Hijau adalah; (1) Meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kalimantan Timur secara menyeluruh dan seimbang, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan kualitas lingkungan hidupnya, (2) Mengurangi ancaman bencana ekologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Kalimantan Timur, (3) Mengurangi terjadinya pencemaran dan pengrusakan kualitas ekosistem darat, air dan udara di Kalimantan Timur dan (4) Meningkatkan pengetahuan dan melembagakan kesadaran di seluruh kalangan lembaga dan masyarakat Kalimantan Timur akan kepentingan pelestarian sumberdaya alam terbaharui serta pemanfaatan secara bijak SDA tidak terbaharui.
g. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Timur atas dasar harga berlaku tahun 2008 sebesar Rp. 315,22 trilyun. Distribusi PDRB Kalimantan Timur tahun 2008 masih didominasi oleh sektor pertambangan, dan industri pengolahan. Secara faktual perekonomian daerah (Provinsi dan hampir keseluruhan Kabupaten/Kota) sangat bergantung dari pengusahaan SDA baik yang tidak dapat (non‐renewable) dan/atau dapat diperbaharui (renewable resources) atau natural resources based economy.
h. Dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan dan sekaligus berkontribusi dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, di Kalimantan Timur sedang dikembangkan konsep pembangunan “Pertumbuhan rendah karbon” (low carbon emission development). Dalam konsep ini, pertumbuhan ekonomi diarahkan pada pengurangan eksploitasi sumberdaya alam berlebihan (over exploitation), pengembangan ekonomi berdasar sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, pengembangan diversifikasi produk (product diversity), pengembangan pemanfaatan ekowisata (ecotourism), berbagai jasa lingkungan (environmental services), dan bahkan bioteknologi (biotechnology; seperti bahan obat‐obatan dari dalam hutan), dan pengembangan usaha skala kecil (small scale enterprise). Untuk mendukung Pengembangan low carbon emission development tersebut diperlukan prasyarat adanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya oleh pemerintah (daerah) tetapi juga
para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya.
i. Inisiatif yang sudah dikembangkan dalam rangka mendukung pengembangan program REDD dan perubahan iklim di Kaltim antara lain:
1) Menyelenggarakan Lokakarya Lingkungan Hidup dengan tema "Inisiatif Daerah dalam Mengantisipasi Pemanasan Global dan Mitigasi Perubahan Iklim" yang berlangsung di Balikpapan yang menghasilkan Deklarasi Balikpapan (2009),
2) Keikutsertaan Gubernur Kalimantan Timur dalam pertemuan‐2 Global tentang Climate Change: Pertemuan Gubernur di California, Pertemuan COP 13 di Bali, Pertemuan COP 15 di Copenhagen dan Pertemuan di Oslo,
3) Deklarasi Kaltim Green sebagai “Brand Pembangunan Kaltim” dalam Kaltim Summit, 2010,
4) Mengembangkan kelembagaan multipihak yang berkaitan dengan Isu‐Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim, antara lain: (a) Kelompok kerja (POKJA) REDD tingkat Provinsi, (b) Mendorong dan memfasilitasi pembentukan Kelompok kerja (POKJA) REDD tingkat Kabupaten Kota, (c) Kelompok kerja (POKJA) The Heart Of Borneo/HoB tingkat Provinsi, (d) Dewan Kehutanan Daerah (DKD) tingkat Provinsi, (e) Forum DAS Mahakam tingkat Provinsi,
5) Pengembangan Rancang Bangun KPH Provinsi Kalimantan Timur,
6) Pengambangan KPH‐Lindung Model di Tarakan (Dephut),
7) Pengembangan Pengelolaan Hutan Lindung Wahea, HL. Sungai Wain Balikpapan, HL. Lesan Berau,
8) Study dan Penyusunan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Rendah Emisi (Low Carbon emsission development),
9) Pengembangan kerjasama dengan Lembaga yang berkompeten baik dalam dan luar negeri,
10) Mengalokasikan dana APBD Provinsi untuk Program dan Kegiatan di Bidang Lingkungan dan Konservasi yang teritegrasi dengan berbagai SKPD
1.4. Tanggapan dan Diskusi atas Presentasi Drs. Tuparman MM
Pengendalian atas kegiatan pertambangan di Kaltim perlu dilaksanakan secara lebih intensif dan terpadu melalui kerjasama antara Pemprop dan Pemkab/Pemkot sesuai dengan
kewenangannya masing‐masing. Aspek penaatan dan penegakan hukum dalam pengendalian sektor pertambangan perlu lebih
ditingkatkan agar usaha pertambangan tidak menimbulkan dampak yang merugikan dan berskala masif. Dalam mengantisipasi implementasi Program REDD di Kaltim, terdapat beberapa masalah yang dijumpai seperti tata ruang, banyaknya konflik di lapangan yang belum terselesaikan, belum adanya metodologi pengukuran MRV yang disepakati bersama. Untuk itu perlu segera dilakukan langkah terobosan agar Kaltim bisa memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan. Perlu dilakukan kajian dan pengembangan penggunaan energi alternatif untuk pengurangan emisi. Perlu didorong upaya pelestarian habitat dan spesies endemik lokal yang bisa menjadi maskot
daerah.
II. HASIL DISKUSI KELOMPOK
2.1. Tambahan informasi tentang kondisi dan Inisiatif terkait REDD yang telah dan sedang dikembangkan di Kaltim;
1. Aspek Tata Kelola Pemerintahan Visi dan misi Pembangunan berkelanjutan di Kaltim telah secara lengkap tertuang dalam
dokumen ‐dokumen strategis pembangunan daerah yang disusun dengan melibatkan para pihak. Telah terbentuknya kelembagaan khusus di Kaltim yang menangani REDD pada tingkat Provinsi dan satu lembaga khusus REDD di Kabupaten Berau dimana dalam pembentukan dan Peningkatan kapasitas para pihak (manajemen, teknis) telah melibatkan para pihak di daerah (dalam dan Luar negeri) Deklarasi Sagita – Balikpapan Juni 2010 tentang komitmen pemegang IUPHHK dalam
mendukung implementasi REDD+ di Kaltim. Pengembangan Demonstration Activities REDD di Kab. Berau dan Malinau bekerjasama
dengan Kementerian Kehutanan, The Nature Conservancy, Bank Pembangunan Jerman/KfW, GTZ Forclime dan WWF. Adanya dukungan pendanaan dan fasilitas dari APBD maupun dukungan dari pihak ketiga untuk pengembangan program REDD .
Tersedianya 3 tenaga fulltimer untuk pengelolaan program di lingkup Pokja REDD Propinsi.
Berbagai jenis pelatihan dan sosialisasi di bidang REDD telah diselenggarakan di Kaltim al: Pelatihan Dasar Pengenalan REDD, Pembuatan baseline karbon, Pengukuran tingkat
referensi emisi, Pelatihan MRV, Pelatihan GIS, dan sosialisasi/workshop REDD. Adanya proses kelembagaan Pokja REDD tingkat propinsi dan kabupaten yang bersifat
multistakeholder untuk mendukung pengembangan program REDD. Adanya inisiatif untuk pengembangan program pembangunan berwawasan lingkungan seperti kabupaten konservasi di Kab. Malinau dan Kabupaten Paser, program Bontang
Lestari di Kota Bontang, Green Clean Healthy di Balikpapan dimana dalam RTRW Kota Balikpapan ditetapkan 52% wilayah merupakan ruang terbuka hijau. Adanya inisiatif pengembangan program Environmental Payment Service di hutan lindung Sungai Wain, ekowisata di Hutan Lindung Sungai Wain dan Hutan Lindung Wehea, dan restorasi ekosistem di Kutai Timur.
2. Aspek Bio Fisik Data dari Asean Peatland Management Inisiative (APMI, 2003) menyebutkan bahwa
luas lahan gambut di Kaltim mencapai sekitar 700.000 hektar dengan berbagai variasi ketebalan. Lokasi gambut di kab. Kukar, menjadi salah satu daerah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan pada tingkat parah pada tahun 1997/1998. Fungsi gambut di Kab. Kukar sangat penting sebagai penopang keseimbangan ekologis di wilayah 3 danau (danau melintang, Semayang dan Jempang) yang ada di sana. Pada tahun 1997/1998 jumlah kebakaran hutan dan lahan di Kaltim cukup masif yakni mencapai 5,2 juta hektar dengan berbagai tingkatan kerusakan (IFFM 2000). Jumlah luasan kebakaran ini dari tahun ke tahun bisa ditekan melalui upaya proaktif Pemprov dan Pemkab/Pemkot dalam pengendalian kebakaran hutan. Secara kelembagaan pengelolaan kebakaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dikelola oleh UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Secara hukum, kegiatan pengendalian kebakaran ini dipayungi oleh Perda Prov Kaltim tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Tersedia Perda untuk kawasan lindung pulau‐pulau kecil Telah dilakukan pengumpulan data melalui berbagai kajian seperti: Analisis landskap kawasan bernilai bernilai konservasi tinggi, kajian DAS Prioritas di Kaltim, kajian Integrated watershed management, kajian kawasan strategis (Teluk Balikpapan, Delta Mahakam, Danau)dan Pengkaijan kawasan karst Sangkulirang oleh KPC Pengelolaan konservasi endemik lokal melalui konservasi pesut di danau Mahakam, pengelolaan kawasan Teluk dan Pesisir Balikpapan, Kawasan Konservasi Laut di Berau, Daerah Perlindungan Mangrove dan Pesisir di Balikpapan, Kawasan Konservasi Orangutan di Berau, pengelolaan kawasan karst dll. Penerapan Reduce Impact Logging (RIL) di lingkungan HPH Operasi terpadu penanggulangan Illegal Logging
Pengembangan High Conservation Value Forest (HVCF) di kawasan hutan dan inisiasi pengelolaan perkebunan sawit lestari (RSPO).
Pelaksanaan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) di kawasan hutan produksi.
3. Aspek Sosial dan Ekonomi Hutan Praktek pengelolaan sumberdaya alam (Hutan) di Kaltim tidak semata dilakukan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat setempat namun secara lebih jauh telah terdapat inisiatif ‐inisiatif untuk meningkatkan nilai jasa lingkungan (kelangsungan tata air, kegiatan restorasi) melalui praktek pengelolaan bersama antara pemerintah, masyarakat, akademisi, swasta dan mitra asing. Hutan di Kaltim mempunyai peran yang signifikan sebagai penopang perekonomian daerah (PDRB) maupun dari sisi penyerapan tenaga kerja serta multiplier effect lainnya. Terdapat insiatif untuk memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat dalam
pengelolaan hutan melalui program Pemberdayaan Masyarakat seperti pengembangan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan di Kutai Timur, Kutai Barat dan Malinau. Terdapat praktek pengelolaan hutan secara kolaboratif antara masyarakat, pemerintah, LSM dll seperti Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain, HL Sungai Lesan dan HL Wehea. Adanya inisiatif dari pemerintah dan swasta untuk mendorong program Pembangunan
Masyarakat Desa Hutan sebagai bentuk Corporate Social Responsibility di sektor Kehutanan. Secara faktual, hutan mempunyai fungsi sosial yang sangat kuat bagi masyarakat khususnya masyarakat asli seperti sebagai sumber tanaman obat, sumber penyedia bahan untuk acara budaya/adat dan lain‐lain. Terdapat berbagai praktek pengelolaan hutan dan sumberdaya alam secara lestari oleh masyarakat seperti di Kab. Malinau, Kab. Kutai Barat, Kab.Bulungan dan lain‐lain.
4. Aspek Data dan MRV: Data dan informasi awal terkait REDD di Kaltim telah tersedia baik melalui kegiatan‐
kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah ataupun swasta (pemegang ijin IUPHHK) dengan standart yang telah diatur namun belum terkompilasi dengan baik)
Sudah ada inisiatif dari Universitas Mulawarman untuk melakukan pengukuran emisi karbon di berbagai type vegetasi hutan.
Sudah ada kesepakatan di tingkat propinsi untuk RTRW. Meski demikian belum ada persetujuan penuh dari Pemerintah Pusat terhadap RTRW Kaltim.
Sudah tersedia rancang bangun KPH di tingkat propinsi. Sudah dilaksanakan training terkait MRV yang diikuti unsur Pemerintahan dan Pokja REDD Daerah.
3.2. Agenda mendesak yang perlu dikembangkan oleh Kaltim untuk menyiapkan diri sebagai provinsi percontohan
Mendorong adanya persetujuan Pemerintah Pusat dan pengesahan RTRW Kaltim. Kepastian hukum dokumen RTRW provinsi Kaltim perlu didorong karena berimplikasi
pengambilan keputusan/kebijakan pada tingkat Kabupaten/Kota yang membutuhkan ruang untuk kegiatan usaha/investasi, konservasi dan lindung serta kegiatan lainnya. Melakukan pembentukan dan atau penguatan Kelembagaan Pokja REDD di tingkat propinsi maupun kabupaten termasuk di tingkat unit pengelola di daerah. Mendorong penyadartahuan secara lebih intensif kepada Pemda dan publik tentang program REDD agar dukungan mereka terhadap program REDD semakin optimal. Menyusun Roadmap REDD tingkat propinsi dan Kabupaten sebagai acuan implementasi kegiatan REDD. Mendorong roadmap dan spirit program REDD agar terintegrasi dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD, Rencana Stretejik/Renstra SKPD, Rencana Kerja Pembangunan Daerah/RKPD, Rencana Kerja/Renja SKPD). Mengembangkan sistem manajemen data dasar kehutanan yang terpadu untuk mendukung proses pengambilan keputusan di tingkat daerah. Mengembangkan kebijakan dan program yang memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya untuk berperanserta dalam program REDD dan pengelolaan hutan pada umumnya termasuk benefit sharing‐nya. Mengembangkan kebijakan dan program untuk mendukung tercapainya pengelolaan hutan lestari. Mengendalikan laju perkembangan usaha pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat ekstraktif di tingkat daerah.
terhadap proses ‐proses
3.3. Input untuk penyempurnaan kriteria dan indikator
1. Aspek Tata Pemerintahan/Governance Kriteria
1.2. Tata Kelola kepemerintahan di daerah, yang sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik
2. Aspek Biofisik Kriteria
2.1. Kawasan bergambut
Indikator
2.1.2. Memiliki lahan gambut
Indikator
2.1.3. Keterwakilan ekosistem lahan basah
Kriteria
2.2. Kualitas hutan
Indikator
2.2.1. Hutan alam dengan tutupan > 60%
Kriteria
2.4. Nilai konservasi hutan
Indikator
2.4.3. Keterwakilan type ekosistem hutan (variasi landscape)
Indikator
2.4.4. Indeks biodiversity
3. Aspek Sosial dan Ekonomi Kriteria
3.1. Nilai ekonomi SDH
Indikator
3.1.5. Tersedianya PDRB hijau beberapa Kabupaten
Kriteria
3.2. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan
Indikator
3.2.2. Hutan memiliki nilai budaya/adat
Indikator
3.2.3. Hutan memiliki nilai/ manfaat sosial
Indikator
3.2.4. Keterlibatan parapihak dalam pengelolaan hutan
Indikator
3.2.5. Kepedulian pemerintah daerah dan masyarakat
Kriteria
3.3. Masyarakat memiliki kapasitas
Indikator
3.3.1. Masyarakat memiliki kapasitas kelembagaan dan organisasi yang baik (termasuk sisi pranata sosial) Indikator
3.3.2. Keragaman praktek pengelolaan / pemanfaatan hutan berkelanjutan. Indikator
3.3.3. Organisasi/institusi pengelola hutan yang mandiri
Kriteria
3.4. Potensi konflik
Indikator
3.4.1. Keterbukaan wilayah /aksesibilitas desa
Indikator
3.4.2. Ekskalasi dan frekwensi konflik
Indikator
3.4.3. Ketersediaan mekanisme resolusi/ manajemen konflik
Kriteria
3.5. Pengakuan dan Perlindungan hak‐hak masyarakat adat dan masy. Sekitar hutan Indikator
3.5.4. Jaminan aliran manfaat pengelolaan hutan bagi masyarakat
4. Aspek data dan MRV Kriteria
4.1. Jaringan organisasi dan data
Indikator
4.2.1. Adanya kerjasama multipihak dalam program pengembangan DA REDD
Kriteria
4.2. Kejelasan tata ruang provinsi
Indikator
4.2.4. Kejelasan batas fisik dilapangan administasi kab/kota
Kriteria
4.3. Provinsi memiliki kapasitas MRV
Indikator
4.3.1. Provinsi memiliki kelembagaan REDD yang sifatnya adhock (dibuat lembaga khusus menangani REDD di Katim Indikator
4.3.2. Provinsi SDM yang mampu melakukan MRV dan tersertifikasi kompetensinya
Catatan: Huruf cetak miring (italics) merupakan usulan perubahan atau input.
III. KESIMPULAN DAN RENCANA TINDAK LANJUT
1) Workshop ini telah mampu memberikan informasi dan gambaran yang lebih kongkrit kepada para peserta tentang konsep umum REDD+ khususnya program REDD + dalam kerangka LoI Indonesia – Norway . Hal ini merupakan suatu langkah yang sangat positif dalam rangka penyadartahuan publik tentang Program REDD dan perubahan iklim pada umumnya.
2) Workshop ini telah mampu memberikan gambaran tentang kriteria dan indikator untuk provinsi percontohan program REDD+ dalam kerangka LoI Indonesia – Norway. Walaupun kriteria dan indikator tersebut masih memerlukan beberapa penyempurnaan, kriteria yang ada sudah bisa dipakai sebagai acuan untuk melakukan penilaian awal secara mandiri (self assessment) terhadap kesiapan Kaltim sebagai provinsi percontohan.
3) Dari sisi instrument, kriteria dan indikator pemilihan propinsi percontohan yang disusun dalam workshop tanggal 25 Juni 2010 di Jakarta masih perlu penyempurnaan agar valid dan reliable. Penyempurnaan disini khususnya perlu dilakukan untuk level indikator, verifier maupun sistem scoring dan pembobotannya (bila metode yang digunakan adalah metode kuantitatif).
4) Bagi Kaltim, terdapat konsekuensi bila terpilih sebagai provinsi percontohan program REDD+ yakni: (a) melakukan reorientasi paradigma pembangunan dari pendekatan “pertumbuhan ekonomi yang setinggi‐tingginya” ke arah “pembangunan berkelanjutan”. (b) Perubahan system perencanaan pembangunan dimana secara substansi harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak bisa diperbaharui dan mendorong pengembangan nilai jasa lingkungan termasuk didalamnya “nilai karbon sebagai bagian dari nilai SDH yang mempunyai kaitan dengan perubahan iklim” (c) Harus mampu mengembangkan system perencanaan secara “transparan melaui proses multipihak” serta terintegrasi antara level provinsi dan kabupaten (d) Pembangunan ekonomi melalui pemanfaatan SDA perlu mempertimbangkan “benefit” dan “resiko” bagi keberlanjutan pembangunan (e) Untuk mewujudkan hal‐hal tersebut, maka perencanaan Tata Ruang Wilayah harus disusun secara rasional, obyektif dan transparan dengan mengalokasikan “SDA secara rasional (f) perlu didorong terwujudnya good and clean government yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap aspek pelestarian lingkungan.