ANALISIS SEDERHANA TERHADAP NILAI TAMBAH

ANALISIS SEDERHANA TERHADAP NILAI TAMBAH HASIL
PERKEBUNAN KELAPA DENGAN PENDEKATAN SISTEM
MANAJEMEN RANTAI PASOK TERPADU
Novi Dewi S. (F152130091), Waqif Agusta (F152130141), Mila Siti A. (F152130241)
Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester MK Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan
Program Studi Teknologi Pascapanen, Institut Pertanian Bogor, Bogor 2014
Abstrak
Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa terluas di dunia. Luas perkebunan
kelapa di Indonesia saat ini mencapai 3.8 juta hektar (ha) yang terdiri dari perkebunan
rakyat seluas 3.7 juta ha, perkebunan milik pemerintah seluas 4669 ha, serta milik swasta
seluas 66189 ha. Penanganan hasil perkebunan kelapa di Indonesia terbilang masinh
sangat kurang, sehingga daya saingnya turun dibandingkan produk sawit. Oleh kerena itu,
dengan analisis nilai tambah dari hasil perkebunan kelapa serta peranan teknologi
pascapanen dalam upaya pembentukan nilai tambah hasil perkebunan kelapa dan
mengurangi susut yang terjadi dengan pendekatan sistem manajemen rantai pasok
(supply chain management) secara terpadu sangat perlu dilakukan untuk merevitalisasi
kondisi salah satu komoditas perkebunan ini. Hasil analisis

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa terluas di dunia. Luas perkebunan

kelapa di Indonesia saat ini mencapai 3.8 juta hektar (ha) yang terdiri dari perkebunan
rakyat seluas 3.7 juta ha, perkebunan milik pemerintah seluas 4669 ha, serta milik swasta
seluas 66189 ha. Selama 34 tahun, luas tanaman kelapa meningkat dari 1.66 juta ha pada
tahun 1969 menjadi 3.8 juta ha pada tahun 2011. Persebaran kebun kelapa hampir merata
di seluruh Indonesia, dengan sebaran terbanyak berada di Sumatera mencapai 34.5 %,
Jawa 23.2 %, Sulawesi 19.6 %, Bali, NTB dan NTT 8.0 %, Kalimantan 7.2 %, Maluku
dan Papua 7.5 % (Deptan 2005). Bila dilihat menurut propinsi, kebun kelapa terluas
berada di propinsi Riau (15.28 %), disusul Jawa Tengah (7.68 %), Jawa Timur (7.67 %),
Sulawesi Utara (7.27 %), Sulawesi Tengah (4.78 %), dan Jawa Barat (4.60 %), serta
beberapa derah lainnya.
Total produksi kelapa tahun 2007 mencapai 3.3 juta ton setara kopra, atau sebesar
29.8 % dari total produksi dunia sebesar 10.3 juta ton (APCC 2008). Produksi kelapa
terbesar kedua adalah Philipina 2.10 juta ton (18 %), India 1.85 juta ton (17.1 %),
Srilangka 0.51 juta ton (5.0 %), Papua Nugini 0.17 juta ton (2.0 %), dan negara lainnya
2.39 juta ton (28.1 %).
Meskipun potensinya begitu besar secara nasional maupun internasional, kelapa
belum menjadi komoditas unggulan. Berbagai permasalahan masih dirasakan di tingkat
petani, industri pengolah, dan tingkat pemasaran. Permasalahan yang dihadapi juga
beragam mulai dari teknis budidaya, skala usaha, teknologi pengolahan, pemasaran
produk, sumber daya manusia, akses permodalan, infrastruktur, kesenjangan informasi,


dan dukungan kebijakan. Salah satu permasalahan terbesar adalah kualitas hasil panen
yang belum standar dan tidak sepenuhnya sesuai dengan permintaan pasar internasional.
Perbaikan mutu produk hasil perkebunan kelapa dapat ditingkatan mulai level
on-farm hingga pascapanen serta pengolahan. Perbaikan kualitas tersebut merupakan
faktor yang sangat penting dalam persaingan perdagangan global, sehingga diperlukan
teknologi yang tepat untuk memperbaiki, menjaga, atau mengubah mutu hasil pertanian
tersebut melalui pendekatan manajemen rantai pasok (supply chain management), sejak
saat on-farm hingga off-farm dengan penerapan teknologi pascapanen yang baik dan
benar. Manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan,

koordinasi, dan kendala seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok
untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan biaya termurah (Chopra dan
Meindell 2007). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi rantai pasokan
bermanfaat untuk memaksimumkan kinerja rantai pasokan, mengurangi biaya
pemesanan, mengurangi waktu siklus dan tingkat persediaan serta ketidakpastian bisnis.
Manajemen rantai pasokan produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai
pasokan untuk produk manufaktur lainnya karena beberapa karakteristik yang khas yaitu
(1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan
pemanenan tergantung pada iklim dan musim (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran

yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit
untuk ditangani (Austin 1992 dan Brown 1994), serta mengurangi ketidakpastian dalam
bisnis. Keseluruhan faktor tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam desain dan
analisis rantai pasokan produk pertanian sehingga manajemen rantai pasok produk
pertanian menjadi lebih kompleks daripada manajemen rantai pada umumnya.
Terkait dengan penjelasan di atas, perlu dilakukan adanya analisis terhadap
penerapan teknologi pascapanen yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah produk
agroindustri kelapa dan menurunkan nilai susut produk tersebut dengan pendekatan
manajemen rantai pasok. Analisis nilai tambah dan penyusutan dapat dilakukan pada
setiap bagian dari rantai pasokan produk agroindustri buah kelapa. Dengan adanya
analisis ini diharapkan kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar permintaan
pasar dengan nilai tambah yang setinggi-tingginya dan nilai susut produk serendahrendahnya. Sehingga keuntungan yang didapat oleh setiap pelaku bisnis dalam rantai
pasokan produk hasil perkebunan kelapa dapat diperoleh secara maksimal.
Tujuan
Tulisan ini bertujuan menganalisis nilai tambah dari hasil perkebunan kelapa
serta peranan teknologi pascapanen dalam upaya pembentukan nilai tambah hasil
perkebunan kelapa dan mengurangi susut yang terjadi dengan pendekatan sistem
manajemen rantai pasok (supply chain management) secara terpadu.

METODE PENULISAN

Pengumpulan data dan informasi dalam tulisan ini merupakan data sekunder dan
studi literatur yang didapatkan dari berbagai sumber. Data sekunder dan hasil studi
literatur dianalisis dengan metode nilai tambah dan susut yang terjadi pada produk hasil
perkebunan kelapa pada setiap rantai pasokannya. Nilai tambah adalah pertambahan nilai
yang terjadi pada suatu komoditas karena komoditas tersebut mengalami proses
pengolahan lebih lanjut dalam suatu proses produksi (Nenny 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan Budi Daya dan Pemanenan Kelapa (Cocos nucifera L.)
Kelapa adalah salah satu jenis tanaman palem yang tersebar di hampir semua
negara tropis, terutama di daerah dekat pantai. Hal ini merupakan petunjuk bahwa
tanaman kelapa berasal dari daerah tropis, walaupun sulit menentukan negara mana
tepatnya. Kelapa dikenal sebagai tanaman serba guna karena seluruh bagian tanaman ini
bermanfaat bagi kehidupan manusia (Palungkun 1998).
Palungkun (1998) menyatakan bahwa pada mulanya hanya ada dua varietas
kelapa yang dikenal, yaitu varietas dalam (tall variety) dan varietas genjah (dwarf
variety). Setiap tipe kelapa baik kelapa dalam maupun kelapa genjah terdiri atas beberapa
kultivar. Kelapa dalam Mapanget, kelapa dalam Tenga, kelapa dalam Palu dan kelapa
dalam Bali adalah kultivar-kultivar kelapa dalam unggul (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan 2005). Gambar 1 menunjukkan tampilan buah dan pohon

kelapa dalam Tenga dan Gambar 2 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa
Malayan Red Dwarf.

Gambar 1 Buah dan pohon kelapa dalam Tenga (Batugal et al. 2005)

Gambar 2 Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf (Batugal et al. 2005)
Kelapa varietas dalam terdapat di berbagai negara produsen kelapa. Varietas ini
berbatang tinggi dan besar, tingginya mencapai tiga puluh meter atau lebih. Umurnya
dapat mencapai lebih dari seratus tahun. Keunggulan varietas ini adalah (Palungkun
1998):

1. produksi kopra lebih tinggi, yaitu sekitar satu ton kopra/ha/tahun pada umur sepuluh
tahun,
2. daging buah tebal dan keras dengan kadar minyak yang tinggi, dan lebih tahan
terhadap hama penyakit.
Kekurangan dari kelapa varietas dalam adalah:
1. lambat berbuah (6-7 tahun setelah tanam),
2. produksi tandan buah sedikit, yaitu sekitar 11 tandan/pohon/tahun,
3. produktivitas sekitar 90 butir/pohon/tahun, dan
4. habitus tanaman lebih tinggi, yaitu sekitar 20 meter pada umur 50 tahun.

Tanaman kelapa varietas genjah berbatang ramping, tinggi batang mencapai 5
meter atau lebih, masa berbuah 3 - 4 tahun setelah tanam, dan dapat mencapai umur 50
tahun. Kelebihan kelapa varietas genjah yaitu lebih cepat berbuah, produksi tandan buah
lebih banyak (sekitar 18 tandan/pohon/tahun), habitus tanaman pendek dan produktivitas
sekitar 140 butir/pohon/tahun. Kekurangan dari kelapa varietas genjah yaitu produksi
kopra rendah (sekitar 0.5 ton/ha/tahun pada umur 10 tahun), daging buah tebal, rapuh dan
kandungan minyaknya rendah, serta peka terhadap gangguan hama dan penyakit
(Palungkun 1998). Kelapa genjah kultivar unggul yaitu kelapa genjah Salak dan kelapa
genjah Raja (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2005).
Kelapa hibrida adalah hasil silangan antar dua kultivar berbeda dari kedua tipe
kelapa (dalam dan genjah) atau antar tipe yang sama (Hengky 1994). Menurut Baudouin
(1999), kelapa hibrida komersial adalah hasil persilangan antara tipe genjah dan dalam
yang lebih mudah diproduksi dan memungkinkan penggabungan sifat kelapa genjah yang
cepat berbuah. Selain Khina-1, Khina-2, dan Khina-3, telah ditemukan 4 hibrida baru
yang bisa diterima petani karena low input yaitu Genjah Raja x Dalam Mapanget, Genjah
Kuning Bali x Dalam Mapanget, Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga, dan Genjah
Kuning Bali x Dalam Tenga (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian 2006). Salah satu jenis kelapa hibrida yang pernah ditanam di Indonesia yaitu
kelapa PB-121, hasil persilangan antara kelapa Malayan Yellow Dwarf dan West African
Tall (Batugal et al. 2005). Gambar 3 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa PB121.


Gambar 3 Buah dan pohon kelapa hibrida PB-121 (Batugal et al. 2005)
Palungkun (1998) menyatakan bahwa salah satu hasil persilangan adalah
kombinasi sifat-sifat yang baik dari kedua jenis kelapa asalnya. Sifat-sifat unggul yang
dimiliki oleh kelapa hibrida adalah:
1. lebih cepat berbuah, sekitar 3-4 tahun setelah tanam,
2. produksi kopra tinggi, sekitar 6-7 ton/hektar/tahun, pada umur 10 tahun,
3. produktivitas lebih besar, sekitar 140 butir/pohon/tahun,

4. daging buah tebal, keras dan kandungan minyaknya tinggi,
5. habitus tanaman sedang,
6. lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit.
Tanaman kelapa membutuhkan lingkungan hidup yang sesuai untuk pertumbuhan
dan produksinya. Kelapa tergolong tanaman yang menyenangi sinar matahari dan
pertumbuhannya akan terhambat jika kekurangan sinar matahari. Lama penyinaran yang
dikehendaki adalah 2.000 jam per tahun atau minimal 120 jam per bulan. Pada bulan Mei
hingga Agustus, jumlah lama penyinaran per bulan lebih tinggi dari rata-rata penyinaran
pada bulan Oktober hingga Maret. Karenanya, pada bulan Mei hingga Agustus jumlah
bunga betina lebih banyak dibanding pada bulan Oktober hingga Maret.
Untuk pemanenan kelapa, didasarkan pada umur berbuahnya kelapa. Seperti pada

kelapa jenis dalam umur berbuah setelah 8-10 tahun, dan umur bisa mencapai 60 - 100
tahun dengan produksi yang diharapkan adalah kopra. Untuk kelapa jenis genjah berbuah
setelah umur 3 - 4 tahun dan berbuah maksimal pada saat umur 9 - 10 tahun, dan bisa
mencapai umur 30 - 40 tahun kurang bagus untuk kopra karena daging buahnya yang
lunak. Panen buah kelapa dilakukan menurut kebutuhannya. Jika kelapa yang diinginkan
dalam keadaan kelapa masih muda kira-kira umur buah 7 -8 bulan dari bunganya. Jika
ingin mengambil buah tua untuk santan atau kopra dipanen di saat umur sudah mencapai
12-14 bulan dari berbunga atau jika sudah tidak lagi terdengar suara air di dalam
buahnya.
Untuk meningkatkan produktivitas kelapa dan pendapatan petani, kelapa tua
perlu diremajakan, kelapa yang relatif muda direhabilitasi. Penanaman baru atau
perluasan harus mempertimbangkan kesesuaian lingkungan, dan meningkatkan nilai
tambah dari produk yang dihasilkan tidak hanya kelapa butiran, kopra atau minyak akan
tetapi aneka ragam produk yang berasal dari tanaman kelapa maupun dari tanaman sela
yang ditanam diantara pohon kelapa.
Peremejaan adalah mengganti tanaman tua yang produksinya rendah dengan
tanaman baru yang berproduksi tinggi. Kegiatan perluasan adalah menanam tanaman
kelapa di areal baru yang lingkungannya sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman kelapa, sehingga produktivitas kelapa dalam sebesar 2.0 – 3.0 kopra atau kelapa
hibrida 4.0 – 5.0 ton kopra per hekatar per tahun dapat diperoleh.

Untuk penjualan, petani menjual hasil kebunnya masih dalam bentuk produk
primer, yaitu kelapa butir dan kopra serta yang dilakukan secara sendiri-sendiri sebelum
diusahakan secara terpadu. Harga produk tersebut sangat berfluktuasi dan harganya sering
ditentukan secara sepihak oleh pembeli, karena tidak ada pilihan lain petani tetap
menjual hasil kelapanya walaupun berada pada posisi tawar yang lemah. Petani kelapa
menjual kelapa hasil panen secara maksimal, buah kelapa yang muda dan buah kelapa
yang tua seringkali tidak dibedakan, sehingga apabila ada pedagang yang menginginkan
akan dijual. Penjualan dilakukan langsung pada saat kelapa masih di pohon belum dipetik
dan pemetikan tidak memperhatikan umur kelapa. Permasalahan petani on farm yaitu
tingkat harga kelapa yang berfluktuasi, produktivitas yang rendah dalam kisaran 1
ton/hektar.
Petani/pekebun ini menjual kelapa butiran langsung kepada petani pengolah
kopra ataupun petani pengolah minyak kelapa, pedagang pengumpul desa maupun
pedagang perantara yang merupakan pedagang di tingkat kecamatan. Distribusi kelapa
butiran ini selanjutnya dilakukan kepada pedagang pengumpul kabupaten atau wilayah
hingga pedagang antar pulau. Distribusi selanjutnya dilakukan kepada konsumen
domestik dan eksportir.
Untuk penanganan pascapanen butir kelapa tidak ada yang begitu khusus. Baik
kelapa yang masih mudah maupun yang sudah tua, petani hanya menjual langsung
kepada konsumen. Jalur penjualan kelapa butiran dapat dilihat pada skema rantai pasok

berikut:

Petani/Pekebun

Pedagang pengumpul
desa

Pedagang pengumpul
kecamatan

Pedagang Pengumpul
Kabupaten/wilayah

Pedagang antar pulau

Petani pengolah

Pengolah

Pialang/makelar


Eksportir

Konsumen Luar
negeri

Konsumen Domestik

Gambar 4 Skema struktur jaringan rantai pasokan buah kelapa butiran
Dari skema di atas, tidak ada nilai tambah yang didapatkan dari buah kelapa
butiran, karena tidak dilakukan proses pengolahan lebih lanjut. Maka dari itu, untuk
meningkatkan nilai tambah tersebut diperlukan diversifikasi pengolahan.
Sejumlah permasalahan yang dihadapi pelaku rantai pasokan agroindustri kelapa
yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang perantara dan agroindustri pengolah kelapa.
Pedagang pengumpul membayar langsung tunai, kelapa tidak disortasi dan seiring dengan
kebutuhan yang mendesak sehingga menginginkan proses sesingkat mungkin. Pedagang
perantara yang merupakan pedagang di tingkat wilayah yang melakukan sortasi dengan

melihat volume kelapa dan kadar air. Pedagang juga menginginkan persediaan seminimal
mungkin dan seringkali melakukan spekulasi harga. Unit pengolah melakukan sortasi
terkait dengan volume, kadar air kelapa dan menimbun persediaan untuk pasar
selanjutnya (forward market).
Kondisi yang kurang menguntungkan dalam agroindustri yang mempersulit
perdagangan untuk pasar ekspor yaitu permasalahan logistik yang terkait dengan jarak.
Jarak tempuh sangat menentukan waktu dan volume transaksi. Waktu akan menunjukkan
biaya apabila dikaitkan dengan ketidakpastian dan resiko yang harus dipertimbangkan ke
dalam harga. Volume transaksi menentukan kelayakan transportasi (feasibility of
transport). Demikian pula kualitas dapat menurun apabila tidak adanya sarana
pengangkutan dan kurangnya fasilitas pengangkutan.
Kelembagaan ekonomi belum berperan dengan baik dalam bidang pengolahan
dan pemasaran. Pengembangan unit pengolahan dilakukan untuk agroindustri kelapa
terpadu, maka keseluruhan bagian dari kelapa yang selama ini terbuang diolah menjadi
produk samping yang mempunyai nilai ekonomi sehingga dapat menimbulkan nilai
tambah bagi keseluruhan jaringan rantai pasokan. Hal yang diharapkan adalah adanya
suatu unit pengolahan kelapa terpadu yang mampu memberdayakan petani/pekebun dan
petani pengolah yang terwadahi dalam kelompok tani dan kelembagaan unit pengolah
hasil yang mampu mengoperasikan unit tersebut secara kontinyu dan berkesinambungan.
Petani/pekebun maupun petani pengolah tidak harus terlibat dalam manajemen
pengelolaan usaha, namun setidaknya memiliki peran dan arti penting demi peningkatan
taraf hidupnya.

Pemanfatan Buah Kelapa
Hasil utama tanaman kelapa adalah buahnya yang dapat dijual dalam bentuk
segar setelah panen maupunSelama ini produk olahan kelapa yang dihasilkan masih
terbatas baikdalam jumlah maupun jenisnya. Padahal, sebagai the tree of life banyaksekali
yang dapat dimanfaatkan dari setiap bagian pohon kelapa. Produk-produk yang dapat
dihasilkan dari buah kelapa dan banyak diminati karena nilai ekonominya yang tinggi
diantaranya adalah adalah desicated coconut (DC), coconut milk/cream (CM/CC),

coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC), brown sugar (BS), nata de coco
(ND) dan coconut fiber (CF). Yang baru mulai berkembang adalah virgin coconut
oil (VCO) dan coconut wood (CW). Produk DC, CCL, AC, BS, dan CF sudah
masuk pasar ekspor dengan perkembangan yang pesat, kecuali CF yang
perkembangan ekspornya kurang karena belum terpenuhinya standar mutu,
walaupun permintaan dunia terus meningkat . Demikian pula batang kelapa juga
merupakan bahan baku industri untuk menghasilkan perlengkapan rumah tangga
(furniture) yang masih prospektif untuk dikembangkan.
Pohon industri kelapa di bawah menunjukkan bahwa sangat banyak produk yang
bisa dihasilkan dari kelapa. Tingkat penyerapan pasar internasional yang tinggi,
seharusnya juga mempercerah prospek perkebunan komoditas ini. Namun, tidak semua
petani kelapa memiliki kemampuan yang sama dalam memenuhi standar permintaan
pasar ekspor karena keterbatasan pengetahuan teknologi penanganan pascapanen yang
baik dan benar sehingga memungkinkan susut pascapanen yang tinggi dan perolehan nilai
tambah dari hasil olahan kelapa yang kurang maksimal.
Industri perkelapaan di Indonesia kebanyakan masih berlangsung secara parsial
yang terdiri dari industri hulu dan industri hilir. Industri hulu meliputi kegiatan
agroindustri di lahan, yaitu segala kegiatan terkait budi daya tanaman kelapa dan
pemanenan hasil buahnya. Sedangkan industri hilir kelapa meliputi kegiatan pengolahan
hasil panen tanaman kelapa menjadi produk-produk setengah jadi, seperti kopra dan

crude coconut oil (CCO) maupun produk jadi lainnya seperti VCO, arang aktif, dan
sebagainya. Daya saing produk kelapa pada saat ini tidak lagi terletak pada produk

primernya yakni kopra seperti yang selama ini banyak diusahakan secara
tradisional. Sebagai contoh, produk desicated coconut (tepung kelapa) memiliki
daya saing yang jauh lebih tinggi (300 % – 400 %) dibandingkan dengan kopra,
yang terlihat dari indeks paritas ekspornya (nilai ekspor dibandingkan dengan
biaya produksi).

Gambar 5 Pohon industri kelapa

Profil usaha produk-produk akhir kelapa yang sudah mulai berkembang
hingga saat ini antara lain nata de coco, serat, arang tempurung, gula merah, dan
desicated coconut. Selain itu juga telah berkembang virgin coconut oil (VCO)
yang merupakan makanan suplemen dan juga obat. Beberapa hambatan yang
diperkirakan muncul seperti kontinuitas pasok bahan baku ternyata dapat diatasi
sehingga industri masih bertahan dengan kondisi yang baik. Bila pengembangan
dapat dilaksanakan secara ”terpadu” maka pasokan bahan baku akan lebih
terjamin.
Pembuatan Kopra dan Minyak Kelapa (Crude Coconut Oil)
Industri pengolahan kelapa pada saat ini masih didominasi oleh produk setengah
jadi berupa kopra dan crude coconut oil (CCO). Kopra merupakan bahan baku dalam
pembuatan CCO. Minyak kelapa kasar dapat diolah lebih lanjut menjadi minyak goreng
atau bahan-bahan oleokimia lain. Kopra yang dihasilkan petani dengan cara pengasapan
dengan suhu tinggi dan tidak terkontrol, akibatnya dihasilkan kopra berwarna coklat,
berbau asap, berkadar air cukup tinggi dan bagian kopra yang terbakar. Selanjutnya kopra
dijual ke pedagang pengumpul tingkat desa dan kecamatan, dan dilakukan pengeringan
ulang pada bak pengeringan dan penyimpanan sebelum dijual ke pedagang pengumpul
kabupaten atau ke pabrik.
Pembuatan kopra

Menurut Nathanael (1990) minyak kelapa kasar (Crude coconut oil) yang
dihasilkan dari kopra yang telah rusak ditandai dengan minyak tengik, warna coklat tua
dan kadar asam lemak bebas yang tingi berkisar 1.0 % - 5.0 %. Minyak yang demikian
tidak layak dikonsumsi sebagai minyak makan atau minyak goreng, agar minyak layak
dikonsumsi harus diproses lanjut yang dikenal dengan proses ripening dan deodorisasi,
untuk menghilangkan ketengikan dan warna minyak dan menurunkan kadar asam lemak
bebas. Pengolahan kopra putih, secara ringkas sebagai berikut:
a. Penyiapan bahan olah: kelapa matang dikupas dan dibelah, belahan kelapa siap untuk
dikeringkan
b. Persiapan pengeringan: Belahan kelapa dimasukkan ruang pengeringan dari unit
pengolahan kopra, disusun belahan kelapa dalam satu arah, dengan jumlah susunan
sebanyak lima susun dan ruang pembakaran dimasukan bahan bakar untuk berupa
sabut atau kayu kering.
c. Pengeringan: Pengeringan kelapa menjadi kopra putih menggunakan suhu 60 – 80 °C,
lama pengeringan 12 - 18 jam, didinginkan, dan dikeluarkan daging kelapa dalam
bentuk belahan kopra (Ball copra).
d. Pengeringan ulang: Pengeringan ulang dilakukan untuk mengeringkan belahan kopra
putih, dengan suhu pengeringan yang sama dengan waktu pengeringan sekitar 6 jam.
Dilaporkan bahwa dalam pengolahan kopra putih, dihindari penggunaan suhu
lebih 70 °C, sebaiknya pengeringan kopra putih dilakukan pada suhu 55 - 60°C selama 8
jam/hari, dan proses pengeringan berlangsung selama 3 hari.
Dalam pengeringan buah kelapa menjadi kopra, terjdi susut akibat penguapan air
dari dalam daging buah. Susut ini merupakan susut yang diharapkan deimana semakin
cepat susut itu terjadi makan pengeringan akan berjalan semakin cepat. Kopra putih yang
dihasilkan disimpan dalam karung goni selama 10 hari sebelum diolah menjadi minyak
atau produk lain. Kopra putih yang diproses demikian akan menghasilkan minyak kelapa
yang berkualitas sangat baik (Rethinam dan Bosco 2003).
Untuk mendapatkan minyak kelapa dengan mutu yang baik, kopra yang
digunakan sebagai bahan baku juga harus memiliki mutu yang baik. Mutu kopra yan baik
sangat bergantung pada metode pengeringan dan perlakuan selama penyimpanan. Kopra
termasuk produk yang mudah rusak. Kerusakan kopra banyak terjadi selama proses
pengeringan dan penyimpanan. Kerusakan kopra disebabkan oleh kadar air yang masih
tinggi, yaitu lebih dari 6 % (karena pengeringan kurang optimum), serangan hama, serta
serangan mikroorganisme (bakteri, cendawan, dan kapang). Oleh karena itu, untuk
mempertahankan mutu kopra perlu dilakukan penanganan tertentu. Metode yang biasa
digunakan untuk mengawetkan kopra adalah sebagai berikut:
a. Pengawetan dengan gas SO2, metode ini dilakukan untuk mencegah timbulnya
cendawan. Selain itu, gas SO2 dapat membantu mempercepat pengeringan kopra
karena gas tersebut bereaksi dengan dinding sel yang menyebabkan pelunakan pada
dinding sel. Pelunakan dinding sel akan mempercepat laju massa uap air yang keluar
dari kelapa yang dikeringkan.
b. Proses tapahan, metode ini dilakukan dengan merendam kelapa dalam larusan asam (5
– 7 % asam asetat + 5 % asam sulfat, selama kurang lebih 5 menit). Nilai pH daging
buah kelapa adalah 6 – 6.8, kisaran pH tersebut mendekati keadaan netral sehingga
sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan mikrorganisme. Perendaman buah
kelapa dalam lerutan asam bertujuan menurunkan pH dari daging kelapa sehingga
kondisi daging kelapa tidak cocok sebagai lingkungan tumbuh dan berkembang yang
baik bagi mikroorganisme, terutama cendawan.
c. Perendaman dalam larutan soda (Na2CO3). Bahan garam soda akan bereaksi dengan
air dan mengikat ion hidroksida sehingga larutan soda akan bersifat basa. Hal ini
terkait dengan kondisi pH daging kelapa yang mendekati netral sehingga perlu
dinaikkan agar daging kelapa tidak lagi memiliki kondisi yang sesuai dengan
lingkungan tumbuh dan berkembang optimum bagi mikroorganisme.

d. Penambahan garam (NaCl), efek pemberian NaCl pada pengawetan antara lain:
meningkatkan tekanan osmotik yang akan menyerap kandungan air pada daging buah
kelapa maupun mikroorganisme yang ada di sekitarnya sehingga mikroorganisme
akan mengalami plasmolysis. Selain itu, unsur klorin yang dihasilkan dari penguraian
molekul garam tersebut akan membahayakan keadaan mikroorganisme.
Pembuatan minyak kopra putih
Pengolahan kopra putih menjadi minyak goreng tidak memungkinkan dilakukan
secara manual, tetapi dilakukan secara mekanis, karena membutuhkan energi cukup besar
dalam penggilingan dan pengepresan. Pengolahan minyak kelapa dengan bahan baku
kopra putih sebagai berikut:
a. Penggilingan: Penggilingan dilakukan untuk memperkecil permukaan daging kelapa
agar mudah melakukan pengepresan. Penggilingan kopra putih dilakukan secara
mekanis, sebaiknya menggunakan mesin penggilingan tipe Hammer, sedangkan
penggilingan berdaya kecil dengan tipe silinder tidak memungkan penggilingan kopra
putih.
b. Pengeringan: Sebelum kopra putih giling atau parutan kopra putih diparut, harus
dikeringkan terlebih dahulu sampai kadar air sekitar 3 %.
c. Pengepresan: Pengepresan kopra putih secara mekanis optimal pada kopra putih
berkadar air 3 % atau lebih rendah
d. Penyaringan minyak: Penyaringan dilakukan dalam tiga tahap, yakni tahap pertama
menggunakan saringan stainless steel 20 mesh, tahap kedua 50 mesh diikuti dengan
pendiaman minyak selama 1-2 hari, dan tahap akhir adalah pemisahan minyak secara
manual dengan menggunakan filter, untuk memisahkan endapan berupa sisa bungkil
dan blondo yang tercampur dalam minyak kelapa.
e. Pemanasan akhir: pemanasan minyak dilakukan untuk meminimalkan kadar air
minyak agar minyak mempunyai daya simpan yang lama, dengan suhu pemanasan
berkisar 100 - 105 oC selama 10 - 15 menit.
Hasil analisis mutu minyak menunjukkan bahwa minyak kopra putih sama
dengan minyak goreng namun berbeda dengan VCO, seperti tertera pada tabel berikut.

Parameter
Kadar air (%)
Asam lemak bebas (%)
Bilangan peroksida
(meq/kg)
Warna
Bau
Rasa

Tabel 1 Mutu minyak kelapa
Minyak kopra
Standar mutu
putih
minyak goreng
0.13 – 0.18
0.43 – 0.45
1.58 – 1.97
Jernih – kuning
muda
Bebas dari bau
asing
Agak tengik

Standar mutu VCO
(APPC 2005)
0.1 – 0.3
< 0.5

-

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26