Pengaruh Karakteristik Individu dn Motivasi terhadap Kinerja Bidan Desa dalam Program KIA di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Penempatan Bidan Desa

  Bidan desa adalah bidan yang ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat dalam pencapaian derajat kesehatan di wilayah kerjanya yang meliputi satu sampai dua desa. Bidan desa bertanggung jawab langsung kepada kepala puskesmas setempat (Leimena, 1994). Kebijakan penempatan bidan desa telah dimulai diterapkan pada tahun 1989 yang pelaksanaannya berlandaskan kepada Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat No.

  429/Binkesmas/DJ/III/1989 tanggal 29 Maret 1989 . Untuk mendukung kebijakan ini dilaksanakan pendidikan bidan berasal dari lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK 3 tahun), kemudian dikenal istilah Program Pendidikan Bidan Satu Tahun. Tempat pendidikan bidan satu tahun ini ditentukan pada Sekolah Perawat Kesehatan pemerintah dan swasta yang ditunjuk.

  Lulusan angkatan pertama program pendidikan bidan langsung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan lulusan selanjutnya sehubungan dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan pertumbuhan pegawai menjadi zero growth personal, maka untuk selanjutnya bidan diangkat menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 871/Menkes/SK/VIII/1994 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengangkatan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap. Masa bakti bidan desa adalah tiga tahun dan boleh diperpanjang tiga tahun lagi. Setelah masa bakti selesai, bidan desa dapat melamar menjadi pegawai negeri. ( Sofyan dkk, 2006).

  Penempatan bidan desa diselenggarakan langsung oleh pemerintah pusat. Para bidan yang ingin menjadi bidan desa yang berstatus sebagai bidan PTT dapat mengikuti seleksi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan alokasi kebutuhan bidan PTT yang telah ditetapkan. Para bidan PTT yang direkrut akan dialokasikan ke seluruh provinsi dan kabupaten termasuk di Kabupaten Langkat. Bidan PTT tersebut selanjutnya ditempatkan di desa-desa termasuk di desa terpencil. Penghasilan yang diterima bidan sebagai bidan PTT langsung dibayar oleh pemerintah pusat setiap bulannya dan untuk bidan desa yang bertugas di desa terpencil mendapat tambahan penghasilan//insentif dari pemerintah.

  Bidan desa yang ditempatkan di Kabupaten Langkat sebagian besar berasal dari luar desa. Penempatan bidan desa diatur langsung oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat tidak mempunyai wewenang penuh atas bidan desa tersebut. Dan karena tidak berasal dari desa, bidan desa tersebut banyak yang tidak tinggal di desa tempat bertugas.

2.2 Tujuan Penempatan Bidan Desa

2.2.1 Tujuan Umum

  Tujuan umum penempatan bidan desa adalah untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan melaui Puskesmas dan Posyandu dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak balita, menurunkan angka kelahiran serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.

2.2.2 Tujuan Khusus

  Tujuan khusus penempatan bidan desa adalah : untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat; meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan khususnya lima program prioritas desa; meningkatkan mutu pelayanan ibu hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas dan perinatal serta pelayanan kontrasepsi; menurunkan jumlah kasus yang berkaitan dengan penyakit kehamilan, persalinan, dan perinatal; menurunkan jumlah balita dengan gizi buruk dan diare; meningkatkan kemampuan keluarga untuk hidup sehat dengan pembinaan kelompok dasa wisma; meningkatkan peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD termasuk gerakan dana sehat (Sofyan dkk, 2006).

2.3. Tugas Pokok dan Fungsi Bidan Desa

2.3.1 Tugas Pokok Bidan Desa

  Adapun tugas pokok bidan desa adalah sebagai berikut: (Depkes RI, 2002)

  1. Melaksanakan kegiatan di desa wilayah kerjanya berdasarkan urutan prioritas masalah kesehatan yang dihadapi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan diberikan.

  2. Menyelenggarakan dan membantu masyarakat desa di wilayah kerjanya agar berperilaku sehat.

2.3.2 Fungsi Bidan Desa

  Fungsi bidan desa adalah : (Depkes RI, 2002)

  1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, menangani persalinan, pelayanan keluarga berencana dan pengayoman medis kontrasepsi.

  2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.

  3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.

  4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.

  5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral dan lembaga swadaya masyarakat.

  6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada Puskesmas kecuali dalam keadaan darurat harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lainnya.

  7. Mendeteksi secara dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta adanya penyakit-penyakit dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuan. Dari beberapa tugas pokok dan fungsi bidan desa, pelayanan dalam program KIA merupakan prioritas karena derajat kesehatan ibu dan anak sangat menentukan derajat kesehatan masyarakat.

2.4 Kinerja

  2.4.1 Pengertian Kinerja

  Menurut Ilyas (2001) kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik kualitas maupun kuantitas dalam suatu organisasi. Menurut Payaman (2005) kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Sementara menurut Hasibuan (2005), kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. Sedangkan menurut Rivai (2005), kinerja adalah prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu.

  2.4.2 Model Teori Kinerja

  Gibson membuat model teori kinerja dan melakukan analisis terhadap sejumlah variabel yang memengaruhi perilaku dan kinerja individu. Pertama adalah variabel individu yang dikelompokkan menjadi sub variabel kemampuan dan keterampilan yang merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku dan kinerja individu, sedangkan variabel demografi mempunyai efek tidak langsung pada kinerja individu. Kedua adalah variabel psikologi, yang terdiri dari sub variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografi. Variabel ketiga adalah variabel organisasi yang berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu, yang dikelompokkan dalam sub variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

  Kinerja individu menurut model Partner-Lawyer & Ivancevich (1994) dalam Rivai (2005) pada dasarnya kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor : (a). harapan mengenai imbalan, (b). dorongan, (c). kemampuan, kebutuhan dan sifat, (d). persepsi terhadap tugas, (e). imbalan internal dan eksternal, (f) persepsi terhadap imbalan dan kepuasan kerja, dengan demikian kinerja pada dasarnya di pengaruhi oleh kemampuan, keinginan dan lingkungan. Sedangkan menurut Bernadin et. al. (1993) dalam Ilyas (2001) , kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan (Abillity), usaha (Effort) dan kesempatan (Opportunity).

  Model Lawler & Porter dalam Steers (1996) mengatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja seseorang tergantung dari usaha/energi yang dikeluarkan (effort), kemampuan (ability) yang dimiliki serta kesesuaian antara usaha yang dilakukan dan pandangan atasan langsung tentang syarat-syarat tugas yang diterima/job requirement (Role Perceptions) Rumus = P: E x A x R Keterangan : P = Performance E = Effort A = Abillity R = Role Perceptions

2.4.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja

  Menurut Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan prestasi kerja individu dalam organisasi adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi, pendapat tersebut sesuai pula dengan teori konvergensi William Stren yang merupakan perpaduan dari pandangan teori hereditas dari Schopenhauer dan teori lingkungan John Locke, secara inti Schopenhauer berpandangan bahwa faktor individu (termasuk faktor keturunan) yang sangat menentukan seorang individu mampu berprestasi atau tidak, sedangkan John Locke dalam teori lingkungan berpandangan bahwa hanya faktor lingkungan yang sangat menentukan seorang individu mampu berprestasi atau tidak. Menurut Sjafri Mangkuprawira dan Aida Vitayala (2007) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor intrinsik yang meliputi mutu karyawan yang berupa pendidikan, pengalaman, motivasi, kesehatan, usia, ketrampilan emosi, spiritual, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi lingkungan kerja fisik dan non fisik, kepemimpinan, komunikasi vertikal dan horizontal, kompensasi, kontrol berupa penyeliaan, fasilitas, pelatihan, beban kerja, proses kerja, sistem imbalan, dan hukuman.

  Dari teori Gibson diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kinerja seseorang dikelompokkan menjadi tiga variabel yaitu : karakteristik individu, faktor organisasi, dan faktor psikologis. Bila keseluruhan teori perilaku individu dan kinerja Gibson (1987) digabungkan menjadi satu, maka akan menjadi seperti yang tergambar pada diagram berikut ini :

Gambar 2.1. Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja Gibson

  Menurut Siagian (2002), prestasi kerja mulai meningkat bersamaan dengan meningkatnya umur seseorang kemudian menurun menjelang tua. Semakin lanjut umur seseorang semakin meningkat pula kedewasaan teknisnya serta kedewasaan psikologisnya. Gibson (1987) menyatakan bahwa umur memiliki hubungan yang positif dengan kinerja, dimana semakin tua umur karyawan makin tinggi kinerjanya. Setidaknya sampai umur karyawan tersebut menjelang pensiun pada pekerjaan yang menjadi bidangnya. Semakin lanjut umur seseorang maka seseorang itu akan

  5. Motivasi

  4. Belajar

  3. Kepribadian

  2. Sikap

  1. Persepsi

  Variabel Psikologis

  5. Desain Pekerjaan

  4. Struktur

  3. Imbalan

  2. Kepemimpinan

  1. Sumber Daya

  Variabel Organisasi

  (hasil yang diharapkan)

  

Kinerja

  (apa yang dikerjakan)

  

Perilaku Individu

  8. Tempat Tinggal t

  7. Lama Kerja

  6. Status Kepegawaian

  5. Pendidikan

  4. Demografis : Umur Etnis Sex

  3. Pengalaman

  2. Latar Belakang : Keluarga Sosial

  Mental Fisik

  1. Kemampuan dan Keterampilan :

  Variabel Individu

2.5 Karakteristik Individu

a. Umur

  bersikap semakin dewasa dan matang mengenai tujuan hidup, harapan, dan cita-cita. Semakin tua usia seseorang karyawan semakin kecil kemungkinan keluar dari pekerjaan, karena semakin kecil alternatif untuk memperoleh kesempatan pekerjaan lain. Di samping itu karyawan yang bertambah tua biasanya telah bekerja lebih lama, memperoleh gaji yang lebih besar dan berbagai keuntungan lainnya (Robbins, 2001)

  b. Pendidikan

  Menurut Robbins (2006), karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, masa kerja, dan kemampuan akan memengaruhi kinerja karyawan.

  Menurut Hasibuan (2005), pendidikan meningkatkan keahlian teoritis, konseptual dan moral karyawan.

  c. Lama Kerja

  Hasil Riset menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara senioritas dengan produktivitas pekerjaan. Jika lama kerja diekspresikan sebagai pengalaman kerja, tampaknya dapat menjadi prediksi yang baik terhadap produktivitas karyawan (Robbins, 2006).

  d. Tempat Tinggal

  Untuk mendukung keberhasilan kinerja bidan desa maka bidan desa diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di desa wilayah kerjanya (Depkes RI, 1999).

  e. Status Perkawinan

  Karyawan yang berstatus kawin ternyata lebih sedikit angka absen kerjanya, lebih jarang pindah kerja dan lebih mengekspresikan kepuasan kerja. Hal ini mungkin karena perkawinan itu menuntut tanggung jawab keluarga yang lebih besar, sehingga peningkatan posisi dalam pekerjaan menjadi sangat penting. Hasil riset menunjukkan bahwa karyawan yang menikah lebih sedikit absensinya, mengalami pergantian yang rendah, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada rekan sekerjanya yang bujangan (Robbins, 2001).

f. Pelatihan

  Menurut Notoadmodjo (2007), pelatihan merupakan proses pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang atau kelompok. Berdasarkan definisi tersebut, pelatihan merupakan alat bantu pekerja dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya, guna meningkatkan keterampilan, kecakapan dan sikap yang diperlukan sesorang dalam usaha mencapai tujuan

2.6 Motivasi

2.6.1 Pengertian Motivasi

  Menurut Hasibuan (2005), motivasi berasal dari Bahasa Latin

  “movere” yang

  berarti dorongan atau menggerakkan. Menurut Ardana (2008) yang mengutip pendapat Indriyo Gitosudarmo dan Nyoman Sudita, motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan, mengarahkan perilakunya untuk memenuhi tugas tertentu. Menurut Robbins dan Coulter (2004), motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individu tertentu. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa motivasi adalah suatu kebutuhan yang akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Adanya motivasi ini menyebabkan orang bertingkah laku tertentu dalam usaha untuk mencapai tujuan.

  2.6.2 Proses Timbulnya Motivasi

  Proses motivasi terdiri dari beberapa tahapan proses sebagai berikut: (Ardana, 2008). Pertama, munculnya suatu kebutuhan yang belum terpenuhi menyebabkan adanya ketidakseimbangan dalam diri seseorang yang kemudian seseorang itu berusaha unutk menguranginya dengan berperilaku tertentu. Kedua, kemudian orang tersebut berusaha mencari cara-cara untuk memuaskan keinginannya tersebut. Ketiga, seseorang itu mengarahkan perilakunya kearah pencapaian tujuan dengan cara-cara yang telah dipilihnya dengan didukung oleh kemampuan, keterampilan, maupun pengalamannya. Keempat, penilaian dilakukan oleh dirinya sendiri atau orang lain (atasan) tentang keberhasilannya dalam mencapai tujuan. Kelima, imbalan atau hukuman yang diterima tergantung kepada evaluasi atas prestasi yang dilakukan.

  Keenam, akhirnya seseorang menilai sejauh mana perilaku dan imbalan telah memuaskan kebutuhannya. Jika siklus motivasi telah memuaskan kebutuhannya, maka suatu keseimbangan atau kepuasan atas kebutuhan tertentu dirasakan. Akan tetapi, jika ada kebutuhan yang belum terpenuhi maka akan terjadi lagi proses pengulangan dari siklus motivasi dengan perilaku yang berbeda.

  2.6.3 Teori Motivasi

  Teori motivasi pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu teori kepuasan (content theories) dan teori proses ( process theories). Teori kepuasan tentang motivasi berkaitan dengan faktor yang ada dalam diri seseorang yang memotivasinya. Sedangkan teori proses berkaitan dengan bagaimana motivasi itu terjadi atau bagaimana perilaku itu digerakkan. Pengklasifikasian kedua teori motivasi tersebut disajikan dalam tabel berikut ini : (Ardana, 2008).

  Jenis Karakteristik Teori

  Teori Berkaitan dengan faktor-faktor

  1. Teori Hirarki Kebutuhan Kepuasan yang membangkitkan atau

  2. Teori ERG memulai perilaku

  3. Teori Dua Faktor

  4. Teori Kebutuhan Mc Clleland Teori Proses Berkaitan dengan bagaimana

  1. Teori Pengharapan perilaku digerakkan, diarahkan,

  2. Teori Keadilan didukung, atau dihentikan.

  3. Teori Penguatan

  4. Teori Penetapan Tujuan

A. Teori Hirarki Kebutuhan

  Teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow mengemukakan bahwa manusia manusia di tempat kerjanya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang ada pada dirinya. Teori ini didasarkan pada tiga asumsi sebagai berikut :

  a. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki, mulai dari kebutuhan yang paling dasar sampai kebutuhan yang paling kompleks atau paling tinggi tingkatannya.

  b. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan dapat memengaruhi perilaku seseorang, di mana hanya kebutuhan yang belum terpuaskan yang dapat menggerakkan perilaku. Kebutuhan yang telah terpuaskan tidak dapat berfungsi sebagai motivator.

  c. Kebutuhan yang lebih tinggi berfungsi sebagai motivator apabila kebutuhan yang hirarkinya lebih rendah paling tidak telah terpuaskan secara minimal.

  Atas dasar asusmsi di atas, hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow adalah sebagai berikut :

  1. Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan, minum, perumahan, oksigen, tidur, seks, dan sebagainnya.

  2. Kebutuhan Rasa Aman Apabila kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan maka muncul kebutuhan yang kedua yaitu kebutuhan rasa aman. Kebutuhan rasa aman ini meliputi keamanan dalam bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan pekerja hariannya, dan jaminan akan hari tuanya pada saat tidak lagi bekerja.

  3. Kebutuhan Sosial Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpenuhi secara mnimal maka akan muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi, dan interaksi dengan orang lain. Dalam organisasi berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama dan lain sebagainya.

  4. Kebutuhan Penghargaan Kebutuhan ini meliputi kebutuhan untuk dihormati, dihargai atas prestasi yang diraihnya, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang.

  5. Kebutuhan Aktualisasi Diri Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi diri yang sesungguhnya dari seseorang. Aktualisasi diri merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak pernah terpuaskan. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan tugas-tugas yang menantang keahlian dan kemampuannya.

  B. Teori ERG

  Sebagaimana halnya dengan Teori Hirarki Kebutuhan, teori dari Clayton Alderfer juga berpendapat bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki.

  Akan tetapi Aldelfer tidak sependapat dengan Maslow yang menyatakan bahwa suatu kebutuhan harus terpuaskan terlebih dahulu sebelum tingkat kebutuhan diatasnya muncul. Teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow menganggap bahwa kebutuhan manusia tersusun atas lima tingkatan, maka Teori ERG menganggap bahwa kebutuhan manusia memiliki tiga hirarki yaitu : a). Existence (eksistensi); Kebutuhan akan pemberian persyaratan keberadaan materil dasar (kebutuhan psikologis dan keamanan). b). Relatednes (keterhubungan); Hasrat yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi (kebutuhan sosial dan penghargaan). c).Growth (pertumbuhan) ; Hasrat kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).

  C. Teori Dua Faktor

  Frederick Herzberg mengembangkan suatu teori yang disebut Teori Dua Faktor, yang terdiri atas :

  (1) Faktor Higiene, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan atau mencegah ketidakpuasan yang terdiri atas faktor ekstrinsik antara lain : gaji, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, status, kebijakan perusahaan, kualitas supervisi, kualitas hubungan antar pribadi dengan atasan,bawahan dengan sesame pekerja, serta jaminan sosial.

  (2) Faktor motivator yang bersifat intrinsik yang meliputi : tanggung jawab, pengakuan, prestasi, pekerjaan itu sendiri, kemajuan, serta pertumbuhan dan perkembangan pribadi.

D. Teori Kebutuhan dari McClelland

  Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland adalah :

  a). Kebutuhan akan prestasi (need for achievement).

  Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

  b). Kebutuhan akan kekuasaan (need for power )

  Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Seseorang dengan kebutuhan akan kekuasaan tinggi akan bersemangat bekerja apabila bisa mengendalikan orang yang ada disekitarnya.

  c). Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation)

  Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta.

  E. Teori Pengharapan (Expectancy Theory)

  Pencetus pertama dari teori dari harapan ini adalah Victor H. Vroom dan merupakan teori motivasi kerja yang relatif baru. Teori ini berpendapat bahwa orang- orang atau petugas akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu jika mereka yakin bahwa dari prestasinya itu mereka akan mendapatkan imbalan besar. Seseorang mungkin melihat jika bekerja dengan giat kemungkinan adanya suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat dan inilah yang menjadi perangsang seseorang dalam bekerja giat.

  F. Teori Keadilan

  Menurut J Stacy Adam dalam teori keadilan tentang motivasi mengemukakan bahwa manusia di tempat kerja menilai tentang input dalam hubungannya dengan pekerjaan dibandingkan dengan hasil yang ia peroleh. Mereka membandingkannya dengan orang lain dalam kelompoknya, dengan kelompok lain atau dengan orang lain diluar organisasi dimana ia bekerja. Bila persepsi seseorang menganggap bahwa imbalan atau hasil yang ia peroleh tidak sesuai dengan usahanya atau input yang ia berikan pada organisasi, maka mereka termotivasi untuk menguranginya. Semakin besar “ketidaksesuaian itu dirasakan seseorang, maka ia semakin termotivasi untuk menguranginya. “ketidaksesuaian” terjadi karena adanya perbedaan persepsi antara dua orang atau lebih tentang kaitan antara masukan dengan hasil yang diperolehnya.

  Dalam teori keadilan, masukan meliputi faktor-faktor seperti : tingkat pendidikan, keahlian, upaya, masa kerja, dan produktivitas. Sedangkan hasil adalah semua imbalan yang dihasilkan dari pekerjaan seseorang seperti gaji, promosi, penghargaan, prestasi dan status.

G. Teori Penguatan

  Menurut Skinner pendekatan penguatan merupakan konsep dari belajar. Teori ini mengemukakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari akibat yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Orang cenderung mengulang sesuatu yang mengarah kepada konsekuensi yang positif dan menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan. Ada tiga jenis penguatan yang dapat digunakan manjer di dalam memodifikasi motivasi karyawan yaitu: penguatan positif, penguatan negatif, dan hukuman.

  a. Penguatan Positif

  Penguatan positif berkaitan dengan memperkuat respon atau perilaku yang diinginkan. Dengan memberikan penguatan atas perilaku yang diinginkan maka perilaku tersebut akan diulangi kembali. Misalnya, pimpinan perusahaan memberi perintah kepada seorang karyawan untuk mendesain sesuatu. Karyawan tersebut menggunakan segala kemampuannya dan keterampilannya untuk menyelesaikan desain itu tepat pada waktunya. Pimpinan perusahaan tersebut tidk hanya memberikan penghargaan tetapi juga kenaikan imbalan atas desain yang bagus yang dihasilkan oleh karyawannya ( Penguatan positif).

  b. Penguatan negatif

  Penguatan negatif adalah mencegah atau menghilangkan akibat yang tidak menyenangkan. Perbedaannya dengan penguatan positif adalah, kalau penguatan positif karyawan bekerja keras agar memperoleh imbalan dari organisasi karena prestasi kerjanya yang baik, maka penguatan negatif karyawan bekerja keras untuk menghindari akibat stimulus yang tidak diinginkan.

c. Hukuman

  Penerapan hukuman dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan perilaku yang tidak diinginkan diulang kembali.

H. Teori Penetapan Tujuan

  Teori penetapan tujuan dikembangkan oleh Edwin Locke, di mana teori ini menguraikan hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja. Konsep dasar dari teori ini adalah bahwa karyawan yang memahami tujuan (apa yang diharapkan organisasi terhadapnya) akan memengaruhi perilaku kerjanya. Dengan menetapkan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan prestai kerja, dengan catatan bahwa karyawan tersebut memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan.

2.7 Penilaian Kinerja

  Menurut Cushway (1996) penilaian prestasi kerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan. Penilaian prestasi kerja adalah proses mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan diwaktu yang lalu atau untuk mempediksi prestasi kerja diwaktu yang akan datang dalam sebuah organisasi. Sedangkan penilaian performasi adalah suatu cara mengukur kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi, sehingga penilaian performasi ini diperlukan untuk menentukan tingkat kontribusi individu, atau performasi (Gomes, 2000). Menurut Ilyas (2001) yang mengutip pendapat Hall

  (1986) , penilaian kinerja merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja personal dan usaha untuk memperbaiki kerja personal dalam organisasi.

  Bernadin & Russel, (2000) menjelaskan ada 6 kriteria penilaian kinerja sumber daya manusia yaitu: 1) Kualitas (Quality)

  Tingkatan dimana proses/hasil diperoleh dengan sempurna, tampilan kerja secara ideal dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

  2) Kuantitas (Quantity) Jumlah yang dihasilkan, jumlah unit, siklus dan kegiatan yang lengkap (dibandingkan dengan standar).

  3) Ketepatan waktu (Timeliness) Tingkatan dimana antar kegiatan dengan hasil yang diproduksi tepat waktu atau lebih awal khususnya antara koordinasi dengan keluaran yang lain, sebisa mungkin memaksimalkan waktu untuk kegiatan lain. 4) Efektifitas biaya (Cost effectiveness)

  Tingkatan dimana penggunaan sumber-sumber daya yang ada diorganisasi dapat dioptimalkan seperti SDM, uang, tehnologi dan material.

  5) Kebutuhan supervisi (Need for supervition) Tingkatan dimana kinerja dapat membawa suatu fungsi kerja tanpa mengulang kembali seperti dengan bantuan supervise atau membutuhkan intervensi untuk mencegah atau keluaran yang merugikan (supervisi dapat memberikan manfaat bagi bawahan, mereview perkembangan pekerjaan pada jadual kerja, mereview kebijakan administrasi, efektivitas prosedur kerja, keterbukaan dengan bawahan).

  6) Dampak hubungan interpersonal (interpersonal impact) Tingkat dimana kinerja mampu meningkatkan perasaan, penghargaan diri, keinginan yang baik atau cita-cita dan kerjasama antara pekerja dengan pekerja dan bagiannya (kinerja mempunyai dampak terhadap hubungan interpersonal baik dengan pegawai maupun pimpinan).

2.8 Tujuan Penilaian Kinerja

  Penilaian kinerja pada dasarnya mempunyai 3 (tiga) tujuan pokok yaitu : (Gibson.J.I. Ivancevich, J.M. & Donelly. J. H. 2000) 1) Untuk perbaikan (Remedial) atau untuk mereview performasi sebelumnya.

  Merupakan tujuan mendasar dalam rangka penilaian personal secara individual, yang dapat digunakan sebagai informasi untuk penilaian efektifitas manajemen sumber daya manusia. 2) Untuk pemeliharaan (Maintenance), menyangkut dorongan orang yang dinilai supaya melanjutkan hal-hal yang dikerjakan dengan baik.

  3) Untuk mengembangkan (Development), sebagai informasi untuk mengambil keputusan guna pengembangan personal seperti promosi, mutasi, rotasi, terminasi dan penyesuaian kompensasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2006) tujuan penilaian kinerja adalah : 1) Sebagai dasar dalam mengambil keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa.

  2) Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.

  3) Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan. 4) Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadual kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.

  5) Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi.

  6) Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.

  7) Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

  8) Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan. 9) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan. 10) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description ).

2.9 Kinerja Bidan Desa dalam Program KIA

  Kinerja bidan desa dalam program KIA dapat diukur melalui keberhasilan bidan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya yaitu: (Depkes, 1999) a. Meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas, kesehatan bayi dan anak balita serta pelayanan dan konseling pemakaian kontrasepsi serta keluarga berencana melalui upaya strategis antara lain : Posyandu dan Polindes.

  b. Menjaring seluruh kasus risiko tinggi ibu hamil, bersalin, nifas dan bayi baru lahir untuk mendapatkan penanganan memadai sesuai kasus dan rujukannya. c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.

  d. Meningkatkan perilaku sehat pada ibu, keluarga dan masyarakat yang mendukung upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi.

  Untuk mendukung keberhasilan kinerja bidan desa maka bidan desa diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya yang meliputi 1 atau 2 desa serta melakukan pelayanan secara aktif. Kinerja bidan di desa dinilai dari kesesuaian target cakupan pelayanan yang dilakukannya dengan jumlah sasaran yang ada di wilayah kerjanya. Oleh karena itu, bidan di desa harus mengetahui jumlah sasaran program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yaitu dengan sasaran ibu hamil, bersalin, dan bayi.

  Kinerja bidan desa dapat dilihat dari cakupan pelaksanaan program KIA di wilayah kerjanya. Adapun Program Pelayanan KIA yang diutamakan adalah sebagai berikut :

  1. Pelayanan antenatal (K1 dan K4) dengan mutu sesuai standar serta menjangkau seluruh sasaran.

  2. Pertolongan persalinan ditujukan kepada peningkatan pertolongan oleh tenaga kesehatan.

  3. Penanganan komplikasi kebidanan secara adekuat dan pengamatan secara terus- menerus oleh tenaga kesehatan.

  4. Pelayanan neonatal dan ibu nifas dengan mutu sesuai standar dan menjangkau seluruh sasaran.

  2.10 Kerangka Konsep Penelitian

  3. Lama Kerja

  2. Ekstrinsik

  1. Intrinsik

  Motivasi :

  7. Pelatihan

  6. Status Perkawinan

  5. Status Pekerjaan

  4. Tempat Tinggal

  2. Pendidikan

  Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka di atas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

  1. Umur

  Karakteristik Individu

  Berdasarkan tujuan penelitian, landasan teori dan kerangka konsep di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah : Ada pengaruh karakteristik individu dan motivasi terhadap kinerja bidan desa dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat.

  2.11 Hipotesis Penelitian

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

  M

  Variabel Bebas Variabel Terikat

  Kinerja Bidan Desa