Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN

DENGAN ITIKAD BURUK DARI PERUSAHAAN ASURANSI

JIWA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 560

K/PDT.SUS/2012)

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

SOFIAN SIREGAR NIM: 100200079

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN

DENGAN ITIKAD BURUK DARI PERUSAHAAN ASURANSI

JIWA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 560

K/PDT.SUS/2012)

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

SOFIAN SIREGAR NIM: 100200079

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Muhammad Hayat, S.H. Malem Ginting, S.H., M.Hum. NIP.195008081980021002 NIP. 195707151983031002


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Penulis kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang karena rahmat dan karunianya kepada Penulis untuk mampu menajalankan perkuliahan sampai pada tahap pengerjaan skripsi yang dapat selesai tepat pada waktunya. Penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtuan Penulis Bapak Dahlan Siregar dan Alm. Ibu Wasmida Hutauruk, yang tiada hentinya memberikan dorongan semangat, doa dan kekuatan kepada Penulis.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna menyelesaikan kegiatan akademik dan memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Sumatera Utara pada Departemen Perdata Dagang.

Skripsi ini berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)”. Skripsi ini menguraikan tentang perlindungan hukum bagi konsumen dalam memperoleh hak dari perbuatan curang atau itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa.

Pada pengerjaan skripsi ini, Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Sebagai bentuk apresiasi atas dukungan dan perhatian yang diberikan, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 6. Bapak Muhammad Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan skripsi ini.

7. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulisan skripsi ini.

8. Ibu Hj. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Departemen Perdata Dagang, yang senantiasa memberikan dukungan semangat dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen, staf administrasi, pegawai dan abang kakak petugas perpustakaan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Ketiga Saudara Penulis yang tercinta yaitu kakak Jelita Dumaria Siregar, Adek Immanuel Parasian Siregar, dan Adek Albush Michaelius Siregar, yang selalu memberikan perhatian, semangat dan doa kepada penulis.


(5)

11.Kelompok Kecil Penulis “LATREIA”, Abang Martin Ambarita, Antony Sihotang, dan Julin Munthe, yang selalu memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini.

12.Ibu Hirim Pasaribu, S.H., Namboru Penulis, yang selalu memberikan dukungan semangat dan doa kepada penulis sepanjang masa perkuliahan sampai pada penulisan skripsi ini.

13.Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Terimakasih untuk kebersamaannya selama ini.

14.Teman-teman seperjuangan yang saling memberi semangat dalam pengerjaan skripsi, Fadlan Fahmi Simatupang, Maharanni Dinarjati, Ratih Damara Barus, Febrina Permata Sari, Anissa Nurachmi, Tengku Mahmood Al-rasyid, Dessy Saida, Defina Simangunsong, Frisdar Rio Ari Tentus Marbun, Henny Handayani Sirait, Martha Saragih, Jepriyanto Parmonangan Saragi, Cynthia Wirawan dan Novika Aritonang. Dan juga kepada adik-adik, Conny Laurenny Pasaribu, Gelora Dewi Hutahaean, Ester Sormin, Sri Nita Pagit Tarigan, dan Ricky Sidabutar.

15.Teman-teman dan adik-adik Penulis selama Penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga dalam pengerjaan skripsi yang tidak dapat Penulis tuliskan satu persatu.


(6)

Akhir kata, dengan kerendahan hati Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan Penulis dalam karya penulisan berikutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi para pembaca.

Medan, Maret 2014 Hormat Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...v

ABSTRAK BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Permasalahan ...8

C. Tujuan Penelitian ...9

D. Manfaat Penulisan ...10

E. Metode Penelitian ...10

F. Keaslian Penulisan ...12

G. Sistematika Penulisan ...14

BAB II: RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha, serta Hukum Perlindungan Konsumen ...19

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ...27

C. Asas dan Tujuan Perlidungan Konsumen ...34

D. Prinsip-prinsip Umum Perlindungan Konsumen ...35

BAB III: USAHA ASURANSI JIWA DAN PENGATURAN MENGENAI USAHA ASURANSI JIWA DI INDONESIA A. Pengertian Usaha Asuransi Jiwa dan Ruang Lingkup Usaha Asuransi Jiwa ...42

B. Pengaturan Usaha Asuransi Jiwa dalam UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian 1. Perjanjian Asuransi Jiwa ...49


(8)

3. Polis Asuransi Jiwa ...59

4. Penyelesaian Klaim Asuransi Jiwa ...61

5. Agen Asuransi Jiwa ...63

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Usaha Asuransi Jiwa ...65

BAB IV: ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN ITIKAD BURUK PERUSAHAAN ASURANSI JIWA A. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Usaha Asuransi Jiwa di Indonesia ...71

B. Bentuk-Bentuk Itikad Buruk dari Perusahaan Asuransi Jiwa Terkait dengan Polis Asuransi Jiwa ...82

C. Upaya-Upaya Hukum yang Dilakukan Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen atas Polis Asuransi Jiwa ...86

D. Kasus Perlindungan Hukum Bagi Konsumen pada Usaha Asuransi Jiwa dalam Putusan MA No. 560 K/Pdt.Sus/2012 98 ...98

E. Tanggapan Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 5690 K/Pdt.Sus/2012 ...105

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ...116

B. Saran ...117


(9)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN

DENGAN ITIKAD BURUK DARI PERUSAHAAN ASURANSI

JIWA. (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

560 K/PDT.SUS/2012)

Muhammad Hayat1 Malem Ginting**

Sofian Siregar***

ABSTRAK

Dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha asuransi menjadi salah satu pendukung utama pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut dikarenakan industri ini dapat membuka lapangan kerja baru dengan membentuk agen asuransi. Selain itu industri ini juga akan membuat masyarakat lebih mandiri karena dapat memberikan proteksi terhadap resiko yang tidak diinginkan seperti terhadap jiwa ataupun harta kekayaannya. Namun, di dalam usaha asuransi jiwa masih saja banyak terjadi sengketa dalam hal pengajuan klaim asuransi jiwa, seringkali penerima manfaat tidak tahu bagaimana harus memulainya. Karena biasanya pihak tertanggung (orang yang telah meninggal dunia) adalah pihak yang selalu berhubungan dengan pihak perusahaan asuransi jiwa. Di lain pihak, penerima manfaat tidak ikut mendapatkan penjelasan dari pihak penanggung atau perusahaan asuransi jiwa sehingga tidak mengetahui seperti apa produk asuransi (polis asuransi) yang dipakai tertanggung. Oleh karena hal tersebut, seringkali pihak penanggung atau perusahaan asuransi jiwa mempersulit proses pembayaran klaim asuransi jiwa atau bahkan mencari alasan-alasan untuk tidak melakukan pembayaran klaim asuransi jiwa dengan itikad buruk demi sebuah keuntungan. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, seharusnya hal tersebut tidak dikhawatirkan lagi. Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen pada usaha asuransi jiwa, apakah bentuk-bentuk itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa terkait polis asuransi jiwa dan bagaimana upaya-upaya hukum yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa konsumen dalam polis asuransi jiwa dikaitkan dengan

P

utusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012.

Metode penelitian yang dilakukan dalam pengerjaan skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu pada norma-norma hukum, dan penelitian ini bersifat deskriftif analitis, karena menggambarkan masalah dengan cara

1 Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Perdata Dagang Universitas


(10)

menjabarkannya. Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari bebrbagai sumber bacaaan, seperti perundang-undangan, putusan pengadilan, buku-buku, surat kabar, dan situs internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang dibahas.

Prinsip utmost good faith dianut di dalam usaha asuransi jiwa, yaitu suatu tindakan untuk memberitahukan semua informasi secara akurat apa yang dimintakan ataupun yang tidak dimintakan perusahaan asuransi mengenai mengenai sesuatu yang akan diasuransikan atau objek/kepentingan yang dipertanggungkan. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa prinsip ini tidak hanya berlaku pada pihak tertanggung melainkan juga pihak penanggung. Artinya si penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu terkait dengan produk asuransi yang ditawarkan kepada pihak tertanggung. Namun pada kenyataannya, pihak penanggung seringkali tidak mau melakukan pembayaran terhadap klaim asuransi jiwa dengan mengkaitkan pada Pasal 251 KUHD yang pada intinya perusahaan asuransi tidak mau melakukan pembayaran atas klaim asuransi jiwa oleh karena tertanggung memberikan informasi yang keliru atau tidak benar atau menyembunyikan keadaan yang diketahui tertanggung terkait dengan objek/kepentingan yang dipertanggungkan. Hal tersebut dilakukan dengan itikad yang tidak baik ataupun demi suatu keuntungan. Sementara pada Pasal 1338 KUH Perdata ditekankan pentingnya prinsip beritikad baik di dalam setiap perjanjian.

Untuk mengatasi atau mencegah sengketa konsumen atas polis asuransi jiwa pemerintah sebaiknya membuat pengaturan yang lebih tegas terhadap perlindungan konsumen atas itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa, perlu dibuat sanksi yang lebih tegas agar perusahaan asuransi jiwa dapat menyadari perbuatannya, dalam hal tidak profesional dalam melakukan layanan asuransi jiwa dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen atau pihak penerima manfaat asuransi jiwa tersebut, dan pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen harus lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa.

Kata Kunci: - Perlindungan Konsumen - Itikad Buruk


(11)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN

DENGAN ITIKAD BURUK DARI PERUSAHAAN ASURANSI

JIWA. (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

560 K/PDT.SUS/2012)

Muhammad Hayat1 Malem Ginting**

Sofian Siregar***

ABSTRAK

Dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha asuransi menjadi salah satu pendukung utama pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut dikarenakan industri ini dapat membuka lapangan kerja baru dengan membentuk agen asuransi. Selain itu industri ini juga akan membuat masyarakat lebih mandiri karena dapat memberikan proteksi terhadap resiko yang tidak diinginkan seperti terhadap jiwa ataupun harta kekayaannya. Namun, di dalam usaha asuransi jiwa masih saja banyak terjadi sengketa dalam hal pengajuan klaim asuransi jiwa, seringkali penerima manfaat tidak tahu bagaimana harus memulainya. Karena biasanya pihak tertanggung (orang yang telah meninggal dunia) adalah pihak yang selalu berhubungan dengan pihak perusahaan asuransi jiwa. Di lain pihak, penerima manfaat tidak ikut mendapatkan penjelasan dari pihak penanggung atau perusahaan asuransi jiwa sehingga tidak mengetahui seperti apa produk asuransi (polis asuransi) yang dipakai tertanggung. Oleh karena hal tersebut, seringkali pihak penanggung atau perusahaan asuransi jiwa mempersulit proses pembayaran klaim asuransi jiwa atau bahkan mencari alasan-alasan untuk tidak melakukan pembayaran klaim asuransi jiwa dengan itikad buruk demi sebuah keuntungan. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, seharusnya hal tersebut tidak dikhawatirkan lagi. Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen pada usaha asuransi jiwa, apakah bentuk-bentuk itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa terkait polis asuransi jiwa dan bagaimana upaya-upaya hukum yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa konsumen dalam polis asuransi jiwa dikaitkan dengan

P

utusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012.

Metode penelitian yang dilakukan dalam pengerjaan skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu pada norma-norma hukum, dan penelitian ini bersifat deskriftif analitis, karena menggambarkan masalah dengan cara

1 Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Perdata Dagang Universitas


(12)

menjabarkannya. Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari bebrbagai sumber bacaaan, seperti perundang-undangan, putusan pengadilan, buku-buku, surat kabar, dan situs internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang dibahas.

Prinsip utmost good faith dianut di dalam usaha asuransi jiwa, yaitu suatu tindakan untuk memberitahukan semua informasi secara akurat apa yang dimintakan ataupun yang tidak dimintakan perusahaan asuransi mengenai mengenai sesuatu yang akan diasuransikan atau objek/kepentingan yang dipertanggungkan. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa prinsip ini tidak hanya berlaku pada pihak tertanggung melainkan juga pihak penanggung. Artinya si penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu terkait dengan produk asuransi yang ditawarkan kepada pihak tertanggung. Namun pada kenyataannya, pihak penanggung seringkali tidak mau melakukan pembayaran terhadap klaim asuransi jiwa dengan mengkaitkan pada Pasal 251 KUHD yang pada intinya perusahaan asuransi tidak mau melakukan pembayaran atas klaim asuransi jiwa oleh karena tertanggung memberikan informasi yang keliru atau tidak benar atau menyembunyikan keadaan yang diketahui tertanggung terkait dengan objek/kepentingan yang dipertanggungkan. Hal tersebut dilakukan dengan itikad yang tidak baik ataupun demi suatu keuntungan. Sementara pada Pasal 1338 KUH Perdata ditekankan pentingnya prinsip beritikad baik di dalam setiap perjanjian.

Untuk mengatasi atau mencegah sengketa konsumen atas polis asuransi jiwa pemerintah sebaiknya membuat pengaturan yang lebih tegas terhadap perlindungan konsumen atas itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa, perlu dibuat sanksi yang lebih tegas agar perusahaan asuransi jiwa dapat menyadari perbuatannya, dalam hal tidak profesional dalam melakukan layanan asuransi jiwa dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen atau pihak penerima manfaat asuransi jiwa tersebut, dan pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen harus lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa.

Kata Kunci: - Perlindungan Konsumen - Itikad Buruk


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku usaha (produsen, dan/atau penjual barang dan jasa), pebisnis, perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Konsumen memerlukan barang dan jasa yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha guna memenuhi keperluannya.2

Kedua belah pihak saling memperoleh manfaat dan keuntungan. Namun dalam praktek seringkali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak jujur, nakal, yang ditinjau dari aspek hukum merupakan tindak pelanggaran hukum. Akibatnya, konsumen menerima barang dan/atau jasa yang berstandar rendah dengan harga yang tinggi atau kualitas barang/jasa tidak sesuai dengan harga (tinggi). Di sisi lain, karena ketidaktahuan, kekurangsadaran konsumen akan hak-haknya sebagai konsumen maka konsumen menjadi korban pelaku usaha yang berlaku curang.

Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban.

2


(14)

Namun setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apa pun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman”.3

Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-masing pihak puas, karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya.

Oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibanding dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting dikaji ulang.

4

Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian.

Apabila pembeli, yang dalam hal ini konsumen, tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan yang diperjanjikan, maka produsen telah melakukan wanprestasi, sehingga konsumen mengalami kerugian.

5

3

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 5

Hal ini biasanya lebih banyak dialami pihak yang lemah/memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lainya, karena persyaratan tersebut berat sebelah/lebih memberatkan kepada pihak yang lemah. Hal ini disebabkan karena persyaratan-persyaratan tersebut telah

4

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 1


(15)

dituangkan ke dalam suatu perjanjian baku. Perjanjian yang demikian sudah lazim dipergunakan dan memegang peranan penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya dilandasi oleh nilai-nilai yang berorientasi pada efisiensi.

Di samping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi di luar hubungan perjanjian, yaitu jika terjadi perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, baik itu karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri.

Gerakan Perlindungan Konsumen sejak lama dikenal di dunia barat. Negara-negara di Eropa dan Amerika juga telah lama memiliki peraturan tentang perlindungan konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB pun tidak kurang perhatiannya terhadap masalah ini. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 39/248 Tahun 1985. Dalam resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi:6

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.

Perlindungan konsumen mutlak dilakukan oleh negara sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB. Di Indonesia, signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena Undang-undang Dasar 1945 di samping


(16)

sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialime sejak abad sembilan belas. Melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen.

Terkait dengan hak-hak konsumen di atas, yang menjadi sorotan dalam pokok persoalan yang dihadapi oleh konsumen dalam skripsi ini adalah mengenai konsumen dalam usaha asuransi jiwa.

Untuk mendorong kegiatan perarusansian di Indonesia, tak tanggung-tanggung pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan 20 Desember 1988 (Pakdes 1988). Setelah dikeluarkannya paket ketentuan itu, terdapat sekitar 130 perusahaan asuransi, meliputi: asuransi kerugian, reasuransi, asuransi jiwa, dan asuransi sosial.7

Risiko tidak lain adalah beban kerugian yang diakibatkan karena suatu peristiwa di luar kesalahannya, misalnya risiko yang menyangkut nyawa manusia, artinya jiwa seseorang di pertanggungkan, risiko kematian tersebut ditanggung perusahaan asuransi jiwa (penanggung). Selama masa pertanggungan, konsumen wajib membayar preminya kepada penanggung. Sebagai kompensasinya, konsumen memperoleh manfaat asuransi dari perusahaan asuransi jiwa. Dalam pada itu, tradisi berasuransi masih dianggap hal baru oleh sebagian masyarakat konsumen, padahal sejalan dengan semakin kompleksnya aktivitas para pelaku ekonomi (pemerintah, perusahaan swasta, BUMN, koperasi, dan konsumen), berbagai risiko senantiasa mengincar konsumen setiap saat.

7


(17)

Konsumen merasakan mendapat manfaat bahwa pihak keluarga konsumen yang ditunjuk namanya dalam polis untuk menerima uang pertanggungan terlindungi.

Sewaktu-waktu risiko kematian dialami konsumen selama pertanggungan, baik karena kecelakaan ataupun sakit, pihak keluarga konsumen (istri/suami dan anak) berhak mendapatkan uang pertanggungan (santunan) sebagai salah satu manfaat asuransi jiwa. Besarnya uang pertanggungan yang diterima tidak akan pernah sebanding dengan kerugian akibat kecelakaan, sakit atau bahkan kematian. Namun demikian, setidaknya uang pertanggungan yang diterima, dapat meringankan beban konsumen (bila ternyata konsumen masih hidup) atau keluarga konsumen.

Dalam hal konsumen tetap sehat walfiat sampai pada saat berakhirnya masa pertanggungan, konsumen akan menerima sejumlah uang pertanggungan yang diperjanjikan dan tertuang dalam polis asuransi.8

Keikutsertaaan konsumen dalam berbagai program dan jenis asuransi sangat bergantung pada pemahaman konsumen terhadap produk yang ditarwakan. Tidak mudah mencari tahu seberapa jauh pemahaman konsumen pada umumnya terhadap produk-produk asuransi.

Perusahaan asuransi telah membuat suatu pilihan untuk mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya tanpa memperhitungkan apakah penetapan besarnya premi yang tidak proporsional (rendah) tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari sisi underwriting, yaitu kemampuan untuk


(18)

membayar polis kelak.9

Pada faktanya di lapangan, di dalam usaha asuransi jiwa masih banyak terjadi sengketa dalam hal pengajuan klaim asuransi jiwa, sering kali penerima manfaat tidak tahu bagaimana harus memulainya. Karena biasanya pihak tertanggung (orang yang telah meninggal dunia) adalah pihak yang selalu berhubungan dengan pihak perusahaan asuransi jiwa. Di lain pihak, penerima manfaat tidak ikut mendapatkan penjelasan dari pihak penanggung atau perusahaan asuransi jiwa sehingga tidak mengetahui seperti apa produk asuransi (polis asuransi) yang dipakai tertanggung. Oleh karena hal tersebut, sering kali pihak penanggung atau perusahaan asuransi jiwa mempersulit proses pembayaran klaim asuransi jiwa atau bahkan mencari alasan-alasan untuk tidak melakukan pembayaran klaim asuransi jiwa dengan itikad buruk demi sebuah keuntungan.

Akibatnya klaim asuransi konsumen ditolak tanpa alasan yang benar dan patut. Dalam keadaan seperti ini, tak ada perlindungan risiko yang dialami konsumen. Sebaliknya perusahaan asuransi sudah mendapatkan premi yang dibayarkan konsumen.

Salah satu bentuk itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa adalah dengan tidak melakukan pembayaran atas klaim asuransi dengan memberikan berbagai alasan-alasan terutama terhadap asas utmost good faith, yaitu asas kejujuran yang sempurna.

Menurut asas ini, suatu pihak dalam perjanjian tidak wajib memberitahukan sesuatu yang ia ketahui mengenai objek perjanjian kepada pihak lawannya. Pihak lawan harus mewaspadai sendiri keadaan dan kualitas objek


(19)

perjanjian, tetapi karena sifatnya yang khusus, maka di dalam perjanjian asuransi pihak tertanggung harus memberikan segala keterangan mengenai risikonya.10

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diingat bahwa asas utmost good faith tidak hanya ditujukan kepada pihak tertanggung tetapi juga pihak penanggung, yakni pihak penanggung harus dengan jujur menjelaskan segala sesuatu tetang luasnya syarat atau kondisi suatu asuransi.11

Pelanggaran tersebut dapat menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari terhadap pelaksanaan perjanjian yang telah dibuat antara tertanggung dan perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung, terutama apabila terjadi klaim asuransi jiwa dari tertanggung, keluarganya atau ahli warisnya seperti yang terjadi berdasarkan Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012 yang secara garis besarnya pihak PT. AVRIST ASSURANCE tidak mau melakukan pembayaran atas klaim asuransi jiwa kepada penerima manfaat dari asuransi itu yaitu Hermi Sinurat sebagai ahli waris dalam perjanjian

Karena pada faktanya sering kali dijumpai ketidakjujuran agen asuransi. Banyak agen hanya mengejar target penjualan dan komisi, sehingga mereka enggan menjelaskan panjang lebar tentang produk yang di tawarkan. Dan ketidakjujuran agen juga bisa dalam bentuk menjanjikan sesuatu yang tidak tercantum dalam polis. Serta banyak agen (yang jujur sekalipun) lalai dalam menjelaskan pengecualian-pengecualian yang ada dalam polis.

10

Ridwan Khairandy, “Karya Ilmiah Dosen” diakses dari

2013

11

Mari Berasuransi, “Alasan Asuransi Jiwa Tidak Membayar Klaim” diakses dari


(20)

asuransi jiwa yang dibuat PT. AVRIST ASSURANCE dengan tertanggung yaitu alm. Mardi Simarmata.

Oleh karena berbagai persoalan tentang perlindungan konsumen khususnya dalam usaha asuransi jiwa seperti yang telah dipaparkan diatas dan peraturan pelaksana tentang Perlindungan Konsumen yaitu UU No. 8 Tahun 1999 yang dalam prakteknya belum dapat dilihat keefektifannya di Indonesia, maka inilah yang menjadi pokok pembahasan penulis yang disertai dengan Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012 dalam skripsi yang diberi judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang diatas, dapat dirumuskan bahwa studi tentang perlindungan hukum bagi konsumen dalam usaha asuransi jiwa di Indonesia masih menjadi topik yang sangat diperhatikan oleh karena usaha asuransi saat ini menjadi salah satu pendukung utama perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan industri ini dapat membuka lapangan kerja baru dengan membentuk agen asuransi. Selain itu industri ini juga akan membuat masyarakat lebih mandiri karena dapat memberikan proteksi terhadap risiko yang tidak diinginkan seperti terhadap jiwa ataupun harta kekayaannya.


(21)

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen pada usaha asuransi jiwa di Indonesia?

2. Bagaimana bentuk-bentuk itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa atas polis asuransi jiwa terkait dengan kewajibannya dalam menjalankan usaha asuransi jiwa?

3. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa konsumen atas polis asuransi jiwa di Indonesia? (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan membahas masalah perlindungan hukum bagi konsumen berkaitan dengan itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen pada usaha asuransi jiwa di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk itikad buruk perusahaan asuransi jiwa atas polis asuransi jiwa terkait dengan kewajibannya dalam menjalankan usaha asuransi jiwa di Indonesia.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa konsumen atas polis asuransi jiwa di Indonesia dan Untuk mengetahui bagaimana Mahkamah Agung


(22)

memutuskan sengketa konsumen melalui Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: a. Secara Teoritis

Pembahasan terhadap skripsi ini diharapkan akan memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi pembaca mengenai aturan hukum terhadap perlindungan hukum bagi konsumen berkaitan dengan itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa. Jadi, secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum secara umum dan ilmu hukum perdata pada khususnya. Selain itu juga diharapkan dapat menambah dan melengkapi koleksi karta ilmiah di bidang keperdataan terkait dengan perlindungan hukum yakni perlindungan hukum terhadap konsumen.

b. Secara Praktis

Ditinjau dari sisi praktis, melalui penulisan ini diharapkan secara nyata dapat menyumbangkan konsep pemikiran kearah upaya perlindungan hukum khususnya dalam hal perlindungan konsumen.

E. Metode Penelitian


(23)

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012), maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada pada masyarakat.12

Dan pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan kasus yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kasus (studi kasus/case study) yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.

13

2. Teknik Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research. Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menunjukkan perpustakaan sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian. Penelitian ini mutlak menggunakan kepustakaan sebagai sumber data sekunder.14

12

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal 41

Di tempat inilah peneliti dapat memilih dan menelaah bahan-bahan kepustakaan yang diperlukan guna dapat memecahkan dan menjawab permasalahan pada penelitian yang dilaksanakan.

13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal 94 14


(24)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dengan melakukan pengkajian terhadap:15

a. Bahan hukum primer yaitu norma atau kaidah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, peraturan dasar seperti ketentuan-ketentuan dalam batang tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, Peraturan perundang-undangan seperti UU, Perpu, PP, Perpres, dan lain-lain, bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti ketentuan hukum adat, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang masih berlaku.

b. Bahan hukum sekunder yaitu Rancangan Undang-Undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lainnya yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tertier yaitu kamus, ensiklopedia dan lain-lain bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder.

3. Alat Pengumpulan Data

Data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan ini disusun secara sistematis, selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dan menghubungkan dengan pendapat pakar hukum, dan hasil yang diperoleh dari analisis ini berbentuk deskripsi.16

Sebagai akhir, penarikan kesimpulan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret dihadapi.17

F. Keaslian Penulisan

15Ibid

, hal 76 16

H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 107


(25)

Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi ini, sebelum melakukan penulisan “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)”, Penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum/Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal 07 Oktober 2013 menyatakan bahwa tidak ada buku yang sama.

Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain:

1. Perjanjian Asuransi Jiwa Ditinjau Dari Segi Hukum Perjanjian Perdata (Studi Kasus PT. Asuransi Jiwa Tugu Mandiri), yang disusun oleh Nevo Restuty/860200143.

2. Tinjauan Yuridis terhadap Perusahaan Asuransi Jiwa Patungan Dikaitkan Dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1250/KMK.013/1988 (disusun oleh Mikuel N. Pardede/890200052) Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui mediainternet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal tersebut di luar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan dan pembahasan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini merupakan hasil olah pikir penulis sendiri. Oleh karena itu, keaslian


(26)

penulisan ini dapat terjamin, dengan kata lain bukanlah merupakan suatu plagiat dari penulisan karya ilmiah orang lain. Namum demikian, dalam penulisan skripsi ini terdapat kutipan-kutipan atau pendapat orang lain yang mana hal tersebut dilakukan sebagai referensi untuk mendukung fakta-fakta dalam penulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya.

Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang diorganisasikan ke dalam bab demi bab sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, pada bab ini diuraikan tentang Latar Belakang yaitu apa yang melatarbelakangi Penulis mengangkat judul, perumusan masalah yaitu hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penulisan yaitu maksud dari penulis dalam menulis skripsi ini, metode penelitian yang memaparkan metode yang digunakan penulis dalam mengkaji permasalahan, dan keaslian penulisan yang merupakan penegasan bahwa skripsi tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012) belum pernah dibahas sebelumnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(27)

Bab II : Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun 1999. Bab ini merupakan awal dari pembahasan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dalam pendahuluan. Adapun yang dibahas adalah pengertian konsumen dan pelaku usaha serta hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, asas dan tujuan perlindungan konsumen, prinsip-prinsip umum perlindungan konsumen dan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen.

Bab III : Usaha Asuransi Jiwa Dan Pengaturan Mengenai Usaha Asuransi Jiwa Di Indonesia. Pada bab ini, yang menjadi pembahasan adalah pengertian usaha asuransi jiwa dan ruang lingkup usaha asuransi jiwa, pengaturan usaha asuransi jiwa dalam UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian serta hak dan kewajiban para pihak dalam usaha asuransi jiwa.

Bab IV : Analisis Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Perusahaan Asuransi Jiwa. Sebagai kelanjutan bab sebelumnya, bab ini akan membahas aturan hukum yang digunakan dalam sengketa konsumen atas polis asuransi jiwa, bentuk-bentuk itikad buruk dari perusahaan asuransi jiwa terkait dengan polis asuransi jiwa, upaya-upaya hukum yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa konsumen atas polis asuransi jiwa dan pada bab ini dilakukan studi kasus pada kasus perlindungan hukum bagi konsumen pada usaha asuransi jiwa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012 dan disertai dengan tanggapan penulis terhadap kasus dalam putusan tersebut.


(28)

Bab V : Penutup, bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari ketiga pembahasan yang telah ada sebelumnya. Setelah mendapat kesimpulan dari pembahasan sebelumnya, maka dapatlah ditentukan poin-poin yang berisi saran konstruktif yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.


(29)

BAB II

RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999

Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.18

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi, menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu, semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak pada tindakan yang bersifat negatif, bahkan tidak terpuji, yang berawal dari itikad Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan jenis produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, di mana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik di mana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.


(30)

buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain, menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.

Pada situasi ekonomi global dan menuju era perdagangan bebas, upaya mempertahankan pasar atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas merupakan dambaan bagi setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang makin ketat ini juga dapat memberikan dampak negatif terhadap konsumen pada umumnya.19

Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan penanaman modal. Kini transaksi menjadi beranaeka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finasial, dan lain-lain. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku ekonomi dunia.20

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 tentang perlindungan konsumen.21

Pada awalnya YLKI ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi diri dari barang yang rendah mutunya telah

19Ibid.,

hal. 11 20


(31)

memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen, dan dimulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.22

Tokoh-tokoh yang terlibat pada waktu itu mulai mengadakan temu wicara dengan beberapa kedutaan asing, Departemen Perindustrian dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Puncak lahirnya YLKI dengan moto yang telah menjadi landasan dan arah perjuangan YLKI, yaitu melindungi konsumen, menjaga martabat konsumen, dan membantu pemerintah.23

Selain itu, suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-tulisan di media massa. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.24

A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha, serta Hukum Perlindungan Konsumen.

1. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer

atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti

consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.25

22

Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit, hal 16

23Ibid. 24Ibid.


(32)

Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama. Sebagai contoh, di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan yang menarik, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.26

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius (dalam Barkatulah 2008:8), menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruikeer van goederen en diensten).

Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “the person who obtains goods or services for personal purposes”.27

Di Australia, dalam Trade Practices Act 1974, konsumen diartikan sebagai “seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan

Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu: pertama, konsumen hanya orang; dan kedua, barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Sekalipun demikian, makna kata “memperoleh” (to obtain) masih kabur, apakah maknanya hanya melalui hubungan jual beli atau lebih luas daripada itu.

26


(33)

persyaratan harganya tidak melewati 40.000 dolar Australia”. Artinya, sejauh tidak melewati jumlah uang diatas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan.28

Selain pengertian-pengertian di atas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang khusus berkaitan dengan ganti kerugian. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.29

Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari Product Liability Directive (selajutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan hukum Perlindungan Konsumen.30

Az. Nasution (dalam Kristiyanti 2009:25) menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:

Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.

a. Konsumen adalah setiap yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ataau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial); c. Konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan

dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi

28 Ibid. 29


(34)

kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan.

Dalam naskah akademis dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah akademik itu patut mendapat perhatian, antara lain:31

a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbilikan.

b. Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

c. Sedangkan dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Univesitas Indonesia (FH UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI, berbunyi: “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.

Hal lain yang juga perlu dikemukakan dalam pengertian konsumen ini adalah syarat “tidak untuk diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai


(35)

“konsumen akhir” (end consumer), dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (derived/intermediate consumer).32

Dalam kedudukan sebagai derived/intermediate consumer, yang bersangkutan tidak dapat menuntut pelaku usaha berdasarkan UUPK, sebaliknya seorang pemenang undian atau hadiah seperti nasabah bank, walaupun setelah menerima hadiah undian (hadiah) kemudian yang bersangkutan menjual kembali hadiah tersebut, kedudukannya tetap sebagai konsumer akhir (end consumer), karena perbuatan menjual yang dilakukanya bukanlah dalam kedudukan sebagai profesional seller. Ia tidak dapat dituntut sebagai pelaku usaha menurut UUPK, sebaliknya ia dapat menuntut pelaku usaha bila hadiah yang diperoleh ternyata mengandung suatu cacat yang merugikan baginya.

2. Pengertian Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Dalam penjelasan undang-undang tersebut, yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.


(36)

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi Grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya.

Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah:

Pembuat produk jadi (finished product); penghasilan bahan baku;pembuat suku cadang; Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; Importir suatu produk denan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; Pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat digunakan.33

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam

Directive (pedoman bagi negara Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.

Dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa:34

1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda

33


(37)

pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;

3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan.

Oleh karena istilah pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK meliputi berbagai bentuk/jenis usaha, maka sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:35

a. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan;

b. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri;

c. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan barang yang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan produsen yang memproduksi produk tersebut.


(38)

3. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Terkait dengan Perlindungan Konsumen, dalam skripsi ini menekankan permasalahan dalam bidang perlindungan secara khusus ditujukan kepada konsumen. Pengertian perlindungan di dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Sedangkan Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 1 UUPK, disebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen.

Perlindungan konsumen digunakan sebagai istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventive maupun yang bersifat represive, baik yang tertulis maupun


(39)

tidak tertulis.36

Pada dasarnya negara hukum bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya. Dan menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:

Dengan kata lain, perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

37

a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

b. Perlindugan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Konsumen dan Pelaku usaha memiliki hubungan yang saling membutuhkan satu sama lain. Pelaku usaha dalam memasarkan barang ataupun jasa pasti membutuhkan konsumen. Sebaliknya konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga membutuhkan pelaku usaha dalam penyediaannya. Dalam hal ini, konsumen maupun pelaku usaha tentu mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.

Perlindungan konsumen sesungguhnya berhubungan dengan perlindungan hukum mengenai hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha, di mana hak dak kewajiban tersebut tertuang dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

36

Zona Prasko, Definisi Perlindungan Hukum, diakses dari

37


(40)

1. Hak-hak konsumen

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak.38

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:

Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.

39

a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety) b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) c. Hak untuk memilih (the right to choose)

d. Hak untuk didengar (the right to br heard)

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International

Organization of Costumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,

seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.40

Dalam UUPK, empat hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tersebut juga diakomodasikan.

Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Konsumen atau disebut juga Guidelines for

38

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 30 39Ibid.,


(41)

Consumer Protection (dalam Barkatulah, 2008:22), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad sembilan belas. Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumensecara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;


(42)

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

Hak-hak dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen di atas merupakan penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dab Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

2. Kewajiban Konsumen

Selain memperoleh hak tersebut, pada Pasal 5 UUPK disebutkan bahwa konsumen juga diwajibkan untuk:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;


(43)

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hal-hal tersebut diatas dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang maksimal atau optimum atas perlindungan atau kepastian hukum bagi dirinya.

3. Hak-hak Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK, yaitu:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainya.

Hak Pelaku Usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.41 Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih


(44)

murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.

Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila:42

a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; b. Cacat timbul di kemudian hari;

c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;

d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;

e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meliputi:43

a. Kelalaian si konsumen penderita;

b. Penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat produk dibuat (unforseeable misuge);

c. Lewatnya jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 (enam) tahun setelah pembelian, atau 10 tahun sejak barang diproduksi;

d. Produk pesanan pemerintah pusat ( federal);

e. Kerugian yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan oleh produsen lain dalam kerja sama produksi (di beberapa negara bagian yang mengakui joint and several liability).

4. Kewajiban Pelaku Usaha

Adapun dalam Pasal 7 UUPK diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut:

a. Beritkad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

42


(45)

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam UUPK tampak bahwa beritikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.

Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai


(46)

suatu produk tertentu. Penyampaian informaasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.44

Jika disimak baik-baik, jelas bahwa kewajiban-kewajiban tersebut merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang “ditargetkan” untuk menciptakan “budaya” tanggung jawab pada diri para pelaku usaha.45

C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan beberapa asas dan tujuan dalam upaya melindungi konsumen yang diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasi dalam tingkat praktis. Karena dengan adanya asas dan tujuan yang jelas yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

1. Asas Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Pasal 2 UUPK, perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

Pada penjelasan Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

a) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

44Ibid.,


(47)

b) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c) Asas keseimbangan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil ataupun spritual.

d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e) Asas kepastian hukum dimasudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 3 UUPK, disebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

D. Prinsip-Prinsip Umum Perlindungan Konsumen

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus


(48)

bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait.

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (liability based on fault) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.46

Ketentuan di atas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.47

Sesuai dengan pemikiran Friedman (dalam Barkatulah, 2008:53) yang mengatakan bahwa substansi hukum mengalami perubahan dengan karakteristik hukum yang dihasilkannya berbeda-beda. Dalam sejarah pembentukan dan perkembangan hukum tanggung jawab produk, terdapat 4 karakteristik gugatan konsumen, yaitu pertama, gugatan atas dasar kelalaian produsen dengan persyaratan hubungan kontrak. Kedua, gugatan atas dasar kelalaian produsen beberapa pengecualian terhadap persyaratan hubungan

46


(49)

kontrak. Ketiga, gugatan konsumen tanpa persyaratan hubungan kontrak dan

keempat adalah gugatan dengan pengecualian atau modifikasi terhadap persyaratan kelalaian.

Teori murni dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract).48

Seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

Teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian merupakan yang paling merugikan konsumen karena gugatan konsumen dapat diajukan kalau telah memenuhi dua syarat tersebut, yaitu adanya unsur kesalahan dan kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.

49

a. Adanya perbuatan; b. Adanya unsur kesalahan; c. Adanya kerugian yang diderita;

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.50

48Ibid.,

hal. 54 49


(50)

Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability priciple), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.51

Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip ini. Dalam UUPK juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK).

52

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.53

51Ibid.,

hal. 94

Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen

52Ibid.,


(51)

sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle) hanya dikenal lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.54

Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)

Prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability.55

Ketentuan mengenai tanggung jawab dan ganti rugi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini jelas merupakan lex splecialis

terhadap ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan.

54Ibid.,


(52)

Berdasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, beban pembuktian kesalahan yang berdasarkan Pasal 1865 KUHPerdata dibebankan kepada pihak yang dirugikan, telah dialihkan kepada pihak yang dirugikan, telah dialihkan kepada pihak pelaku usaha.

Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat dipergunakan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).56

Secara rinci beberapa rumusan tujuan penerapan tanggung jawab mutlak adalah:57

a. Memberikan jaminan secara hukum bahwa biaya kecelakaan yang diakibatkan oleh produk yang cacat ditanggung oleh orang yang menghasilkan dan mengedarkan produk tersebut ke pasar, bukan oleh pembeli atau konsumen yang tidak mempunyai kemampuan (powerless) untuk melindungi diri.

b. Perancang doktrin strict liability berpendapat bahwa tujuan penerapan (justification) doktrin ini adalah penjual dengan memasarkan produk untuk digunakan atau keperluan konsumen telah menyadari dan sudah siap dengan tanggung jawab terhadap masyarakat umum yang akan mengalami cidera akibat mengkonsumsi banrang yang ditawarkan atau dijualnya, dan sebaliknya masyarakat juga memiliki hak dan harapan untuk terpenuhinya hak tersebut.

c. Untuk menjamin konsumen yang mengalami kecelakaan akibat produk yang cacat, tanpa harus membuktikan kelalaian si produsen.

d. Agar risiko dari kerugian akibat produk yang cacat harus ditanggung oleh supplier, karena mereka berada pada posisi yang dapat memasukkan kerugian sebagai biaya dalam kegiatan bisnis. e. Sebagai instrumen kebijakan sosial dan jaminan bagi keselamatan

publik.


(53)

f. Tanggung jawab khusus untuk keselamatan masyarakat oleh seseorang yang mensuplai produk yang dapat membahayakan keselamatan orang atau harta benda.

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. 58

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

Dalam perjanjian cuci cetak misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.


(54)

BAB III

USAHA ASURANSI JIWA DAN PENGATURAN MENGENAI USAHA ASURANSI JIWA DI INDONESIA

A. Pengertian Usaha Asuransi Jiwa Dan Ruang Lingkup Usaha Asuransi Jiwa

Hidup manusia umumnya diakui sangat tinggi nilainya. Itulah sebabnya makin banyak permintaan akan asuransi jiwa. Dua kemungkinan darurat yang dihadapi setiap orang dalam hidup adalah mati terlalu dini atau mati terlalu tua. Orang sering hidup terlalu lama sehingga melampaui produktivitas keuangannya atau kemampuannya menyediakan kebutuhan ekonominya.59

Kemungkinan darurat pertama adalah kematian fisik. Asuransi jiwa adalah alat keuangan untuk menyediakan dana bagi pemeliharaan ahli waris dan harta peninggalan tertanggung yang sudah meninggal. Kemungkinan darurat kedua adalah kematian ekonomi. Asuransi kesehatan adalah alat keuangan untuk menyediakan dana perawatan si tertanggung selama ia tidak mampu bekerja.60

Ilmu Ekonomi adalah “Ilmu mengenai Kekayaan”, sedangkan asuransi adalah bagian dari ilmu ekonomi dengan misi utamanya “melindungi kekayaan” itu terhadap risiko kerugian yang dihadapi.61

59

A. Hasyimi Ali, Bidang Usaha Asuransi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), Hal. 74

Jika risiko itu menyangkut nilai harta benda seperti tanah, bangunan, peralatan, bahan mentah dan barang jadi, maka asuransi hartalah yang digunakan dalam untuk menjamin nilai harta


(55)

tersebut. Tetapi, jika risiko itu menyangkut nilai jiwa manusia, maka asuransi jiwalah yang dipakai.

Untuk memahami dan mengenal mengenai asuransi jiwa yang telah disebutkan di atas, maka penulis akan menjabarkan lebih lanjut mengenai pengertian dari usaha asuransi jiwa dan ruang lingkup dari usaha asuransi jiwa. 1. Pengertian Usaha Asuransi Jiwa

Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam perundang-undangan dan Perusahaan Perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari kata (asuransi) yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian.62

Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel memberikan definisi tentang asuransi sebagai berikut:

Apabila kata “asuransi” diberi imbuhan per-an, maka muncullah istilah hukum “persuransian”, yang berarti usaha yang berkenaan dengan asuransi.

“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur-unsur asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:

a. Pihak-pihak

62


(56)

Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak.63

b. Status pihak-pihak

Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh premi, sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.

Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero) atau Koperasi. Tertanggung dapat berstatus sebagai sebagai perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik sebagai perusahaan ataupun bukan perusahaan. 64

c. Objek asuransi

Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan. (dalam hal asuransi jiwa status tertanggung hanya sebagai perseorangan).

Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda, dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian.65

63Ibid., hal. 8

Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko. Tertanggung bertujuan bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya.


(57)

d. Peristiwa Asuransi

Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum (legal act) berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (evenemen) yang mengancam objek asuransi, dan syarat-syarat yang berlaku dalam asuransi.66

e. Hubungan asuransi

Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis. Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi.

Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan (legal bound) yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara bertimbal balik).67

Unsur tersebut hanya menunjuk kepada asuransi kerugian (loss insurance) yang objeknya adalah harta kekayaan. Asuransi jiwa (life insurance) tidak

Artinya, sejak tercapai kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi kepada penanggung dan sejak itu pula penanggung menerima pengalihan risiko. Jika terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, penanggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan ketentuan polis asuransi. Akan tetapi, jika tidak terjadi evenemen, premi yang sudah dibayar oleh tertanggung tetap menjadi milik penanggung.


(1)

penyelesaiannya melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pada tahap kasasi kasus ini dimenangkan oleh pihak konsumen pada usaha asuransi jiwa.

B. Saran

1. Pemerintah sebaiknya membuat pengaturan yang lebih tegas terhadap perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam hal ini terkait dengan usaha asuransi jiwa agar jangan sampai terjadi kembali pertimbangan-pertimbangan hukum yang tidak cermat yang diberikan oleh Majelis Hakim pengadilan Negeri Tangerang yang menyatakan bahwa sengketa polis asuransi jiwa bukanlah sengketa konsumen.

2. Salah satu faktor masih banyaknya masyarakat yang tidak tertarik dengan asuransi jiwa atau bahkan tidak percaya sama sekali adalah dikarenakan masih sering terjadi kasus yang mengindikasikan bahwa perusahaan asuransi masih identik dengan itikad buruk demi keuntungan perusahaan asuransi yang bersangkutan. Oleh karena itu, perusahaan asurnasi jiwa perlu dibenahi kembali agar dapat mencuri perhatian dan kepercayaan masyarakat untuk mendapatkan proteksi terhadap dirinya melalui usaha asuransi jiwa.

3. Upaya hukum dalam sengketa polis asuransi jiwa sering kali diselesaikan terlebih dahulu di luar pengadilan baik itu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Pemerintah seharusnya membuat suatu aturan yang


(2)

tegas apakah sengketa polis asuransi jiwa dapat diselesaikan melalui BPSK atau hanya melalui BMAI ataupun melalui keduanya. Dan Majelis Hakim yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa konsumen polis asuransi jiwa haruslah benar-benar memiliki pengetahuan khusus tentang itu.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU :

Ali, A. Hasyimi, 1993, Bidang Usaha Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta. _____________, 1993, Pengantar Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta.

Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sianr Grafika, Jakarta.

Barkatulah, Abdul Halim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan I, FH Unlam Press, Banjarmasin.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta.

Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Cetakan I, Rajawali Pers, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2006, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan IV, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sendra, Ketut, 2009, Klaim Asuransi Gampang!, PPM, Cetakan I, Jakarta.

Shofie, Yusuf, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Siregar, Tampil Anshari, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan.


(4)

Sunggono, Bambang, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan VIII, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

Surat Keputusan Kamar Dagang dan Industri (KA-DIN) Nomor. SKEP/152/DPH/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 350/MPP/KEP/12/2001 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Konsumen.

Peraturan Keuangan No. 422/KMK.06/2003 Tetang Penyelenggarakan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Koordinator Bidang Perokonomian, dengan surat keputusannya Nomor: KEP-45/M.EKON/07/2006; Gubernur Bank Indonesia (BI), dengan surat


(5)

surat keputusannya Nomor: 357/KMK.012/2006; dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan surat keputusannya Nomor: KEP-75/MBU/2006; tentang: PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN.

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

C. Website :

Anne Ahira, Klaim Asuransi, diakses dari pada tanggal 25 November 2013

Asuransi Jiwa, Hak dan Kewajiban Perusahaan Asuransi, diakses dari

pada

tanggal 19 November 2013

_____________, Hak dan Kewajiban Pemegang Polis Asuransi, diakses dari

pada tanggal 19 November 2013

Harian Kompas, AIA Ganti Nama Jadi Avrist Assurance, diakses dari

Kontan, Ausuransi AIA Indonesia Ganti Nama, diakses dari

tanggal 13 Desember 2013


(6)

Mari Berasuransi, “Alasan Asuransi Jiwa Tidak Membayar Klaim” diakses dari

Ridwan Khairandy, “Karya Ilmiah Dosen” diakses dari

pada tanggal 3

November 2013

Status Hukum, Perlindungan Hukum, diakses dari

Zona Prasko, Definisi Perlindungan Hukum, diakses dari


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler Akibat Itikad Buruk Layanan Jasa Telekomunikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995 K/Pdt/2012)

1 49 95

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler Akibat Itikad Buruk Layanan Jasa Telekomunikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995 K/Pdt/2012)

0 0 8

BAB II RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 - Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)

0 0 16

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN ITIKAD BURUK DARI PERUSAHAAN ASURANSI JIWA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 560 KPDT.SUS2012)

0 2 10