Makalah Kedudukan Anak Angkat Dalam Sist
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia telah ditakdirkan untuk hidup berpasangan dalam
tujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan pada umumnya
kehadiran anak atau keturunan hasil dari perkawinan mereka. Di Indonesia, dalam hukum
nasional, tujuan dari lahirnya seorang anak yang merupakan hasil perkawinan adalah untuk
melanjutkan dan menyambung keturunan serta melestarikan harta kekayaan keluarga
tersebut.
Tetapi tidak semua keluarga dapat menikmati rasanya membesarkan seorang anak seperti
keluarga lainnya. Di beberapa keluarga, atas kekuasaan Tuhan, dimana kehendak
memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai, sedangkan
keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Maka akibatnya, keturunan dari keluarga
tersebut akan terancam punah dan putus bila tidak ada yang meneruskan silsilah keluarga dan
kerabat keluarga.
Jika peristiwa tersebut terjadi, maka dapat kemungkinan terjadi pengangkatan anak yang
asalnya bisa dari kerabat, keluarga atau mengangkat anak yang tidak ada hubungannya
dengan kerabat keluarga (adopsi) untuk menjadi penerus keturunan keluarga yang
bersangkutan.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang segala hal terkait kedudukan anak angkat
atau pangangkatan anak dalam hukum nasional di Indonesia, seperti kedudukan anak angkat
dalam sistem hukum nasional, hingga lebih difokuskan pada prosedur pengangkatan anak
dalam salah satu bagian hukum nasional di Indonesia yaitu hukum adat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam system Hukum Nasional?
2. Bagaimana prosedur pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara
Asing
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak Angkat & Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif
Kamus umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang
diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. Menurut Ensiklopedia
Umum. [1] .Anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan
anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak. “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.[2]
Selain itu terdapat pengertian Pengangkatan Anak menurut Peraturan Pemerintah No. 54
Tahun 2007. “Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkat”.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memberikan
pengertian Anak angkat. “Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan,dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”[3]
Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui
bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluargannya. Ia diperlakukan sebagai anak segi
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan
bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri. Muderis Zaini, dalam bukunya “Adopsi”
menyebutkan bahwa Mahmud Syaltut, membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu:
Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia seorang anak
orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan,
1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta, Balai Pustaka, 1976, h.31.
2 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Pasal 1
3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan
diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.
Kedua, yakni yang dipahamkan dari perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak secara
mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia, Tabanni ialah
memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak
ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan
ketentuan hukum sebagai anak.
Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat
anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang
menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri yang
menimbulkan akibat hukum tertentu. [4]
1.
Tujuan Pengangkatan Anak
Dalam praktiknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai
beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan
keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. [5] Mengenai tujuan
dari pengangkatan anak, diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007:
“Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan
adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.[6]
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas
menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat
dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Praktik
pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial untuk pancingan dan
kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak
kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau
diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak.
4 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1980, hlm. 52.
5 Undang-Undang. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39 Ayat 1
6 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
3
Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk
memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik
dan lebih maslahat. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang
sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No. 6 Tahun 1983
tentang Pengangkatan Anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai
anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan
pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk
tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. SEMA [7] No. 6 tahun 1983, tidak
melarang pengangkatan anak terhadap perempuan, karena pengangkatan anak (perempuan)
telah menjadi kebutuhan bagi semua masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Tionghoa.
Hal tersebut tercermin dalam SEMA No. 2 tahun 1979, Romawi I (satu) butir ke tiga
dengan Romawi II butir ke tiga SEMA No. 6 tahun 1983, yang berbunyi:
“Semula digolongkan penduduk Tionghoa (Staatblad 1971 No. 129) hanya dikenal adopsi
terhadap anak laki-laki, tetapi setelah yurisprudensi tetap menyatakan sah pula
pengangkatan anak perempuan”.
2.
Status Anak Angkat Menurut BW
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek (BW)
yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata
adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII
bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa
dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak
mengenal adopsi.
Menurut Ali Affandi dalam bukunya Hukum Keluarga, menurut KUHPerdata, adopsi
tidak mungkin diatur karena KUHPerdata memandang suatu perkawinan sebagai bentuk
hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan. Tidak diaturnya lembaga adopsi karena
KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum
(masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. [8]
Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum keluarga
sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan
tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya
7 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No 6. Tahun 1983
8 Affandi Ali, Hukum Keluara menurut KUH Perdata, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta,hlm. 57
4
KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak
mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi margakeluarga dan
pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917
mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi
pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia. Namun
sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa
dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan
anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada
anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak perempuan.
Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah
berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/Pengangkatan tertanggal
29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17
Oktober 1963. Bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai perkara
pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain
menetapkan bahwa Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya
memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.[9]
B.
Anak Angkat Menurut Hukum Islam
Tradisi sejak jaman Jahiliyah
Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan
dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi Zaid
bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
Allah Ta’ala sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang perbuatan
tersebut dalam firman-Nya,
{ح س لق لوههلو ي لههبدي ال سلسببيلل
}لولما لجلعلل أ لهدبعليالءك ههم أ لبهلنالءك ههم لذلبك ههم لقهول هك ههم ببأ لهفلوابهك ههم لوالل س لهه ي لهقوهل ال ه ل
“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
9 J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti,
5
Imam Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya
sebagai anak, sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya
Muhammad shallallahu
‘alaihi
wa
sallam),
maka Allah Ta’ala ingin
memutuskan
pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah kandungnya) dalam ayat ini,
sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah al-Ahzaab,
{عبليمما
ح سلمدد أ للبا أ للحءد بمهن برلجالبك ههم لول لبكهن لرهسولل الل س لبه لولخاتللم الن سلبببسييلن لولكالن الل س لهه ببك ه س بل لشهيءء ل
}لما لكالن هم ل
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”.
Firman Allah Ta’ala di atas menghapuskan kebolehan adopsi anak yang dilakukan di
jaman Jahiliyah dan awal Islam, maka status anak angkat dalam Islam berbeda dengan anak
kandung dalam semua ketentuan dan hukumnya.
Dalam ayat tersebut di atas Allah Ta’ala mengisyaratkan makna ini:
“Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja”, artinya: perbuatanmu
mengangkat mereka sebagai anak (hanyalah) ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali)
tidak mengandung konsekwensi bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung),
karena dia diciptakan dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak
itu memiliki dua orang ayah.
Adapun hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan dengan anak
angkat yang berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:
1)
Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
{ عل لي هك ههم هجلنادح بفيلما
اهد ه
عوهههم لبآ للبابئبههم ههلو أ لهقلسهط بعن هلد الل س لبه لفبإهن ل لهم تلهعل لهموا آ للبالءهههم لفبإهخلوان هك ههم بفي البسديبن لولملوابليك ههم لول لي هلس ل
غهفومرا لربحيمما
ت هقهلوبهك ههم لولكالن الل س لهه ل
}أ لهخلطأ هتههم بببه لول لبكهن لما تللع سلملد ه
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung)
mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamaulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang
ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
6
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang
menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak
(terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini)
Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka
yang sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”.
2)
Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda
dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung
yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia.
3)
Anak angkat bukanlah mahram6, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anakanak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat
tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda
dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak
angkat), maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah
Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu, istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata: Sesungguhnya Salim telah
mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia
sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku
menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau
menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”.
4)
Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya,
berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{ خلشى
خبفي بفي ن لهفبسلك لما الل س لهه همبهبديبه لوتل ه
عل لي هلك لزهولجلك لواتس لبق الل س لله لوته ه
عل لي هبه أ لهمبسهك ل
ت ل
لوبإهذ تلهقوهل لبل س لبذي أ لن هلعلم الل س لهه ل
عل لي هبه لوأ لن هلعهم ل
عللى ال ههمهؤبمبنيلن لحلردج بفي أ لهزلوابج أ لهدبعليابئبههم
خلشاهه لفل ل سلما لقلضى لزي هدد بمن هلها لولطمرا لز س لوهجلناك للها لبك لهي ل ي ل ه
ال سلنالس لوالل س لهه أ للح سهق أ لهن تل ه
كولن ل
}بإلذا لقلضهوا بمن ههه سلن لولطمرا لولكالن أ لهمهر الل س لبه لمفههعول
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat
kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan
bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak
untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat
7
itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (menceraikannya). Dan adalah
ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS al-Ahzaab: 37).
C.
Anak Angkat Menurut Hukum Adat
Terdapat berbagai alasan yang menjadi arti penting sebuah pertimbangan dalam
pengangkatan seorang anak. Ada beberapa yang mengangkat anak untuk kepentingan
pemeliharaan keluarga di hari tua, melestarikan harta kekayaan keluarga, tetapi menurut
penulis yang paling penting adalah untuk meneruskan garis keturunan keluarga tersebut.
Mengapa dalam kehidupan masyarakat adat keturunan dalam sebuah keluarga sangat
penting? Menurut Djojodigoeno, keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada
perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang jadi
orang lain.[10]Pendapat tersebut memberikan kesimpulan bahwa keturunan merupakan unsur
yang mutlak bagi suatu keluarga, clan, suku, dan kerabat bila mereka menginginkan generasi
penerus leluhur-leluhur sebelumnya.
1.
Kriteria Umum Motivasi Pengangkatan anak di Indonesia
a.
Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi yang bersifat umum karena
jalan satu-satunya bagi mereka yang belum atau tidak mempunyai anak, di mana dengan
pengangkatan anak sebagai pelengkap kebahagiaan dan kelengkapan serta menyemarakkan
rumah tangga
b.
Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan orang tua si anak tidak
mampu memberikan nafkah kepadanya. Hal ini adalah motivasi yang sangat positif, karena di
samping mambantu si anak juga membantu beban orang tua kandung si anak asal didasari
oleh kesepakatan yang ikhlas antara orang tua angkat dengan orang tua kandung
c.
Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua. Hal ini memang
suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping sebagai misi kemanusiaan
d.
Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau
sebaliknya. Hal ini adalah juga merupakan motivasi yang logis karena umumnya orang ingin
mempunyai anak perempuan dan anak laki-laki
e.
Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai anak kandung.
Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang ada pada sementara anggota
masyarakat
10 Soerojo Wignjodipero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1973), hlm.125.
8
f.
Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orang tua angkatnya mempunyai banyak
kekayaan
g.
Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik. Motivasi ini erat
hubungannyaa dengan misi kemanusiaan
h.
Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, disamping motivasi sebagai pemancing untuk dapat
mempunyai anak kandung, juga sering pengangkatan anak ini dalam rangka untuk
mengambil berkat baik bagi orang tua angkat maupun dari anak yang diangkat demi untuk
bertambah baik kehidupannya
i.
Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai
anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat memberikan harta dan
meneruskan garis keturunan
j.
Adanya hubungan keluarga, maka orang tua kandung dari si anak tersebut meminta suatu
keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga mengandung misi kemanusiaan
k.
Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak
mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik antara kepentingan si anak dan
jaminan masa tua bagi orang tua angkat
l.
Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian tidak terurus, dapat
saja berarti orang tuanya hidup namun tidak mampu atau tidak bertanggung jawab, sehingga
anaknya menjadi terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat dilakukan terhadap orang tua
vang sudah meninggal dunia
m.
Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk mempererat pertalian
famili dengan orang tua si anak angkat
n.
Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka untuk
menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang
belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan anak yang bersangkutan akan selalu sehat
dan panjang usia. Dari motivasi ini terlihat adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita.
2.
Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Terdapat banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap
daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan anak dalam
kehidupan masyarakat adat sangat menarik. Berikut beberapa contoh tentang pelaksanaan
pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia,
antara lain :
9
·
Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa. Mereka
mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan. Lazimnya mengangkat anak
keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang atau penyerahan barang kepada orang
tua si anak.
·
Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari
salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa (pancer lakilaki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga istri (pradana).
·
Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak harus dilepaskan
dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantiannya, yaitu berupa
benda magis, setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung anak yang dipungut itu
masuk ke dalam kerabat yang memungutnya, itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu
perbuatan tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara dengan
bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan lain perbuatan itu harus
terang[11].
Masih banyak lagi bentuk-bentuk pengangkatan anak dalam kehidupan masyarakat adat
yang belum sempat diungkap sampai saat ini di Indonesia. Keanekaragaman pengangkatan
tersebutlah yang membuat hukum adat di Indonesia semakin menarik untuk digali dan
dipelajari secara lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan tentang pengangkatan anak
dalam hukum adat dengan lebih baik.
3.
Akibat Hukum Perbuatan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat
Sangat jelas bila seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua angkatnya,
maka akan timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan/adopsi tersebut. Contoh pada
hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga angkatnya, maka anak
tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung orang tuanya.
Anak angkat akan mendapatkan kewajiban seperti menghormati orang tua atau walinya,
sedangkan hak yang anak tersebut akan dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari
keluarga angkatnya, yang dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang dapat
diwariskan lainnya. Tetapi apakah sama akibat hukum pengangkatan seorang anak dalam
hukum positif nasional dan hukum adat yang berlaku di Indonesia?
Dalam hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan
sebagai anak, bukannya sebagai orang asing[12]. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak
11 Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 182
12 Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat).
Universitas Sumatera Utara. Hal.6
10
telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak”
maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum
adat.
Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak itu
anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal dari ayah atau ibu
angkatnya atas barang-barang dimana kerabat tersebut tetap mempunyai haknya yang
tertentu, tapi ia mendapat barang-barang yang diperoleh dalam perkawinan. Pengangkatan
anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.
D.
Akibat Hukum Dari Pengangkatan Anak
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan
antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
·
Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan
anak dengan orangtua kandung.
·
Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan
mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris
dari orangtua angkat.
·
Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan
orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu
putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih
kepada orang tua angkat.
·
Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga,
gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat
Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah diangkat oleh
orang tua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut seperti akibat hukum dengan
orang tua kandung dan orang tua angkat.
1.
Dengan orang tua kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang tua kandungnya
menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak
secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan oleh orang tua
angkat.
Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di
daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan
11
anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak
memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan
dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak
boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
2.
Dengan orang tua angkat
Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak
sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat
dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat
anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta
memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut
berkedudukan sebagai anak kandung[13].
Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan
orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan dengan
orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua
angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya[14].
Terdapat sebuah pengaturan khusus tentang hak waris anak angkat yang diatur dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa tidak semua harta peninggalan
bisa diwariskan kepada anak angkat. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa keputusan
Mahkamah Agung, antara lain
1.
Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan
mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal)
anak angkat tidak berhak mewarisinya.
2.
Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957
Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini
kembali kepada waris keturunan darah.
3.
Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959
Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan
harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.
Secara garis besar akibat hukum tentang perbuatan pengangkatan anak sudah sangat jelas
pengertiannya karena telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Akibat
13 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 99.
14 Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari,
Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal. 117
12
hukum tersebut akan selalu muncul apabila sebuah keluarga memutuskan untuk mengangkat
seorang anak, karena perbuatan tersebut akan menciptakan hak dan kewajiban kepada anak
yang telah diangkat.
13
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Kasus Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Terhadap Warga Negara
Asing
Sebuah pasangan baru, pria dan wanita berkebangsaan Swedia berdomisili di
Indonesia. Suatu pagi mereka menemukan di depan pintu rumah mereka keranjang yang
berisi sebuah bayi. Karena merasa kasihan terhadap bayi terlantar tersebut, mereka
membawa bayi tersebut ke dalam rumah dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Suatu hari, karena rasa cinta pasangan tersebut kepada anak sangat besar, dan mereka
telah menganggap anak tersebut sebagai anak mereka sendiri, mereka memutuskan untuk
mengadopsi anak itu. Tetapi mereka tidak tahu prosedur pengangkatan anak di Indonesia,
apalagi kalau mereka berbeda kewarganegaraan. Bagaimana proses pengangkatan anak
WNI oleh WNA?
B. Analisis Kasus
1. Pertama, yang harus diketahui terlebih dahulu adalah kewarganegaraan bayi
tersebut saat dilentarkan dan sebelum diadopsi oleh orang tua angkat. Menurut
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pasal (4) huruf J.
yang berbunyi “Warga Indonesia adalah anak yang baru lahir yang ditemukan di
wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui” dan
asas Ius Soli yang menentukan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran,
maka dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut mempunyai kewarganegaraan
Indonesia saat ditemukan dan saat sebelum diadopsi.
2. Kedua, setelah diketahuinya kejelasan tentang kewarganegaraan bayi tersebut,
dapat disetujui bahwa bayi dan calon orang tua angkat berbeda kewarganegaraan,
maka akan ada proses khusus untuk pengangatan anak WNI oleh WNA.
Dalam prosedur pengangkatan anak WNI, yang harus dilakukan pertama kali oleh
pasangan WNA adalah membuat surat permohonan yang dialamatkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang hendak
14
diangkat. Permohonan dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. Permohonan tersebut
dapat diajukan dan ditanda tangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya dan ditempel materai
yang cukup.
Dalam pengangkatan anak WNI, WNA akan diperiksa dan diteliti surat nikah calon
orang tua angkat, surat lahir mereka, surat keterangan kesehatan, surat keterangan pekerjaan
dan penghasilan calon orang tua angkat (suami-isteri), persetujuan atau izin untuk
mengangkat anak/bayi Indonesia dari instansi yang berwenang dari negara asal orang tua
angkat, surat penelitian/keterangan dari instansi/lembaga sosial yang berwenang dari negara
asal orang tua angkat. Pengangkatan anak WNI oleh WNA dimungkinkan, apabila telah
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut Keputusan Menteri Sosial RI, No.41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, dalam lampirannya disebutkan:
Pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing:
Calon orang tua angkat
A.
Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun, maksimal 45 tahun;
B.
Pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah
kawin 5 (lima ) tahun dengan mengutamakan keadaannya sebagai berikut:
- Tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter
ahli), atau
- Belum mempunyai anak, atau
- Mempunyai anak kandung seorang, atau
- Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
C.
Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial berdasarkan surat keterangan dari negara
asal pemohon;
D.
Persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara asal pemohon;
E.
Berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI;
15
F.
Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter
Pemerintah RI;
G.
Telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurang 3 (tiga) tahun
berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenang serengah-rendahnya
Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II setempat;
H.
Telah memelihara dan merawat anak yang bersangkutan sekurang-kurangnya:
- 6 (enam) bulan untuk di bawah umur 3 (tiga) tahun.
- 1 (satu) tahun untuk anak umur 3 (tiga) tahun sampai 5 (lima) tahun sampai 5 (lima)
tahun.
-
mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk
kepentingan kesejahteraan anak.
Calon anak angkat
A)
berumur kurang dari 5 (lima) tahun
B)
berada dalam asuhan organisasi sosial
C)
persetujuan dari orang tua/wali (apabila diketahui ada).
Laporan Sosial
Dan sedikit tambahan mengenai pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh
warga negara asing menurut pasal-pasal Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yaitu:
Pasal 22
(1)
Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara
Asing yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
putusan pengadilan.
(2)
Pengadilan menyampaikan salinan putusan pengangkatan anak ke instansi
terkait.
Pasal 23
16
Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara
Indonesia berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 22.
Pasal 24
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah Indonesia
maupun di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing yang berada di luar
negeri harus dilaksanakan di Indonesia dan meme nuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12.[1]
Pasal 25
(1)
Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim
Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Setelah semua persyaratan tentang mengadopsi anak berwarga negara Indonesia oleh
warga negara asing telah dipenuhi, didukung oleh pengadilan negeri, dan telah mendapatkan
simpati oleh masyarakat sekitar, maka anak WNI yang telah diangkat oleh warga negara
asing resmi telah resmi menjadi anak angkat mereka.
Tetapi setelah pengangkatan anak tersebut, bagaimana status kewarganegaraan anak
itu? Apakah anak tersebut sudah menjadi warga negara orang tua angkatnya atau masih
mempunyai hak sebagai warga negara Indonesia?
Untuk menentukan status warga negara anak WNI yang telah diangkat oleh WNA,
kitra harus melihat dasar hukum dari setiap negara yang berkepentingan. Seperti di Indonesia,
Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda atau bipatride setelah anak tersebut
mencapai umur 17 tahun. Sedangkan di Swedia, pemerintahan disana mentoleransikan
adanya bipatrisme kepada seseorang sebelum mencapai 21 tahun.
Jadi, selama anak tersebut masih dalam status anak atau belum cakap hukum, maka
anak tersebut masih bebas status kewargaanegaraanya, bisa Swedia atau Indonesia. Tetapi
setelagh mencapai batasan umur tertentu, ia wajib memilih salah satu warga negara yang
telah ditawarkan, antara kewarganegaraan Indonesia atau Swedia.
17
Pasal 12:
(1)
Syarat anak yang diangkat, meliputi:
- belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
- merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
- berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
memerlukan perlindungan khusus.
(2)
Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
- anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
- anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,
sepanjang ada alasan mendesak; dan
- anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
18
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah di uraikan pada bab bab sebelumnya, maka kesimpulannya
antara lain :
1. Menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak. “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.
2. Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan
dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
Allah Ta’ala sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang
perbuatan tersebut dalam firman-Nya,
{ح س لق لوههلو ي لههبدي ال سلسببيلل
}لولما لجلعلل أ لهدبعليالءك ههم أ لبهلنالءك ههم لذلبك ههم لقهول هك ههم ببأ لهفلوابهك ههم لوالل س لهه ي لهقوهل ال ه ل
“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
3. Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan
antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
a. Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan
anak dengan orangtua kandung.
b. Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan
mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris
dari orangtua angkat.
c. Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan
orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai
sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua
kandung berlaih kepada orang tua angkat.
d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga,
gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat
19
B. Saran
Saran – saran dalam makalah ini adalah :
1.
Pengangkatan anak atau adopsi bukanlah satu-satunya jalan untuk melakukan
perlindungan anak karena pada dasarnya yang berkewajiban melakukan
perlindungan anak adalah orang tua kandung si anak. Maka dari itu para orang
tua perlu diberikan pemahaman mengenai perlindungan anak dan Komnas
perlindungan anak juga perlu mensosialisasikan undang-undang perlindungan
anak tersebut.
2.
Masyarakat hendaknya lebih peduli terhadap sesama dengan tidak
membiarkan anak yatim atau anak-anak terlantar berkeliaran di jalan.
Masyarakat diwajibkan mengangkat anak tersebut dengan tujuan untuk
menolong si anak agar tidak terlantar, dan melindungi dirinya dari kesusahan
dan kelaparan. Hal semacam ini dianjurkan karena salah satu kewajiban
sesama muslim agar saling tolong- menolong terhadap sesama manusia.
3.
Orang tua angkat yang hendak mengangkat anak diharapkan terlebih dahulu
mengetahui hakekat pengangkatan anak dalam konsep Islam sehingga
dikemudian hari tidak akan menimbulkan dampak hukum bagi anak yang
diadopsi dan orang tua serta keluarganya. Dan bagi orang tua yang melakukan
adopsi hendaknya memelihara anak tersebut dengan sebaik-baiknya, penuh
kasih sayang layaknya anak sendiri, diberikan pendidikan agar menjadi anak
yang berguna bagi nusa dan bangsa.
20
DAFTAR PUSTAKA
Affandi Ali, Hukum Keluarga menurut KUH Perdata, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,
Yogyakarta,
Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di
Kemudian Hari, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung: Alumni, 1980.
Soerojo Wignjodipero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1973.
Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan
Hukum Adat). Universitas Sumatera Utara.
Surodjo Wignyodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat,Bandung: Alumni, 1989.
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta:Balai Pustaka, 1976.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No 6. Tahun 1983
21
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia telah ditakdirkan untuk hidup berpasangan dalam
tujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan pada umumnya
kehadiran anak atau keturunan hasil dari perkawinan mereka. Di Indonesia, dalam hukum
nasional, tujuan dari lahirnya seorang anak yang merupakan hasil perkawinan adalah untuk
melanjutkan dan menyambung keturunan serta melestarikan harta kekayaan keluarga
tersebut.
Tetapi tidak semua keluarga dapat menikmati rasanya membesarkan seorang anak seperti
keluarga lainnya. Di beberapa keluarga, atas kekuasaan Tuhan, dimana kehendak
memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai, sedangkan
keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Maka akibatnya, keturunan dari keluarga
tersebut akan terancam punah dan putus bila tidak ada yang meneruskan silsilah keluarga dan
kerabat keluarga.
Jika peristiwa tersebut terjadi, maka dapat kemungkinan terjadi pengangkatan anak yang
asalnya bisa dari kerabat, keluarga atau mengangkat anak yang tidak ada hubungannya
dengan kerabat keluarga (adopsi) untuk menjadi penerus keturunan keluarga yang
bersangkutan.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang segala hal terkait kedudukan anak angkat
atau pangangkatan anak dalam hukum nasional di Indonesia, seperti kedudukan anak angkat
dalam sistem hukum nasional, hingga lebih difokuskan pada prosedur pengangkatan anak
dalam salah satu bagian hukum nasional di Indonesia yaitu hukum adat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam system Hukum Nasional?
2. Bagaimana prosedur pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara
Asing
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak Angkat & Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif
Kamus umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang
diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. Menurut Ensiklopedia
Umum. [1] .Anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan
anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak. “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.[2]
Selain itu terdapat pengertian Pengangkatan Anak menurut Peraturan Pemerintah No. 54
Tahun 2007. “Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkat”.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memberikan
pengertian Anak angkat. “Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan,dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”[3]
Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui
bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluargannya. Ia diperlakukan sebagai anak segi
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan
bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri. Muderis Zaini, dalam bukunya “Adopsi”
menyebutkan bahwa Mahmud Syaltut, membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu:
Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia seorang anak
orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan,
1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta, Balai Pustaka, 1976, h.31.
2 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Pasal 1
3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan
diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.
Kedua, yakni yang dipahamkan dari perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak secara
mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia, Tabanni ialah
memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak
ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan
ketentuan hukum sebagai anak.
Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat
anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang
menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri yang
menimbulkan akibat hukum tertentu. [4]
1.
Tujuan Pengangkatan Anak
Dalam praktiknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai
beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan
keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. [5] Mengenai tujuan
dari pengangkatan anak, diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007:
“Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan
adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.[6]
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas
menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat
dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Praktik
pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial untuk pancingan dan
kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak
kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau
diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak.
4 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1980, hlm. 52.
5 Undang-Undang. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39 Ayat 1
6 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
3
Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk
memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik
dan lebih maslahat. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang
sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No. 6 Tahun 1983
tentang Pengangkatan Anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai
anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan
pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk
tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. SEMA [7] No. 6 tahun 1983, tidak
melarang pengangkatan anak terhadap perempuan, karena pengangkatan anak (perempuan)
telah menjadi kebutuhan bagi semua masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Tionghoa.
Hal tersebut tercermin dalam SEMA No. 2 tahun 1979, Romawi I (satu) butir ke tiga
dengan Romawi II butir ke tiga SEMA No. 6 tahun 1983, yang berbunyi:
“Semula digolongkan penduduk Tionghoa (Staatblad 1971 No. 129) hanya dikenal adopsi
terhadap anak laki-laki, tetapi setelah yurisprudensi tetap menyatakan sah pula
pengangkatan anak perempuan”.
2.
Status Anak Angkat Menurut BW
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek (BW)
yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata
adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII
bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa
dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak
mengenal adopsi.
Menurut Ali Affandi dalam bukunya Hukum Keluarga, menurut KUHPerdata, adopsi
tidak mungkin diatur karena KUHPerdata memandang suatu perkawinan sebagai bentuk
hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan. Tidak diaturnya lembaga adopsi karena
KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum
(masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. [8]
Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum keluarga
sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan
tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya
7 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No 6. Tahun 1983
8 Affandi Ali, Hukum Keluara menurut KUH Perdata, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta,hlm. 57
4
KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak
mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi margakeluarga dan
pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917
mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi
pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia. Namun
sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa
dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan
anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada
anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak perempuan.
Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah
berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/Pengangkatan tertanggal
29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17
Oktober 1963. Bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai perkara
pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain
menetapkan bahwa Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya
memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.[9]
B.
Anak Angkat Menurut Hukum Islam
Tradisi sejak jaman Jahiliyah
Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan
dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi Zaid
bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
Allah Ta’ala sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang perbuatan
tersebut dalam firman-Nya,
{ح س لق لوههلو ي لههبدي ال سلسببيلل
}لولما لجلعلل أ لهدبعليالءك ههم أ لبهلنالءك ههم لذلبك ههم لقهول هك ههم ببأ لهفلوابهك ههم لوالل س لهه ي لهقوهل ال ه ل
“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
9 J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti,
5
Imam Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya
sebagai anak, sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya
Muhammad shallallahu
‘alaihi
wa
sallam),
maka Allah Ta’ala ingin
memutuskan
pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah kandungnya) dalam ayat ini,
sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah al-Ahzaab,
{عبليمما
ح سلمدد أ للبا أ للحءد بمهن برلجالبك ههم لول لبكهن لرهسولل الل س لبه لولخاتللم الن سلبببسييلن لولكالن الل س لهه ببك ه س بل لشهيءء ل
}لما لكالن هم ل
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”.
Firman Allah Ta’ala di atas menghapuskan kebolehan adopsi anak yang dilakukan di
jaman Jahiliyah dan awal Islam, maka status anak angkat dalam Islam berbeda dengan anak
kandung dalam semua ketentuan dan hukumnya.
Dalam ayat tersebut di atas Allah Ta’ala mengisyaratkan makna ini:
“Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja”, artinya: perbuatanmu
mengangkat mereka sebagai anak (hanyalah) ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali)
tidak mengandung konsekwensi bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung),
karena dia diciptakan dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak
itu memiliki dua orang ayah.
Adapun hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan dengan anak
angkat yang berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:
1)
Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
{ عل لي هك ههم هجلنادح بفيلما
اهد ه
عوهههم لبآ للبابئبههم ههلو أ لهقلسهط بعن هلد الل س لبه لفبإهن ل لهم تلهعل لهموا آ للبالءهههم لفبإهخلوان هك ههم بفي البسديبن لولملوابليك ههم لول لي هلس ل
غهفومرا لربحيمما
ت هقهلوبهك ههم لولكالن الل س لهه ل
}أ لهخلطأ هتههم بببه لول لبكهن لما تللع سلملد ه
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung)
mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamaulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang
ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
6
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang
menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak
(terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini)
Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka
yang sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”.
2)
Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda
dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung
yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia.
3)
Anak angkat bukanlah mahram6, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anakanak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat
tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda
dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak
angkat), maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah
Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu, istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata: Sesungguhnya Salim telah
mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia
sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku
menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau
menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”.
4)
Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya,
berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{ خلشى
خبفي بفي ن لهفبسلك لما الل س لهه همبهبديبه لوتل ه
عل لي هلك لزهولجلك لواتس لبق الل س لله لوته ه
عل لي هبه أ لهمبسهك ل
ت ل
لوبإهذ تلهقوهل لبل س لبذي أ لن هلعلم الل س لهه ل
عل لي هبه لوأ لن هلعهم ل
عللى ال ههمهؤبمبنيلن لحلردج بفي أ لهزلوابج أ لهدبعليابئبههم
خلشاهه لفل ل سلما لقلضى لزي هدد بمن هلها لولطمرا لز س لوهجلناك للها لبك لهي ل ي ل ه
ال سلنالس لوالل س لهه أ للح سهق أ لهن تل ه
كولن ل
}بإلذا لقلضهوا بمن ههه سلن لولطمرا لولكالن أ لهمهر الل س لبه لمفههعول
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat
kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan
bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak
untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat
7
itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (menceraikannya). Dan adalah
ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS al-Ahzaab: 37).
C.
Anak Angkat Menurut Hukum Adat
Terdapat berbagai alasan yang menjadi arti penting sebuah pertimbangan dalam
pengangkatan seorang anak. Ada beberapa yang mengangkat anak untuk kepentingan
pemeliharaan keluarga di hari tua, melestarikan harta kekayaan keluarga, tetapi menurut
penulis yang paling penting adalah untuk meneruskan garis keturunan keluarga tersebut.
Mengapa dalam kehidupan masyarakat adat keturunan dalam sebuah keluarga sangat
penting? Menurut Djojodigoeno, keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada
perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang jadi
orang lain.[10]Pendapat tersebut memberikan kesimpulan bahwa keturunan merupakan unsur
yang mutlak bagi suatu keluarga, clan, suku, dan kerabat bila mereka menginginkan generasi
penerus leluhur-leluhur sebelumnya.
1.
Kriteria Umum Motivasi Pengangkatan anak di Indonesia
a.
Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi yang bersifat umum karena
jalan satu-satunya bagi mereka yang belum atau tidak mempunyai anak, di mana dengan
pengangkatan anak sebagai pelengkap kebahagiaan dan kelengkapan serta menyemarakkan
rumah tangga
b.
Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan orang tua si anak tidak
mampu memberikan nafkah kepadanya. Hal ini adalah motivasi yang sangat positif, karena di
samping mambantu si anak juga membantu beban orang tua kandung si anak asal didasari
oleh kesepakatan yang ikhlas antara orang tua angkat dengan orang tua kandung
c.
Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua. Hal ini memang
suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping sebagai misi kemanusiaan
d.
Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau
sebaliknya. Hal ini adalah juga merupakan motivasi yang logis karena umumnya orang ingin
mempunyai anak perempuan dan anak laki-laki
e.
Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai anak kandung.
Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang ada pada sementara anggota
masyarakat
10 Soerojo Wignjodipero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1973), hlm.125.
8
f.
Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orang tua angkatnya mempunyai banyak
kekayaan
g.
Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik. Motivasi ini erat
hubungannyaa dengan misi kemanusiaan
h.
Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, disamping motivasi sebagai pemancing untuk dapat
mempunyai anak kandung, juga sering pengangkatan anak ini dalam rangka untuk
mengambil berkat baik bagi orang tua angkat maupun dari anak yang diangkat demi untuk
bertambah baik kehidupannya
i.
Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai
anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat memberikan harta dan
meneruskan garis keturunan
j.
Adanya hubungan keluarga, maka orang tua kandung dari si anak tersebut meminta suatu
keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga mengandung misi kemanusiaan
k.
Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak
mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik antara kepentingan si anak dan
jaminan masa tua bagi orang tua angkat
l.
Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian tidak terurus, dapat
saja berarti orang tuanya hidup namun tidak mampu atau tidak bertanggung jawab, sehingga
anaknya menjadi terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat dilakukan terhadap orang tua
vang sudah meninggal dunia
m.
Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk mempererat pertalian
famili dengan orang tua si anak angkat
n.
Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka untuk
menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang
belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan anak yang bersangkutan akan selalu sehat
dan panjang usia. Dari motivasi ini terlihat adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita.
2.
Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Terdapat banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap
daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan anak dalam
kehidupan masyarakat adat sangat menarik. Berikut beberapa contoh tentang pelaksanaan
pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia,
antara lain :
9
·
Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa. Mereka
mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan. Lazimnya mengangkat anak
keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang atau penyerahan barang kepada orang
tua si anak.
·
Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari
salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa (pancer lakilaki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga istri (pradana).
·
Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak harus dilepaskan
dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantiannya, yaitu berupa
benda magis, setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung anak yang dipungut itu
masuk ke dalam kerabat yang memungutnya, itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu
perbuatan tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara dengan
bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan lain perbuatan itu harus
terang[11].
Masih banyak lagi bentuk-bentuk pengangkatan anak dalam kehidupan masyarakat adat
yang belum sempat diungkap sampai saat ini di Indonesia. Keanekaragaman pengangkatan
tersebutlah yang membuat hukum adat di Indonesia semakin menarik untuk digali dan
dipelajari secara lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan tentang pengangkatan anak
dalam hukum adat dengan lebih baik.
3.
Akibat Hukum Perbuatan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat
Sangat jelas bila seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua angkatnya,
maka akan timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan/adopsi tersebut. Contoh pada
hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga angkatnya, maka anak
tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung orang tuanya.
Anak angkat akan mendapatkan kewajiban seperti menghormati orang tua atau walinya,
sedangkan hak yang anak tersebut akan dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari
keluarga angkatnya, yang dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang dapat
diwariskan lainnya. Tetapi apakah sama akibat hukum pengangkatan seorang anak dalam
hukum positif nasional dan hukum adat yang berlaku di Indonesia?
Dalam hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan
sebagai anak, bukannya sebagai orang asing[12]. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak
11 Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 182
12 Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat).
Universitas Sumatera Utara. Hal.6
10
telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak”
maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum
adat.
Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak itu
anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal dari ayah atau ibu
angkatnya atas barang-barang dimana kerabat tersebut tetap mempunyai haknya yang
tertentu, tapi ia mendapat barang-barang yang diperoleh dalam perkawinan. Pengangkatan
anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.
D.
Akibat Hukum Dari Pengangkatan Anak
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan
antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
·
Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan
anak dengan orangtua kandung.
·
Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan
mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris
dari orangtua angkat.
·
Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan
orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu
putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih
kepada orang tua angkat.
·
Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga,
gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat
Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah diangkat oleh
orang tua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut seperti akibat hukum dengan
orang tua kandung dan orang tua angkat.
1.
Dengan orang tua kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang tua kandungnya
menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak
secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan oleh orang tua
angkat.
Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di
daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan
11
anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak
memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan
dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak
boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
2.
Dengan orang tua angkat
Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak
sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat
dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat
anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta
memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut
berkedudukan sebagai anak kandung[13].
Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan
orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan dengan
orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua
angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya[14].
Terdapat sebuah pengaturan khusus tentang hak waris anak angkat yang diatur dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa tidak semua harta peninggalan
bisa diwariskan kepada anak angkat. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa keputusan
Mahkamah Agung, antara lain
1.
Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan
mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal)
anak angkat tidak berhak mewarisinya.
2.
Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957
Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini
kembali kepada waris keturunan darah.
3.
Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959
Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan
harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.
Secara garis besar akibat hukum tentang perbuatan pengangkatan anak sudah sangat jelas
pengertiannya karena telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Akibat
13 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 99.
14 Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari,
Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal. 117
12
hukum tersebut akan selalu muncul apabila sebuah keluarga memutuskan untuk mengangkat
seorang anak, karena perbuatan tersebut akan menciptakan hak dan kewajiban kepada anak
yang telah diangkat.
13
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Kasus Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Terhadap Warga Negara
Asing
Sebuah pasangan baru, pria dan wanita berkebangsaan Swedia berdomisili di
Indonesia. Suatu pagi mereka menemukan di depan pintu rumah mereka keranjang yang
berisi sebuah bayi. Karena merasa kasihan terhadap bayi terlantar tersebut, mereka
membawa bayi tersebut ke dalam rumah dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Suatu hari, karena rasa cinta pasangan tersebut kepada anak sangat besar, dan mereka
telah menganggap anak tersebut sebagai anak mereka sendiri, mereka memutuskan untuk
mengadopsi anak itu. Tetapi mereka tidak tahu prosedur pengangkatan anak di Indonesia,
apalagi kalau mereka berbeda kewarganegaraan. Bagaimana proses pengangkatan anak
WNI oleh WNA?
B. Analisis Kasus
1. Pertama, yang harus diketahui terlebih dahulu adalah kewarganegaraan bayi
tersebut saat dilentarkan dan sebelum diadopsi oleh orang tua angkat. Menurut
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pasal (4) huruf J.
yang berbunyi “Warga Indonesia adalah anak yang baru lahir yang ditemukan di
wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui” dan
asas Ius Soli yang menentukan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran,
maka dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut mempunyai kewarganegaraan
Indonesia saat ditemukan dan saat sebelum diadopsi.
2. Kedua, setelah diketahuinya kejelasan tentang kewarganegaraan bayi tersebut,
dapat disetujui bahwa bayi dan calon orang tua angkat berbeda kewarganegaraan,
maka akan ada proses khusus untuk pengangatan anak WNI oleh WNA.
Dalam prosedur pengangkatan anak WNI, yang harus dilakukan pertama kali oleh
pasangan WNA adalah membuat surat permohonan yang dialamatkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang hendak
14
diangkat. Permohonan dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. Permohonan tersebut
dapat diajukan dan ditanda tangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya dan ditempel materai
yang cukup.
Dalam pengangkatan anak WNI, WNA akan diperiksa dan diteliti surat nikah calon
orang tua angkat, surat lahir mereka, surat keterangan kesehatan, surat keterangan pekerjaan
dan penghasilan calon orang tua angkat (suami-isteri), persetujuan atau izin untuk
mengangkat anak/bayi Indonesia dari instansi yang berwenang dari negara asal orang tua
angkat, surat penelitian/keterangan dari instansi/lembaga sosial yang berwenang dari negara
asal orang tua angkat. Pengangkatan anak WNI oleh WNA dimungkinkan, apabila telah
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut Keputusan Menteri Sosial RI, No.41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, dalam lampirannya disebutkan:
Pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing:
Calon orang tua angkat
A.
Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun, maksimal 45 tahun;
B.
Pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah
kawin 5 (lima ) tahun dengan mengutamakan keadaannya sebagai berikut:
- Tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter
ahli), atau
- Belum mempunyai anak, atau
- Mempunyai anak kandung seorang, atau
- Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
C.
Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial berdasarkan surat keterangan dari negara
asal pemohon;
D.
Persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara asal pemohon;
E.
Berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI;
15
F.
Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter
Pemerintah RI;
G.
Telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurang 3 (tiga) tahun
berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenang serengah-rendahnya
Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II setempat;
H.
Telah memelihara dan merawat anak yang bersangkutan sekurang-kurangnya:
- 6 (enam) bulan untuk di bawah umur 3 (tiga) tahun.
- 1 (satu) tahun untuk anak umur 3 (tiga) tahun sampai 5 (lima) tahun sampai 5 (lima)
tahun.
-
mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk
kepentingan kesejahteraan anak.
Calon anak angkat
A)
berumur kurang dari 5 (lima) tahun
B)
berada dalam asuhan organisasi sosial
C)
persetujuan dari orang tua/wali (apabila diketahui ada).
Laporan Sosial
Dan sedikit tambahan mengenai pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh
warga negara asing menurut pasal-pasal Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yaitu:
Pasal 22
(1)
Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara
Asing yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
putusan pengadilan.
(2)
Pengadilan menyampaikan salinan putusan pengangkatan anak ke instansi
terkait.
Pasal 23
16
Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara
Indonesia berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 22.
Pasal 24
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah Indonesia
maupun di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing yang berada di luar
negeri harus dilaksanakan di Indonesia dan meme nuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12.[1]
Pasal 25
(1)
Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim
Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Setelah semua persyaratan tentang mengadopsi anak berwarga negara Indonesia oleh
warga negara asing telah dipenuhi, didukung oleh pengadilan negeri, dan telah mendapatkan
simpati oleh masyarakat sekitar, maka anak WNI yang telah diangkat oleh warga negara
asing resmi telah resmi menjadi anak angkat mereka.
Tetapi setelah pengangkatan anak tersebut, bagaimana status kewarganegaraan anak
itu? Apakah anak tersebut sudah menjadi warga negara orang tua angkatnya atau masih
mempunyai hak sebagai warga negara Indonesia?
Untuk menentukan status warga negara anak WNI yang telah diangkat oleh WNA,
kitra harus melihat dasar hukum dari setiap negara yang berkepentingan. Seperti di Indonesia,
Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda atau bipatride setelah anak tersebut
mencapai umur 17 tahun. Sedangkan di Swedia, pemerintahan disana mentoleransikan
adanya bipatrisme kepada seseorang sebelum mencapai 21 tahun.
Jadi, selama anak tersebut masih dalam status anak atau belum cakap hukum, maka
anak tersebut masih bebas status kewargaanegaraanya, bisa Swedia atau Indonesia. Tetapi
setelagh mencapai batasan umur tertentu, ia wajib memilih salah satu warga negara yang
telah ditawarkan, antara kewarganegaraan Indonesia atau Swedia.
17
Pasal 12:
(1)
Syarat anak yang diangkat, meliputi:
- belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
- merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
- berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
memerlukan perlindungan khusus.
(2)
Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
- anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
- anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,
sepanjang ada alasan mendesak; dan
- anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
18
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah di uraikan pada bab bab sebelumnya, maka kesimpulannya
antara lain :
1. Menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak. “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.
2. Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan
dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
Allah Ta’ala sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang
perbuatan tersebut dalam firman-Nya,
{ح س لق لوههلو ي لههبدي ال سلسببيلل
}لولما لجلعلل أ لهدبعليالءك ههم أ لبهلنالءك ههم لذلبك ههم لقهول هك ههم ببأ لهفلوابهك ههم لوالل س لهه ي لهقوهل ال ه ل
“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
3. Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan
antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
a. Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan
anak dengan orangtua kandung.
b. Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan
mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris
dari orangtua angkat.
c. Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan
orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai
sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua
kandung berlaih kepada orang tua angkat.
d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga,
gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat
19
B. Saran
Saran – saran dalam makalah ini adalah :
1.
Pengangkatan anak atau adopsi bukanlah satu-satunya jalan untuk melakukan
perlindungan anak karena pada dasarnya yang berkewajiban melakukan
perlindungan anak adalah orang tua kandung si anak. Maka dari itu para orang
tua perlu diberikan pemahaman mengenai perlindungan anak dan Komnas
perlindungan anak juga perlu mensosialisasikan undang-undang perlindungan
anak tersebut.
2.
Masyarakat hendaknya lebih peduli terhadap sesama dengan tidak
membiarkan anak yatim atau anak-anak terlantar berkeliaran di jalan.
Masyarakat diwajibkan mengangkat anak tersebut dengan tujuan untuk
menolong si anak agar tidak terlantar, dan melindungi dirinya dari kesusahan
dan kelaparan. Hal semacam ini dianjurkan karena salah satu kewajiban
sesama muslim agar saling tolong- menolong terhadap sesama manusia.
3.
Orang tua angkat yang hendak mengangkat anak diharapkan terlebih dahulu
mengetahui hakekat pengangkatan anak dalam konsep Islam sehingga
dikemudian hari tidak akan menimbulkan dampak hukum bagi anak yang
diadopsi dan orang tua serta keluarganya. Dan bagi orang tua yang melakukan
adopsi hendaknya memelihara anak tersebut dengan sebaik-baiknya, penuh
kasih sayang layaknya anak sendiri, diberikan pendidikan agar menjadi anak
yang berguna bagi nusa dan bangsa.
20
DAFTAR PUSTAKA
Affandi Ali, Hukum Keluarga menurut KUH Perdata, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,
Yogyakarta,
Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di
Kemudian Hari, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung: Alumni, 1980.
Soerojo Wignjodipero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1973.
Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan
Hukum Adat). Universitas Sumatera Utara.
Surodjo Wignyodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat,Bandung: Alumni, 1989.
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta:Balai Pustaka, 1976.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No 6. Tahun 1983
21