BAB II RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 - Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)

BAB II RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan

  perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang

  

  dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan jenis produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, di mana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik di mana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.

  Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi, menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu, semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak pada tindakan yang bersifat negatif, bahkan tidak terpuji, yang berawal dari itikad 18 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hal. 10 buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain, menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.

  Pada situasi ekonomi global dan menuju era perdagangan bebas, upaya mempertahankan pasar atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas merupakan dambaan bagi setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang makin ketat ini juga dapat memberikan dampak

   negatif terhadap konsumen pada umumnya.

  Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan penanaman modal. Kini transaksi menjadi beranaeka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finasial, dan lain-lain. Globalisasi

   menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku ekonomi dunia.

  Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB

   (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 tentang perlindungan konsumen.

  Pada awalnya YLKI ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi diri dari barang yang rendah mutunya telah 19 20 Ibid., hal. 11 21 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 4 Ibid., hal. 1

  memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi

   konsumen, dan dimulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.

  Tokoh-tokoh yang terlibat pada waktu itu mulai mengadakan temu wicara dengan beberapa kedutaan asing, Departemen Perindustrian dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Puncak lahirnya YLKI dengan moto yang telah menjadi landasan dan arah perjuangan YLKI, yaitu melindungi konsumen, menjaga

   martabat konsumen, dan membantu pemerintah.

  Selain itu, suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-tulisan di media massa. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun

   1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha, serta Hukum Perlindungan Konsumen.

1. Pengertian Konsumen

  Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris- Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti

  consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan

   barang.

  22 23 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit, hal 16 24 Ibid. 25 Ibid., hal 17 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal 22

  Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama. Sebagai contoh, di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan yang menarik, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik

   dengan pembeli.

  Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius (dalam Barkatulah 2008:8), menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke

  gebruikeer van goederen en diensten ).

  Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.

  Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “the person who obtains goods or services for

  

  . Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu: pertama,

  personal purposes”

  konsumen hanya orang; dan kedua, barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Sekalipun demikian, makna kata “memperoleh” (to obtain) masih kabur, apakah maknanya hanya melalui hubungan jual beli atau lebih luas daripada itu.

  Di Australia, dalam Trade Practices Act 1974, konsumen diartikan sebagai “seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan 26 27 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hal 8

   Ibid., hal. 9 persyaratan harganya tidak melewati 40.000 dolar Australia”. Artinya, sejauh tidak melewati jumlah uang diatas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut

   tidak dipersoalkan.

  Selain pengertian-pengertian di atas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang khusus berkaitan dengan ganti kerugian. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama

   dengan pemakai.

  Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari Product (selajutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara

  Liability Directive

  MEE dalam menyusun ketentuan hukum Perlindungan

30 Konsumen. Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti

  kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.

  Az. Nasution (dalam Kristiyanti 2009:25) menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni: a.

  Konsumen adalah setiap yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; b.

  Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ataau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial); c. Konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan 28 dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi 29 Ibid. 30 Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 20 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hal. 9

  kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial). Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah

  “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan.

  Dalam naskah akademis dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah akademik itu patut mendapat perhatian, antara lain:

   a.

  Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbilikan.

  b.

  Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

  c.

  Sedangkan dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Univesitas Indonesia (FH UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI, berbunyi: “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.

  Hal lain yang juga perlu dikemukakan dalam pengertian konsumen ini adalah syarat “tidak untuk diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai 31 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 23

  “konsumen akhir” (end consumer), dan sekaligus membedakan dengan

   konsumen antara (derived/intermediate consumer).

  Dalam kedudukan sebagai derived/intermediate consumer, yang bersangkutan tidak dapat menuntut pelaku usaha berdasarkan UUPK, sebaliknya seorang pemenang undian atau hadiah seperti nasabah bank, walaupun setelah menerima hadiah undian (hadiah) kemudian yang bersangkutan menjual kembali hadiah tersebut, kedudukannya tetap sebagai konsumer akhir (end consumer), karena perbuatan menjual yang dilakukanya bukanlah dalam kedudukan sebagai profesional seller. Ia tidak dapat dituntut sebagai pelaku usaha menurut UUPK, sebaliknya ia dapat menuntut pelaku usaha bila hadiah yang diperoleh ternyata mengandung suatu cacat yang merugikan baginya.

2. Pengertian Pelaku Usaha

  Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

  Dalam penjelasan undang-undang tersebut, yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. 32 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hal. 11

  Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi Grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya.

  Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah:

  Pembuat produk jadi (finished product); penghasilan bahan baku;pembuat suku cadang; Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; Importir suatu produk denan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; Pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat

   digunakan.

  Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam

  

Directive (pedoman bagi negara Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen

  dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.

   Dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa: 1.

  Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap 33 orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda 34 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hal. 34-35 Ibid., hal. 21 pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

  2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;

  3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan.

  Oleh karena istilah pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK meliputi berbagai bentuk/jenis usaha, maka sebaiknya ditentukan urutan- urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh

  

  pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut: a.

  Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan; b. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri; c. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan barang yang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan produsen yang memproduksi produk tersebut. 35 Ibid., hal. 35-36

3. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

  Terkait dengan Perlindungan Konsumen, dalam skripsi ini menekankan permasalahan dalam bidang perlindungan secara khusus ditujukan kepada konsumen. Pengertian perlindungan di dalam Pasal 1 angka

  1 PP No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

  Sedangkan Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 1 UUPK, disebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen.

  Perlindungan konsumen digunakan sebagai istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.

  Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventive maupun yang bersifat represive, baik yang tertulis maupun

  

  tidak tertulis. engan kata lain, perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

  Pada dasarnya negara hukum bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya. Dan menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat

  

  meliputi dua hal, yakni: a.

  Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

  b.

  Perlindugan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

  Konsumen dan Pelaku usaha memiliki hubungan yang saling membutuhkan satu sama lain. Pelaku usaha dalam memasarkan barang ataupun jasa pasti membutuhkan konsumen. Sebaliknya konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga membutuhkan pelaku usaha dalam penyediaannya.

  Dalam hal ini, konsumen maupun pelaku usaha tentu mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.

  Perlindungan konsumen sesungguhnya berhubungan dengan perlindungan hukum mengenai hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha, di mana hak dak kewajiban tersebut tertuang dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 36 Zona Prasko, Definisi Perlindungan Hukum, diakses dari

   pada tanggal 5 November 2013 37 Status Hukum, Perlindungan Hukum, diakses dari pada tanggal 5 November 2013

1. Hak-hak konsumen Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.

  Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan

  

  terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.

   Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu: a.

  Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety) b.

  Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) c. Hak untuk memilih (the right to choose) d.

  Hak untuk didengar (the right to br heard) Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International

  

Organization of Costumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,

  seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian,

   dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

  Dalam UUPK, empat hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tersebut juga diakomodasikan.

  Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Konsumen atau disebut juga Guidelines for 38 39 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 30 40 Ibid., hal 30-31 Ibid.

  Consumer Protection (dalam Barkatulah, 2008:22), juga merumuskan berbagai

  kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi: a.

  Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; b.

  Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen; e. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

  Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad sembilan belas. Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen, yaitu: a.

  Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b.

  Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d.

  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e.

  Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumensecara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g.

  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h.

  Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i.

  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

  Hak-hak dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen di atas merupakan penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dab Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

2. Kewajiban Konsumen

  Selain memperoleh hak tersebut, pada Pasal 5 UUPK disebutkan bahwa konsumen juga diwajibkan untuk: a.

  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c.

  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d.

  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hal-hal tersebut diatas dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang maksimal atau optimum atas perlindungan atau kepastian hukum bagi dirinya.

3. Hak-hak Pelaku Usaha

  Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK, yaitu: a.

  Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c.

  Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d.

  Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainya.

  Hak Pelaku Usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.

  

  Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih

41 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit, hal. 37

  murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.

  Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh

  

  konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila: a.

  Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; b.

  Cacat timbul di kemudian hari; c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen; d.

  Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi; e.

  Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa. Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari

  

  tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meliputi: a.

  Kelalaian si konsumen penderita; b.

  Penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat produk dibuat (unforseeable misuge); c. Lewatnya jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 (enam) tahun setelah pembelian, atau 10 tahun sejak barang diproduksi; d.

  Produk pesanan pemerintah pusat ( federal); e. Kerugian yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan oleh produsen lain dalam kerja sama produksi (di beberapa negara bagian yang mengakui joint and several liability).

4. Kewajiban Pelaku Usaha

  Adapun dalam Pasal 7 UUPK diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut: a.

  Beritkad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b.

  Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan 42 penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; 43 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 42 Ibid., hal. 42-43 c.

  Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif; d.

  Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dalam UUPK tampak bahwa beritikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.

  Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.

  Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informaasi terhadap konsumen tersebut dapat

   berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.

  Jika disimak baik-baik, jelas bahwa kewajiban-kewajiban tersebut merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang “ditargetkan” untuk

   menciptakan “budaya” tanggung jawab pada diri para pelaku usaha.

C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

  Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan beberapa asas dan tujuan dalam upaya melindungi konsumen yang diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasi dalam tingkat praktis. Karena dengan adanya asas dan tujuan yang jelas yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

1. Asas Perlindungan Konsumen

  Berdasarkan Pasal 2 UUPK, perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

  Pada penjelasan Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

  a) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen 44 dan pelaku usaha secara keseluruhan. 45 Ibid., hal. 44 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hal. 39 b) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

  c) Asas keseimbangan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil ataupun spritual.

  d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

  e) Asas kepastian hukum dimasudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

  Dalam Pasal 3 UUPK, disebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan: a.

  Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b.

  Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c.

  Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d.

  Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

D. Prinsip-Prinsip Umum Perlindungan Konsumen

  Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait.

  Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.

  Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (liability based on fault)

  Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based ) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan

  on fault

  perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal

   1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.

  Ketentuan di atas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang

   sama untuk memenangkan perkara tersebut.

  Sesuai dengan pemikiran Friedman (dalam Barkatulah, 2008:53) yang mengatakan bahwa substansi hukum mengalami perubahan dengan karakteristik hukum yang dihasilkannya berbeda-beda. Dalam sejarah pembentukan dan perkembangan hukum tanggung jawab produk, terdapat 4 karakteristik gugatan konsumen, yaitu pertama, gugatan atas dasar kelalaian produsen dengan persyaratan hubungan kontrak. Kedua, gugatan atas dasar kelalaian produsen beberapa pengecualian terhadap persyaratan hubungan 46 47 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 92 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hal. 53 kontrak. Ketiga, gugatan konsumen tanpa persyaratan hubungan kontrak dan

  

keempat adalah gugatan dengan pengecualian atau modifikasi terhadap

persyaratan kelalaian.

  Teori murni dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur

  

  kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract). Teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian merupakan yang paling merugikan konsumen karena gugatan konsumen dapat diajukan kalau telah memenuhi dua syarat tersebut, yaitu adanya unsur kesalahan dan kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.

  Seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,

  

  mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: a.

  Adanya perbuatan; b.

  Adanya unsur kesalahan; c. Adanya kerugian yang diderita; d.

  Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

  Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-

   undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

  48 49 Ibid., hal. 54 50 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 93 Ibid.

  Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

  Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability priciple), sampai ia dapat membuktikan ia tidak

   bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

  Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip ini. Dalam UUPK juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 (lihat

   ketentuan Pasal 28 UUPK).

  Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan

  

  sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum.

  Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen

  51 52 Ibid., hal. 94 53 Ibid., hal. 95 Ibid. sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

  3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

  Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle) hanya dikenal lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan

   demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

  Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

  4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)

  Prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung

  

  jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan.

  Ketentuan mengenai tanggung jawab dan ganti rugi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini jelas merupakan lex splecialis terhadap ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 54 55 Ibid., hal. 95-96 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hal. 65 Berdasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, beban pembuktian kesalahan yang berdasarkan Pasal 1865 KUHPerdata dibebankan kepada pihak yang dirugikan, telah dialihkan kepada pihak yang dirugikan, telah dialihkan kepada pihak pelaku usaha.

  Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat dipergunakan

   prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).

  Secara rinci beberapa rumusan tujuan penerapan tanggung jawab

  

  mutlak adalah: a.

  Memberikan jaminan secara hukum bahwa biaya kecelakaan yang diakibatkan oleh produk yang cacat ditanggung oleh orang yang menghasilkan dan mengedarkan produk tersebut ke pasar, bukan oleh pembeli atau konsumen yang tidak mempunyai kemampuan (powerless) untuk melindungi diri.

  b.

  Perancang doktrin strict liability berpendapat bahwa tujuan penerapan (justification) doktrin ini adalah penjual dengan memasarkan produk untuk digunakan atau keperluan konsumen telah menyadari dan sudah siap dengan tanggung jawab terhadap masyarakat umum yang akan mengalami cidera akibat mengkonsumsi banrang yang ditawarkan atau dijualnya, dan sebaliknya masyarakat juga memiliki hak dan harapan untuk terpenuhinya hak tersebut.

  c.

  Untuk menjamin konsumen yang mengalami kecelakaan akibat produk yang cacat, tanpa harus membuktikan kelalaian si produsen.

  d.

  Agar risiko dari kerugian akibat produk yang cacat harus ditanggung oleh supplier, karena mereka berada pada posisi yang dapat memasukkan kerugian sebagai biaya dalam kegiatan bisnis.

  e.

  Sebagai instrumen kebijakan sosial dan jaminan bagi keselamatan 56 publik. 57 Ibid.

  Ibid. f.

  Tanggung jawab khusus untuk keselamatan masyarakat oleh seseorang yang mensuplai produk yang dapat membahayakan keselamatan orang atau harta benda.

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

  Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability

  principle ) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

  

  klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

  Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.

  Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang- undangan yang jelas.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler Akibat Itikad Buruk Layanan Jasa Telekomunikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995 K/Pdt/2012)

1 49 95

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

2 82 81

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)

6 139 135

Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Jual-Beli Perumahan Properti Dengan BP.Group Medan Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2 90 91

ASPEK YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BARANG DAN ATAU JASA ( DITINJAU DARI UU NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN )

1 5 90

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012)

14 81 121

KEDUDUKAN HUKUM PASIEN EUTHANASIA DITINJAU DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

0 2 12

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha. - Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler Akibat Itikad Buruk Layanan Jasa Telekomunikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995 K/Pdt/2012)

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler Akibat Itikad Buruk Layanan Jasa Telekomunikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995 K/Pdt/2012)

0 0 12

Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler Akibat Itikad Buruk Layanan Jasa Telekomunikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995 K/Pdt/2012)

0 0 8